Anda di halaman 1dari 21

Makalah Hukum Perwakafan di Indonesia

Oleh:
Moh. Rifqy Fakhrul Hadi

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

UNIVERSITAS SUNAN GIRI SURABAYA


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita berbagai

macam nikmat, sehingga aktifitas hidup yang kita jalani ini akan selalu membawa

keberkahan,

Terima kasih sebelum dan sesudahnya kami ucapkan kepada Dosen

serta teman-teman sekalian yang telah membantu, baik bantuan berupa moriil

maupun materil, sehingga makalah ini terselesaikan dalam waktu yang telah

ditentukan. Kami menyadari sekali, didalam penyusunan makalah ini masih jauh

dari kesempurnaan serta banyak kekurangan-kekurangnya, baik dari segi tata

bahasa maupun dalam hal pengkonsolidasian kepada dosen serta teman-teman

sekalian.

Sekali lagi Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna.

Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat

dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah ini.

Sidoarjo, 6 Juni 2023

Moh. Rify Fakhrul Hadi


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

A. Latar Belakang .............................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ......................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN……..…… ............................................................ 2

A.Perwakafan Prespektif KHI........................................................... 2

B. Fungsi KHI dalam bidang Perwakafan... .................………….... 9

C. Tinjauan Umum Perwakafan Menurut Islam............………….... 9

BAB III PENUTUP………………… ............................................................ 11

A. Kesimpulan……. ..................................................................... 11

B. Saran ........................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA ……………………….................................... 12


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kompilasi Hukum Islam adalah ketentuan hukum Islam yang ditulis dan
disusun secara sistematis menyerupai peraturan perundang-undangan untuk
sedapat mungkin diterapkan seluruh umat Islam dalam menyelesaikan masalah-
masalah di bidang yang telah diatur Kompilasi Hukum Islam. Oleh para hakim
peradilan agama Kompilasi Hukum Islam digunakan sebagai pedoman dalam
memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang diajukan kepadanya.
Isi dari Kompilasi hukum islam berjumlah 229 pasal, terdiri atas tiga
kelompok materi hukum, yaitu Hukum Perkawinan (170 pasal), Hukum
Kewarisan termasuk wasiat dan hibah (44 pasal) dan Hukum Perwakafan (14
pasal).

Kemunculan gagasan KHI di latarbelakangi dan didorong oleh kebutuhan


teknis yudisial peradilan agama. Kompilasi Hukum Islam itu adalah ketentuan
hukum Islam yang ditulis dan disusun secara sistematis menyerupai peraturan
perundang-undangan untuk sedapat mungkin diterapkan seluruh umat Islam
dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang Perkawinan,Kewarisan dan
Perwakafan. KHI mempunyai kedudukan yang penting dalam tata hukum
Indonesia.
Namun dalam makalah ini tidak akan membahas tentang keseluruhan isi
dari KHI tetapi lebih berfokus pada salah satu isinya yaitu tentang Perwakafan
atau hal-hal apa saja yang termuat dalam bab tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Perwakafan dalam prespektif Kompilasi Hukum Islam ?
2. Apakah fungsi dari Kompilasi Hukum Islam yang mambahas tentang
perwakafan?

3. Bagaimana tinjauan umum Perwakafan menurut Islam?

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perwakafan Menurut Kompilasi Hukum Islam


Dalam KHI yang membahas tentang Hukum Perwakafan
setidaknya ada lima poin yang dibahas yaitu :

KetentuanUmum, fungsi, unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf, tata


cara perwakafan dan pendaftaran benda wakaf, perubahan, penyelesaian
dan pengawasan benda wakaf dan ketentuan peralihan

Kelima poin tersebut akan dijabarkan sebagai berikut.

1. Ketentuan Umum
Pasal 215
Yang dimaksud dengan:

(1) Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau
badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan
melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau
kerpeluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.

(2) Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang
mewakafkan benda miliknya.

(3) Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan benda
miliknya.

(4) Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak
bergerak uang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan
bernilai menurut ajaran Islam.

(5) Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas
pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.

