Anda di halaman 1dari 30

TUGAS MAKALAH

TAHAP-TAHAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM:

HUKUM ISLAM, HUKUM ADAT DAN HUKUM BARAT

Mata Kuliah : Hukum Islam

Dosen : MUH FACHRUR RAZY MAHKA, S.HI.,M.H.

Disusun Oleh :
2022060001 - MOH ALIFUDDIN

2022060003 - EFRAIM MATANDATU

2022060013 - ANDI FATMAWATI AZIS

2022060046 - MUSLIMIN M

2022060023 - BAHRUN

2022060022 - HENNY S

PROGRAM STUDI HUKUM FAKULTAS HUKUM DAN ILMU SOSIAL


UNIVERSITAS HANDAYANI MAKASSAR 2024
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... I

BAB I................................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN............................................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah................................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................................3

BAB II……………………………………………………………………………………….……..3

PEMBAHASAN……………………………………………………………………..…………….4

A. Tahapan perumbuhan & Perkembangan Hukum Islam……………………….………….4

A.1.Sejarah Hukum Islam di Indonesia………………………………………………….…….4

A.2.Hukum Islam setelah Kemerdekaan………………………………………………………5

A.3. Bentuk Hukum Islam……………………………………………………………………….6

A.3.a.Hukum Perdata………………………………………………………………..….…….…7

A.3.b.Hukum Publik………………………………………………………………………..…….7

A.4.Tujuan Hukum Islam…………………………………………………………………….….8

A.5. Sumber Hukum Islam……………………………………………………………………...8

A.6. Tantangan Hukum Islam…………………………………………………………..………9

A.6.1. Tantangan Internal………………………………………………………………………9

A.6.2. Tantangan Eksternal……………………………………………………………………10

A.7.Peluang Hukum Islam dalam menghadapi Tantangan………………………………...11

B. Tahapan Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Adat………………………………11

B.1. Sejarah Hukum Adat………………………………………………………………………12

B.2. Hukum Adat setelah Kemerdekaan……………………………………………………...15

B.3. Bentuk Hukum Adat………………………………………………………………………..15

B.4. Tujuan Hukum Adat………………………………………………………………………..16

B.5. Sumber Hukum Adat…………………………………………………………………….…16

B.6. Tantangan dalam Hukum Adat…………………………………………………………….17

B.7. Penerapan Hukum Adat……………………………………………………………………17


C. Hukum Barat………………………………………………………………………………….22

C.1.Sejarah Hukum Barat………………………………………………………………………22

C.2. Hukum Barat Setelah Kemerdekaan…………………………………………………….24

C.3. Bentuk Hukum Barat………………………………………………………………………26

C.4.Tujuan Hukum Barat……………………………………………………………………….27

C.5. Sumber Hukum Barat……………………………………………………………………..27

BAB III…………………………………………………………………………………………….28

KESIMPULAN...................................................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………..29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum Islam pertama kali masuk ke Nusantara melalui perdagangan. Para pedagang
Arab dan Persia yang menganut ajaran Islam melewati selat malaka yang merupakan
jalur utama perdagangan dan singgah di bagian paling utara dari pulau Sumatera.
Para pedagang Arab yang singgah ini tidak hanya berdagang tetapi sebagian dari
mereka juga merupakan mubalig yang menyebarkan agama Islam melalui dakwah.

Ketika para pedagang Arab menetap di bagian utara pulau Sumatera mereka
membentuk komunitas muslim yang akhirnya lama kelamaan berkembang menjadi
besar dan akhirnya berdirilah kerajaan kerajaan Islam di Aceh, seperti kerajaan
Samudera Pasai di Aceh Utara yang merupakan kerajaan Islam di Tertua di Indonesia,
Kerajaan Aceh Darussalam yang merupakan kerajaan Islam terbesar di Nusantara.

Dengan masuknya Islam di Nusantara, dikenal lah yang namanya teori syahadat yaitu
ketika seseorang telah mengucapkan dua kalimat syahadat maka konskuensinya ia
harus menaati hukum islam. Hukum Islam pun menjadi hukum positif di tiap tiap
wilayah milik kerajaan Islam di Nusantara. Salah satu pakar hukum islam ada di
kerajaan Samudera Pasai, pakar hukum islam yang berada di kerajaan Samudera
Pasai adalah pakar hukum islam bermazhab syafi’i. Sehingga banyak pakar hukum
Islam dari kerajaan Malaka Malaysia yang bertandang ke kerajaan Samudera Pasai
untuk meminta putusan hukum Islam.

Diluar Aceh seperti di Jawa Kerajaan Mataram Islam sudah memiliki pengadilan
Serambi Masjid Agung yang bertugas untuk memutuskan perkara pidana dan perdata
hukum islam.

Hukum Islam menjadi hukum yang kuat dan berkembang pesat pada era kerajaan
Islam di Nusantara. Salah satu bukti penerapan hukum Islam di Indonesia pada era
kerajaan ialah adanya literatur fikih yang ditulis oleh para ulama Nusantara pada abad
ke- 16 Masehi. Contoh literatur fikih yang dimaksud ialah Sirathal Mustaqim karya
Nuruddin Arraniri, Sabillah Mustabin karya Arsyad al-Banjari, dan Undang Undang
yang dibentuk oleh Sultan Adam dari Kesultanan Banjar dimana Undang Undang ini
mengatur tentang hukum Islam.

Hukum adat karena sifatnya yang tidak tertulis, majemuk antara lingkungan
masyarakat satu dengan lainnya, maka perlu dikaji perkembangannya. Ada banyak
istilah yang dipakai untuk menamai hukum lokal: hukum tradisional, hukum adat,
hukum asli, hukum rakyat, dan khusus di Indonesia ± hukum perkembangannya
hukum adat dalam masyarakat tergantung kesadaran, paradigma hukum, politik
hukum dan pemahaman para pengembannya- politisi, hakim, pengacara, birokrat dan
masyarakat itu sendiri. Hukum adat dan berlakunya tergantung kepada dan berada
dalam masyarakat. Bagi penganut Paham Etatis, yang mengklaim negara sebagai
satu-satunya secara sentral sebagai sumber produksi hukum, maka di luar negara
tidak diakui adanya hukum. Paham Etatisme berujud sentralisme hukum, dipengaruhi
positivisme hukum dan teori hukum murni, maka secara struktural dan sistimatik wujud
hukum adalah bersumber dan produksi dari negara secara terpusat termasuk organ
negara di bawahnya. Paham sentralisme hukum ini menempatkan posisi hukum adat
tidak memperoleh tempat yang memadahi. Etatis hukum timbul yang didasarkan pada
teori modernitas yang memisahkan dan menarik garis tegas antara zaman modern
dan zaman pra modern. Zaman modern ditandai adanya sistem hukum nasional, sejak
timbulnya secara nasional, sebagai kesatuan yang berlaku dalam seluruh
teritorialnya. Paham ini timbul dari warisan revolusi kaum borjuis dan hegemoni liberal-
karena kuatnya liberalisme, sehingga tumbuh apa yang disebut sentralisme hukum
(legal centralism), dimaknai hukum sebagai hukum
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Tahapan Pertumbuhan dan Perkembangan baik hukum


Islam,hukum adat dan hukum barat ?
2. Apa yang menjadi tantangan dalam tahapan pertumbuhan tersebut ?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Tahapan Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Islam

A.1. Sejarah Hukum Islam di Indoensia

Hukum Islam masuk ke Indonesia bersama dengan masuknya Islam ke Indonesia.


Menurut kesimpulan Seminar Masuknya Islam di Indonesia di Medan pada tahun 1963
yang dikutip dari Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam di Indonesia dari Masa ke Masa
(Unisia No. 16 Tahun XIII Triwulan V/1992) bahwa Islam telah masuk ke Indonesia
pada abad I Hijriyah atau sekitar abad ke 7/8 Miladiyah.

Ibnu Batutah, pengembara Arab asal Maroko pada tahun 1345 Masehi singgah di
Samudera Pasai, dan sempat bertemu dengan Sultan Al-Malik Al-Zahir, dan
melaporkan bahwa Sultan sangat mahir dalam Fiqih Mazhab Syafi’i. Menurut Hamka
dalam Ahmad Azhar Basyir, disinilah Fiqih Mazhab Syafi’I kemudian merata di seluruh
wilayah Nusantara. Hukum Islam merupakan hukum resmi kerajaan-kerajaan Islam.
Dalam Statute Batavia tahun 1742 disebutkan bahwa dalam hukum kewarisan bagi
bangsa Indonesia tetap diberlakukan hukum kewarisan Islam.

Untuk melegakan perasaan umat Islam, pada tahun 1760 diterbitkan Compendium
Freijer yang menghimpun hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam yang
diberlakukan di pengadilan-pengadilan untuk menyelesaikan sengketa di kalangan
umat Islam. Terbit pula Kitab Mugharrer untuk Pengadilan Negeri Semarang yang
memuat hukum-hukum Jawa, yang mencerminkan hukum Islam. Terbit pula Kitab
Pepakem Cirebon yang berisi kumpulan hukum-hukum Jawa yang tua-tua.

Dibuat pula peraturan untuk daerah Bone dan Goa atas prakarsa BJ. Clootwijk.
Demikian keadaan hukum Islam pada masa VOC yang berlangsung sejak tahun 1602
sampai dengan tahun 1800.

