Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DALAM TATA HUKUM INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam membicarakan Hukum Islam di tengah-tengah hukum nasional pusat perhatian akan
ditujukan pada kedudukan hukum islam dalam sistem hukum nasional. Sistem hukum di
Indonesia, sebagai akibat dari perkembangan sejarah bersifat majemuk. Disebut demikian
karena sampai sekarang di negara republik indonesia berlaku bebeerapa hukum yang
mempunyi corak dan susunan sendiri. Sistem hukum itu adalah sistem hukum adat, sistem
hukum islam, dan sistem hukum barat.
Sejak awal kelahiran islam pada abad ketujuh masehi tata hukum islam sudah dipraktikkan
dan dikembangkan dalam lingkungan masyarakat dan peradilan islam. Pada era kekuasaan
kesultanan dan kerajaan-kerajaan islam peradilan agama sudah hadir secara formal, ada yang
bernama peradiln penghulu seperti di jawa. Mahkama syariah di kesultanan islm di sumatera.
Perdilan Qadii di kesultanan Banjar dan pontianak. Namun sangat disayangkan, walaupun
pada masa kesultanan telah berdiri secara formal peradilan agama serta status ulama
memegang peranana sebagai penasehat dan hakim, belum pernah disusun suatu buku hukum
positif yang sistematik. Hukum yang diterapkan masih abstraksi yang di tarik dari kandungan
doktrin fiqih.
Baru pada tahun 1760 VOC memerintahkn D.W Freijer untuk menyusun hukum yang
kemudian dikenal dengan Compendium Freijer. Compendium ini dijadikan rujukan hukum
dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan masyarakat islam daerah yang
dikuasai VOC.
Penggunaan compendium Freijer tidak berlangsung lama. Pada tahun 1800 VOC
menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah Hindia Belanda. Bermasaan dengan itu lenyap
dan tenggelam compendium itu. Lahirlah politik hukum baru, didasarkan atas teori resepsi
atau teori konflik snouck hurgronje dan van vollenhoven. Sejak itu secara sistematik, dengan
sengaja hukum islam dipencilkan. Sebagai gantinya digunakkan dan ditampilkan hukum adat.
Pemerintahan hindia belanda mencoba melaksanakan hanya dua sistem hukum yang berlaku,
yaitu hukum adat untuk golongan bumiputera dan hukum barat bagi golongan eropa.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Hukum Islam dalam Tata Hukum di Indonesia
2. Bagaimana Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional

1.3 Tujuan Masalah


1. Mengetahui Hukum Islam dalam Tata Hukumm di Indonesia
2. Mengetahui Bagaiamana Islamm dalam Pembinaan Hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hukum Islam dalam Tata Hukum di Indonesia


Membicarakan kedududukan hukum islam dalam tata hukum di Indonesia, tidak ada
salahnya membicarakan lebih dahulu umat islam. Umat islam dimaksud, merupakan salah
satu kelompok masyarakat yang mendapat legalitas pengayoman secara hukum
ketatanegaraan di Indonesia. Oleh karena itu, umat islam dapat dicerai pisahkan dengan
hukum islam yang sesuai keyakinannya. Namun demikian, hukum islam di Indonesia bila
dilihat dari aspek perumusan dasar negara yang dilakukan oleh BPUPKI (Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia),yaitu para pemimpin islam berusaha memulihkan
dan mendudukan hukum islam dalam negara Indonesia merdeka itu. Dalam tahap awal, usaha
para pemimpin dimaksud tidak sia-sia, yaitu lahirnya Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni
1945 yang telah disepakati oleh pendiri negara bahwa negara berdasar kepada Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya. Namun, adanya desakan dari
kalangan pihak Kristen, tujuh kata tersebut dikeluarkan dari pembukaan UUD 1945,
kemudian diganti dengan kata Yang Maha Esa.
Penggantian kata dimaksud, menurut Hazairin seperti yang dikutip oleh muridnya
(H.Mohammad Daud Ali) mengandung norma dan garis hukum yang di atu dalam pasal 29
ayat (1) UUD 1945 bahwa negara Republik Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan Yang
Maha Esa. Hal itu hanya dapat ditafsirkan antara lain, sebagai berikut:
1. Dalam negara Republik Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang
bertentangan dengan kaidah hukum islam,kaidah agama Nasrani, atau agama Hindu- Bali
bagi orang-orang Hindu-Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama Buddha bagi
orang Buddha. Hal ini berarti di dalam wilayah negara Republik Indonesia ini tidak boleh
berlaku atau diberlakukan hukum yang bertentang dengan norma-norma (hukum) agama dan
kesusilaan bangsa Indonesia.
2. Negara Republik Indonesia wajib menjalankan Syariat Islam bagi orang islam, syariat
Nasrani bagi orang Nasrani, dan syariat Hindu-Bali bagi orang Hindu –Bali. Sekadar
menjalankan syariat tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan negara.

