Anda di halaman 1dari 6

B.

Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat Pada Masa Kini


Di Indonesia, peran dari hukum adat dan dan hukum Islam dalam proses
legislasi masih tetap tidak mampu untuk dihapuskan, terutama dalam area hukum
keluarga. Munculnya hukum-hukum yang baru tentu saja dipengaruhi oleh hukum
Islam dan hukum adat yang keduanya bersatu padu saling memberikan pengaruh baik
langsung maupun tidak langsung. Sejak awal kemerdekaan Indonesia, para tokoh dari
hukum islam telah berusaha untuk memberikan pemahaman baru terhadap hukum
Islam yang substansinya diambil dari nilai-nilai lokal masyarakat indonesia.
Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, para tokoh seperti Hasbi Ash
Shiddiqy telah mempromosikan konsep fiqih Indonesia, ia memberikan pemikiran
bahwa penyusunan fiqh Indonesia diambil dari semua mazhab sebagai sumber dari
penyusunan hukumnya. Tetapi setelah kemerdekaan, muncul tokoh lain seperti
Hazairin yang berkeyakinan bahwa pintu ijtihad akan selalu terbuka bagi para
mujtahid baru, ia mengajak untuk membangun apa yang disebut dengan mazhab
nasional Indonesia.1 Kemudian ia berpendapat juga bahwa mazhab Indonesia harus
dibangun semata–mata lewat upaya pembaruan terhadap mazhab Syafi’i sesuai
dengan kondisi lokal masyarakat indonesia.2 Namun mereka tetap pada pendirian
yang sama bahwa adat masyarakat Islam Indonesia harus dipergunakan sebagai bahan
pertimbangan yang utama dalam proses pembuatan hukum Islam di Indonesia.
Contoh-contoh integrasi dari hukum adat dan Islam akan dikemukakan
dibawah ini. Dalam ketiga contoh yang akan dikemukakan berikut, dua aturan yang
berkenaan dengan hukum perkawinan dan satu peraturan mengenai hukum kewarisan
Islam. Dua peraturan mengenai hukum perkawinan tersebut menampilkan isu tentang
taklik talak (ta’liq talaq) dan harta bersama dalam perkawinan, sementara peraturan
yang berhubungan dengan hukum Kewarisan Islam menampilkan lembaga hukum
wasiat wajib (wasiyyah wajibah).
1. Taklik talak (Taklik Talak)
Metode perceraian yang umum berlaku dalam ikatan perkawinan orang-orang
Islam di Indonesia adalah melalui institusi talak, dimana suami dapat menceraikan
istrinya sesudah usaha-usaha yang dilakukan oleh pengadilan agama untuk
mengkonsiliasikan pasangan suami istri tersebut. Dalam UU No. 1 tahun 1974