Setelah masa VOC berakhir dan pemerintahan kolonial Belanda benar-benar


menguasai seluruh Nusantara, hukum Islam mengalami pergeseran. Secara
berangsur-angsur kedudukan hukum Islam diperlemah.
Pada saat Nusantara sempat dijajah oleh Inggris, dimana pada masa Deandeles
(1808 – 1811) kedudukan hukum Islam belum mengalami pergeseran dan pada masa
Thomas Raffles (1811

– 1816) masih mengukuhkan hukum Islam sebagai hukum rakyat di Jawa.

Tetapi setelah Inggris tidak menjajah lagi, berdasarkan konvensi London tahun 1814,
Inggris menyerahkan kembali daerah jajahan kekuasaannya kepada Belanda, oleh
pemerintah kolonial Belanda dikeluarkan peraturan perundang-undangan tentang
kebijaksanaan pemerintah, susunan pengadilan, pertanian, dan perdagangan di
wilayah jajahannya di Asia. Hukum Islam mulai mengalami pergeseran dalam tata
hukum Hindia Belanda yang sangat

merugikan eksistensi hukum Islam. Akhirnya pada tahun 1882 dibentuklah Pengadilan
Agama yang bertempat di Pengadilan Negeri. Wewenang Pengadilan Agama
mencakup hukum-hukum perkawinan dan kewarisan berdasarkan hukum Islam.

Pada tahun 1929 diterapkan Indische Staatsregeling (IS) yang timbul melalui teori
resepsi (theorie receptie). Penerapan Indische Staatsregeling (IS) memunculkan
hukum adat sebagai hukum yang dominan dianut bangsa Indonesia yang tujuannya
mengurangi pengaruh hukum Islam.

Terbitnya Indische Staatsregeling (IS) menyebabkan berkurangnya wewenang


Pengadilan Agama di Jawa dan Madura, seperti pengalihan perkara kewarisan dari
Pengadilan Agama ke Pengadilan Negeri, dan puncaknya pada tanggal 1 April 1937
diterbitkan Staatblad 1937 no.116 yang mencabut wewenang Pengadilan Agama di
Jawa dan Madura untuk menyelesaikan perkara kewarisan. Perkara kewarisan
berdasarkan hukum adat menjadi keputusan pengadilan negeri. Hukum kewarisan
Islam dapat menjadi dasar keputusan jika memang telah menjadi bagian dari hukum
adat yang berperkara. Pengadilan Agama hanya dapat memberikan fatwa waris
menurut hukum Islam, tetapi tidak mempunyai kekuatan mengikat menurut hukum.

Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa – Madura pada umumnya masih memiliki


wewenang menyelesaikan perkara kewarisan dan wakaf di samping perkara nikah,
talak, dan rujuk sebagaimana semula. Pada masa pemerintahan Jepang, keadaan
hukum Islam di Indonesia tidak mengalami perubahan sama sekali, tetap berlaku
sebagaiman pada zaman Hindia Belanda.

A.2. Hukum Islam setelah Kemerdekaan

Setelah kemerdekaan, walaupun pada UUD 1945 terdapat Aturan Peralihan pasal II,
tetapi dengan sendirinya Indische Staatsregeling (IS) tidak digunakan lagi, sehingga
hukum agama kembali memperoleh legalitas secara konstitusional yuridis. Dalam
berbagai macam peraturan perundang-undangan Hukum Islam benar-benar telah
memperoleh tempat yang wajar secara konstitusional yuridis, yang didukung dengan
terbitnya peraturan-peraturan yang sangat mendukung Hukum Islam, antara lain :

a. Undang-undang no. 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, dimana


perwakafan tanah milik memperoleh perlindungan hukum dan akan diatur dalam PP.

b. Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 tentang Pewakafan Tanah Milik

c. Undang-undang no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang memebrikan


landasan peradilan agama dan memperkuat kedudukannya sejajar dengan Peradilan
Umum.

d. Undang-undang no. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

e. Undang-undang Perbankan yang menjadi landasan berdirinya Bank Muamalat


Indonesia.

f. Dalam dunia Pendidikan Hukum Islam menjadi mata kuliah tersendiri sejak tahun
1968 dan setara dengan kuliah ilmu hukum yang lain.

A.3. Bentuk Hukum Islam

Al-Quran dan literatur Hukum Islam tidak menyebtukan kata hukum Islam sebagai
salah satu istilah, yang ada di dalam al-Quran adalah kata Syari’ah, fiqh, hukum Allah,
dan yang seakar dengannya (Rohidin, Pengantar Hukum Islam, dari Semenanjung
Arabia hingga Indonesia, Catakan Pertama, Lintang Rasi Aksara Books, 2016).

Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah penduduk mayoritas beragam


Islam tidak menerapkan hukum Islam di dalam konstitusinya. Hukum Islam diterapkan
secara parsial dan berdampingan dengan hukum nasional Indonesia yang bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan keadilan masyarakat yang memeluk agama Islam.

Dikutip dari Dahlia Haliah Ma’u (Eksistensi Hukum Islam di Indonesia, Analisis
Kontribusi dan Pembaruan Hukum Islam Pra dan Pasca Kemerdekaan Republik
Indonesia, Jurnal Ilmiah Al Syir’ah Vol. 15 No. 1 Tahun 2017), bahwa hukum Islam
yang berlaku di Indonesia dapat dipilah menjadi dua, yaitu :

• Hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis (hukum Islam yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia lainnya dan benda yang disebut hukum
muamalat (perdata).

Bagian ini menjadi hukum positif berdasarkan peraturan perundang-undangan, seperti


perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.

• Hukum Islam yang bersifat normatif yang mempunyai sanksi atau padanan
kemasyarakatan. Ini dapat berupa ibadah murni atau hukum pidana.
Kodifikasi hukum Islam telah ada sejak zaman penjajahan Belanda, tetapi status
hukumnya masih di bawah dominasi hukum adat, akibat dari pengaruh teori recepie
pada masa itu. Produk hukum Islam pada masa pemerintahan Belanda telah ada
yakni mengatur Peradilan

Agama serta materi hukumnya, tetapi peran hukum adat mendominasi aturan
tersebut. Sejalan dengan waktu, dengan munculnya teori eksistensi, yakni teori yang
menerangkan tentang adanya hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia.
Menurut teori tersebut, bentuk eksistensi (keberadaan) hukum Islam dalam hukum
nasional adalah :

• Hukum Islam adalah bagian integral dari hukum nasional Indonesia.

• Hukum Islam bersifat mandiri, dalam arti kekuatan dan wibawanya diakui oleh hukum
nasional dan diberi status sebagai hukum nasional.

• Norma hukum Islam berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional


Indonesia.

• Hukum Islam merupakan bahan dan unsur utama hukum nasional Indonesia.

Dengan munculnya undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, maka


hukum Islam menjadi sumber hukum yang langsung tanpa melalui hukum adat. Dan
selanjutnya terus bermunculan produk-produk hukum berupa peraturan perundang-
undangan yang semakin memantapkan bentuk hukum Islam sebagai bagian dari
hukum nasional Indonesia. Bentuk hukum Islam bila disistematiskan seperti dalam
tata hukum Indonesia, maka akan tergambarkan bidang ruang lingkup muamalat
dalam arti luas, yaitu :

A.3.a. Hukum Perdata

• Munakahat, mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan dan


perceraian serta segala akibat hukumnya.

• Wiratsat, mengatur segala masalah dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan,
serta pembagian warisan. Hukum waris Islam disebut juga hukum faraidh.

• Mu’amalah, dalam arti yang khusus, mengatur masalah kebendaan dan hak-hak
atas benda, tata hubungan manusia dalam masalah jual-beli, sewa-menyewa,
pinjammeminjam, perserikatan, kontrak, dan lain sebagainya.

A.3.b. Hukum Publik

• Jinayah, yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam


dengan hukuman, baik dalam jarimah ta’zir (pidana ringan) maupun jarimah hudud
(pidana berat).
• Al-Ahkam as-Shulthaniyyah, membicarakan permasalahan yang berhubungan
dengan kepala negara/pemerintah, hak pemerintah pusat dan daerah, tentang pajak,
dan lain sebagainya.

• Siyar, mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama
lain dan negara lain.

• Mukhasamat, mengatur soal peradilan, kehakiman, dan hukum acara.

