Anda di halaman 1dari 10

Pengaturan Wali Nikah Di Negara Irak, Brunei

Darussalam, Turki Dan Indonesia


Muzdalifah*1, Syarifah Maisarah2, Muhammad As’ad3
1,2,3
Mahasiswa, Prodi Hukum Keluarga Islam, UIN Antasari Banjarmasin
e-mail: *muzdalifah.net112@gmail.com, syarifahmaisarah40@gmail.com,
mhmmdasad704@gmail.com

Abstrak
Dalam hukum perkawinan Islam, persoalan perwalian (wali) cukup penting untuk dibahas. Di
berbagai undang-undang di negara-negara muslim seperti Irak, Brunei Darussalam., Turki dan Indonesia,
masalah perwalian telah mengalami beberapa perubahan. Tentunya terdapat perbedaan dan persamaan
mengenai perundang-undangan perwalian ini. Tulisan ini mencoba mengeksplorasi perundang-undangan
mengenai perwalian di empat negara Muslim yaitu Irak, Brunei Darussalam, Turki dan Indonesia.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi pustaka (library research) yaitu pengumpulan data
dengan cara memahami dan mempelajari teori-teori dari berbagai literatur yang berhubungan dengan
penelitian. Pengaturan wali nikah di Irak dan Turki memiliki kemiripan yaitu wali tidak dapat memaksa
seseorang yang dalam perwaliannya untuk menikah, dan juga tidak dapat mencegahnya untuk menikah
(tidak harus dengan persetujuan). Sedangkan di negara Brunei Darussalam dan Indonesia wali berperan
penting dalam perizinan pernikahan. Kedua negara ini membagi wali menjadi dua yaitu wali nasab dan
wali raja untuk negara Brunei Darussalam. Sedangkan wali nasab dan wali hakim untuk negara Indonesia.

Kata kunci : Wali Nikah, Irak, Brunei Darussalam, Turki, Indonesia

1. PENDAHULUAN
Islam telah mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Salah satunya ialah terkait
persoalan keluarga. Namun seiring dengan berkembangnya zaman dan kondisi dalam realitas
kehidupan manusia mengakibatkan hukum yang telah ditetapkan dalam nash atau Ulama-ulama
fikih mengalami pengembangan melalui pembaharuan hukum Islam. Pembaharuan hukum
keluarga di negara-negara Islam tidak lepas dari dinamika reformasi.
Bila kita lihat dalam pernyataan J.N.D Anderson dalam bukunya Islamic Law in The
Modern World, bahwa kecenderungan kategorisasi hukum Islam di dunia modern terbagi menjadi
tiga yaitu: pertama, sistem yang masih mengaku syariah sebagai dasar fundamental dan
menerapkannya secara utuh. Kedua, sistem yang telah meninggalkan syariah dan
menggantikannya dengan hukum sekuler. Ketiga, sistem yang melakukan kompromi kedua
pandangan tersebut.1
Peraturan dan penerapan Hukum Keluarga di berbagai Negara masih layak menjadi bahan
bacaan dan diskusi menarik. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan dan persamaan serta hal-hal
yang menjadi kajian Hukum Keluarga yang disesuaikan dengan daerah atau Negara asalnya.
Seperti Indonesia sendiri bahwasannya adanya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang

1
James Norman Dalrymple Anderson, “Islamic Law in the Modern World,” 1959, 83,
https://www.fulcrum.org/concern/monographs/vq27zn474.html.