5
(6) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf yang selanjutnya disingkat PPAIW
adalah petugas pemerintah yang diangkat berdasarkan peraturan peraturan
yang berlaku, berkwajiban menerima ikrar dan wakif dan menyerahkannya
kepada Nadzir serta melakukan pengawasan untuk kelestarian perwakafan.

(7) Pejabat Pembuat Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat (6),
diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama.

2. Fungsi, Unsur-Unsur dan Syarat-Syarat Wakaf

Bagian Kesatu
Fungsi Wakaf
Pasal 216
Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan
tujuan wakaf.

Bagian Kedua
Unsur-unsur dan Syarat-syarat
Wakaf Pasal 217
(1) Badan-badan Hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang
telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang
untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat
mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

(2) Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak untuk dan
atas namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum.
(3) Benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4)
harus merupakan benda milik yang bebas dari segala pembebanan,
ikatan, sitaan dan sengketa.
Pasal 218

6
(1) Pihak yang mewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya secara
jelas dan tegas kepada Nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar
Wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (6), yang
kemudian menuangkannya dalam bentuk ikrar Wakaf, dengan
didaksikan oleh sekurangkurangnya 2 orang saksi.
(2) Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dan ketentuan dimaksud
dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat
persetujuan Menteri Agama.
Pasal 219
(1) Nadzir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) terdiri dari
perorangan yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. sudah dewasa;
d. sehat jasmani dan rohani;
e. tidak berada di bawah pengampuan;
f. bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang
diwakafkannya.
(2) Jika berbentuk badan hukum, maka Nadzir harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
b. mempunyai perwakilan di kecamatan tempat tinggal benda yang
diwakafkannya.

(3) Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada
Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat setelah mendengar saran
dari Camat Majelis Ulama Kecamatan untuk mendapatkan
pengesahan.

(4) Nadzir sebelum melaksanakan tugas, harus mengucapkan sumpah


di hadapan Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan disaksikan

7
sekurang-kurangnya oleh 2 orang saksi dengan isi sumpah sebagai
berikut:
”Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkat menjadi
Nadzir langsung atau tidak langsung dengan nama atau dalih apapun
tidak memberikan atau menjanjikan ataupun memberikan sesuatu
kepada siapapun juga”
”Saya bersumpah, bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatan ini tiada sekali-kali akan menerima langsung
atau tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”.
”Saya bersumpah, bahwa saya senantiasa akan menjunjung tinggi
tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada saya selaku Nadzir
dalam pengurusan harta wakaf sesuai dengan maksud dan tujuannya”.
(5) Jumlah Nadzir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan,
seperti dimaksud Pasal 215 ayat (5) sekurang-kurangnya terdiri dari 3
orang dan sebanyak-banyaknya 10 orang yang diangkat oleh Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan atas saran Majelis Ulama
Kecamatan dan Camat setempat.

Bagian Ketiga
Kewajiban dan Hak-hak Nadzir
Pasal 220
(1) Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggung jawab atas
kekayaan wakaf serta hasilnya, dan pelaksanaan perwakafan sesuai
dengan tujuan menurut ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Menteri
Agama.
(2) Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal
yang menjadi tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan
tembusan kepada Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.

8
(3) Tata cara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat
(2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan Menteri Agama.
Pasal 221
(1) Nadzir diberhentikan oleh Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan karena:
a. meninggal dunia;
b. atas permohonan sendiri;
c. tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai Nadzir;
d. melakukan suatu kejahatan sehingga dipidana.
(2) Bilamana terdapat lowongan jabatan Nadzir karena salah satu
alasan sebagaimana tersebut dalam ayat (1), maka penggantinya
diangkat oleh Kepala Kantor Urutan Agama Kecamatan atas saran
Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat.
(3) Seorang Nadzir yang telah berhenti, sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) sub a, tidak dengan sendirinya digantikan oleh salah seorang
ahli warisnya.
Pasal 222
Nadzir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang jenis dan
jumlahnya ditentukanberdasarkan kelayakan atas saran Majelis Ulama
Kecamatan dan Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat.