A.4. Tujuan Hukum Islam

Pembentukan hukum Islam memiliki tujuan untuk merealisasikan kemaslahatan


manusia dengan menjamin kebutuhan pokoknya (dharuriyyah), kebutuhan sekunder
(hajiyyah), serta kebutuhan pelengkap (tahsiniyyat). Kebutuhan pokok (dharuriyyah)
yang dijamin dengan keberadaan hukum Islam meliputi :

• Hifdz ad-Din (memelihara agama)

• Hifdz an-Nafs (memelihara jiwa)

• Hifdz al-‘Aql (memelihara akal)

• Hifdz an-Nasl (memelihara keturunan)

• Hifdz al-Mal (memelihara hak milik/harta)

A.5. Sumber Hukum Islam

Menurut Abdul Wahab Khallaf dalam Rohidin, Pengantar Hukum Islam, dari
Semenanjung Arabia hingga Indonesia (2016), sumber-sumber hukum Islam adalah
sebagai berikut :

• Al-Quran

• As-Sunnah

• Al-Ijma

• Al-Qiyas

A.6. Tantangan Hukum Islam Abad Modern

A.6.1.Tantangan Internal
Hukum Islam yang ada sekarang, pada umumnya merupakan hasil ijtihad ulama
terdahulu, yaitu hasil ijtihad para ulama masa keemasan hukum Islam periode
keemasan yang sejak awal abad kedua sampai pertengahan abad keempat hijriyah.
Para ulama yang datang kemudian, sudah merasa puas dengan hasil ijtihad para
ulama terdahulu, mereka tidak membutuhkan lagi ijtihad baru, mereka cukup
menerapkan hasil ijtihad yang sudah ada.9 Bila dicermati secara seksama, secara
internal ada beberapa faktor yang menjadi tantangan hukum Islam di abad modern,
yaitu :

a. Hukum Islam bercampur baur dengan hukum adat setempat


Tidak dapat dipungkiri, bahwa hukum Islam dapat bercampur-baur dengan hukum
adat (daerah setempat), karena masuknya Islam di suatu daerah mengakibatkan
terjadi interaksi sosial dengan masyarakat setempat yang telah memiliki akar adat
dan budaya yang begitu kuat. Proses intraksi yang berlangsung begitu lama,
sehingga dalam masyarakat, terkadang sulit dibedakan mana hukum Islam yang
murni, mana hukum adat setempat dan mana hukum yang sudah bercampur dengan
hukum adat setempat, karena mereka menganggap adat (urf) merupakan salah satu
metode pengambilan hukum, sehingga keberadaannya tidak dapat dipisahkan
dalam sistem hukum Islam.

b. Hukum Islam umumnya tidak berlaku pada negara yang mayoritas berpenduduk
muslim Tidak berlakunya hukum Islam secara formal pada negara-negara yang
mayoritas Islam seperti Indonesia, merupakan suatu yang menarik diteliti, padahal
dalam ajaran Islam, terdapat penekanan untuk menerapkan hukum Islam bila
sedang memutuskan suatu perkara.

c. Belum munculnya kader mujtahid yang serius Belum munculnya kader mujtahid
yang serius, sebagai bukti masih adanya rasa enggan untuk berijtihad di kalangan
mujtahid, karena hampir semua persolaan fiqh yang muncul sudah dibahas oleh
ulama-ulama fiqh terdahulu melalui buku-buku fiqh yang diterbitkan. Di samping itu,
calon ulama dan ulama-ulama Islam lebih banyak tertarik pada wilayah politik
praktis, apalagi disinyalir wilayah ini cukup menjanjikan dalam hal profit. Sedangkan
wilayah fiqh, masih dianggap kering dan lemah dari sisi profit.

d. Belum adanya kepercayaan kepada penegak hukum Belum adanya kepercayaan


kepada penegak hukum khususnya penegak hukum dari lembaga-lembaga
peradilan Islam, hal itu terjadi karena kurangnya publikasi dengan baik dari lembaga
ini tentang eksistensi dan peranannya dalam menegakkan hukum Islam secara
formal. Sehingga ummat Islam lebih banyak memilih untuk menyelesaikan
masalahnya. Disamping itu para penegak hukum (hakim) sudah banyak yang
terkontaminasi dengan istilah mafia peradilan, sogok menyogok dan lainlain.
Sehingga citranya sudah tidak baik dimata masyarakat.

e. Dunia Islam masih menganggap rendah hukum dan sarjana hukum Islam
Pandangan dunia Islam yang masih menganggap rendah hukum dan sarjana hukum
Islam lebih disebabkan oleh kuatnya dominasi hukum Barat (orientalis) dalam dunia
Islam, sehingga timbul sikap remeh terhadap eksistensi hukum, sehingga
menjadikan sarjana hukum Islam merasa tidak memiliki percaya diri dan otoritas
yang penuh untuk melakukan ijtihad secara serius.

f. Pengunaan bahasa hukum Islam masih terkesan kuno, karena istilahistilah (term)
hukum umumnya sudah dimonopoli oleh hukum Barat, sehingga istilah-istilah hukum
Islam menjadi tersisihkan.

A.6.2. Tantangan Eksternal

Ada dua real eksternal yang dihadapi hukum Islam dalam perjalanan sejarahnya
hingga saat ini. Pertama : Pandangan negatif dari sebagian orientasi tentang
eksistensi hukum Islam, dan kedua : munculnya berbagai masalah-masalah baru yang
membutuhkan ketetapan hukum yang cepat dan tepat. Ada sejumlah orientasi yang
mengkritisi hukum Islam karena ketakutannya. Diantara orientasi yang memberikan
kritikan itu adalah :

a. N.J. Coulson Dalam bukunya A History of Islamic Law, Coulson mengatakan : istilah
spesifik hukum diekspresikan sebagai kehendak Tuhan yang tidak dibatalkan.
Sebagai kebalikan dari sistem-sistem hukum yang didasarkan pada akal manusia.
Hukum Tuhan semacam ini memiliki dua karakteristik khusus yang utama. Pertama,
ia merupakan sistem kekal dan abadi, yang tidak mudah dimodifikasi dengan berbagi
otoritas legislatif. Kedua, karena berbagai perbedaan orang yang membentuk dunia
Islam,berbagi sistem hukum merupakan produk akan manusia yang didasarkan pada
situasi lokal dan kebutuhan-kebutuhan kelompok suatu masyarakat
tertentu.Selanjutnya dikatakan bahwa Yurisprudensi Islam hanya dapat berhasil
memecahkan masalah hukum dan masyarakat, jika bebas dari tujuan hukum agama
yang diekspresikan dalam pengertian totaliter. Dari pernyataan di atas, seolah-olah ia
mengatakan bahwa hukum Islam tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk mengatur
atau mengontrol masyarakat.

b. Kerr Menurut Kerr, hukum Islam bersifat idealitas dan terhindar dari kembali orang-
orang Islam modern dalam teori klasik tentang khalifah dan usaha untuk menemukan
di dalamnya dasar-dasar bagi lembagalembaga demokrasi,Kedaulatan yang bersifat
umum dan lain-lain, tidak hanya dirangsang oleh pertemuan politik Timur dan Barat
beberapa abad yang lalu, tetapi juga didorong oleh publikasi orientalis. Kelihatannya
ia menemukan kekeliruan pada semangat para ahli hukum yang idealis, dimana
perhatian utama mereka dalam menafsirkan hukum Islam adalah untuk
mempertahankan bentuk ideal menghindari metodemetode yang mengubah
kehendak nilai-nilai yang diwahyukan. Baik Cuolson maupun Kerr adalah penganut
positivisme. Secara prinsip mereka concern pada kepentingan materiil masyarakat
dan menganggap hukum Islam adalah suatu yang bersifat agamis, dan bukan hukum
dalam pengertian modern.
c. Jhon Shamson Dalam bukunya, Encountring Islamic Law, sebagaimana dikutip oleh
Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and The Orientalis. Delhi; Makazi
Maktaha Islam 1995,Tantangan Hukum Islam Di Abad Modern (Ahmad Munir)
sebagai sebuah sistem hukum yang tidak sempurna secara mendasar. Bidang kritik
telah berubah dari mempertahankan pemerintahan kolonial selama masa
imperialisme kepada dakwaan kontemporer atas hak-hak asasi manusia, demokrasi
dan pluralisme. Permasalahan dengan kritik ini ialah bahwa ia memantulkan
hubungan kekuatan antara Eropa (Amerika Serikat) dan dunia Islam. Argumen yang
mengatakan hukum Islam itu tidak sempurna menyegarkan persepsi bahwa Eropa itu
lengkap. Sebagai akibatnya, keterkaitan tulus dengan hukum Islam menjadi
problematik, karena setiap orang yang mencoba ke arah itu ditarik ke dalam bidang
peraturan orientalis. Permasalahan sekarang bagi peneliti Islam tidak hanya mengkaji
ulang kajian Barat terhadap Islam, tetapi juga mengkaji Barat itu sendiri yang telah
mendominasi peradaban dunia dan melahirkan berbagai masalah di dunia Islam.
Pandangan orientalis di atas, berangkat dari pendekatan yang keliru terhadap hukum
Islam. Mereka tidak memahami bahwa sumber rujukan utama telah menegaskan
bahwa Allah SWT telah memberikan isyarat dengan jelas menyangkut keharusan
tegaknya supremasi hukum di muka bumi ini, sebagaimana dinyatakan dalam :

surah Al-Jaatsiyah ayat 18.“Kemudian kami jadikan kamu berada diatas


Syari’at(Peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah Syari’at itu dan janganlah
kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengikuti.”

Meskipun demikian bukanlah berarti bahwa pandangan orientalis itu sama sekali tidak
ada positifnya. Minimal munculnya pandangan-pandangan tersebut, akan meransang
dan memotivasi cendekiawan muslim khususnya ahli hukum Islam untuk lebih intens
mengkaji secara mendalam dan filosofis tentang hukum Islam, serta senantiasa
berusaha dan memperbaharui pemikirannya sesuai dengan tuntutan kemajuan
zaman. Bila hal tersebut tidak dilakukan maka tidak heran jika orientalis akan
memahami kandungan kandungan islam di dunia Barat lebih komprehensif dan
memiliki metodologi dan pendekatan yang lebih modern.

Tantangan hukum Islam eksternal yang lain adalah munculnya berbagai macam
persoalan-persoalan baru di abad modern ini sebagai konsekuensi dari
perkembangan peradaban manusia, yang menuntut jawaban dan ketetapan hukum
dengan segera, misalnya munculnya fenomena cybersex yang kini sedang melanda
dunia, praktik cloning atau masalah beredarnya pil penghancur janin (aborsi) merek
RU-486, yang baru-baru ini disahkan pemakaiannya oleh pemerintah Amerika Serikat,
yang katanya telah melalui perdebatan selama 12 tahun. Pemakaian pil aborsi
tersebut akan memudahkan proses aborsi, tanpa harus ditangani oleh dokter atau
dukun.

