Anda di halaman 1dari 108

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebudayaan normatif asli yang dimiliki masyarakat Indonesia sangat mempengaruhi tatanan kehidupan bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya sistem hukum yang berlaku. Hingga sekarang di Indonesia berlaku beberapa sistem hukum. Dilihat dari segi umurnya, maka hukum tertua yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat, menyusul kemudian hukum Islam dan hukum Barat. Ketiga sistem hukum tersebut memiliki ciri dan sistem tersendiri, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, sistem hukum di Indonesia disebut sistem hukum majemuk.1 Inilah yang menyebabkan sistem hukum di Indonesia menjadi lemah. Menurut Daud Ali, hukum Islam di Indonesia secara garis besar dapat dipilah menjadi dua. Pertama, hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis, yaitu hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan benda yang disebut muamalat (perdata). Bagian ini menjadi hukum positif berdasarkan atau ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan, seperti perkawinan, warisan dan wakaf. Kedua, hukum Islam yang bersifat normatif, yang mempunyai sanksi atau padanan kemasyarakatan, bisa berupa ibadah murni atau hukum pidana yang belum

Sofyan Hasan dan Warkum Sumitro, Dasar-dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia, (Surabaya: Usaha Nasional. 1994), Cet. Ke-1, h. 9.

memerlukan peraturan perundangan karena lebih jelas sebagai tergantung kepada tingkatan iman dan takwa serta kesadaran kaum muslimin sendiri.2 Hukum Islam secara formal yuridis pertama kali berlaku sebagai hukum positif yaitu pada tahun 1974 dengan dikeluarkan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.3 Tidak sekedar itu, pada tahun 1977 lahir Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik yang hanya berlaku bagi umat Islam.4 Puncaknya dari keberhasilan umat Islam yaitu dengan diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam sebagai pijakan hukum dengan keluarnya Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 yang merupakan hasil Loka Karya Nasional.5 Kompilasi Hukum Islam merupakan wujud kongkrit dalam rangka

pemberlakukan hukum Islam bagi Umat Islam di Indonesia.6 Dengan kata lain, Kompilasi Hukum Islam secara khusus hanya berlaku bagi rakyat Indonesia yang beragama Islam yang terdiri dari tiga bidang, yakni bidang hukum perkawinan, bidang pewarisan dan bidang perwakafan. Karena Kompilasi Hukum Islam merupakan produk manusia (sekalipun yang menyusunnya adalah para ulama), maka tidak bisa dipungkiri pasal-pasal yang ada di dalamnya masih terdapat banyak kekurangan dan juga tidak menutup kemungkinan
2

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers. 2003), Cet. Ke-6, h. 23 Ibid, h. 24

3 4

Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam & Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers. 2004), Cet. Ke-1, h. 638
5

Suparman Usman, Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002), Cet. Ke-2, h. 148 Ibid, h. 150

terdapat kesalahan. Salah satu yang perlu diperhatikan adalah pasal-pasal yang berkenaan dengan waris, karena permasalahan merupakan syariat yang diperintahkan oleh Allah Taala. Ilmu waris adalah salah satu cabang ilmu dalam dinul Islam yang sangat urgen, karena di dalamnya terkandung begitu banyak masalah yang cukup pelik dan kompleks. Kepelikan dan kekomplekan masalah waris ini tidak hanya terdapat dalam teori-teori ilmu faraidh sebagaimana yang telah dibahas secara eksplisit oleh para ulama fikih klasik maupun kontemporer. Kenyataannya, dalam kehidupan bermasyarakat juga terdapat banyak masalah waris yang kadang-kadang tidak sesuai seperti yang terdapat dalam kitab-kitab fikih, atau sudah ada namun belum dijelaskan secara eksplisit oleh para ulama. Para ulama juga telah menyepakati hal ini, mengingat harta dan pembagiannya merupakan obyek yang sangat diminati manusia. Biasanya harta warisan diperuntukkan bagi orang-orang yang lemah dan tidak memiliki kekuatan. Maka Allah Taala perlu mengatur sendiri pembagiannya di dalam kitab-Nya dengan penjelasan yang detail dan terperinci, agar tidak menjadi ajang perdebatan berdasarkan hawa nafsu. Membaginya di antara para ahli waris sesuai dengan tuntunan keadilan, kemaslahatan dan manfaat yang diketahuinya.7 Allah Taala mengisyaratkan hal ini dalam al-Quran surah an-Nisa ayat 11:


Abdullah Ali Bassam, Taisiirul al-Allam Syarh Umdatul Ahkam, Terj: Kathur Suhardi, Syarah Hadits Pilihan Bukhori-Muslim, (Jakarta: Darul Falah. 2003), Jilid III, Cet. Ke-2, h. 725.
7

Di dalam Kompilasi Hukum Islam pembahasan tentang waris terdapat pada buku II bab I pasal 171 sampai dengan bab VI pasal 214, atau dengan kata lain terdapat 43 pasal yang membahas tentang kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam. 8 Hukum kewarisan sebagaimana diatur oleh Kompilasi Hukum Islam pada dasarnya merupakan hukum kewarisan yang diangkat dari pendapat jumhur fukaha (termasuk Syafiiyyah di dalamnya). Namun dalam beberapa hal terdapat pengecualian. 9 Dari beberapa ketentuan waris yang merupakan pengecualian antara lain yang berkaitan tentang bagian waris ayah pada pasal 177 Kompilasi Hukum Islam. Pasal tersebut menjelaskan bahwa ayah berhak mendapatkan 1/3 (sepertiga) dari harta waris jika pewaris tidak memiliki anak. Bunyi pasal 177 Kompilasi Hukum Islam yang terdapat di dalam buku II pada bab III Kompilasi Hukum Islam tertulis sebagai berikut: ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak. Bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.10 Ayah yang menerima bagian seperenam dalam keadaan pewaris ada meninggalkan anak, jelas telah sesuai dengan al-Quran maupun rumusannya dalam fikih sebagaimana yang telah disepakati oleh jumhur ulama. Sedangkan jika tidak ada

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Akademika Pressindo. 2004), Cet. Ke-4.

h. 155. Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002), Cet. Ke-2, h. 196
1 10 9

Ibid, h. 157.

faru al-warits, maka ayah mendapatkan ashabah (sisa).11 Sebagaimana Firman Allah Taala dalam surat an-Nisa ayat 11:


Namun jika menetapkan ayah menerima sepertiga dalam keadaan tidak ada anak, maka yang demikian itu tidak terdapat dalam al-Quran, dan tidak pula tersebut dalam kitab fikih manapun.12 Ayah kemungkinan mendapatkan 1/3, tetapi kedudukan ayah bukan sebagai salah satu dari ash-habul furud. Itupun dalam kasus tertentu

11

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris, h. 197 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana. 2008), Cet. Ke-3, h. 329

12

seperti bersama ibu dan suami, dengan catatan ibu menerima 1/3 harta sebagaimana yang lazim berlaku dalam mazhab jumhur Ahlusunnah.13 Dari keterangan di atas, terlihat jelas bahwa pembahasan tentang bagian waris ayah yang tidak mempunyai faru al-warits dalam Kompilasi Hukum Islam sangatlah berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah Taala dalam kitab-Nya, padahal Kompilasi Hukum Islam merupakan hukum positif yang penyusunannya berdasarkan kitab-kitab fikih para ulama dan telah menjadi rujukan para hakim dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Ini tentu bertolak belakang dengan keinginan seluruh rakyat Indonesia yang mengharapkan adanya persamaan dalam penerapan hukum. Terkait penjelasan di atas, penulis melihat bahwa masalah ini menarik untuk dikaji lebih lanjut dan mendalam. Melakukan pembahasan yang intens terhadap bunyi Kompilasi Hukum Islam pada pasal 177. Berdasarkan pemaparan di atas, maka judul yang penulis angkat adalah HAK WARIS AYAH MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (Studi Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam) Alasan memilih permasalahan ini karena penulis melihat adanya kesenjangan antara pendapat Kompilasi Hukum Islam dengan pendapat jumhur ulama terkait masalah kewarisan ayah. B. Rumusan Masalah

1 13

Ibid

Permasalahan merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaanpertanyaan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya. 14 Dan sesuai dengan pemaparan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahan dalam skripsi ini sebagai berikut:

1. Bagaimana ketentuan Kompilasi Hukum Islam tentang bagian waris ayah ? 2. Bagaimana tinjauan kewarisan terhadap ketentuan Kompilasi Hukum Islam

tentang bagian waris ayah ? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah:
1.

Untuk mengetahui ketentuan Kompilasi Hukum Islam tentang bagian

waris ayah.
2.

Untuk mengetahui tinjauan kewarisan terhadap ketentuan Kompilasi

Hukum Islam tentang bagian waris ayah. D. Signifikansi Penelitian Dari hasil penelitian ini, penulis berharap karya ini memiliki manfaat sebagai berikut:

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu (Sebuah Pengantar Populer), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1993), Cet. Ke-7, h. 312.

14

1.

Sebagai bahan informasi bagi pembaca yang ingin mengetahui tentang

pendapat Kompilasi Hukum Islam tentang bagian waris ayah. 2. Sebagai rujukan bagi yang berkeinginan melakukan penelitian lebih

lanjut terhadap permasalahan ini dengan tema yang sama dari sudut pandang yang berbeda.
3.

Sumbangsih bagi khazanah keilmuan Islam, terutama dibidang hukum

Islam bagi mahasiswa/i STIS Hidayatullah khususnya dan masyarakat pada umumnya. 4. Sebagai tambahan kelengkapan referensi kepustakaan bagi

perpustakaan STIS Hidayatullah. E. Definisi Operasional Agar tidak terjadi interpretasi dalam penafsiran, maka dari judul skripsi yang penulis angkat yaitu Hak Waris Ayah Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam) dapat diurai kata dan artinya sebagai berikut:
1.

Hak Waris Ayah

Hak

mempunyai

beberapa

makna, yakni benar, bagian, milik, kepunyaan, kewenangan.15 Jadi, maksud penulis dalam pembahasan ini adalah kewenangan warisan ayah dari pewaris.

15

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa. 2008),

h. 502

2.

Kompilasi Hukum Islam

: Kompilasi Hukum Islam adalah salah

satu kitab hukum yang menjadi landasan Negara Indonesia sebagaimana yang tercantum pada Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991.16 Jadi yang penulis maksudkan di sini adalah bagian waris 1/3 ayah jika tidak bersamanya anak seperti yang tertuang di dalam ketentuan pasal 177 Kompilasi Hukum Islam. F. Kajian Pustaka Dalam penyusunan skripsi ini, pendekatan yang digunakan lebih cenderung kepada segala sesuatu yang bersifat kepustakaan (library research). Dengan

demikian, secara tidak langsung penulis dituntut untuk menelaah secara intens berbagai bentuk bahan tulisan, seperti buku, majalah, jurnal, artikel dan lain-lain yang temanya seputar dengan tema yang sedang dikaji. Tema umum dalam penelitian ini adalah hukum waris. Oleh karena pembahasan tentang hukum waris, terkhususnya di Negara Indonesia ini sangat luas dan kompleks, maka penulis lebih mengkerucutkan lagi (focus research) obyek kajian penulis pada permasalahan tertentu, sehingga lebih efektif dan terarah dalam penulisannya. Akhirnya penulis menetapkan permasalahan ketentuan warisan bagi ayah yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam, terutama tentang kewarisan ayah seperti yang tertuang pada pasal 177 Kompilasi Hukum Islam. Masalah ini akan menjadi tema khusus dalam penelitian ini. Sehingga judul yang penulis angkat dalam
1 16

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam,,h. 15.

10

penelitian ini adalah Hak Waris Ayah Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam). Sejauh yang penulis temukan, ada sebuah buku dengan judul Fiqih Mawaris yang ditulis bersama oleh dua pakar hukum dari IAIN Sunan Gunung Jati serang, yakni Suparman Usman dan Yusuf Somawinata. Dalam buku tersebut tertulis bahwa : Hukum kewarisan sebagaimana diatur oleh Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pada dasarnya merupakan hukum kewarisan yang diangkat dari pendapat jumhur fuqaha. Namun dalam beberapa hal terdapat pengecualian, salah satunya terkait bagian waris ayah pada pasal 177 Kompilasi Hukum Islam. Bagian ayah menurut jumhur adalah 1/6 bagian bila pewaris meninggalkan farul al-waris, dan menerima ashabah apabila pewaris tidak meninggalkan farul al-waris. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, bagian ayah apabila pewaris tidak meninggalkan farul al-waris adalah 1/3 bagian.17 Selain itu, penulis juga menemukan sebuah skripsi yang ditulis oleh Yusron Hamdi, mahasiswa fakultas syariah Universitas Islam Negeri Malik Ibrahim Malang dengan judul Bagian Waris Sepertiga Bagi Ayah (Studi Analisis Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam). Dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa kandungan pasal 177 Kompilasi Hukum Islam sama seperti yang ada di dalam nash al-Quran dan fiqih mawaris. Akan tetapi perbedaan kandungan dalam pasal tersebut ketika mayit meninggalkan ayah, suami dan ibu. Dalam hal ini fiqih mawaris mengikuti ijtihad Umar bin Khattab yang mana ayah mendapatkan ashabah, suami mendapatkan 1/3
17

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris, h. 196-197

11

bagian sedangkan ibu mendapat 1/3 sisa (setelah diambilnya bagian suami), permasalahan ini disebut dengan gharrawain. Akan tetapi, Kompilasi Hukum Islam memiliki ijtihad yang lain dengan menetapkan bahwa ayah mendapat 1/3 bagian dengan pertimbangan kemaslahatan berdasarkan asas tanggung jawab yang adil dan berimbang, yang mana ayah memiliki tanggung jawab yang besar daripada ibu, sehingga memberikan kepastian atas bagian ayah.18 Perlu penulis tegaskan, bahwa meskipun objek yang diangkat penulis sama dengan skripsi di atas, yakni tentang hak waris ayah dalam Kompilasi Hukum Islam. Namun ada perbedaan yang sangat signifikan antara skripsi yang penulis susun dengan skripsi Yusron Hamdi, yakni terkait sudut pandang terhadap interpretasi kandungan pasal 177 Kompilasi Hukum Islam. Dalam hal ini, skripsi Yusron tersebut berusaha mendukung kepastian hukum terkait penetapan 1/3 bagian ayah apabila tidak bersama farul al-waris, sedangkan hasil yang ingin penulis angkat dalam skripsi ini, yakni mengkritisi penetapan 1/3 bagian ayah sebagai sebuah kepastian hukum. Penulis menyatakan bahwa sejauh ini di perpustakaan STIS Hidayatullah telah ada beberapa skripsi yang membahas waris dan Kompilasi Hukum Islam. Namun penelitian-penelitian mengenai waris dan Kompilasi Hukum Islam yang sudah ada hanya terbatas pada satu bagian pembahasan dalam masalah waris ataupun Kompilasi HukumIslam, sebagaimana uraian berikut ini:
1 18

Yusron Hamdi, Bagian Waris Sepertiga Bagi Ayah (Studi Analisis Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam), Skripsi, (Malang: UIN Malik Ibrahim, 2011)

12

1.

Skripsi Halimatussadiah dengan judul Praktik Pembagian Waris di

Kelurahan Teritip-Balikpapan Timur. Dalam penelitian tersebut, peneliti menggunakan penelitian lapangan dengan terjun langsung ke masyarakat untuk melihat realita praktik pembagian warisan menurut hukum waris Islam.
2.

Skripsi Binti Musfiroh dengan judul Zina Waris Menurut Mazhab

Hanafi dan Maliki. Dalam tulisannya, peneliti lebih cenderung meneliti satu bagian dari kewarisan yaitu tentang status waris anak zina. Sumber atau data primer dari penelitian ini adalah kitab karangan Ulama Hanafiyyah dan kitab karangan Ulama Malikiyyah.
3.

Skripsi Fajriyah dengan judul Waris Bagi Pembunuh Menurut

Hukum Imam Syafii. Sumber atau data primer dari penelitian ini adalah kitab al-Umm jilid VII.
4.

Skripsi Nur Inayah dengan judul Analisis Terhadap Pasal 49 Ayat

(1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Wewenang Pengadilan Agama Dalam Pelaksanaan Hukum Waris Islam. Dalam penelitian ini, yang menjadi data primer peneliti adalah Pasal 49 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, tepatnya yang terdapat pada poin Nomor 2 alinea ke-6. Berdasarkan hasil penelusuran tersebut, peneliti belum menemukan satupun karya skripsi yang mengangkat tema tentang bagian waris ayah dalam sudut pandang Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku bagi warga

13

Negara yang beragama Islam. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan sebagai pengisi kekosongan tersebut. G. Metode Penelitian
1.

Jenis dan Sifat Penelitian a. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian kepustakaan

(library research) dengan mempelajari dan menelaah bahan-bahan yang tertulis, seperti: buku, majalah, jurnal, dan sumber data lain yang ada kaitannya dengan skripsi yang penulis angkat.

b. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik, maksudnya penulis tidak hanya menyusun dan mengumpulkan data saja, tetapi juga menganalisa serta menginterpretasi terhadap data tersebut. 2. Data dan Sumber Data a. Data Yang menjadi data dalam penelitian ini adalah bunyi pasal 177 KHI tentang bagian waris ayah.
b. Sumber Data

1)

Data Primer

14

Data primer yang menjadi rujukan utama yaitu pasal 177 Kompilasi Hukum Islam 2) Data sekunder Adapun data sekunder yang menjadi bahan acuan penulis adalah karya-karya yang terkait dengan obyek pembahasan serta yang mendukung sumber data primer, baik dari buku, majalah, jurnal, artikel, skripsi, internet dan lain-lain yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya. 3) Data Tertier Adapun data tertier yang penulis gunakan yaitu berupa kamus dan ensiklopedi.
3.