3. Tata Cara Perwakafan dan Pendaftaran Benda Wakaf


Bagian Kesatu
Tata Cara
Perwakafan Pasal 223
(1) Pihak yang hendak mewakafkah dapat menyatakan ikrar wakaf di
hadapan Pejabat PembuatnyaAkta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan
ikrar wakaf.
(2) Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.

9
(3) Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf,
dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2
(dua) orang saksi.
(4) Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang
mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada Pejabat yang tersebut
dalam Pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai berikut:
a. tanda bukti pemilikan harta benda;
b. jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka
harus disertai surat keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat
oleh Camat setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak
bergerak dimaksud;
c. surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari
benda tidak bergerak yang bersangkutan.
Bagian Kedua
Pendaftaran Benda Wakaf
Pasal 224
Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 223 ayat (3) dan (4), maka Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan atas nama Nadzir yang bersangkutan diharuskan
mengajukan permohonan kepada Camat untuk mendaftarkan
perwakafan benda yang bersangkutan guna menjaga keutuhan dan
kelestarian.

4. Perubahan, Penyelesaian dan Pengawasan Benda Wakaf


Bagian Kesatu
Perubahan Benda Wakaf
Pasal 225
(1) Pada dasarnya terhadap benda yang telah diwakafkan tidak dapat
dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud
dalam ikrar wakaf.

10
(2) Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat (1) hanya dapat
dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat
persetujuan tertulis dari Kepala Kantur Urusan Agama Kecamatan
berdasarkan saran dari Majelis Ulama
Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan:
a. karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan
oleh wakif;
b. karena kepentingan umum.
Bagian Kedua
Penyelesaian Perselisihan Benda Wakaf
Pasal 226
Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan
benda wakaf dan Nadzir diajukan kepada Pengadilan Agama setempat
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Pengawasan
Pasal 227
Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Nadzir
dilakukan secara bersama-sama oleh Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan dan Pengadilan agama yang
mewilayahinya.

5. Ketentuan Peralihan
Pasal 228
Perwakafan benda, demikian pula pengurusannya yang terjadi sebelum
dikeluarkannya ketentuan ini, harus dilaporkan dan didaftarkan kepada
Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat untuk disesuaikan dengan
ketentuan-ketentuan ini.1

1
Buku Kompilasi Hukum Islam . Yogyakarta: Pustaka Widyatama 95-105

11
B. Fungsi Kompilasi Hukum Islam dalam bidang Perwakafan

Kompulasi hukum islam telah menandai kemajuan yang dialami


hukum Islam di Indonesia, khususnya dalam masalah perwakafan, pokok-
pokok kemajuan itu dapat dirinci sebagai berikut:

a) Ditunjau dari segi pokok materi umum, ada beberapa pemikiran yang
telah dirumuska dalam KHI, diantaranya:
1) Mensejajarkannya dengan peraturan perwakafan dibidang
pertanahan
2) Menerbitkan administrasi perwakafan dengan adnya sionaris
pejanbat pembuat akta ikrar wakaf (PPAIW), penerbitan nadzir
melalui pendaftaran, penertiban ikrar wakaf dan penertiban yang
diwakafkan
3) Pertangung jawaban yang jealas yang diatur pada pasal 220 KHI
mengenai kewajiban dan hak nadzir. Hal ini di maksudkan untuk
menghindari ketidak pastian pengelolaan dan pemanfaatan
benda wakaf.
4) Pelenturan benda dan tujuan wakaf. Selama ini dipahami bahwa
perubahan tidak dapat dilakukan atas benda wakaf. KHI telah
melakukan modifikasi dalam masalah ini sebab ia telah
menyatakan perubahan atas benda wakaf yang meliputi dua hal,
yaitu perubahan lokasi dan tujuan yang harus dilakukan melalui
prosedure yang jelas.2
Meskipun ini merupakan suatu kemajuan yang sangat berarti bagi
hukum perdata islam secara umum, tapi KHI ini dalam hal perwakafan
masih perlu untuk dikaji lebih jauh. Setidaknya ada dua alaan yang
mendasari hal tersebut. Pertama, kalau dilihat dari materi, hukum wakaf
yang ada dalam buku perwakafan jauh lebih sederhana dari materi hukum
perwakafan. Kedua, apabila kita memperhatikan materi hukum wakaf
yang

