1
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004).
g. Perhatikan garis-garis hukum dari Al Qur’an dan Al-Hadits tentang
hukum kekeluargaan (termasuk hasil Ijtihad (ijtihad dapat
ditafsirkan sebagai pendapat para Sahabat Nabi Muhammad, atau
ulil amri (penguasa/ulama), atau pendapat mujtahid lainnya) (lihat
Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press,
1986).
h. Hukum materiil di Indonesia: Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
i. Hukum formil/ acara sebagai penegak hukum materiil: UU Peradilan
Agama (No. 7 Tahun 1989, No. 3 Tahun 2006, No. 50 Tahun 2009),
dan Kitab Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang ditetapkan dan
disebarluaskan melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991,
selanjutnya menjadi pedoman bagi hakim dalam memutus
perkara/sengketa kekeluargaan.
j. KHI adalah ramuan antara fikih klasik perkawinan dan fikih
munakahat khas Indonesia (fikih perkawinan Indonesia). Walaupun
demikian, dualisme hukum perkawinan Islam di Indonesia antara
kitab-kitab fikih klasik (empat mazhab hukum yang didominasi
Mazhab Syafi’i) dengan KHI akan terus terjadi (lihat Saiful Millah
dan Asep Saepudin Jahar, Dualisme Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia, Jakarta: Amzah, 2019).
2
iv. dan hadits-hadits lainnya.
c. Ijtihad
i. Ijtihad Sahabat Nabi, antara lain: Ali ibn Abi Thalib
berijtihad tentang masa iddah (masa jeda bagi wanita untuk
menahan diri dari menikahi laki-laki lain setelah dicerai atau
ditinggal wafat suaminya) dan lihat bagaimana perbedaan
pendapatnya dengan ijtihad Umar ibn Khattab;
ii. Fikih Munakahat/fikih perkawinan (kitab fikih hasil
ijtihad para Imam/ Mujtahid/Ahli Hukum Islam selain
Sahabat Nabi), contohnya: (1)Al Qodhi Ahmad bin Husain Al
Ashfahaniy Asy Syafi’i dalam kitab/buku matan Al Ghoyah wat
Taqrib (matan Abi Syuja) menulis tentang urutan dan syarat
wali dan saksi nikah menurut Mazhab Syafi’i; (2)Ibnu Maudud
Al-Musoli (Ulama Madzhab Hanafi) dalam kitabnya berjudul:
Al-Ikhtiyar li Ta'lil Al-Mukhtar menulis tentang wali nikah;
(3)Ibnu Qudamah dalam kitabnya: Al-Kafi fi Fiqh Imam
Ahmad menulis tentang fikih munakahat/perkawinan dalam
perspektif Ahmad ibn Hanbal (Mazhab Hambali Law School);
(4)Tim Mahkamah Agung dan Majelis Ulama Indonesia
menyusun Kompilasi Hukum Islam; dan kitab-kitab fikih
lainnya.
4. Pengertian Perkawinan
a. Dalam literatur fikih, perkawinan biasa disebut nikah dan zawaj.
Na-ka-ha artinya kawin. Za-wa-ja juga berarti kawin. Dalam arti
kata, nikah bermakna “bergabung” bisa juga berarti “hubungan
suami-istri” (bertemunya dua kelamin), bisa juga berarti “akad”. Di
kalangan ulama mazhab syafi’iyah, rumusan yang biasa dipakai
3
adalah: “akad atau perjanjian yang mengandung maksud
membolehkan hubungan suami-istri (hubungan kelamin) dengan
menggunakan lafadz na-ka-ha atau za-wa-ja.”
b. Maknanya adalah: (1)perkawinan adalah ibadah atau peristiwa
hukum bukan peristiwa biologis dan sosiologis semata, oleh
karenanya ia dibuat dalam bentuk akad/ perjanjian oleh para pihak
yang terlibat dalam perkawinan; (2)hubungan kelamin atau
percampuran antara pria dan wanita pada asalnya adalah terlarang
kecuali telah datang hal-hal yang membolehkannya sesuai dengan
syariat/ hukum syara’; (3)UU Perkawinan memberikan definisi: lihat
pasal 1; (4)Kompilasi Hukum Islam juga memberikan penjelasan
tentang ini: lihat pasal 2 KHI.