Metode Analisis Data


1)

Content analisis, yaitu menganalisis data dalam upaya yang

relevan sebagai dasar bagi penulis untuk mengkaji teori dan mencari hubungan fungsional dengan tema penelitian.
2)

Studi analisis, yaitu upaya menganalisis lebih mendalam pasal

177 Kompilasi Hukum Islam terkait persoalan bagian waris 1/3 ayah dengan menggunakan data kualitatif, yakni data yang tidak bisa diukur secara langsung.19 H. Sistematika Penulisan
19

Cf. Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya. 2001),

h. 67

15

Sistematika dalam penulisan skripsi ini penulis kemukakan sebagai upaya menjawab rumusan masalah yang telah penulis paparkan di atas. Skripsi ini akan dibagi menjadi tiga bagian yaitu pendahuluan, isi dan penutup yang kemudian akan disusun menjadi beberapa bab yang masing-masing terbagi dalam beberapa sub-bab. BAB I, yang berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, definisi operasional, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penelitian. BAB II, merupakan landasan teori yang meliputi definisi waris, Sejarah waris, Asas-asas Kewarisan, Syarat dan Rukun Waris, , Sebab dan Penghalang Waris, Ahli Waris, dan bagian waris ayah menurut ulama. BAB III, disini akan menjelaskan secara rinci tentang Sejarah Pembentukan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Landasan dan Kedudukan Kompilasi Hukum Islam, Tim Penyusun Kompilasi Hukum Islam, Isi dari Kompilasi Hukum Islam, dan Ketentuan Waris Ayah Dalam Kompilasi Hukum Islam BAB IV, berisi analisa penulis sebagai peneliti terhadap pandangan Kompilasi Hukum Islam berkaitan dengan bagian waris ayah yang kemudian disesuaikan kebenarannya berdasarkan tinjauan hukum Islam. BAB V, adalah bagian penutup yang meliputi kesimpulan dan saran.

16

BAB II LANDASAN TEORI KETENTUAN WARIS A. WARIS 1. Definisi Waris a. Menurut Hukum Islam Waris berasal dari bahasa Arab, yakni warasa yang memiliki arti: mengganti, memberi, dan mewarisi.20 Sedangkan warisan yaitu harta peninggalan yang terdiri atas barang-barang berwujud atau tidak berwujud, bernilai atau tidak bernilai, dan ada pada saat seseorang meninggal dunia.21
20 21

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, , h. 355

17

Lafaz mawarits ( )yang merupakan jamak dari lafaz mirats ( )yang merupakan mashdar dari kata waratsa-yaritsu-miiratsan. Maknanya menurut bahasa adalah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain.22 Maksudnya adalah harta peninggalan yang ditinggalkan oleh si mati dan diwarisi oleh yang lainnya (ahli waris).23 Sedangkan pengertian mawarits menurut istilah ialah seseorang yang mempunyai hak tertentu setelah pemilik harta meninggal dunia dengan sebabsebab tertentu dan dengan syarat tertentu.24 Muhammad Ali ash-Shabuni mengatakan bahwa mawarits adalah: Pindahnya hak milik orang yang meninggal dunia kepada para ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalnya itu berupa harta bergerak dan tidak bergerak atau hak-hak menurut hukum syara .25 Dengan demikian lafaz mawarits tidaklah terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan harta benda semata, tetapi juga mencakup yang selainnya. Ayat-ayat al-Quran banyak menegaskan hal ini, di antaranya Allah Taala berfirman dalam pada QS. An-Naml ayat 16: b

Ensiklopedi Nasional Indonesia, (Jakarta: Cipta Adi Pustaka. 1991), Jilid 17, Cet. Ke-1, h. 249
2 22

Muhammad Ali Ash-Shabuni, al-Mawarits fi asy-Syariatil Islamiyah ala Dhauil Kitab Was Sunnah, Terj: A. M. Basalamah, Panduan Waris Menurut Islam, (Jakarta:Gema Insani Press. 2007), Cet. Ke-10, h. 33.
2 23

Hasanain Muhammad Makhluf, Al-Mawarits fi al-Syariat al-Islamiyyah, (Kairo: Lajnah alBayyan al-Araby. 1958), h. 9. 24 Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Ahkam al-Mawarits Fi Asy-Syariah Al-Islamiyah ala Madzahib Al-Arbaah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2006), Cet. Ke-1, h. 126.
2 25

Muhammad Ali Ash-Shabuni, Al-Mawarits fi Asy-Syariatil , h. 41

18


Hal ini juga kita dapati dalam hadits Nabi Muhammad SAW:
26

Ilmu mawarits sering disebut juga ilmu faraidh, yang secara bahasa berarti pemahaman ketentuan,27 yaitu ilmu mengenai pembagian waris secara dan penghitungan.28 Kamil Muhammad Uwaidah

mendefinisikan faraidh sebagai bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris.29 Selain itu dinamai faraidh karena di dalam ketentuan kewarisan Islam yang terdapat dalam al-Quran lebih banyak yang telah ditentukan bagiannya dibandingkan dengan yang tidak ditentukan bagiannya.30 Ilmu faraidh mencakup tiga unsur penting,31 yaitu: 1) 2)
2 26

Pengetahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris. Pengetahuan tentang bagian ahli waris.

Ibid, h. 33.
2 27

Abu Malik K amal, Shahih Fiqih as-sunnah, Terj, Abu Ihsan al-Atsari dan Amir Hamzah Fachiruddin, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka at- Tazkia. 2009), Jilid 4, 28 Muhammad al-Utsaimin, Fiqh al-Marah al-Muslimah, Terj: Faisal Saleh dan Yusuf Hamdani, Shahih Fiqih Wanita, (Jakarta: Akbar Media. 2009), Cet. Ke -2, h. 482.Cet. Ke-2, h. 581 Kamil Muhammad Uwaidah, Al-Jami fi Fiqhi An-Nisa, Terj: Abdul Ghoffar, Fikih Wanita, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 2005), Cet. Ke-17, h. 503
3 30 29

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam... h. 5.


3 31

Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul Mawarits fi Fiqhil-Islami, Terj: Addys Aldizar dan Fathurrahman, Hukum Waris Terlengkap, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing. 2011), Cet. Ke-3, h. 13.

19

3)

Pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat berhubungan

dengan pembagian harta warisan. b. Menurut Hukum Adat Hukum waris menurut hukum adat adalah segala sesuatu yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, harta warisan, pewaris dan waris serta bagaimana cara harta warisan itu dialihkan penguasaan dan kepemilikannya dari pewaris kepada ahli waris.32 Menurut Soepomo hukum waris adat adalah segala sesuatu yang memuat peraturanperaturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barangbarang harta benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya. 33 Sedangkan menurut Ter Haar,34 hukum waris adat adalah meliputi aturanaturan hukum yang bertalian dengan proses penerusan dan pengoperan kekayaan yang berwujud material dan immaterial dari suatu generasi kepada generasi lainnya. 2. Sejarah Waris a. Waris Sebelum Islam Pada zaman Jahiliyah orang-orang Arab merupakan bangsa yang gemar mengembara dan berperang. Kehidupan mereka bergantung dari hasil
32 3 33

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti. 1990), h. 7

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Kewarisan Menurut Hukum Adat dan Hukum Islam, (Yogyakarta: Bagian Penerbitan Fak. Hukum UII, 1967), h. 2
3 34

Tokoh Belanda yang pernah tinggal di Indonesia dan ekaligus sebagai pakar dalam hukum yang ikut mendukung teori resepsi dalam Islam yang diciptakan oleg Christiaan Snouck Hurgronje.

20

perniagaan rempah-rempah serta hasil jarahan dan rampasan perang dari bangsa-bangsa yang mereka taklukkan. Mereka beranggapan bahwa kaum lelaki yang sudah dewasa saja yang mampu dan memiliki kekuatan dan kekuasaan dalam memelihara harta kekayaan mereka. Anggapan semacam di atas berlaku pula dalam hal pembagian harta warisan. Itulah sebabnya mereka saat itu memberikan harta warisan kepada kaum laki-laki dan tidak kepada perempuan, kepada orang-orang yang sudah dewasa dan bukan kepada anakanak, kepada orang-orang yang mempunyai perjanjian prasetia serta kepada orang-orang yang diadopsi.35 Menurut mereka, anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan termasuk keluarga yang belum atau tidak pantas menjadi ahli waris. Bahkan sebagian mereka beranggapan bahwa janda perempuan dari orang yang meninggal termasuk wujud harta warisan yang dapat diwariskan kepada dan diwarisi oleh para ahli waris suaminya.36 Dari uraian di atas, dapatlah dipahami bahwa dasar-dasar pewarisan pada zaman Jahiliyah adalah sebagai berikut:37
1)

Al-Qarabah atau pertalian kerabat

Pertalian kerabat di sini tidak berlaku mutlak seperti ketika Islam telah diturunkan. Hanya ahli waris laki-laki yang dewasa saja yang diberi hak menerima warisan. Karena merekalah yang secara fisik mampu
35 3 36

Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Semarang: Toha Putra. 1972), t.t, h. 424

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris, h. 3


3 37

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, h. 362

21

memainkan senjata menghancurkan musuh. Adapun mereka yang mendapatkan hak mewarisi adalah: anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan anak laki-laki paman.
2)

Al-Hilf wa al-Muaqadah atau janji setia

Janji setia ditempuh dengan melakukan perjanjian kerja sama antara dua orang atau lebih. Seseorang menyatakan dengan sungguh-sungguh kepada orang lain untuk saling mewarisi apabila salah satu pihak meninggal. Rumusan kalimat perjanjiannya adalah sebagai berikut: Darahku adalah darahmu, pertumpahan darahku adalaha pertumpahan darahmu, perjuanganmu adalah perjuanganku, perangku adalah perangmu, damaiku damaimu, kamu mewarisi hartaku aku mewarisi hartamu, kamu dituntut darahmu karena aku dan aku dituntut darahku karena kamu, dan diwajibkan membayar denda sebagai penganti nyawaku dan akupun diwajibkan membayar denda sebagai pengganti nyamamu.38
3)

Al-Tabanni atau pengangkatan anak

Kehadiran anak angkat dimasukkan sebagai keluarga besar bapak angkatnya, yang status hukumnya sama dengan anak kandung. Praktis, hubungan dengan ayah kandungnya terputus. Dan apabila salah satu dari

38

Fathur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: al-Maarif. 1981), t.t, h. 14

22

keduanya meninggal dunia maka yang lain tidak dapat mewarisi harta peninggalannya. b. Waris Masa Awal Islam Dalam hukum kewarisan Islam, kaum kerabat yang berhak menerima harta warisan tidak terbatas kepada kaum laki-laki yang sudah dewasa saja, melainkan juga kepada anak-anak dan perempuan. Dan dalam pewarisan Islam tidak dikenal adanya perjanjian prasetia dan pengangkatan anak (adopsi).39 Pembatalan dan penghapusan sebab-sebab pewarisan yang berdasarkan janji prasetia dan pengangkatan anak (adopsi) di atas bukan berarti Islam melarang umatnya untuk menjadikan seseorang sebagai anak angkat atau teman perjanjian. Namun hendaklah diingat bahwa anak angkat dan perjanjian dalam hukum Islam bukanlah ahli waris. Pemberian harta kepada anak angkat atau perjanjian dapat dilakukan melalui hibah atau wasiat.40
3. Asas-asas Kewarisan

Hukum waris Islam sebagai hukum yang bersumber dari wahyu Ilahi yang disampaikan dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW melalui Sunnah-nya, di dalamnya terkandung beberapa asas. Asas-asas tersebut adalah sebagi berikut: a. Asas Ijrabi

39 4 40

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris, h. 8

Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika. 1993), t.t, h. 170-171

23

Asas ijrabi yang terkandung dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah Taala tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya. Unsur ijrabi (memaksa=compulasary) itu terlihat terutama dari kewajiban ahli waris untuk menerima perpindahan harta peninggalan pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yag telah ditentukan oleh Allah Taala di luar kehendaknya sendiri. Oleh karena itu, calon pewaris tidak perlu merencanakan penggunaan hartanya setelah dia meninggal dunia kelak, karena dengan kematiannya, secara otomatis hartanya akan beralih kepada ahli warisnya dengan perolehan yang sudah dipastikan.

b. Asas Bilateral Asas ini mengandung pengertian bahwa seseorang menerima hak atau bagian warisan dari kedua belah pihak, yaitu kerabat dari keturunan laki-laki dan kerabat dari keturunan perempuan. Ahli waris kerabat lain yang tidak disebut secara nyata dalam al-Quran dapat diketahui dari penjelasan yang diberikan oleh Rasulullah SAW. juga dapat diketahui dari perluasan pengertian ahli waris yang disebutkan dalam al-Quran, misalnya kewarisan kakek dapat diketahui dari kata abun dalam al-Quran, yang dalam bahasa

24

Arab artinya kakek secara umum. Demikian juga dengan nenek, dapat dikembangkan dari perkataan ummun yang terdapat dalam al-Quran. c. Asas Individual Asas ini dimaksudkan bahwa dalam hukum kewarisan Islam, harta warisan dapat dibagikan kepada ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan. Untuk itu dalam pelaksanaannya, seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing. Dalam hal ini, setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahli waris yang lain, karena bagian masing-masing sudah ditentukan.

d. Asas Keadilan Berimbang Asas ini mengandung arti bahwa di dalam hukum kewarisan Islam harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh dengan kewajiban yang harus ditunaikan. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat hak yang sama sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Dalam sistem kewarisan Islam harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris pada hakekatnya adalah pelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya.

25

Oleh karena itu bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing-masing terhadap keluarganya. Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab kehidupan keluarganya, oleh karena itu bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. e. Asas Akibat Kematian Menurut hukum kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dan disebut sebagai harta warisan selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik secara langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya, tidak termasuk dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam. Ini berarti bahwa hukum kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan saja, yaitu kewarisan sebagai akibat dari kematian seseorang.41 f. Asas Personalitas Keislaman Asas ini mengandung pengertian bahwa peralihan harta warisan hanya terjadi apabila antara pewaris dan ahli waris sama-sama beragama Islam.42 4. Rukun dan Syarat Waris a. Rukun Waris
41 4 42

Amir Syarifuddin, Hukum Waris Islam , h. 45

Idris Jakfar dan Taufik Yahya, Hukum Kewarisan Nasional, (Jakarta: Tinta Mas. 1995), h. 28-29.

26

Rukun waris-mewarisi ada 3 (tiga), yaitu sebagai berikut:43 1) Pewaris, yaitu orang yang meninggal dunia, baik yang hakiki

maupun hukum yang oleh hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Bagi pewaris berlaku ketentuan bahwa harta yang ditinggalkan merupakan miliknya dengan sempurna, dan ia benar-benar telah meninggal dunia, baik mati hakiki maupun mati hukmy yaitu suatu kematian yang dinyatakan atas keputusan hakim atas dasar beberapa sebab, kendati sebenarnya ia belum mati, yang meninggalkan harta atau hak.44 2) Ahli Waris, yaitu orang yang dihubungkan kepada si mati dengan salah satu sebab-sebab pewarisan. Pengertian ahli waris disini adalah orang yang mendapat harta waris karena memang haknya dari lingkungan keluarga pewaris. Namun tidak semua keluarga dari pewaris dinamakan ahli waris. Demikian pula orang yang berhak mendapatkan harta waris mungkin saja dia di luar ahli waris.45
3)

Warisan, dinamakan juga denga tirkah atau mirats, yaitu harta

atau hak yang berpindah dari si pewaris kepada ahli waris.

4 43

Sayyid Sabiq, Fiqhul-Sunnah.., h. 426 44 Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika. 2009), h. 2
4 45

Muhammad Ali ash-Shabuni, Hukum Waris, h. 48

27

Dalam berbagai kitab, khususnya kitab mazhab disebutkan yang dimaksud dengan tirkah pada dasarnya secara umum adalah segala apa yang ditinggalkan oleh si mayit berupa harta yang telah bersih dari hak orang lain, dan berupa hak yang bernilai harta.46
b. Syarat-syarat Waris.