2
M. Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan
Abstraksi Hukum Islam. (Cet. I; Jakarta: Cv. Logos Wacana Ilmu, 1999), 28-29

12
ada dalam KHI lalu membandingkannya dengan PP.No.28 Tahun 1977
serta peraturan menteri agama No.1 Tahun 1978, mka kita kan menemui
bahwa KHI seakan-akan hanya merupakan duplikasi atas PP No.28 tahun
1977 yang disertai dengan beberapa perubahan ringan dalam teks dan
pasal. Misalnya, kita “tanah milik” diubah menjadi “tanah wakaf”. Ini
merupakan ekspresi dari sifat konservatisme Kompilasi Hukum Islam.3

C. Tinjauan Umum Perwakafan Menurut Hukum Islam

Wakaf dalam bahasa Arab (waqf), dalam bentuk jamaknya atau plural
bahasa Arab awqaf adalah perbuatan yang dilakukan wakif (pihak yang
melakukan wakaf) untuk menyerahkan sebagian atau keseluruhan harta benda
yang dimilikinya untuk kepentingan ibadah dan kesejahteraan masyarakat islam
untuk selama-selamanya.

Terminologi wakaf berasal dari bahasa Arab “ waqafa” yang berarti


„ berhenti atau menahan‟. Sementara dari segi istilah, waqaf telah diberikan
beberapa takrif (pengertian) seperti :

1) Menurut Sayyid Sabiq, sebagaimana disebutkan dalam kitab


Fiqhus Sunnah wakaf berarti menahan harta untuk dapat diberikan manfaatnya
di jalan Allah.
2) Menurut Dr. Muhammad al-Ahmad Abu an-Nur , mantan Menteri
Wakaf Mesir, wakaf berarti harta atau tanah yang ditahan oleh pemiliknya
sekiranya dapat menghalang penggunaanya dengan dijual atau dibeli ataupun
diberikan sebagai pemberian dengan syarat dibelanjakan faedahnya atau
keuntungannya atau hasil mahsulnya kepada orang yang ditentukan oleh
pewakaf.

Dalam peristilahan syara’ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian


yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal
(tahbisul ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Yang dimaksud
tahbisul ashli ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan,
dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan dan sejenisnya. Sedangkan cara
pemanfaatannya adalah menggunakan sesuai dengan kehendak pemberi wakaf

13
(wakif) tanpa imbalan1
1. Dasar Hukum Wakaf
Adapaun yang mendasari diperbolehkannya wakaf ialah Al-Qur‟an
dan sunnah2 . Firman Allah mengenai wakaf ialah QS. Ali-„Imran : 92

‫لَ ْن تَنَالُوا ْالبِ َّر َح ٰتّى تُ ْنفِقُوْ ا ِم َّما تُ ِحبُّوْ نَ َۗو َما تُ ْنفِقُوْ ا ِم ْن َش ْي ٍء فَا ِ َّن هّٰللا َ بِ ٖه َعلِ ْي ٌم‬

Artinya : “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang


sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai.
dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah
mengetahuinya”
2. Macam-Macam Wakaf
Bila ditinjau dari segi ditujukan kepada siapa wakaf itu, maka wakaf
dapat dibagi menjadi dua macam, yakni :

1) Wakaf ahli atau Wakaf Zurri


Wakaf dalam lingkungan keluarga, yakni wakaf yang diuntukkan buat jaminan
sosial dalam lingkungan keluarga sendiri, dengan syarat, dipakai semata untuk
kebaikan yang berjalan lama, seperti buat menolong orang yang melarat, atau
buat lembaga lembaga kemasyarakatan. Wakaf ini bertujuan menjadi anak dan
cucu dari yang berwakaf zurri disyaratkan supaya barang yang diwakafkan itu
hendaklah mengandung faedah yang tidak putus-putusnya sekalipun
turunannya telah habis.
2) Wakaf Chairi

Wakaf untuk amal kebaikan, yang ditujukan untuk semacam amal sosial.
Wakaf jenis kedua inilah yang banyak terdapat dimana-mana dalam berbagai
jenis amal kebaikan. Wakaf ini amat besar faedahnya kepada masyarakat
umum dalam bidang jaminan sosial dan bidang-bidang lain, yang bertujuan
mulia yang jarang ada dalam sejarah umat-umat lain.

