Anda di halaman 1dari 6

Whose Authority?

Contesting and Negotiating the Idea of a Legitimate


Interpretation of Islamic Law in Indonesia By Prof Alfitri Ph.D

1. Buatlah telaah (review) artikel terlampir dengan menggunakan


model review Harvard Law School – IGLP
Pendahuluan
Prof Alfitri merupakan guru besar di Universitas islam Negri Sultan
Aji Muhammad Idris di Kota Samarinda, Indonesia. Dalam historis
pendidikannya beliau menempuh pendidikan Magister dan
mendapatkan gelar M.A (Hukum Islam) dan LL.B (Syari’ah) di UIN
Sunan Kalijaga, tidak berhenti disitu, selanjutnya Prof Alfitri
melanjutkan kembali pendidikannya dan mendapatkan gelar LL.M
kembali di Universitas Melbourne serta mendapatkan gelar Ph.D
konsentrasi (Hukum/Hukum, Masyarakat & Keadilan) di Universitas
Washington.
Dalam isi kajian jurnal tersebut, Prof Alfitri membahas
tentang otoritas hukum Islam dan legitimasi upaya pemerintah untuk
membuat undang-undang dan menafsirkan hukum islam di
Indonesia, dengan cara mengkaji evolusi otoritas Islam dalam
sejarah Indonesia dan cara-cara dimana otoritas tersebut
diperebutkan dan di negoisasikan di Indonesia kontemporer. Prof
Alfitri menyatakan bahwa, ia melihat ketegangan antara
kesinambungan dan perubahan pengembangan hukum Islam dan
strategi yang digunakan oleh berbagai agent untuk memajukan versi
norma hukum Islam yang mereka sukai: sementara Negara
mengadopsi pendekatan sintetik untuk mengakomodasi berbagai
otoritas hukum dan hukum Islam. Sehingga, untuk meningkatkan
keefektifan undang-undangnya, para ulama’ menekankan
kewibawaan fiqh sebagai acuan yang tidak dapat diubah dalam
menyelesaikan hukum yang dihadapi umat Islam. Dalam hal ini prof
Alfitri menjelaskan beberapa point mengenai sejarah reformasi
hukum keluarga sebagai contoh, untuk itu kembali mari kita
paparkan ulang secara ringkas mengenai permasalahan yang dikaji
diantaranya:
Pertama, usulan yang diberikan presiden soeharto mengenai
perubahan undang-undang perkawinan tahun 1974 yang menuai
kecaman langsung dan meluas pada warga rakyat muslim
diparlemen dan kemarahan para pengunjuk rasa yang dipicu oleh
fakta bahwa RUU tersebut ditulis tanpa memasukkan dari
departemen agama. Sehingga kelompok muslim yang melihat bagian
tertentu mengenai doktrin Islam tentang pernikahan sebagai contoh
banyak yang menyatakan kekhawatirannya yang mendalam tentang
pasangan mengharuskan untuk memenuhi persyaratan hukum
pernikahan yang sah; misalnya kedua belah pihak menyetujui
pernikahan yang dilakukan bagi pasangan cukup umur dan tercatat
scara resmi oleh pegawai pencatat nikah yang tidak lain ialah untuk
memberikan perlindungan bagi istri dan anaknya kelak atas haknya
disuatu hari apabila terdapat permasalahan dimasa yang akan datang,
hal ini bertentangan dengan mazhab Syafi’i yang lebih sederhana
yaitu menawarkan ijab dan qobul serta dihadiri oleh dua orang saksi.
Dari kontroversi diatas, pada akhirnya Berujung pada pengesahan
undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Pengesahan undang-undang tersebut dimungkinkan oleh sangkut-
pautnya kompromi antara partai persatuan pembangunan (PPP) yang
mewakili suara suara muslim di parlemen, salah satu faktor yang
diungkap oleh ialah pengaruh kuat hukum agama Islam terhadap
pernikahan. Konflik antara fikih dan undang-undang serta penegasan
otoritas para ahli hukum Islam sebagai penafsir de facto hukum
Islam juga melihat dalam upaya baru ini menegaskan undang undang
perkawinan pada tahun 2010 didesign oleh Mahkamah Agung dan
Kementerian Agama juga para ulama, agen pengadilan agama dan
kelompok kelompok hak asasi penemuan ini terbukti sangat
kontroversial dan DPR menolak untuk menyetujuinya sampai
sekarang. Kelompok muslim dan para pemimpin ormas terbesar
Muhamadiyah dan NU serta MUI terus menentang RUU karena
tersebut berisi ketentuan yang akan membuat praktik pernikahan
yang tidak terdaftar sebagai tindak pidana. Secara historis, Indonesia
belum memiliki panduan formal untuk menyelesaikan konflik
hukum Islam. Pembentukan Mahkamah Konstitusi Indonesia pada
tahun 2003 memperkenalkan sebuah forum baru di mana keabsahan