Dalam kitab fiqh al-sunnah, Sayyid Sabiq menyebutkan syarat dari warismewarisi adalah sebagai berikut:47 1) Meninggalnya pewaris dengan sebenarnya maupun secara

hukum. Kematian pewaris menurut ulama para fiqih dibedakan menjadi 3 macam,48 yakni:
a) Mati haqiqiy, yaitu hilangnya nyawa seseorang, baik kematian

itu disaksikan dengan pengujian, seperti tatkala seseorang disaksikan meninggal, atau dengan pendeteksian dan pembuktian, yakni kesaksian dua orang yang adil atas kematian seseorang.
b) Mati hukmiy, yaitu suatu kematian disebabkan oleh adanya

vonis hakim, baik pada hakekatnya seseorang benar-benar masih hidup maupun dalam kemungkinan antara hidup dan mati.49
Satria Efendi, Problematika Hukum Keluarga Kontemporer Islam, (Jakarta: Kencana. 2004), Cet. Ke-1, h. 238
4 47 46

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h. 426-427


4 48

Dian Khoirul Umam, Fiqih Mawaris, h. 45


4 49

Komite Fakultas Syariah Universitas al-Azhar, Ahkamul Mawarits, h. 61

28

c) Mati taqdiriy, yaitu suatu kematian yang bukan haqiqiy dan

bukan hukmy, tetapi semata-mata hanya berdasarkan dugaan keras.


2)

Hidupnya ahli waris setelah kematian pewaris, walaupun

secara hukum seperti anak dalam kandungan. Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai harta peninggalan, sedang perpindahan hak itu hanya didapat melalui jalan waris. Oleh karena itu, setelah pewaris meninggal dunia, maka ahli warisnya harus betul-betul hidup, agar pemindahan harta itu menjadi nyata. Orang yag telah meninggal dunia tidak mempunyai hak lagi dalam memiliki harta, baik dengan cara waris ataupun lainnya, bahkan ia sudah tidak memerlukannya lagi.50 3) Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-

penghalang pewarisan. Dengan ketiga syarat ini, diharapkan para ahli waris berupaya untuk tidak melakukan hal-hal yang sekiranya dapat menolaknya untuk menerima harta peninggalan si pewaris.
5.

Sebab-sebab dan Penghalang Waris a. Sebab-Sebab Waris Pewarisan merupakan pengalihan hak dan kewajiban dari orang yang telah

meninggal dunia kepada ahli warisnya dalam memiliki dan memanfaatkan harta peninggalan. Pewarisan tersebut baru terjadi manakala ada sebab-sebab
50

Muhammad Ali ash-Shabuni, Hukum Waris..., h. 49

29

yang mengikat pewaris dengan ahli warisnya. Adapun sebab-sebab tersebut adalah: 1). Pernikahan (al-Zaujiyyah), 2). Kekerabatan (al-Qarabhah) dan 3) wala.51
1)

Pernikahan (al-Zaujiyyah)

Hubungan pernikahan terjadi setelah dilakukannya akad nikah yang sah dan terjadi antara suami istri sekalipun hubungan intim dan khulwah (berkumpul bersama) belum dilakukan. Dalil yang menyebutkan adanya ikatan pernikahan sebagai salah satu sebab terjadinya waris mewarisi adalah firman Allah taala dalam surah an-Nisa ayat 12:

Adapun pernikahan yang fasid dan bathil (rusak), maka di antara


mereka tidak ada hubungan waris-mewarisi

51

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris, , h. 28

30

2)

Kekerabatan (al-Qarabah)

Salah satu sebab beralihnya harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup adalah hubungan kekerabatan antara keduanya, yaitu hubungan nasab yang disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan merupakan sebab adanya mewarisi yang paling kuat karena kekerabatan merupakan unsur kualitas adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan begitu saja.52Allah Taala berfirman dalam surah al-Anfal ayat 75:


3) Wala Wala yaitu kekerabatan secara hukum yang ditetapkan oleh syari antara orang yang memerdekakan budak dengan budaknya disebabka adanya pembebasan budak. Atau antara seseorang dengan seorang lainnya disebabkan adanya akad muwalah atau muhalafah.53 Wala ini memberikan hak ashabah yang mengukuhkan orang yang memerdekakan

52 5 53

Ibid, h. 118

Suparman Usman dan Yususf Somawinata, Fiqh Mawaris, h. 29

31

budak dan ahli waris ashabah-nya karena diri mereka sendiri, baik kemerdekaan diberikan karena suka rela, karena hukum wajib, zakat ataupun kafarat berdasarkan keumuman sabda Nabi SAW:54
55

:
b. Penghalang-Penghalang Waris Yang dimaksud dengan penghalang-penghalang waris adalah hal-hal, keadaan atau pekerjaan yang menyebabkan seseorang yang seharusnya mendapat warisan tidak mendapatkannya.56 Adapun penghalang-penghalang saling mewarisi adalah sebagai berikut: 1) Pembunuhan

Para ahli hukum Islam sepakat bahwa tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya, pada prinsipnya menjadi penghalang baginya untuk mewarisi harta warisan pewaris yang dibunuhnya.57 Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a.:

5 54

Muhammad al-Utsaimin, Shahih Fiqih Wanita, h. 487 55 Bukhari, al-Jami ash-Shahih al-Bukhari, Bab al-Wala-u liman Ataqa wa Mirats al-Laqith (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabiy), t.t
5 56

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris, h. 32


5 57

Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, h. 76

32

- - 58 :

2)

Berlainan Agama

Para ahli waris telah bersepakat bahwasanya berlainan agama antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan merupakan salah satu penghalang dari beberapa penghalang mewarisi. Berlainan agama terjadi antara Islam dengan yang selainnya atau terjadi antara satu agama dengan syariat yang berbeda.59 Dasar hukum berlainan agama sebagai penghalang waris adalah hadis dari Usamah bin Zaid ra. Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
60

} }
Budak

3)

Budak menjadi penghalang mewarisi karena status dirinya yang dipandang sebagai tidak cakap melakukan perbuatan hukum, demikian kesepakatan mayoritas ulama.61 Status seorang budak tidak dapat menjadi
5 58

Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Kewarisan dalam Syariat Islam, h. 54 59 Komite Fakultas Syariah Universitas al-Azhar, Ahkamul Mawarits, h. 47
6 60

Muslim bin al-Hajjajj Abu al-Husain al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, Kitab Faraidh, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabiy), t.t
61

33

ahli waris karena dipandang tidak cakap mengurusi harta dan telah putus hubungan kekeluargaan dengan kerabatnya. Bahkan ada yang memandang budak itu statusnya sebagai harta milik tuannya. Dia tidak dapat mewariskan harta peninggalannya, sebab dia sendiri dan segala harta yang ada pada dirinya adalah milik tuannya.62 Oleh karena itu budak tidak mewarisi dan tidak diwarisi, baik itu budak sempurna atau orang yang diperbudak sebagian seperti budak mukatab (budak yang dalam proses kemerdekaan dirinya dengan membayar sejumlah uang kepada pemiliknya), atau ibu dari anak majikan (karena majikan menggauli budak wanita tersebut hingga melahirkan anak), karena mereka semua dalam cakupan perbudakan. Sebagian ulama mengecualikan orang yang diperbudak sebagian bahwa ia bisa mewarisi sesuai dengan kemerdekaan yang dimilikinya, berdasarkan hadits dari Abdullah bin Abbas ra. Bahwa Rasulullah SAW. bersabda tentang budak yang dimerdekakan sebagian:
63

B. AHLI WARIS 1. Definisi Ahli Waris


D

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 405-406 62 A. Hasan, Al-Faraidh, h, 43


6 63

Muslim bin al-Hajjajj Abu al-Husain al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, Kitab Faraidh, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabiy)

34

Ahli waris adalah orang yang mendapat harta waris, karena memang haknya dari lingkungan keluarga pewaris. Namun tidak semua keluarga pewaris termasuk ahli waris. Demikian pula orang yang berhak mendapat harta waris mungkin saja di luar ahli waris.64 Orang yang berhak menerima warisan adalah orang yang mempunyai hubungan kekerabatan atau hubungan perkawinan dengan pewaris yang meninggal. Di samping adanya hubungan kekerabatan dan perkawinan itu, mereka baru berhak menerima warisan secara hukum dengan terpenuhinya persyaratan sebagai berikut: a. Ahli waris itu telah atau masih hidup pada waktu meninggalnya pewaris. b. Tidak ada hal-hal yang menghalanginya secara hukum untuk menerima warisan.
c. Tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih

dekat.65 2. Kewajiban Ahli Waris terhadap Harta Peninggalan

Apabila seseorang meninggal dunia, harta benda peninggalannya tidak boleh langsung dibagikan kepada ahli warisnya. Jika ada hal-hal yang bersangkut paut dengan warisan, maka hal itu harus segera diselesaikan lebih dahulu. Adapun halhal yang bersangkut paut dengan warisan yang harus diselesaikan lebih dahulu adalah:
64 6 65

Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam, h. 61

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h. 211

35

a. Tahjiz atau biaya penyelenggaraan jenazah, yaitu segala yang

diperlukan seseorang yang meninggal dunia mulai dari wafatnya sampai kepada penguburannya. Di antara kebutuhan tersebut antara lain biaya memandikan, mangkafankan, menguburkan, dan segala yang diperlukan sampai diletakkannya ke tempat yang terakhir.
b. Hutang-hutang yang berkaitan dengan harta peninggalan. Apabila

pewaris mempunyai hutang, maka hutang itu harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris.66
c. Apabila pewaris telah berwasiat agar sebagian hartanya diberikan

kepada seseorang, maka wasiat itu harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris. Dan banyaknya wasiat tidak boleh melebihi sepertiga tirkah.67
d. Membagi sisa harta peninggalan kepada ahli waris sesuai dengan

petunjuk al-Quran, hadits dan ijma ulama. 3. Golongan Ahli Waris

Ahli waris yang telah disepakati hak warisnya terdiri dari 2 golongan: a. Golongan Laki-laki

66 6 67

Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris, h. 57

Ibid, h. 43

36

Ahli waris dari golongan laki-laki yang telah disepakati ada 15 orang. Para ulama syariat telah bersepakat mengenai pewarisan lima belas golongan lakilaki tersebut.68 Mereka adalah:69

1) 2)

Al-Ibn, yaitu anak laki-laki. Ibnul Ibn, yaitu cucu laki-laki (anak laki-laki bagi anak laki-

laki), dan seterusnya yaitu cucu laki-laki bagi anak laki-laki hingga ke bawah.
3) 4)

Al-Ab, yaitu bapak (ayah). Al-Jadd min Jihati al-Ab, yaitu kakek, bapak bagi bapak

hingga ke atas, yaitu kakek bagi bapak dan kakek bagi kakek, dan seterusnya dari pihak laki-laki.
5) 6) 7) 8)

Al-Akhusy-Syaqiq, yaitu saudara laki-laki seibu sebapak. Al-Akhu li Ab, yaitu saudara laki-laki sebapak, bukan seibu. Al-Akh-li Um, yaitu saudara laki-laki seibu, bukan sebapak. Ibnul Akhisy-Syaqiq, yaitu keponakan laki-laki seibu sebapak,

anak laki-laki bagi saudara laki-laki seibu sebapak.

6 68

Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Ahkam Al-Mawarits fi Asy-Syariah Al-Islamiyah, ,. h. 230.


6 69

A. HAsan, Al-Faraid, h. 22-23

37

9)

Ibnul-Akh-li Ab, yaitu keponakan laki-laki sebapak, anak laki-

laki bagi saudara laki-laki sebapak.


10)

Al-Ammusy-Syaqiq, yaitu paman seibu sebapak, saudara laki-

laki seibu sebapak bagi bapak.


11)

Al-Ammu-li Ab, yaitu paman sebapak, saudara laki-;aki

sebapak bagi bapak.


12)

Ibnul-Ammusy-Syaqiq, yaitu sepupu laki-laki seibu sebapak,

anak laki-laki bagi paman seibu sebapak.


13)

Ibnul-Ammu-li Ab, yaitu sepupu laki-laki sebapak, anak laki-

laki paman sebapak.


14) 15)

Az-Zauj, yaitu suami. Al-Mutiq, yaitu budak laki-laki yang dimerdekakan.

b. Golongan Perempuan Para ulama bersepakat ada sepuluh orang dari golongan perempuan yang bisa mendapatkan warisan.70 Mereka adalah:71
1) Al-Bint, yaitu anak perempuan. 2) Bintul-Ibn, yaitu cucu perempuan, anak perempuan bagi anak laki-laki

atau anak perempuan bagi cucu laki-laki hingga ke bawah.


3) Al-Umm, yaitu ibu (bunda).
70

Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Ahkam al-Mawarits Fi Asy-Syariah Al-Islamiyah,

h. 128
7 71

A. Hasan, Al-Faraid, h. 24

38

4) Al-Jaddah min Jihatil-Umm, yaitu nenek dari pihak ibu, yakni ibu bagi

ibu, ibu bagi nenek dan seterusnya.


5) Al-Jaddah min jihatil-Ab, yaitu nenek dari pihak bapak, yakni ibu bagi

bapak, ibu bagi kakek dan seterusnya.


6) Al-Ukhtusy-Syaqiqah, yaitu saudara perempuan seibu sebapak. 7) Al-Ukhtu-li Ab, yaitu saudara perempuan sebapak. 8) Al-Ukhtu li-Umm, yaitu saudara perempuan seibu. 9) Az-Zaujah, yaitu isteri. 10)

Al-Mutiqah, yaitu budak perempuan yang dimerdekakan.

4.

Ash-habul Furudh

Al-Fardh menurut bahasa ialah ketentuan atau ketetapan.72 Sedangkan menurut istilah adalah bagian yang telah ditentukan secara syari untuk ahli waris tertentu. Bagian tersebut tidak lebih, kecuali dengan jalan radd, dan tidak kurang kecuali dengan jalan aul.73 Di dalam al-Quran pembagian waris secara fardh yang telah ditentukan jumlahnya merujuk pada 6 jenis pembagian, yaitu setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).74 a. Setengah (1/2)

72 7 73

Ibid, h. 33

Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits, h. 106


7 74

Ibid, h. 107

39

Para ahli waris yang menerima bagian setengah (1/2) ada lima orang, yaitu suami, seorang anak perempuan, cucu perempuan dari keturunan anak lakilaki, saudara perempuan sekandung, dan saudara perempuan sebapak.75 1) Suami

Suami berhak mendapat setengah dengan syarat jika tidak bersamasama dengan keturunan si mayit (istri), yaitu anak laki-laki, anak perempuan serta cucu laki-laki dan cucu perempuan dari keturunan lakilaki, serta generasi ke bawahnya. 2) Anak perempuan berhak mendapat setengah jika memenuhi dua

Anak perempuan

syarat. Pertama, tidak bersama dengan anak laki-laki yang menjadi muashib-nya. Kedua, tidak bersama dengan anak perempuan si mayit yang lain. 3) Cucu perempuan dari anak laki-laki.

Cucu perempuan dari anak laki-laki dan generasi di bawahnya- berhak mendapatkan setengah jika memenuhi tiga syarat. Pertama, tidak bersama-sama dengan muashib-nya. Kedua, tidak bersama-sama dengan saudara perempuan lainnya dan anak perempuan pamannya yang

7 75

Ibid, h. 111

40

sederajat. Ketiga, tidak bersama-sama dengan ahli waris keturunan mayit yang derajatnya lebih tinggi. 4) Saudara perempuan kandung

Saudara perempuan kandung berhak mendapatkan setengah bagian jika memenuhi empat syarat. Pertama, tidak bersama-sama dengan saudara laki-laki sekandung (muashibnya). Kedua, tidak bersama-sama dengan saudara perempuan sekandung lainnya. Ketiga, tidak bersamasama dengan ahli waris keturunan mayit, yaitu anak laki-laki, anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan keturunan di bawahnya. Keempat, tidak bersama-sama dengan ahli waris leluhur si mayit dari golongan laki-laki, yaitu ayah dan kakek serta keturunan ke atasnya. 5) Saudara perempuan sebapak

Saudara perempuan sebapak berhak mendapatkan bagian waris jika memenuhi lima syarat. Pertama, tidak bersama-sama dengan saudara lakilakinya yang sebapak. Kedua, tidak bersama-sama dengan saudara perempuan sebapak yang lainnya. Ketiga, tidak bersama-sama dengan ahli waris keturunan mayit (secara mutlak). Keempat, tidak bersama-sama dengan ahli waris leluhur mayit dari golongan laki-laki. Kelima, tidak

41

bersama-sama dengan saudara sekandung, baik laki-laki maupun perempuan. b. Seperempat (1/4) Ahli waris yang mendapatkan seperempat (1/4) hanya dua orang, yaitu suami dan istri.76 1) Suami

Suami mendapatkan bagian seperempat setelah memenuhi satu syarat, yaitu bila suami mewarisi bersama-sama dengan ahli waris keturunan si mayit (istri), yaitu anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari anak laki-laki serta cucu perempuan dari anak laki-laki, baik keturunan itu berasal darinya atau dari suami yang lain.

2)

Istri

Untuk mendapatkan warisan seperempat, istri harus memenuhi satu syarat, yaitu ia mewarisi harta peninggalan tidak bersama-sama dengan ahli waris keturunan si mayit (suami). c. Seperdelapan (1/8) Ahli waris yang mendapatkan bagian seperdelapan (1/8) hanya satu orang, yakni istri. Untuk mendapatkan seperdelapan, istri harus memenuhi

76

Ibid, h. 121

42

satu syarat, yakni ia harus mewarisi bersama-sama dengan ahli waris keturunan si mayit, baik yang berasal dari dirinya atau bukan. d. Dua pertiga (2/3) Ahli waris yang menerima bagian warisan dua pertiga (2/3) ada empat orang yang semuanya dari golongan perempuan. Mereka yaitu dua orang anak perempuan atau lebih, dua orang cucu perempuan dari anak laki-laki atau lebih, saudara-saudara perempuan sekandung, dan saudara-saudara

perempuan sebapak. 1) Dua orang anak perempuan atau lebih

Dua orang anak perempuan atau lebih akan mendapatkan bagian dua pertiga apabila telah memenuhi dua syarat. Pertama, hendaknya anak perempuan berjumlah dua orang atau lebih. Kedua, dua orang anak perenpuan atau lebih itu tidak mewarisi bersama-sama saudara laki-laki yang menjadikannya ashabah bersama (ashabah maal ghair). 2) Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki.

Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki akan mendapatkan warisan dua pertiga dengan memenuhi tiga syarat. Pertama, hendaklah mereka berjumlah dua orang atau lebih. Kedua, tidak mewarisi bersama-sama ahli waris yang menjadikannya ashabah bersama. Ketiga, tidak bersama-sama dengan ahli waris keturunan si mayit yang lebih tinggi derajatnya, yaitu anak laki-laki atau anak perempuan.

43

3)

Dua orang saudara sekandung atau lebih

Dua orang saudara sekandung atau lebih bisa mewarisi harta waris dengan bagian dua pertiga jika telah memenuhi empat syarat. Pertama, minimal mereka berjumlah dua atau lebih. Kedua, mereka tidak bersamasama dengan saudara laki-laki sekandung. Ketiga, mereka tidak bersamasama dengan ahli waris keturunan si mayit. Keempat, mereka tidak bersama-sama dengan leluhur si mayit. 4) Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih

Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih berhak mendapatkan harta waris yang dua pertiga jika telah memenuhi lima syarat. Pertama, minimal mereka berjumlah dua atau lebih. Kedua, mereka tidak bersamasama dengan saudara laki-laki seayah. Ketiga, mereka tidak bersama-sama dengan ahli waris keturunan si mayit. Keempat, mereka tidak bersamasama dengan leluhur si mayit. Kelima, mereka mewarisi tidak bersamasama dengan saudara saudara-saudara kandung, baik laki-laki maupun perempuan. e. Sepertiga (1/3) Ahli waris yang menerima sepertiga (1/3) ada dua orang, yaitu ibu dan anak-anak ibu. 1) Ibu

44

Ibu dapat mewarisi sepertiga dari harta waris secara utuh bila telah memenuhi tiga syarat. Pertama, ia tidak bersama-sama dengan ahli waris keturunan si mayit. Kedua, ibu tidak bersama-sama dengan saudarasaudaranya (baik laki-laki dan perempuan, saudara-saudaranya sekandung, seayah, seibu, atau campuran). 2) seibu) Anak-anak ibu dapat mewarisi sepertiga bagian dari harta waris bila telah memenuhi 3 syarat. Pertama, hendaknya anak-anak ibu berjumlah dua orang atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan. Kedua, tidak mewarisi bersama-sama dengan ahli waris keturunan si mayit. Ketiga, tidak mewarisi bersama-sama dengan ahli waris leluhur si mayit dari golongan laki-laki. Anak-anak ibu (saudara-saudara laki-laki dan perempuan

f. Seperenam (1/6)

45

Ahli waris yang mendapatkan bagian tetap seperenam (1/6) ada 7 orang, yaitu ayah, ibu, kakek, nenek, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan seayah, dan anak ibu (baik laki-laki maupun perempuan). 1) Ayah

Ayah mewarisi bagian seperenam dari harta waris jika telah memenuhi satu syarat, yaitu ia mewarisi bersama-sama dengan ahli waris keturunan si mayit, baik laki-laki maupun perempuan. 2) Ibu

Ibu dapat mewarisi seperenam bagian setelah memenuhi satu syarat, yaitu ia mewarisi bersama-sama dengan ahli waris keturunan si mayit atau beberapa (berkumpulnya dua orang atau lebih saudara laki-laki atau perempuan, atau salah satu dari mereka). 3) Kakek

Kakek yang dimaksud di sini adalah jadd shahih (kakek langsung dari si ayah), bukan jadd ghair shahih (kakek yag hubungan nasabnya dengan si mayit diselingi oleh perempuan). Adapun kakek berhak mendapat seperenam bagian dari warisan ketika telah memenuhi 2 syarat. Pertama, kakek bersama-sama dengan ahli waris keturunan si mayit. Kedua, kakek tidak bersama-sama dengan ayah.

46

4)

Nenek

Nenek dapat mewarisi seperenam bagian warisan jika talah memenuhi satu syarat, yaitu tidak bersama-sama dengan ibu. 5) Seorang cucu perempuan atau lebih

Seorang cucu perempuan atau lebih dapat mendapatkan warisan seperenam jika telah memenuhi dua syarat. Pertama, dia tidak bersamasama dengan muashib-nya yang sederajat dengan cucu laki-laki. Kedua, dia tidak bersama-sama dengan ahli waris keturunan si mayit yang derajatnya lebih tinggi, kecuali bila mewarisinya bersama-sama dengan anak perempuan atau cucu perempuan yang sederajat lebih tinggi. 6) Seorang saudara perempuan seayah atau lebih

Seorang saudara perempuan seayah atau lebih dapat mewarisi bagian tetap seperenam bila telah memenuhi dua syarat. Pertama, hendaknya dia mewarisi bersama-sama saudara perempuan sekandung yang mewarisi bagian tetap (setengah). Kedua, dia tidak bersama-sama dengan muashib-nya (saudara laki-laki seayah) 7) Anak ibu

47

Anak-anak mewarisi bagian tetap seperenam jika telah memenuhi tiga syarat. Pertama, tidak bersama-sama dengan ahli waris keturunan si mayit secara mutlak. Kedua, tidak bersama-sama dengan ahli waris leluhur dari golongan laki-laki. Ketiga, jika anak ibu hanya sendiri. 5. Ashabah

Secara bahasa ashabah adalah bentuk masdar dari kata at-tashib, yang berasal dari kata ashshoba-yuashshibu-tashib yang berarti kerabat si mayit sebapak.77 Sedangkan secara istilah ashabah adalah orang-orang yang tidak mempunyai saham-saham (bagian-bagian) tertentu, tetapi mengambil bagian yang tersisa setelah diambil bagian ashhabul-furudh, atau mengambil seluruh harta peninggalan apabila tidak ada seorang ahli waris ashhabul-furudh.78 Ashabah ada dua macam, yakni ashabah nasabiyah, yaitu berdasarkan adanya ikatan kekerabatan, dan ashabah sababiyah, yaitu berdasarkan adanya sebab memerdekakan budak.79 Ashabah Nasabiyah terbagi menjadi tiga bagian, yaitu ashabah bil nafsi, ashabah bil ghair dan ashabah maal ghair.80 a. Ashabah bil Nafsi

77 7 78

Ibid, h. 251-252

Hasanain Muhammad Makhluf, Al-Mawarits fi asy-Syariah al-Islamiyyah, h.34


7 79

Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, h. 432


8 80

Ahmad Rifai Arief, Taisir al-Masur fi Ilmi Tanggerang. t.t), h. 6

al-Faraidh, (Ponpes Daar El-Qalam:

48

Ashabah bil Nafsi terdiri dari seluruh ahli waris laki-laki, selain dari pada suami dan saudara laki-laki seibu.81 Jumlah mereka ada 12 orang, yaitu anak laki-laki; cucu laki-laki pancar laki-laki; bapak; kakek; saudara laki-laki sekandung; saudara laki-laki sebapak; anak laki-laki saudara laki-laki sekandung; anak laki-laki saudara laki-laki sebapak; paman sekandung; paman sebapak; anak laki-laki paman sekandung; anak laki-laki paman sebapak.82 b. Ashabah bil Ghair Orang-orang yang menjadi ahli waris ashabah bil Ghair adalah seorang atau sekelompok anak perempuan bersama seorang atau sekelompok anak laki-laki, dan seorang atau sekelompok saudara perempuan dengan seorang atau sekelompok saudara laki-laki manakala sekelompok laki-laki tersebut menjadi ahli waris ashabah bil nafsi.83 Mereka yang termasuk ashabah bil ghair ada empat kelompok. Pertama, satu anak perempuan atau lebih bersama anak laki-laki yang sederajat dengannya. Kedua, satu cucu perempuan dari anak laki-laki atau lebih bersama cucu laki-laki dari anak laki-laki yang sederajat dengannya. Ketiga, satu orang saudara perempuan kandung atau

8 81

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris, h. 75 82 Ibid


8 83

Ibid, h. 77

49

lebih bersama saudara kandung. Dan Keempat, satu orang saudara sebapak atau lebih bersama saudara laki-laki sebapak.84
c. Ashabah maal Ghair

Orang-orang yang menjadi ahli waris ashabah maal ghair adalah seorang atau sekelompok saudara perempuan, baik sekandung maupun sebapak yang mewarisi bersama-sama dengan seorang atau sekelompok anak perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki, manakala tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki pancar laki-lakai atau bapak, serta tidak ada saudaranya yang laki-laki yang menjadikannya sebagai ahli waris ashabah bil ghair.85 Mereka hanya ada dua kelompok yang berasal dari ashhabul furudh, yaitu seorang saudara perempuan kandung atau lebih bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki dan seorang saudara perempuan sebapak atau lebih bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki.86 C. BAGIAN WARIS AYAH Ayah selamanya tidak bisa dihalangi untuk mendapatkan warisan, namun dia dapat menghalangi orang lain. Sedangkan warisan yang diterimanya bisa berbedabeda sesuai perbedaan furu ahli waris keturunan yang mewarisi, baik laki-laki
8 84

Komite Fakultas Syariah Universitas al-Azhar,Ahkam al-Mawaris, h. 262-264 85 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, h. 438
8 86

Komite Fakultas Syariah Universitas al-Azhar,Ahkam al-Mawaris, h. 266

50

maupun perempuan.87 Dalam hal ini, warisan untuk ayah dipengaruhi oleh tiga keadaan:
1.

Ayah mewarisi dengan fardh atau hanya bagian tetap. Bagian ayah

seperenam (1/6) ketika ada furu laki-laki yang mewarisi, yaitu anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki dan keturunan di bawahnya. Dasar atau dalil dari keadaan ini adalah firman Allah Taala dalam surat an-Nisa [4] ayat 11:


Apabila ayah telah mengambil fardh-nya, maka sisa harta warisan itu untuk ahli waris laki-laki yang terdekat dan furu laki-laki lebih berhak mendapatkan ashabah daripada ayah.88 Contohnya: seorang wafat meninggalkan istri, ayah dan anak laki-laki. Asal masalah kasus ini adalah 24, dengan perincian: istri mendapatkan seperdelapan (1/8) karena ada furu yang mewarisi; ayah mendapatkan seperenam (1/6) karena ada furu laki-laki yang mewarisi, yaitu anak laki-laki; dan anak laki-laki mendapatkan sisa sebagai ashabah. Istri Ayah Anak laki-laki
8 87

1/8 1/6 Sisa

3 4 17

Ibid, h. 201 88 Komite Fakultas Syariah Universitas al-Azhar,Ahkam al-Mawaris, h. 202

51

2.

Ayah mewarisi hanya dengan cara ashabah. Ayah dapat mengambil

semua harta waris atau sisa harta setelah pembagian fardh, dengan syarat dia seorang diri atau tidak ada furusama sekali, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, jika si mayit hanya meninggalkan ayah, maka ayah dapat mengambil seluruh harta warisan. Dalam keadaan itu, ayah menjadi ashabah bil nafsi.

3.

Jika dalam keadaan Gharrawain

Masalah gharrawain hanya terjadi manakala para ahli waris yang ditinggalkan oleh pewaris terdiri atas ibu, ayah dan suami atau istri.89 Dalam kasus ini berdasarkan petunjuk al-Quran, istri menerima furudh sebanyak karena pewaris tidak meninggalkan anak, ibu menerima furudh 1/3 karena pewaris tidak menerima anak dan beberapa orang saudara. Jumlah furudh adalah 1/4 + 1/3 = 3/12 + 4/12 = 7/12. Ayah sebagai ashabah akan mendapat 5/12. Jumhur ulama tetap memahami furudh ibu 1/3 yag disebutkan dalam al-Quran itu sebagai 1/3 sisa harta sebagaimana bila ayah dan ibu itu didampingi oleh suami.90

89 9 90

Suparman Usman & Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris, h. 131

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam , h. 110-111

52

Berdasarkan pemahaman jumhur ini ibu mendapat 1/3 dari (atau sisa setelah diambil hak istri) menjadi . Bila istri mendapat dan ibu juga mendapat maka ayah sebagai ahli waris ashabah mendapat . Dengan cara begini hak ayah menjadi dua kali hak ibu.91

BAB III SAJIAN DATA


A. Kompilasi Hukum Islam (KHI) 1. Sejarah Kompilasi Hukum Islam Gagasan untuk mengadakan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia untuk pertama kali diumumkan oleh Menteri Agama R.I. Munawar Sadzali, MA pada bulan Februari 1985 Dalam ceramahnya di depam mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya, semenjak itu ide ini menggelinding dan mendapat sambutan hangat dari berbagai pihak. Apakah ini merupakan ide dari menteri agama sendiri ? Mengapa demikian ? Karena kalau membaca buku Prof. K.H. Ibrahim Husein dan
9 91

Ibid, h. 111

53

pembaharuan hukum Islam di Indonesia maka kesan yang muncul seakan-akan ide ini berpangkal dari pemikiran K.H. Ibrahim Husein yang kemudian disampaikan kepada Prof. H. Bustanul Arifin SH, hakim agung ketua muda Mahkamah Agung yang membawahi pengadilan agama yang menerima dan memahami dengan baik.92 Menurut Abdul Chalim Mohammad, gagasan untuk melakukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini pada awal mulanya setelah 2,5 tahun lebih Mahkamah Agung terlibat dalam kegiatan pembinaan badan-badan peradilan agama dan dalam penataran-penataran ketrampilan teknis justisial para hakim, agama baik ditingkat nasional maupun regional. Selanjutnya, ia mengutip pidato sambutan Bustanul Arifin pada upacara pembukaan pelaksanaan wawancara dengan para alim ulama se-jawa timur tangal 16 oktober 1985 yang menyatakan bahwa dalam rapat-rapat gabungan antara Mahkamah Agung dan Departeman Agama telah diperoleh kesimpulan bahwa kesempurnaan pembinaan badan-badan Peradilan Agama beserta aparatnya hanya dapat dicapai antara lain dengan :
a. Memberikan dasar formal: kepastian hukum dalam bidang hukum

acara dan

dalam susunan kekuasaan peradilan agama dan kepastian

hukum (legal security) dibidang hukum materil.

92

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, h. 31

54

b. Demi tercapainya legal security bagi para hakim, bagi para justibelen

(orang awam) penarik keadilan maupun bagi masyarakat Islam sendiri perlu aturan-aturan hukum Islam yang tersebar itu dihimpun atau dikompilasi dalam buku-buku hukum tentang munakahat (perkawinan), faraidl (kewarisan), dan wakaf.93 Dalam rangka inilah, Bustanul Arifin tampil dengan gagasannya, bahwa perlunya membuat kompilasi Hukum Islam. Gagasan ini didasari oleh pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:94 a. Untuk dapat berlakunya hukum (Islam) di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas yang dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat.
b. Persepsi yang tidak seragam tentang syariah akan dan sudah

menyebabkan hal-hal: (1) ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam itu (maa anzalallahu), (2) tidak mendapat penjelasan bagaimana menjalankan syariat itu (yanfidziyah), dan (3) akibat kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alatalat yang tersedia dalam undang-undang dasar 1945 dan perundangundangan lainnya.

93 9 94

Ibid, h. 32

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departeman Agama, 1993/1994, h.135

55

c. Di dalam sejarah Islam, pernah ditiga Negara, hukum Islam

diberlakukan sebagai perundang-undangan Negara: (1) di India pada masa Raja al Rijeb yang menbuat dan memberlakukan perundang-undangan yang terkenal dalam fatwa alamfiri, (2) di kerajaan Turki Utsmani yang terkenal dengan nama majalah al-Ahkam al-Adliyah, dan (3) hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasikan di Subang.95 Kemudian gagasan Bustanul Arifin disepakati. Maka untuk itu, dibentuklah tim pelaksana proyek yang ditunjuk dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No. 07/KMA/1985 dan No. 25 tahun 1985, tertanggal 25 maret 1985. Dalam tim tersebut, Bustanul Arifin dipercaya sebagai pimpinan umum dengan anggota tim yang meliputi para pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Dengan kerja keras seluruh anggota tim Bustanul Arifin mendekati para ulama, akhirnya keluar instruksi presiden No. 1 tahun 1991 kepada Menteri Agama RI untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terdiri dari Buku I tentang hukum perkawinan, Buku II tentang hukum kewarisan, dan Buku III tentang hukum perwakafan. Instruksi presiden tanggal 10 Juni 1991 itu kemudian ditindaklanjuti oleh Menteri Agama dengan mengeluarkan keputusan Menteri Agama No. 154 tahun 1991 tanggal 22 juli 1991.96

Amrullah Ahmad. Sf. Dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press), cet. Ke-1, h. 11-12 96 Ibid.

