Anda di halaman 1dari 8

JURNAL REVIEW

Conceptualizing Authority Of The Legalization Of Indonesian Women’s Rights In


Islamic Family Law

Diajukan guna untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Teori-Teori Penmbelajar

Dosen Pengampu : Dr. Akhmad Syahri

Oleh :

MAULIDA ZAENATUN NADZIIFAH


12010170047

PROGRAM PASCASARJANA
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
TAHUN PELAJARAN

2018
REVIEW JURNAL INTERNASIONAL

A. Identitas Artikel
1. Nama Penulis : Abu Rokhmad dan Sulistiyono Susilo
2. Tahun Terbit : 2017
3. Judul : Conceptualizing Authority Of The Legalization Of Indonesian
Women’s Rights In Islamic Family Law
4. Nama Jurnal : Journal of Indonesian Islam
5. Volume : 11
6. Halaman : 489-508 (19 halaman)
B. Deskripsi Jurnal
Dalam jurnal ini terdapat beberapa poin pembahasan meliputi Abstract, introduction,
contain, dan conclusion. Pada Abstract menjelaskan bahwa Berbagai studi tentang
hukum keluarga Islam (Islamic Family Law) di Indonesia menunjukkan paradigma abadi
budaya patriarki baik dalam ide-ide dan aplikasi praktis. Hal ini merupakan konsekuensi
logis dari upaya untuk memberlakukan doktrin-doktrin tradisional Islam dalam hukum
modern. Dominasi budaya ini di IFL, yang mengakibatkan diskriminasi terhadap
perempuan di Indonesia, telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan membutuhkan
revisi. Upaya reformasi juga dibutuhkan dalam produk hukum turunan lainnya, seperti
regulasi syariah lokal. Semua upaya ini diperlukan untuk menjamin hak-hak keadilan dan
sama anak-anak dan wanita. Dalam jurnal ini penulis ingin menjalaskan bahwa penulis
ingin mengkonsep kontruksi otoritas patriarkal dan melegalkan hak, peran, dan status
gender di Indonesia.
Dalam penelitian ini penulis mentitik tekankan pada masalah status gender di
Indonesia. Indonesia, sebagai negara demokratis muslim terbesar di dunia, telah berusaha
untuk mempromosikan wajah restoratif dalam memenuhi hak-hak gender. Upaya terus-
menerus dalam menghilangkan diskriminasi gender memiliki telah dibuat oleh negara dan
salah satu upaya adalah melalui peningkatan kapasitas legislasi dan beberapa hal-hal
terkait hukum untuk meningkatkan hak-hak dan status perempuan yang sama.
diskriminasi besar-besaran terhadap perempuan Indonesia masih prevalensi, tidak hanya
soal doktrin, melainkan keberadaan dan dominasi otoritas agama dan politik tidak sensitif
terhadap masalah gender. Undang-undang hukum keluarga, kompilasi tradisional praktek
percobaan di mana hakim memprioritaskan argumen keagamaan klasik dalam
menentukan putusan hukum Islam dan, telah membatasi hak-hak perempuan baik di ranah
domestik dan publik. Semua kondisi ini telah menyebabkan panggilan untuk revisi dan
perbaikan dari produk hukum untuk menjamin keadilan dan persamaan hak anak dan
perempuan.
Dalam penelitian ini menjelaskan hak dan status hukum perempuan di Indonesia
dalam kasus perceraian, istri hidup setelah perceraian, dan warisan. Makalah ini berusaha
untuk mengonstruksi kembali konsep otoritas patriarkal di melegalkan hak, peran, dan
status gender di Indonesia dengan mempertimbangkan kembali konsepsi otoritas gender
teks-suci Quran, sunnah, dan literatur hukum Islam serta sistem hukum modern.
Dalam hak dan status Perempuan Indonesia, Dalam kasus penghapusan bias gender,
prestasi Indonesia tercermin dalam Indeks Pembangunan Relasi Gender (GDI), tepat di
belakang negara-negara tetangga (Bank Dunia, 2014; UNDP, 2014). Pada tahun 2013, di
Indonesia GDI adalah di 98 keluar dari 186 negara. Posisi ini sedikit berbeda dari tahun
