Anda di halaman 1dari 17

Formalisasi Agama di Ruang Publik (Perda Syariah): Kebijakan, Konten, dan

Kontestasi1
Tati Rohayati
tati.rohayati@uinjkt.ac.id

Pendahuluan
Munculnya gerakan syari’at Islam di berbagai daerah pasca Reformasi Tahun 1998
merupakan fenomena penting untuk diteliti. Pasca ambruknya rezim Orde Baru, Indonesia
berada dalam krisis ekonomi dan stabilitas sosial-politik yang rapuh. Di tengah kehidupan
bangsa yang sedang tidak menentu, muncul gerakan untuk kembali kepada syariat sebagai
landasan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kembali kepada syariat Islam
dipandang sebagai solusi dalam memecahkan berbagai krisis yang sedang terjadi dengan
cara menciptakan tatanan kehidupan yang religius dengan menerapkan syariat Islam dalam
seluruh aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kemunculan gerakan syariat ini ditandai dengan demonstrasi massa secara besar-
besaran menuntut dimasukkannya tujuh kata “dengan kewajiban melaksanakan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada Piagam Jakarta ke dalam UUD 45. Mereka menuntut
agar pemerintah melaksanakan syariat Islam dalam berbagai pelaksanaan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Mereka menyuarakan “amar ma’ruf nahyi mungkar”, menentang
bentuk-bentuk perilaku sosial yang menyimpang dari ajaran Islam. Dalam berbagai aksinya,
dengan membawa senjata tajam, mereka menghancurkan tempat-tampat yang dianggap
sarang maksiat seperti bar, cafe, diskotik, pub, karaoke, dan lain sebagainya. Di antara
Organisasi Gerakan Islam yang melakukan gerakan turun ke jalan tersebut misalnya Front
Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Hizbut at-Tahrir Indonesia, Forum Komunikasi Ahlusunnah
Waljamaah (FK-ASWJ), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Komite Indonesia untuk
Solidaritas Dunia Islam (KISDI), dan Jamaah Islamiyah (JI), Laskar Jihad, Ikwanul Muslimin,
dan kelompok-kelompok pengajian masjid-masjid kampus, dan lainnya.
Pada konteks politik, keinginan untuk melembagakan syariat Islam juga datang dari
partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB) dan
Partai Keadilan (PK). Ketiga partai ini mendukung syariat Islam dengan alasan bahwa
penduduk Indonesia mayoritas Muslim, untuk menjamin ketenangan hidup umat Muslim
1
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas harian Mata Kuliah Islamic Intelectual History and Social
Movement, yang diampu oleh Prof. Jajat Burhanuddin, M.A, dan Dr. Abdul Wahid Hasyim, M.A pada Prodi
Magister Sejarah dan Kebudayaan Islam (MSKI) FAH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1
perlu diberlakukan ajaran Islam yang didukung dengan konstitusi negara. Namun demikian,
apa yang dimaksudkan dengan syariat Islam yang digulirkan oleh beberapa partai politik
tersebut, tidak begitu jelas konsep dan aturan main pelaksanannya. Apakah negeri ini
seperti Iran yang dipimpin oleh para Mullah atau seperti Arab Saudi yang dipimpin oleh
seorang Raja. Menurut beberapa kalangan, tuntutan tersebut tampaknya hanya untuk
menjaga hubungan dengan konstituen, dan karenanya sangat bersifat politis. 2
Di lain pihak, gerakan syariat ini menimbulkan kontra di tengah masyarakat. Mulai
tokoh ulama, cendikiwana, sampai organisasi Islam terbesar NU dan Muhammadiyah. Tokoh
NU cenderung melihat pemberlakuan syariat Islam secara formal di Indonesia tidak
mempunyai dasar yang kokoh karena itu usulan pencatuman tujuh kata pada Piagam
Jakarta berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa, “Islam bukanlah ideologi melainkan
pendidikan, gerakan moral, dan akhlak”.3 Bagi Muhammadiyah menekankan perlunya
meningkatkan sumber daya manusia (SDM) Muslim Indonesia jauh lebih penting dari pada
berangan-angan mendirikan negara Islam. Sementara ahli politik melihat, tuntutan syariat
Islam tampaknya hanya untuk menjaga hubungan dengan konstituen, dan karenanya sangat
bersifat politis.
Di tingkat pusat, perubahan pengelolaan pemerintahan dari sentralisasi ke
desentralisasi melalui Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No 25
tahun 2000 tetang otonomi daerah, telah memberi peluang kepada daerah untuk
menerapkan syariat Islam. Yang menarik adalah, kebijakan otonomi daerah (otda) dijadikan
momentum yang tepat untuk melegitimasi pelaksanaan syariat Islam di daerah. Awalnya,
hanya Aceh yang diberikan otonomi khusus oleh pemerintah RI, menyusul beberapa daerah-
daerah lainnya di Indonesia. Jika kita melihat isi dari otda tersebut, maka akan terlihat
peluang besar bagi daerah-daerah untuk mengatur wilayahnya, tidak terkecuali urusan
agama: “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”
Pengaturan mengenai urusan pemerintah juga diatur dalam pasal 9 UU Pemerintah
Daerah yang dibagi menjadi tiga: “Usuan pemerintah absolute yaitu urusan pemerintah

2
Mohammad Kodari, Syariat Islam Dalam Aras Wacana Publik: Tanggapan untuk Alfan dan Khamami
dalam Syariat Islam Yes Syariat Islam No: Dilema piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945. Pen. Yayasan
Paramadina ed. Kurniawan Zen, cet. I, hal. 87.
3
Harian Pelita, Soal Formalisasi Syariat Islam, 21 September 2015, hal. 4

2
yang sepenuhnya menjadi kewenangan pusat; urusan pemerintah konkuren yaitu urusan
pemerintah yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah
kabupaten/kota, urusan pemerintah konkuren yang diserahkan ke daerah menjadi dasar
pelaksanaan otonomi daerah; dan urusan pemerintah umum yaitu urusan pemerintah yang
menjadi kewenangan presiden sebagai kepala pemerintah”.
Urusan pemerintah absolut inilah yang meliputi: politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama (pasal 10 ayat 1 Undang-undang
Pemerintah Daerah). Persoalan agama yang dimaksud seperti menetapkan hari libur
keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan
suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaann, dan
sebagainya (penjelasan pasal 10 ayat 1 huruf f, UU Pemerintah Daerah).
Oleh karena itu tulisan ini akan membahas perda syariah di Indonesia, dengan
menelusuri kebijakan di masing-masing daerah di Indonesia, bagaimana maping perda
syariah di Indonesia, konten perda syariah apa saja yang ditawarka, serta bagaimana respon
masayarakat.