hukum Islam atau pendapat para ahli hukum Islam dapat diputuskan.
Pengenalan mengenai RUU hak asasi manusia pada tahun 2000 juga
sebagai rangkaian dari amandemen konstitusi memberikan hak
kepada umat Islam Indonesia untuk menggugat hukum hukum Islam
yang telah disahkan oleh DPR karena melanggar hak mereka atas
kebebasan beragama perlakuan yang sama atau kebebasan dari
segala bentuk diskriminasi, dan menimbulkan masalah struktural
karena para hakim Mahkamah Konstitusi tidak memiliki pelatihan
hukum Islam klasik yang diperlukan untuk melaksanakan tugas sulit
dalam mengadili perselisihan yang diperdebatkan antara kelompok
konservatif muslim dan negara mengenai sejauh mana hukum Islam
harus diakui diterapkan dan ditegakkan oleh negara sebagai berikut,
Muhammad Insa vs Negara, dimana dalam hal ini Insa
mengajuka permohonan untuk membahas konstituslitas atas
pembahasan poligami yang diberlakukan di dalam undang-undang
perkawinan, dalam tuntutannya Insa menyatakan bahwa pembatasan
poligami membatasi kekebasannya dalam beribadah kepada Allah
SWT. Insa menuntut MK untuk menyatakan bahwa undang-undang
perkawinan itu inskonstitusional, sehingga batal demi hukum, pada
akhirnya MK memutuskan bahwa monogamy mewakili hak asasi
manusia. Poligami tetap diperbolehkan apabila suami mampu untuk
berlaku adil untuk setiap rumah tangga dengan ini pembatasan
poligami. Sederhananya bahwa kasus diatas ialah seorang warga
muslim menentang otoritas pemerintah untuk menafsirkan
monogamy sebagai prinsip inti pernikahan dan memberikan batasan
terhadap praktek poligami bagi umat Islam.
Halimah vs Negara yang mengajukan petisi yang
menyangkut konstitusionalisme UU perkawinan yang mengakui
‘Perbedaan yang tidak dapat didamaikan/kerusakan yang tidak dapat
diperbaiki’ diantara suami-istri sebagai dasar perceraian ini. Halimah
membuktikan saksi ahli ialah Musda Mulia yang dalam
pembelaanya bahwa perbedaan yang tidak dapat didamaikan ini
melanggar ha katas perlindungan dan keadilan. Mahkamah
Konstitusi memandang bahwa ‘perbedaan yang tidak dapat
didamaikan’ tersebut sebagai alasan yang sah karena sudah tidak
terdapat tujuan dari hakikat pernikahan itu sendiri yakni membangun
keluarga yang sakinah,mawaddah dan rahmah. Sehingga dalam
kasus diatas ialah bentuk dari warga muslim menentang legitimasi
campur tangan pemerintah dalam urusan keluarganya.
Machica vs Negara mengenai konstitualisme hukum anak
diluar nikah. Dalam permasalahan tersebut dimaksudkan anak diluar
nikah ialah sah secara agama namun tidak tercatat. Dalam
keputusannya MK mengabulkan setengah dari permohonan machica
bahwa UU perkawinan pasal 43 ayat 1 menyatakan tidak
konstitusional, tetapi demi menjaga konstitualitasnya MK
menyatakan ulang kepada badan legislative untuk merevisi ulang
undang-undang tersebut. Pada akhirnya MK menyatakan bahwa
Anak yang dilahirkan diluar pernikahan mempunyai hubungan
perdata hanya kepada ibu berserta keluarganya saja dan ayahnay
apabila dapat dibuktikan dengan ilmiah sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
Kedua, hukum pernikahan telah berkembang pesat dengan
adanya kompilasi hukum Islam yang menjadi Intruksi Presiden
tahun 1991 dan juga terdapat tantangan didalamnya dari kalangan
ulama’ Indonesia. Kelompok konserfatif menyatakan KHI terlalu
kontemporer dari fiqh tradisional untuk dimasukkan kedalam
reformasi hukum di Indonesia. Kelompok liberal (CLD-KHI, 2004)
cenderung memandang KHI hanya meningkatkan status perempuan
dalam perkawinan yang mencermikan fiqh klasik yang diambil dari
perpektif timur tengah kemudiakn dikodifikasi sesuai dengan
keadaan di Indonesia. Kaum liberal mengusulkan dalam upayanya
untuk mereformasi hukum keluarga islam yang sejalan dengan
norma kontemporer yang terdapat kesetaraan gender dan hak asasi
manusia, namun pada akhirnya hal tersebut ditolak oleh ormas Islam
dan MUI sehingga Menteri Agama memilih untuk menghapuskan
kelompok liberal tersebut agar tidak menimbulkan kersesahan yang
berkelanjutan di masyarakat.
Kesimpulan
Dari kesimpulan yang disajikan, Prof Alfitri menyatakan tentang