2002, mengambil posisi 91 dari 144 negara. Saat ini perempuan Indonesia lebih
beruntung dibandingkan dengan perempuan jaman dahulu, perempuan jaman sekarang
sudah diperlakukan secara adil.
Dalam jurnal ini menjelaskan bahwa adanya keprihatinan yang mendalam dari kaum
feminis Indonesia tentang beberapa peraturan yang diberlakukan di tingkat nasional dan
regional yang tampaknya telah menjadi uapaya sistematis unuk mendeskripsikan
perempuan. Sebuah studi oleh Komnas Perempuan (Komnas Perempuan) (2012)
mengungkapkan bahwa formalisasi hukum Islam di berbagai daerah di Indonesia telah
mendiskriminasikan hak dan posisi perempuan di ranah publik. Hingga 2012, ada hanya
sekitar 78 peraturan daerah yang mendukung hak-hak perempuan. Sebaliknya, ada sekitar
282 peraturan daerah yang diberlakukan oleh 69 kabupaten/kota di 21 provinsi yang telah
melanggar hak-hak perempuan. Tidak hanya itu, peraturan tersebut juga dapat dikritik
karena tidak sejalan dengan landasan filosofis resmi nasional, Pancasila dan UUD 1945.
Isu-isu seperti kebebasan berekspresi, yang diwakili oleh pembatasan pada kode
berpakaian untuk wanita, perlindungan berkurang dan jaminan hukum bagi perempuan di
kriminalisasi melalui peraturan (qanun) tentang prostitusi dan pengasingan, dan
penghapusan perlindungan hak pekerja migran memang berada di kompatibel dengan
prinsip-prinsip dalam Pancasila dan UUD 1945. Apa yang menambah kekhawatiran dari
kaum feminis adalah kenyataan bahwa fenomena ini peraturan daerah telah meningkat
secara signifikan dari 64 peraturan di tahun 2006 menjadi 154 peraturan pada tahun 2010.
Pada tahun 2013, angka ini lagi meningkat hingga 342 peraturan.
Dalam hukum Keluarga Islam (IFL) dalam Indonesia ini bertujuan untuk menjamin
kestaraan hak perempuan. Dalam aspek perceraian di Indonesia telah membatasi
perceraian secara sepihak dari suami yang memutuskan bahwa perceraian antara suami
istri harus dilegitimasi pengadilan. Hukum Keluarga memperkenalkan dua metode
perceraian yang dapat dipilih oleh seorang istri, sebagaimana diatur dalam Pasal 148
Kompilasi Hukum Islam. Setelah kedua belah pihak setuju kompensasi keuangan yang
harus dibayar (iwadl), Pengadilan Agama mengeluarkan keputusan yang memungkinkan
suami untuk melaksanakan perceraian melalui Thalaq (Pasal 4). Dalam hal ini, tidak ada
banding. Namun, jika tidak tercapai kesepakatan berkaitan dengan jumlah kompensasi,
Pengadilan Agama akan memeriksa dan mempertimbangkan kasus ini sebagai kasus biasa
(Pasal 6).
Penulis juga mengatakan Isu lain dari bias gender dalam kasus hak waris. dalam hal
ini, otoritas patriarki masih tampaknya memiliki niat yang kuat untuk mempertahankan
clas rumus sical dari hak waris, baik dalam aspek hukum dan peradilan. Sayangnya,
terobosan besar dan reformasi dibuat dalam regulasi mengenai poligami dan perceraian
melalui intervensi Negara tidak jelas dalam aspek warisan. Bukti-bukti bahwa regulasi
warisan masih mendukung dengan view patriarki. Masalah lainnya terkait dengan
pemenuhan hak-hak istri setelah perceraian.
Orientasi Ortodoks dari Legislasi Hukum Keluarga Islam Reformasi hukum keluarga
adalah masalah multifaset yang mencerminkan debat sosial dan politik dengan dua
orientasi. Yang pertama adalah kelompok tradisional yang mempertahankan pembacaan
literal dari korpus doktrinal. Yang kedua adalah kelompok modernis yang
mempromosikan reinterpretasi dari sumber-sumber asli Islam, yaitu, al-Quran dan al-
Sunnah. upaya modernis untuk menafsirkan kembali hukum Islam kadang-kadang dilihat