Tinjauan Singkat Perda Bernuansa Islam di Indonesia


Hubungan politik Islam dan Negara di Indonesia, memang memiliki sejarah yang kuat, 4 dan
kemungkinan warisan ideologi maupun gerakan perjuangannya masih tampil dipermukaan,
tidak terlalu mengherankan. Munculnya regulasi benuansa Islam di beberapa daerah, telah
menstimulasi berbagai macam respon, dan memunculkan banyak spekulasi mengenai
tanda-tanda menguatnya cita-cita politik lama yang terjadi pada perdebatan mengenai
perumusan negara Republik Indonesia.
Apa yang terjadi antara Islam dan politik di daerah, menjadi salah satu sorotan
penting dalam perkembangan politik di Indonesia paska reformasi dan munculnya undang-
undang otonomi daerah. Regulasi Islami, dalam hal ini perda syariah tampil kepermukaan
sebagai sebuah produk kebijakan lokal dengan legitimasi identitas kedaerahan. Perda
syariah itu sendiri bisa kita pahami sebagai sebuah aturan daerah bernuansa Islam yang
berusaha mengatur beberapa aspek seperti: ketertiban, pendidikan hingga kesejahteraan.

4
Bachtiar, Efendy. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia.
Jakarta: Paramadina, 2009.

3
Regulasi ini menjadi sorotas kritis, karena bermasalah pada dirinya sendiri.
Penyelidikan Deny Indrayana mengenai perda syariah misalnya, banyak menunjukan bahwa
peraturan daerah bernuansa Islam yang sudah diproduksi di beberapa daerah sudah
bertentangan dengan konstitusi.5 Respon lain juga muncul atas sifatnya yang diskriminatif,
terutama terhadap kaum perempuan seperti regulasi mengenai diwajibkannya
menggunakan busana muslim bagi para pelajar dan mahasiswa.6
Spekulasi mengenai kemunculan regulasi syariah sebagai pertanda bahwa politik
Islam menguat kembali dan mulai menyemaikan benih-benihnya melalui kekuasaan daerah,
telah terbukti jauh dari akurat. Beberapa temuan menunjukan bahwa aspek politis menjadi
motif dasar dalam mendorong munculnya berbagai bentuk regulasi Islami. Kompetisi politik
para elite lokal dalam memenangkan kekuasaan, telah menjadikan wacana produk
kebijakan bernuansa Islam sebagai salah satu cara memikat dan meraih suara. 7 Selain itu,
upaya pengalihan isu korupsi dari masyarakat oleh elit lokal, terdeteksi juga sebagai motif di
balik munculnnya regulasi ini.8 Artinya, sisi pragmatis dari kemunculan regulasi Islami lebih
kuat dibandingkan dengan upaya serius memperjuangkan sebuah ideologi.
Beberapa literatur mengatakan bahwa lahirnya regulasi bernuansa agama di tingkat
lokal lekat dipengaruhi oleh motif kepentingan politik, dan cenderung menyampingkan
faktor-faktor ideologis. Faktor pendorongnya berbeda-beda, mulai dari politisi yang
menggunakan jaringan gerakan pendirian Negara Islam, sejarah dan budaya lokal dalam
konteks kepentingan politik elektoral, pengalihan isu-isu korupsi, sampai rendahnya
kapasitas negara. Penjelasan tersebut lebih melihat pada motif-motif dibalik dikeluarkannya
regulasi tersebut dan implikasinya terhadap masyarakat. Mereka cenderung kurang
memberikan porsi yang cukup terhadap dinamika dan mekanisme sosial ketika regulasi

5
Deni, Indrayana. Komplesitas Peraturan Daerah Bernuansa Syarita: Persepktif Hukum Tata Negara.
Yusitisia Edisi 81. 95-102, 2010
6
Candraningrum, D. Perda sharia and the Indonesian women's critical perspectives, Paper presented
at the conference on "neue willkuer gegen frauen in indonesien: kontroversen um die umsetzung der
regionale scharia-gesetze", Bremen, Germany, 2006, November 11.
7
Buehler, M. The rise of shari’a by -laws in Indonesian districts: An indication for changing patterns of
power accumulation and political corruption. Southeast Asia Research, 16 (2), 255-285, (2008). Lihat juga
Jamhari Makruf, Shari’a and Regional Goverment in Indonesia: A Study of Four Provinces. Asian Journal of
Asian Law, Vol 15 No 1, Article 4: 1-5, 2014
8
Bush, R. Regional ‘shari’a’ regulations in Indonesia: Anomaly or symptom? In G. Fealy & S. White
(Eds.), Expressing Islam: Religious life and politics in Indonesia (pp. 174-191). Singapore: Institute of
Southeast Asian Studies, 2008.