makna penafsiaran kedua adalah negara Republik Indonesia wajib menjalankan dalam
pengertian menyediakan fasilitas agar hukum yang berasal dari agama yang dianut oleh
bangsa Indonesia dapat terlaksana sepanjang pelaksanaan hukum agama itu memerlukan
bantuan alat kekuasaan atau penyelenggara negara. Artinya, penyelenggaraan negara
berkewajiban menjalankan syariat yang dipeluk oleh bangsa indonesia untuk kepentingan
pemeluk agama bersangkutan. Syariat yang berasal dari agama islam misalnya, yang disebut
syariat islam, tidak hanya memuat hukum shalat, zakat, puasa, dan haji, melainkan juga
mengandung hukum dunia baik keperdataan maupun kepidanaan yang memerlukan
kekuasaan hukum negara untuk menjalankannya secara sempurna. Misalnya, hukum harta
kekayaan, hukum wakaf, penyelenggaraan ibadah haji,penyelenggaran hukum perkawinan
dan kewarisan, penyelenggaraan hukum pidana (islam) seperti zina, pencurian, dan
pembunuhan. Hal ini memerlukan kekuasaan kehakiman atau peradilan khusus ( peradilan
agama) untuk menjalankannya, yang hanya dapat diadakan oleh negara dalam pelaksanaan
kewajibannya menjalankan syariat islam yang berasal dari agama Islam untuk kepentingan
umat Islam yang menjadi warga negara Republik Indonesia.
3. Syariat tidak memerlukan bantuan kekuaasan negara untuk menjalankannya. Oleh karena
itu, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu menjalankanya sendiri
menurut agamanya masing-masing. Ini berarti hukum yang berasal dari suatu agama yang
diakui di negara Republik Indonesia dapat dijalankan sendiri oleh masing-masing pemeluk
agama bersangkutan (misalnya hukum berkenaan dengan ibadah, yaitu hukum yang pada
umumnya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan) biarkan pemeluk agama itu sendiri
melaksanakannya menurut kepercayaan masing-masing.(H.Mohammad Daud Ali,1991:8).
Mengenai perkataan kepercayaan dan Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercantum dalam
pasal 29 UUD 1945 yang terletak dalam bab agama itu perlu di kemukakan hal-hal berikut
ini:
1. Dr. Muhammad Hatta (almarhum)ketika menjelaskan arti perkataan Kepercayaan yang
termuat dalam ayat (2) pasal 29 UUD 1945, menyatakan pada tahun 1974 bahwa arti
perkataan Kepercayaan agama. Kuncinya adalah perkataan itu yang terdapat di ujung ayat (2)
pasal 29 dimaksud. Kata Itu menunjuk pada kata agama yang terletak didepan kata
kepercayaan tersebu. (H.Mohammad Daud Ali, 1991:9).