siapa yang lebih berwenang dalam menyatakan mengenai kejelasan
sumber hukum islam yang otoritatif bukanlah suatu hal yang jelas,
sementara itu ulama’ yang memiliki pengaruh besar atas aktivitasnya
terhadap fungsi di Indonesia, sehingga mereka bersaing dengan
professor, hakim, peneliti, aktivis yang mana satupun dari mereka
tidak memiliki wewenang besar secara tradisional dalam
mengembangkan hukum Islam. Sumber otoritas tekstual tradisional
juga masih dipertanyakan, meskipun fiqh klasik mazhab sunni
sebagian besar telah menjadi sumber hukum Isdalm di Indonesia
hingga saat ini, dalam hal ini juga mendapat tantangan dari sejumlah
ahli hukum reformis dikalangan ulama’ akademisi dan mahkamah
agung dalam berupaya menyelesaikan permasalahan kontemporer
(penafsiran langsung terhadap Al-Qur’an dan ushul fiqih yang
dipasukan dengan ilmu humaniora dan sosial).
Disisi lain, pendekatan sintetik terhadap pemafsiran hukum
dimungkinkan oleh keakraban para praktisi dengan berbagai
pendekatan terhadap hukum Islam di dunia kontemporer sebagai
bagian dari pelatihan di sekolah hukum syariah. Disisilain,
kelompok ulama’ yang dalam hal ini diwakili oleh organisasi
masyarakat tetap menekankan pendekatan ortodoks terhadap hukum
Islam dengan memberikan pengaruh pada isi undang-undang yang
tetap mempertahankan prinsip-prinsip hukum Islam yang setia pada
yurisprudensi Islam klasik (Fiqh). Selanjutnya, perpecahan yang
mnegakibatkan perselisihan yang berlarut-larut mengenai status
hukum Islam dalam sistem hukum nasional, serta keabsahan
mengenai penafsiran hukum Islam di Indonesia, dan umat Isalm di
Indonesia juga memperdebatkan sejauh mana hukum Islam harus
diskui, diterapkan dan ditegakkan oleh Negara dan perdebatan ini
masih bersifat akademis tanpa keputusan konklusif. Namun,
pembentukan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003 menimbulkan
pertanyaan apakah Mahkahah Konstitusi dapat memberikan jawaban
pasti mengenai pertanyaan hukum Islam di Indonesia. Namun
hingga saat ini tiba berdebatan mengenai peran Negara Indonesia
yang tepat dalam masyarakat Islam akan terus berlanjut.
Kedua, Selanjutnya metode intervensi ilmiah yang digunakan dalam
karya ilmiah ini dipaparkan oleh Prof Alfitri menggunakan metode
intervensi ilmiah dengan penceritaan kembali sejarah untuk
menantang ausmsi dasar suatu disiplin ilmu dari argument ‘artikel
ini mengkaji sejarah evolusi otoritas hukum Islam di Indonesia’
kemudian juga disetiap poin pembahasan juga memaparkan sejarah
dan kontra salah satunya tentang undang-undang pernikahan 1974.
Kedua, memetakan secara kritis kesadaran pihak yang berkuasa
dengan argument yang disebutkan ‘Mahkamah dalam menyelesaikan
konflik antara fiqh dan undang undang Mahkamah juga menemukan
bahwa norma-norma Konstitusi mengesampingkan fiqh mengenai
masalah status anak-anak yang lahir di luar nikah, dan memilih
untuk tidak membedakan antara anak yang lahir di luar nikah. tetapi
pernikahan yang sah secara agama dan anak yang lahir di luar nikah
dan mengatribusikan ayah yang tidak ditentukan oleh fiqh klasik’.
Hal inilah yang melatar belakangi Prof Alfitri dalam menyajian
jurnal ini dengan tujuan untuk menyajikan secara sistematis kepada
readers tentang ialah memberi gambaran melalui tentang dimana
dari para actor saling memiliki peran masing-masing dan
menegoisasikan ketegangan yang terjadi hingga saat ini, sehingga
tidak lain dari karya ilmiah ini dapat menjadi masukan bahwa dalam
menetapkan hukum diperlukan kolaborasi dan sinergi dari para actor
berdasarkan bidang keilmuannya masing-masing. Dalam kajian
tersebut, kelebihan yang dapat audiens tinjau ialah bahwa karya
ilmiah ini telah disajikan menggubakan bahasa asing, sehingga
menambah keilmuan dalam bahasa asing. Kelebihan selanjutnya
bahwa jurnal imliah tersebut telah disajikan secara terperinci dan
sistematis serta dkarenakan menggunakan pendekatan sejarah dan
sosiologis semakin yakin dan dapat dibuktikan bahwa jurnal ilmiah
ini dapat ditangkap oleh audiens/readers dengan baik dan
membangun pemikiran yang kritis diera permasalahan kontemporer
yang hingga saat ini masih hangat terjadi di masyarakat.