4
tersebut dipermasalahkan. Dengan melihat yang terakhir ini, kajian terhadap perda syariah
dapat dijelaskan dengan lebih utuh dan tidak spekulatif.
Beberapa studi yang menyatakan keberadaan perda syariah berkaitan dengan motif
kepentingan politik, misalnya Robin Bush (2008) menjelaskan, meskipun para pemilih pada
tingkat nasional di Indonesia tidak mengehendaki agenda Islamis 9 untuk mendirikan negara
Islam, namun pada level regional nampak dukungan yang kuat terhadap agenda tersebut –
penerapan syariat Islam – yang datang dari pimpinan elit lokal. Di sisi lain, dia juga
menyebut absennya ideologi partai/elit yang mendukung perda-perda syariah itu. Terdapat
empat kunci dalam menjelaskan faktor-faktor terkait fenomena munculnya perda syariah
diberbagai daerah berdasarkan lokalitasnya, (1) faktor sejarah dan budaya lokal, (2) korupsi
dan kebutuhan untuk mengalihkan dari isu ini, (3) politik elektoral, (4) rendahnya kapasitas
pemerintahan lokal.
Penjelasan serupa disampaikan oleh Michael Buehler (2013), 10 bahwa lahirnya
regulasi syariah merupakan sebagai alat politik dan erat hubungannya dengan akar sejarah
gerakan pendirian negara Islam di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Temuan penting
Buehler menyatakan bahwa sebagian besar regulasi syariah di kedua provinsi tersebut
justru paling sering diusung oleh partai-partai sekuler, khususnya Partai Golkar dan PDIP.
Para politisi lokal di kedua daerah tersebut kerap menggunakan jaringan-jaringan Islam
dalam rangka mencapai kemenangan politik elektoral.11 Misalnya, di Jawa Barat, tokoh
Golkar seperti Siti Hadijati dan Jusuf Kalla menggunakan jaringan Islamis yang mempunyai
alur ke Panji Gumilar, yang merupakan tokoh Darul Islam. Sedangakan di Sulawesi Selatan,
Syahrul Yasin Limpo, yang saat itu merupakan kader PDIP (Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan) berusaha mendapatkan dukungan dari KPPSI (Komisi Persiapan Penegakan
Syariat Islam)12 pada pemilu 2007.

9
Islamisme yaitu sebuah gerakan politik atas nama Islam yang membawa misi mendirikan negara Islam
(khalifah), atau setidaknya berusaha mengimplentasikan syariat Islam dalam sebuah negara (Salwa Ismail
2003; Oliver Roy 1994). Islamisme dibagi menjadi dua: Islamisme ektremis, yang biasanya berbentuk terorisme
maupun gerakan vigilante (main hakim sendiri); dan Islamisme moderat, berbentuk partai politik (Islamist
party) (Moghadam 2009).
10
Buehler, M, The rise of shari’a by -laws in Indonesian districts: An indication for changing patterns of
power accumulation and political corruption. Southeast Asia Research, 16 (2), 255-285, (2008).
11
Jaringan-jaringan keislaman tersebut berakar dari gerakan pemberontakan dan pendirikan negara Islam
pada tahun 1950-an, yaitu Darul Islam di Jawa Barat dan PRRI/Permesta di Sulawesi Selatan.
12
KPPSI (Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam) didirikan pada 19-21 Oktober 2000 di Sudiang
Makassar dalam forum kongres umat Islam. KPPSI didirikan dengan tujuan sebagai wadah umat Islam dalam
rangka menuntut otonomi khusus pemberlakuan syariat Islam di Sulawesi Selatan. Salah satu pendiri KPPSI

5
Lebih jauh ditegaskan oleh studinya Jamhari Makruf dan Iim Halimatussa’diyah
(2014) yang juga menguji faktor sosial dan politik yang menjadi latar belakang menjamurnya
regulasi syariah. Penelitiannya dilakukan di empat provinsi: Aceh, Padang di Sumatera Barat,
Cianjur di Jawa Barat, dan Makasar di Sulawesi Selatan. Temuan penting Jamhari dan Iim
adalah, pertama bahwa dukungan ideologi partai politik (platform) tidak mempunyai
signifikansi terhadap wiilayah di mana regulasi syariah dibuat dan diundangkan. Kedua,
menjamurnya regulasi syariah merupakan hasil dari desakan beragam elit Muslim tingkat
lokal. Ketiga, karena regulasi syariah merupakan hasil dari kepentingan – elektoral – elit
politik lokal, maka implementasinya mengalami stagnasi ketika sang elit politik tersebut
tidak lagi mempunyai kekuasaan.
Adapun dalam tulisan ini, akan melihat permasalahan regulasi bernuansa agama di
daerah-daerah di Indonesia dengan menggunakan teori framing (pembingkaian) sebagai
salah satu cabang dari teori gerakan sosial (social movement theory). Pendekatan ini dinilai
tepat untuk melihat dinamika dan mekanisme sosial ketika regulasi tersebut
dipermasalahkan. Teori framing digunakan untuk menjelaskan bagaimana simbol-simbol
agama – yang dalam konteks daerah-daerah di Indonesia diatribusikan pada regulasi negara,
ditafsirkan ulang secara berbeda oleh berbagai kelompok kepentingan untuk tujuan mereka.
Menurut Quintan Wiktotowicz (2012, 71-71) 13 framing merupakan skema-skema yang
memberikan sebuah bahasa dan sarana kognitif untuk memahami pengalaman-pengalaman
dan peristiwa-peristiwa “di dunia luar”, yang skema-skema ini digunakan untuk
menghasilkan dan menyebarkan penafsiran-penafsiran subjektif yang digunakan untuk
memobilisasi dukungan khalayak untuk melakukan aksi-aksi kolektif.
Sebuah framing biasanya berbentuk simbol-simbol, identitas budaya, maupun
ideologi yang berfungsi memperkuat mobilisasi. Dengan memberikan arti dan makna pada
setiap kejadian atau peristiwa, framing berfungsi untuk mengorganisasi pengalaman dan
pemandu tindakan, apakah pada level individu atau kolektif. Hal ini bertujuan agar para
anggota, simpatisan atau khalayak terlibat langsung dalam aksi-aksi untuk tujuan dan cita-
cita gerakan (Karl-Dieter Opp: 2009, 235). 14

adalah Abdul Aziz Kahar Muzakkar, anak dari Kahar Muzakkar pimpinan DI/TII Sulawesi Selatan yang
memberontak pada tahun 1950an dan 1960an.
13
Quintan, Wiktorowicz (ed.). 2012. Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial. Jakarta:
Demokrasi Project dan Yayasan Abad Demokrasi
14
Karl-Dieter, Opp. 2009. Theoris of Political Protest and Social Movements: A Multidisciplinary
introduction, critique, and synthesis. New York: Routledge