95

56

Eksistensi hukum Islam di Indonesia selalu mengambil dua bentuk; hukum normatif yang diimplementasikan secara sadar oleh umat Islam, dan hukum formal yang dilegislasikan sebagai hukum positif bagi umat Islam. Yang pertama menggunakan pendekatan kultural, sementara yang kedua menggunakan penghampiran struktural. Hukum Islam dalam bentuk kedua ini pun proses legislasinya menggunakan dua cara. Pertama, hukum Islam dilegislasikan secara formal untuk umat Islam, seperti PP Nomor 28 tahun 1977 tentang pewakafan, UU Nomor 17 tahun 1999 tentang penyelenggaraan ibadah haji, dan UU Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Kedua, materi-materi hukum Islam diintegrasikan ke dalam hukum nasional tanpa menyebutkan hukum Islam secara formal, seperti UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan UU nomor 7 tahun 1989 tentang peredilan agama. Berbeda dengan itu, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam sejarahnya adalah produk kebijakan hukum pemerintah yang proses penyusunannya didasarkan pada hukum normatif Islam, terutama fiqih mazhab Syafii. Oleh karenanya, boleh jadi hal itu membuat Kompilasi Hukum Islam (KHI) tampil dalam wajah yang tidak akrab dengan hukum-hukum nasional dan internasional yang memiliki komitmen kuat pada tegaknya masyarakat yang egaliter, pluralis, dan demokratis. Bahkan disinyalir oleh sejumlah pemikir muslim bahwa alih-alih menjadi landasan agama untuk demokratisasi, Kompilasi Hukum Islam (KHI) sendiri dalam beberapa pasalnya mengandung potensi sebagai penghambat laju gerak demokrasi di Indonesia. Kalau pasal-pasal tersebut dibiarkan, maka Kompilasi Hukum Islam

57

(KHI) akan terus menerus turut menyuburkan praktik diskriminasi dalam masyarakat, terutama terhadap perempuan dan kaum minoritas. Tentu saja praktik ini bertentangan dengan produk-produk hukum nasional, seperti UU Nomor 7 tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, undang-undang yang terakhir ini dirumuskan sebagai konsekuensi logis dari ratifikasi Negara terhadap CEDAW (the Convention On the Elimination of All From Discrimination Against Women), UU Nomor 39 tahun 1999 tentag HAM yang sangat menekankan upaya perlindungan dan penguatan terhadap perempuan, bahkan dengan UUD 1945 dan Amandemen UUD 1945.
2. Landasan dan Rujukan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

a. Landasan Kompilasi Hukum Islam Landasan dalam artian sebagai dasar hukum keberadaan kompilasi hukum Islam di Indonesia adalah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. Menurut Ismail Suny, oleh karena sudah jelas bahwa dalam bidang perkawinan, kewarisan dan wakaf bagi pemeluk-pemeluk Islam telah ditetapkan oleh undang-undang yang berlaku adalah hukum Islam, maka Kompilasi Hukum Islam itu yang memuat hukum materiil-nya dapat ditetapkan oleh Keputusan Presiden/Instruksi Presiden.

58

Pendapat tersebut antara lain didasarkannya pada disertasi dari A. Hamid S. at-Tamimi. Selanjutnya dia mengatakan bahwa Instruksi Presiden tersebut dasar hukumnya adalah pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu kekuasaan Presiden untuk memegang kekuasaan Pemerintahan Negara. Apakah dinamakan Keputusan Presiden atau Instruksi Presiden, kedudukan hukumnya adalah sama.97 Karena itu pembicaraan mengenai kedudukan kompilasi tidak mungkin dilepaskan dari Instruksi Presiden di maksud. Kemudian lebih lanjut yang menjadi dasar dan landasan dari kompilasi ini adalah Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia tanggal 22 Juli 1991 No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksana Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991. Konsideran Keputusan ini menyebutkan: 1) Bahwa Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun

1991 tanggal 10 Juni 1991 memerintahkan kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. 2) Bahwa penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam tersebut perlu

dilaksanakan dengan sebaik-baiknyadan dengan penuh tanggung jawab.

Suny Ismail, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya. 1991), h. 44

97

59

3)

Bahwa oleh karena itu perlu dikeluarkan Keputusan Menteri

Agama Republik Indonesia tentang pelaksaan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 juni 1991.98 Pengaturan lebih lanjut adalah termuat dalam Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Pengadilan Agama Islam atas nama Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam tanggal 25 Juli 1991 No. 3694/EV/HK.003/AZ/91 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua Pengadilan Agama di seluruh Indonesia tentang penyebarluasan Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991.99 Bilamana kita berasumsi sesuai dengan Instruksi Presiden dan keputusan Menteri Agama, kompilasi ini mempunyai kedudukan sebagai Pedoman, dalam artian sebagai petunjuk bagi para hakim peradilan agama dalam memutuskan dan menyelesaikan perkara, maka kedudukannya adalah tergantung sepenuhnya dari para hakim dimaksud untuk menuangkan dalam keputusan-keputusan mereka masing-masing, sehingga kompilasi ini akan terwujud dan mempunyai makna serta landasan yang kokoh dalam yurisprudensi peradilan agama. Dengan cara demikian, maka peradilan agama tidak hanya sekarang berkewajiban menerapkan ketentuan-ketentuan yang sudah digariskan dalam Kompilasi Hukum Islam, akan tetapi justru
98 9 99

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 55-56

Ibid, h. 58

60

mempunyai peranan yang lebih besar lagi untuk memperkembangkan dan sekaligus melengkapinya melalui yurisprudensi yang dibuatnya.100 Untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai masalah ini kiranya juga patut diperhatikan bagaimana pemikiran dan keinginan para pakar hukum kita tentang bagaimana seharusnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini didudukkan dalam sistem hukum Islam. M. Yahya Harahap, misalnya dalam tulisannya menyebutkan tujuan dari Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disusun pada waktu itu adalah:
1)

Untuk merumuskan secara sistematis hukum Islam di

Indonesia secara konkrit.


2) Guna dijadikan sebagai landasan penerapan hukum Islam di

lingkungan peradilan Agama.


3) Dan sifat kompilasi bewawasan Nasional (bersifat supra sub kultural,

aliran satu madzhab) yang diperlakukan bagi seluruh masyarakat Islam Indonesia, apabila timbul sengketa di depan sidang peradilan agama (kalau di luar proses peradilan, tentu bebas menentukan pilihan dari sumber kitab fikih yang ada).
4) Serta sekaligus akan dapat terbina penegakan kepastian hukum yang

lebih seragam dalam pergaulan lalu lintas masyarakat Islam.

100

Ibid

61

Dalam konteks sosiologi, kompilasi yang bersubstansi hukum Islam jelas merupakan produk keputusan politik. Instrumen hukum politik yang digunakan adalah Inpres No. 1 tahun 1991. Selain formulasi hukum Islam dalam tata hukum Indonesia, Kompilasi Hukum Islam bisa disebut sebagai representasi dari sebagian substansi hukum material Islam yang dilegislasikan oleh penguasa politik pada zaman orde baru.101 Dengan demikian, Kompilasi Hukum Islam (KHI) mempunyai kedudukan yang penting dalam tata hukum Indonesia. Karena merupakan sebuah produk hukum dari proses politik orde baru. Karena itu selain bersifat nisbi, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan segala bentuknya, kecuali ruh hukum Islamnya, merupakan cerminan kehendak sosial para pembuatnya.

Kehadirannya dengan demikian sejalan dengan motif-motif sosial, budaya dan politik tertentu dari pemberi legitimasi, dalam hal ini rezim politik orde baru.102 Perkembangan konfigurasi politik senantiasa mempengaruhi

perkembangan produk hukum. Konfigurasi politik tertentu senantiasa melahirkan produk hukum yang memiliki karakter tertentu. Konfigurasi politik demokratis melahirkan hukum-hukum yang berkarakter

responsif/populistik, sedangkan konfigurasi politik otoriter senantiasa akan


101 1 102

Marzuki Wahid dan Rumadi, Fikih Mazhab Negara, Yogyakarta: LKIS, 2001, h.144

http://mohammadrafiul.blogspot.com/2010/05/Makalah Kompilasi Hukum Islam, Tanggal 26 November 2012, Pukul 09.35

62

melahirkan hukum-hukum yang berkarakter konsernvatif/ortodoks. Pengaruh politik hukum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) akan menjadi karakterkarakter politik hukum Islam di Indonesia.103 Pengaruh tersebut akan membawa konsekuensi untuk memperbincangkan kembali diskursus hukum agama dan hukum Negara di dalam wadah Negara pancasila. Keberadaan hukum Islam harus diselaraskan dengan visi pembangunan hukum yang dicanangkan Negara. Di sini lalu proses filterisasi terhadap materi hukum Islam oleh Negara. Dengan demikian, secara ideologis Kompilasi Hukum Islam (KHI) berada pada titik tengah antara paradigm agama dan paradigma Negara. Dalam paradigma agama, hukum Islam wajib dilaksanakan oleh umat Islam secara kaffah, tidak mengenal ruang dan waktu. Penerapannya dalam kehidupan sosial menjadi misi agama yang suci. Dengan kata lain bahwa hukum Islam berada dalam penguasaan hukum Negara dengan mempertimbangkan pluralitas agama, etnis, ras dan golongan. Hasil interaksi dari dua paradigm yang berbeda itu merupakan wujud nyata politik Negara terhadap hukum Islam di Indonesia. Karena itu Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan satu-satunya hukum materil Islam yang memperoleh legitimasi politik dan yuridis dari Negara.104
103 1 104

Mohammad Mahfud, MD, Perkembangan Politik Hukum, Yogyakarta, 1993, h.675-676

http://mohammadrafiul.blogspot.com/2010/05/Makalah Kompilasi Hukum Islam26 November 2012, Pukul 10.05

63

b. Rujukan Kompilasi Hukum Islam Sebelum adanya Kompilasi Hukum Islam, kitab-kitab yang dijadikan rujukan Pengadilan Agama pada dasarnya sangat beragam. Akan tetapi pada tahun 1958 telah dikeluarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 tentang kitab rujukan bagi para Hakim Pengadilan Agama. Dalam huruf B Surat Edaran tersebut dijelaskan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum yang memeriksa dan memutus perkara, maka para Hakim Pengadilan Agama (Mahkamah Syariyah) dianjurkan agar mempergunakan sebagai pedoman kitab-kitab di bawah ini:105 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
105

Al-Bajuri Fathul Muin dengan Syarahnya Syarqawi ala Tahrir Qulyibi/Muhalli Fathul Wahab dengan Syarahnya Tuhfah Targhibul Musytaq Qawaninusy Syariyah lisayyid Usman bin Yahya Qawaninusy Syariyah lisayyid Shodaqah Dakhlan

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, h. 21-22

64

10) 11) 12)


13)

Syamsuri lil Faraidh Bughyatul Mustarsyidin Al-Fiqh alal Muadzahibil Arbaah Mughnil Muhtaj106

Menurut Yahya Harahap, operasional dalam penelitian kitab-kitab fiqih sebagai sumber Kompilasi Hukum Islam secara singkat sebagai berikut:
1)

Penentuan kitab fiqih yang dijadikan bahan pengkajian (antara

lain Inatul Thalibin, Tharghibul Mukhtar, al-Fiqhu ala Madzahibil Arbaah, Fiqhu Sunnah, Fathul Qadir, dan lain sebagainya). 2) Pelaksanaannya dioercayakan kepada beberapa institut Agama

Islam Negeri (IAIN) yang penandatanganan kerjasamanya dilakukan tanggal 19 Maret 1986 antara Menteri Agama dengan Rektor IAIN yang ditunjuk.
3)

Dari kitab fiqih tadi, akan dirumuskan kesimpulan singkat

pendapat hukum sesuai rincian masalah yang disusun panitia.107

106 1 107

Ibid, h. 22

M. Yahya Harahap, Tujuan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Hikmah Syahid Indah. 1988), h. 93

65

Dalam penelitian kitab-kitab fiqih sebagai sumber Kompilasi Hukum Islam telah dikaji dan ditelaah sebanyak 38 macam kitab fiqih yag dibagi pada 7 IAIN yang telah ditunjuk, yaitu:108

1) IAIN ar-Raniri Banda Aceh: a) Al-Bajuri b) Fathul Muin c) Syarqawi alat Tahrir d) Mughnil Muhtaj e) Nihayah al-Muhtaj f) Asy-Syarqawi 2) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta: a) Inatul Thalibin b) Tuhfah c) Targhibul Musytaq d) Bulghat al-Salik e) Syamsuru fil Faraidh f) Al-Mudawanah
1 108

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, h. 39-41

66

3) IAIN Antasari Banjarmasin: a) Qalyubi/Mahalli b) Fathul Wahab dengan Syarahnya c) Bidayatul Mujtahid d) Al-Umm e) Bughyatul Murtarsyidin f) Aqiedah wa al-Syariah 4) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: a) Al-Muhalla b) Al-Wajiz c) Fathul Qadir d) Al-Fiqhu ala Madzhabil Arbaah e) Fiqhu Sunnah 5) IAIN Sunan Ampel Surabaya: a) Kasyf al-Qina b) Majmu al-Fatawa Ibn Taimiyyah c) Qawaninus Syariah lil Sayyid Usmanbin Yahya d) Al-Mughni e) Al-Hidayah Syarah Bidayah Taimiyyah Mubtadi

67

6) IAIN Alauddin Ujung Pandang: a) Qawaninus Syariah lil Sayyid Shadaqah Dakhlan b) Nawab al-Jalil c) Syarah ibnu Abidin d) Al-Muwattha e) Hasyiah Syamsudin Muh. Irfat Dasuki 7) IAIN Imam Bonjol Padang: a) Badai as-Sannai b) Tabyid al-Haqaiq c) Al-Fatawi al-Hindiyah d) Fathul Qadir e) Nihayah 3. Tim Penyusun Kompilasi Hukum Islam Menurut Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 maka ditetapkan bahwa Pimpinan Umum dari proyek ini adalah Prof. H. Bustanul Arifin, SH. Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung dengan dibantu oleh dua orang Wakil Pimpinan Umum, masing-masing HR. Djoko Soegianto, SH. Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Umum Bidang

68

Hukum Perdata Tidak Tertulis Mahkamah Agung dan H. Zaini Dahlan, MA. Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama.109 Sebagai Pimpinan Pelaksana proyek adalah H. Masrani Basran, SH, Hakim Agung Mahkamah Agung dengan Wakil Pimpinan Pelaksana H. Muchtar Zarkasih, SH, Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama. Sebagai sekretaris adalah Ny. Lies Sugondo, SH, Direktur Direktorat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung dengan wakil sekretaris Drs. Maarfuddin Kosasih, SH. Bendahara adalah Alex Marbun dari Mahkamah Agung dan Drs. Kadi dari Departemen Agama. Di samping itu ada pula pelaksana bidang yang meliputi:

a. Pelaksana Bidang Kitab/Yurisprudensi: 1) 2) 3) Prof. H. Ibrahim Husain LML (dari Majelis Ulama) Prof. H. MD. Kholid, SH (Hakim Agung Mahkamah Agung) Wasit Aulawi MA (Pejabat Departemen Agama)

b. Pelaksana Bidang Wawancara: 1) 2)


109

M. Yahya Harahap, SH (Hakim Agung Mahkamah Agung) Abdul Gani Abdullah, SH (Pejabat Departemen Agama)

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, h. 34

69

c. Pelaksana Bidang Pengumpulan dan Pengolahan Data: 1) 2) H. Amiroeddin Noer, SH (Hakim Agung Mahkamah Agung) Drs. Muhaimin Nur, SH (Pejabat Departemen Agama)

4. Isi Kompilasi Hukum Islam (KHI) Secara keseluruhan Kompilasi Hukum Islam terdiri atas 229 pasal dengan distribusi yang berbeda-beda untuk masing-masing buku. Porsi yang terbesar adalah pada buku hukum perkawinan, kemudian hukum kewarisan dan yang paling sedikit adalah hukum perwakafan. Perbedaan ini timbul bukan karena ruang lingkup materi yang berbeda, akan tetapi hanya karena intensif dan terurai atau tidaknya pengaturannya masing-masing yang tergantung pada tingkat penggarapannya. Hukum perkawinan karena kita sudah menggarapnya sampai pada hal-hal yang detail dan hal-hal yang sedemikian dapat dilakukan mencontohi pengaturan yang ada dalam perundang-undangan tentang perkawinan. Sebaliknya karena hukum kewarisan tidak pernah digarap demikian maka ia hanya muncul secara garis besarnya dan dalam jumlah yang cukup terbatas.110 Selain itu pengaturan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam ini khususnya untuk bidang hukum perkawinan tidak lagi hanya terbatas pada hukum substantif saja yang memang seharusnya menjadi porsi kompilasi, akan tetapi sudah cukup banyak memberikan pengaturan tentang masalah prosedural atau yang berkenaan
110

