Anda di halaman 1dari 42

Curriculum Vite

Nama : Moh. Nafik, M.HI


Tmpt & Tgl Lahir : Bangkalan, 23 Februari 1977
Alamat : Jln. Margorukun Gg 4 No. 11 Surabaya
Mawar 2 No. 22 Perumnas Kediri
Telp : Indosat 085648706060 WA / LINE / IMO
XL 087759447060
Telkomsel AS 085107636464
Kantor : Lab. Peradilan
Jabatan : Kepala lab. Peradilan
Instansi : IAIN KEDIRI
Pendidikan
Terakhir : S1 ( Syari’ah ) IAIN Sunan Ampel Surabaya
S2 ( Syari’ah ) IAIN Sunan Ampel Surabaya
ِ ‫بِ ۡس ِم ٱهَّلل ِ ٱلر َّۡح ٰ َم ِن ٱلر‬
‫َّح ِيم‬

Oleh : Moh. Nafik M.HI


Fakultas Syariah Prodi Hukum Keluarga Indonesia
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri 2022
 Mata Kuliah : Hkm Perkawinan Islam Di
Indonesia
 Kode Mata Kuliah : -
 MK Prasyarat : -
 Fakultas / Prodi : Syari’ah / HKI
 Jenjang : Strata 1
 Bobot : 2 sks
Pertemuan Ke III

 Hari / Tanggal : Selasa, 15 Maret 2022


 Fakultas / Prodi : Syari’ah / HKI
 Semester : ( Genap )
 Tahun Akademik : 2020 - 2021
 Materi :
2. Penerapan Hukum Islam dan Positif
Latar Belakang munculnya counter legal draft (CLD) KHI dan
RUU HMPA bidang perkawinan
Metode Pembaruan hukum perkawinan di Indonesia.
Topik Inti
1. Sejarah lahirnya UU. No. 1 Tahun 1974 dan KHI Kodifikasi hukum
perkawinan Islam di Indonesia dan tujuan perundang-undangan hukum
perkawinan Islam di Indonesia.
2. Penerapan Hukum Islam dan Positif Latar Belakang munculnya counter
legal draft (CLD) KHI dan RUU HMPA bidang perkawinan Metode
Pembaruan hukum perkawinan di Indonesia.
3. Pengertian, dasar, prinsip, dan tujuan perkawinan Keabsahan
perkawinan dalam UU. No. 1 Tahun 1974, KHI, CLD KHI dan RUU
(HMPA) Hukum Materil Peradilan Agama.
4. Mahar, Pencatatan, wali, saksi dan usia mempelai dalam perkawinan
dalam UU. No. 1 Tahun 1974, KHI, CLD KHI dan RUU HMPA.
5. Hak dan Kewajiban Suami Isteri dalam UU. No. 1 Tahun 1974, KHI, CLD
KHI dan RUU (HMPA) Hukum Materil Peradilan Agama dan Peraturan
Perundang-undangan yang terkait;
-Pembagian Peran dan Fungsi dalam Keluarga
-Kepemimpinan Keluarga
-Nafkah
Latar Belakang munculnya Counter Legal
Draft (CLD)

