Anda di halaman 1dari 14

Kuliah ke-9 Fakultas Hukum UPH

Pokok-Pokok Hukum Perkawinan (Keluarga) dan Kewarisan Islam


A. Hukum Perkawinan (Keluarga) Islam
1. Hukum dan Peraturan Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia
a. Manusia pasti dilahirkan di tengah-tengah masyarakat, dan tidak
mungkin hidup kecuali di tengah-tengah mereka pula (Ibnu
Khaldun dalam Abdul Karim Zaidan, Al-Madkhalil Dirasah as-
Syari’ah al-Islamiyah, Bagdad: Maktabah al-Quds, 1992).
b. Ubi Societas Ibi Ius (menurut Celcius): “Di mana ada masyarakat di
situlah ada hukum.” (lihat kutipan Muhammad Amin Summa,
Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004).
c. There is no state without law (lihat kutipan Muhammad Amin
Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004).
d. Jika kita beriman dan meyakini Adam dan Hawa adalah dua
manusia (sebagai subjek hukum) yang pertama Allah ciptakan,
maka hukum pertama yang dikenal manusia adalah hukum
keluarga, khususnya hukum perkawinan. Kemudian dengan
perkembangan di setiap masa dan tempat, anak-anak Adam dan
Hawa hingga hari ini secara berkelanjutan melaksanakan hukum
perkawinan. Maka hukum keluarga Islam, terutama hukum
perkawinan adalah hukum yang hidup (fiqhul hayah/ the living law)
tidak hanya di negara-negara atau daerah mayoritas muslim,
namun juga di daerah di mana di sana terdapat minoritas muslim
(Sofyan Hasan, Hukum Keluarga dalam Islam, Malang: Setara
Press, 2018).
e. Islam mengatur masalah perkawinan dengan teliti dan terperinci
untuk membawa umat manusia hidup berkerhormatan, sesuai
dengan kedudukannya yang amat mulia di tengah-tengah makhluk
Allah lainnya (Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam,
Yogyakarta: UII Press, 2004).
f. Dalam literatur fikih (hukum Islam), hukum keluarga biasa dikenal
dengan sebutan al-ahwal as-syakhshiyyah. Ahwal adalah jamak
dari kata tunggal: al-hal yang berarti hal atau urusan atau
keadaan. Sedangkan as-syakhshiyyah berarti orang, manusia, al-
insan, atau kepribadian dan identitas pribadi atau jati diri (lihat

1
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004).
g. Perhatikan garis-garis hukum dari Al Qur’an dan Al-Hadits tentang
hukum kekeluargaan (termasuk hasil Ijtihad (ijtihad dapat
ditafsirkan sebagai pendapat para Sahabat Nabi Muhammad, atau
ulil amri (penguasa/ulama), atau pendapat mujtahid lainnya) (lihat
Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press,
1986).
h. Hukum materiil di Indonesia: Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
i. Hukum formil/ acara sebagai penegak hukum materiil: UU Peradilan
Agama (No. 7 Tahun 1989, No. 3 Tahun 2006, No. 50 Tahun 2009),
dan Kitab Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang ditetapkan dan
disebarluaskan melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991,
selanjutnya menjadi pedoman bagi hakim dalam memutus
perkara/sengketa kekeluargaan.
j. KHI adalah ramuan antara fikih klasik perkawinan dan fikih
munakahat khas Indonesia (fikih perkawinan Indonesia). Walaupun
demikian, dualisme hukum perkawinan Islam di Indonesia antara
kitab-kitab fikih klasik (empat mazhab hukum yang didominasi
Mazhab Syafi’i) dengan KHI akan terus terjadi (lihat Saiful Millah
dan Asep Saepudin Jahar, Dualisme Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia, Jakarta: Amzah, 2019).

