Anda di halaman 1dari 13

SISTEM TRANSFORMSI DAN HUKUM KELUARGA

¹Muhammad Nafiul Anam ²Khoirul Umam Muzaki ³Muhamad Fariz Firmansah


Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN)
KH. Abdurrahman Wahid
Abstrak
Semakin berkembangnya sebuah komunitas bangsa, kerap melahirkan hal baru yang
sebelumnya belum pernah dijumpai. Hal tersebut berdampak pada aspek pemenuhan
hukum, yang nantinya mengatur segala kemungkinan yang akan timbul. Batasan
hukum yang beum diatur memicu para tokoh intelektual muslim Indonesia untuk
meramu, menemukan sebuah teks yang kemudian dikontekstualisasikan ke dalam
budaya kebiasaan masyarakat. Sebagaimana terjadi pasca Indonesia meraih
kemerdekaan, banyak hal baru yang menjalar di tengah masyarakaat dan belum ada
hukum yang mengikat ketentuan-ketentuannya. Masyarakat Islam yang menjado
bagian bangsa memiliki kegelisahan tentang konsep hukum keluarga, karena belum
memiliki landasan dan yang mengatur dalam peraturan kenegaraan. Transformasi
dan melakukan optimasilasi hukum Islam menjadi keharusan, agar tercipta rasa
nyaman kepada msyarakat dalam mempraktekkan hukum yang berlaku.

Kata kunci: Transformasi, Hukum Keluarga

PENDAHULUAN
Hukum Islam di Indonesia telah lama hidup dalam kesadaran masyarakat,
seiring perkembangan ajarannya yang semakin pesat. 1 Dari sudut sejarah perjalanan
Islam masuk ke Indonesia, ajaran ini telah memberikan pengaruh besar terhadap
pelaksanaan hukum, sejak awal masuk ke Indonesia yang diperkirakan pada abad ke
7 M. Hukum Islam berdiri atas kekuatannya sendiri telah berlangsung lama di
Indonesia, bisa dilihat dalam sejarah peradilan pada kerajaan Islam masa lampau.
Pengakuan dan pemberlakuan hukum Islam di Indonesia memiliki alur sejarahnya
sendiri. Baik pada masa pendudukan Hindia-Beanda maupun pasca Indonesia
merdeka. Ada masa dimana muncul suatu pengakuan terhadap hukum Islam yang
kemudian membuat hukum Islam benar-benar hidup di tengah masyarakat.2

1
Imam Hardjono, Hukum Islam di Indonesia Dalam Perspektif Sejarah Hukum, Suhuf, Vol. 20 No. 1,
UMS Surakarta, hal. 2
2
Hal ini bedasar pada pendapat Carel Frederick Winter, Salomon Keyzer dan Lodewijk Williem
Christian, yang kemudian dikenal dengan teori receptive in complexeui. Untuk uraian sistem hukum di
Indonesia pada masa kolonial Belanda, lihat lebih Lanjut: Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia
Sebelum Perang Dunia II. Cet. Ketiga Belas. Jakarta Pradnya Paramita. 1988.
Pasca Indonesia meraih kemerdekaannya, Indonesia menganut paham hukum
yang dilandaskan pada ketuhanan. Sebagaimana tertuang dalam alinea ketiga
Undang-undang Dasar Tahun 1945. Sila Pertama dari Pancasila yang termaktub
dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Secara eksplisit peraturan dan
redaksi yang digunakan menunjukan adanya penerimaan bangsa Indonesia, pada
hukum Islam. Hal tersebut tidak terlepas dari jumlah penduduk muslim yang
mendominasi.
Pada Praktek pelaksanaan ajaran Islam, hukum keluarga merupakan hukum
yang paling kuat dipraktkkan, namun pelaksanaannya tidak dapat terhindar dari
perkembangan dan perubahan sosio kultural masyarakatnya. Perkembangan dan
perubahan pada hukum Islam telah disadari oeh Nabi Muhammad SAW, yang
kemudian mendorong para hakim untuk berijtihad. Salah satu kaidah dalam
perubahan ini berbunyi (taghayurrul ahkam bi al-taghayyuril azminah wa al-
amkinah).3
Berangkat dari penjabaran sekilas di atas, penulis merasa perlu untuk
menelaah lebih jauh tentang bagaimana konsep dan sejarah transformasi hukum,
secara khusus pada pemberlakuan hukum di Indonesia. Ada tiga poin utama yang
akan dibahas, dari transformasi, penyebab dan tujuan dari pembaharuan hukum.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Transformasi Hukum Keluarga Islam
Menurut Nurgiyantoro (2010:18), transformasi adalah perubahan, yaitu
perubahan terhadap suatu hal atau keadaan. Jika suatu hal atau keadaan yang
berubah itu adalah budaya, budaya itulah yang mengalami perubahan.
Sebelum kita melangkah ke pembahasan mengenai pengertian hukum
keluarga Islam, alangkah lebih baik jika kita mengetahui beberapa istilah-istilah
yang banyak digunkan untuk menyebut hukum keluarga Islam.Dalam Bahasa
Arab, istilah hukum keluarga Islam adalah Al-Ahwal al Syakhsiyah dan kadang
juga disebut dengan Nidham al-Usrah, dan al-Usrah sendiri disini mempunyai
arti keluarga inti/kecil. Arti pada penggunaan Bahasa Indonesia sendiri, istilah
yang digunakan tidak hanya hukum keluarga Islam, akan tetapi terkadang juga
disebut dengan Hukum Perkawinan ataupun Hukum Perorangan. Dalam
bahasa Inggris biasa disebut Personal Law atau Family Law.4