1
Hazairin, Tujuh serangkai Tentang Hukum (Jakarta: Tintamas, 1982), hal. 115 ff
2
Samsul Wahidin dan abdurrahman, Perkembangan Ringkas Hukum Islam di Indonesia,ed. Pertama
(jakarta: Akademika Pressido, 1984), hlm. 87
disebutkan bahwa ikatan perkawinan dapat dilepaskan melalui satu dari tiga cara:
karena kematian, perceraian atau keputusan pengadilan. 3 Oleh karenanya seseorang
mendapatkan bahwa ada dua cara untuk mengakhiri perkawinan lewat campur tangan
pengadilan, yaitu melalui proses Khuluk (istri setuju untuk mengembalikan mahar
pada suaminya sebagai imbalan dari kemerdekaan yang akan ia peroleh) atau melalui
taklik talak (peceraian yang di syaratkan). Di Indonesia, merupakan hal yang biasa
bagi suami muslim untuk mengucapkan taklik talak pada saat memulai suatu ikatan
perkawinan, dimana ia mengajukan syarat bahwa jika ia menyakiti istrinya atau tidak
menghiraukannya selama jangka waktu tertentu maka pengaduan istri pada
pengadilan agama akan menyebabkan si istri tersebut terceraikan. Penelitian terhadap
bentuk institusi taklik talak ini membuktikan adanya percampuran elemen-elemen
yang di derivasikan dari hukum adat dan Islam. Walaupun pengaruh hukum Islam
dalam hal ini bersifat dominan, namun peran hukum adat dalam rangka menjadikan
taklik talak sebagai alat yang efektif bagi wanita untuk mengakhiri ikatan
perkawinannya tampak sangat jelas. Demikian pula dalam hukum islam, perceraian
dapat terjadi atas dasar terpenuhinya beberapa syarat tertentu.4 Lembaga peceraian
yang digantungkan pada syarat tertentu ini menuai pro dan kontra. Misalnya Ibn
Hazm berpendapat bahwa semua bentuk taklik talak adalah tidak valid dan tidak akan
mempengaruhi kedudukan hukum suatu perkawian, karena taklik talak ini tidak diatur
dalam Al-Qur’an dan Sunah.5 Namun sebagian besar ahli hukum mempunyai
pendapat yang sama bahwa perceraian yang digantungkan kepada syarat ini dianggap
sebagai metode yang valid untuk mengakhiri perkawinan, karena suami yang
mensyaratkan perceraiannya kepada suatu kondisi tertentu, tidak menceraikan istrinya
semata-mata karena pengucapan ta’liq, tetapi menunda perceraian tersebut hingga
kondisi-kondisi yang disebutkan terpenuhi.6
Elemen yang diambil dari hukum adat yang secara jelas berperan disini adalah
pengakuan atas hak istri untuk mengajukan perceraian, suatu bentuk yang sudah lama
ada dalam hukum perkawinan Islam Indonesia.7 Walaupun banyak pro dan kontra
mengenai hal ini, sebagian besar dari mereka setuju bahwa lembaga taklik talak ini
3
Departemen Agama Republik Indonesia, The Indonesian Marriage Law (Jakarta: Bimo Konsultasi
Perkawinan, 1988). Lihat juga, Kompilasi Hukum Islam Indonesia, Pasal 113 dan 114 yang memberikan
peraturan yang sama.
4
Mahmud syaltut, Al-Fatawa (kairo: Dar asy-Syuruq, 1408/1988), hlm. 300.
5
Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, jilid 8 (kaliro: Dar Al-kitab al-Arabi, 1373-84/1955-64),hlm. 55; Mahmud
Syaltut, Al-Fatawa, hlm. 300.
6
Sayyid sabiq, fiqh As-Sunnah, jilid 8, hlm. 54-7.
7
Lihat ter Haar, adat Law in Indonesia, hlm. 184.
memang merupakan sarana yang sangat efektif untuk memberikan perlindungan bagi
istri dari sikap semena-mena pihak suami. Sejalan dengan tujuan hukum perkawinan
untuk tidak membuat perceraian sebagai suatu hal yang mudah untuk dilakukan,
Kompilasi Hukum Islam kemudian memandang taklik talak ini bukan sebagai alasan
perceraian, tetapi lebih ditempatkan dalam bab tentang perjanjian perkawinan yang
dibuat oleh kedua belah pihak.

2. Harta Bersama dalam Perkawinan


Dalam hukum adat, harta benda yang dimiliki oleh suami dan istri dapat dibedakan
dalam dua kategori yang umum:8
a) Harta benda yang diperoleh sebelum perkawinan
b) Harta benda yang didapat setelah/selama perkawinan
Kategori ini diakui dalam Hukum Perkawinan yang membahas masalah harta
benda. Dalam peraturan itu istilah harta bawaan (harta pribadi yang dibawa dalam
perkawinan) digunakan untuk merujuk kepada tipe pertama, sedangkan harta bersama
digunakan untuk tipe kedua.
Konsep kepemilikan harta benda dalam perkawinan ini merupakan produk hukum
adat dan derivasikan dari premis filosofis nila-nilai lokal yang menetapkan
keseimbangan antara suami dan istri dalam kehidupan perkawinan.
Dari sisi hukum Islam, baik ahli hukum kelompok Syafi’iah (sebagai paham
hukum yang paling banyak diilkuti oleh ulama Indonesia), maupun para ahli hukum
lainnya yang mewakili mazhab-mazhab lain, tidak ada satupun yang sudah membahas
topik tentang harta bersama dalam perkawinan ini sebagaimana yang dipahami oleh
hukum adat. Namun, jika dilihat dari sisi tekhnisnya kepemilikan harta secara
bersamaan antara suami dan istri dalam kehidupan perkawinan tersebut dapat
dipersamakan dalam bentuk kerjasama (syirkah) lain yang secara umum telah dibahas
oleh para ahli hukum Islam, walaupun dalam buku-buku fiqh para ahli
mengklasifikasikannya bukan dibawah topik perkawinan tetapi dibawah bab
perdagangan.9
3. Wasiat wajib (wasiyyah wajibah)