2. Sumber Hukum Kekeluargaan Islam


a. Al-Qur’an, di antaranya: Qur’an Surat (QS.) 51 ayat ke 49, QS.
36: 36, QS. 49:13, QS. 16:72, QS. 24:3, QS. 4:34, dan lainnya.
b. Al-Hadits/ Sunnah Nabi, antara lain:
i. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda:
“Adakanlah walimah (pesta perkawinan), walaupun hanya
dengan seekor kambing. (Hadits Riwayat (HR.) Bukhari No.
5167 Kitab An-Nikaah, HR. Muslim No. 1427, HR. Tirmidzi No.
1094, dan lainnya);
ii. “Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah (pesta
perkawinan), di mana hanya orang-orang kaya saja yang
diundang, sedangkan orang-orang fakir / miskin tidak
diundang. Barangsiapa yang tidak memenuhi undangan,
maka dia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR.
Bukhari);
iii. “Tidak sah nikah kecuali dengan keberadaan wali dan dua
saksi yang adil.” (HR. Abdurrozaq. Al-Albani berkata: shahih),

2
iv. dan hadits-hadits lainnya.

c. Ijtihad
i. Ijtihad Sahabat Nabi, antara lain: Ali ibn Abi Thalib
berijtihad tentang masa iddah (masa jeda bagi wanita untuk
menahan diri dari menikahi laki-laki lain setelah dicerai atau
ditinggal wafat suaminya) dan lihat bagaimana perbedaan
pendapatnya dengan ijtihad Umar ibn Khattab;
ii. Fikih Munakahat/fikih perkawinan (kitab fikih hasil
ijtihad para Imam/ Mujtahid/Ahli Hukum Islam selain
Sahabat Nabi), contohnya: (1)Al Qodhi Ahmad bin Husain Al
Ashfahaniy Asy Syafi’i dalam kitab/buku matan Al Ghoyah wat
Taqrib (matan Abi Syuja) menulis tentang urutan dan syarat
wali dan saksi nikah menurut Mazhab Syafi’i; (2)Ibnu Maudud
Al-Musoli (Ulama Madzhab Hanafi) dalam kitabnya berjudul:
Al-Ikhtiyar li Ta'lil Al-Mukhtar menulis tentang wali nikah;
(3)Ibnu Qudamah dalam kitabnya: Al-Kafi fi Fiqh Imam
Ahmad menulis tentang fikih munakahat/perkawinan dalam
perspektif Ahmad ibn Hanbal (Mazhab Hambali Law School);
(4)Tim Mahkamah Agung dan Majelis Ulama Indonesia
menyusun Kompilasi Hukum Islam; dan kitab-kitab fikih
lainnya.

3. Asas Hukum Perkawinan


Lihat buku Mohammad Daud Ali. Sudah kita bahas dalam pertemuan
pertemuan lalu. Lihat juga asas-asas yang terkandung dalam Undang-
Undang Perkawinan: (lihat Sofyan Hasan, Hukum Keluarga dalam Islam,
Malang: Setara Press, 2018).
a. Asas sukarela;
b. Partisipasi Keluarga;
c. Perceraian dipersulit;
d. Monogami terbuka/poligami dibatasi;
e. Kematangan calon mempelai; dan
f. Perbaikan derajat kaum wanita.

4. Pengertian Perkawinan
a. Dalam literatur fikih, perkawinan biasa disebut nikah dan zawaj.
Na-ka-ha artinya kawin. Za-wa-ja juga berarti kawin. Dalam arti
kata, nikah bermakna “bergabung” bisa juga berarti “hubungan
suami-istri” (bertemunya dua kelamin), bisa juga berarti “akad”. Di
kalangan ulama mazhab syafi’iyah, rumusan yang biasa dipakai