CLD-KHI adalah rancangan hukum kontra terhadap


hukum Islam dari KHI-Inpres.
KHI-Inpres berisi aturan hukum Islam yang mengatur
perkawinan, warisan dan sumbangan Islam.
Meskipun tidak penting, tapi hampir 100 persen dari
aturan hukum Islam di KHI yang disebut oleh hakim
di Pengadilan Agama dalam membuat putusan.
Bahan-bahan tersebut juga disebut oleh aparatuses dan
pejabat dari Kantor Urusan Agama (Kantor Urusan
Agama) dan banyak anggota masyarakat.
KHI-Inpres juga memberikan kepastian hukum karena tidak
mengusulkan perubahan hukum sebagai fiqh. Berdasarkan
alasan ini, Pokja PUG Departemen Agama choosed KHI-
Inpres, tidak RUU HTPA, sebagai bahan baris dalam
merumuskan CLD-KHI.
 CLD-KHI diatur oleh tim yang terdiri dari individu-
individu dengan berbagai latar belakang studi Islam.
Beberapa dari mereka memiliki hubungan dengan pesantren
dan sisanya ke IAIN / UIN.
 Beberapa dari mereka adalah anggota dari Lembaga
Swadaya Masyarakat, dan lainnya adalah anggota
organisasi Islam seperti NU, Muhammadiyah, dan MUI.
Hanya dua orang yang berasal dari Departemen Agama.
Selain kelompok kerja, perumusan CLD-KHI
melibatkan beberapa ulama, ahli, dan aktivis LSM
Islam yang memberikan kontribusi penting untuk ide-
ide dan pemikiran tentang pembaharuan hukum
keluarga Islam.
CLD-KHI dilakukan oleh Pokja berdasarkan latar
belakang pendidikan mereka hukum Islam,
keterlibatan mereka pada isu-isu perempuan, dan
kepedulian mereka pada perspektif gender dalam
membaca harta hukum Islam .
Berbagai organisasi dan jaringan LSM juga
dipertimbangkan dalam memutuskan individu yang
terlibat dalam tim.
 Pekerjaan utama dalam proses perumusan
CLD-KHI sedang mengkaji KHI-Inpres,
mempelajari literatur Islam klasik, dan
melakukan penelitian lapangan di lima
wilayah (Sulawesi Selatan, Sumatera Barat,
Jawa Barat, Aceh, dan Nusa Tenggara
Barat), melakukan pemeriksaan ilmiah,
memilih dan menyerap pandangan ulama
dan ahli hukum, mempublikasikan dan
menyebarluaskan produk dan pemeriksaan
umum.
Pada tahun 2003, Departemen Agama mengusulkan
rancangan sementara pada aturan yang diterapkan hukum
untuk Pengadilan Agama (Undang-Undang Hukum Terapan
Peradilan Agama (RUU HTPA) ke Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). Draft melengkapi bahan milik KHI dan upgrade status
KHI dari Instruksi Presiden menjadi ketentuan
 Tujuan pencatatan perkawinan, yaitu sebagai jaminan
ketertiban perkawinan, sebagaimana dalam Pasal 5 ayat
(1), yaitu: “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi
masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.”
 Akibat hukum perkawinan yang tidak dalam pengawasan
PPN adalah tidak mempunyai kekuatan hukum,
sebagaimana dalam Pasal 6, yaitu:
  Bahan dari CLD-KHI disebutkan dalam bagian terakhir dari
buku yang berjudul
Pembaruan Hukum Islam: Counter Legal Draft Kompilasi
Hukum Islam (The Pembaruan hukum Islam: Counter Legal
Draft ke Kompilasi Hukum Islam). Seperti KHI-Inpres,
naskah CLD-KHI juga terdiri dari tiga bab,