Ibid, h. 63

70

dengan tatacara pelaksanaan yang seharusnya termasuk dalam porsi perundangundangan perkawinan. Mengenai apa yang disebut terakhir secara faktual telah kita temukan di dalam undang-undang No. 1 tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya sebagaimana kemudian dilengkapi dengan berbagai undangundang terakhir dengan undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama yang juga memuat beberapa pasal berkenaan dengan hukum acara mengenai perceraian. Akibat dimasukkannya semua aspek hukum tersebut maka terjadi pembengkakan dalam bidang hukum perkawinan sedang dalam hukum lainnya terasa sangat sedikit.111 Penjelasan yang diatur dalam kompilasi hukum Islam terdapat tiga buku, yaitu buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan dan buku III tentang Hukum Perwakafan. Adapun mengenai isi dari Kompilasi Hukum Islam dapat dikemukakan secara singkat sebagai berikut: 1. Hukum Perkawinan112 Sistematika Kompilasi Hukum Islam mengenai hukum perkawinan ini adalah sebagai berikut: Bab I : Ketentuan Umum (pasal 1)

1 111

Ibid, h. 63-64 112 Ibid, h. 65-66

71

Bab II Bab III Bab IV Bab V Bab VI Bab VII Bab VII Bab IX Bab X Bab XI Bab XII Bab XIII Bab XIV Bab XV

: Dasar-dasar Perkawinan (pasal 2-10) : Peminangan (11-13) : Rukun dan Syarat Perkawinan (pasal 14-29) : Mahar (pasal 30-38) : Larangan Kawin (pasal 39-44) : Perjanjian Perkawinan (pasal 45-52) : Kawin Hamil (pasal 53-54) : Beristeri lebih dari satu orang (pasal 55-59) : Pencegahan Perkawinan (pasal 60-69) : Batalnya Perkawinan (pasal 70-76) : Hak dan Kewajiban suami isteri (pasal 77-84)[20] : Harta kekayaan dalam perkawinan (pasal 85-97) : Pemeliharaan Anak (pasal 98-106) : Perwalian (pasal 107-112)

72

Bab XVI Bab XVII Bab XVIII Bab XIX

: Putusnya Perkawinan (pasal 113-148) : Akibat putusnya perkawinan (pasal 149-162) : Rujuk (pasal 163-169) : Masa berkabung (pasal 170)[21]

Bila kita perhatikan kerangka sistematika tersebut ternyata ada beberapa materi yang satu dengan yang lainnya seharusnya tidak perlu dimasukkan dalam satu bab tersendiri. 2. Hukum Kewarisan113 Sistematika kompilasi mengenai hukum kewarisan adalah lebih sempit bilamana dibandingkan hukum perkawinan sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Kerangka sistematikanya adalah sebagai berikut: Bab I Bab II Bab III Bab IV : Ketentuan Umum (pasal 171) : Ahli Waris (pasal 172-175) : Besarnya bahagian (pasal 176-191) : Aul dan Rad (pasal 192-193)

113

Ibid, h. 77-78

73

Bab V Bab VI

: Wasiat (pasal 194-209) : Hibah

Sebagaimana halnya dengan hukum perkawinan maka apa yang diatur dalam ketentuan umum adalah pengertian-pengertian dan ternyata di sini juga tidak menguraikan secara keseluruhan pengertian yang disebutkan dalam buku ke II ini. Ketentuan ini berlaku sejalan dengan hukum yang berlaku bagi pewaris yaitu beragama Islam dan karenanya masalah harta warisannya harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan hukum-hukum Islam. Hal ini adalah merupakan suatu hal yang sangat prinsip sekali, akan tetapi di dalam kompilasi ini disebut secara sepintas dalam rumusan mengenai pewarisan dan ahli waris. Persoalan agama menjadi sangat esensial sehingga harus ada penegasan bahwa perbedaan agama akan menghilangkan hak waris, namun juga kita temukan dalam kompilasi buku kedua ini. Sebagaimana halnya pewaris adalah Islam maka ahli waris pun harus beragama Islam. Untuk itu pasal 172 menegaskan tentang indikator untuk menyatakan seseorang itu adalah Islam.114 3. Hukum Perwakafan

114

Ibid, h. 78

74

Bagian terakhir atau buku ke-III Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah tentang hukum perwakafan. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut: Bab I Bab II : Ketentuan Umum (pasal 215) : Fungsi, Unsur-unsur dan Syarat-syarat Wakaf (paal 216-222) Bab III : Tata cara Perwakafan dan Pendaftaran Benda Wakaf (pasal 223-224) Bab IV : Perubahan, Penyelasaian dan Pengawasan Benda Wakaf (pasal 225-227) Bab V : Ketentuan peralihan (pasal 228)

Apa yang diatur dalam bab ini isinya jauh lebih sedikit bilamana dibandingkan dengan dua buku terdahulu sehingga tidak banyak hal yang perlu dikomentari dalam bagian ini. Selain itu materi hukum yang termuat dalam bagian ini juga sedikit berbeda dengan materi hukum yang diatur dalam dua buku terdahulu yang disebut sebagai materi hukum yang bersifat peka, maka persoalan mengenai perwakafan adalah termasuk dalam lapangan hukum yang bersifat sedikit agak netral.

75

B. Hak Waris Ayah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)


1. Ketentuan Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam

Setiap

kelompok

masyarakat di dunia ini tentu mempunyai

sifat

kekeluargaannya sendiri yang biasanya sangat berpengaruh terhadap sifat kewarisan dalam masyarakat itu. Demikian pula pada masyarakat Islam di Indonesia, di dalamnya telah memberikan bimbingan tentang tata kehidupan keluarga muslim. Tata kehidupan keluarga muslim di Indonesia pada umumnya bersifat bilateral, yaitu suatu prinsip keluarga yang mempertimbangkan hubungan kekerabatan baik melalui jalur pria maupun wanita secara serentak. Hal ini membawa pengaruh pula terhadap kebutuhan hukum kewarisan yang bersifat bilateral. Memang antara hukum perkawinan dan hukum kewarisan merupakan satu sistem hukum yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, ibarat mata uang dengan dua sisinya.115 Oleh sebab itu, hukum kewarisan Islam yang dikembangkan dalam Kompilasi Hukum Islam adalah hukum kewarisan yang sejalan dan serasi dengan sifat-sifat hukum perkawinan yang bersifat bilateral. Itulah sebabnya maka hukum kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam mempunyai ciri-ciri yang khas sebagai berikut116:

Mukti Arto, Hukum Waris Bilateral dalam Kompilasi Hukum Islam, (Solo: Balqis Quen. 2009), h. 26-27 116 Ibid, h. 27-31

115

76

a. Pada garis besarnya, Kompilasi Hukum Islam sama dengan fiqih

sunny (faraidh ahlusunnah) yang selama ini diajarkan di Indonesia. Kemudian dengan fiqih sunny, yakni norma-norma syarih yang terkandung dalam al-Qurn dan Sunnah oleh Kompilasi diadakan pembaharuan pola, yakni dari pola kewarisan patrilinial menjadi pola kewarisan bilateral sesuai dengan pola hukum kewarisan Islam yang hidup di Indonesia.
b. Jenis dan kelompok ahli waris disederhanakan dan disesuaikan dengan

struktur keluarga muslim di Indonesia yang bilateral, serta masih menggunakan istilah dzawil arham meskipun tidak disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam namun tetap diakui keberadaannya dan mereka tetap ahli waris sesuai dengan posisinya masing-masing. c. Berdasarkan skala prioritas untuk mewarisi, ahli waris dikelompokan menjadi empat, yaitu: 1) Ahli waris utama (yaitu anak laki-laki dan anak perempuan,

termasuk di sini ahli waris pengganti ahli waris utama, yakni cucu pewaris). 2) Ahli waris inti (yaitu anak, ayah, ibu, dan janda/duda, termasuk

di sini ialah ahli waris wasiat wajibah). 3) Ahli waris lengkap (yaitu mereka ini ditambah saudara laki-

laki dan perempuan, kakek, nenek, paman dan bibi)

77

4)

Ahli waris pengganti lainnya (yaitu kemenakan pewaris dan

lain-lainnya). d. Berdasarkan kepastian besarnya porsi (bagian) yang diterima, ahli waris dikelompokan menjadi lima, yaitu:
1)

Ahli waris ashabah (yaitu yang menerima bagian seluruhnya

dari sisa harta warisan yang telah diambil oleh ahli waris inti atau dzawil-furudh).
2)

Ahli waris dzawil-furudh (yaitu ahli waris yang menerima

bagian pasti yang telah ditetapkan dalam Al-Qurn).


3)

Ahli waris dzawil-Arham (yaitu ahli waris yang besarnya

bagian ditetapkan berdasarkan ijtihad karena tidak ditetapkan dalam Al-Qurn dan Sunnah). 4) Ahli waris pengganti (yaitu ahli waris yang besar bagiannya

ditetapkan berdasarkan hak ahli waris yang digantikan kedudukannya itu, dengan ketentuan tidak boleh melebihi besarnya bagian dari ahli waris lain yang sejajar dengan yang digantikannya itu). 5) Ahli waris wasiat wajibah (yaitu ahli waris yang hak ditetapkan berdasarkan wasiat wajibah, dengan

mewarisinya

ketentuan bahwa bagian ahli waris ini tidak boleh melebihi sepertiga dari harta warisan).

78

e. Jenis ahli waris yang tidak disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam

(termasuk disini kelompok ahli waris yang dalam ilmu fiqih disebut dzawil al-arham) tetap diakui keberadaannya sebagai ahli waris dan untuk sebagian (yakni cucu dan keponakan pewaris) ditampung sebagai ahli waris pengganti dengan penetapan yang luwes dan fleksibel.
f. Diadakan

ijtihad

baru

untuk

menampung

kebutuhan

hukum

dimasyarakat mengenai hal-hal yang tidak diatur secara tegas dalam alQurn dan Sunnah, misalnya tentang anak angkat, cucu dari anak perempuan, bagian ayah bila mewarisi bersama ibu dan suami (duda) dan sebagainya dengan mengambil dan menerapkan nilai-nilai hukum yang terkandung dalam al-Qurn dan Sunnah.
g. Prinsip pembagian waris dengan menggunakan teknik aul dan radd

tetap dipertahankan dengan menerapkan radd secara mutlak kepada ahli waris dzawil al-furudh (pasal 193 KHI).
h. Hukum kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam merupakan hasil

kaji ulang ijtihad baru melalui pendekatan dengan hukum adat dan hukum barat serta norma-norma hukum lainnya, sesuai dengan petunjuk syarih Islam sehingga dapat membawa pembaharuan yang:

1)

selaras dengan tata kehidupan umat Islam di Indonesia,

79

2)

mampu memenuhi tuntutan zaman yang modern sesuai dengan

teori ilmu hukum, administrasi dan manajemen,


3)

dapat

menjalankan ketertiban

fungsinya

sebagai

pengatur

untuk sebagai

menciptakan

dan

ketentraman

masyarakat,

pengayom untuk melindungi kebenaran dan keadilan, serta sebagai pemberi arah bagi kehidupan yang maju dan mandiri di bawah naungan dan ridha Ilahi. i. Karena diyakini bahwa hukum keluarga yang hendak dituju oleh alQurn dan Sunnah ialah hukum keluarga yang bersifat bilateral, baik dalam bidang perkawinan maupun kewarisan maka hukum kewarisan dalam kompilasi pun ingin memberikan arah kepada kewarisan yang bersifat bilateral sebagaimana dikehendaki oleh syariah Islam.
2.

Hak Waris Ayah Dalam Kompilasi Hukum Islam

Pada dasarnya kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam merupakan hukum kewarisan yang diangkat dari pendapat jumhur fukaha (termasuk Syafiiyyah di dalamnya). Namun dalam beberapa hal terdapat pengecualian.117 Beberapa ketentuan hukum kewarisan yang merupakan pengecualian tersebut antara lain adalah: a. Mengenai anak atau orang tua angkat (pasal 171 (h) dan pasal 209).
117

Suparman Usman & Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris, h. 96

80

Dalam ketentuan hukum waris, menurut jumhur fukaha, anak angkat tidak saling mewarisi dengan orang tua angkatnya. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, perihal anak atau orang tua angkat ini diatur bagiannya sebagaimana ahli waris lainnya.
b. Mengenai Dzawil al-Arham

Pasal-pasal

dalam Kompilasi

Hukum Islam di Indonesia tidak

menjelaskan tentang keberadaan dan bagian penerimaan ahli waris dzawi alarham. Pertimbangannya mungkin karena dalam kehidupan sekarang ini keberadaan dzawil al-arham jarang terjadi atau tidak sejalan dengan ide dasar hukum warisan. Padahal, mengenai pewarisan dzawil al-arham ini sudah menjadi kesepakatan jumhur fukaha.
c. Mengenai radd (pasal 193)

Dalam masalah radd ini kompilasi hukum Islam di Indonesia mengikuti pendapat Utsman bin Affan yang menyatakan bahwa apabila dalam pembagian terjadi kelebihan harta, maka kelebihan tersebut dikembalikan kepada seluruh ahli waris tanpa terkecuali. d. Mengenai wasiat wajibah dan ahli waris pengganti (pasal 182 dan pasal 185) e. Mengenai bagian ayah (pasal 177).

81

Ada pun ketentuan bagian waris ayah dalam kompilasi hukum Islam (KHI) dijelaskan pada pasal 177 Kompiasi Hukum Islam (KHI): Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak. bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian. Bagian ayah menurut jumhur adalah 1/6 (seperenam) bagian apabila pewaris meninggalkan faru al-waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki pancar laki-laki, dan cucu perempuan pancar perempuan). Ayah akan mendapatkan 1/6 bagian sisa apabila pewaris meninggalkan faru al-waris, tetapi tidak ada faru al-waris laki-laki (anak laki-laki atau cucu laki-laki pancar lakilaki), dan menerima ashabah (sisa) apabila pewaris tidak meninggalkan faru alwaris.118 Ini sejalan dengan firman Allah dalam surah an-Nisa ayat 11:


Sedangkan dalam kompilasi hukum Islam, bagian ayah apabila pewaris tidak meninggalkan faru al-waris adalah 1/3 (sepertiga) bagian. Ayah yang menerima bagian seperenam dalam keadaan pewaris ada meninggalkan anak, jelas telah sesuai dengan al-Quran maupun rumusannya dalam fikih sebagaimana yang telah disepakati oleh jumhur ulama. Sedangkan
118

Ibid, h. 197

82

jika tidak ada faru al-warits, maka ayah mendapatkan ashabah (sisa).119 Namun jika menetapkan ayah menerima sepertiga dalam keadaan tidak ada anak, maka yang demikian itu tidak terdapat dalam al-Quran, dan tidak pula tersebut dalam kitab fikih manapun.120 Ayah kemungkinan mendapatkan 1/3, tetapi kedudukan ayah bukan sebagai salah satu dari ash-habul furud. Itupun dalam kasus tertentu seperti bersama ibu dan suami, dengan catatan ibu menerima 1/3 harta sebagaimana yang lazim berlaku dalam mazhab jumhur Ahlusunnah.121 Ayah mendapat bagian sisa harta setelah diambil 1/3 bagian ibu, maka muncul bagian 1/3 bagi ayah juga berdasarkan besar bagian yang didapatkan ayah dalam masalah gharrawain sama dengan bagian ashabah. Penjelasan tersebut yaitu jika ayah tidak meninggalkan anak namun bersama suami dan ibu, dalam perhitungannya maka jumlah ashabah sama besarnya dengan sepertiga bagian. Sedangkan dalam masalah gharrawain yang lainnya yaitu ketika ayah tidak meninggalkan anak namun bersama istri dan ibu, hal tersebut memang berbeda ketika ayah hanya bersama suami dan ibu, karena apabila ayah mendapat 1/3 bagian yang lebih dan bagian tersebut akan dikembalikan kepada ayah, dengan kata lain bahwa ayah juga mendapat ashabah. Jadi, ketetapan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 177 yang menyatakan bahwa ayah mendapat 1/3 bagian jika
1 119

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris, h. 197


1 120

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana. 2008), Cet. Ke-3, h. 329
1 121

Ibid

83

tidak ada anak, akan tetapi bersama suami dan ibu, hal tersebut tidak mengurangi bagian ayah ashabah yang merupakan hasil ijtihad dalam masalah gharrawain karena porsi ashabah yang semestinya didapat oleh ayah sama besarnya dengan 1/3 bagian.

BAB IV ANALISIS DATA

A. Analisis Terhadap Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam Tentang Bagian Waris Ayah. Jika merujuk kembali sejarah terbentuknya Negara Indonesia, maka di sana akan ditemui bahwasanya bangsa ini bukan merupakan Negara sekuler dan buka pula Negara agama (bukan berdasarkan pada agama tertentu). Namun Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) UUD 1945 adalah Negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini adalah sila pertama dari Pancasila yang menjadi dasar Negara. Rumusan tafsirnya, menurut Hazarain, sebagaimana dikutip oleh Amir Syarifuddin,122 ditafsirkan sebagai berikut: 1. Dalam Negara Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum Islam bagi umat Islam, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama lain, seperti agama Nasrani, Hindu dan Budha. Ini berarti bahwa di dalam Negara Republik Indonesia tidak boleh
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa Raya. 1993), Cet. Ke-2, h. 170
122

84

berlaku atau diberlakukan hukum yang bertentangan dengan normanorma(hukum) agama dan norma kesusilaan bagi bangsa. 2. Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syariat Islam, dalam makna menyediakan fasilitas agar hukum yang berasal dari agama yang dipeluk bangsa Indonesia dapat terlaksana sepanjang pelaksanaan hukum agama itu memerlukan bantuan alat kekuasaan atau penyelenggara Negara. 3. Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan Negara untuk

melaksanakannya karena dapat dijalankan sendiri oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi pemeluk agama itu sendiri menjalankannya menurut agama masing-masing. Berdasarkan tafsiran hazarain tersebut, maka Negara wajib menjalankan syariat agama yang dipeluk oleh bangsa Indonesia, termasuk menjalankan syariat Islam bagi umat Islam. Begitu pula sebaliknya, Negara tidak boleh membuat peraturan (hukum) yang bertentangan dengan syariat suatu agama, termasuk Negara tidak boleh membuat peraturan (hukum) yang bertentangan dengan syariat Islam bagi umat Islam. Hal inilah yang menjadi dasar bagi penulis untuk menganalisa pasal 177 Kompilasi Hukum Islam mengenai kewarisan 1/3 bagian ayah. Sebab pasal tersebut telah melanggar maksud dan tujuan dari pancasila, karena adanya besar bagian 1/3 bagian ayah dalam pasal 177 Kompilasi Hukum Islam membuat umat Islam di Indonesia meraba-raba kevalidan ketentuan hukum tersebut jika ditinjau dengan pandangan ketentuan (hukum) dalam Islam.