3
Syarif, Nurrohman, Saepullah, Aah Tsamrotul, Reformasi dan Transformasi Hukum Keluarga Islam:
Model dan Implementasinya di Indonesia. Digital Library UIN Sunan Gunung Djati. Diakses pada
Senin, 6 Maret 2023
4
Khoiruddin Nasution, Pengantar Dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam
Indonesia, (Yogyakarta: Academia Tazzafa, 2010), hal. 5-7
Jika ditinjau dari segi bahasa, kalimat hukum memiliki beberapa makna,
diantaranya : Pertama, ilmu dan pemahaman. Allah Swt. berfirman dalam Q.S.
َ ‫ َو َءاتَ ْي ٰنَهُ ْٱل ُح ْك َم‬Artinya : ‘’ Dan kami berikan kepadanya ilmu dan
Mryam : 12 : ‫صبِيًّا‬
pemahaman selagi ia masih kanak-kanak’’. Kedua, keputusan. Allah Swt.
Berfirman dalam Q.S. an Nisa : 105 : ُ ‫ك هّٰللا‬ ِّ ‫ب بِ ْال َح‬
ِ َّ‫ق لِتَحْ ُك َم بَ ْينَ الن‬
َ ‫اس بِ َمٓا اَ ٰرى‬ َ ‫اِنَّٓا اَ ْن َز ْلنَٓا اِلَ ْيكَ ْال ِك ٰت‬
Artinya : ‘’Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu
(Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia
dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu’’.
Sedangkan menurut fuqoha hukum merupakan hasil yang diputuskan dari
wahyu (Alquran dan Hadis) untuk dikerjakan oleh orang Islam, seperti salat,
puasa, zakat, dan haji.5
Sedangkan pengertian hukum keluarga Islam menurut Prof Subekti yang
menggunakan istilah “hukum kekeluargaan” adalah hukum yang mengatur
perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan.
Sehingga, hukum keluarga adalah hukum yang mengatur hubungan antar
anggota keluarga. Maksud keluarga disini adalah keluarga pokok, yakni:
bapak, ibu, dan anak, baik ketika masih sama-sama hidup dalam satu rumah
tangga maupun setelah terjadi perpisahan yang disebabkan oleh perceraian
ataupun kematian.
Banyak dari para ahli Fiqih kontemporer berbeda pendapat mengenai
pengertian hukum keluarga. Berikut adalah sebagian pendapat mengenai
pengertian hukum keluarga. Menurut Abdul Wahhab Khallaf, hukum keluarga
“al-ahwal as-syakhsiyah” adalah hukum yang mengatur kehidupan keluarga,
yang dimulai dari awal pembentukan keluarga. Adapun tujuannya adalah
untuk mengatur hubungan suami, istri dan anggota keluarga. 6 Menurut
Wahbah az-Zuhaili, hukum keluarga adalah hukum tentang hubungan
manusia dengan keluarganya, yang dimulai dari perkawinan hingga berakhir
pada suatu pembagian warisan karena ada anggota keluarga yang meninggal
dunia.7
Pembaharuan hukum keluarga Islam di Indonesia terbagi menjadi
beberapa fase diantranya:
1. Sebelum Penjajahan Belanda
Pada awal datangnya Islam ke Indonesia, penyelesaian
5
Muhammad Ibrohim al Khafnawi, Mabahis al Hukm as Syar’I, h. 87- 99.
6
Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm-Usul al-Fiqh, cet ke-8 (ttp.: Maktabah al-da’wah al-
Islamiyah, t.t.), h. 32
7
Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatullah, (Beirut: Dar al-Fikr,1989), VI:6.
konflik menggunakan cara perdamaian. Maka lembaga peradilan
pertama adalah tahkim. Kedua, lembaga lembaga ahl al-hall wa
al-‘aqd (bentuk peradilan adat). Ketiga, lembaga Peradilan Swapraja
(masa kerajaan Islam). Keempat Peradilan Agama sampai sekarang.
Diterimanya hukum Islam di Indonesia, dapat dilihat dari
bukti-bukti; pertama, Statuta Batavia 1642 (sengketa warisan antara
orang pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan
hukum Islam). Kedua, dipergunakannya kitab Muharrar dan
papakem Cirebon 1768 serta peraturan dibuat B.J.D Clotwijjk untuk
Bone dan Gowa di Sulsel. Ketiga, diterbitkannya kitab hukum Islam
sebagai pegangan dalam masalah hukum keluarga dan waris di
kesultanan Palembang dan Banten, diikuti kerajaan Demak, Jepara,
Tuban, Gresik, dan ngampel. Keempat, 25 Mei 1760 VOC
mengeluarkan peraturan Resolutie der Indische Regeering (mengakui
keberadaan hukum Islam untuk menyelesaikan masalah kaum
muslim) dan memberlakukan Compedium Freijer bagi muslim
(kitab hukum yang berisi aturan hukum perkawinan dan waris
menurut Islam).8
2. Masa Penjajahan Belanda
Pada masa penjajahan Belanda berlaku Compedium Freijer
yang ditetapkan 25 Mei 1760 untuk dipakai VOC. Compedium
diperkuat dengan sepucuk surat VOC tahun 1808 yang
memerintahkan agar para penghulu Islam harus dibiarkan mengurus
sendiri perkara-perkara perkawinan dan warisan. Pada masa ini,
penduduk Indonesia dibagi menjadi tiga golongan yaitu; pertama
orang-orang Eropa berlaku Bugerlijk Wetboek, kedua orang-orang
Tionghoa berlaku BW dengan sedikit pengecualian, ketiga orang
Arab dan Timur asing bukan Tionghoa berlaku hukum adat mereka.
Dari pengelompokan tersebut tidak ada aturan khusus bagi orang-
orang Islam Indonesia.9
Sebelum Belanda datang ke Indonesia hukum yang berlaku
adalah hukum Islam. Kemudian dengan kedatangannya ke Indonesia
pemberlakuan hukum Islam membatasi sedikit demi sedikit, dan
akhirnya hanya diberlakukan untuk kasus-kasus yang sangat terbatas.