A.7. Peluang Hukum islam Mengatasi Tantangan


Munculnya berbagai persoalan kontemporer itu, yang suka atau tidak suka, harus
direspon oleh hukum Islam, maka sangatlah urgen untuk membangkitkan kembali
hukum Islam.

Menurut Faruq, kebangkitan hukum Islam bukanlah sekedar kebutuhan sejarah, tetapi
justru kebutuhan hukum Islam itu sendiri.16 Untuk menjawab berbagai persoalan
yang muncul dalam masyarakat modern, sedikit ada lima faktor yang dapat menjadi
pedoman :

A.7.1. Perlunya upaya pengembangan hukum Islam dengan cara


mengoptimalkan fungsi ijtihad. Ijtihad seharusnya tidak lagi dilakukan secara
individual (fardi) kecuali dalam keadaan darurat, namun hendaknya dilakukan
secara kolektif dan dilakukan oleh suatu lembaga; dengan cara saling tukar
pendapat di kalangan para tokoh dan pemikir, mengidentifikasikan
permasalahan yang muncul dan mengemukakan warisan fiqih dan ushul fiqh
dengan pemaparan komprehensif tanpa ada paksaan.
A.7.2. Perlunya penyatuan pendapat diantara mazhab-mazhab tentang
masalah-masalah tertentu yang serupa demi kepastian hukum .
A.7.3. Perlunya rasionalisasi hukum Islam. Amir Syarifudin, dalam bukunya :
Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam: adalah suatu yang universal dan
abadi namun karena penyusunan karya mujtahid itu didasarkan pada
pertimbangan kemaslahatan ummat yang berada dalam ruang lingkup waktu
tertentu, maka hukum Islam bukanlah suatu yang universal dan abadi ia perlu
ditimbang pada setiap terjadi perubahan waktu agar tetap sesuai dan
terpakai.19 Rasionalisasi hukum Islam dewasa ini sangat penting sebagai
hukum ,yang sudah ada tapi membuat yang baru. Mungkin itu bukan dilakukan,
karena kita kurang kritis, atau karena sikap hormat terhadap pendahulu yang
mengeritik gurunya. Syaibani, Hanfi dan Maliki dan itu tidak menyangkut iman
dan kafir.
A.7.4. Perlunya penyusunan hukum-hukum syariat dan hukumhukum fiqh
dalam bab-bab yang jelas, sistematis kemudian dituangkan dalam bentuk
undang-undang. Dan
A.7.5. Perlunya terus menerus dicetak kader fuqaha, ulama dan peneliti
dengan spesialisasi yang jelas.20 Bila faktor-faktor tersebut dapat diterapkan,
maka hukum Islam akan mampu berintraksi dengan persoalan-persoalan
kekinian yang senantiasa menuntut jawaban hukum dan paradigma baru.
Faktor-faktor di atas bukan hal yang baku, masih terbuka kemungkinan untuk
dirumuskan kembali sesuai dengan kebutuhan zaman.

B. Tahapan Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Adat

B.1. Sejarah Hukum Adat


Sebelum hukum Islam masuk ke Indonesia, rakyat Indonesia menganut hukum adat
yan bermacam-macam sistemnya, dan sangat majemuk sifatnya. Dapat diduga
pengaruh agama Hindu dan Budha sangat kuat terhadap hukum Adat.

B.1.a. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Hukum Adat di Indonesia

Di samping kemajuan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, kondisi alam hingga
faktor-faktor tradisional, ada banyak faktor lain turut mempengaruhi perkembangan
hukum adat di Indonesia. Dikutip dari Pengantar Hukum Indonesia oleh Rahman
Syamsuddin, berikut faktor-faktornya:

Magis dan animisme


- Pengaruh faktor magis dan animisme di Indonesia berpengaruh besar dalam
perkembangan hukum adat. Hal ini bisa dilihat dari upacara-upacara adat yang
bersumber pada kekuasaan serta kekuatan gaib hingga kepercayaan animisme
pada alam semesta atau pemujaan terhadap roh-roh leluhur.
Faktor agama:
- Pengaruh faktor agama juga merupakan salah satu yang cukup besar dalam
perkembangan hukum adat. Mulai dari masuknya agama Hindu pada abad ke 8,
agama Islam pada abad ke 14, dan agama Kristen yang dibawa pedagang-
pedagang Barat.
Faktor kekuasaan yang lebih tinggi:
- Maksud dari kekuasaan yang lebih tinggi adalah kekuasaan raja, kepala kuria,
nagari dan sejenisnya. Tidak semua raja yang pernah berkuasa baik, ada juga raja
yang bertindak sewenang-wenang bahkan tidak jarang keluarga dan lingkungan
kerajaan ikut serta dalam menentukan kebijaksanaan kerajaan. Misalnya
penggantian kepala-kepala adat banyak diganti oleh orang-orang kerajaan tanpa
menghiraukan adat istiadat bahkan menginjak-injak hukum adat yang ada dan
berlaku di dalam masyarakat tersebut
Adanya kekuasaan asing:
- pengaruh kekuasaan penjajah Belanda turut mempengaruhi perkembangan hukum
adat di Indonesia. Orang-orang Belanda kala itu membawa alam pikiran barat yang
individualisme. Hal ini jelas bertentangan dengan alam pikiran adat yang bersifat
kebersamaan.

Peraturan adat istiadat sudah terdapat sejak zaman kuno, yaitu zaman pra-Hindu,
menurut para ahli berakar dari adat-adat Melayu Polinesia. Selanjutnya peraturan adat
istiadat tersebut secara berturut-turut dipengaruhi dengan masuknya agama Hindu,
Budha, Islam, dan Kristen. Beberapa contoh hukum adat yang dapat ditemukan
adalah sebagai berikut :

• Prasasti Raja Sanjaya, mengenai aturan keagaaman, ekonomi, dan pertambangan,


tahun 732.
• Prasasti Raja Tulodong, mengenai pertanahan dan pertanian, tahun 784.

• Prasasti Bulai Rakai Garung, mengenai peradilan perdata, tahun 860.

• Kitab Civacasana, masa kerajaaan Dharmawangsa, pada zaman Hindu tahun 1000.

• Kitab Gajah Mada dan Kitab Adigama, masa kerajaan Majapahit, tahun 1331.

• Kitab Kutaramaya, masa kerajaan di Bali, tahun 1350

Hukum adat yang kini hidup di tengah-tengah masyarakat merupakan hasil akulturasi
antara adat istiadat (peraturan-peraturan) zaman pra-Hindu dengan peraturan-
peraturan hidup yang dibawa oleh pengaruh Hindu, Budha, Islam, dan Krsiten (Bewa
Ragawino, Pengantar dan AsasAsas Hukum Adat Indonesia, Universitas
Padjajajaran, 2008). Setelah terjadinya akulturasi, maka hukum adat atau hukum
pribumi dapat dibagi menjadi

dua, yaitu :

• Hukum tidak tertulis (jus non scriptum), merupakan hukum asli penduduk.

• Hukum tertulis (jus scriptum), merupakan ketentuan hukum agama.

Istilah hukum adat pertama kali diperkenalkan oleh Christian Snouck Hurgronye dalam
bukunya “De Acheers” (1893), namun sebenarnya jauh sebelumnya, pada peraturan

perundangan-undangan kolonial Belanda telah digunakan pengertian hukum adat


tetapi dengan menggunakan istilah yang berbeda. Beberapa contoh yang telah
masuk ke dalam peraturan perundang-undangan yang dikutip dari Sri Warjiyati, Ilmu
Hukum Adat, antara lain :

• Pasal II Algemene Bapalingen van Wetgeving (Ketentuan Umum Perundang-


Undangan) Staatblad 1847 No. 23 menggunakan istilah peraturan-peraturan
keagamaan, lembagalembaga rakyat, dan kebiasaan-kebiasaan.

• Regering Reglement Staatblad 1858 No. 75 menggunakan istilah peraturan-


peraturan keagamaan, lembaga-lembaga rakyat, dan kebiasaan-kebiasaan.

• Isdische Staats Regering pasal 128 ayat 4 menggunakan istilah Lembaga-lembaga


dari rakyat.

Ditinjau secara yuridis, penerapan hukum adat di zaman kolonial Belanda dilakukan
berdasarkan Regeringsregelement 75 yang kemudian diundangkan dalam Staatblad
No. 415 tahun 1925 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1926. Staatblad No.
415 tahun 1925 tersebut merupakan pengganti Staatblad No. 2 tahun 1855. Sejak
tahun 1929 pemerintahan kolonial Belanda secara resmi mulai menggunakan hukum
adat di dalam peraturan perundang-undangannya. Mulai digunakannya istilah hukum
adat antara lain dapat dilihat di dalam Indische Staats Regeling 1929 pasal 134 ayat
2 ; “Dalam hal timbul perkara hukum perdata antara orang-orang muslim dan hukum
adat mereka memingta penyelesaiannya maka penyelesaian perkara tersebut
diselenggarakan oleh hakim agama kecuali ordonansi telah menetapkan sesuatu
yang lain”.

Selanjutnya pada masa penjajajahan Jepang peraturan perundang-undangan dari


zaman kolonial Belanda tetap digunakan sesuai dengan peratruran yang dikeluarkan
oleh penjajah Jepang, yaitu UU Bala Tentara Jepang (Osamu Rei) No. 1 tahun 1942
; “Seluruh wewenang badan-badan pemerintahan dan semua hukum dan peraturan
yang selama ini berlaku tetap dinyatakan berlaku kecuali apabila bertentangan
dengan peraturan-peraturan militer Jepang” (Herlambang Perdana Wiratraman,
2008).