Keterangan bung Hatta diatas, sesuai dengan keterangan H. Agus Salim, yang menyatakan
pada tahun 1953 bahwa pada waktu dirumuskan UUD 1945, tidak ada seorang pun diantara
kami yang ragu-ragu bahwa dasar Ketunahanan Yang Maha Esa itu adalah aqidah,
kepercayaan agama
.
2. Ketika memberi penjelasan mengenai ayat 1 pasal 29 UUD 1945, dalam rangka kembali ke
UUD 1945 tahun 1959 dahulu, pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa ayat (1)
pasal 29 UUD 1945 dasar dari kehidupan hukum bidang keagamaan.

3. Pada tahun 1970, perkataan Ketuhanan Yang Maha Esa tercantum dalam pasal 29 UUD
1945 itu dijadikan landasan dan sumber hukum dalam mewujudkan keadilan dalam negara
Republik Indonesia. Menurut pasal 4 UUD no 4 tahun 1970 peradilan di Indonesia harus
dilakukan demi keadilan berdasaran Ketuhanan Yang Maha Esa (sekarang pasal 4 ayat (1)
UU No. 4 tahun 2004). (H.Mohammad Daud Ali,1991:10).

Berdasarkan uraian dan penjelasan diatas, dapat diasumsikan bahwa hukum Islam dan
kekuatan hukumnya secara ketatanegaraan di Republik Indonesia adalah Pancasila dan UUD
1945, yang kemudian dijabarkan melalui :
a. UU NO 1 TAHUN 1974 tentang Perkawinan
Hukum politik memberlakukan hukum Islam bagi pemeluk-pemeluknya, oleh pemerintah
orde baru, dibuktikan dalam UU No. 1/1974 tentang Perkawinan. Pasal 2 UU itu menetapkan:
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut buku masing-masing agamanya. Dalam
pasal 63 UU perkawinan mengundangkan bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam
UUD ini adalah pengadilan agama bagi mereka yang beragama islam dan pengadilan umum
bagi yang lainnya.

b. RUU Peradilan Agama


Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 menegaskan: segala warga negara bersamaan kedudukannya
didalam hukum dan pemerintahaan itu wajib menunjang hukum dan pemerintahaan dengan
tidak ada kecualinya penting di ingat ketentuan persamaan didepan hukum dalam konstitusi
bila mempertimbangkan jaminan konstitusional yang diberikan kepada berbagai golongan
masyarakat di Indonesia.
Yang mengenai terjaminnya hak-hak warga negara dibidang agama adalah pasal 29 ayat 2
UUD 1945 yang menetapkan: negara menjamin tiap-tiap penduduk

untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
Penafsiran sistematis pasal 27 ayat 1 yang menjamin persamaan di depan hukum
dengan pasal 29 ayat 2 yang menjamin kemerdekaan unutk memeluk agamanya masing-
masing adalah hubungan lex generalis dan lex specialis. Persamaan di depan hukum di
mana kepada seluruh warga negara diberikan pelayanan hukum yang sama tanpa
diskriminasi oleh sebab-sebab ras, warna,golongan,kepercayaan,dan sebagainya, berlaku
umum, jadi lex generalis.lex specialis nya dalam hal ini adalah hak untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.
Semua penduduk diberi hak memeluk dan menjalankan ibadah agamanya masing-
masing. ada kekhususan hukum untuk pemeluk agama tertentu, dan akibatnya ialah
adanya peradilan khusus untuk pemeluk agama tertentu.
menurut pasal 24 UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Sussunan
dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang.
UU No.14 tahun 1974 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
dalam pasal 10 ayat (1) mengundangkan: Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh
Pengadilan dalam Lingkungan:
a. Peradilan Umum,
b. Peradilan Agama,
c. Peradilan Militer,
d. Peradilan Tata Usaha Negara.
Penjelasan pasal demi pasal UU No. 14 tahun 1970 mengenai pasal 10 menetapkan; undang-
undang ini membedakan antara empat lingkungan peradilam yang masing-masing
mempunyai lingkungan wewenang peradilan yang masing-masing mempunyai