8
Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2011. Hal. 192
9
Wati Rahmi Ria, Hukum Keluarga Islam, Unila Press, 2022, hal. 16
Begitu juga hakim-hakimnya, hakim Eropa digaji sedangkan hakim
Agama tidak digaji. Pada mulanya Belanda mengakui hukum Islam
di Indonesia namun lambat laun sedikit demi sedikit dicabut, tahun
1913 dicabut secara keseluruhan hingga yang berlaku hanya hukum
adat.
3. Masa Kemerdekaan
a. Masa Orde Lama
Pasca kemerdekaan undang-undangan perkawinan pertama
kali lahir pada masa orde lama yaitu Undang- Undang No. 22
Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak rujuk, kemudian
diperluas pemberlakuannya untuk seluruh Indonesia dengan
Undang-Undang No. 32 Tahun 1954. Keberadaan Undang-
Undang No. 22 Tahun 1946 merupakan pengganti dari
Huwelijks Ordonantie Stbl No. 348 tahun 1929 jo. Stbl No 467
tahun 1931 dan Vorstenlandse Huwelijks Ordonantie Stbl No. 98
tahun 1933.10
b. Masa Orde Baru
Pada tahun 1966 sebagaimana TAP MPRS No.
XXVIII/MPRS/1966 dalam pasal 1 ayat (3) bahwa perlu segera
diadakan undang-undang tentang Perkawinan. Tahun 1967 dan
1968 sebagai respon terhadap TAP MPRS tersebut, pemerintah
menyampaikan dua rancangan undang-udang kepada DPR
Gotong Royong yaitu; pertama, rancangan undang-udang
tentang pernikahan umat Islam. Kedua, rancangan undang-udang
tentang ketentuan pokok perkawinan. Namun, rancangan
undang-udang ini tidak mendapat persetujuan dari DPR,
kemudian pada awal tahun 1967 menteri agama yakni KH. Moh.
Dahlan juga menyampaikan kembali rancangan undang-udang
namun tetap saja tidak disahkan. Pemerintah didesak untuk
menyiapkan rancangan undang-udang oleh organisasi
masyarakat, baru disahkan tanggal 31 Juli tahun 1973 terdiri dari
15 bab 73 pasal. Tujuan disahkan:
1) Memberikan kepastian hukum, karena sebelum adanya
undang-undang perkawinan masalah perkawinan hanya