6
Bert Klandermans (2004) memberikan tiga tipe transaksi mengenai unsur-unsur
yang memaksimalkan proses framing, yaitu: perantara (instrumentality), identitas (identity),
dan ideologi (ideology). Instrumentality merujuk pada tuntutan untuk perubahan dimulai
dengan ketidakpuasan, perasaan deprivasi relatif, perasaan ketidakadilan, kemarahan moral
tentang beberapa urusan negara, atau menentukan segala keluhan. Dalam instrumentality,
aspek pertama yang harus dibangun adalah perasaan “keluhan” terhadap fenomena sosial.
Kemudian Identity mengacu pada partisipasi dalam gerakan merupakan bentuk manifestasi
dan identifikasi dengan kelompok mereka. Terakhir ideology, merujuk bahwa partisipasi
dalam gerakan sebagai pengejaran untuk memaknai dan mengekspresikan perasaan dan
keyakinan mereka. Sehingga mereka menganggap bahwa keterlibatannya dalam gerakan
akan mengangkat derajat mereka – dalam konteks agama di hadapan Tuhan – karena
bersifat sacred (suci).

Analisis Konten Perda Syariah di Indonesia


Produksi Peraturan Daerah (perda)15 Syariah (selanjutnya diistilahkan sebagai
regulasi16 bernuansa agama) di Indonesia tak kunjung usai. Beberapa daerah di Indonesia
tercatat telah mengeluarkan banyak regulasi. Baik yang bentuknya peraturan daerah
(perda), peraturan walikota (perwalkot), peraturan bupati (perbup), instruksi, surat edaran,
maupun surat keputusan.
Michael Buehler dalam bukunya “The Politics of Shari’a Law: Islamist Activist and the
State in Democratizing Indonesia”, dari 34 provinsi di Indonesia menunjuan bahwa sebagian
besar dari 443 Perda Syariah diadopsi antara tahun 1998 dan 2013 di beberapa kabupaten
di sejumlah provinsi yang relatif kecil. Perda Syariah terbanyak yaitu Jawa Barat (103),
Sumatera Barat (54), Sulawesi Selatan (47), Kalimantan Selatan (38), Jawa Timur (32), dan

15
Peraturan Daerah Provinsi adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dengan persetujuan bersama Gubuernut (pasal 1 No.7, UU No 12 Tahun 2011).
Sedangkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota (Pasal 1 No 8
Undang-Undangan No 12 Tahun 2011)
16
Menurut Barak Orbach, regulasi adalah bentuk intervensi negara terhadap domain privat sekaligus
merupakan bentuk dari ketidaksempurnaan realitas dan juga keterbatasan pada manusia. Lebih jauh Orbach
mengatakan bahwa regulasi ada karena ketidakteraturan yang muncul di dunia ini (diistilahkan oleh Orbach
sebagai ‘poisons’) dan regulasi juga mempunyai efek mematikan (poisonous effects) ketika disalahgunakan.
Lihat Barak Orbach, What is Regulation? (New Haven: Yale Journal on Regulation, 2012). Dalam studi ini,
regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah (negara) disebut sebagai regulasi Negara (state regulation) dan
regulasi yang dikeluarkan oleh MUI disebut sebagai regulasi sosial (social regulation).

7
Aceh (25). Artinya, 67,7% (300/443) dari Perda Syariah terkonsentrasi di enam provinsi
(Michael Buchler, h. 174).
Namun, kini perda-perda tersebut tengah mengalami perubahan, sesuai dengan
situasi dan kondisi setiap daerah, ada perda yang dicabut, di batalkan, dan lainnya. Berikut
terlihat pada tabel, daftar perda syariah di Indonesia dari tahun 2004 hingga tahun 2008.
Perda-perda di bawah ini dibagi menjadi tiga kategori dengan meminjam pembagian dari
Arskal Salim dalam Muslim Politics in Indonesia's Democratisation membagi menjadi tiga
kategori yakni: (1) regulasi yang mengurus soal keteraturan sosial dan masalah sosial (public
order and social problem), seperti judi, prostitusi, konsumsi alkohol, dan khalwat 17; (2)
regulasi yang berdasarkan kewajiban dalam agama dan pendidikan keagaamaan (religious
obligation and religious education), seperti wajib melakukan Shalat Jumat, baca Qur’an dan
membayar zakat; dan (3) regulasi yang berkaitan dengan simbol-simbol agama (religious
symbolism), seperti menggunakan pakaian muslim, khususnya jilbab atau kerudung bagi
perempuan dan peci bagi laki-laki (Salim 2007, 126; Makruf dan Halimatussa’diyah 2014, 3).
Lebih jauh, menurut Bush (2008, 175-176), hanya kategori dua dan tiga yang dapat
dikatakan secara langsung berhubungan dengan ajaran Islam, kategori pertama
berhubungan dengan ‘isu moralitas’ yang bisa dikatakan merefleksikan ajaran moral dalam
kebanyakan agama dan budaya masyarakat Indonesia pada umumnya. Kategorisasi Bush
inilah yang kemudian dimaksud dengan “regulasi syariat.”

Perda Syariah di Berbagai Daerah di Indonesia


Data dioleh dari: https://jdihn.go.id/search/daerah?instantion=158&page=1&type=58&page=2

No Wilayah Thn Peraturan Daerah Tentang Keterangan /


Kategori
1 Aceh 200 Perda NAD No. 7/2004 Pengelolaan Zakat Religious obligation
4 and religious
education
2 Sumatera 200 Peraturan daerah Kabupaten Pencegahan, Penindakan dan Public order and
17
Khalwat merupakan istilah yang menjelaskan tentang kedekatan antara laki-laki dan perempuan yang
bukan suami-istri tanpa ada anggota keluarganya (muhrim) di tempat yang sunyi atau tersembunyi.

