Islam masuk ke Indonesia pada abad I Hijriah atau VII Masehi yang di bawa oleh pedagang -
pedagang arab tidak berlebihan jika era ini adalah era dimana hukum islam untuk pertama
kalinya masuk ke wilayah Indonesia. Namun penting untuk di catat seperti apa yang dikatakan
oleh Martin Van Bruinessen, penekanan pada aspek fiqih benarnya adalah fenomena yang
berkembang belakangan. Pada masa - masa yang paling awal berkembangnya Islam di
Indonesia penekanannya tampak pada tasawuf yang berkembang di Indonesia adalah tasawuf
sunni yang menempatkan fiqih pada posisi yang signifikan dalam struktur bangunan sunni
tersebut. Beberapa ahli menyebut hukum Islam yang berkembang di Indonesia bercorak
syafiiyah ini di tunjukkan dengan bukti - bukti sejarah di antaranya, Sultan Malikul Zahir dari
Samudra Pasai adalah seorang ahli agama dan hukum islam terkenal pada pertengahan abad ke
XIV Masehi.
Islam masuk ke Indonesia pada abad I H atau abad VII M yang dibawa oleh pefagang-pedagang
Arab.Tidaklah berlebihan jika era di mana hukum Islam untuk pertama kalinya masuk ke
wilayah Indonesia.Namun penting untuk di catat Bruinesessen, penekanan pada aspek fikih
sebenarnya adalah fenomena yang berkembang belakangan.Pada masa-masa yang paling awal
berkembang Islam di Indonesia penekanannya tampak pada tasawuf. walaupun demikian
pernyataan ini tidaklah berarti fikih tidak penting mengingat tasawuf yang berkembang di
Indonesia adalah tasawuf Sunni yang menempatkan fikih pada posisi yang signifikan dalam
struktur bangunan tasawuf sunni tersebut.
Beberapa ahli menyebut bahwa hukum Islam yang berkembang di Indonesia bercorak
Syafi‘iyyah. Ini ditunjukan dengna bukti-bukti sejarah di antaranya, Sultan Malikul Zahir darii
samudra Pasai(Aceh) adalah seorang ahli agama dan hukum Islam terkenal padda pertengahan
abad ke XIV M. Menurut Ibnu Batutah seorang kelana asal Maroko yang berkunjung ke Aceh
pada tahun 1345 M menyaksikan kemahiran Malikul Zahir dalam berdiskusi berkenaan dengan
hukum Islam malah menurutnya Malikul Zahir dapat disebut sebagai seorang Fukaha
Syafi‘iyyah(ahli fikih syafi’I).
Melalui kerajaan ini, hukum Islam maazhab Syafi‘I disebarkan ke kerajaan-kerajaan Islam lainya
di kepulauan Nusantara.Bahkan para ahli hukum dari kerajaan Malaka ( 1400-1500 M ) sering
datang ke samudra Pasai untuk mencari kata putus tentang permasalahan-permasalahan
hukum yang muncul di malaka.
Perkembangan hukum Islam di Indonesia pada masa-masa menjelang abad XVII, XVIII, dan XIX,
baik pada tatanan intelektual dalam bentuk pemikiran dan kitab-kitab juga dalam praktik-
praktik keagamaan dapat dikatakan cukup baik. Dikatakan cukup baik karena hukum Islam
dipraktikan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir bisa dikatakan sempurna, mencakup
masalah muamalah, ahwal al- Syakhsiyyah ( Perkawinan, perceraian dan warisan ), peradilan
dan tentu saja dalam masalah ibadah. Tidak itu saja, hukum Islam menjadi system hukum
mandiri yang digunakan di kerajaan- kerajaan Islam nusantara. Tidaklah salah jika dikatakan
pada masa itu jauh sebelum Belanda menancapkan kakinya di Indonesia, hukum Islam menjadi
hukum yang positif di Nuasantara.
Hukum Islam Masa Kolonial dan Politik Kolonial Terhadap Hukum Islam
VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie)—sebuah
organisasi yang merupakan gabungan perusahaan dagang Belanda Hindia Timur yang
merapatkan kapalnya di pelabuhan Banten, Jawa Barat pada tahun 1596, dengan tujuan
untuk berdagang yang kemudian berubah untuk menguasai kepulauan – Kepulauan
Indonesia kemudian menerima sebuah ringkasan kitab hukum untuk dijadikan pegangan
bagi pengadilan-pengadilan yang berada di wilayah kekuasaannya dalam mengatasi
persengketaan di kalangan umat Islam. Kitab ini dikenal dengan nama Compendium
Freijer, ( diterbitkan pada tanggal 25 Mei 1760 ) yaitu suatu ringkasan yang berisikan
hukum perkawinan dan kewarisan Islam yang disusun oleh D. W. Freijer atas
permintaan pemerintahan VOC dan mendapatkan perbaikan dan penyempurnaan dari
para penghulu dan ulama Islam. Keputusan pemerintah VOC untuk memberlakukan
beberapa aspek dari hukum Islam ini disebabkan karena sebelumnya hukum Belanda
yang diberlakukan di kota Jakarta dan sekitarnya tidak dapat dilaksanakan, sehingga
akhirnya dengan keterpaksaan VOC harus memberikan perhatiannya terhadap hukum
yang telah hidup dan dijalankan oleh rakyat pribumi di dalam kesehariannya (Living
Law).