10
Nurhimah Hairak H. Biga, Sejarah Pembaruan Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Al Mizan,
Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. 13, No. 2, 2017. hal. 192
bersifat judge made law (pembentukan hukum oleh
hakim),
2) Melindungi hak kaum wanita dan keinginan atau harapan
wanita,
3) Menciptakan undang-undang yang sesuai dengan tuntutan
zaman.
c. Masa Reformasi
Pada masa reformasi terjadi perdebatan Peraturan
Pemerintah No. 10 tahun 1983, mereka terpecah menjadi 5
kelompok yaitu :
1) Menghendaki peraturan pemerintah dihapus dan
membolehkan poligami sesuai dengan diformulasikan ulama
konvensional.
2) Setuju peraturan pemerintah dihapus dengan alasan poligami
adalah urusan pribadi tidak perlu diatur Negara.
3) Peraturan pemerintah dicabut karena terbukti tidak dapat
melindungi wanita.
4) Peraturan pemerintah dicabut karena membeda- bedakan,
hanya berlaku bagi pegawai negeri sipil padahal negara
berdiri di atas semua golongan, agama dan etnik.
5) Golongan mayoritas berpendapat peraturan pemerintah
dipertahankan bahkan direvisi, karena dapat menahan laju
poligami khususnya pegawai negeri sipil, kelompok ini
termasuk Aisyiyah Muhammadiyah seluruh Indonesia.
B. Lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Pada Kongres Perempuan Indonesia pada tanggal 22-25 Desember1928
di Yogyakarta mengusulkan kepada Pemerintah Belanda agar segera disusun
Undang-Undang perkawinan, namun mengalami hambatan dan mengganggu
kekompakan dalam mengusir penjajah.11 Pada permulaan tahun 1937
Pemerintahan Hindia Belanda menyusun rencana pendahuluan Ordonansi
Perkawinan tercatat (onwerpordonnantie op deingeschrevern huwelijken)
dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut: Perkawinan berdasarkan asas
monogami dan perkawinan bubar karena salah satu pihak meninggal atau

11
Maria Ulfah Sudabyo, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta ;
Yayasan Idayu, 1981), hal.9-10
menghilang selama dua tahun serta perceraian yang diputuskan oleh hakim. 12
Menurut rencana rancangan ordonasi tersebut hanya diperuntukan bagi
golongan orang Indonesia yang beragama Islam dan beragama Hindu, Budha,
Animis. Namun rencana ordonasi tersebut ditolak oleh organisasi Islam karena
isi ordonasi mengandung hal-hal yang bertentangan dengan Hukum Islam.
Masa Awal Kemerdekaan, setelah kemerdekaan Pemerintah Indonesia
berusaha melakukan upaya perbaikan di bidang perkawinan dan keluarga
melalui penetapan UU No. 22 Tahun 1946 mengenai Pencatatan Nikah, Talak
dan rujuk bagi masyarakat beragama Islam. Dalam pelaksnaan Undang-undang
tersebut diterbitkan Insturksi Menteri Agama No. 4 Tahun 1946 yang ditujukan
untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi tersebut selain berisi tentang
pelaksanaan UU No.22 Tahun 1947 juga berisi tentang keharusan PPN berusaha
mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur, menerangkan kewajiban-
kewajiban suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian bagi pasangan
yang bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan anak-
anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa idah agar PPN mengusahakan
pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali.
Kendati demikian pada tahun 1950, Front Wanita dalam Parlemen,
mendesak agar Pemerintah meninjau kembali peraturan perkawinan dan
menyusun rencana Undang-Undang Perkawinan. Maka akhirnya Menteri Agama
membentuk Panitia Penyelidikan Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan
Rujuk. Maka lahirlah Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 tahun 1952 yang
memungkinkan pemberian tunjangan pensiun bagi istri kedua, ketiga dan
seterusnya.13
Pada tahun 1950 dengan surat keputusan Menteri Agama No.B/2/4299
tertanggal 1 Oktober 1950 dibentukkan Panitia Penyelidik Peraturandan Hukum
Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam. Sementara itu berbagai
organisasi terus menerus mendesak kepada Pemerintah dan DPR agar supaya
secepat mungkin merampungkan penggarapan mengenai Rancangan Undang-
Undang (RU) yang masuk DPR. Organisasi-organisasi tersebut antara lain
Musyawarah Pekerja Sosial (1960), Musyawarah Kesejahteraan Keluarga
(1960), Konferensi Badan Penasehat Perkawinan Perselisihan dan Perceraian