sebagai upaya untuk mengubah hukum Islam, shari'ah, dari pada hukum atau fiqh Islam.
Fiqh, seperti pemahaman para ahli hukum Islam, yang merupakan salah satu sumber
utama kecenderungan pada kitab suci dalam hukum keluarga, bukan hanya warisan
budaya dan spiritual umat Islam, tetapi juga kekuatan untuk perubahan sosial.
Pembenaran Hukum dari orientasi Gender IFL. Sistem perundang-undangan hukum
modern membuat interpretasi dan ide-ide tentang teori-teori hukum Islam tidak lagi
terpusat di otoritas tunggal, tetapi campuran dari berbagai pandangan dari kelompok-
kelompok tertentu, seperti ulama kontemporer, ahli hukum Islam, dan aktivis. Salah satu
tantangan utama yang dihadapi oleh masyarakat Muslim kontemporer, dan terutama oleh
perempuan, adalah tantangan untuk dapat berpikir tentang kekuasaan Islam dalam bentuk
baru dan model. Salah satu isu yang harus dipertimbangkan adalah legitimasi otoritas
kelompok perempuan, pemimpin perempuan agama, dan kepemimpinan mereka dalam
proses pengambilan keputusan dari agama, politik, dan produk hukum.
Sebagai implikasinya, domain otoritas keagamaan terutama dalam pembuatan fatwa
kontrak, daripada realisasi dan formalisasi nilai-nilai Islam dalam produk hukum.
Tantangan oposisi konvensional pada otoritas tersebut baik dalam otoritas hukum atau
agen etis. Sebuah studi yang dilakukan di Mesir menunjukkan bahwa fatwa dari otoritas
keagamaan untuk umat terlihat lebih sebagai rekomendasi etis daripada sebagai ones
mengikat hukum. Menurut studi, fatwa, sebagai salah satu praktik otoritas kontrak Islam,
adalah bentuk otoritas yang luas terhubung dengan praktek, kebaikan, dan tujuan tradisi
Islam kontemporer yang terbentuk dan kemudian merupakan dalam keadaan modern
melalui pengakuan statusnya diterima sebagai acuan oleh pengadilan agama.
Perbedaan paradoks antara otoritas fatwa dan pengadilan agama telah membuktikan
bahwa fungsi fatwa lebih mungkin sebagai agen etis. Meskipun kedua berasal dari hukum
Islam, fatwa memiliki otoritas yang signifikan dalam sistem hukum Islam meskipun tidak
resmi didirikan. Di sisi lain, pengadilan agama tidak berpengaruh bermakna seperti fatwa
meskipun mereka memiliki status hukum. Dominasi formalistik-tertentu daripada
perspektif integral substantif membuat penafsiran di luar teks-teks agama yang diakui
oleh kaum konservatif menjadi kurang efektif dan tidak Islami. Dalam menentang
dominasi ini, feminis Muslim telah mulai menjelajahi kerangka meliputi keragaman yang
lebih luas dan lebih komprehensif dan hukum pluralistik untuk mendukung argumen
reformasi dari beragam perspektif: agama, hak asasi manusia, konstitusi, hak-hak dasar,
dan realitas kehidupan perempuan.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh umat Islam feminis dalam
mengadvokasi dan membenarkan urgensi reformasi hukum adalah kurangnya dukungan,
atau dalam beberapa kasus resistensi, dari pemerintah atau otoritas agama. Oleh karena
itu, keterlibatan dan partisipasi aktif dari para sarjana tradisional dalam mempromosikan
dan mengarusutamakan kesetaraan gender adalah penting untuk memastikan kredibilitas
dan validitas kewenangan aktivis jender dalam menafsirkan prinsip-prinsip dasar Islam.
Hal yang paling penting dari reformasi adalah wujud nyata dari penerapan hukum Islam
sesuai dengan konteks Indonesia modern, termasuk sistem peradilan, hukum positif, dan
pengakuan dari model baru dari rancangan undang-undang hukum Islam, di samping
model kontemporer untuk pelaksanaan syariah.
Dalam kesimpulannya penulis menybutkan Fleksibilitas dari reformasi hukum