85

Secara keseluruhan, penyusunan Kompilasi Hukum Islam didasari oleh beberapa hal, yaitu: upaya pemenuhan kebutuhan yang tertulis bagi peradilan agama, selain itu agar keputusan yang diterapkan pengadilan agama tidak menjadi simpang siur karena dasar penetapan yang berbeda-beda, dan juga karena kebutuhan masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, yang membutuhkan sebuah peraturan hukum Islam yang diakui oleh Negara. Selain alasan tersebut, menurut Bustanul Arifin, persepsi yang tidak seragam dikalangan masyarakat yang beragama Islam akan dan sudah menyebabkan hal: (1) ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam itu. (2) tidak mendapat penjelasan bagaimana menjalankan syariat itu. (3) akibat kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang tersedia dalam undang-undang dasar 1945 dan perundang-undangan lainnya.123 Terkait dengan hukum kewarisan di Indonesia, pada umumnya umat Islam di Indonesia memaknai bagian waris sebagai pembagian secara adil, yaitu sama rata antara bagian laki-laki dengan bagian perempuan. Hal ini dikarenakan pemahaman mereka tentang agama ini (Islam) sangat rendah, sehingga tidak sedikit dari mereka yang berusaha dengan jalan apapun agar keinginannya tercapai. Akhirnya disusunlah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang di antaranya mengatur tentang pembagian warisan kepada ahli warisnya. Dengan harapan masyarakat, terkhusus umat Islam

Bustnul Arifin, Kompilasi: Fikih dalam Bahasa Undang-Undang, (Pesantren, No. 2 Vol. II 1985), h. 27

123

86

sedikit lebih mengetahui dan menjadi ketentuan bersama dalam menetapkan pembagian waris yang sesuai dengan syariat. Hal ini sangatlah logis, sebab perjalanan penyusunan Kompilasi Hukum Islam begitu panjang, karena telah dipahami bahwa pembuatan sebuah peraturan tidaklah mudah, karena di dalamnya terdapat banyak proses yang harus dilewati. Setelah Kompilasi Hukum Islam selesai disusun dan diedarkan, bukan berarti masalah peraturan tersebut selesai disitu, karena dalam Kompilasi Hukum Islam masih terdapat pasal-pasal yang berbeda dengan hukum syariat (hukum Islam). Hal ini wajar terjadi karena Kompilasi Hukum Islam merupakan hasil ijtihad baru yang dilakukan oleh kelompok ulama Indonesia. Pada dasarnya kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam merupakan hukum kewarisan yang diangkat dari pendapat jumhur fukaha (termasuk Syafiiyyah di dalamnya). Namun dalam beberapa hal terdapat pengecualian.124 Salah satu pengecualian tersebut yaitu terdapat dalam pasal 177 tentang bagian waris untuk ayah, yang mana perbedaan di sana begitu tampak. Bagian ayah disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 177 sebagaimana berikut: ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak. Bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.125

124 1 125

Suparman Usman & Yusuf Somawinata, Fiqh Mawari, h. 96

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, h. 157.

87

Kandungan pasal di atas sekilas terlihat tidak terdapat masalah di dalamnya. Namun ketika pasal teresebut ditinjau dari pandangan hukum Islam, maka di sana akan terlihat permasalahan yang begitu jelas, yaitu tentang bagian ayah sepertiga jika tidak bersama anak. Dalil yang dijadikan landasan yaitu al-Quran terdapat pada surat an-Nisa [4] ayat 11:

.
Ibnu katsir menjelaskan dalam kitab tafsirnya bahwa dalam kewarisan, ibu dan bapak memiliki beberapa kondisi sebagai berikut: Pertama, ibu bapak bersama anak-anak. Jika demikian, maka masing-masing mendapat seperenam. Jika pewaris hanya memiliki seorang anak perempuan, maka si anak mendapat setengah, masing-masing ibu dan bapak mendapat seperenam, dan si bapak mendapat seperenam lagi karena ashabah. Dalam kondisi demikian, ayah berkedudukan sebagai penerima bagian tertentu (sebagai ash-habul al-furudh ) dan penerima ashabah. Kedua, ayah dan ibu serta saudara-saudara pewaris, baik saudara kandung atau saudara sebapak, ataupun seibu. Mereka tidak mendapatkan pusaka sedikit pun jika ada ayah. Walaupun tidak menghadap, keberadaan mereka menghijab bagian ibu dari sepertiga menjadi seperenam. Jadi, ibu mendapat seperenam jika pewaris punya

88

saudara. Jika tidak ada ahli waris ibu dan bapak, maka bapak mengambil benda pusaka.126 Ketiga, ibu dan bapak sebagai ahli waris satu-satunya. Jika demikian,maka ibu mendapat sepetiga dan ayah sebagai penerima ashabah murni. Dalam kondisi demikian, ayah bisa memperoleh dua kali lipat dari bagian ibu, yaitu dua per tiga. Jika pewaris memiliki istri atau suami, di samping ayah dan ibu, maka suami mendapat setengah dan istri mendapat seperempat. Kemudian para ulama berbeda pendapat mengenai apa yang dapat diambil ibu. Jika demikian, pendapat mereka terbagi tiga. Pendapat yang paling shahih mengatakan bahwa ibu dapat mengambil sepertiga dari sisa pada dua kasus di atas, karena sisa itu bagaikan seluruh pusaka dalam kaitan dengan ibu dan ayah. Allah telah menetapkan bagian setengah dari ibu yang diambil dari bagian yang ditetapkan Allah bagi ayah. Maka ibu mengambil sepertiga dari sisa dan ayah mengambil sisa sebagai bagian dua pertiganya itu. Inilah pendapat Umar dan Utsman. Riwayat yang paling sahih dari dua riwayat yang ada adalah dari Ali, dan riwayat inilah yang dipegang oleh Ibnu Masud dan Zaid bin Tsabit. Itulah pendapat para ulama, imam yang empat dan jumhur ulama.127 Penafsiran tentang bagian ayah dalam surat an-Nisa ayat 11 akan diketahui berdasarkan dalalah al-iqtidha ayat tersebut yang menjelaskan tentang bagian waris ayah. Terkait dalalah al-iqtidha (biasa juga disebut iqtidha an-nash), dia merupakan salah satu cara yang dipakai para ulama dalam mengambil hukum berdasarkan dari
Nasib Ar-Rifai, Taisiru Al-Aliyyul Qadir li ikhtishoriTafsir Ibnu Katsir, Terj: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Maktabah Maarif: 1989), Jilid 1, h. 120 127 Ibid, h.
126

89

lafadz-lafadz dalam al-Quran dan al-Hadits, yang lebih popular dikalangan para ualama dan para ahli bahasa dengan sebutan qawaid al-lughat (pendekatan bahasa).128 Lebih rincinya adalah sebagaimana yang ditulis Ali Hasaballah dalam kitab Ushul al-Tasyri al-Islami, bahwa qawaid al-lughat ialah kaidah-kaidah yang dirumuskan para ahli bahasa dan diadopsi oleh para pakar hukum Islam untuk melakukan pemahaman terhadap makna lafal, sebagai hasil analisa induktif dari tradisi kebahasaan bangsa Arab sendiri, baik bahasa prosa maupun syair atau nazam.129 Adapun pengertian iqtidhaal-nash (dalalah al-iqtidha), sebagaimana yang dirumuskan Zaky al-Din Syaban adalah:

.
Iqtidla al-nash ialah penunjukan lafal nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan, yang sebenarnya tergantung kepada yang tidak disebutkan.130 Dari definisi ini dapat dipahami bahwa suatu petunjuk makna lafal nash baru bisa dipahami secara jelas bila ada penambahan kata untuk memperjelas maksud yang terkandung dari suatu teks nash. Dalalah al-iqtidha adalah penunjuk lafal nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan dan penunjuk ini akan dapat dipahami jika

128 129 1 130

Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, (Jakarta: Gaung Persada Press. 2007), h. 66 Ali HAsaballah, Usul al-Tasyri al-Islami, (Mesir: Dar al-Maarif. 1971), h. 203

Zaky al-Din Syaban, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Mesir : Dar al-Talif Lit-tibaah, 1965), h. 367-368.

90

yang tidak disebutkan itu harus diberi tambahan lafal sebagai penjelasannya. Sebagai contoh dapat dilihat dalam firman Allah pada surat al-Alaq ayat 17 berikut ini:


Pengertian ayat ini belum jelas.Oleh karena itu diperlukan penjelasan dengan menambah unsur kata dari luar teks. Untuk kasus dalam ayat ini maksudnya: Maka Biarlah Dia memanggil golongannya (untuk menolong) Jika dikaitkan dengan penafsiran surat an-Nisa ayat 11 tentang bagian ayah, seharusnya ayah mengambila sisa harta (ashabah) setelah ibu mengambil bagian 1/3 (sepertiga). Hal ini seperti pada umumnya penafsiran mufassir tentang ayat tersebut, bahwa bagian ayah adalah ashabah jika tidak terdapat anak, dan hal tersebut sudah menjadi ijma. Jika dirinci secara singkat, bagian ayah dalam ilmu mawaris adalah sebagai berikut:
1. Ayah mendapat bagian 1/6 (seperenam) dengan ketentuan bahwa jika dia

mewarisi bersama farul waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu lakilaki, dan cucu perempuan).
2. Ayah mendapat ashabah bi an-Nafsi, yaitu apabila ayah mewarisi tidak

bersama farul waris.


3. Ayah mendapat 1/6 (seperenam) dan ashabah jika bersama dengan anak

perempuan atau cucu perempuan saja.

91

4. Ayah mendapat ashabah jika bersama suami atau istri dan ibu. Sedangkan

ibu mendapat 1/3 (sepertiga) sisa. Permasalahan ini biasa disebut dengan masalah gharrawain. Sedangkan pasal 177 Kompilasi Hukum Islam, secara garis besar terdapat dua keadaan ayah mendapat bagian waris dari ahli warisnya (anaknya): 1. Ayah akan mendapat 1/3 (sepertiga) jika si mayit tidak memiliki anak. 2. Dan ayah akan mendapat 1/6 (seperenam) jika si mayit memiliki anak Ayah mendapat bagian seperenam jika pewaris meninggalkan anak, hal ini telah sesuai dengan al-Quran maupun rumusannya dalam fikih sebagaimana yang telah disepakati oleh jumhur ulama. Jika pewaris tidak memiliki faru al-warits, maka ayah mendapatkan ashabah (sisa).131 Akan tetapi jika menetapkan ayah menerima sepertiga dalam keadaan tidak ada anak, maka yang demikian itu tidak terdapat dalam al-Quran, dan tidak pula tersebut dalam kitab fikih manapun. 132 Ayah kemungkinan mendapatkan 1/3, tetapi kedudukan ayah bukan sebagai salah satu dari ash-habul furud. Itupun dalam kasus tertentu seperti bersama ibu dan suami, dengan catatan ibu menerima 1/3 harta sebagaimana yang lazim berlaku dalam mazhab jumhur Ahlusunnah.133 Berdasarkan analisa yang dilakukan, setidaknya penulis akan mengangkat sebagai argumen yang dijadikan pembenaran terhadap ketentuan pasal 177 Kompilasi
131 1 132

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris.........., h. 197

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana. 2008), Cet. Ke-3, h. 329
133

Ibid

92

Hukum Islam tentang besar 1/3 bagian bagi ayah. Walaupun kenyataannya argumen tersebut masih perlu ditinjau jika melihat dari aspek syariah. Penulis perlu memaparkan hal ini, agar arah penganalisaan terhadap kewarisan 1/3 ayah dalam pasal 177 Kompilasi Hukum Islam lebih terarah dan sistematis. Penjelasan mengenai 1/3 bagian bagi ayah merupakan hasil dari metode interpretasi untuk memahami bunyi pasal tersebut. Sebab undang-undang merupakan salah satu unsur dalam sistem hukum, maka sifat dasar sistem hukum juga merupakan sistem dasar undang-undang.134 Lebih lanjut dikemukakan oleh Dworkin sebagaimana dikutip Anton Freddy Susanto hukum merupakan konsep interpretatif, ilmu hukum apapun yang ingin dianggap haruslah dibangun atas dasar suatu interpretasi.135 Berdasarkan jenisnya, maka metode penafsiran dalam ilmu hukum ada 9 macam, yaaitu: metode penafsiran gramatikal, otentik, teleologis (sosiologis), sistematis (logis), historis (subjektif), komparatif, futuristis (antisipatif), restriktif dan ekstensif. Metode interpretasi tersebut secara sederhana dapat dikelompokkan berdasarkan 2 pendekatan, yaitu (1) the textualist approach (focus on text) dan (2) the purposive approach (focus on purpose). Interpretasi gramatikal dan otentik termasuk kategori pendekatan pertama, sementara metode interpretasi lainnya mengacu kepada pendekatan kedua.136
134 1 135

Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: 1996), h. 23

Anton Freddy Sutanto, Semiotika Hukum, Bandung, 2005


1 136

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM bekerja sama dengan Coastal Resources Management Project/ Mitra Pesisir, Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir, Jakarta, 2005.

93

Setelah penulis mencoba meneliti lebih lanjut, ternyata penulis mendapati adanya kekeliuran yang sangat signifikan pada pasal 177 Kompilasi Hukum Islam. Hal ini berdasarkan hasil revisi yang dilakukan Mahkamah Agung, yaitu Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor MA/Kumdil/148/VI/K/1994 tanggal 28 Juni 1994 tentang pengertian pasal 177 Kompilasi Hukum Islam. Pasal ini seharusnya berbunyi sebagai berikut: ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu. Bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian. Jadi, maksud dari 1/3 bagian ayah dalam pasal tersebut adalah besar bagian ayah dalam masalah gharrawain, yaitu jika ayah tidak bersama anak namun bersama ibu dan suami/istri. Penulis juga berpendapat bahwasanya arti yang terkandung dalam revisi pasal di atas adalah bahwa ayah mempunyai tiga macam cara dalam mendapatkan warisan:
1.

Ayah menerima ashabah, apabila pewaris tidak meninggalkan anak. Ayah menerima 1/3 bagian bila tidak meninggalkan anak tetapi ayah

2.

bersama suami/istri dan ibu. 3. Ayah menerima 1/6 bagian bila meninggalkan anak.

Kemudian bagian 1/3 bagi ayah jika tidak bersama anak pada pasal 177 Kompilasi Hukum Islam yaitu berdasarkan asas bilateral dalam kewarisan. Dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam bermaksud untuk melindungi posisi ayah untuk mendapatkan bagian pasti, sebab jika mendapat ashabah bisa saja bagian ayah akan

94

lebih sedikit dari ibu, dan yang lebih parah bisa jadi ayah tidak mendapatkan bagian dari harta waris.

B. Tinjauan Kewarisan Terhadap Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam Tentang Bagian Waris Ayah. Hukum kewarisan dalam Islam yang didasarkan kepada ayat-ayat al-Quran bersifat qathi (absolute), baik keberadaannya maupun dalalah-nya (penunjukkan hukumnya). Oleh karenanya, pengaplikasian dan penafsiran ilmu ini tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang, karena ilmu waris membutuhkan ilmu-ilmu yang lainnya. Yaitu ilmu al-ansab (penasaban), ilmu al-hisab (perhitungan), dan juga ilmu tentang fatwa, karena ketiga ilmu tersebut dapat membantu untuk memahami ilmu waris. Merujuk dari analisa yang dipaparkan penulis di atas, maka untuk memahami makna pasal tersebut harus menggunakan metode penafsiran otentik yang dilakukan oleh Mahkamah Agung, bahwa 1/3 bagi ayah merupakan permasalahan gharrawain. Jika dirinci, maka akan didapati bahwa masalah gharrwain ini besar bagiannya sama dengan bagian ayah ketika ashabah. Penjelasannya yaitu jika ayah tidak meninggalkan anak namun bersama suami dan ibu, dalam perhitungannya maka

95

jumlah ashabah sama besarnya dengan 1/3 bagian. Untuk lebih jelasnya lihat table di bawah.