B.2. Hukum Adat Setelah Kemerdekaan

Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dan diterapkannya UUD 1945


sebagai dasar dari seluruh peraturan negara, maka berdasarkan Aturan Peralihan
pasal II dijelaskan bahwa peraturan perundang-undangan sebelum kemerdekaan
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945, serta
dicantumkannya mengenai pemerinatahndaerah pada pasal 18 UUD 1945.

Beberapa peraturan perundang-undangan juga telah memberikan jaminan hak-hak


masyarakat hukum adat, antara lain :

• UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UPA)

• UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

• UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa.

• UUD 1945, amendment kedua, pasal 18B ayat 2.

B.3. Bentuk Hukum Adat

Hukum adat sebagai perwujudan nilai-nilai kearifan lokal yang terbentuk dari
keunggulankeunggulan budaya setempat yang merupakan produk budaya masa lalu
yang patut dan secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup, dan tubuh serta terus
berkembang.

Bentuk ukum adat akan berhubungan erat dengan tata susunan rakyat Indonesia,
dimana keberlakuan hukum adat ada di dalam perserikatan hukum atau perkumpulan
antar manusia yang mempunyai anggota-anggota yang merasa mempunyai
keterikatan antara anggota yang satu dengan anggota yang lainnya dalam satu
kesatuan yang penuh solidaritas, dimana dalam anggota-anggota tertentu berkuasa
untuk bertindak atas nama mewakili kesatuan guna mencapai tujuan dan kepentingan
bersama. Bentuk hukum adat secara umum bila disistematiskan seperti dalam tata
hukum Indonesia, maka akan tergambarkan bidang ruang lingkup dalam arti luas,
yang terbagi atas tiga subsystem, yaitu :

B.3.a. Hukum adat mengenai tata negara, yaitu tatanan yang mengatur susunan dan
ketertiban dalam persekutuan-persekutuan hukum, serta susunan dan lingkungan
kerja alat-alat perlengkapan, jabatan-jabatan, dan pejabatnya.

B.3.b. Hukum adat mengenai warga (hukum warga), terdiri dari :

• Hukum pertalian sanak (kekerabatan)

• Hukum tanah

• Hukum perutangan

B.3.c. Hukum Adat mengenai delik (hukum pidana), yang sistemnya dijalankan oleh
para pemuka adat (pengetua-pengetua adat), karena ia adalah pimpinan yang
disegani masyarakatnya.

B.4. Tujuan Hukum Adat

Sebagai aspek dari kebudayaan, hukum adat terwujud dari nilai-nilai kearifan lokal
yang dipercaya dan diyakini kebaikannya sehingga menjadi pedoman dalam
bertingkah laku dalam masyarakat dalam mewujudkan kehidupan masyarakat yang
tertib, aman, dan damai.

B.5. Sumber Hukum Adat

Sumber-sumber hukum adat yang dikutip dari Bewa Ragawino, Pengantar dan Asas-
Asas Hukum Adat Indonesia, Universitas Padjajaran, adalah sebagai berikut :

• Adat-istiadat atau kebiasaan yang merupakan tradisi rakyat.

• Kebudayaan tradisional rakyat.

• Kaidah dari kebudayaan Indonesia asli.

• Perasaan keadilan yang hidup di dalam masyarakat.

• Pepatah adat.

• Yurisprudensi adat.

• Dokumen-dokumen yang hidup pada waktu itu, yang memuat ketentuan-ketentuan


hukum yang hidup.

• Kitab-kitab hukum yang pernah dikeluarkan oleh Raja-Raja.


• Doktrin gtentang hukum adat.

• Hasil-hasil penelitian tentang hukum adat dan nilai-nilai yang tumbuh dan berlaku
dalam masyarakat. Sumber-sumber hukum adat tersebut memiliki coraknya masing-
masing maupun secara bersama-sama, yang dutip dari Sri Warjiyati, Ilmu Hukum
Adat, yaitu :

• Corak tradisional

• Corak keagamaan

• Corak Kebersamaan

• Corak konkrit dan visual

• Corak terbuka dan sederhana

• Corak dapat berubah dan menyesuaikan

• Corak tidak terkodifikasi

• Corak musyawarah dan mufakat

B.6. Tantangan dalam perkembangan Hukum Adat.

Pemaparan diatas menggambarkan, bahwasanya globalisasi dengan ciri modern,


yang menuntut serba rasional dan empirik akan bertentangan dengan segala sesuatu
yang tradisional. Sementara hukum adat (diakui atau tidak) adalah bersifat tradisional
(terlepas dari perkembangannya) dan merupakan hukum yang ada pada masa dahulu
kala, bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka,terdapat permasalahan yang
memerlukan pembahasan dalam maka ini yaitu :

Apakah hukum adat masih dibutuhkan dalam menjawab tuntutan globalisasi? 114
Moh . Koesnoe, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, termasuk perintis
yang melihat hubungan erat antara munculnya hukum modern dengan kapitalisme,
yang berarti, Weber melihat kapitalisme itu sebagai penyebab terjadinya perubahan
dalam tipe hukum dari tradisional menjadi modern. Kapitalisme menuntut suatu
tatanan normatif . Sistem-sistem hukum yang ada pada waktu itu menyimpulkan,
hanya hukum modern yang rasional, atau suatu rasionalitas formal yang bersifat logis
yang mampu memberikan tingkat perhitungan yang dibutuhkan. Legisme memberikan
dukungan kepada perkembangan kapitalisme dengan memberikan suasana yang dan
dapat diperhitungkan. dewasa ini. Dengan tegas, Menski menolak konsep ―anti-
pluralist‖ alias konsep “unification visions”, yang pada dasarnya berupaya
menyeragamkan visi internasional dunia global dibawah satu visi ala Amerika,
mengenai isu-isu krusial menyangkut hukum, keadilan dan HAM. Sebenarnya di
Indonesia sudah lama menjadi sasaran dan memang berhasil diularkan visi
universalitas HAM dengan mengabaikan sisi partikularistik HAM yang lebih realistis,
karena hukum, keadilan dan HAM sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat
plural. Bahkan pandangan Menski itu, Titik akhir dari globalisasi merupakan fenomena
keanekaragaman yang hampir tak terbatas, yaitu benar-benar sebagai “glocalization‖
dan bukan sebaliknya penyeragamaan yang sangat tidak realistis. Jadi globalisasi
berjalan bareng dengan “glocalisasi” (pluralitas). Keanekaragaman hukum yang
berlaku di Indonesia merupakan kebutuhan hukum dari suatu 99 masyarakat yang
majemuk.

Fakta menunjukkan bahwa cukup banyak peraturan yang dalam pelaksanaannya


kurang atau tidak diterima oleh masyarakat. Jadi hukum nasional yang harus dapat
diterima oleh semua pihak, maka itu perlu dirumuskan dalam rumusan yang bersifat
umum. Hal-hal yang bersifat operasional harus diserahkan Sebaliknya penerapan
hukum di Indonesia, diterapkan oleh para penegak hukum dengan pola pikir orang
Indonesia, dengan kata lain menggunakan pola pikir adat, demikian pula rakyat
Indonesia sebagai penerima, sebagian besar masih dengan mengutamakan
kebersamaan atau bersifat komunal dan religio-magis Kondisi di atas mempunyai
kontribusi terhadap kesemrawutan hukum, diskriminatif, dan tidak adil. Padahal
seharusnya hukum yang baik itu menurut ahli hukum perlu memenuhi tiga syarat yaitu
: filosofis, yuridis dan sosiologis, bahkan mungkin perlu ditambah harus mengakar dan
bersumber pada budaya bangsa sendiri.

Berkembangnya globalisasi membuat kecurigaan masyarakat dunia terhadap adanya


konsep ―unifikasi global‖ yang dibuat untuk maksud menyeragamkan visi global,
inisiatif mana muncul dari amerika dan bernafsu untuk menjadikan dunia berada
dibawah komando tuan amerika. Hal ini pun terjadi dengan pelemahan hukum adat
yang merupakan hukum yang hidup dimasyarakat dan ia hadir sebelum adanya
hukum positif. Ciri yang menonjol dari aliran positivisme adalah pendapat aliran ini
menyatakan bahwa sumber hukum adalah kekuasaan yaitu Negara. Apa yang
dianggap sebagai hukum adalah peraturan tertulis yang dibuat dan disahkan oleh
Negara. Dengan demikian semua aturan di luar undang-undang dianggap bukan
sebagai hukum dan tidak mempunyai kekuatan mengikat untuk berlaku dan ditaati.