8
Barat 4 Padang Pariaman nomor 02 Pemberantasan Maksiat social problem
Tahun 2004
Peraturan Daerah Padang Pencegahan Pemberantasan Public order and
Panjang No.3 Tahun 2004 dan Penindakan Penyakit social problem
Masyarakat.
Perda Kab. Bukit Tinggi No. Pengelolaan Zakat, Infaq, Religious obligation
29/2004 dan Shadaqoh and religious
education
Perda Kab. Pesisir Selatan Pandai Baca Tulis Al-Quran Religious obligation
No. 8/2004 Provinsi Bengkulu and religious
education
Instruksi Wali Kota Bengkulu Program Kegiatan Religious Symbolism
No. 3/2004 Peningkatan Keimanan
200 Perda Kabupaten Pesisir Berpakaian Muslim dan Religious Symbolism
5 Selatan No. 4/2005 Muslimah
Perda Kabupaten Agam Berpakaian Muslim Religious Symbolism
nomor 6 Tahun 2005
Perda Kab. Agam No. 5/2005 Pandai baca Tulis Al-Qur'an Religious obligation
and religious
education
Perda Prov. Sumatra barat Pandai baca Tulis Al-Qur'an Religious obligation
No. 7/2005 and religious
education
Surat Himbauan Gubernur Religious Symbolism
Menghimbau Bersikap dan
Sumatra Barat Nomor
Memakai Busana Muslimah
260/421/X/PPr-05
Kepada Kepala
Dinas/Badan
/Kantor/Biro/Instansi/Wali
Kota sumatera Barat
Instruksi wali kota Padang Pelaksanaan Wirid Remaja Religious obligation
nomor 451.422/Binsos- didikan subuh dan Anti Togel and religious
III/2005 / Narkoba serta Berpakaian education, and
Muslim / Muslimah bagi Religious
Murid/Siswa SD/MI,
symbolism
SLTP/MTS dan
SLTA/SMK/SMA di Kota
Padang
Instruksi wali kota Pemakaian busana Muslimah Religious Symbolism
padangpada tanggal 7
Maret2
200 Peraturan Daerah Kabupaten Pencegahan Dan Public order and
6 Sawahlunto/Sijunjung nomor Penanggulangan Maksiat social problem
19 Tahun 2006
200 Perda Kab. Padang Panjang Zakat Religious obligation
8 no. 7/2008 and religious
education
3 Lampung Peraturan Daerah Kabupaten Larangan Pebuatan Public order and
Lampung Selatan No. 4 Prostitusi, Tuna Susila, dan social problem
Tahun 2004 Perjudian serta pencegahan

9
perbuatan masksiat dalam
Wilayah Kabupaten Lampung
Selatan
4 Banten 200 Perda No. 4/2004 Pengelolaan Zakat Religious obligation
4 and religious
education
SK Bupati Kab Pandeglang Seragam sekolah SD,SMP, Religious Symbolism
No. 09 Tahun 2004 SMU

200 Perda Tenggerang No. Menjual, mengecer, dan Public order and
5 7/2005 menyimpan minuman keras, social problem
mabuk-mabukan.
Peraturan Daerah Kota Pelarangan Pelacuran Public order and
Tenggerang nomor 8 Tahun social problem
2005
200 Perda Kota Serang No.1/2006 Madrasah diniyah Awwaliyah Religious obligation
6 and religious
education
200 Surat Edaran Wali Kota Penutupan Sementara Usaha Public order and
8 Tangerang (Agustus 2008) Jasa Hiburan selama Bulan social problem
Suci Ramadan dan Idul Fitri
1429 H
5 Jawa Barat 200 Instruksi Bupati Sukabumi Pemakaian Busana Muslim Religious Symbolism
4 Nomor 4 Tahun 2004 bagi Siswa dan Mahasiswa di
Kabupaten Sukabumi
Perda Kab. Cirebon No. Pendidikan Madrasah Religious obligation
77/2004 Diniyah Awaliyah and religious
education
200 Perda Kab. Bandung No. Zakat, Infaq, dan Shadaqoh. Religious obligation
5 9/2005 and religious
education
Peraturan Daerah Kabupaten Penertiban Minuman Public order and
Sukabumi No. 11/2005 Beralkohol social problem

Peraturan Daerah Kabupaten Pengelolaan Zakat Religious obligation


Sukabumi No. 12/2005 and religious
education
200 Perda Bupati Cianjur No. Pemakaian Dinas Harian Religious Symbolism
6 15/2006 Pegawai di Lingkungan
Pemerintahan Kabupaten
Cianjur
200 Perda Kabupaten Prostitusi (14 Maret 2009) Public order and
9 social problem
6 Kalimantan 200 Perda Kota Banjarmasin No. Pengelolaan Zakat Religious obligation
Selatan 4 31/2004 and religious
education
Perda Kab. Banjar No. 5/2004 Ramadan (Perubahan Perda Public order and
tentang Ramadan No. 10 tahun 2001) social problem