2. Identifikasi pendekatan apa yang digunakan oleh artikel tersebut


untuk menjawab isu hukum yang diangkat (otoritas hukum Islam di
Indonesia).
Dalam pembahasan karya ilmiah ini Prof Alfitri menggunakan
metode konseptual historis dengan mengkaji secara sistematis
dengan pendekatan sosiologis yang menjadi fenomena dimayarakat,
dengan rgumen atas pemaparan penyaji ‘otoritas hukum Islam dan
legitimasi upaya pemerintah untuk membuat undang-undang dan
menafsirkan hukum islam di Indonesia, dengan cara mengkaji
evolusi otoritas Islam dalam sejarah Indonesia dan cara-cara dimana
otoritas tersebut diperebutkan dan di negoisasikan di Indonesia
kontemporer sebagai contoh hal yang dikaji diantaranya sejarah
reformasi hukum keluarga yang ditelaah ialah sejarah dan
penerimaan undang-undnag perkawinan nomor 1974 tentang
pernikahan dan tiga perkara diatas (pembatasan poligami, anak
diluar nikah dan kodifikasi hukum islam melalui KHI serta kaum
liberal CLD-KHI tahun 2004)’.
3. Jika digunakan pendekatan tradisional hukum Islam (doktriner atau
teologis normatif) untuk menjawab isu hukum yang diangkat (siapa
atau apa otoritas hukum Islam di Indonesia), apakah jawabannya
akan sama dengan temuan/argumen dari penulis? Jelaskan jawaban
anda ketika menjawab pertanyaan 3 ini: sama atau tidak sama!
Dalam karya tulis ilmiah yang dikaji oleh saudari Luk luk Nur
Mufidah yang berjudul ‘Pendekatan teologis dalam kajian Islam’
dalam tinjauan Historis Teologi Islam yang diajarkan di Indonesia
pada umumnya adalah teologi dalam bentuk ilmu tauhid. Ilmu tauhid
biasanya kurang mendalam dalam pembahasannya dan kurang
bersifat filosofis. Selanjutnya, ilmu tauhid biasanya memberi
pembahasan sepihak dan tidak mengemukakan pendapat dan paham
dari aliran-aliran atau golongan-golongan lain yang ada dalam
teologi Islam. Pendekatan normatif ini dapat diartikan sebagai upaya
memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan
yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu
keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan
dengan yang lainnya. Dengan demikian bahwa jawaban tidak lain
dari hasil penelitian yang disajikan oleh Prof Alfitri tentu berbeda.
Karena dalam pemaparan jurnal ilmiah pendekatan Teologis tersebut
juga disebutkan bahwa menjadi lebih keras untuk mendorong
pengikutnya menjadi lebih agresif dan tidak dikhawatirkan
memperhatikan nilai kemaslahatan dalam setiap permasalah yang
terjadi dan tidak mengindahkan pandangan aliran mazhab.

Anda mungkin juga menyukai