Jurnal Ilmiah: Tugas Perkuliahan Hukum Keluarga Islam Di Beberapa Negara Muslim
1
Perkawinan yang juga beberapa pasal telah diperbaharui dengan munculnya Undang-Undang No.
16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta Hukum Perdata Indonesia yang sedikit banyak menjadi
acuan dalam menjawab dan menyelesaikan permasalahan Hukum Keluarga di Indonesia.
Di berbagai negara lain, dalam menyelesaikan Hukum Keluarga juga memiliki kebijakan
yang berbeda-beda. , Contohnya Brunei Darussalam lahir Hukum Kanun Brunei & Adat Brunei
Lama, Turki memberlakukan “ The Turkish Civil Code of 1926” dan Irak merujuk pada Undang-
Undang Status Personal tahun 1959.2 Dalam masing-masing negara tentunya memiliki dasar dan
landasan bagaimana negara mereka dalam menyelesaikan perkara Hukum Keluarga yang salah
satunya berkenaan dengan perwalian. Mengingat perwalian merupakan hal yang begitu penting
yang harus dimiliki oleh seorang manusia dan memiliki keterkaitan tentang hukum. Perwalian
akan menjadi alat seseorang untuk bisa mengampu seseorang manusia dalam kendalinya dalam
perbuatan hukum.
Tahir Mahmood sudah membahas masalah perundang- undangan di berbagai negara
Islam dalam kaitannya dengan hukum persoalan dan hukum keluarga dalam bukunya Personal
Law in Islamic Countries: History, Text and Comparative Analysis dan Family Law Reform in
Muslim World.3 Hal serupa dilakukan oleh Sudirman Tebba yang mengedit beberapa karya
tentang perkembangan hukum Islam di Asia Tenggara dan terbit dalam buku Perkembangan
Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Studi kasus Hukum Keluarga dan
Pengkodifikasiannya.4 Namun kedua buku ini tampak masih sangat ringkas dan sederhana. Kajian
secara spesifik dan mendalam memang juga sudah dilakukan beberapa ilmuwan, seperti Ahmad
Baidowi Dosen Faultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga dengan judul Perwalian dalam
Perundang-Undangan Indonesia, Irak dan Syiria.5
Masalah perwalian dalam hukum pernikahan Islam merupakan salah satu aspek yang
cukup menarik untuk diperbincangkan. Persoalan ini menarik karena di satu sisi ia dianggap
sebagai setidaknya oleh mazhab Maliki dan Syafi'i syarat, bahkan rukun, keabsahan dalam
pernikahan seseorang. Di lain pihak, perwalian ini dianggap sebagai salah satu bentuk
pengekangan terhadap kebebasan perempuan.6 Sebab keharusan adanya wali meru- pakan bukti
bahwa perempuan tidak memiliki kebebasan yang sesungguhnya, karena sebagian nasibnya
masih harus ditentukan oleh wali.
Hanya saja, ada hal yang sangat unik dalam sejarah perkembangan hukum Islam
mengenai masalah perwalian ini. Dalam hal ini, ada perdebatan pemikiran yang cukup dinamis
mengenai persoalan tersebut: Apa sesungguhnya fungsi wali dalam pernikahan? Pertanyaan ini
menarik karena ternyata, dalam beberapa mazhab, persoalan perwalian bukan hanya berkaitan

2
Deniansyah Damanik and Eka Mardianingsih, “Hukum Keluarga Di Dunia Islam: Eksistensi
Nasab Dan Perwalian Di Negara-Negara Muslim,” Jurnal Akademika Kajian Ilmu-Ilmu Sosial, Humaniora
Dan Agama 3, no. 3 (2022): 1.
3
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries:(History, Text and Comparative Analysis).
(Academy of Law and Religion, 1987).
4
Sidriman Tebba, Perkembangan Mutakhir Hukum Islam Di Asia Tenggara: Studi Kasus Hukum
Keluarga Dan Pengkodifikasiannya (Penerbit Mizan, 1993).
5
Ahmad Baidowi, “Perwalian Dalam Perundang-Undangan Indonesia, Irak Dan Syiria,” Musawa
3 (September 2004): 151–66.
6
Asghar Ali Engineer, Farid Wajidi, and Cici Farkha Assegaf, Hak-Hak Perempuan Dalam Islam
(Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak, 2000), 152.

Jurnal Ilmiah: Tugas Perkuliahan Hukum Keluarga Islam Di Beberapa Negara Muslim
2
dengan masalah keabsahan pernikahan seseorang, namun juga berkaitan dengan hak menikahkan
orang yang berada di bawah perwaliannya, bahkan juga terkait dengan masalah perizinan bagi
orang yang akan melakukan pernikahan.
Tulisan ini berupaya untuk memperhatikan pandangan-pandangan yang terkait dengan
masalah perwalian ini. Yang menjadi fokus tulisan ini adalah, mengenai perundang-undangan di
beberapa negara Muslim tentang masalah perwalian tersebut. Pembahasan ini tentunya
diharapkan bisa memotret dinamika pemikiran di sekitar masalah perwalian khususnya ketika
dilihat dengan perspektif gender yang belakangan menjadi semacam tuntutan untuk menegakkan
kesetaraan laki-laki dan perempuan. Tulisan ini ditujukan untuk mendalami hukum perwalian di
4 negara Islam, yaitu Irak, Brunei Darussalam, Turki dan Indonesia. Mengingat setiap Negara
memiliki kultur dan budaya serta pandangan yang berbeda-beda dan bisa saja memiliki kesamaan
pada beberapa hal.