Tabel 1 Ahli waris Suami Ibu Ayah Besar bagian 1/3 sisa (setelah diambil bagian suami) ashabah Asal masalah (6) 3 1 2

Dari table di atas terlihat jelas bahwa bagian ashabah ayah sama dengan bagian 1/3, maka hal tersebut tidak mengurangi ketetapan yang ditentukan gharrawain tersebut, walaupun ada perubahan dari ashabah menjadi 1/3. Begitu juga dalam kondisi ayah mewarisi bersama istri dan ibu, kejadian ini berbeda ketika ayah mewarisi bersama suami dan ibu, karena apabila ayah mendapat 1/3 bagian akan terdapat bagian yang lebih dan bagian tersebut dikembalikan kepada ayah dalam keadaan ashabah. Sebagaimana table di bawah ini. Tabel 2 Ahli waris Besar bagian Asal masalah (4)

96

Istri Ibu Ayah

1/3 sisa (setelah diambil bagian istri) ashabah

1 1 2

Biasanya, bagian ayah selalu lebih besar dari ibu. Akan tetapi dalam kondisi seperti ini, bagian ayah yang ashabah lebih kecil dibanding bagian ibu, sebab ibu mendapat 1/3 sedangkan ayah sebagai ashabah hanya mendapat 1/6. Oleh karena itu, jika menggunakan argumen di atas, maka penulis berasumsi bahwasanya Kompilasi Hukum Islam menggunakan ijtihad Umar ra. terkait masalah gharrawain di atas untuk melindungi bagian ayah, jangan sampai lebih kecil dari bagian ibu, sebab alQuran menegaskan bahwa bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Sebagaimana yang tercantum dalam al-Quran Surat a-Nisa [4] ayat 11:

bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan (Q.S. an-Nisa:11) Sebenarnya masalah gharrawain merupakan hasil pemikiran Umar ra. yang dalam prakteknya jarang sekali terjadi. Masalah ini juga terkenal dengan sebutan umariyyatain, dan karena jarang terjadi maka disebut pula ghoribatain.137 Jadi, berdasarkan argumen ini berarti pasal 177 Kompilasi Hukum Islam hanya mengatur tentang masalah gharrawain jika ayah hanya bersama suami dan ibu.
137

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris, , h. 132

97

Dari penjelasan di atas, memang sangat berbeda dengan ketentuan yang terantum dalam al-Quran, karena dalam al-Quran ayah hanya mendapatkan ashabah apabila tidak meninggalkan anak, sebagaimana hasil ijma para ulama, walaupun di sana terdapat ibu dan suami atau istri. Terkait permasalahan gharrawain, maka dalam tinjauan kewarisan, pasal tersebut sudah sejalan dengan yang telah tertetapkan dalam hukum Islam. Namun kenyataannya dalam Kompilasi Hukum Islam terjadi ketimpangan lain yang tidak sejalan dengan syariat. Sebab Kompilasi Hukum Islam menghapus maksud lain, yaitu bagian ashabah jika tidak bersama anak dan menetapkan bagian ayah secara pasti. Di sinilah letak permasalahannya, karena Kompilasi Hukum Islam dalam pasalnya menetapkan bagian waris ayah jika tidak meninggalkan anak secara pasti, yakni 1/3 bukan ashabah. Artinya, Kompilasi Hukum Islam secara berani merubah status ayah yang semula ashabah ketika tidak bersamanya anak menjadi ash-habul al-furudh. Meskipun maksud dari pasal tersebut adalah masalah gharrawain, ayah dalam kondisi seperti ini tetap berposisi sebagai ashabah, bukan salah satu bagian dari ash-habul al-furudh sebagaimana yang telah tertetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam mendasari penetapan 1/3 bagian ayah secara pasti karena mashlahah yang akan didapat ayah dan mencegah mafsadat yang terjadi, sebagaimana kaidah fiqhiyyah menyebutkan:

98


Mendatangkan mashlahah dan mencegah mafsadah138 Mengomentari tentang mashlahah, Mustafa Zaid, sebagaimana yang diungkapkan Hasbi Umar mengemukakan satu alasan penggunaan mashlahah dalam kajian hukum sebagai berikut: bahwa tujuan diturunkannya syariat adalah agar para mukallaf tidak melakukan suatu tindakan atau perbuatan mengikuti hawa nafsunya, karena jika hawa nafsu yang menjadi landasan perbuatan, maka mereka akan dihadapkan pada mufsadat (kerusakan).139 Lebih jauh lagi, para ulama membatasi kebebasan akal dalam kajian mashlahah dengan menetapkan sejumlah kriteria sebagai berikut:140
a) Mashlahah tersebut bersifat reasonable (maqul) dan relevan (munasib)

dengan kasus hukum yang ditetapkan.


b) Mashlahah tersebut harus dapat diterima oleh pemikiran rasional. c) Mashlahah tersebut harus sesuai dengan maksud syari dalam menetapkan

hukum, dan tidak bertentangan dengan nash, baik dengan dalil-dalil tekstualnya maupun dengan dasar-dasar pemikiran substansialnya. Dengan kata lain, mashlahah itu harus sesuai dengan maqasid asy-syariah.

Abdullah Ali Bassam, Taudhihul Al-Ahkam min Bulughul Maram, (Makkah: Maktabah alAsdiy, t.t), Juz 1, h. 73 139 Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, , h. 114 Abi Ishaq al-Syatibiy, al-Muwafaqah fi Ushul al-Syariah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 1991), Jilid. 4, h. 364-367
140

138

99

Dengan demikian, jika melihat dari paparan di atas, seharusnya penetapan 1/3 (sepertiga) bagian untuk ayah dalam Kompilasi Hukum Islam bisa dikategorikan sebagai sebuah mashlahah yang harus diterapkan. Namun sesungguhnya hal itu belum, dan bahkan tidak bisa dikategorikan demikian, sebab yang paling penting dari semua itu adalah bahwa penetapan besar bagian 1/3 bagi ayah dalam Kompilasi Hukum Islam adalah penetapan hukum yang bertentangan dengan nash, yakni bagian waris ayah yang tercantum dalam surat an-Nisa ayat 11. Dan juga karena hukum kewarisan dalam Islam yang didasarkan kepada ayat-ayat al-Quran bersifat qathi (absolute), baik tsubut (keberadaannya) maupun dalalah-nya (penunjukkan hukumnya). Sebagai seorang muslim, seharusnya meyakini dengan sepenuh hati bahwasanya hukum waris dalam Islam merupakan aplikasi dari adanya maqasid asysyariah, yaitu hifz al-mal wa al-irdh. Artinya, individu seorang muslim pasti terpenuhi hak-haknya karena adanya pembagian hak waris yang telah ditentukan bagian-bagiannya, baik dalam al-Quran maupun al-Hadits. Termasuk dalam hal ini bagian ayah yang telah ditetapkan Allah SWT dalam firman-Nya adalah sebagai ashabah jika tidak mewarisi bersama anak. Perlu penulis tekankan bahwa masalah waris sangatlah sensitif. Karena itu, Allah SWT tidak membiarkan begitu saja hukum yang berkenaan dengan masalah hak kepemilikan materi (harta) ini dibagi sekehendak manusia. Dia

menjelaskankannya di dalam al-Quran dengan detail agar tidak terjadi kezaliman dan perbuatan aniaya dikalangan umat manusia, sebab bisa jadi di dalamnya terdapat hak

100

ahli waris yang lain. Dan juga Allah SWT melarang manusia untuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. al-Baqarah [2] ayat 188:


Syariat Islam telah menetapkan tentang pembagian waris, baik orangnya, hartanya maupun bagiannya secara rinci dalam nash yang sharikh. Terkait ahli waris dan bagiannya, syariat telah menetapkan hak bagian dari setiap ahli waris, sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. An-Nisa [4] ayat 7:


Bersandar dari ayat ini, dan juga berdasarkan pemaparan-pemaparan terkait ahli waris, maka dapat dipahami secara dzahir bahwa yang mendapatkan hak waris secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi empat bagian. Pertama, yaitu yang mendapatkan dengan cara fardh dan tidak akan mendapatkan dengan cara ashabah. Mereka ini terdiri dari dua dari kalangan laki-laki, yaitu suami dan laki-laki seibu,

101

dan lima dari kalangan perempuan, yaitu istri, ibu, saudara perempuan seibu, nenek dari jalur ibu ke atas dan nenek dari jalur ayah ke atas. Kedua, yaitu yang mendapatkan warisan dengan cara ashabah saja, tidak pernah mendapatkan dengan cara fardh. Mereka adalah anak laki-laki, cucu dari anak laki-laki ke bawah, saudara laki-laki sekandung, anak saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anak saudara laki-laki seayah, paman laki-laki sekandung, anak dari paman laki-laki sekandung ke bawah, paman laki-laki seayah, anak dari paman laki-laki seayah ke bawah, al-mutiq dan al-mutiqah. Ketiga, yaitu mereka yang terkadang mendapatkan warisan dengan cara fardh, dan terkadang mendapatkan warisan dengan cara ashabah. Terkadang juga mereka dalam kondisi mendapatkan warisan dengan cara fardh sekaligus sebagai ashabah. Mereka ini yaitu ayah dan kakek. Dan keempat, yaitu mereka yang terkadang mendapatkan warisan dengan cara fardh, dan terkadang mendapatkan warisan dengan cara ashabah. Namun mereka tidak berada dalam kondisi mendapatkan warisan dengan cara fardh sekaligus sebagai ashabah. Mereka itu terdiri dari empat dari kalangan perempuan, yaitu satu anak perempuan atau lebih, satu cucu perempuan dari anak laki-laki atau lebih, satu saudara perempuan kandung atau lebih, satu saudara perempuan seayah atau lebih. Dengan memperhatikan dalil-dalil dari al-Quran dan seluruh pembahasan mengenai hak bagian setiap ahli waris dalam hukum syara, maka hasil penetapan Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 177 yang menentukan ayah mendapatkan sepertiga bagian jika tidak terdapat anak adalah tindakan yang keliru karena

102

menyalahi hukum syara. Berdasarkan hal tersebut, maka tidak sepantasnya bagi umat Islam di Indonesia, terkhusus bagi para hakim di Pengadilan Agama berpedoman kepada ketentuan pasal 177 Kompilasi Hukum Islam dalam menyelesaikan permasalahan bagian waris ayah jika tidak ada anak, Sebab secara tidak langsung ia telah menentang syariat Allah. Seharusnya sebagai individu muslim untuk selalu mendahulukan hukum Allah (Syariat) daripada hukum lain, terlebih jika hukum tersebut bertentangan dengan ketentuan syariat. Menurut hemat penulis, asas ijbari yang mengandung arti bahwa ketentuan tentang pembagian harta warisan yang terdapat dalam al-Quran dan al-Hadits merupakan ketentuan hukum yang bersifat memaksa, karenanya wajib pulalah bagi setiap pribadi muslim untuk melaksanakannya. Jadi hukum adanya penetapan sepertiga bagian bagi ayah jika tidak ada anak pada pasal 177 Kompilasi Hukum Islam adalah tidak tepat (salah), karena jelas bertentangan dengan hukum Allah Taala. Karena secara tidak langsung aturan tersebut mengajak seorang muslim, khususnya bagi umat Islam di Indonesia untuk tidak taat pada ajaran Allah Taala dan mengajak mereka menyimpang dari ketentuan Allah dan Rasul-Nya dalam membagi harta waris. Sebagaimana firman Allah Taala dalam Q.S An-Nisa ayat 13-14:

103


Bahkan orang semacam ini digolongkan oleh Allah Taala sebagai orang kafir, zhalim dan fasik. Sebagaimana firman Allah Taala dalam Q.S. Al-Maidah ayat 44:


Firman Allah Taala dalam Q.S. Al-Maidah ayat 45:

Firman Allah Taala dalam Q.S. Al-Maidah ayat 47:


Berdasarkan pemaparan terkait dengan alasan pembenaran sekaligus sanggahan terhadap pasal 177 Kompilasi Hukum Islam yang dipaparkan penulis di atas, maka sebagai umat Islam yang sekaligus sebagai rakyat Indonesia, penulis menghimbau kepada otoritas negara ini untuk sesegera mungkin mengambil langkah bijak terhadap bagian waris ayah dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 177. Satusatunya langkah bijak yang bisa diambil yaitu dengan merevisi pasal 177 Kompilasi Hukum Islam, khususnya pada bagian 1/3 bagian ayah.

104

Oleh karena itu, penulis mencoba untuk menawarkan tiga opsi yang bisa diambil oleh otoritas Negara terkait yang diamanahi untuk mengubah Kompilasi Hukum Islam ini. Pertama, ketentuan pasal 177 Kompilasi Hukum Islam tentang bagian waris 1/3 ayah tersebut dihapus keseluruhan. Ini harus dilakukan karena mengakibatkan kemudharatan pada umat Islam, letak kemudharatannya yaitu pasal tersebut mengajak umat Islam untuk mengambil hukum yang tidak sesuai dengan hukum syara. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah:


Kemudharatan harus dihilangkan141 Kedua, mengubah dan memperjelas teks pasal 177 Kompilasi Hukum Islam sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT. Yaitu kalimat ayah mendapatkan sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak dengan kalimat ayah mendapatkan sisa harta (Ashabah) bila pewaris tidak meninggalkan anak. Sebab mengubah ketentuan tersebut wajib hukumnya, sebagaimana kaidah fiqhiyyah menyebutkan:


(Sarana) apa saja yang tidak sempurna dari suatu kewajiban kecuali dengan adanya hal tersebut, maka (sarana) tersebut wajib pula hukumnya142

141 142

Abdullah Ali Bassam, Taudhihul Al-Ahkam min Bulughul Maram, h. 52 Ibid, h. 65

105

Dan opsi yang terakhir yaitu sesuai dengan opsi yang kedua, kemudian menambah pasal lain yang khusus membahas permasalahan gharrawain.

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa hal yang penulis simpulkan terkait pasal 177 Kompilasi Hukum Islam tentang kewarisan ayah:
1. Penjelasan mengenai 1/3 bagian bagi ayah merupakan hasil dari metode

interpretasi yang dipakai untuk memahami bunyi pasal tersebut, yakni metode otentik. Hal ini berdasarkan hasil revisi yang dilakukan Mahkamah Agung, yaitu Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor MA/Kumdil/148/VI/K/1994

106

tanggal 28 Juni 1994 tentang pengertian pasal 177 Kompilasi Hukum Islam. Penjelasannya yakni, maksud dari 1/3 bagian ayah dalam pasal tersebut adalah besar bagian ayah dalam masalah gharrawain, yaitu jika ayah tidak bersama anak namun bersama ibu dan suami/istri. Kemudian bagian 1/3 bagi ayah jika tidak bersama anak pada pasal 177 Kompilasi Hukum Islam yaitu berdasarkan asas bilateral dalam kewarisan. Dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam bermaksud untuk melindungi posisi ayah untuk mendapatkan bagian pasti, sebab jika mendapat ashabah bisa saja bagian ayah akan lebih sedikit dari ibu, dan yang lebih parah bisa jadi ayah tidak mendapatkan bagian dari harta waris.
2. Terkait permasalahan gharrawain, maka dalam tinjauan kewarisan, pasal

tersebut sudah sejalan dengan yang telah tertetapkan dalam hukum Islam. Namun kenyataannya dalam Kompilasi Hukum Islam terjadi ketimpangan lain yang tidak sejalan dengan syariat. Sebab Kompilasi Hukum Islam menghapus maksud lain, yaitu bagian ashabah jika tidak bersamanya anak dan menetapkan bagian ayah secara pasti. Jika yang dimaksud pasal 177 Kompilasi Hukum Islam sebagai penetapan secara pasti bagian waris ayah, maka dari tinjauan kewarisan hal ini jelas diharamkan. Karena secara tidak langsung ketentuan pasal tersebut telah

107

mengajak umat Islam untuk mengikuti hukum selain hukum syariat yang telah ditetapkan oleh Allah Taala. B. Saran 1. Kepada pemerintah, khususnya otoritas yang diberi wewenang untuk merevisi Kompilasi Hukum Islam untuk meninjau kembali pasal-pasal yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam, terkhusus pasal 177 tentang bagian waris ayah untuk kemudian merevisinya sesegera mungkin. Agar masyarakat, khususnya para hakim di Pengadilan Agama bisa dengan leluasa menerapkan Kompilasi Hukum Islam tanpa dibayang-bayangi rasa takut untuk berbuat salah atau dosa.
2. Diharapkan kepada seluruh mahasiswa/i agar terus melakukan penelitian

terhadap hukum atau undang-undang, khususnya tentang Kompilasi Hukum Islam yang berlaku dinegeri ini. Sebab masih banyak permasalahan yang akan kita temui jika itu dikaitkan dengan hukum Islam. Dengan demikian bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang hukum Islam khususnya dalam masalah waris yang dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam. 3. Kepada STIS (Sekolah Tinggi Ilmu Syariah) Hidayatullah sebagai perguruan tinggi Islam, diharapkan untuk melengkapi penyediaan buku-buku di perpustakaan, khususnya buku-buku yang terkait dengan hukum Islam dalam perspektif Negara Indonesia, agar mahasiswa/i yang sedang melakukan

108

penelitian skripsi dapat menjadikannya sebagai referensi dengan tema yang sama namun dari aspek yang berbeda.

Anda mungkin juga menyukai