Disusun Oleh :
2022060001 - MOH ALIFUDDIN
2022060046 - MUSLIMIN M
2022060023 - BAHRUN
2022060022 - HENNY S
BAB I................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN............................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................3
BAB II……………………………………………………………………………………….……..3
PEMBAHASAN……………………………………………………………………..…………….4
A.3.a.Hukum Perdata………………………………………………………………..….…….…7
A.3.b.Hukum Publik………………………………………………………………………..…….7
BAB III…………………………………………………………………………………………….28
KESIMPULAN...................................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………..29
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Islam pertama kali masuk ke Nusantara melalui perdagangan. Para pedagang
Arab dan Persia yang menganut ajaran Islam melewati selat malaka yang merupakan
jalur utama perdagangan dan singgah di bagian paling utara dari pulau Sumatera.
Para pedagang Arab yang singgah ini tidak hanya berdagang tetapi sebagian dari
mereka juga merupakan mubalig yang menyebarkan agama Islam melalui dakwah.
Ketika para pedagang Arab menetap di bagian utara pulau Sumatera mereka
membentuk komunitas muslim yang akhirnya lama kelamaan berkembang menjadi
besar dan akhirnya berdirilah kerajaan kerajaan Islam di Aceh, seperti kerajaan
Samudera Pasai di Aceh Utara yang merupakan kerajaan Islam di Tertua di Indonesia,
Kerajaan Aceh Darussalam yang merupakan kerajaan Islam terbesar di Nusantara.
Dengan masuknya Islam di Nusantara, dikenal lah yang namanya teori syahadat yaitu
ketika seseorang telah mengucapkan dua kalimat syahadat maka konskuensinya ia
harus menaati hukum islam. Hukum Islam pun menjadi hukum positif di tiap tiap
wilayah milik kerajaan Islam di Nusantara. Salah satu pakar hukum islam ada di
kerajaan Samudera Pasai, pakar hukum islam yang berada di kerajaan Samudera
Pasai adalah pakar hukum islam bermazhab syafi’i. Sehingga banyak pakar hukum
Islam dari kerajaan Malaka Malaysia yang bertandang ke kerajaan Samudera Pasai
untuk meminta putusan hukum Islam.
Diluar Aceh seperti di Jawa Kerajaan Mataram Islam sudah memiliki pengadilan
Serambi Masjid Agung yang bertugas untuk memutuskan perkara pidana dan perdata
hukum islam.
Hukum Islam menjadi hukum yang kuat dan berkembang pesat pada era kerajaan
Islam di Nusantara. Salah satu bukti penerapan hukum Islam di Indonesia pada era
kerajaan ialah adanya literatur fikih yang ditulis oleh para ulama Nusantara pada abad
ke- 16 Masehi. Contoh literatur fikih yang dimaksud ialah Sirathal Mustaqim karya
Nuruddin Arraniri, Sabillah Mustabin karya Arsyad al-Banjari, dan Undang Undang
yang dibentuk oleh Sultan Adam dari Kesultanan Banjar dimana Undang Undang ini
mengatur tentang hukum Islam.