c. Hukum melakukan perkawinan pada asalnya adalah boleh/ mubah/
jaiz. Namun hukum ini bisa bergeser kepada sunnah, makruh,
haram, ataupun wajib tergantung keadaan orang-orang tertentu.
d. Tujuan perkawinan adalah: (1)mendapatkan keturunan yang sah,
untuk melanjutkan generasi yang akan datang (lihat Qur’an Surat
An-Nisa’ ayat (1); dan (2)mendapatkan ketenangan keluarga
bahagia dan penuh kasih sayang (lihat Ar-Rum ayat 21). Hikmah
perkawinan adalah: (1)menghalangi pandangan dari hal-hal yang
diharamkan, dan (2)menjaga kehormatan diri dari terjatuh dalam
kerusakan seksual.
5. Persiapan Perkawinan
a. Pemilihan Jodoh
Nabi Muhammad berkata: “Perempuan itu dinikahi dengan empat
motivasi: pertama karena hartanya, kedua karena kedudukan atau
keturunan atau kebangsawanannya, ketiga karena kecantikannya
atau paras wajahnya, dan keempat karena agamanya. Pilihlah
perempuan karena agamanya, maka kamu akan mendapatkan
keberuntungan” (Hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim).
b. Peminangan/Lamaran
i. Dalam bahasa arab dikenal dengan: khitbah. Yang artinya,
penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan
perkawinan. Khitbah/peminangan/lamaran dilakukan sebelum
berlangsungnya akad nikah.
ii. Semua mazhab sepakat hukum peminangan adalah mubah.
Kecuali mazhab adz-Zhahiriy yang mewajibkannya.
iii. Hikmah nya adalah untuk lebih menguatkan ikatan
perkawinan dan saling mengenal.
4
iv. Sebagian adat di Indonesia mengenal lamaran dengan acara
seserahan (menyerahkan cendera mata atau buah tangan di
antara kedua keluarga calon mempelai sebagai wujud
keseriusan kedua calon untuk bersatu dalam ikatan
perkawinan).
v. Syarat-syarat wanita yang boleh dipinang (diinginkan untuk
dinikahi):
1. Perempuan yang tidak berada dalam ikatan perkawinan
(Islam melarang poliandri);
2. Perempuan yang ditinggal wafat suaminya, baik
telah/pernah digauli ataupun belum (masih perawan);
3. Perempuan yang telah bercerai dari suaminya; dan
4. Perempuan yang belum kawin/menikah.
vi. Cara penyampaian ucapan peminangan ada dalam dua cara:
1. Menggunakan ucapan yang jelas dan terang, dalam arti
tidak mungkin dipahami lain dari ucapan tersebut
kecuali untuk peminangan, misalnya: “saya bermaksud
untuk menikahimu”;
2. Menggunakan ucapan yang samar (tidak jelas dan tidak
terang) atau dengan istilah-istilah yang memiliki
maksud, misalnya: “tidak ada laki-laki yang tidak ingin
menikahimu”
vii. Perempuan yang dipinang dapat dibagi dalam tiga jawaban
atas pinangan:
1. Perempuan yang dipinang setuju dengan jawaban yang
jelas dan terang memberi izin kepada wali nya untuk
menerima pinangan tersebut;
2. Perempuan yang dipinang tidak senang/ tidak setuju
dengan laki-laki yang meminangnya dan secara jelas
dan terang menyatakan ketidaksetujuannya baik
dengan ucapan ataupun isyarat; atau
3. Perempuan yang dipinang tidak memberikan jawaban
jelas, namun ada isyarat dia menyukai peminangan
tersebut.
viii. Larangan meminang. Terdapat hadits Nabi yang melarang
peminangan dengan kondisi sebagai berikut:
1. Larangan meminang berlaku bila jelas-jelas pinangan
pertama telah diterima dan si peminang kedua
mengetahui hal ini. Contoh: A meminang B, dan B
menerima pinangan A. Maka C tidak boleh mengajukan
diri untuk meminang B.