L.W.C Van Den Breg dalam masa ini dinakama dengan teori Reception in
complexu ( Penerimaan hukum islam secara utuh/komplek ) , Teori Receptio in
Complexu tersebut bisa dilihat dari bukti-bukti yang sebagian akan disebutkan berikut
ini:
1. Statu Batavia 1642 yang menyebutkan bahwa ― Sengketa warisan antara orang
pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum
Islam‖.
2. Pada tahun 1760, VOC mengeluarkan peraturan senada yang disebut dengan
Resolutie der Indische Regeering.
4. Van den Berg mengonsepkan staatsblad 1882 Nomor 152 yang berisi ketentuan
bahwa bagi rakyat pribumi atau rakyat jajahan berlaku hukum agamanya yang
berlaku pada lingkungan hidupnya.
Hukum Islam Pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit
Presiden 5 Juli 1950
Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, indonesia memasuki masa masa
revolusi (1945 - 1950). Menyusul kekalahan jepang oleh tentara - tentara sekutu, belanda ingin
kembali menduduki kepulauan nusantara. Dari beberapa pertempuran, belanda berhasil
menguasai beberapa wilayah indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara - negara kecil
yang dimaksudkan untuk mengepung republik indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian
kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah linggarjati, lahirlah apa yang di sebut
dengan konstitusi indonesia serikat pada tanggal 27 desember 1949.
Dengan berlakunya konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 nyatakan berlaku sebagai konstitusi
republik Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian negara republik indonesia serikat.
Konstitusi RIS sendiri jika di telaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang
menampung aspirasi hukum islam. Mukaddimah konstitusi ini misalnya, sama sekali tidak
menegaskan posisi hukum islam sebagaimana rancangan UUD 1945 yang disepakati oleh
BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal
yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBBNamun
saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara sumatera
timur, dan negara indonesia timur, salah seorang tokoh umat islam, muhammad nasir,
mengajukan apa yang kemudian di kenal sebagai Mosi Integral Natsir sebagai upaya untuk
melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya pada tanggal 19 mei 1950 semuanya sepakat
membentuk kembali negara kesatuan republik Indonesia berdasarkan proklamasi 1945 Dan
dengan demikian konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku digantikan dengan UUD sementara
1950. Akan tetapi jika dikaitkan dengan hukum islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak
yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukadimah
maupun batang tubuh UUD sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama
dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa negara berdasar ketuhanan yang maha esa dan jaminan
negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada
pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara
dalam urusan - urusan keagamaan. Kelebihan lain dari UUD sementara 1950 ini adalah
terbukanya peluang untuk merumuskan hukum islam dalam wujud peraturan dan undang
undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950. Peluang ini
pun sempat di manfaatkan oleh wakil-wakil umat islam saat mengajukan rancangan undang-
undang tentang perkawinan umat islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal
akibat hadangan kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang perkawinan
nasional. Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan
materi undang undangan baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti
UUDS sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.Perjuangan mengganti
UUD sementara itu kemudian diwujudkan dalam pemilihan umum untuk memilih dan
membentuk majelis konstituante pada akhir tahun 1955, Majelis yang terdiri dari 514 orang itu
kemudian di lantik oleh presiden soekarno pada 10 november 1956. Namun delapan bulan
sebelum batas akhir masa kerjanya, majlis ini dibubarkan melalui dekrit presiden yang
dikeluarkan pada tanggal 5 juli 1959. Hari penting terkait dengan hukum islam dalam peristiwa
dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa piagam jakarta tertanggal 22 juni
menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut. Hal ini tentu saja
mengangkat dan memperjelas posisi hukum islam dalam UUD. Akan tetapi dalam tataran
aplikasinya faktor politik penentu utama dalam hal ini.
Hal lain yang patut di catat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang di antaranya
bernuansakan islam dalam fase ini v paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori
oleh Kartosuwiryo sesungguhnya telah memproklamirkan negar islamnya pada tanggal 14
agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan indonesia pada 17 agustus 1945.
Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan republik indonesia. Tetapi
ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi belanda, terutama setelh
diproklamirkan berdirinya negara islam indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu konflik yang
berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas tersebut.