Hukum adat karena sifatnya yang tidak tertulis, majemuk antara lingkungan
masyarakat satu dengan lainnya, maka perlu dikaji perkembangannya. Ada banyak
istilah yang dipakai untuk menamai hukum lokal: hukum tradisional, hukum adat,
hukum asli, hukum rakyat, dan khusus di Indonesia ± hukum perkembangannya
hukum adat dalam masyarakat tergantung kesadaran, paradigma hukum, politik
hukum dan pemahaman para pengembannya- politisi, hakim, pengacara, birokrat dan
masyarakat itu sendiri. Hukum adat dan berlakunya tergantung kepada dan berada
dalam masyarakat. Bagi penganut Paham Etatis, yang mengklaim negara sebagai
satu-satunya secara sentral sebagai sumber produksi hukum, maka di luar negara
tidak diakui adanya hukum. Paham Etatisme berujud sentralisme hukum, dipengaruhi
positivisme hukum dan teori hukum murni, maka secara struktural dan sistimatik wujud
hukum adalah bersumber dan produksi dari negara secara terpusat termasuk organ
negara di bawahnya. Paham sentralisme hukum ini menempatkan posisi hukum adat
tidak memperoleh tempat yang memadahi. Etatis hukum timbul yang didasarkan pada
teori modernitas yang memisahkan dan menarik garis tegas antara zaman modern
dan zaman pra modern. Zaman modern ditandai adanya sistem hukum nasional, sejak
timbulnya secara nasional, sebagai kesatuan yang berlaku dalam seluruh
teritorialnya. Paham ini timbul dari warisan revolusi kaum borjuis dan hegemoni liberal-
karena kuatnya liberalisme, sehingga tumbuh apa yang disebut sentralisme hukum
(legal centralism), dimaknai hukum sebagai hukum
B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
Ibnu Batutah, pengembara Arab asal Maroko pada tahun 1345 Masehi singgah di
Samudera Pasai, dan sempat bertemu dengan Sultan Al-Malik Al-Zahir, dan
melaporkan bahwa Sultan sangat mahir dalam Fiqih Mazhab Syafi’i. Menurut Hamka
dalam Ahmad Azhar Basyir, disinilah Fiqih Mazhab Syafi’I kemudian merata di seluruh
wilayah Nusantara. Hukum Islam merupakan hukum resmi kerajaan-kerajaan Islam.
Dalam Statute Batavia tahun 1742 disebutkan bahwa dalam hukum kewarisan bagi
bangsa Indonesia tetap diberlakukan hukum kewarisan Islam.
Untuk melegakan perasaan umat Islam, pada tahun 1760 diterbitkan Compendium
Freijer yang menghimpun hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam yang
diberlakukan di pengadilan-pengadilan untuk menyelesaikan sengketa di kalangan
umat Islam. Terbit pula Kitab Mugharrer untuk Pengadilan Negeri Semarang yang
memuat hukum-hukum Jawa, yang mencerminkan hukum Islam. Terbit pula Kitab
Pepakem Cirebon yang berisi kumpulan hukum-hukum Jawa yang tua-tua.
Dibuat pula peraturan untuk daerah Bone dan Goa atas prakarsa BJ. Clootwijk.
Demikian keadaan hukum Islam pada masa VOC yang berlangsung sejak tahun 1602
sampai dengan tahun 1800.
Tetapi setelah Inggris tidak menjajah lagi, berdasarkan konvensi London tahun 1814,
Inggris menyerahkan kembali daerah jajahan kekuasaannya kepada Belanda, oleh
pemerintah kolonial Belanda dikeluarkan peraturan perundang-undangan tentang
kebijaksanaan pemerintah, susunan pengadilan, pertanian, dan perdagangan di
wilayah jajahannya di Asia. Hukum Islam mulai mengalami pergeseran dalam tata
hukum Hindia Belanda yang sangat
merugikan eksistensi hukum Islam. Akhirnya pada tahun 1882 dibentuklah Pengadilan
Agama yang bertempat di Pengadilan Negeri. Wewenang Pengadilan Agama
mencakup hukum-hukum perkawinan dan kewarisan berdasarkan hukum Islam.
Pada tahun 1929 diterapkan Indische Staatsregeling (IS) yang timbul melalui teori
resepsi (theorie receptie). Penerapan Indische Staatsregeling (IS) memunculkan
hukum adat sebagai hukum yang dominan dianut bangsa Indonesia yang tujuannya
mengurangi pengaruh hukum Islam.