13
Ridwan Jamal. Hukum Perwakafan Kompilasi Hukum Islam Dalam Sorotan,
dalam Jurnal Academia, 10

4
Tim El-Madani, Tata Cara Pembagian Waris dan Pengaturan Wakaf, Cet. Ke-1, (Yogyakarta:
Pustaka Yustisia, 2014), hal.101-102.
14
3) Pendapat Fuqaha

Namun para ahli fikih dalam tataran pengertian wakaf yang lebih rinci saling
bersilang pendapat. Sehingga mereka berbeda pula dalam memandang hakikat
wakaf itu sendiri, baik ditinjau dari aspek kontinyuitas waktu (ikrar), dzat yang
diwakafkan (benda wakaf), pola pemberdayaan dan pemanfaatan harta wakaf.
Untuk itu, pandangan para ulama yang terkait dengan wacanawacana tersebut
akan diuraikan sebagai berikut;

a) Menurut Imam Abu Hanifah


Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap milik si
wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan
definisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia
dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Jika si wakif wafat, harta
tersebut menjadi harta warisan buat ahli warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf
hanyalah “menyumbangkan manfaat”. Karena itu mazhab Hanafi mendefinisikan
wakaf adalah : “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus
tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak
kebajikan (sosial), baik sekarang maupun akan datang”, contohnya seperti wakaf buah
kelapa.

b) Menurut Imam Malik


Mazhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang
diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif
melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut
kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak
boleh menarik kembali wakafnya. Perbuatan si wakif menjadikan manfaat hartanya
untuk digunakan oleh mauquf bih (penerima wakaf), walaupun yang dimilikinya itu
berbentuk upah, atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan
uang. Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai
dengan keinginan pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari
pengunaan secara pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan
kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedang benda itu tetap menjadi
milik si wakif. Perwakafan itu berlaku untuk suatu masa tertentu, dan karenanya tidak

15
boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal selamanya.

c) Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hambal


Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta
yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan.
Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, seperti:
perlakuan pemilik dengan cara memindahkan kepemilikannya kepada yang lain,
baik dengan tukaran (tukar menukar) atau tidak. Jika wakif wafat, harta yang
diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli warisnya. wakif menyalurkan
manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf alaih (yang diberi wakaf)
sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak dapat melarang penyaluran
sumbangannya tersebut. Apabila wakif melarangnya, maka qadli berhak
memaksanya agar memberikannya kepada mauquf „alaih. Karena itu mazhab
Syafi’i mendefinisikan wakaf adalah : “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu
benda, yang berstatus sebagai milik Allah swt, dengan menyedekahkan manfaatnya
kepada suatu kebajikan (sosial)”.

d) Menurut Mazhab Imamiyah


Mazhab lain sama dengan mazhab ketiga, namun berbeda dari segi
kepemilikan atas benda yang diwakafkan yaitu menjadi milik mauquf alaih (yang
diberi wakaf), meskipun mauquf alaih tidak berhak melakukan suatu tindakan atas
benda wakaf tersebut, baik menjual atau menghibahkannya.2

3. Rukun dan Syarat Wakaf


Dalam pasal 2 UU Wakaf ditentukan bahwa wakaf sah apabila dilaksanakan
menurut syariah. Selanjutnya dalam pasal 6, Wakaf dilaksanakan dengan
memenuhi unsur wakaf sebagai berikut : Wakif, Nazhir, Harta Benda Wakaf, Ikrar
Wakaf, peruntukan harta benda wakaf, dan jangka waktu wakaf.
Pada pasal 7 ditentukan bahwa wakif meliputi: perseorangan; organisasi; badan
hukum. Selanjutnya pada pasal 8 wakif perseorangan hanya dapat melakukan
wakaf apabila memenuhi persyaratan diantara lain, dewasa, berakal sehat, tidak

2
Kementerian Agama Republik Indonesia, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Tahun 2013.
16
terhalang

melakukan perbuatan hukum dan pemilik sah harta benda wakaf.