10
Surat Edaran Bupati Pemakaian Jilbab bagi PNS Religious Symbolism
Kabupaten Banjarmasin No. Perempuan di Lingkungan
065.2/00023/ORG Pemerintah Kabupaten
Banjarmasin Tertanggal 12
Januari 2004
Perda Kab. Banjar No. 4/2004 Khatam Al-Qur'an bagi Religious obligation
tentang Peserta Didik pada and religious
Pendidikan Dasar dan education
Menengah
200 Perda Kab. Banjar No. 8/2005 Jum'at Khusyu' (Banjarmasin) Religious obligation
5 and religious
education
Perda Kab. Hulu Sungai Utara Zakat, Infaq, dan Shadaqoh Religious obligation
No. 19/2005 and religious
education
Perda No. 4/2005 tentang Larangan Kegiatan Pada Public order and
Perubahan Atas Peraturan Bulan Ramadan social problem
Daerah Kota Banjarmasin No.
13/2003
200 Perda Kab. Banjar No. 5/2006 Penulisan Identitas dengan Religious Symbolism
6 Huruf Arab Melayu (LD
Nomor 5 tahun 2006 Seri E
Nomor 3)
Perda Kab. Banjarbaru No. Larangan Minuman Public order and
5/2006 Beralkohol social problem
200 Perda kabupaten Bankar No. Keteriban sosial Public order and
7 10 / 2007 social problem
7 NTB SK. Bupati Dompu No Isinya menyebutkan tentang:
Kd.19.05./HM.00/1330/2004, (1) Kewajiban membaca
Tentang Pengembangan Alquran (ngaji) bagi PNS yang Religious obligation
Perda No. 1 Tahun 2002. akan mengambil and religious
SK/Kenaikan pangkat, Calon education
pengantin, Calon siswa SMP
dan SMU, dan bagi siswa
yang akan mengambil ijazah ;
(2) Kewajiban memakai
busana Muslim (Jilbab); (3) Religious Symbolism
Kewajiban mengembangkan
budaya Islam (MTQ, qosidah
dll)
SK BUpati Dompu Kewajiban Membaca Al- Religious obligation
Kd.19./HM.00/527/2004, Qur'an oleh seluruh PNS dan and religious
tanggal 8 Mei 2004 Tamu yang menemui Bupati. education
Perda Kab. Dompu No. Tata Cara Pemilihan Kades Religious obligation
11/2004. (materi muatannya and religious
mengatur keharusan calon education
dan keluarganya bisa
membaca Al-Qur'an yang
dibuktikan dengan

11
rekomendasi KUA)
SK Bupati Dompu No. Kewajiban Membaca Al- Religious obligation
140/2005 tanggal 25 Juni Qur'an bagi PNS Muslim and religious
2005 education
8 Jawa 200 Perda No. 5 Tahun 2005 Pemberantasan Pelacuran di Public order and
Timur 5 Kabupaten Probolinggo social problem
Peraturan Daerah Kota Larangan Tempat Pelacuran Public order and
Malang No. 8 Tahun 2005 dan perbuatan Cabul social problem
Perda. Kab. Sidoarjo No. Pengelolaan Zakat, Infaq, Religious obligation
4/2005 tentang dan Shadaqoh and religious
education
200 Perda Kab. Pasuruan No. Pengaturan Membuka Public order and
6 4/2006 Rumah Makan, Rombong social problem
dan sejenisnya pada Bulan 
200 Peraturan Daerah Kabupaten Pemberantasan Pelacuran di Public order and
7 Lamongan No.5 Tahun 2007 Kabupaten Lamongan social problem
9 Sulawesi 200 Perda Kabupaten Maros No. Berpakaian muslim dan Religious Symbolism
Selatan 5 16 / 2005 muslimah

Perda Kab. Maros Gerakan Buta Aksara dan Religious obligation


No.15/2005 pandai Baca Al-Qur'an dalam and religious
Wilayah Kabupaten Maros education
Perda Kab. Maros No. Pengelolaan Zakat Religious obligation
17/2005 and religious
education
Perda Kabupaten Enrekang Busana Muslim Religious Symbolism
No. 6 /2005
200 Perda Kota Makassar No. Zakat Religious obligation
6 5/2006 and religious
education
Perda Kab. (Pangkajene dan Larangan Pengedaran Public order and
Kepulauan) Pangkep No. Minuman Beralkohol social problem
11/2006
Perda Kab. Polewali Mandar Gerakan Masyarakat Islam Religious obligation
no. 14/2006 Baca Al-Qur'an and religious
education
Perda Prov. Sulawesi Selatan Pendidikan Al-Qur'an Religious obligation
No. 4/2006 and religious
education
Peraturan Desa Muslim Pelaksanaan Hukuman Public order and
Padang Kecamatan Cambuk social problem
Gantarang Kabupaten
Bulukumba No. 05 Tahun
2006
200 Surat Edaran No. Larangan di Bulan Ramadan Public order and
8 44/1857/VIII, Humas (antara lain meminta rumah social problem
Infokom Bone tertanggal 22 makan, restoran, cafe, dan
Agustus 2008 warung tidak beroperasi
selama Bulan Ramadan dan

12
menghimbau hotel-hotel dan
tempat penginapan agar
tidak menerima tamu
berpasangan yang bukan
muhrim)
10 Gorontalo 200 Perda Prov. Gorontalo No. Wajib Baca Tulis Al-Quran Religious obligation
5 22/2005 bagi siswa yang beragama and religious
Islam education
11 Sulawesi 200 Perda Kota Kendari No. Bebas Buta Aksara Al-Qur'an Religious obligation
Tenggara 5 17/2005 pada Usia Sekolah dan Bagi and religious
masyarakat Islam di Kota education
Kendari
12 Riau 200 Perda Kab. Kampar No. Pengelolaan Zakat, Infaq, Religious obligation
6 2/2006 dan Shadaqoh (Kampar) and religious
education
200 SK Gubernur Riau No. Penggunaan nama Arab Religious Symbolism
8 003.1/UM/08.1 Melayu
13 Bangka 200 Perda Kab. Bangka No. Pengelolaan Zakat, Infaq, Religious obligation
Belitung 6 4/2006 dan Shadaqoh and religious
education
14 Yogyakarta 200 Peraturan Daerah Kabupaten Larangan Pelacuran di Public order and
7 Bantul No. 5 tahun 2007 Kabupaten Bantul social problem

15 Jawa 200 Surat Edaran Wali Kota Memuat materi tempat Public order and
Tengah 8 Semarang No.435/4687 hiburan seperti bar, pub, social problem
tertanggal 27 Agustus 2008 mandi uap, biliar, karaoke,
diskotik, panti pijat, klub
malam, kafe, dan sejenisnya
harus membatasi jam
pengelolaannya

Jumlah: Data tahun 2004-2008, terdapat 65 perda syariah dari 15 wilayah di Indonesia.