2. METODE PENELITIAN
Metode pada artikel ini menggunakan studi pustaka (library research) yaitu metode
dengan pengumpulan data dengan cara memahami dan mempelajari teori-teori dari berbagai
literatur yang berhubungan dengan penelitian tersebut. Tahapan penelitian dilaksanakan dengan
menghimpun sumber kepustakaan, baik primer maupun sekunder. Penelitian ini melakukan
klasifikasi data berdasarkan formula penelitian.7 Pengumpulan data menggunakan cara mencari
sumber dan menkontruksi dari berbagai sumber contohnya seperti buku, jurnal dan riset-riset yang
sudah pernah dilakukan. Bahan pustaka yang didapat dari berbagai referensi tersebut dianalisis
secara kritis dan harus mendalam agar dapat mendukung proposisi dan gagasan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengaturan Wali Nikah di Irak
Sejak Irak menjadi bagian Kekaisaran Ottoman yang berlangsung sekitar 200 tahun,
Perundang-undangan Irak mengalami berbagai pembaruan. Kecuali dalam masalah hukum
keluarga, perundang-undangan di Irak ini mengalami perubahan dari tahun 1850, kemudian 1876
(Hukum Sipil), 1918 (Hukum Pidana), 1919 (Hukum Kriminal), 1951 (Hukum Sipil)28. Hukum
keluarga mulai dipisahkan dari Hukum Sipil pada awal tahun 1940-an. Pada tahun 1947 The
Chamber of Deputies mengajukan draft tentang pembaruan hukum keluarga, namun tidak ada
tindak lanjut terhadap draft tersebut hingga setelah terjadinya Revolusi tahun 1958 Dewan
Revolusi lah yang menyiapkan perundang-undangan tentang keluarga hingga terbentuk pada
Desember 1959, yang dirumuskan dari berbagai sumber hukum : Sunni, Syi'i, Mesir, Jordania
dan Syria. Perundang-undangan tahun 1959 ini kemudian mengalami dua kali amandemen, yakni
pada tahun 1963 dan 1978-1983. 8

Secara mayoritas, masyarakat muslim Irak mengikuti mazhab Hanafi. Meskipun


demikian, sebagaimana dikemukakan di atas, secara hukum, perundang-undangan tentang
keluarga di Irak tidak diambil begitu saja dari mazhab Hanafi, melainkan dirumuskan dari

7
Wahyudin Darmalaksana, Cara Menulis Proposal Penelitian (Fakultas Ushuluddin UIN Sunan
Gunung Djati Bandung, 2020), 6.
8
Baidowi, “Perwalian Dalam Perundang-Undangan Indonesia, Irak Dan Syiria,” 160.

Jurnal Ilmiah: Tugas Perkuliahan Hukum Keluarga Islam Di Beberapa Negara Muslim
3
berbagai sumber hukum. Dalam masalah perwalian ini, amandemen terbaru perundang- undangan
di Irak menyatakan bahwa:9

1. Keluarga atau siapa pun tidak bisa memaksa seseorang, apakah laki-laki atau perempuan,
untuk melakukan pernikahan jika tidak ada kerelaan dari pihak yang bersangkutan.
Pernikahan yang dilakukan karena pemaksaan akan dibatalkan jika belum terjadi hubungan
seksual. Demikian juga sebaliknya, keluarga atau siapa pun tidak bisa mencegah perkawinan
seseorang yang ingin melakukan pernikahan sejauh sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan (Pasal 9 ayat 1)
2. Siapa pun yang melanggar ketentuan di atas akan dihukum maksimal 3 tahun penjara dan
atau denda jika dia adalah keluarga tingkat pertama. Jika yang melakukan pelanggaran ini
adalah orang lain (bukan keluarga tingkat pertama), maka hukumannya adalah maksimal 10
tahun atau dipenjara minimal 3 tahun (Pasal 9 ayat 2)
3. ⁠Ketentuan hukuman dilakukan oleh Mahkamah Syariah atau Mahkamah Status Personal
(Pasal 9 ayat 3)
Dalam masalah izin wali perundang-undangan di Irak agaknya memberikan peraturan yang
sangat radikal karena ia tidak memandang perlunya izin dari wali bagi orang yang ingin
melangsungkan pernikahan. Bahkan wali yang memaksakan berlangsungnya pernikahan tanpa
ada kerelaan dari pihak-pihak yang terlibat dalam pernikahan tersebut (suami atau isteri) bisa
dikenakan hukuman, yaitu maksimal 3 tahun ketika yang memaksakan itu keluarga tingkat
pertama dan antara 3 sampai 10 tahun ketika yang memaksakan adalah selain keluarga tingkat
pertama.

