Anda di halaman 1dari 2

BAB I

HUKUM ISLAM DI INDONESIA


A. Eksistensi Hukum Islam di Indonesia
Sejak awal kehadiran Islam pada abad ke-7M tata hukum islam sudah dipraktikan dan
dikembangkan dalam lingkungan masyarakat dan peradilan Islam. Pada era kekuasaan kesultanan
dan kerajaan-kerajaan islam peradilan agama sudah hadir secara formal, walaupun pada masa
kesultanan telah berdiri secara formal peradilan agama serta status ulama memegang peranan
sebagai penasihat dan hakim, belum pernah disusun suatu buku hukum positif yang sistematik.
Hukum yang ditetapkan masi abstraksi yang ditarik dari kandungan doktrin fikih. Pada tahun 1760
VOC memerintahkan D.W Freijer untuk Menyusun hukum yang dikenal dengan Compendium Freijer,
lalu dijadikan rujukan hukum dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi dikalangan masyarakat
Islam didaerah yang dikuasai VOC. Pada abad 16 telah ditemukan pengadilan agama (islam) hamper
diseluruh daerah setingkat kabupaten di pulau Jawa yang menjadi satu-satunya Lembaga peradilan
yang melayani kebutuhan rakyat Jawa. Sedangkan yang di luar Jawa pada masa Pangeran Dopati
Anta Koesoema di Kuala Kapuas sekitar tahun 1638, juga sudah terdapat pengadilan agama yang
menerapkan hukum islam dalam proses peradilanya.
Hukum islam pada masa pemerintahan Hindi Belanda telah diatur melalui Stbl. No. 152 tahun
1882, tentang pendirian Radd Agama (yang menjadi cikal bakal peradilan agama) untuk Jawa dan
Madura. Stbl ini ditetapkan bahwa salah satu wewenang absolutnya adalah kewarisan, dalam hal ini
menunjukan bahwa sengketa urusan kewarisan bagi umat Islam, makai a akan menjalankan semua
ajarannya, termasuk kewarisan. Ada teori yang popular pada masa itu dengan sebutan “ recipto in
complex” yang berarti menerima ajaran agama secara menyeluruh. Maksudnya, bila seseorang telah
menganut agama islam, makai a akan menjalankan semua ajaranya termasuk kewarisan. Kemudian
teori ini ditentang oleh Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje sebagai pencipta teori baru yaitu teori
reciptie yang menyatakan bahwa hukum islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan
dengan hukum adat. Oleh karenanya, menurut teori tersebut seperti hukum kewarisan Islam tidak
dapat diberlakukan, karena belum diterima atau bertentangan dengan hukum adat. Teori ini
dikokohkan melalui pasal 134 I.S.
Dalam aspek perkembangan hukum, masa penjajahan Jepang (1942-1945) tidak terjadi
perubahan yang mendasaar tentang posisi peradilan agama. Keumudian dekrit No. 1 tahun 1942
tanggal 29 April menetapkan bahwa susunan peradilan sipil di Jawa dan Madura masih tetap berlaku
sebagaimana sebelumnya. Kemudian UU No.34 Tahun 1942 tanggal 26 September 1942mencabut
dekrit No. 14 Tahun 1942, dan menetapkan tetap berlakunya semua peradilan yang sudah ada
dengan tambahan beridirinya kembali Kooto Hooin dan Saikoo Hooin dengan tugas dan
wewenangnya yang pada waktu sebelumnya, yaitu pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Kebijakan tersebut kemudian dibatalkan, karena Tindakan tersebut dapat merusak ketentraman
konsentrasi Jepang. Oleh karena itu jepang memilih untuk tidak ikut campur soal urusan agama umat.
Setelah Indonesia merdeka muncul beberapa teori hukum Islam di Indonesia, berlakunya hukum
Islam tersebut berdasarkan kepada pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945, dan pembukaan UUD 1945.
Tiga teori yang muncul yakni
a. Resiptie exit
Teori ini dikemukan oleh Hazairin yang dimana teori ini menyatakan bahwa teori reseptie
harus exit (keluar) dari teori hukum di Indonesia, karena bertentangan dengan UUD 1945 serta Al-
Qur’an dan hadis
b. Reciptio a contraino
Teori ini dikemukakan oleh Sayuti Thalib, teori ini menyatakan bahwa hukum yang berlaku
bagi rakyat Indonesia adalah hukum agamanya, hukum adat berlaku jika tidak bertentangan
dengan hukum agamanya.\

c. Eksistensi
Teori ini dikemukakan oleh Ichtiyanto, pada dasrnya teori ini hanya mempertegas teori
reseptie a cantrario dalam hubungannya dengan hukum nasional.
B. Hukum Islam Merupakan Unsur Mutlak Pembentukan Hukum Nasional
Keyakinan seseorang terhadap agama merupakan unsur mutlak dalam pembangunan
bangsa dan watak bangsa. Karenanya kehidupan agama merupakan unsur mutlak kehidupan
masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagai dasar negara. Pencasila dijadikan doktrin
negara dan diamalkan agar dapat tercipta kehidupan bernegara dan bermasyarakat secara tertib,
aman, dan makmur lahir batin. Kedudukan hukum dalam sila pertama Pancasila sangat kuat hal ini
dapat ditemukan dalam UUD 1945. Sila pertama Pancasila merupakan hukum positif yang
fundamental dimaksudkan agar rakyat Indonesia selalu memandang dan menjadikan sila tersebut
sebagai hukum yang mengikat setiap saat, baik dalam kehidupan pribadi, bermsayarakat, berbangsa
dan bernegara. Dalam kaitanya dengan hubungan hukum dan tata hukum Indonesia, ditarik
pemahaman bahwa hukum agama adalah unsur mutlak dalam pembangunan hukum nasional, tertib
hukum masyarakat memerlukan adanya peraturan yang sesuai dan bersumber dari ajaran agama.
Menurut Ismail Suny, setalah Indonesia merdeka kedudukan hukum Islam dalam
ketatanegaraan Indonesia dibagi kedua periode :
a. Periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasive (Persuasive Souce)
b. Periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber otoritatif (Authotitative Source)

Anda mungkin juga menyukai