3
adalah: “akad atau perjanjian yang mengandung maksud
membolehkan hubungan suami-istri (hubungan kelamin) dengan
menggunakan lafadz na-ka-ha atau za-wa-ja.”
b. Maknanya adalah: (1)perkawinan adalah ibadah atau peristiwa
hukum bukan peristiwa biologis dan sosiologis semata, oleh
karenanya ia dibuat dalam bentuk akad/ perjanjian oleh para pihak
yang terlibat dalam perkawinan; (2)hubungan kelamin atau
percampuran antara pria dan wanita pada asalnya adalah terlarang
kecuali telah datang hal-hal yang membolehkannya sesuai dengan
syariat/ hukum syara’; (3)UU Perkawinan memberikan definisi: lihat
pasal 1; (4)Kompilasi Hukum Islam juga memberikan penjelasan
tentang ini: lihat pasal 2 KHI.
c. Hukum melakukan perkawinan pada asalnya adalah boleh/ mubah/
jaiz. Namun hukum ini bisa bergeser kepada sunnah, makruh,
haram, ataupun wajib tergantung keadaan orang-orang tertentu.
d. Tujuan perkawinan adalah: (1)mendapatkan keturunan yang sah,
untuk melanjutkan generasi yang akan datang (lihat Qur’an Surat
An-Nisa’ ayat (1); dan (2)mendapatkan ketenangan keluarga
bahagia dan penuh kasih sayang (lihat Ar-Rum ayat 21). Hikmah
perkawinan adalah: (1)menghalangi pandangan dari hal-hal yang
diharamkan, dan (2)menjaga kehormatan diri dari terjatuh dalam
kerusakan seksual.

5. Persiapan Perkawinan
a. Pemilihan Jodoh
Nabi Muhammad berkata: “Perempuan itu dinikahi dengan empat
motivasi: pertama karena hartanya, kedua karena kedudukan atau
keturunan atau kebangsawanannya, ketiga karena kecantikannya
atau paras wajahnya, dan keempat karena agamanya. Pilihlah
perempuan karena agamanya, maka kamu akan mendapatkan
keberuntungan” (Hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim).
b. Peminangan/Lamaran
i. Dalam bahasa arab dikenal dengan: khitbah. Yang artinya,
penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan
perkawinan. Khitbah/peminangan/lamaran dilakukan sebelum
berlangsungnya akad nikah.
ii. Semua mazhab sepakat hukum peminangan adalah mubah.
Kecuali mazhab adz-Zhahiriy yang mewajibkannya.
iii. Hikmah nya adalah untuk lebih menguatkan ikatan
perkawinan dan saling mengenal.

4
iv. Sebagian adat di Indonesia mengenal lamaran dengan acara
seserahan (menyerahkan cendera mata atau buah tangan di
antara kedua keluarga calon mempelai sebagai wujud
keseriusan kedua calon untuk bersatu dalam ikatan
perkawinan).
v. Syarat-syarat wanita yang boleh dipinang (diinginkan untuk
dinikahi):
1. Perempuan yang tidak berada dalam ikatan perkawinan
(Islam melarang poliandri);
2. Perempuan yang ditinggal wafat suaminya, baik
telah/pernah digauli ataupun belum (masih perawan);
3. Perempuan yang telah bercerai dari suaminya; dan
4. Perempuan yang belum kawin/menikah.
vi. Cara penyampaian ucapan peminangan ada dalam dua cara:
1. Menggunakan ucapan yang jelas dan terang, dalam arti
tidak mungkin dipahami lain dari ucapan tersebut
kecuali untuk peminangan, misalnya: “saya bermaksud
untuk menikahimu”;
2. Menggunakan ucapan yang samar (tidak jelas dan tidak
terang) atau dengan istilah-istilah yang memiliki
maksud, misalnya: “tidak ada laki-laki yang tidak ingin
menikahimu”
vii. Perempuan yang dipinang dapat dibagi dalam tiga jawaban
atas pinangan:
1. Perempuan yang dipinang setuju dengan jawaban yang
jelas dan terang memberi izin kepada wali nya untuk
menerima pinangan tersebut;
2. Perempuan yang dipinang tidak senang/ tidak setuju
dengan laki-laki yang meminangnya dan secara jelas
dan terang menyatakan ketidaksetujuannya baik
dengan ucapan ataupun isyarat; atau
3. Perempuan yang dipinang tidak memberikan jawaban
jelas, namun ada isyarat dia menyukai peminangan
tersebut.
viii. Larangan meminang. Terdapat hadits Nabi yang melarang
peminangan dengan kondisi sebagai berikut:
1. Larangan meminang berlaku bila jelas-jelas pinangan
pertama telah diterima dan si peminang kedua
mengetahui hal ini. Contoh: A meminang B, dan B
menerima pinangan A. Maka C tidak boleh mengajukan
diri untuk meminang B.