Berdasarkan data di atas dari tahun 2004 hingga 2007 maka terdapat 22 perda syariah
yang masuk kategori Public order and social problem; 30 perda syariah yang masuk kategori
religious obligation/education; dan 13 religious symbol. Seperti terlihat pada tabel di bawah
ini:

Tipe Jumlah
Public order and social 22
problem
Religious Obligation/ 30
Religious Education
Religious Symbolis 13
TOTAL 65

13
Belajar dari Kasus Perda Syariah: Sesi Diskusi

Serang-Banten [Kompas, 12 Juni 2016] pemberitaan Saeni menjadi trending topic di


berbagai media. Saeni seorang pemilik warteg di Kota Serang-Banten
(Perda No 2 Tahun terpaksa dirazia oleh Satpol PP. Alasan razia itu sederhana, karena
2020 tentang melanggar perda No. 2 tahun 2010 tentang Penyakit Masyarakat (Pekat).
Penyakit Saeni melanggar perda Pekat, karena membuka warung makan pada siang
Masyarakat) hari di bulan Ramadhan. Tindakan Saeni dinilai tidak menghormati umat
Islam yang menjalankan puasa Ramadhan. Namun sayangnya, Satpol PP
saat itu tidak hanya merazia, tapi menyita barang dagangan Saeni, sehingga
tindakan Satpol PP juga dinilai menyalahi prosedur. Saeni yang menangis
saat dirazia, telah mencuri banyak perhatian, hingga muncul aksi
penggalangan dana “sumbangan untuk Saeni”. Kelanjutan kasus ini
akhirnya menuai konflik dan kecaman dari berbagai pihak hingga berimbas
pada pencabutan perda syari’ah karena dinilai intoleransi dan deskriminasi.
Keterangan dari Wali Kota Serang, Tb Haerul Jaman bahwa lahirnya
perda No. 2 tahun 2010 adalah buah dari aspirasi warga Kota Serang, yang
terdiri dari para ulama, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan ormas Islam.
Hal ini tidak lain, supaya ada perda yang mengatur tata tertib dibulan
Ramadhan, dengan harapan adanya saling menghomati dan menghargai
kemajemukan antar umat beragama di Kota Serang, Banten. Selama ini,
upaya yang dilakukan pemerintah Kota Serang menjelang Ramadhan tiba
yaitu menyebarkan selebaran berupa himbauan untuk tidak membuka
warung makanan sebelum jam 16.00 WIB, selain itu mengadakan rapat
dengan para aparat dan penegak hukum untuk tataran pelaksanaannya,
supaya tidak terjadi tindakan anarkis, namun prakteknya hal itu masih saja
terjadi.

Pandeglang-Banten Pemerintah daerah kabupaten Pandeglang mengeluarkan regulasi berupa


intruksi bupati nomor 1 tahun 2017 18 tentang pelaksanaan salat zhuhur dan
Instruksi Bupati No 1 ashar berjamaah bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara yang sedang
Tahun 2017 tentang melaksanakan dinas khusus seperti Rumah Sakit yang menangani kegawat-
Pelaksanan Salat daruratan. Aturan tersebut ditetapkan pada 17 Januari 2017 di Pandeglang.
dzuhur dan asar Intruksi tersebut semakin menguatkan bahwa religious skill dan religious
berjamaah bagi obligation, yakni aturan-aturan yang berisi muatan keagamaan seperti
Pegawai ASN. membayar zakat, membaca al-Qur’an dan kewajiban sekolah agama.
Praktik-praktik keagamaan tersebut dirumuskan dalam sebuah konsensus
dan diejawantahkan dalam ruang pubik (Arskal: 2007)19.
Pandeglang-Banten Regulasi santunan kematian ini termaktub dalam Perda (Peraturan
18
Lihat versi lengkapnya di bagian lampiran: Bupati Pandeglang, Intruksi Bupati Pandeglang Nomor 1 tahun 2017
tentang Pelaksanaan Salat Zhuhur dan Ashar Berjama’ah. Tujuan dari intruksi ini adalah dalam rangka meningkatkan
keimanan dan ketkwaan kepada Allah SWT serta untuk mendukung efektivitas kerja di ingkungan pemerintah
kabupaten Pandeglang.
19
Bush melihat lebih jauh bahwa regulasi religious obligation merupakan regulasi yang besentuhan dengan
syari’at Islam. Lihat: Robin Bush, Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia, Greg Fealy dan Sally White
(ed) Singapura; ISAS 2008.