Di Irak, pernikahan akan dibatalkan ketika ia dilangsungkan di bawah pemaksaan dan belum
terjadi hubungan seksual, dan orang yang telah menikahkan mereka akan diberikan hukuman
sebagaimana telah disebutkan. Pemberian hukuman dan atau denda bagi wali yang melakukan
pemaksaan terhadap seseorang untuk melakukan atau menghindari pernikahan yang ada dalam
perundang-undangan di Irak juga menunjukkan perkembangan yang sangat liberal. Dengan
berdasarkan perundang-undangan tersebut Irak tidak mengakui adanya wali mujbir dan dapat
disimpulkan bahwa di Irak wali tidak memiliki peran apa pun terhadap orang yang berada dalam
perwaliannya.

Peraturan Wali Nikah di Brunei Darussalam


Brunei Darussalam merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang melakukan
pembaharuan hukum keluarga di negaranya. Dalam MIB (Melayu Islam Beraja) sebagai ideologi
negara Brunei, termaktub di dalamnya penetapan madzhab Syafi’i (dari sisi fikihnya) dan ahl
sunnah wal jama’ah (dari sisi akidahnya).

Maka dari sini dapat terlihat jelas bahwa fikih yang dianut oleh Brunei berdasarkan pada
madzhab Syafi’i. Demikian halnya dengan produk-produk hukum Brunei yang berdasarkan atas
madzhab Syafi’i. Namun, sejalan dengan berkembangnya zaman tidak menutup kemungkinan
adanya tuntutan untuk melakukan pengembangan dan pembaharuan karena dirasa ketentuan
hukum klasik sudah tidak mampu menjawab persoalan dalam konteks modern ini. Salah satu
contoh produk pembaharuan Brunei ialah Perintah Darurat (Undang-undang Hukum keluarga
Islam) tahun 1999 yang mengatur masalah institusi keluarga khususnya terkait perkawinan dan
perceraian. Undang-undang tersebut prinsipnya memperhatikan kedudukan wanita dan memberi

9
Baidowi, 160.

Jurnal Ilmiah: Tugas Perkuliahan Hukum Keluarga Islam Di Beberapa Negara Muslim
4
keadilan serta menjamin hak wanita dalam perkawinan.10 Peraturan inilah yang menjadi rujukan
mengenai persoalan keluarga, seperti perkawinan, perceraian, nafkah, dan lainnya yang
berhubungan dengan kehidupan keluarga.Salah satunya ialah masalah perkawinan yang
didalamnya banyak membasah terkait pendaftaran perkawinan, batas minimal usia nikah,
persetujuan menikah, wali nikah, perceraian, rujuk.

Adapun mengenai Wali nikah dalam Undang-undang Negara Brunei Darussalam,


berperan dalam perizinan menikah dan dalam hal akad nikah. wali nikah pengantin perempuan
harus memberikan persetujuan atau Kadi yang mempunyai kewenangan bertindak sebagai wali
raja (Wali Hakim) apabila tidak terdapat wali nasab atau wali nasab tidak menyetujui dengan
alasan yang kurang tepat. Ketentuan tersebut termaktub dalam pasal 139 pada Undang-Undang
Brunei.11

Undang-Undang Hukum Keluarga islam Chapter 217, semakan (amandeman) 2012,


Perlembagaan Negara Brunei Darussalam, Perintah di bawah pasal 83 (3) khususnya berkenaan
wali suatu perkawinan yang akan di laksanakan pada pihak perempuan. Dalam undang-undang
ini menyebutkan peranan wali dalam sesuatu perkawinan yang akad dilaksanakan seperti
memberi izin atau mengakad nikahkan mauliahnya. Selanjutnya pasal 8 ayat (4) menyatakan
bahwa wali perempuan yang akan diakad nikahkan harus memberi izin dan izin tersebut dicatat
dalam formulir yang ditetapkan. Setelah itu, barulah boleh juru nikah menjalankan upacara
pernikahan. Juru nikah adalah orang-orang yang mendapat wewenang dari sultan untuk
menjalankan akad nikah.