lingkungan wewenang mengadili tertentu dan meliputi badan- badan Peradilan tingkat
pertama dan tingkat banding. Peradilan Agama; Militer dan Tata Usaha Negara merupakan
peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat
tertentu, sedangkan Peradilan Umum adalah Peradilan bagi Rakyat pada umumnya mengenai
baik perkara perdata maupun pidana.
Sebagai suati undang-undang pokok, Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman memerlukan undang-undang lain untuk mengatur
empat lingkungan peradilan yang diundangkan dalam UU No. 14 tahun 1970 itu. Setelah 19
tahun ini mempunyai RUU-PA
.
A. Politik Hukum Hindia Belanda
Kalau kita mempelajari sejarah hukum (legal history) Hindia Belanda mengenai kedudukan
hukum islam, kita dapat membaginya kedalam dua periode:
1. Periode penerimaan hukum Islam sepenuhnya,
2. Periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat.
Periode penerimaan hukum Islam sepenuhnya, yang disebut juga receptio in complex, adalah
periode ketika hukum Islam diberlakukan sepenuhnya bagi orang Islam sebab mereka telah
memeluk agama Islam. Apa yang telah berlaku sejak mulai adanya kerajaan-kerajaan Islam
di Nusantara, sejak kedatangan VOC hukum kekeluargaan Islam, yakni hukum perkawinan
dan hukum waris,tetap diakui oleh Belanda. Bahkan oleh VOC hukum kekeluargaan itu
diakui oleh Belanda. Bahkan oleh V0C hukum kekeluargaan itu diakui dan dilaksanakan
dengan bentuk peraturan Resolutie der Indische Regeering tanggal 25 mei 1760 yang
merupakan kumpulan aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam, terkenal
sebagai Compendium Frejjer.
Hukum Islam yang telah berlaku dari zaman VOC itulah oleh pemerintah Hindia Belanda
diberi dasar hukum dalam Regeeringsregiement (RR)tahun 1855 di mana antara lain
dinyatakan dalam pasal 75: oleh hakim Indonesia itu hendaklah diberlakukan undang-undang
agama (gods dienstige wetten).
Periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat yang disebut juga teori receptie adalah:
hukum Islam baru berlaku bila dikehendaki atau diterima olehh hukum adat. Pendapat
Prof.Snouck Hurgronye ini diberi dasar hukum dalam undang-undang dasar Hindia Belanda
yang menjadi pengganti RR, yang disebut Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie,
disingkat Indische