5
2. Larangan meminang berlaku bila peminang pertama
adalah saudaranya seagama/ muslim.
3. Larangan meminang tidak berlaku bila peminang
pertama telah membatalkan pinangannya atau memberi
izin bagi peminang kedua mengajukan pinangannya.
Atau perempuan yang dipinang tidak
menyetujui/menolak pinangan. Contoh: A meminang B,
dan B menolak, atau A membatalkan. Maka C boleh
mengajukan diri meminang B.
ix. Perempuan yang akan dipinang boleh dilihat/dipandang
dengan batasan aurat yang boleh dipandang adalah wajah
dan telapak tangannya. Sebagian ulama memandang boleh si
peminang melihat pada hal-hal selain itu seperti sebagian
betis/ kaki wanita.
x. Akibat hukum peminangan. KHI mengatur peminangan dalam
pasal 1, 11, 12, dan 13. Silakan dilihat dalam KHI.

6. Rukun dan Syarat Perkawinan


a. Rukun perkawinan ada lima:
i. Calon mempelai laki-laki;
ii. Calon mempelai wanita;
iii. Wali dari mempelai wanita yang akan mengakadkan
perkawinan;
iv. Dua orang saksi; dan
v. Ijab yang dilakukan oleh wali, dan kabul yang dilakukan oleh
suami (ijab adalah penyerahan dari pihak pertama (wali calon
mempelai perempuan), sedangkan kabul adalah penerimaan
dari pihak kedua (calon mempelai laki-laki).
b. Syarat perkawinan:
i. Mempelai laki-laki:
1. Bukan mahram dari calon istri;
2. Tidak terpaksa/ bertindak atas kemauan sendiri;
3. Orang tertentu/ jelas orangnya;
4. Tidak menjalankan ihram haji.
ii. Mempelai perempuan:
1. Tidak ada halangan hukum:
a. Tidak bersuami;
b. Bukan mahram;
c. Tidak sedang dalam masa iddah.
2. Merdeka/ bertindak atas kemauan sendiri

6
Kompilasi Huum Islam Pasal 15-18 mengatur syarat calon
suami dan istri. UU Perkawinan juga mengatur persyaratan
calon mempelai. Termasuk revisi terbatas UU Perkawinan
tahun 2019 lalu, silakan di cek UU nya.
iii. Syarat dan Kedudukan Wali Nikah
1. Laki-laki;
2. Baligh (dewasa/cakap);
3. Berakal;
4. Tidak dipaksa;
5. Adil;
6. Tidak sedang ihram haji;
7. Lihat juga Pasal 20 KHI;
8. Kedudukan wali dalam akad nikah adalah sesuatu yang
mutlak, dan tidak sah akad perkawinan tanpa wali;
9. Jenis-jenis wali: (1)wali nasab (terdiri dari empat
kelompok urutan kedudukan sesuai susunan
kekerabatan dengan calon mempelai wanita; (2)wali
hakim (jika wali nasab berhalangan/tidak ada/tidak
dimungkinkan untuk dihadirkan/ tidak
diketahui/enggan, dan bertindak berdasarkan putusan
pengadilan).
iv. Saksi Nikah, syarat:
1. Laki-laki;
2. Baligh (dewasa/cakap);
3. Berakal;
4. Dapat mendengar dan melihat;
5. Tidak dipaksa;
6. Tidak sedang berihram haji;
7. Memahami apa yang digunakan atau terdapat dalam
ijab kabul;
8. Lihat juga ketentuan mengenai Saksi dalam Pasal 24-26
KHI.
v. Syarat Ijab Kabul: (lihat Azhari Akmal Tarigan, Hukum
Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: 2004).
1. Pernyataan mengawinkan dari wali;
2. Pernyataan penerimaan dari calon mempelai;
3. Memakai kata-kata nikah, tazwij/zawaj atau terjemah
dari kedua kata tersebut;
4. Antara ijab dan kabul bersambung tidak terputus;
5. Antara ijab dan kabul jelas maksudnya;

7
6. Orang yang terikat dengan ijab dan kabul tidak sedang
ihram haji atau umrah;
7. Dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai
atau wakilnya, wali dari mempelai, dan dua orang
saksi;
8. Lihat juga pasal 27-29 KHI.