Walaupun juru nikah mempunyai wewenang untuk menjalankan sebagaimana di jelaskan


pada Pasal 8 ayat (3). Akan tetapi seorang juru nikah hanya dapat mengakad nikahkan mempelai
jika sudah ada izin dari wali perempuan. Kecuali jika wali enggan menikahkan dengan sebab-
sebab yang tidak sesuai dengan hukum syara' maka juru nikah merujukkan perkara tersebut
kepada pendaftar nikah dimana pernikahan itu dilangsungkan untuk mendapatkan putusan. Bagi
perempuan yang tidak mempunyai wali nasab maka akan ditetapkan dengan wali hakim (wali
raja).12 Aturan perwalian ini dikenal dalam mazhab Syafi’i, dimana seorang wanita yang mau
menikah harus mendapatkan izin dari walinya. Demikian pula berlaku di Negara Brunei yang
mengharuskan adanya wali dari sebuah pernikahan.13

Pengaturan Wali Nikah di Turki


Negara Turki adalah negara sekuler di mana hukum keluarga telah digantikan dengan
undang-undang atau hukum modern yang berlaku untuk seluruh penduduk.14 Di Turki lebih
dikenal dengan reformasi hukum (law reform) dengan kecenderungan menerapkan hukum Eropa
dan mengatup sistem sekularisme dalam sistem pererintahannya terutama pada era Kemal
Attaturk atau dikenal kemalisme, meskipun pada era tanzimat mampu melakukan kanunisasi

10
Ade Irma Imamah, “Hak Penolakan Rujuk Di Indonesia Dan Negara Brunei Darussalam
Perspektif Hukum Islam, Gender, Dan HAM” (Master’s Thesis, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), 86,
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/43954.
11
Ulin Nadya Rif’atur Rohmah and Miftahul Huda, “Ketentuan Hukum Keluarga Di Brunei
Darussalam Dan Indonesia,” Jurnal PIKIR: Jurnal Studi Pendidikan Dan Hukum Islam 6, no. 1 (2020): 7.
12
Humaira Potabuga, “Pembaharuan Hukum Keluarga Islam Di Brunei Darussalam,” 112–13,
accessed March 1, 2024, https://jurnal.iainpalu.ac.id/index.php/blc/article/view/516.
13
A. Intan Cahyani, “Hukum Keluarga Islam Di Brunei Darussalam,” Jurnal Al-Qadau:
Peradilan Dan Hukum Keluarga Islam 2, no. 2 (2015): 155.
14
Qodir Zaelani, “Pembaruan Hukum Keluarga: Kajian Atas Sudan–Indonesia,” Al-’Adalah 9, no.
1 (2017): 331.

Jurnal Ilmiah: Tugas Perkuliahan Hukum Keluarga Islam Di Beberapa Negara Muslim
5
(taqnin) berupa pengundangan majallat al-Ahkam al-’Adliyyah dengan spesifikasi pada
formalisasi hukum keluarga (family law al-ahwal al-syakhsiyyah) yang secara sosiologis
merupakan bentuk dukungan masyarakat Turki waktu itu.