 [1] buku tentang hukum Islam tentang pernikahan


(19 bab dan 116 artikel)
 [2] Buku II tentang hukum waris Islam (8 bab dan
42 artikel)
 [3] Buku III tentang hukum Islam dari sumbangan
properti (5 bab dan 20 artikel).
CLD-KHI (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam-)
diatur oleh Kelompok Kerja Pengurus utama Gender
Departemen Agama RI tahun 2004. CLD berisi usulan revisi
peraturan hukum keluarga di Indonesia yang diformat dari
perspektif demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia dan gender
dalam konteks masyarakat Indonesia.
 Konsep ini telah menyebabkan pro dan kontra di antara
anggota masyarakat. Lawan umumnya berasal dari umat
Islam kelompok yang menjunjung tinggi agenda
pelaksanaan syariah, sementara para pendukung datang
dari muslim kelompok yang mempromosikan kesetaraan
dan keadilan gender, hak asasi manusia, demokrasi dan
pluralisme.
Tim melakukan pekerjaan mereka selama dua tahun, 2003-
2004, dan berhasil mengatur naskah CLD-KHI yang terdiri
dari 125 pages.
CLD-KHI termasuk artikel yang terdiri dari ide-ide utama dan
latar belakang mereka, agenda dan harapan, dan metode
perumusan hukum Islam.
Ide-ide utama diletakkan di Pendahuluan. Naskah akademik
ditulis dalam bab dua di bawah tilte "Menuju Kompilasi
Hukum Islam (KHI) Indonesia Yang pluralis Dan Demokratis"
Bagian terakhir dari naskah menjelaskan KHI-Inpres dan
yang metodologis Masalah dengan mengacu beberapa
prinsip dari teori hukum Islam sebagai dasar perumusan
CLD-KHI.
Penolakan draft adalah hasil dari penggunaan
perspektif aneh dalam studi hukum Islam seperti
demokrasi, gender dan hak asasi manusia yang
dianggap sebagai gangguan dari Barat terhadap
hukum Islam, dan produk dari perspektif tersebut
tidak mencerminkan ide-ide berasal dari Al-Qur'an
dan Hadits.
Pembaharuan hukum keluarga Islam dalam sejarah politik
hukum di era Independent-Indonesia ditandai dengan
diterbitkannya Undang-Undang 1/1974 tentang
pernikahan di paruh pertama Orde Baru.
Tujuh belas kemudian, Kompilasi Hukum Islam (KHI)
dianggap sebagai hukum bahan Pengadilan Agama diatur
berdasarkan Instruksi Presiden No 1/1991
 Menanggapi rancangan HTPA, pada tanggal 4
Oktober 2004 tim kerja yang disebut
Kelompok Kerja Pengarusutamaan Jender
Departemen Agama RI (kelompok Kerja
Pengarusutamaan Gender Departemen Agama
Republik Indonesia / Pokja PUG Depag)
meluncurkan draft pada hukum Islam dikenal
sebagai Counter Legal Draft Kompilasi
Hukum Islam (Draft Counter Legal dari
Kompilasi Hukum Islam / CLD-KHI).
Draft ini mengusulkan beberapa konsep
tentang pembaruan hukum keluarga Muslim
dalam bentuk rancangan sementara hukum
perkawinan, hukum waris Islam, dan hukum
pada properti disumbangkan ke penggunaan
agama (wakaf).
Rancangan ini terdiri dari 178 artikel dan
mengusulkan beberapa poin dari ide-ide
pembaruan hukum Islam.
Dibandingkan dengan KHI-Inpres, pembaharuan
pada CLD-KHI berkonsentrasi pada tiga bidang;
perkawinan, warisan dan wakaf
No PERKAWINAN KHI- Impres No1 /1991 CLD- KHI
1 Pernikahan Pernikahan adalah bentuk ibadah (Pasal 2) Pernikahan bukan bentuk ibadah
('ibadah), tetapi milik mu'amalat
(kontrak berdasarkan kesepakatan
bersama antara dua pihak) (Pasal
2)

2 Wali Ini adalah pilar (RUKN) pernikahan (Pasal Hal ini tidak pilar pernikahan
14) (Pasal 6)
3 Administrasi Tidak pilar perkawinan (Pasal 14) Pilar perkawinan (Pasal 6)
Pernikahan
4 Perempuan saksi Perempuan tidak diizinkan untuk menjadi Perempuan, seperti laki-laki
dalam pernikahan saksi (Pasal 25) diperbolehkan untuk menjadi saksi
dalam pernikahan (Pasal 11)

5 Usia minimal Tua untuk pengantin 16 tahun, dan 19 Tua untuk kedua pengantin 19
yeras tua untuk pengantin pria (Pasal 15) tahun (Pasal 7)

6 Pernikahan untuk Tidak peduli usia, dia harus menikah di Gadis dalam 21 tahun dia berusia
Virgin (gadis yang bawah kendali walinya atau orang atas bisa menikah tanpa izin darinya
pernah nama walinya (Pasal 14) wali (Pasal 7)
menikah
sebelumnya)
7 Mahar Diberikan oleh pengantin pria ke Dapat diberikan oleh
pengantin (Pasal 30) pengantin untuk pengantin
pria dan sebaliknya (Pasal
16)
8 Sikap suami& istri Suami adalah kepala keluarga dan istri Stance, hak dan kewajiban
adalah kiper rumah tangga (Pasal 79) suami dan istri adalah sama
(Pasal
49)
9 Kebutuhan dasar (Pasal 80 angka 4) Kewajiban suami dan istri
hidup (nafkah) (Pasal 51)
Kewajiban suami
10 Perjanjian tentang Tidak Diatur, Diatur; pernikahan berakhir
periode waktu bersama-sama dengan
tertentu akhir periode tercantum
pernikahan
dalam perjanjian (Pasal 22,
Tidak diatur
28, dan 56 titik [a])
11 Antar-agama pernikahan Diizinkan, asalkan bertujuan
Benar-benar dilarang untuk mencapai tujuan
(Pasal 44 dan 61) perkawinan (Pasal 54)
12 Poligami (ta'addud Diizinkan, dengan beberapa kondisi Tidak diizinkan sama sekali,
al-zawjât) (Pasal 55-59) haram li ghairihi
(Pasal 3)
13 Iddah (masa 'Iddah hanya diterapkan pada istri (Pasal 'Iddah diterapkan untuk kedua
transisi) 153) suami dan istri (Pasal 88)