12
Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta ; Ghalia
Indonesia, 1992), hal.77
13
Indriaswari Dyah Saptaningrum , Sejarah UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Pembakuan Peran Gender, dalam Perspektif Perempuan, (Jakarta ; Lembaga Bantuan Hukum
Asosiasi Perempuan Untuk Keadilan, 2000), hal.53
(BP4) Pusat dan Seminar Hukum oleh Persatuan Sarjana Hukum Indonesia
(PERSAHI, 1963) desakan dari berbagai ormas Islam agar DPR secepatnya
mengundangkan RUU tentang pokok-pokok Perkawinan bagi umat Islam namun
tidaklah berhasil segala upaya telah dikerahkan untuk menghasilkan UU
Perkawinan yang sesuai untuk umat Islam dalam kurun waktu tahun 1972-1973
berbagai organisasi gabungan memperjuangkan lahirya UU tersebut.
Akhirnya, setelah bekerja keras, pemerintah dapat menyiapkan sebuah
RUU baru. Dan tanggal 31 Juli 1973 dengan No. R. 02/PU/VIV/1973,
pemerintah menyampaikan RU tentang Perkawinan yang baru kepada DPR,
yang terdiri dari 15 (lima belas) bab dan 73 (tujuh puluh tiga) pasal. 14 RUU ini
mempunyai tiga tujuan. Pertama, memberikan kepastian hukum bagi masalah-
masalah perkawinan. Kedua, untuk melindungi hak – hakkaumwanitadan
sekaligus memenuhi keinginan dan harapan kaum wanita. Ketiga, menciptakan
Undang-Undang yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Kemudian pada tanggal 17-18 September diadakan forum pandangan
umum oleh wakil-wakil fraksi atas RU tentang Perkawinan.Jawaban dari
pemerintah diberikan Menteri Agama pada tanggal 27September 1973. Pada
intinya pemerintah mengajak DPR untuk secara bersama bisa memecahkan
kebuntuan terkait dengan RUU Perkawinan tersebut.
Secara bersamaan, untuk memecahkan kebuntuan antara pemerintah dan
PR diadakan lobi-lobi antara fraksi-fraksi dengan pemerintah. Antarafraksi
ABRI dan Fraksi PPP dicapai suatu kesepakatan antara lain :
a. Hukum Agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi atau
ditambah.
b. Sebagai konsekuensi dari poin pertama itu, maka hal-hal yang telah
ada dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1964 dan Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 tetap dijamin kelangsungannya dan
tidak akan diadakan perubahan.