keluarga Islam, sebagai salah satu bentuk fiqh (yurisprudensi), telah dituntut oleh
perempuan Muslim. Salah satu argumen adalah bahwa hukum modern adalah produk
murni dari undang-undang modern dan oleh karena itu berbeda dengan syariah. Dalam hal
ini, mereka juga berpendapat bahwa, dalam undang-undang modern, kewenangan untuk
menyusun dan menafsirkan teks tidak boleh dimonopoli oleh beberapa elit, di sini
termasuk tokoh agama.
Ide fleksibilitas sebenarnya dapat ditemukan dalam skema fiqh klasik bagi umat
Islam. Fiqh klasik adalah warisan budaya yang dapat diartikan secara dinamis sesuai
dengan faktor-faktor lain termasuk waktu dan tempat. Oleh karena itu, orang-orang opsi
yang diberikan untuk dapat mengadopsi dan atau untuk beradaptasi dengan perubahan dan
realitas kontemporer. Sebagai produk legislasi, hukum keluarga sarat dengan tuntutan,
orientasi, minat, dan suara-suara dari berbagai pihak untuk pemenuhan kesetaraan gender
untuk memperkuat hak-hak hukum, peran, dan status sosial perempuan di ranah domestik
dan publik. Sesuai dengan asumsi bahwa setiap generasi Muslim memiliki kewajiban
untuk menafsirkan sumber utama agama sesuai dengan kebutuhan dan kondisi
kontemporer, modernis menolak untuk menerima non-reserve doktrin klasik hukum.
Selain itu, mereka juga menganjurkan reinterpretasi dari wahyu Tuhan atau teks ilahi
untuk diturunkan sebagai seperangkat doktrin yang sesuai dengan kondisi modern.
C. Analisis Jurnal
1. Pendekatan
Dalam juranal ini peneliti menggunakan pendekatan Literature. Jenis
penelitian ini adalah library research (penelitian berdasarkan tinjauan pustaka).
2. Metode
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Jenis penelitian ini
adalah library research (penelitian berdasarkan tinjauan pustaka).
3. Konten / isi
Fleksibilitas dari reformasi hukum keluarga Islam, sebagai salah satu bentuk
fiqh (yurisprudensi), telah dituntut oleh perempuan Muslim. Salah satu argumen
adalah bahwa hukum modern adalah produk murni dari undang-undang modern dan
oleh karena itu berbeda dengan syariah. Dalam hal ini, mereka juga berpendapat
bahwa, dalam undang-undang modern, kewenangan untuk menyusun dan menafsirkan
teks tidak boleh dimonopoli oleh beberapa elit, di sini termasuk tokoh agama.
Ide fleksibilitas sebenarnya dapat ditemukan dalam skema fiqh klasik bagi
umat Islam. Fiqh klasik adalah warisan budaya yang dapat diartikan secara dinamis
sesuai dengan faktor-faktor lain termasuk waktu dan tempat. Oleh karena itu, orang-
orang opsi yang diberikan untuk dapat mengadopsi dan atau untuk beradaptasi dengan
perubahan dan realitas kontemporer. Sebagai produk legislasi, hukum keluarga sarat
dengan tuntutan, orientasi, minat, dan suara-suara dari berbagai pihak untuk
pemenuhan kesetaraan gender untuk memperkuat hak-hak hukum, peran, dan status
sosial perempuan di ranah domestik dan publik. Sesuai dengan asumsi bahwa setiap
generasi Muslim memiliki kewajiban untuk menafsirkan sumber utama agama sesuai
dengan kebutuhan dan kondisi kontemporer, modernis menolak untuk menerima non-
reserve doktrin klasik hukum. Selain itu, mereka juga menganjurkan reinterpretasi
dari wahyu Tuhan atau teks ilahi untuk diturunkan sebagai seperangkat doktrin yang
sesuai dengan kondisi modern.
Egalitarianisme dan emansipasi otoritas keagamaan memainkan peran yang
sangat penting dalam membuat dan menjamin hukum keluarga yang responsif
terhadap perubahan Sepanjang kali dan responsif terhadap varietas lokalitas dan
budaya.
Satu perlu sangat penting saat ini adalah kebutuhan untuk membuka ruang