8
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Waris Adat (Bandung: Penerbit Alumni, 1980), hlm. 70-1.
9
Ibrahim Muhammad Ibrahim al-Jamal, Fiqh al-Muslim ‘ala al-Mazahib al Arba’ah, jilid 2 ((Beirut: Dar
al-jil, 1412/1992), hlm. 85-90.
Secara umum disebut sebagai ayat wasiat, surah 2 ayat 180 dari Al-Qur’an
memerintahkan orang Islam untuk membuat wasiat, untuk dibagikan pada orang tua
dan keluarga yang deket. Walaupun sebagian besar ahli hukum islam setuju bahwa
ayat ini dinasakh ketika ayat-ayat Qur’an yang mengatur tentang kewarisan, namun
demikian ulama-ulama lain mengajukan argumen yang lebih kuat bahwa ayat tentang
wasiat tersebut sesungguhnya hanya dihapus sebagian saja, yaitu hanya yang
bersangkutan dengan kerabat dekat yang telah menjadi ahl al fara’id (orang-orang
yang menerima bagian tertentu dalam menerima warisan). 10 Dalam pandangan ibn
hazm ayat wasiat ini menentukan suatu kewajiban hukum yang definitif bagi orang
islam untuk membuat wasiat yang akan di distribusikan kepada kerabat dekat yang
bukan menjadi ahli waris. Logika hukum dari pendapat ini menyatakan bahwa ketika
orang yang sudah meninggal tidak menuliksan wasiat untuk para kerabat dekat yang
tidak termasuk ahli waris, maka pengadilan harus bertindak seolah-olah wasiat itu
telah dibuat oleh orang yang meninggal tersebut.11 Namun begitu masalah muncul
untuk menentukan kerabat dekat yang mana yang akan menerima wasiat wajib
tersebut: “Siapakah diantara para kerabat dekat yang akan menerima wasiat wajib?”
Untuk menjawab pertanyaan ini, interpretasi (ijtihad) sangat diperlukan, karena baik
Qur’an maupun Hadis sendiri membiarkan masalah fundamental ini tak terjawabkan.
Suatu interpretasi baru diajukan untuk pertama kali oleh para ahli hukum Mesir, pada
tahun 1946, yang menspesifikasikan kerabat dekat tersebut kepada cucuyang orang
tuanya telah meninggal terlebih dahulu (cucu yatim).12
Kebolehan pembagian harta warisan kepaa cucu yatim melalui pembagian wasiat
juga di dukung oleh nilai ideal islam yang membatasi prinsip kewarisan hanya kepada
para kerabat yang derajatnya paling dekat dengan pewaris. Dengan kata lain, satu-
satunya jalan untuk mereformasi posisi cucu yatim adalah melalui prinsip wasiat.
Konsekuensinya, hal ini akan membatasi bagian mereka maksimum hanya sepertiga
dari keseluruhan harta, karena secara prinsip wasiat tidak boleh melebihi sepertiga
dari harta warisan.13
Bentuk-bentuk reformasi terhadap hukum kewarisan mengenai institusi wasiat
wajib ini dapat secara jelas dilihat dalam pasal 209 dari Kompilasi Hukum Islam.