14
Bab-bab tersebut meliputi : Bab I tentang Dasar Perkawinan; Bab Il tentang Syarat-
syaratPerkawinan; Bab Ill tentang Pertunangan; Bab IV tentang Tata Cara Perkawinan; Bab V
tentangBatalnya Perkawinan; Bab VI tentangPerjanjian Perkawinan; Bab VI tentang Hak dan
KewajibanSami Istri; Bab VIII tentang Harta Benda Dalam Perkawinan; Bab IX tentang
PutusnyaPerkawinan; Bab X tentang Kedudukan Anak; Bab XI tentang Hak dan Kewajiban Antara
Anakdan Orang Tua; Bab XII tentang Perwalian; Bab XIII tentang Ketentuan-ketentuan Lain; Bab
XIVtentang Ketentuan Peralihan; dan Bab XV tentang Keterangan Penutup. Lihat Abdul
Mannan,Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, ed.Icet.I, Jakarta ; Kencana,2006), hal. 2
dan27
b. Hal-hal yang bertentangan dengan Agama Islam dan tidak mungkin
disesuaikan dengan Undang-Undang Perkawinan yang sedang dibahas
di DPR segera akan dihilangkan.
Adapun hasil akhir undang-undang perkawinan yang disahkan DPR
terdiri dari 14 (empat belas) bab yang dibagi dalam 67 (enam puluh tujuh)
pasal, seperti dicatat sebelumnya.15 Sedang rancangan semula yang diajukan
pemerintah ke DPR yaitu terdiri dari 73 pasal.
Masa Menjelang Kelahiran UU Perkawinan, Pada tanggal 22
Desember 1973. Menteri Agama mewakili Pemerintah membawa konsep
RUU Perkawinan yang di setujui DPR menjadi Undang-undang Perkawinan
maka pada tanggal 2 Januari 1974, Presiden mengesahkan Undang-Undang
tersebut dan diundangkan dalam Lembaran Negara No. 1 tahun 1974 tanggal
2 Januari 1974.
Setelah mengalami proses kurang lebih 15 bulan sejak diundangkan
menjadi UU.No. 1 Tahun 1974,maka selanjutnya Undang-Undang tersebut
diundangkan menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai
peraturan pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dengan Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 3050.
Peraturan pemerintah ini berisikan 49 pasal yang terdiri atas 10
bab,yaknisebapai berikut:
a. Ketentuan Umum
b. Pencatatan Perkawinan.
c. Tata Cara Perkawinan.
d. Akta Perkawinan.
e. Tata Cara Perceraian.
f. Pembatalan Perkawinan.
g. Waktu Tunggu.
h. Beristri Lebih Dari Seorang.
i. Ketentuan Pidana.
j. Penutup.
C. Lahirnya Kompilasi Hukum Islam
Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya muslim, dan konon

15
Yaitu Undang-Undang Perkawinan yang berlaku sampai sat ini yang diundangkanpada tanggal 2
Januari 1974, dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara No. 3019
yang terbesar di dunia.16 Kompilasi Hukum Islam merupakan jalan pintas yang
bersifat sementara, dengan harapan suatu saat nanti akan lahir Kitab Undang-
undang Perdata Islam yang lebih permanen. Dikatakan sebagai jalan pintas karena
memang sangat mendesak dan dibutuhkan, dimana lembaga Peradilan Agama (PA)
yang dinyatakan sah berdiri sejajar dengan badan peradilan lainnya melalui
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan
kehakiman, dan kemudian dipertegas melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989, ternyata tidak memiliki hukum materiil yang seragam (unifikatif) secara
nasional, sehingga dapat menimbulkan putusan yang berbeda diantara pengadilan
agama yang satu dengan yang lain walaupun dalam kasus yang serupa, disamping
itu juga membuat kehadiran PA sebagai salah satu kekuasaan kehakiman menjadi
tidak terpenuhi persyaratannya.17
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, ada wacana agar menempuh jalur
formal sesuai dengan kententuan pasal 5 ayat 1 jo pasal 20 Undang- Undang Dasar
1945, dengan demikian hukum materiil yang akan dimiliki berbentuk hukum positif
yang sederajat dengan undang-undang dan keabsahannya benar-benar bersifat
legalistik (Legal law). Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa jauhnya jarak yang
akan dilalui. Berbagai tahap harus ditempuh, mulai dari menyusun draft rancangan
undang-undangnya sampai kepada pembahasannya di Parlemen. Bukan hanya itu,
faktor-faktor non teknis pun sangat sulit untuk ditembus, seperti iklim politik yang
kurang mendukung, serta faktor psikologis. Memang satu segi secara konstitusional
kehadiran dan keberadaan Peradilan Agama telah diakui semua pihak, namun di
segi lain barangkali belum terpupus sikap alergi dan emosional yang sangat reaktif
terhadap keharusan adanya hukum perdata Islam dalam jangka waktu singkat, jika
jalur yang ditempuh melalui saluran formal perundang-undangan.17
Menyikapi dan juga memperhatikan kondisi tersebut, serta dikaitkan dengan
kebutuhan yang sangat mendesak di sisi lain, maka dicapai kesepakatan antara
menteri agama dengan ketua mahkamah agung saat itu untuk mencarikan solusi
dengan menempuh jalur singkat dalam bentuk Kompilasi, maka kemudian lahirlah
Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Ketua mahkamah Agung dan Menteri
Agama tanggal 21 Maret 1985 No.07/KMA/1985 dan No.25 tahun 1985 yang
menugaskan penyusunan hukum positif perdata Islam dalam kitab hukum kompilasi
kepada panitia, dengan ketentuan harus menggali dan mengkaji sedalam dan seluas