5
2. Larangan meminang berlaku bila peminang pertama
adalah saudaranya seagama/ muslim.
3. Larangan meminang tidak berlaku bila peminang
pertama telah membatalkan pinangannya atau memberi
izin bagi peminang kedua mengajukan pinangannya.
Atau perempuan yang dipinang tidak
menyetujui/menolak pinangan. Contoh: A meminang B,
dan B menolak, atau A membatalkan. Maka C boleh
mengajukan diri meminang B.
ix. Perempuan yang akan dipinang boleh dilihat/dipandang
dengan batasan aurat yang boleh dipandang adalah wajah
dan telapak tangannya. Sebagian ulama memandang boleh si
peminang melihat pada hal-hal selain itu seperti sebagian
betis/ kaki wanita.
x. Akibat hukum peminangan. KHI mengatur peminangan dalam
pasal 1, 11, 12, dan 13. Silakan dilihat dalam KHI.
6
Kompilasi Huum Islam Pasal 15-18 mengatur syarat calon
suami dan istri. UU Perkawinan juga mengatur persyaratan
calon mempelai. Termasuk revisi terbatas UU Perkawinan
tahun 2019 lalu, silakan di cek UU nya.
iii. Syarat dan Kedudukan Wali Nikah
1. Laki-laki;
2. Baligh (dewasa/cakap);
3. Berakal;
4. Tidak dipaksa;
5. Adil;
6. Tidak sedang ihram haji;
7. Lihat juga Pasal 20 KHI;
8. Kedudukan wali dalam akad nikah adalah sesuatu yang
mutlak, dan tidak sah akad perkawinan tanpa wali;
9. Jenis-jenis wali: (1)wali nasab (terdiri dari empat
kelompok urutan kedudukan sesuai susunan
kekerabatan dengan calon mempelai wanita; (2)wali
hakim (jika wali nasab berhalangan/tidak ada/tidak
dimungkinkan untuk dihadirkan/ tidak
diketahui/enggan, dan bertindak berdasarkan putusan
pengadilan).
iv. Saksi Nikah, syarat:
1. Laki-laki;
2. Baligh (dewasa/cakap);
3. Berakal;
4. Dapat mendengar dan melihat;
5. Tidak dipaksa;
6. Tidak sedang berihram haji;
7. Memahami apa yang digunakan atau terdapat dalam
ijab kabul;
8. Lihat juga ketentuan mengenai Saksi dalam Pasal 24-26
KHI.
v. Syarat Ijab Kabul: (lihat Azhari Akmal Tarigan, Hukum
Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: 2004).
1. Pernyataan mengawinkan dari wali;
2. Pernyataan penerimaan dari calon mempelai;
3. Memakai kata-kata nikah, tazwij/zawaj atau terjemah
dari kedua kata tersebut;
4. Antara ijab dan kabul bersambung tidak terputus;
5. Antara ijab dan kabul jelas maksudnya;
7
6. Orang yang terikat dengan ijab dan kabul tidak sedang
ihram haji atau umrah;
7. Dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai
atau wakilnya, wali dari mempelai, dan dua orang
saksi;
8. Lihat juga pasal 27-29 KHI.
8
b. Pencatatan perkawinan diwajibkan oleh UU Perkawinan dan
peraturan pelaksanaannya.
c. Tujuan pencatatan perkawinan adalah memberikan kepastian
hukum dan perlindungan bagi para pihak. Memberikan kekuatan
bukti otentik. Sehingga para pihak dapat mempertahankan
perkawinan tersebut kepada siapapun di hadapan hukum.
d. Manfaat pencatatan perkawinan: (1)alat bukti hukum yang sah;
(2)kepastian hukum; (3)terhindar dari dampak negatif yaitu
kelemahan perlindungan hukum terhadap hak suami dan istri jika
terjadi pelanggaran atau kerugian dalam perkawinan di kemudian
hari.