Staatsregeling (IS). Dalam IS yang diundang-undangkan dalam Stbl. 1929:212, hukum islam
dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Pasal 134 ayat(2) IS tahun 1929 itu
berbunyi; Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh
hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinya dan sejauh itu tidak
ditentukan lain dengan suatu ordonasi.
Pada pertengahan tahun 1973 pemerintah Hindia Belanda mengumumkan gagasan untuk
memidahkan wewenang mengatur waris dari Pengadilan Agama ke Pengadilan Negeri. Apa
yang menjadi kompetisi Pengadilan Agama sejak tahun 1882 hendak dialihkan kepada
Pengadilan Negeri. Dan dengan Stbl,1937:116 dicabutlah wewenang Pengadilan Agama itu
dengan alasan hukum waris Islam belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat.
Reaksi pihak Islam terhadap campur tangan Belanda dalam masalah –masalah hukum Islam
ini banyak ditulis dalam buku-buku dan surat-surat kabar pada waktu itu. Tidak perlu
diterangkan bahwa politik hukum yang menjauhkan umat Islam dari ketentuan-ketentuan
agamanya sengaja diusahakan Belanda untuk kepentingan peneguhan kekuasaannya di
Indonesia. Oleh karena itu, tatkala kesempatan itu terbuka pada waktu Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan terbentuk dan bersidang pada zaman penjajahan jepang,
pemimpin-pemimpin Islam memperjuangkan berlakunya kembali hukum Islam dengan
kekuatan hukum Islam sendiri tanpa hubungannya dengan hukum adat.
Mula-mula memang diperjuangkan dibentuknya negara Islam dalam Badan Penyelidik yang
beranggotakan 62 orang itu. Dari jumlah itu hanya 15 anggota yang mewakili kelompok
nasionalis Islam yang menyetujui dasar negara Islam, sedangkan suara terbanyak (45 suara)
memilih dasar negara kebangsaan. Setelah itu, panitia sembilan dari Badan Penyelidik
berhasil mencapai kompromi yang terkenal dengan Piagam Jakarta, yang isisnya antara lain:
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Orang tidak perlu menjadi guru besar hukum tata negara dahulu karena cukup jelas bahwa
dengan ketentuan tujuk kata itu saja, sama sekali tidak berarti telah terbentuk negara Islam
dengan Piagam Jakarta. Karena dasar negara Islam telah ditolak, maka dengan tujuan kata itu
hanya dapat diartikan bahwa hukum Islam berlaku bagi pemeluk-pemeluk Islam sebagaimana
halnya politik hukum Hindia Belanda sebelum tahun 1929. Salah paham yang kemudian
terjadi sebenernya

tidak perlu dengan menghapuskan ketujuh kata dalam Piagam Jakarta itu, tetapi cukup
dengan mengubahnya dengan kata tujuh baru yang berbunyi: Dengan kewajiban menjalankan
ketentuan agama bagi pemeluk-pemeluknya. Dengan perumusan baru itu berarti bahwa
pemeluk agama Islam wajib menjalankan hukum Islam, pemeluk agama Kristen wajib
menjalankan huku Kristen,pemeluk agama Hindu wajib menjalankan hukum Hindu, dan
pemeluk agama Budha wajib menjalankan hukum Budha.
B. Politik Hukum Republik Indonesia
Menurut saya kedudukan Hukum Islam dalam ketatanegaraan Indonesia harus dibagi
kedalam dua periode juga:
1. Periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasif,
2. Periode penerimaan hukum Islam sebagai autoritatif.
1) Dalam hukum konstitusi dikenal persuasive-source dan authorita tive source. Sumber
persuasif ialah sumber yang orang harus diyakinkan untuk menerimanya, sedangkan sumber
yang autoritatif ialah sumber yang mempunyai kekuatan(authority).
Dengan proklamasi Kemerdekaan 17 agustus 1945 dan berlakunya UUD 1945,walaupun
tanpa memuat ketujuh kata Piagam Jakarta, teori resepsi yang dasar hukumnya SI dengan
berlakunya UUD 1945, teori resepsi kehilangan dasar hukumnya.
Dengan berlakunya UUD 1945 yang Aturan Peralihan Pasal 11 nya menetapkan, Segala
badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang
baru menurut undang-undang dasar ini. Tidak dengan sendirinya pasal 134 ayat (2) IS itu
tetap berlaku karena dasar hukum yang ditetapkan oleh suatu undang-undang dasar yang
tidak berlaku lagi tidak dapat dijadikan dasar hukum bagi suatu undang-undang dasar baru
yang sama sekali tidak mengatur soal itu.
Setelah berlakunya UUD 1945, hukum Islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama
Islam karena kedudukan hukum Islam itu sendiri,bukan karena ia telah diterima oleh hukum
adat. Pasal 29 UUD 1945 mengenai agama menetapkan :
1. Negara berdasar atas Ke-tuhanan Yang Maha Esa
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Selama 14 tahun, dari tanggal 22 juni 1945 waktu ditandatangani gentlement agrement antara
pemimpin-pemimpin nasionalis sekuler dan nasionalis islam sampai tanggal 5 juli 1959,
sebelum Dekrit Presiden RI di undangkan, kedudukan ketentuan Kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Adalah persuasive source. Sebagaimana semua hasil
sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapam Kemerdekaan adalah persuasive source
bagi grondwet-interpreatatie dari UUD 1945, maka Piagam Jakarta sebagai salah satu hasil
dari sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan juga merupakan persuasive
source dari UUD 1945.