Sedangkan wakif organisasi hanya dapat melakukan wakaf apabila
memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik
organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.
Wakif badan hukum dapat melakukan. Wakaf apabila memenuhi ketentuan
badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum
sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkuta.3
Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya.
Rukun wakaf itu ada 4 (empat) yakni:
1) Waqif, yaitu orang yang mewakafkan. Ia harus mempunyai
kecakapan dalam mendermakan harta.
2) Mauquf, yaitu barang milik waqif yang diwakafkan.
3) Mauquf „alaih, yaitu yang diserahi wakaf, baik orang, golongan,
atau pihak tertentu.
4) 4. Shighah, wakaf harus dengan lafal. Lafal wakaf ada yang jelas,
seperti Aku Mewakafkan, Aku Menahan, dan lafal lainnya.
Dengan mengatakan kalimat tersebut, maka wakaf telah sah tanpa
menggabungkan dengan perkara lain. Lafal wakaf juga ada yang
berbentuk kinayah, seperti Aku shadaqahkan, Aku Haramkan,
Aku Abadikan, dan lafal lainnya. Dengan mengucapkan lafal
tersebut, maka telah terjadi wakaf. Pengucapan itu harus disertai
niat atau dengan sesuatu yang menjelaskan bahwa seseorang
bermaksud memberikan wakaf, seperti “Shadaqah yang
diwaqafkan” atau “Shadaqah yang tidak boleh dijual.” Begitu pula
waqaf telah mengikat dengan adanya perbuatan yang menunjukan
adanya kehendak mewaqafkan, seperti “Hendaknya masjid
dibangun disana agar digunakan shalat oleh orang-orang.4

3
Abd. Shomad, Hukum Islam; Penormaan Prinsip Syariah dalam hukum Indonesia, Cet. 1, (Jakarta:
Kencana, 2010), hal. 23.
4
Miftahul Khairi, Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 Madzhab, Cet ke-. 1,(Jakarta:
Maktabah Al-hanif, 2009), hal. 443.
17
Adapun syarat sahnya wakaf yaitu;
1) Orang yang mewakafkan harus sepenuhnya berhak untuk menguasai
benda yang akan diwakafkan. Waqif juga harus mukallaf (aqil baligh)
dan atas kehendak sendiri, tidak dipaksa oleh orang lain;
2) Benda yang diwakafkan harus kekal zatnya. Hal itu berarti ketika timbul
manfaatnya, zat barang tidak rusak. Hendaklah wakaf itu disebutkan
dengan terang dan jelas kepada siapa diwakafkan;
3) Penerima wakaf hendaknya orang yang berhak memiliki sesuatu maka
tidak sah wakaf kepada hamba sahaya;
4) Ikrar wakaf dinyatakan dengan jelas, baik dengan tulisan maupun lisan;
5) Tunai, dan tidak ada khiyar, karena wakaf berarti memindahkan milik
waktu.5

A. Prinsip-Prinsip Pengelolaan Wakaf


1) Asas Keberlangsungan Manfaat
Praktek pelaksanaan wakaf yang dianjurkan oleh nabi yang telah
dicontohkan oleh Umar bin Khattab dan diikuti oleh beberapa sahabat
nabi lainnya yang sangat menekankan pentingnya menahan eksistensi
benda wakaf, dan diperintahkan untuk menyedekahkan hasil dari
pengelolaan benda tersebut. Pemahaman yang paling mudah untuk dicerna
dari maksud nabi adalah bahwa substansi ajaran wakaf itu tidak semata-
mata terletak pada pemeliharaan bendanya (wakaf), tapi yang jauh lebih
penting adalah nilai manfaat dari benda tersebut untuk kepentingan
kebijakan umum.
2) Asas Pertanggungjawaban
Bentuk dari pertanggung jawaban tersebut adalah pengelolaan
secara sungguh-sungguh dan semangat yang didasari sebagai berikut :