10
Abdulaziz Mohammed Zaid, The Islamic Law of Bequest (London: Scorpion Publishing Ltd,
1986), hlm. 11-13.
11
N. J. Coulson, Succesion in the Muslim Family (Cambridge: The University Press, 19771), hlm. 146.
12
‘Abd al-Majid ‘Abd al-Hamid az-Zibani, Ahkam al-Mawaris, hlm. 310-11; succesion, hlm. 144-5.
13
Dalam Al-Bukhari, Sahih, jilid 1, hlm. 383.
Berbeda dengan para ahli hukum Islam pada umumnya, yang mengidentifikasikan
cucu yatim sebagai penerima wasiat wajib, para ahli hukum Islam Indonesia, melalui
kompilasi, telah menggunakan wasiat wajib untuk memperbolehkan anak angkat dan
orang tua angkat mengajukan klaim atas bagian tertentu dalam warisan. Pasal 209
Kompilasi tersebut menentukan bahwa anak angkat dan orang tua angkat adalah
penerima wasiat wajib dengan maksimum penerimaan sepertiga dari harta warisan. 14
karena baik orang tua angkat maupun anak angkat tidak mempunyai ikatan
kekeluargaan dengan pewaris, maka reformasi yang revolusioner ini mahu tidak mahu
menyepelekan prinsip yang sudah mapan dalam kewarisan islam, yaitu bahwa
hubungan darah adalah syarat sah bagi pembagian harta warisan dari pewaris kepada
ahli waris.15
Sesuai dengan hukum adat, pada umumnya dilakukan oleh keluarga indonesia
untuk mengadopsi seorang anak laki-laki atau perempuan, untuk kemudian dimasukan
kedalam likngkungan keluarga mereka. Di dukung oleh berbagai sistem hukum adat
yang bersifat lokal dan unik adopsi telah menjadi perbuatan hukum yang bersifat
umum dengan karakteristik yang sama diantara kelompok masyarakat yang berbeda-
beda. Dalam masyarakat yang patrilineal seperti masyarakat Batak, di Sumatra Utara
atau dalam masyarakat matrilineal Minang Kabau, di Sumatra Barat, lembaga adopsi
sering dihubungkan dengan dominasi politis”dari ayah atau ibu dalam keluarga.
Walaupun aplikasi adposi ini secara terperinci berbeda antara satu masyarakat dan
masyarakat lainnya di Indonesia, beberapa bentuk karakteristik umum dari adopsi
yang di dukung oleh hukum adat muncul karena :16
a) Bahwa anak angkat secara otomatis dimasukan kedalam lingkungan
keluarga orang tua angkat
b) Bahwa hubungan hukum antara anak angkat dan orang tua asli terputus
c) Bahwa posisi hukum anak angkat dalam kewarisan sama dengan asli
Berdasarkan pada praktek hukum yang ada tersebut maka kemudian para ahli
hukum Islam indonesia merasa berkewajiban untuk menjembatani kesenjangan antara
hukum Islam dan hukum adat. Karena hukum islam secara keras menolak lembaga

14
Departemen Agama RI, kompilasi Hukum Islam, hlm. 96.
15
Lihat misalnya ahmad Muhyi ad-din al-Ajuz, Al-Miras al-Adil fi al-Islam: Baina al-Mawaris al-Qadimah
wal-Hadisah wa Muqaranatuha ma’a asy-syara’i al-Ukhra (Beirut: Mu’assasat al-Ma’arif, 1406/1986),
hlm. 62-3.
16
M. Yahya Harapan, Kedudukan Janda, Duka dan Anak Angkat dalam Hukum Adat (Bandung: P.T. Citra
Aditya Bakti, 1993), hlm. 105-15: Hilman Hadi Kusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan,
Hukum Adat, Hukum Agama Hindu, Islam (Bandung: P.T. Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 117-23.
adopsi ini, maka para ahli hukm Islam di Indonesia berusaha untuk
mengakomodasikan sistem nialai yang ada dalam kedua hukum dengan jalan
mengambil dari institusi wasiat wajibyang berasal dari hukum Islam sebagai sarana
untuk menerima fasilitas nilai moral yang ada dibalik praktek adopsi dalam hukum
adat.
Akomodasi antara dua sistem nilai hukum yang berbeda dalam hal pengangkatan
anak tersebut merupakan bukti yang kuat betapausaha-usaha yang diperlukan
senantiasa dilakukan oleh kedua eksponen hukum islam maupun hukum adat untuk
menghindari munculnya konflik.
Walaupun Kompilasi tidak menyamakan posisi hukum anak angkat dengan anak
asli, sebagaimana yang dilakukan oleh hukum adat, revitalisasi hubungan yang dekat
antara anak angkat dan orang tua angkat melalui lembaga wasiat wajib
mempresentasikan suatu usaha untuk menjembatani kesenjangan teologis antara
kedua sistem itu. Konsesi semacam ini secara argumen tatif, sesungguhnya sejalan
dengan aturan dasar hukum islam mengenai adopsi, karena wasiat wajib yang diatur
dalam Kompilasi tersebut tidak:17
a) Menyamakan status hukum antara anak angkat dan anak asli
b) Memberikan hak-hak kewarisan kepada anak angkat seperti yang
didapatkan oleh Ahl Al-fara’id
c) Memberikan kepada anak angkat hak untuk mendapatkan harta warisan
melebihi sepertiga dari keseluruhan harta warisan pewaris.

17
Yahya Harapan, Kedudukan Janda, Duka dan Anak angkat, hlm. 98-9.

Anda mungkin juga menyukai