16
Hikmatullah, Selayang Pandang Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jurnal
Ajudikasi, Vol. 1 No. 2, 2017. hal. 39
17
Ibid, Wati Rahmi, hal. 22
mungkin sumber-sumber hukum Islam yang terdapat dalam al-Quran dan Sunnah,
disamping kitab-kitab fikih imam mazhab yang kemudian dijadikan orientasi,
bahkan juga sempat melakukan studi banding ke berbagai negara- negara yang
berbasis Islam.
Untuk melegalkan, maka direkayasalah kompilasi tersebut dalam bentuk
Intruksi Presiden pada tanggal 10 Juni 1991. Dan pernyataan berlakunya
dikukuhkan dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun 1991, tanggal 22
Juli 1991. Dengan demikian sejak itu pula Kompilasi Hukum Islam resmi berlaku
sebagai hukum yang dipergunakan dan diterapkan oleh instansi pemerintah dan
masyarakat yang memerlukannya dalam penyelesaian masalah-masalah yang
berkenaan dengan perkawinan, hibah, wakaf dan kewarisan.18
D. Sejarah, Metode dan Faktor Pembaruan Hukum
Sebagai negara yang pertama kali melakukan pembaharuan hukum keluarga,
Turki melakukan langkah positifikasi hukum keluarga melalui undang-undan.
Sayyed Hoessein Nasr, Turki merdeksi dari pendapat dalam mazhab Hanafi, yang
kemudian melatarbelakangi kehidupan keberagaman formal. Tahap selanjutnya Turki
mengalami kemajuan yang sangat pesat dalam pembaharuan hukum Islam,
dibandingkan dengan pemikiran fiqh konvensional.18 Pada tahap selanjutnya, Turki
dijadikan sebagai negara rujukan bagi terciptanya hukum keluarga, yang bisa
merespon problematika dan tantangan perkembangan zaman.
Berkaitan dengan metode pembaharuan hukum keluarga pada negara muslim,
berikut ini beberapa konsep dan metode pembaharuannya sebagai berikut:
1. Intra-doctrinal Reform
Merupakan sebuah metode yang menisbatkan pembaharuan hukum
kepada pendapat mazhab tertentu yang diakui dan dianut oleh mayoritas
masyarakat suatu negara.
2. Extra-doctrinal Reform
Sebuah metode pembaharuan yang keluar dari pendapat Imam
Mazhab. Pendapat ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan lain yang
bisa beradaptasi dengan masyarakat, contoh hasil dari metode ini adalah
wasiat wajibah dan larangan poligami.
3. Regulatory Reform
Persentuhan budaya hukum barat dengan masyarakat muslim, telah
banyak memberikan pengaruh dalam perkembangan pembaharuan hukum.

18
Lia Noviana, Status Wanita di Negara Muslim Modern: Studi Terhadap Hukum Keluarga di Tunisia
dan Indonesia, Kodifikasia: Jurnal Penelitian Islam, Volume 13, nomor 2, 2019. Hal. 199
Seperti adanya berbagai proses administrasi dalam pelaksanaan positifikasi
hukum keluarga.
4. Cidification
Sebuah metode yang menyatukan dan membukukann materi hukum
dsecara sistematis dan lengkap.19
Menurut para pakar hukum Islam di Indonesia, proses pembaharuan hukum
Islam terjadi karena beberapa faktor. Beberapa diantaranya yaitu:
1. Untuk mengisi kekosongan hukum karena norma-norma yang ada dalam
kitab fiqih tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap
hukum masalah yang baru sangat mendesak untuk diterapkan.
2. Pengaruh perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan serta
berlangsungnya globalisasi, sehingga perlu aturan hukum yang
mengaturnya, terutama pada masalah yang belum ada hukumnya.
3. Pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang
kepada hukum Islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum nasional.
4. Pengaruh pembaruan pemikiran hukum keluarga islam yang dilaksanakan
oleh para mujtahid baik tingtkat nasional maupun internasional.20
Perubahan yang terus bergulir setiap waktunya, membuat hukum Islam harus
berlaku fleksibel. Tanpa mengaburkan kandungan asli pada sumber utamanya, yakni
Al-Qur’an dan Hadis. Perbedaan kondisi, situasi, tempat dan waktu sebagaimana
disebutkan di atas menjadi contoh faktor penyebab terjadinya pembaharuan hukum.