14 Iddah cerai Berdasarkan dukhûl (Pasal 153) Berdasarkan akad, bukan pada dukhûl
(Pasal 88).

15 Ihdâd (berkabung) Ihdâd hanya diterapkan pada istri (Pasal 170) Selain untuk istri, ihdâd juga
diterapkan pada suami (Pasal 112)

16 Nusyuz (memberontak usyuz hanya mungkin Nusyuz dapat dilakukan dengan istri
Dari melakukan dilakukan oleh istri (Pasal 84) dan suami (Pasal 53 [1])
Kewajiban)

17 Khulu` (perceraian oleh Khulu` dinyatakan sebagai Thalaq bâ'in Sughra, Khulu` adalah sebagai sama Thalaq,
inisiatif istri) baik suami dan istri yang diizinkan untuk suami dan istri yang diizinkan untuk
mendamaikan dengan kontrak pernikahan baru reconcilliate (raj'iy Thalaq) (Pasal 1 dan
(Pasal 119) 59)
No HUKUM WARIS KHI- Impres No.1/ 1991 CLD- KHI
1 Agama yang Hal ini menjadi kendala (mani ') Ini bukan halangan (mani ‘)
berbeda antara dalam proses pewarisan (Pasal 171 dalam proses pewarisan
orang mati dan dan 172) (Pasal 2)
ahli warisnya

2 Anak ilegal Hanya memiliki hubungan dengan- Jika / ayah kandungnya itu
Nya diketahui, ia / dia memiliki
Ibu (pasal 186) hak untuk inherite kekayaan
/ nya ayahnya (Pasal 16)

3 Awl dan radd Kedua aul dan radd yang Dihilangkan


diadopsi (Artikel 192 dan
193)

4 Berbagi untuk Berbagi untuk anak adalah dua kali Berbagi untuk putra dan
anak dan dari itu untuk putri putri adalah sama (Pasal 8
putri [3]).
N UU KHI- Impres No.1/ CLD- KHI
o Waqaf 1991
1 Hak tidak diatur Diatur (Pasal 11)
intelektual
kekayaan
sebagai
milik
disumban
gkan ke
pengguna
an agama
Tampak bahwa peraturan dalam usulan dari
CLD-KHI berbeda dari yang hukum Islam di
KHI-Inpres, RUU HTPA, dan pemahaman
tentang hukum Islam tersebar luas di
kalangan umat Islam Indonesia.
Sebagai seperangkat aturan Islam hukum,
CLD-KHI didasarkan pada sumber utama
Islam, al-Qur'an dan al-Hadits yang didukung
oleh penalaran.
CLD-KHI, apalagi, juga didasarkan pada buku
klasik yang biasa digunakan sebagai
referensi di pesantren.
Latar Belakang munculnya RUU HMPA bidang perkawinan
Usaha keras pembentukan UU perkawinan telah
dimulai semenjak tahun 1950 dengan surat Putusan
Menteri Agama No. B/2/4299 tanggal 1 oktober
1950 dengan membentuk panitia penyidik peraturan
hukum perkawinan, talak dan rujuk yang diketuai
oleh Mr Teuku Mohammad Hasan.
Setelah mengalami bebarapa kali perubahan
personalia, maka pada tanggal 1 April 1961 di
bentuk panitia baru yang di ketuai oleh Mr. H. Moh.
Noer Poerwosoetjipto
Secara hukum, ikhtiar Negara untuk memiliki
Hukum Keluarga telah hadir melalui
keberadaan UU No.1 tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Namun patut diakui bahwa undang-undang
tersebut lahir dari proses tarik menarik yang
kuat di antara berbagai kelompok kepentingan
dan masih memiliki muatan untuk mengatur
salah satu agama saja dan memberikan
kewenangan agar KUA dan Kantor Catatan
Sipil mengurus administrasi perkawinan.
 Saat ini, Pemerintah telah rampung menyusun
Rancangan Undang-undang Hukum Materiil
Peradilan Agama Bidang Perkawinan.
 RUU ini bahkan telah masuk dalam prioritas