Moh. Koesnoe. Hukum Adat (Dalam Alam kemerdekaan Nasional dan Persoalaan
Menghadapi Era Globalisasi, Ubhara Press, Surabaya,1996 100 merupakan unsur
penting dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari paham positisme hukum.
Selain hukum adat yang berlaku dalam mayarakat Indonesia yang merupakan hukum
yang tidak tertulis, peranan hukum Islam dalam pembanguna hukum nasional juga
tidak bisa di pungkiri. Pengembangan hukum nasional memberikan porsi yang
memadai bagi entitas-entitas budaya, adatistiadat dan agama sebagai landasan dari
pembangunan hukum nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia

B.7. Penerapan Hukum Adat


a. Pelembagaan Hukum Adat di Indonesia Hukum adat menurut Van Vollenhoven
adalah Keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai
sanksi (oleh karena itu disebut ―hukum‖) dan di pihak lain dalam keadaan
tidak dikodifikasikan (oleh karena itu disebut ―adat‖). Sedangkan ketentuan
hasil seminar Hukum adat di Yogyakarta Tahun 1975 tentang definisi hukum
adat adalah sebagai berikut: "Hukum adat adalah Hukum Indonesia asli yang
tidak tertulis dalam perundang-undangan RI dan disana-sini mengandung
unsur agama. Kedudukan Hukum Adat menjadi salah satu sumber penting
untuk memperoleh bahanbahan bagi pembangunan hukum nasional yang
menuju pada unifikasi hukum (penyamaan hukum). Tiap-tiap hukum
merupakan sebuah sistem yaitu ―peraturannya merupakan suatu kebulatan
berdasarkan kesatuan alam pikiran‖. Sistem Hukum Adat bersendi atas dasar–
dasar alam pikiran bangsa Indonesia yang tidak sama dengan alam pikiran
yang menguasai sistem hukum barat.
Kedudukan hukum adat dalam sistem hukum nasional, adalah sebagai salah
satu bagian dari hukum positif yang secara konstitusional ―diakui‖ oleh
Negara. Istilah diakui (pengakuan) mengandung makna atau pengertian yang
berbeda dengan istilah ditetapkan (penetapan). Berlakunya hukum adat di
Indonesia, bukanlah karena ditetapkan oleh negara, sebab penetapan
diperlukan apabila hukum adat merupakan suatu sistem hukum yang baru yang
belum ada sebelumnya. Tetapi kiranya harus diketahui bahwa keberadaan
hukum adat di Nusantara ini telah ada sebelum Republik ini berdiri. Dalam UUD
45 (Ps. 18 B ayat 2) dinyatakan bahwa ―Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat dalam hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan RI yang diatur dalam
Menghadapi Era Globalisasi ,Ketentuan Pasal 18 B(2) UUD 45 tersebut diatas,
dapat dipahami mengandung unsurunsur sebagai berikut Negara mengakui
dan menghormati hukum adat, ini artinya Negara bukan hanya sekedar
mengakui kebenaran dari hukum adat tersebut, tetapi lebih dari itu harus pula
berperan aktif dalam proses pembangunan hukum adat, misalnya
pemberdayaan kembali lembaga-lembaga hukum adat yang telah lama
memudar sebagai akibat dari dominasi sistem perundangundangan dan sistem
ketatanegaraan kita di masa lalu. Negara mengakui eksistensi kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya, ini berarti
Negara berkewajiban untuk mendorong dan jika perlu berperan aktif untuk
memberdayakan kesatuankesatuan masyarakat hukum adat sebagai bagian
penting dari komponen bangsa dan 102 menghormati serta memelihara segala
ciri has yang ada sebagai bagian dari asset bangsa. Pembangunan hukum dan
pemberdayaan lembagalembaga adat harus memberikan dampak positip
sehingga mampu berpungsi dan berperan aktip sebagai pilter yang dapat
menangkal segala dampak negatip dari arus globalisasi. Kesatuan-kesatuan
masyarakat dalam hukum adat memelihara dan menggunakan hak-hak
tradisionalnya dengan tetap menyadari keberadaannya dalam bingkai Negara
Kesatuan RI.
Di dalam Undang-Undang No. 25 Th. 2000 Tentang Program Pembangunan
Nasional (Propenas) ditentukan bahwa garis kebijaksanaan pembangunan
dibidang ―Kebudayaan, Kesenian dan Parawisata‖ antara lain sbb:

B.7.1. Mengembangkan dan membina kebudayaan nasional bangsa


Indonesia yang bersumber dari warisan budaya leluhur bangsa, budaya
nasional yang mengandung nilai-nilai universal termasuk kepercayaan
terhadap Tuhan YME dalam rangka mendukung terpeliharanya kerukunan
hidup bermasyarakat dan membangun peradaban bangsa.

B.7.2. Merumuskan nilai-nilai kebudayaan Indonesia sehingga mampu


memberikan rujukan sistem nilai terhadap totalitas prilaku kehidupan
ekonomi, politik, hukum dan kegiatan kebudayaan dalam rangka
pengembangan kebudayaan nasional dan peningkatan kwalitas berbudaya
masyarakat. Kiranya dimaklumi bahwa Pembangunan nasional hanya
mungkin dilakukan dengan benar dan baik bila bertumpu kuat pada hakikat
dari pembangunan hukum nasional. Dalam konteks pembangunan hukum
nasional, menjadi penting mengkaji aktualitas, relevansinya, mempelajari
maupun meneliti perkembangan hukum adat yang hidup dalam masyarakat
yang terdapat di Indonesia pada umumnya. Hukum Adat adalah bagian
penting dari strategi kebudayaan, maka dengan memahami hukum adat
akan membantu mengembangkan lebih jauh nilai-nilai budaya yang
tersimpan dalam hukum adat mereka.

B.7.3. Oleh karena itu diperlukan pengamatan yang cermat dan seksama
atas nilai-nilai, perkembangan nilai-nilai, normanorma yang tumbuh, dan
berkembang. Sehingga pemahaman mengenai eksistensi hukum adat
dalam hal ini secara substantif, bukan terletak pada apakah hukum adat
tersebut telah ditetapkan oleh negara atau tidak. Lebih dari itu adalah, nilai-
nilai yang hidup di tengah masyarakat, sekalipun tidak tertulis. Moh.
Koesnoe dengan mensitir pendapat Djojodiguno mengatakan bahwa untuk
dinyatakannya hukum adat sebagai hukum yang berlaku (hukum positif)
tidaklah mesti harus dilihat dari adanya penerapan sanksi, akan tetapi
hukum adat telah cukup dinyatakan berlaku apabila ada pernyataan-
pernyataan (menurut penulis termasuk ‗ungkapan– ungkapan simbolik
bermakna‘) yang diungkapkan sebagai pernyataan rasa keadilan dalam
perhubungan pamrih, yang dinyatakan berlaku sebagai uger-ugeran. Jadi
hal ini memang berbeda dengan pendapat para ahli hukum adat yang lain
yang menunjuk kepada sanksi yang harus dijatuhkan/diputus oleh Hakim
atau penguasa adat sebagai ciri untuk menyatakan adat sebagai hukum
(hukum adat). Lebih tegas lagi Koesnoe mengatakan bahwa pilihan untuk
menetapkan hukum dengan penggunaan sanksi sebagai ciri pokoknya
akan membawa kekecewaan didalam menentukanCatatan-catatan
Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberadaan hukum adat dalam arti
berlakunya dalam kehidupan masyarakat aturanaturan yang bersifat ‗non-statutair‘,
adalah apabila dalam kehidupan sehari-hari benar-benar dirasakan sebagai norma-
norma kehidupan (uger-ugeran) yang menjiwai dalam hubungan antar sesama
sebagai pernyataan rasa keadilan terutama dalam hubungan pamrih, keberadaan
sanksi lebih terkait dengan penegakannya. Sanksi dalam hal ini tidak seharusnya
dalam bentuk konkrit (tegas) tetapi bisa juga dalam bentuk sanksi moral.

B.7.4. Penguatan Hukum Adat, HAM, dan Pluralisme


Masyarakat adat telah menjadi salah satu pihak yang paling banyak dirugikan
oleh kebijakan-kebijakan pembangunan selama tiga dekade ini. Walaupun
masyarakat adat merupakan elemen terbesar dalam struktur negara-bangsa
(nation-state) Indonesia, dalam pembuatan kebijakan nasional eksistensi
komunitas-komunitas adat ini belum terakomodasi, atau bahkan secara
sistematis disingkirkan dari agenda politik nasional. Perlakuan tidak adil ini bisa
dilihat secara gamblang dari pengkategorian dan pendefinisian sepihak
terhadap masyarakat adat sebagai "masyarakat terasing", "peladang
berpindah", "masyarakat rentan", "perambah hutan", "masyarakat primitif", dan
sebagainya. Pengkategorian dan pendefinisian semacam itu membawa
implikasi pada percepatan penghancuran sistem dan pola masyarakat adat.
Dalam konvensi ILO No.169 tahun 1986 menyatakan bahwa: "Bangsa, suku,
dan masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah
dengan masyarakat sebelum masa invasi dan penjajahan, yang berkembang
di daerah mereka, menganggap diri mereka beda dengan komunitas lain yang
sekarang berada di daerah mereka atau bukan bagian dari komunitas tersebut.
Mereka bukan merupakan bagian yang dominan dari masyarakat dan bertekad
untuk memelihara, me-ngembangkan, dan mewariskan daerah leluhur dan
identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya; sebagai dasar bagi
kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu suku, sesuai dengan pola
budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka. Selama ini para perencana
dan pelaksana pembangunan di Indonesia menganggap nilai-nilai budaya adat
sebagai keterbelakangan. Bertolak dari anggapan tersebut, berkembanglah
sebuah pemahaman mengenai pentingnya dilakukan perubahan sosial-
budaya.