14
Daerah) nomor 13 tahun 2010. Berangkat dari kultur masyarakat yang
Perda No 13 Tahun agamis, aturan ini dibuat sebagai bentuk keperihatinan terhadap
2010 tentang masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi.
Santunan Kematian Tradisi menarik dalam masyarakat Pandeglang ketika ada diantara
mereka yang meninggal dunia, tradisi ini sejatinya—secara ideologis—
dipraktikan oleh kalangan NU (Nahdlatul Ulama) yang berpandangan
bahwa harus diadakan tahlil dan doa untuk orang meninggal yang
diharapkan mampu meringankan bebannya di alam kubur, maka kemudian
keluarga yang ditinggalkan harus bersedekah pada yang warga yang telah
bersedia mensalatkan dan men-tahlil-kan yang wafat tersebut. Sedekah ini
kaprah disebut dengan salawat. Menurut kebiasaan warga Pandeglang—
Banten secara umum—satu orang yang mensolatkan dikasih imbalan dua
puluh sampai tiga puluh ribu rupiah, imbalan warga biasa (kelas sosial yang
bukan elite agama atau kyai) tidak sama dengan elite agama (kyai) apalagi
yang bertugas sebagai imamnya, imbalannya jauh lebih besar. Ongkos
orang yang mensalatkan belum termasuk ongkos tahlil dan baca al-Qur’an
di rumahnya selama tujuh hari. Bisa dibayangkan berapa uang yang harus
dikeluarkan oleh keluarga yang ditingglakannya. Fakta menarik ketika orang
meninggal tersebut berasal dari kelas menengah ke atas atau orang kaya
maka ongkosnya akan lebih mahal.
Berangkat dari realitas tersebut, pemerintah Pandeglang menginisiasi
adanya Perda santunan kematian tersebut. Bantuan yang digelontorkan
senilai satu juta rupiah perindividu yang meninggal. Tujuan dari regulasi ini
adalah untuk membantu warga yang tidak mampu secara ekonomi. Tetapi,
berdasarkan pengamatan di lapangan, Perda ini tidak berjalan dengan
efektif karena adanya Perda santunan kematian ini justru merusak
solidariatas masyarakat Pandeglang. Berdasarkan kebiasaan yang ada,
masyarakat (sanak saudara dan tetangga) memberikan bantuan seikhlasnya
terhadap orang yang meninggal tersebut. Dengan adanya regulasi tersebut,
justru melemahkan semangat nilai kekeluargaan masyarakat Pandeglang.
Namun demikian bagaimanakah respon elite masyarakat dalam melihat
regulasi ini.
Tasikmalaya Ada delapan masalah yang dialami oleh Ahmadiyah di kekinian, yakni: (1)
(Ahmadiyah) Penghancuran dan pembakaran masjid serta aset milik anggota Jemaat
Ahmadiyah; (2) Penyegelan masjid yang melibatkan oknum aparat
Perda No 12 Tahun pemerintah dengan dalih adanya tekanan massa; (3) Pemaksaan menjadi
2009 Tentang Imam dan Khatib Shalat Jumat di Masjid Ahmadiyah, yang didukung oleh
Pembangunan Tata oknum aparat; (3) ”Pertobatan” anggota Ahmadiyah, yaitu pernyataan
Nilai Kehidupan keluar dari Ahmadiyah di bawah tekanan oknum aparat dan desakan
Kemasyarakatan massa, serta diekspos besar-besaran oleh surat kabar lokal; (4) Tidak
yang Berlandaskan diizinkan menikah di Kantor Urusan Agama (KUA), kecuali bersedia
pada Ajaran Agama menanda-tangani Surat Keluar dari Ahmadiyah; (5) Tidak diberikan surat
Islam dan Norma- keterangan dari oknum aparat Desa bagi anggota Jemaat Ahmadiyah yang
Norma Sosial akan menjadi TKI di luar negeri; (6) Pengusiran dari kampung halaman; (7)
Masyarakat Kota Teror berupa menumpahkan minyak tanah ke dalam sumur (sumber air)
Tasikmalaya milik anggota Ahmadiyah; (8) Larangan mencantumkan Agama Islam dalam
e-KTP bagi anggota Jemaat Ahmadiyah

15
Sukabumi Hampir semua sekolah di Kabupaten Sukabumi, dinstruksikan agar
memiliki tradisi Islami. Khususnya bagi umat muslim, pakaian berkerudung
Intruksi Bupati No 4 dan rok panjang, wajib digunakan para siswa-siswi yang mengenyam
Tahun 2004, tentang pendidikan mulai dari tingkat sekolah dasar sampai sekolah mennegah atas.
Penggunaan Mungkin tidak semua siswa punya kebiasaan menggunakan seragam islami,
Seragam Muslim tetapi mau tidak mau, aturan ini akan dijalankan pada setiap lembaga
pendidikan yang ada di Kabupaten Sukabumi. Aturan ini, tentunya memilki
potensi, yang tidak hanya akan merubah rutinitas lembaga pendidikan di
Kabupaten Sukabumi, tetapi juga berpeluang merubah budaya personal
setiap pelajar, khususnya dalam hal berbusana.
Produksi maupun penjualan busana muslim bisa mengalami
peningkatan. Karena dengan adanya aturan ini, pemintaan terhadap
kerudung, rok dll, akan berbeda dari sebelumnya. Jika sekolah memberikan
tawaran kepada para siswa untuk membeli busana tersebut di sekolah, ini
akan menjadi cerita yang berbeda. Tawaran ini, akan menjadi aktivitas
bisnis yang cukup kompetitif, dan dialihkan ke dalam bentuk tender.
Biasanya, bisnis di daerah, sangat berpotensi kolutif. Kedekatan dengan
para pemegang kebijakan, akan menentukan peluang medapatakan tender
yang cukup besar. Inilah kenapa, bagi mereka yang tak begitu sepakat
regulasi ini, dinilai sebagai sebuah prodak kebijakan pemerintah yang
bersifat politis dan hanya transaksi bisnis.

Daftar Pustaka
Buehler, M. The rise of shari’a by -laws in Indonesian districts: An indication for changing
patterns of power accumulation and political corruption. Southeast Asia Research,
16 (2), 255-285, (2008). Lihat juga Jamhari Makruf, Shari’a and Regional Goverment in
Indonesia: A Study of Four Provinces. Asian Journal of Asian Law, Vol 15 No 1, Article 4:
1-5, 2014
Bush, R. Regional ‘shari’a’ regulations in Indonesia: Anomaly or symptom? In G. Fealy & S.
White (Eds.), Expressing Islam: Religious life and politics in Indonesia (pp. 174-191).
Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2008
Candraningrum, D. Perda sharia and the Indonesian women's critical perspectives, Paper
presented at the conference on "neue willkuer gegen frauen in indonesien:
kontroversen um die umsetzung der regionale scharia-gesetze", Bremen, Germany,
2006, November 11
Efendy, Bachtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia. Jakarta: Paramadina, 2009
Harian Pelita, Soal Formalisasi Syariat Islam, 21 September 2015
Indrayana, Deni. Komplesitas Peraturan Daerah Bernuansa Syarita: Persepktif Hukum Tata
Negara. Yusitisia Edisi 81. 95-102, 2010
Karl-Dieter, Opp. 2009. Theoris of Political Protest and Social Movements: A
Multidisciplinary introduction, critique, and synthesis. New York: Routledge
Kodari, Mohammad. Syariat Islam Dalam Aras Wacana Publik: Tanggapan untuk Alfan dan
Khamami dalam Syariat Islam Yes Syariat Islam No: Dilema piagam Jakarta dalam
Amandemen UUD 1945. Pen. Yayasan Paramadina ed. Kurniawan Zen, cet. I

16
Wiktorowicz, Quintan (ed.). 2012. Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial.
Jakarta: Demokrasi Project dan Yayasan Abad Demokrasi

17

Anda mungkin juga menyukai