Prolegnas 2010 di DPR RI.


 RUU yang dikomandoi oleh Departemen Agama

RI sejak beberapa tahun ini, terbagi atas 24


Bab dengan 156 Pasal.
 Berikut ini bab-bab dalam RUU HMPA bidang

perkawinan secara umum sebagai berikut:


Bab I Ketentuan Umum
Bab II Dasar-Dasar Perkawinan
Bab III Peminangan
Bab IV Rukun Dan Syarat Perkawinan
Bab V Mahar
Bab VI Larangan Perkawinan Dan
Perkawinan Yang Dilarang
Bab VII Taklik Talak Dan Perjanjian
Perkawinan
Bagian Kesatu : Taklik Talak
Bagian Kedua : Perjanjian
Perkawinan
Bab VIII Perkawinan Perempuan Hamil Karena
Zina
Bab IX Beristeri Lebih Dari Satu Orang
Bab X Pencegahan Perkawinan
Bab XI Batalnya Perkawinan
Bab XII Hak Dan Kewajiban Suami Isteri
Bagian Kesatu : Umum
Bagian Kedua : Kedudukan Suami
Isteri
Bagian Ketiga : Kewajiban Suami
Bagian Keempat : Tempat Kediaman
Bagian Kelima : Kewajiban Isteri
Bab XIII Harta Kekayaan Dalam Perkawinan
Bab XIV Kedudukan Anak
Bab XV Putusnya Perkawinan
Bab XVI Akibat Putusnya Perkawinan
Bagian Kesatu : Akibat Cerai
Talak
Bagian Kedua : Waktu Tunggu
Bagian Ketiga : Harta
Bersama
Akibat Perceraian
Bagian Keempat : Akibat Khuluk
Bagian Kelima : Akibat Lian
 Bab XVII Pemeliharaan Anak
 Bab XVIII Perwalian
 Bab XIX Rujuk
 Bab XX Perkawinan Campuran
 Bab XXI Ketentuan Pidana
 Bab XXIII Ketentuan Lain
 Bab XXIII Ketentuan Peralihan
 Bab XXIV Ketentuan Penutup
• Lahiran RUU tersebut didasarkan atas
niatan untuk menaikkan status Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjadi
Undang-Undang.
• Niatan tersebut dilatar belakangi absennya
Instruksi Presiden dalam hierarki
Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia, sebagaimana diatur dalam
Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Peraturan Pembentukan Perundang-
undangan.
Absennya Instruksi Presiden tersebut tentu menimbulkan
rasa cemas bagi Peradilan Agama. Karena selama hampir 20
tahun, KHI menjadi amunisi para Hakim Peradilan Agama
ketika akan memutus perkara yang berkaitan dengan
perkawinan, kewarisan, dan perwakafan yang melibatkan
umat muslim.
Hingga tak heran bila akan banyak Pasal dan Bab dalam