Perubahan yang dimaksud adalah pencabutan nilainilai tradisional yang


kemudian digantikan dengan nilai-nilai lain, dalam hal ini "nilai-nilai modern
(barat)", agar pembangunan dapat mencapai tujuan utamanya kesejahteraan
masyarakat. Pencabutan nilai-nilai tradisional itu dilakukan melalui berbagai
produk peraturan, perundang-undangan, dan kebijakan lainnya. Produkproduk
hukum itu bersifat sentralistik dan seragam.
Misalnya Undang-Undang No.5 Tahun 1979, mengubah sistem wilayah kekuasaan
dan kekayaan adat menjadi bentuk pemerintahan desa. Aturan tersebut menjadi awal
disfungsinya pemerintahan adat. Disfungsi itu kemudian menyebabkan "memisahkan
tokoh" di kalangan masyarakat adat. Kepala desa menjadi penguasa tunggal yang
memperhatikan kepentingan pemerintah di atasnya. Ia bertindak berdasarkan otoritas
legal formal.

Di pihak lain ada kepala adat yang merupakan penguasa wilayah persekutuan
masyarakat adat yang memerintah berdasarkan otoritas informal yang diberikan
masyarakat. Buntut dari dualisme kepemimpinan ini adalah dengan tersingkirnya
kepala adat dari sistem pemerintahan desa. Kepala adat dipercaya untuk mengatur
pelaksanaan upacara adat. Upacara adat yang dipercayakan pelaksanaannya kepada
ketua adat itu bukan merupakan bukti penghormatan dari masyarakat adat, melainkan
untuk kepentingan komoditi pariwisata semata. Oleh karena proses marjinalisasi adat
itu berkaitan dengan faktor-faktor struktural. Dengan menghapus marjinalisasi
menjadi demokratisasi dan menggantikan sentralisasi menjadi desentralisasi.

C. Hukum Barat

C.1. Sejarah Hukum Barat

Sistim hukum Barat (Belanda/Eropa) di Indonesia berakar pada tradisi Indo-Jerman


da Romawi Kristiani yang juga telah dipengaruhi oleh filsafat positivisme hukum.
Sistim hukum Barat tersebut dibawa dan diperkenalkan pada masa VOC (1602 –
1799) yang kemudian diteruskan pada masa penjajahan kolonial Belanda hingga
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

Hak istimewa yang diberikan Kerajaan Belanda kepada VOC pada waktu itu adalah
hak octrooi, yaitu hak yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan,
mengumumkan perag, mengadakan perdamaian, dan mencetak uang. Dengan hak
octrooi tersebut, VOC menerapkan aturan-aturan yang dibawa dari Belanda kepada
penduduk pribumi di negeri jajahannya. Gubernur Jenderal diberi wewenang untuk
membuat peraturan guna menyelesaikan masalah dalam lingkungan pegawai-
pegawai VOC, serta wewenang untuk memutuskan perkara perdata maupun pidana.
Kumpulan peraturan-peraturan yang diterapkan oleh VOC dikenal sebagai Statuta
Batavia, yang pertama kali dibukukan pada tahun 1642 dan secara berkala Statuta
Batavia diperbaharui. Statuta Batavia tersebut bukanlah kodifikasi hukum karena
peraturanperaturan yang ada di dalam statute Batavia tersebut tidak disusun secara
sistematik.

Hingga pada akhir masa VOC, yaitu pada tanggal 31 Desember 1799, tata hukum
yang berlaku terdiri atas aturan-aturan yang diciptakan oleh Gubernur Jenderal yang
berkuasa di daerah kekuasaan VOC serta aturan-aturan tidak tertulis yang berlaku
bagi orang-orang pribumi, yaitu hukum adatnya masing-masing (Hasim Purba,
Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Universitas Sumatera Utara, 2007). Kemudian
ditambahkan oleh Hasim Purba, bahwa setelah Kerajaan Belanda berhasil melakukan
kodifikasi hukum perdata pada tahun 1830 yang kemudian diundangkan pada tanggal
1 Oktober 1938, maka dibentukalah komisi kodifikasi hukum untuk wilayah jajahannya
pada tanggal 15 Agustus 1939 dan diundangkan diundangkan di daerah jajahan pada
tanggal 1 Mei 1948. Komisi tersebut berhasil membuat peraturan-peraturan yang akan
diterapkan di negara jajahannya, yaitu :

• Reglement op de Rechterlijke Organisatie (RO) atau peraturan organisasi


pengadilan (POP).

• Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB) atau ketentuan-ketentuan umum tentang


perundang-undangan.

• Burgerlijk Wetboek (BW) atau kitab undang-undang hukum perdata (KUHPerdata).


Berjalannya waktu seiring terjadinya perubahan di Kerajaan Belanda dari semula
berbentuk Mornarki Konstusional menjadi Monarki Konstitusional Parlementer,
diterbitkan peraturan baru untuk mengatur pemerintahan daerah jajahan di Nusantara,
yaitu Regerings Reglement (semacam Undang-Undang Dasar Pemerintah Jajahan
Belanda).

Pada tanggal 1 Januari 1926, dilakukan addendum terhadap Regerings Reglement,


dengan beberapa perubahan antara lain perubahan penggolangan penduduk dari
semula dua golongan menjadi tiga golongan pada pasal 75 RR, yaitu golongan Eropa,
golongan Timur Asing, dan golongan Pribumi. Pada masa berlakunya Regerings
Reglement, diundangkan beberapa peraturan perundangundangan, yaitu :

• Hukum yang berlaku pada penduduk golongan Eropa sebagaimana ditentukan


dalam pasal 131 Indische Staatsregeling (IS) adalah hukum perdata, hukum pidana
material, dan hukum acara.

• Hukum perdata yang berlaku bagi golongan Eropa adalah Burgerlijk Wetboek (BW)
dan Wetbeok van Koophandel (WvK) yang diundangkan berlakunya tanggal 1 Mei
1946, dengan asas konkordasi.

• Hukum pidana material yang berlaku bagi golongan Eropa adalah Wetboek van
Strafrecht (WvS) yang diundangkan berlakunya pada tanggal 1 Januari 1948.

• Hukum acara yang yang digunakan dalam proses peradilan bagi golongan Eropa
adalah Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering yang berlaku di daerah Pulau
Jawa dan Pulau Madura. Peradilan di luar Pulau Jawa dan Pulau Madura diatur dalam
Rechts Reglement Buitengewesten untuk daerah masing-masing.

• Hukum yang berlaku bagi golongan pribumi adalah hukum adat dalam bentuk tidak
tertulis, tetapi jika dikehendaki lain, pemerintahan kolonial Belanda dapat mengganti
hukum adat dengan menggunakan ordonansi (pasal 131 ayat 6 IS). Selanjutnya,
untuk mengatur segala hal yang belum ada ketetapannya, pemerintahan kolonial
Belanda mengeluarkan ordonansi sesuai dengan kebutuhan pada masa itu. Selama
masa penjajahan Jepang, daerah Hindia Belanda dibagi dua, yaitu Indonesia Timur di
bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang yang berkedudukan di Makassar, dan
Indonesia Barat di bawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang yang berkedudukan di
Jakarta.

Peraturan-peraturan yang dibunakan untuk mengatur pemerintahan di wilayah Hindia


Belanda dibuat dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei. Dengan kondisi
darurat saat itu, pemerintah penjajah Jepang menerbitkan Osamu Seirei No. 1 tahun
1942 yang menentukan bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya,
hukum dan undangundang dari pemerintahan yang dulu tetap diakui dan sah untuk
sementara waktu, asal tidak bertentangan dengan peraturan pemerintahan militer.

C.2. Hukum Barat Setelah Kemerdekaan

Peraturan perundang-undangan yang diberlakukan semasa penjajahan, baik


penjajahan Belanda maupun penjajahan Jepang tetap diberlakukan setelah Indonesia
merdeka, yang didasarkan pada pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Hal ini dilakukan
untuk menghindari terjadinya kekosongan peraturan setelah Indonesia merdeka.

Namun demikian, sepanjang Indonesia merdeka, terjadi dua kali perubahan system
kenegaraan, yaitu dari Republik Indonesia (RI) selama periode 17 Agustus 1945
sampai dengan 26 Desember 1949, Republik Indonesia Serikat selama periode 27
Desember 1949 sampai dengan 16 Agustus 1950, Republik Indonesia (RI) dengan
system parlementer selama periode 17 Agustus 1950 sampai dengan 4 Juli 1959),
dan kembali ke model pertama setelah proklamasi kemerdekaan melalui Dekrit
Presiden tanggal 5 Juli 1959.

Peraturan perundang-undangan selama pergantian model-model pemerintahan tidak


mengalami perubahan dramatis, hanya ada penambahan-penambahan pada masing-
masing periode yang dimaksud.

Dengan demikian maka dapat dilihat bahwa dalam politik hukum Indonesia dari masa
ke masa, keberlakuannya peraturan perundang-undangan masih memiliki kesamaan
sepanjang waktu, dengan perbedaan hanya pada titik berat mana yang ingin
disesuaikan oleh para penguasa, mulai dari VOC, pemerintahan kolonial Belanda,
pemerintahan bala tantara Jepang, Republik Indonesia, maupun Republik Indonesia
Serikat.

C.3. Bentuk Hukum Barat

Hukum Barat yang diterapkan di Indonesia adalah yang berasal dari Kerajaan Belanda
yangvmerupakan system hukum Eropa Kontinental, sering juga disebut Civil Law.
Awalnya berasal dari kodifikasi hukum di zaman kekaisaran Romawi pada masa
pemerintahan Kaisar Yustianus.Prinsip utama system hukum Eropa Kontinental
adalah bahwa hukum memperoleh kekuasaan mengikat karena berupa peraturan
yang berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi.
Bahwa keputusan hakim hanya mengikat kepada para pihak saja, tidak mengikat
umum, karena hakim tidak bebas dalam menciptakan hukum baru, karena segala
sesuatunya telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Hukum Eropa
Kontinental sangat dipengaruhi oleh aliran Legisme, yaitu aliran yang mengutamakan
penerapan hukum dengan segala konsekuensinya harus dalam bentuk tertulis,
sehingga di dalam Hukum Eropa Kontinental, seluruh peraturan-peraturan dikodifikasi
dandiundangkan dan menjadi aturan baku dan konkrit di kehidupan masyarakat
dengan normanorma yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh masyarakat.