7. Mahar (Maskawin) Sebagai Syarat Perkawinan yang Wajib


Hukumnya
Mahar disebut juga sebagai maskawin. Pemberian seorang suami kepada
istrinya sebelum, sesudah, atau pada waktu berlangsungnya akad nikah
sebagai pemberian wajib. Atau sesuatu yang diberikan oleh calon suami
kepada calon istri dalam rangka akad pernikahan, sebagai lambang
kecintaan calon suami terhadap calon istrinya (lihat Abdul Shomad,
Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum, Jakarta:
Kencana, 2010). Menurut redaksi lain: harta yang diberikan kepada istri
sebagai tanda atau syarat terjadinya ikatan perkawinan antara seorang
laki-laki dan seorang wanita (lihat: Kadar M Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam,
Jakarta: Amzah, 2011). Menurut Pasal 1 huruf d KHI: mahar adalah
pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik
berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan
hukum Islam. UU Perkawinan tidak mengatur mahar, namun ada
pengaturan mahar dalam KHI bertujuan sebagai berikut: (lihat Yahya
Harahap, Informasi Materi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum
Islam, Jakarta: Logos, 1999)
i. Menertibkan masalah mahar;
ii. Menetapkan kepastian hukum bahwa mahar bukan rukun
nikah;
iii. Menetapkan etik mahar atas asas kesederhanaan dan
kemudahan, bukan ekonomi, status sosial, dan gengsi; serta
iv. Menyeragamkan konsepsi yuridis dan etik mahar agar terbina
ketertiban dan persepsi yang sama di kalangan masyarakat
dan aparat penegak hukum.

8. Pencatatan Perkawinan (lihat Mardani, Hukum Keluarga Islam di


Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2016).
a. Sebagian ahli hukum Islam mewajibkan pencatatan perkawinan
dalam akta/ kantor urusan yang ditunjuk oleh negara, karena
menganggap ketaatan kepada ulil amri (penguasa) dalam hal yang
ma’ruf (baik) adalah diharuskan dalam hukum agama. Pelanggaran
atasnya termasuk pelanggaran atas hukum Islam.

8
b. Pencatatan perkawinan diwajibkan oleh UU Perkawinan dan
peraturan pelaksanaannya.
c. Tujuan pencatatan perkawinan adalah memberikan kepastian
hukum dan perlindungan bagi para pihak. Memberikan kekuatan
bukti otentik. Sehingga para pihak dapat mempertahankan
perkawinan tersebut kepada siapapun di hadapan hukum.
d. Manfaat pencatatan perkawinan: (1)alat bukti hukum yang sah;
(2)kepastian hukum; (3)terhindar dari dampak negatif yaitu
kelemahan perlindungan hukum terhadap hak suami dan istri jika
terjadi pelanggaran atau kerugian dalam perkawinan di kemudian
hari.

9. Perkawinan yang diharamkan


a. Nikah mut’ah
Perkawinan untuk masa tertentu (nikah kontrak) dibatasi tenggat
waktu. Dalam arti saat akad dinyatakan berlaku ikatan perkawinan
sampai masa tertentu yang bila datang masa itu, perkawinan putus
dengan sendirinya tanpa melalui proses perceraian.
b. Nikah tahlil
Perkawinan yang dilakukan untuk menghalalkan orang yang telah
melakukan talak tiga untuk segera kembali kepada istrinya dengan
nikah baru. Bila seseorang telah menceraikan istrinya dengan talak
sampai tiga kali, baik dalam satu masa maupun berbeda masa,
maka si suami tidak boleh lagi kawin/ melakukan hubungan suami
istri dengan istrinya itu, kecuali bila telah menikah dengan laki-laki
lain, kemudian berhubungan suami istri, kemudian bercerai, dan
habis masa iddahnya.
c. Nikah syighar
Seorang laki-laki menikahkan anak perempuannya dengan
ketentuan/ perjanjian bahwa laki-laki lain itu menikahkan pula anak
perempuannya kepadanya , tanpa adanya mahar di antara
keduanya.