Dalam amandemen hukum keluarga yang dilakukan oleh Turki pada tahun 1926 terkait
ketentuan-ketentuan tentang pertunangan (masalah taklik talak), batsan usia minimal boleh nikah,
poligami, pencatatan perkawinan, perceraian dan waris. Dalam soal perkawinan, hukum
perkawinan tidak lagi dilakukan sesuai dengan syari’at Islam, tetapi dilakukan sesuai dnegan
hukum sipil (code civil) yang diadopsi dari Swiss (Swiss Civil Code). Berkaitan dengan ketentuan
batasan usia minimal boleh nikah, dalam Undang-undang Turki (The Ottoman Law Of Family
Right 1917 “capacity to marry” act 4-8) mengatur, bahwa umur minimal seseorang yang hendak
melaksanakan perkawinan adalah 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan.
Pengadilan juga dapat mengizinkan pernikahan pada usia 15 tahun bagi laki-laki dan 14 tahun
bagi perempuan setelah mendapat izin orang tua atau wali. Dalam menentukan batasan usia
perkawinan ini tidak jauh beda dengan pendapat yag dikemukakan oleh mazhab Hanafi terkait
masa baligh bagi laki-laki dan perempuan, yaitu 18 tahun bagi anak laki-laki dan 17 tahun bagi
anak Perempuan.
Berkembangnya zaman, maka terjadi pergolakan politik di Turki sehingga juga
mempengaruhi stabilitas perundang-undangan. Pada akhirnya Turki mengadopsi peraturan
perundang-undangan Swiss (The Swiss Civil Code tahun 1926) sehingga peraturan tentang
batasan usia minimal boleh nikah juga berubah, yang pada awalnya batasan umur laki-laki adalah
18 tahun menjadi 17 tahun begitu juga perempuan menjadi 17 tahun yang tertera dalam Undang-
Undang Sipil Turki 1926 adalah “seorang laki-laki dan perempuan tidak dapat menikah sebelum
berumur 17 tahun”. Kecuali dalam kasus-kasis tertentu, pengadilan mengijinkan terjadinya
pernikahan umur 16 tahun bagi laki-laki dan perempuan, setelah adanya konsultasi/ ijin wali atau
orang tuanya. (The Turkish Civil Code 1926/ Undang-Undang Sipil Turki 1926) Perubahan
tersebut juga dilatar belakangi oleh bias gender yaitu banyaknya tuntutan kesetaraan antara kaum
perempuan dan laki-laki. Terhadap calon mempelai yang tidak memenuhi sebagaimana umur
perkawinan dalam Undang-undang tersebut calon mempelai atau walinya boleh mengajukan
dispensasi nikah. 15 Dengan berdasar kepada pengaturan The Turkish Civil Code 1926 tersebut,
Wali tidak dapat memaksakan pernikahan, wali juga tidak dapat mencegah pernikahan (tidak
harus dengan perseujuannya) baik untuk pengantin laki-laki maupun pengantin Wanita.16

Pengaturan Wali Nikah di Indonesia


Di Indonesia ketentuan yang berkenaan dengan perkawinan telah diatur dalam peraturan
perundangan Negara yang khusus berlaku bagi warga Negara Indonesia. Aturan perkawinan yang
dimaksud yaitu Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya dalam bentuk
Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975. Di samping peraturan perundang-undangan negara yang
disebutkan di atas dimasukkan pula dalam pengertian Undang-Undang Perkawinan dalam
bahasan ini diatur atau ketentuan yang secara efektif telah dijadikan oleh hakim di Pengadilan
Agama sebagai pedoman yang harus diikuti dalam penyelesaian perkara perkawinan, yaitu
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang penyebarluasannya dilakukan melalui Instruksi
Presiden RI No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kompilasi Hukum Islam
disusun untukmelengkapi Undang-Undang Perkawinan dan diusahakan secara praktis
mendudukkannya sebagai hukum perundang-undangan meskipun kedudukannya tidak sama

15
Yulia Fatma, “Batasan Usia Perkawinan Dalam Hukum Keluarga Islam (Perbandingan Antar
Negara Muslim: Turki, Pakistan, Maroko Dan Indonesia),” JURIS (Jurnal Ilmiah Syariah) 18, no. 2 (2019):
117.
16
Damanik and Mardianingsih, “Hukum Keluarga Di Dunia Islam: Eksistensi Nasab Dan
Perwalian Di Negara-Negara Muslim,” 164.