Bentuk-bentuk hukum barat yang diterapkan di wilayah Nusantara yang dikutip dari

Herlambang Perdana Wiratraman, 2008, adalah sebagai berikut :

• Grondwet 1848 dan Regeringsregellment 1854 sebagai dua produk yang


konstitusional mempengaruhi system hukum di Hindia Belanda.

• Kebijakan liberalism seiring dengan masuknya VOC

• Politik elit pemerintahan (1980)

Jenis-jenis peraturan yang diterapkan di wilayah Nusantara pada masa penjajahan


kolonial Belanda, adalah sebagai berikut :

• Wet, dibentuk oleh Regering dan Staten General.

• Algemene Maatregaal van Bestuur (AMvB), dibentuk oleh Kroon dan Menteri.

• Ordonantie, dibentuk oleh Gubernur Jenderal dan Volksraad (dewan rakyat).

• Regeringsverordering (Rv), dibentuk oleh Gubernur Jenderal.

Sementara itu, asas-asas umum yang digunakan dalam pembentukan peraturan


perundangundangan, berdasarkan pasal 131 Indische Staatsregeling tahun 1925
(modifikasi dari pasal 75 Regelings Reglement tahun 1854) adalah sebagai berikut :

• Hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, dan hukum acara harus diatur
dengan ordonansi.

• Terhadap orang Eropa harus berdasarkan konkordansi.

• Terhadap orang Timur Asing dan Pribumi dapat diberlakukan hukum barat manakala
dirasakan diperlukan.

Bentuk hukum barat yang telah diundangkan sebagai peninggalan penjajahan


Belanda di Indonesia adalah sebagai berikut :
• Wetboek van Strafrecth (WvS), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

• Burerlijk Wetboek, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

• Wetboek van Koohandel (WvK), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

• Herzien Inlandsch Reglement (HIR) diperbaharui menjadi Reglemen Indonesia yang


Diperbaharui (RIB) dan Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBG), Kita
UndangUndang Hukum Acara Perdata.

• Het Herziene Inlandsch Reglement, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

C.4. Tujuan Hukum Barat

Stabilitas hubungan dalam masyarakat dapat dicapai dengan adanya peraturan


hukum yang bersifat mengatur dan aturan-aturan hukum yang bersifat memaksa
setiap anggota masyarakat agar taat dan mematuhi hukum. Jadi secara umum tujuan
hukum barat adalah untuk menjamin adanya peastian hukum dalam masyarakat yang
bersendikan kepada keadilan dan serta berguna bagi masyarakat.

C.5. Sumber Hukum Barat

Sumber-sumber hukum barat terbagi menjadi dua jenis, yaitu sumber materiil yang
berpengaruh terhadap penentuan isi hukum dan sumber formil yang merupakan
penentuan terhadap berlakunya hukum secara formal. Sumber-sumber hukum
materiil dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, antara lain :

• Sudut pandang ekonomi

• Sudut pandang sejarah

• Sudut pandang sosiologi

• Sudut pandang filsafal,

• Sudut pandang yang lainnya

Sumber-sumber hukum formil dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, antara lain
:

• Undang-undang

• Kebiasaan

• Yurisprudensi

• Traktat
• Perjanjian

• Doktrin

BAB III

KESIMPULAN

Sistem Hukum Islam, Sistem Hukum Adat, dan Sistem Hukum Barat dalam Perspektif
Filsafat Hukum, Indonesia telah mengadopsi civil law system, prinsip utama sistem
hukum ini adalah mempositifkan hukum dalam bentuk tertulis atau dituangkan dalam
bentuk undang-undang (prinsip legisme), dan hukum yang tidak tertulis tidak diakui
sebagai hukum begitu juga peraturan-peraturan yang dibuat selain oleh negara juga
tidak disebut sebgai hukum akan tetapi sebgai moral masyarakat, hal ini sebagaimana
teori yang dikemukakan oleh John Austin (1790-1859).

Civil law system ini memiliki kelemahan karena sifatnya yang tertulis akan menjadi
tidak fleksibel, kaku dan statis. Penulisan adalah pembatasan dan pembatasan atas
suatu hal yang sifatnya abstrak atau pembatasan dalam kontek materi dan dinamis
atau pembatasan dalam kontek waktu, oleh karena itu value consciousness
masyarkat ke dalam undang-undang secara logis akan membawa suatu
ketertinggalan substansi undang-undang, di samping itu banyak peraturan
perundang-undangan ba- Sistem Hukum Barat, Sistem Hukum Adat, dan Sistem
Hukum Islam yang diodopsi ke Indonesia dan diberlakukan di Indonesia, misalkan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang, Hukum
Perdata (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), dengan demikian
fenomena legal gab (keterpisahan nilai-nilai masyarakat Indonesia dengan nilai-nilai
peraturan perundang-undangan) merupakan persoalan yang mendasar dan
substansif hukum Indonesia akan selalu menjadi konsekuensi lanjutan yang sulit
untuk dihindari, sehingga tidak ada keterkaitan erat dengan jiwa bangsa Indonesia
yang diaturnya, mestinya yang menjadi Civil law system dalam proses legislasi tidak
dapat dihindarai dari proses pergulatan berbagai kepentingan politik, ekonomi, soisial
budaya dan lain sebagainya, sehingga civil law system adalah undang-undang yang
penuh berbagai nilai-nilai kepentingan, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Critical
Legal Study

Movement (CLSM), misalkan tokohnya Roberto Mangabera Unger, bahkan civil law
system menurut Antonio Gramsci sebagai media kaum kapitalisme dan kaum politik
liberal dengan cara memasukkan kepentingan-kepentingan dalam peraturan
perundang-undangan untuk mencapai tujuan-tujuan kapital dan kedudukan, sehingga
civil law system disebut juga sebagai hukum liberal kapitalism. Hal ini juga
menunjukkan ketidak konsekuensi teori hukum murni yang dikemukakan oleh tokoh
positivisme, Hans Kelsen(1881-1973) yang menyatakan,” hukum harus dibersihkan
dari anasir-anasir yang non yuridis, misalkan unsur sosiologis, politis, historis bahkan
unsur etis).

Civil law system ini mengikuti filsafat positivisme hukum yang menyatakan bahwa
tujuan utama hukum adalah kepastian hukum bukan keadilan dan atau kemanfaatan,
karena filsafat positivisme mengutamakan hal-hal yang sifatnya jelas dan pasti (positif)
di atas segalanya dengan beragomentasi bahwa hanya “Membangun Perdaban Islam
Belajar dari Sejarah Peradaban Barat”, suatu yang bersifat pasti saja yang dapat
dijadikan ukuran kebenaran,

Dengan demikian, maka dalam kultur civil law system hukum identik dengan undang-
undang, sumber hukum adalah un-dangundang, nilai-nilai bersumber dari un dang-
undang, oleh karena itu civil law system tidak mengakui hukum-hukum dan nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat.

Civil law system memberikan konsekuensi para hakim untuk menegakkan hukum
sebagaimana yang sudah ada dalam undang-undang hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Montesquieu (1689-1755), dan mendapat dukungan dari aliran
legisme atau aliran kodifikasi hukum, bahwa undang-undang sudah lengkap, tidak
perlu mencari hukum di luar undang-undang. Oleh karena itu menurut van Apeldoorn
hakim hanyalah sebagai corong undang-undang, hakim bagaikan mesin tanpa akal
dan tanpa hati nurani, fungsi hakim yang sedemikian rupa juga mendapat kritik dari
aliran hukum bebas dengan didasarkan pada teori hukum kodrat (manusia punya akal
dan hati nurani) dan teori sosiologi hukum (dimana ada masyarakat di situ ada hukum,
hukum yang ada dalam Masyarakat jumlahnya lebih banyak daripda hukum yang
ditulis dan dikodifikasikan). Sistem Hukum Adat Hukum adat adalah sistem hukum
yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia
lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan
hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan
kesadaran hukum masyarakatnya. Peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh
kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.
Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani
dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan
hidup sejahtera.

Daftar Pustaka

Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Islam di Indonesia dari Masa ke Masa (Unisia No. 16
Tahun XIII Triwulan V/1992).

Ma’u, Dahlia Haliah, Eksistensi Hukum Islam di Indonesia, Analisis Kontribusi dan
Pembaruan Hukum Islam Pra dan Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia, Jurnal
Ilmiah Al—Syir’ah Vol. 15 No. 1 Tahun 2017.
Purba, Hasim, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Fakultas Hukum, Universitas
Sumatera Utara, 2007.

Ragawino, Bewa, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia, Universitas


Padjajajaran, 2008.

Rohidin, Pengantar Hukum Islam, dari Semenanjung Arabia hingga Indonesia,


Catakan Pertama, Lintang Rasi Aksara Books, 2016.

Warjiyati, Sri, Ilmu Hukum Adat, Panduan Advokasi (Bagi Para Legal),

Wiratraman, Herlambang Perdana, Sejarah Perkembangan Peraturan Perundang-


Undangan di Indonesia, Fakultas Hukum Tata Negara, Universitas Airlangga, 2008

Anda mungkin juga menyukai