bagi partisipasi aktif dan keterlibatan banyak pihak dalam proses reevaluasi dan
revisi. Ini juga dengan mengakomodasi suara-suara dan aspirasi dari apa yang disebut
feminis. Memang, telah ada ruang yang sangat sedikit untuk ini. Otoritas atas
legalisasi hak jender diberikan hanya untuk ulama laki-laki dengan perspektif
patriarki sangat bertentangan dengan fakta bahwa keterlibatan perempuan untuk
membangun kemampuan dalam menentukan nasib dan kepentingan mereka adalah
suatu keharusan. Oleh karena itu, pengakuan hak-hak perempuan adalah upaya yang
relevan untuk mengakomodasi suara-suara perempuan dan feminisme. Dalam cahaya
untuk konsep otoritas baru sesuai IFL Indonesia dengan realitas modern dan tuntutan,
itu adalah perlu eklektisisme berbagai sumber hukum multikultural, termasuk
demokrasi, hak asasi manusia dan keragaman hukum. Keragaman hukum mendorong
lebih positif dan progresif praktek reformasi memungkinkan kelompok perempuan
untuk dapat menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam normatif dapat dilakukan di hari-
hari modern.
4. Analisis
Indonesia, sebagai negara demokratis Muslim terbesar di dunia, telah berusaha
untuk mempromosikan wajah restoratif dalam memenuhi hak-hak gender. Upaya
terus-menerus dalam menghilangkan diskriminasi gender memiliki telah dibuat oleh
negara dan salah satu upaya adalah melalui peningkatan kapasitas legislasi dan
beberapa hal-hal terkait hukum untuk meningkatkan hak-hak dan status perempuan
yang sama. Untuk memberikan gambaran, beberapa pasal dalam UU Perkawinan No
1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tahun 1991 telah memberikan
perlindungan hukum bagi perempuan dan anak-anak. Selain itu, sejumlah undang-
undang dan perjanjian telah disetujui dan disahkan untuk tujuan yang sama, seperti
peraturan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (2004), tentang
perlindungan korban (2006), dan pada anti-trafficking (2007). Selain itu, reformasi
sistem peradilan juga telah diperkenalkan oleh pengadilan agama.
Namun, diskriminasi besar-besaran terhadap perempuan Indonesia masih
prevalensi, tidak hanya soal doktrin, melainkan keberadaan dan dominasi otoritas
agama dan politik tidak sensitif terhadap masalah gender. Undang-undang hukum
keluarga, kompilasi tradisional praktek percobaan di mana hakim memprioritaskan
argumen keagamaan klasik dalam menentukan putusan hukum Islam dan, telah
membatasi hak-hak perempuan baik di ranah domestik dan publik. Semua kondisi ini
telah menyebabkan panggilan untuk revisi dan perbaikan dari produk hukum untuk
menjamin keadilan dan persamaan hak anak dan perempuan. Studi isu-isu gender di
Indonesia, dan khususnya hubungan dengan Islam, tetap merupakan topik yang selalu
menarik untuk dibahas. Salah satu fakta yang paling menarik adalah tidak adanya
kemauan politik untuk mempromosikan reformasi dan memperbaharui hukum
keluarga yang paling mendasar, Undang-Undang Perkawinan 1974.
Penemuan dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa rekonstruksi otoritas
dalam undang-undang modern Hukum Keluarga Islam harus dimulai dengan
memastikan kesetaraan hak perempuan baik dalam aspek hukum dan peradilan. Hal
ini membutuhkan melibatkan perempuan dalam proporsi yang tepat dalam pembuatan
kebijakan publik, undang-undang hukum keluarga. Strategi lain yang dibutuhkan
adalah advokasi hak-hak perempuan untuk menghindari bias gender hukum karena
otoritas politik dan legislatif didominasi oleh kelompok laki-laki.

Anda mungkin juga menyukai