10. Larangan Perkawinan


a. Larangan mutlak (muabbad): tidak akan pernah berubah dan tidak
ada cara atau syarat apapun yang dapat mengubah menjadi boleh.
Contohnya pernikahan sesama jenis, perkawinan antara mereka
yang berhubungan darah seperti ibu, anak, saudara, atau saudara
sepersusuan, dll.
b. Larangan relatif (ghairu muabbad): terjadi rintangan untuk
melangsungkan perkawinan. Namun jika rintangan telah hilang,

9
dan syarat serta rukun terpenuhi, maka perkawinan sah. Contoh:
rintangan untuk menikahi janda yang sedang dalam masa iddah
(habis ditinggal wafat/cerai suaminya dalam masa tertentu).

11. Perjanjian Perkawinan


Hukum membuat perjanjian perkawinan adalah mubah. Sehingga
boleh dibuat, boleh tidak. Namun para Ulama sepakat, jika sudah
dibuat, maka para pihak yang membuat perjanjian terikat dengan
syarat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi (lihat pengaturan
perjanjian perkawinan dalam Pasal 29 UU Perkawinan dan Pasal 45
KHI).

12. Pembatalan Perkawinan


Nikah yang dapat dibatalkan adalah nikah yang tidak memenuhi rukun
dan atau syarat perkawinan. Nikah fasid adalah nikah yang tidak
memenuhi salah satu syarat. Nikah batil adalah nikah yang tidak
memenuhi rukun (lihat pengaturannya dalam Pasal 23-28 UU
Perkawinan dan Pasal 74-76 KHI).

13. Hak dan Kewajiban Suami Istri


a. Sumber hukum: (1)Qur’an Surat ke-2 ayat 228, 4:19, 2:233,
30:21, 4:32, 65:6, 65:7; (2)Hadits Nabi antara lain: “Sebaik-baik
pernikahan ialah yang paling mudah.” (HR. Abu Dawud). Dalam
Hadits Riwayat Ahmad: ”Pernikahan yang paling besar
keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya.”; “Sebaik-baik
kalian adalah yang terbaik sikapnya terhadap keluarga. Dan aku
adalah yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku.” (HR.
Ibnu Majah); “Aku pernah bertanya kepada Aisyah: Apa yang
dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di rumahnya?
Aisyah berkata: Beliau membantu menyelesaikan pekerjaan rumah
tangga, maka apabila telah masuk waktu shalat beliau keluar untuk
shalat.” (HR. Al-Bukhari); Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling
baik akhlaknya dan sebaik-sebaik kamu adalah orang yang paling
baik kepada istrinya” (HR. At-Tirmidzi, 3/466; Ahmad, 2/250 dan
Ibnu Hibban, 9/483. Hadits dinyatakan shahih oleh Imam at-
Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Al-Albani).
b. Lihat pengaturannya dalam Pasal 30-34 UU Perkawinan jo. Pasal
77-84 KHI.

10
14. Harta Kekayaan dalam Perkawinan
a. Harta Kekayaan dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh
baik sendiri-sendiri ataupun bersama suami-istri selama dalam
ikatan perkawinan berlangsung (selanjutnya disebut harta
bersama) tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
b. Dalam fikih, pada prinsipnya tidak dikenal adanya pembauran
harta/ percampuran harta suami-istri setelah berlangsungnya
perkawinan. Suami memiliki harta sendiri, istri memiliki harta
sendiri. Namun, suami terikat dengan kewajiban memberikan
nafkah (nafaqah) yang dipergunakan istri dan anak-anak untuk
kebutuhan rumah tangga keseharian. Tidak ada penggabungan
harta dalam hukum Islam, kecuali dalam bentuk
syirkah/akad/perjanjian khusus yang dibuat untuk terjadinya harta
bersama. Syirkah dapat disusun saat akad nikah atau setelahnya
dalam ikatan perkawinan.
c. Lihat juga pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan dalam
Pasal 35-37 UU Perkawinan jo. Pasal 85-97 KHI.