KESIMPULAN
Menelaah hasil uraian tentang transformasi dan hukum keluarga di atas,
secara sederhana dapat kita simpulkan bahwa pembaharuan hukum Islam
dimaksudkan agar hukum Islam selalu mampu merealisasikan tujuan syariat
(maqashid al-syari’ah) semaksimal mungkin. Pembaharuan hukum keluarga adalah
sebuah keniscayaan. Faktor perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi,
globalisasi, reformasi dalam bidang hukum dan juga pengaruh pemikiran pembaruan
Islam yang memaksa pintu ijtihad senantiasa terbuka, untuk menemukan hukum baru
dalam persoalan baru hukum keluarga.

19
Lilis Hidayati Yuli Astutik, Positifikasi Hukum Keluarga di Dunia Muslim melalui Pembaharuan
Hukum Keluarga, Islamika: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Vol. 20 No. 01, 2020. Hal. 57
20
Eko Setiawan, Dinamika Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Universitas Bakti
Indonesia, Banyuwangi Press. hal. 145
DAFTAR PUSTAKA
Astutik, Lilis Hidayati Yuli, 2020. Positifikasi Hukum Keluarga di Dunia Muslim
melalui Pembaharuan Hukum Keluarga, Islamika: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Vol.
20 No. 01.

Hardjono, Imam. 2008. Hukum Islam di Indonesia Dalam Perspektif Sejarah Hukum,
Suhuf, Vol. 20 No. 1, UMS Surakarta.

Hikmatullah, 2017. Selayang Pandang Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam


di Indonesia, Jurnal Ajudikasi, Vol. 1 No. 2.

Khallaf, Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm-Usul al-Fiqh, cet ke-8 (ttp.: Maktabah al-
da’wahal-Islamiyah.

Koto, Alaidin, 2011. Sejarah Peradilan Islam, Jakarta: Rajawali Press.

Mannan, Abdul, 2006. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, ed.Icet.I,
Jakarta; Kencana.

Muhammad Ibrohim al Khafnawi, Mabahis al Hukm as Syar’I.

Nasution, Khoiruddin, 2010. Pengantar Dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata)


Islam Indonesia, Yogyakarta: Academia Tazzafa.

Nurhimah, Hairak H. Biga. 2017. Sejarah Pembaruan Hukum Keluarga Islam di


Indonesia, Al Mizan, Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. 13, No. 2, 2017

Noviana, Lia, 2019. Status Wanita di Negara Muslim Modern: Studi Terhadap
Hukum Keluarga di Tunisia dan Indonesia, Kodifikasia: Jurnal Penelitian Islam,
Volume 13, Nomor 2.

Rahmi Ria, Wati. 2022. Hukum Keluarga Islam, Repository Universitas Lampung.

Saptaningrum, Indriaswari Dyah, 2000. Sejarah UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan Pembakuan Peran Gender, dalam Perspektif Perempuan, Jakarta;
Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Untuk Keadilan, 2000.

Setiawan, Eko, 2014. Dinamika Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Indonesia,


de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 6, No. 2.

Sudabyo, Maria Ulfah, 1981 Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang


Perkawinan, Jakarta ; Yayasan Idayu.

Syarif, Nurrohman, Saepullah, Aah Tsamrotul, Reformasi dan Transformasi Hukum


Keluarga Islam: Model dan Implementasinya di Indonesia. Digital Library UIN
Sunan Gunung Djati. Diakses pada Senin, 6 Maret 2023.

Suwondo, Nani, 1992. Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat,
Jakarta; Ghalia Indonesia.

Zuhaili, Wahbah Zuhaili, 1989. Fiqh al-Islam wa Adillatullah, Beirut: Dar al-Fikr.

Anda mungkin juga menyukai