9
dan syarat serta rukun terpenuhi, maka perkawinan sah. Contoh:
rintangan untuk menikahi janda yang sedang dalam masa iddah
(habis ditinggal wafat/cerai suaminya dalam masa tertentu).
10
14. Harta Kekayaan dalam Perkawinan
a. Harta Kekayaan dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh
baik sendiri-sendiri ataupun bersama suami-istri selama dalam
ikatan perkawinan berlangsung (selanjutnya disebut harta
bersama) tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
b. Dalam fikih, pada prinsipnya tidak dikenal adanya pembauran
harta/ percampuran harta suami-istri setelah berlangsungnya
perkawinan. Suami memiliki harta sendiri, istri memiliki harta
sendiri. Namun, suami terikat dengan kewajiban memberikan
nafkah (nafaqah) yang dipergunakan istri dan anak-anak untuk
kebutuhan rumah tangga keseharian. Tidak ada penggabungan
harta dalam hukum Islam, kecuali dalam bentuk
syirkah/akad/perjanjian khusus yang dibuat untuk terjadinya harta
bersama. Syirkah dapat disusun saat akad nikah atau setelahnya
dalam ikatan perkawinan.
c. Lihat juga pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan dalam
Pasal 35-37 UU Perkawinan jo. Pasal 85-97 KHI.
11
c. Pemeliharaan anak diatur juga dalam Pasal 41, dan 45-47 UU
Perkawinan jo. Pasal 98 dan 104-106 KHI.
16. Perwalian
a. Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang
untuk melakukan perbuatan hukum sebagai wakil untuk
kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai orang tua,
atau kedua orang tua masih hidup namun tidak cakap melakukan
perbuatan hukum (lihat Pasal 1 Ketentuan Umum huruf h KHI).
b. Dalil penjelasan keberadaan wali dapat merujuk pada Qur’an Surat
ke-2 ayat 282, 4:5, dan 4:6.
c. Perwalian diatur dalam Pasal 50-53 UU Perkawinan dan Pasal107-
112 KHI.
12
18. Rujuk
Rujuk berasal dari kata ruju’, raja’a, yarji’u artinya kembali. Suami
istri yang telah berpisah ranjang (talak 1 atau 2) masih dapat ruju’
kembali (dalam masa iddah), kecuali talak yang telah jatuh 3 (tiga)
kali. Pengaturan rujuk diatur dalam Pasal 163-169 KHI. Ketentuan
masa iddah/ masa tunggu diatur dalam Pasal 11 UU Perkawinan jo.
Pasal 39 PP 9/1975 jo. Pasal 153-155 KHI. Pengaturan rujuk dan masa
iddah bersumber dari beberapa ayat dalam Qur’an Surat ke-33 ayat
49; 2:234; 65:4, 2:228, dan 2:240.
13
h. Hibah dan Wasiat menurut hukum Islam
1. Hukum waris menurut BW
2. Warisan dalam sistem hukum BW
3. Pewaris dan dasar hukum mewaris menurut BW
4. Ahli waris
5. Bagian masing masing ahli waris
6. Peran Balai Harta Peninggalan dalam pembagian
waris
7. Ahli waris yang tidak patut
8. Tanggung jawab ahli waris terhadap hutan pewaris
menurut BW
9. Hibah dan Wasiat menurut BW
i. Sistem kekeluargaan dan hukum waris adat
j. Patrilineal, Matrilineal, dan Parental/ Bilateral
k. Tata cara pembagian harta waris menurut hukum adat
l. Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang pewaris menurut
hukum adat
m. Hibah dan Wasiat menurut waris adat
n. Yurisprudensi Mahkamah Agung dan penyelesaian sengketa
waris (waris Islam, perdata barat, dan adat)
14