2) Barulah dengan ditempatkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden RI tanggal 5 juli
1959, Piagam Jakarta atau penerimaan hukum Islam telah menjadi authoritative source,
sumber autoritatif dalam hukum tata negara Indonesia, bukan sekedar persuasive-source atau
sumber persuasif.
Menurut hukum tata negara Indonesia, preambule atau konsiderans, bahkan penjelasan
peraturan-perundangan, mempunyai kedudukan hukum. Preambule atau pembukaan dan
penjelasan UUD adalah rangkaian kesatuan dari suatu konstitusi. Begitu pula konsiderans dan
penjelasan peraturan-perundangan adalah bagian integral dari suatu peraturan-perundangan.
Pendapat diatas ini,sebelum adanya UU No. 3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan
Karya, semata-mata merupakan pendapat sarjana hukum. Dengan penjelasan pasal demi pasal
dari pasal 3 UU No. 3/1975 dijelaskan: (1)a yang dimaksud dengan UUD 1945 dalam huruf a
pasal ini meliputi Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasannya. Dengan demikian maka
preambule atau konsiderans penjelasan dari UUD dan peraturan-perundangan adalah
mempunyai kekuatan hukum.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penerapan hukum Islam di Indonesia memiliki peluang yang cukup besar,antara lain dengan
jumlah masyarakat Islam di Indonesia dengan jumtah yang banyak. Pembicaraan tentang
hukum Islam dalam tradisi masyarakat pemeluknya, tidak hanya sampai pada kesimpulan
bahwa Islam hanya akan didefinisikan dengan apa yang menjadi praktek masyarakatnya.
Peluang tersebut dikatakan besar karena alasan sejarah, jumlah penduduk, yuridis,
konstitusional dan ilmiah. Sedangkan kemungkinan tantangan dalam penerapan hukum Islam
di Indonesia, yaitu; keengganan para ahli hukum dalam mengkaji kebijakan nasional dan
terjadinya dualisme terminologi tentang hukum Islam.

 
Hukum Perikatan
 | 16
KESIMPULAN
Kedudukan hukum Islam (termasuk di dalamnya hukum perikatan Islam) setelah Indonesia merdeka
sudah lebih kukuh, tanpa dikaitkan dengan hukum adat.
 Dalam KHI
Sighat merupakan salah satu rukun akad yang penting, karena tanpanya akad tidak mungkin terjadi.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana ketentuan rukun akad berupa sighat itu
dilaksanakan. Dalam bukunya asas-asas hukum muamalat, Ahmad Azhar Basyir mengemukakan,
bahwa sighat akad dapat dilakukan secara lisan, tulisan, atau isyarat yang memberi pengertian dengan
jelas tentang adanya ijab dan kabul.
 
Dalam pasal 20 angka 1 KHES dirumuskan bahwa akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian
antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.
Kehadiran teknologi informasi, khususnya internet, ikut mendorong pertumbuhan dan perkembangan
hukum perikatan di Indonesia. Para pelaku usaha memanfaatkan internet sebagai jaringan
penghubung aktivitas mereka. Kemudian lahirlah istilah kontrak elektronik.
DAFTAR PUSTAKA

Ali,Zainuddin.2013.Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia.Jakarta:Sinar Grafika


Djatnika,Rachma.1991.Hukum Islam di Indonesia.Bandung:PT Remaja Rosdakarya
Usman,Rachmadi.2009 .

Anda mungkin juga menyukai