5
Ahmad Hasan Ridwan, Manajemen Baitul Mal Watamwil, Cet.ke-1, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hal.
217.
18
a. Tanggung jawab kepada Allah SWT yaitu atas perilaku
perbuatannya, apakah sesuai atau bertentangan dengan
aturan-aturanNya.
b. Tanggung jawab Kelembagaan yaitu tanggung jawab
kepada pihak yang memberikan wewenang (lembaga yang
lebih tinggi).
c. Tanggung jawab Hukum yaitu tanggung jawab yang
dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan hokum yang
berlaku.
d. Tanggung jawab Sosial yaitu tanggung jawab yang terkait
dengan moral masyarakat.
3) Asas Profesional Manajemen
Manajemen wakaf menempati pada posisi paling urgen dalam
dunia perwakafan. Karena yang paling menentuka benda wakaf itu lebih
bermanfaat atau tidak tergantung pada pola pengelolaan, bagus atau
buruk. dalam asas profesional manajemen ini harus memiliki/mengikuti
sifat-sifat Nabi yaitu:
a. Amanah (dapat dipercaya).
b. Shiddiq (jujur).
c. Fathanah (cerdas/brilian).
d. Tabligh (menyampaikan informasi yang tepat dan benar).
4) Asas Keadilan Sosial
Penegakan keadilan sosial dalam islam merupakan kemurnian dan
legalitas agama. Orang yang menolak prinsip keadilan sosial ini dianggap
sebagai pendusta agama (QS. 147/ Al-Ma‟un). Substansi yang terkandung
dalam ajaran wakaf ini sangat tampak adanya semangat menegakkan
keadilan sosial melalui pendermaan harta untuk kebajikan umum.

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kompilasi Hukum Islam adalah ketentuan hukum Islam yang
ditulis dan disusun secara sistematis menyerupai peraturan perundang-
undangan untuk sedapat mungkin diterapkan seluruh umat Islam dalam
menyelesaikan masalah-masalah di bidang yang telah diatur Kompilasi
Hukum Islam.

Dalam KHI yang membahas tentang Hukum Perwakafan


setidaknya ada lima poin yang dibahas yaitu : KetentuanUmum, fungsi,
unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf, tata cara perwakafan dan pendaftaran
benda wakaf, perubahan, penyelesaian dan pengawasan benda wakaf dan
ketentuan peralihan

Pelaksanaan hukum perwakafan dalam kompilasi hukum islam


masih tidak dapat di pisahkan dari :Peraturan pemerintah Nomor 28 tahun
1977 dan peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1978
B. Saran
Demikian penulisan Makalah “Perwakafan Menurut Kompilasi
Hukum Islam”. Dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan
penulisan maupun kekurangan rujukan atau referensi yang ada tentang
makalah ini. Kritik dan saran yang membangun kami harapkan untuk
kebaikan makalah ini kedepannya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
siapa saja yang membacanya.

20
DAFTAR PUSTAKA

Buku Kompilasi Hukum Islam . Yogyakarta: Pustaka Widyatama

M. Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam:

Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam. (Cet. I; Jakarta: Cv. Logos Wacana Ilmu,

1999)

Ridwan Jamal. Hukum Perwakafan Kompilasi Hukum Islam Dalam

Sorotan, dalam Jurnal Academia,

Ahmad Hasan Ridwan, 2013 Manajemen Baitul Mal Watamwil, Cet.ke-1,

(Bandung: Pustaka Setia)

Abd. Shomad, 2010 Penormaan Prinsip Syariah dalam hukum Indonesia

(Jakarta: Kencana)

Miftahul Khairi, 2009 Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan ,(Jakarta:

Maktabah Al-hanif)

21

Anda mungkin juga menyukai