RUU sebagai penyempurnaan dari Kompilasi Hukum Islam


(KHI).
Pada masa kelahirannya, KHI bertujuan mengkodifikasi

berbagai pandangan mazhab fiqh yang berpotensi


menimbulkan perbedaan putusan hukum dalam perkara
yang sama.
Dalam menyelesaikan sengketa di bidang perkawinan,
Mahkamah Agung dan badan peradilan agama
menerapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya.
Mengingat hukum materiil di bidang perkawinan belum
memadai, sedangkan sahnya perkawinan menurut Pasal
2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan apabila dilakukan
menurut hukum agama masing-masing, maka dalam
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di
bidang perkawinan, para hakim berpedoman kepada
Kompilasi Hukum Islam yang tercantum dalam Lampiran
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang memuat
hukum materiil di bidang perkawinan.
• Dengan pertimbangan perlunya Hukum
Islam di bidang Perkawinan dijadikan
sebagai bagian dari sistem hukum
nasional serta adanya berbagai
perubahan kehidupan masyarakat yang
secara langsung maupun tidak langsung
memengaruhi pemahaman mengenai
perkawinan, maka Undang-undang ini
melengkapi beberapa ketentuan hukum
materiil di bidang perkawinan.
RUU tentang Hukum Materiil Peradilan Agama bidang
Perkawinan adalah salah satu usaha pemerintah (sebagai
penggagas) untuk membentuk hukum perkawinan yang
akomodatif terhadap hak. Meski telah diusulkan sejak enam
tahun lalu, namun kini baru menuai kontroversi (Konflik). Hal
itu mungkin karena kini RUU tersebut baru saja dimasukkan
dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010.

 Muatan dalam RUU HMPA sebenarnya berusaha untuk


menyempurnakan UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Namun yang sampai saat ini menjadi kontroversi dalam
pembahasan RUU HMPA adalah adanya materi sanksi pidana
dalam RUU tersebut. Diatur Dalam Bab XXI (mulai Pasal
143s/d pasal 151), tindak Pidana Dalam Bab XXI terdiri dari
1. Bentuk Pelanggaran

Pasal 143 yang bunyinya sebagai


berikut; Setiap orang yang dengan
sengaja melangsungkan perkawinan
tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) dipidana dengan pidana denda
paling banyak Rp. 6.000.000,- (enam
juta rupiah) atau hukuman kurungan
paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 145 yang bunyinya sebagai berikut;
Setiap orang yang melangsungkan
perkawinana dengan isteri kedua, ketiga
atau keempat tanpa mendapat izin terlebih
dahulu dari Pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) dipidana
dengan pidana denda paling banyak Rp.
6.000.000,- (enam juta rupiah) atau
hukuman kurungan paling lama 6 (eanm)
bulan.
 Yang dilarang pada pasal ini adalah kawin/nikah
lebih dari satu tanpa izin dari Pengadilan Agama.
Pasal 146 yang bunyinya sebagai
berikut; Setiap orang yang menceraikan
isterinya tidak di depan siding
Pengadilan sebagaimana dalam pasal
119 dipidana dengan pidana denda
paling banyak Rp. 6.000.000,- (enam
juta rupiah) atau hukuman kurungan
paling lama 6 (enam) bulan.
 Yang dilarang oleh Pasal ini adalah seorang laki-laki
menceraikan isterinya tidak di depan siding pengadilan.
Pasal 148 yang bunyinya sebagai berikut;
Pejabat Pencatat Nikah yang melanggar
kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 dikenai hukuman kurungan paling
lama (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah).
Yang dilarang pada pasal ini adalah bagi
Pejabat Pencatat Nikah yang melanggar
kewajibannya untuk mencatat menurut
Peraturan Perundang-Undangan yang
berlaku.
2. Bentuk Tindak Pidana Kejahatan
 Pasal 144 yang bunyinya sebagai berikut; Setiap orang
yang melakukan perkawinan mut’ah sebagaimana
dimaksud Pasal 39 dihukum dengan penjara selama-
lamanya 3 (tiga) tahun, dan perkawinanannya batal
karena hukum.
Pasal 147 yang bunyinya sebagai berikut; Setiap orang
yang melakukan perzinaan dengan seorang perempuan yang
belum kawin sehingga menyebabkan perempuan tersebut
hamil sedang ia menolak mengawininya dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 149 yang bunyinya sebagai berikut; Setiap
orang yang melakukan kegiatan perkawinan dan
bertindak seolah-olah sebagai Pejabat Pencatat
Nikah dan/atau wali hakim sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 dan Pasal 21 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

 Pasal 150 yang bunyinya sebagai berikut; Setiap


orang yang tidak berhak sebagai wali nikah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dan dengan
sengaja bertindak sebagai wali nikah dipidana
dengan penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
Sekian
Jangan Lupakan
Aku!

TERIMA KASIH
SEkian

Terima Kasih

Mohon Ma’af

Anda mungkin juga menyukai