15. Pemeliharaan Anak (hadanah)


a. Menurut Ash-Shan’ani, hadanah adalah memelihara anak yang
tidak bisa mandiri, mendidik, dan memeliharanya untuk
menghindarkan dari segala sesuatu yang dapat merusak dan
mendatangkan mudharat/ kerugian kepadanya. Menurut Amir
Syarifuddin, hadanah disebut juga kaffalah, artinya pemeliharaan
anak yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan.
Wahbah Zuhaili berpendapat bahwa hak hadanah adalah hak
berserikat/ bersyarikat antara ibu, ayah, dan anak. Jika terjadi
sengketa, maka yang didahulukan adalah kepentingan anak.
b. Rukun dan Syarat Hadanah:
i. Rukun:
1. Orang tua yang mengasuh (hadhin)
2. Anak yang diasuh (madhun)
ii. Syarat:
1. Orang tua yang mengasuh: sudah dewasa, berpikirian
sehat/ baik akalnya, bergama Islam, dan adil
(meninggalkan dosa besar dan menjauhi dosa kecil);
2. Anak yang diasuh: masih kecil/ belum dewasa/belum
baligh, belum dapat berdiri sendiri mengurus hidupnya,
atau berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya
meskipun telah dewasa seperti orang yang
berkebutuhan khusus.

11
c. Pemeliharaan anak diatur juga dalam Pasal 41, dan 45-47 UU
Perkawinan jo. Pasal 98 dan 104-106 KHI.

16. Perwalian
a. Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang
untuk melakukan perbuatan hukum sebagai wakil untuk
kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai orang tua,
atau kedua orang tua masih hidup namun tidak cakap melakukan
perbuatan hukum (lihat Pasal 1 Ketentuan Umum huruf h KHI).
b. Dalil penjelasan keberadaan wali dapat merujuk pada Qur’an Surat
ke-2 ayat 282, 4:5, dan 4:6.
c. Perwalian diatur dalam Pasal 50-53 UU Perkawinan dan Pasal107-
112 KHI.

17. Putusnya Hubungan Perkawinan


a. Secara etimologis, talak berarti membuka ikatan, melepaskannya,
dan menceraikannya. Menurut Al-Jazairi, talak adalah melepaskan
ikatan (hall al-qaid) atau bisa juga mengurangi pelepasan ikatan
dengan menggunakan kata-kata yang ditentukan. Sayyid Sabiq
mengatakan, talak adalah melepaskan ikatan perkawinan dan
mengakhiri hubungan suami istri.
b. Talak pada asalnya hukumnya adalah makruh (dibenci/dilarang)
namun dia bisa menjadi boleh dalam keadaan darurat. Empat hal
yang dapat memicu terjadinya perceraian/ putus hubungan
perkawinan:
i. Nusyuz (durhaka) pihak istri kepada suami;
ii. Nusyuz (durhaka) suami terhadap istri;
iii. Terjadinya syiqaq (persengketaan, perselisihan, percekcokan,
permusuhan yang sulit didamaikan)
iv. Salah satu pihak melakukan perbuatan zina, yang
menimbulkan saling tuduh di antara keduanya. Atau
perbuatan dosa besar lain seperti murtad, mabuk, madat,
judi, meninggalkan shalat, dan lain sebagainya.
c. Putusnya hubungan perkawinan diatur dalam Pasal 19 Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 (PP 9/1975) jo. Pasal 38-41 UU
Perkawinan jo. Pasal 113-128 KHI.
d. Tata cara perceraian diatur dalam Pasal 14-36 PP 9/1975 jo. Pasal
129-148 KHI.
e. Akibat hukum talak diatur dalam Pasal 149-152 KHI

12
18. Rujuk
Rujuk berasal dari kata ruju’, raja’a, yarji’u artinya kembali. Suami
istri yang telah berpisah ranjang (talak 1 atau 2) masih dapat ruju’
kembali (dalam masa iddah), kecuali talak yang telah jatuh 3 (tiga)
kali. Pengaturan rujuk diatur dalam Pasal 163-169 KHI. Ketentuan
masa iddah/ masa tunggu diatur dalam Pasal 11 UU Perkawinan jo.
Pasal 39 PP 9/1975 jo. Pasal 153-155 KHI. Pengaturan rujuk dan masa
iddah bersumber dari beberapa ayat dalam Qur’an Surat ke-33 ayat
49; 2:234; 65:4, 2:228, dan 2:240.