Jurnal Ilmiah: Tugas Perkuliahan Hukum Keluarga Islam Di Beberapa Negara Muslim
6
dengan itu. Dalam kedudukannya sebagai pelaksanaan praktis dari Undang-Undang Perkawinan,
maka materinya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan.17
Undang-undang perkawinan menyebutkan adanya wali dalam perkawinan, yang terdapat pada
Pasal 50 yang diberisi:
Pasal 50
(1) “Anak yang belum mencapai umur 18 (depalan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orangtua, berada
dibawah kekuasaan wali”.
(2) “Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya”.18
a. Analisis Yuridis Peranan Wali Nikah Menurut Fiqh Islam dan Kompilasi Hukum
Islam, (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.
261/K/AG/2009), h. 1-2 Penjelasan tentang wali secara lengkap dijelaskan dalam
KHI dan keseluruhannya mengikuti fiqh mazhab jumhur ulama, khususnya
Syafi’iyah. Pada Pasal 19,20,21,22,23 KHI (Kompilasi Hukum Islam) Nomor 1
Tahun 1991.19
Pasal 19
“Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon
mempelai wanita yang bertindak menikahkannya.”
Pasal 20
(1) “Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum
Islam yakni muslim, aqil, dan baligh
(2) “Wali nikah terdiri dari: a. wali nasab; b. wali hakim
Pasal 21
(1) “Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan; kelompok yang satu
didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kerabat dengan calon
mempelai. Pertama: Kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas, yakni ayah, kakek dari
pihak ayah dan seterusnya. Kedua: Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau
saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka Ketiga: Kelompok kerabat
paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki
mereka. Keempat: Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah
kakek, dan keturunan laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama
berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat
derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling berhak
menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah
(4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni samasama derajat
kandung kandung atau sama-sama berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan
yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22
“Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memnuhi syarat sebagai wali
nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tunawicara; tunarungu atau sudah uzur,

17
Miftahul Jannah, “Kedudukan Wali Dalam Hukum Keluarga Di Dunia Islam (Studi Komparatif
Peraturan Perundang-Undangan Indonesia Dan Maroko)” (B.S. thesis, Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), 34,
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/47582.
18
“UU No. 1 Tahun 1974,” accessed February 20, 2024,
https://peraturan.bpk.go.id/Details/47406/uu-no-1-tahun-1974.
19
Kompilasi Hukum Islam, n.d., https://perpustakaan.mahkamahagung.go.id/assets/resource/
ebook/23. pdf.

Jurnal Ilmiah: Tugas Perkuliahan Hukum Keluarga Islam Di Beberapa Negara Muslim
7
maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat
berikutnya.”
Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau
tidak mungkin menghadirkannya atau tidak di ketahui tempat tinggalnya atau gaib atau
adhal atau enggan.
(2) Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim baru bertindak sebagai wali nikah
setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Pasal 107
(1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum
pernah melangsungkan perkawinan.
(2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya.
(3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka
Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali
atas permohonan kerabat tersebut.
(4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah
dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.
Pasal 108
“Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan
perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia.”
Pasal 109
“Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan
menindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut
pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau menyalah gunakan hak dan
wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah
perwaliannya.”
Pasal 110
(1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya
dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan
keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya.
(2) Wali dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada
dibawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang
berada di bawah perwaliannya yang tidak dapat dihindarkan.
(3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan
mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.
(4) Dengan tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam pasal 51 ayat (4) Undang-undang
No.l tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan
pembukuan yang ditutup tiap satu tahun satu kali.
Pasal 111
(1) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah
perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah menikah.
(2) Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang mengadili
perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang
diserahkan kepadanya.
Pasal 112
“Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang
diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma'ruf kalau wali fakir.”

Jurnal Ilmiah: Tugas Perkuliahan Hukum Keluarga Islam Di Beberapa Negara Muslim
8
4. KESIMPULAN
Pengaturan mengenai perwalian berbeda-beda disetiap negara. Di negara Irak tidak
memandang perlunya izin dari wali bagi orang yang ingin melangsungkan pernikahan dan
seorang wali tidak memiliki peran apa pun terhadap orang yang berada dalam perwaliannya,
dalam artian wali tidak dapat memaksa seseorang dalam melangsungkan pernikahan, dan jika hal
tersebut terjadi maka akan dikenakan hukuman sesuai dengan peraturan negara mereka.
Lain hal dengan wali nikah di negara Brunei Darussalam, wali berperan dalam perizinan
menikah dan dalam hal akad nikah. Wali nikah pengantin perempuan harus memberikan
persetujuan atau Kadi yang mempunyai kewenangan bertindak sebagai wali raja (Wali Hakim)
apabila tidak terdapat wali nasab atau wali nasab tidak menyetujui dengan alasan yang kurang
tepat. Ketentuan tersebut termaktub dalam pasal 139 pada Undang-Undang Brunei.
Sedangkan di negara Turki lebih dikenal dengan reformasi hukum (law reform) dengan
kecenderungan menerapkan hukum Eropa dan menganut sistem sekularisme dalam sistem
pererintahannya. Di Turki wali tidak dapat memaksakan pernikahan, wali juga tidak dapat
mencegah pernikahan (tidak harus dengan persetujuannya) baik untuk pengantin laki-laki maupun
pengantin Wanita.
Berbeda dengan negara Indonesia, secara garis besar ada dua macam wali nikah dalam
perkawinan, yaitu wali nasab dan wali hakim. Pengaturan mengenai wali nikah di negara
Indonesia termuat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan pada Bab IV Rukun dan
Syarat perkawinan pada bagian ketiga Wali Nikah dimulai dari pasal 19 hingga pasal 23.