B. Hukum Kewarisan Islam


1. Sistem waris bangsa Arab sebelum Islam
2. Sistem waris masyarakat Indonesia sebelum Islam
3. Ilmu Faraidh: Definisi, Objek, Tujuan, Sumber Hukum, Urgensi
dipelajari, Asas-asas Hukum Waris
4. Rukun, syarat, sebab dan penghalang terjadinya waris dalam hukum
waris Islam
5. Tirkah dan hak-hak terkait
6. Ahli waris lelaki dan perempuan
7. Cara mewariskan dan pengelompokan ahli waris
8. Mewariskan secara fardh
9. Mewarisi secara ‘ashabah
10. Seputar al-Hajb
11. Lain lain : ‘Aul dan Radd, dzawi al-arham, mewaris secara at-Taqdir
(hak waris anak dalam kandungan, warisan orang yang hilang,
warisan orang yang tertawan, warisan al-khuntsa, warisan anak yang
lahir karena zina, warisan anak li’an, orang yang diakui se-nasab,
orang yang mewarisi sepertiga bagian, wasiat dalam hukum waris,
dan baitulmal (bagi pewaris yang tidak meninggalkan ahli waris),
warisan bagi non-muslim (wasiat wajibah)).

12. Perbandingan Hukum Waris Islam, Hukum Waris BW (Perdata Barat)


dan Hukum Waris Adat
a. Dasar hukum waris Islam dalam Al-Qur’an dan Assunnah
b. Pewaris dan dasar hukum pewaris
c. Ahli waris dalam hukum Islam
d. Bagian masing-masing ahli waris dzul fara’idh
e. Kelompok keutamaan ahli waris
f. Ahli waris yang tidak patut dan tidak berhak mendapatkan
warisan
g. Tanggung jawab ahli waris terhadap utang pewaris

13
h. Hibah dan Wasiat menurut hukum Islam
1. Hukum waris menurut BW
2. Warisan dalam sistem hukum BW
3. Pewaris dan dasar hukum mewaris menurut BW
4. Ahli waris
5. Bagian masing masing ahli waris
6. Peran Balai Harta Peninggalan dalam pembagian
waris
7. Ahli waris yang tidak patut
8. Tanggung jawab ahli waris terhadap hutan pewaris
menurut BW
9. Hibah dan Wasiat menurut BW
i. Sistem kekeluargaan dan hukum waris adat
j. Patrilineal, Matrilineal, dan Parental/ Bilateral
k. Tata cara pembagian harta waris menurut hukum adat
l. Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang pewaris menurut
hukum adat
m. Hibah dan Wasiat menurut waris adat
n. Yurisprudensi Mahkamah Agung dan penyelesaian sengketa
waris (waris Islam, perdata barat, dan adat)

Pelajari lebih lanjut beberapa buku ini:


1. Hukum Kekeluargaan Indonesia, Sayuti Thalib;
2. Hukum Keluarga Indonesia, Dr. Ahmad Tholabi Kharlie;
3. Hukum Keluarga Harta Benda dalam Perkawinan, Dr. Rosnidar
Sembiring, S.H., M.Hum;
4. Harta Benda Perkawinan, Dr. Sonny Dewi Judiasih, S.H., M.H.,
C.N;
5. Hukum Perkawinan Beda Agama dalam Teori dan Praktiknya di
Indonesia, Dr. Sirman Dahwal, S.H., M.H;
6. Hukum Waris, Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar,
Mesir;
7. Hukum Kewarisan Islam, Prof. Dr. Amir Syarifuddin;
8. Hukum Waris, J. Satrio, S.H;
9. Hukum Waris menurut KUHPerdata, Djaja S. Meliala, S.H., M.H;
10. Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat di Indonesia, Dr. Ellyne
Dwi Poespasari, S.H., M.H;
11. Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW,
Prof. Dr. Eman Suparman, S.H., M.H.
12. Kompilasi Hukum Islam; dan
13. Yurisprudensi Mahkamah Agung.

14

Anda mungkin juga menyukai