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, James Norman Dalrymple. “Islamic Law in the Modern World,” 1959.
https://www.fulcrum.org/concern/monographs/vq27zn474.html.
Baidowi, Ahmad. “Perwalian Dalam Perundang-Undangan Indonesia, Irak Dan Syiria.” Musawa
3 (September 2004): 151–66.
Cahyani, A. Intan. “Hukum Keluarga Islam Di Brunei Darussalam.” Jurnal Al-Qadau: Peradilan
Dan Hukum Keluarga Islam 2, no. 2 (2015): 147–60.
Damanik, Deniansyah, and Eka Mardianingsih. “Hukum Keluarga Di Dunia Islam: Eksistensi
Nasab Dan Perwalian Di Negara-Negara Muslim.” Jurnal Akademika Kajian Ilmu-Ilmu
Sosial, Humaniora Dan Agama 3, no. 3 (2022): 50–66.
Darmalaksana, Wahyudin. Cara Menulis Proposal Penelitian. Fakultas Ushuluddin UIN Sunan
Gunung Djati Bandung, 2020.
Engineer, Asghar Ali, Farid Wajidi, and Cici Farkha Assegaf. Hak-Hak Perempuan Dalam Islam.
Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak, 2000.
Imamah, Ade Irma. “Hak Penolakan Rujuk Di Indonesia Dan Negara Brunei Darussalam
Perspektif Hukum Islam, Gender, Dan HAM.” Master’s Thesis, Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/43954.
Jannah, Miftahul. “Kedudukan Wali Dalam Hukum Keluarga Di Dunia Islam (Studi Komparatif
Peraturan Perundang-Undangan Indonesia Dan Maroko).” B.S. thesis, Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/47582.
Kompilasi Hukum Islam, n.d.
https://perpustakaan.mahkamahagung.go.id/assets/resource/ebook/23.pdf.
Mahmood, Tahir. Personal Law in Islamic Countries:(History, Text and Comparative Analysis).
Academy of Law and Religion, 1987.

Jurnal Ilmiah: Tugas Perkuliahan Hukum Keluarga Islam Di Beberapa Negara Muslim
9
Potabuga, Humaira. “Pembaharuan Hukum Keluarga Islam Di Brunei Darussalam.” Accessed
March 1, 2024. https://jurnal.iainpalu.ac.id/index.php/blc/article/view/516.
Rohmah, Ulin Nadya Rif’atur, and Miftahul Huda. “Ketentuan Hukum Keluarga Di Brunei
Darussalam Dan Indonesia.” Jurnal PIKIR: Jurnal Studi Pendidikan Dan Hukum Islam
6, no. 1 (2020): 1–18.
Tebba, Sidriman. Perkembangan Mutakhir Hukum Islam Di Asia Tenggara: Studi Kasus Hukum
Keluarga Dan Pengkodifikasiannya. Penerbit Mizan, 1993.
“UU No. 1 Tahun 1974.” Accessed February 20, 2024.
https://peraturan.bpk.go.id/Details/47406/uu-no-1-tahun-1974.
Zaelani, Qodir. “Pembaruan Hukum Keluarga: Kajian Atas Sudan–Indonesia.” Al-’Adalah 9, no.
1 (2017): 331–42.

Jurnal Ilmiah: Tugas Perkuliahan Hukum Keluarga Islam Di Beberapa Negara Muslim
10

Anda mungkin juga menyukai