Setelah kemerdekaan, walaupun pada UUD 1945 terdapat Aturan Peralihan pasal II,
tetapi dengan sendirinya Indische Staatsregeling (IS) tidak digunakan lagi, sehingga
hukum agama kembali memperoleh legalitas secara konstitusional yuridis. Dalam
berbagai macam peraturan perundang-undangan Hukum Islam benar-benar telah
memperoleh tempat yang wajar secara konstitusional yuridis, yang didukung dengan
terbitnya peraturan-peraturan yang sangat mendukung Hukum Islam, antara lain :
f. Dalam dunia Pendidikan Hukum Islam menjadi mata kuliah tersendiri sejak tahun
1968 dan setara dengan kuliah ilmu hukum yang lain.
Al-Quran dan literatur Hukum Islam tidak menyebtukan kata hukum Islam sebagai
salah satu istilah, yang ada di dalam al-Quran adalah kata Syari’ah, fiqh, hukum Allah,
dan yang seakar dengannya (Rohidin, Pengantar Hukum Islam, dari Semenanjung
Arabia hingga Indonesia, Catakan Pertama, Lintang Rasi Aksara Books, 2016).
Dikutip dari Dahlia Haliah Ma’u (Eksistensi Hukum Islam di Indonesia, Analisis
Kontribusi dan Pembaruan Hukum Islam Pra dan Pasca Kemerdekaan Republik
Indonesia, Jurnal Ilmiah Al Syir’ah Vol. 15 No. 1 Tahun 2017), bahwa hukum Islam
yang berlaku di Indonesia dapat dipilah menjadi dua, yaitu :
• Hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis (hukum Islam yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia lainnya dan benda yang disebut hukum
muamalat (perdata).
• Hukum Islam yang bersifat normatif yang mempunyai sanksi atau padanan
kemasyarakatan. Ini dapat berupa ibadah murni atau hukum pidana.
Kodifikasi hukum Islam telah ada sejak zaman penjajahan Belanda, tetapi status
hukumnya masih di bawah dominasi hukum adat, akibat dari pengaruh teori recepie
pada masa itu. Produk hukum Islam pada masa pemerintahan Belanda telah ada
yakni mengatur Peradilan
Agama serta materi hukumnya, tetapi peran hukum adat mendominasi aturan
tersebut. Sejalan dengan waktu, dengan munculnya teori eksistensi, yakni teori yang
menerangkan tentang adanya hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia.
Menurut teori tersebut, bentuk eksistensi (keberadaan) hukum Islam dalam hukum
nasional adalah :
• Hukum Islam bersifat mandiri, dalam arti kekuatan dan wibawanya diakui oleh hukum
nasional dan diberi status sebagai hukum nasional.
• Hukum Islam merupakan bahan dan unsur utama hukum nasional Indonesia.
• Wiratsat, mengatur segala masalah dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan,
serta pembagian warisan. Hukum waris Islam disebut juga hukum faraidh.
• Mu’amalah, dalam arti yang khusus, mengatur masalah kebendaan dan hak-hak
atas benda, tata hubungan manusia dalam masalah jual-beli, sewa-menyewa,
pinjammeminjam, perserikatan, kontrak, dan lain sebagainya.
• Siyar, mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama
lain dan negara lain.
Menurut Abdul Wahab Khallaf dalam Rohidin, Pengantar Hukum Islam, dari
Semenanjung Arabia hingga Indonesia (2016), sumber-sumber hukum Islam adalah
sebagai berikut :
• Al-Quran
• As-Sunnah
• Al-Ijma
• Al-Qiyas
A.6.1.Tantangan Internal
Hukum Islam yang ada sekarang, pada umumnya merupakan hasil ijtihad ulama
terdahulu, yaitu hasil ijtihad para ulama masa keemasan hukum Islam periode
keemasan yang sejak awal abad kedua sampai pertengahan abad keempat hijriyah.
Para ulama yang datang kemudian, sudah merasa puas dengan hasil ijtihad para
ulama terdahulu, mereka tidak membutuhkan lagi ijtihad baru, mereka cukup
menerapkan hasil ijtihad yang sudah ada.9 Bila dicermati secara seksama, secara
internal ada beberapa faktor yang menjadi tantangan hukum Islam di abad modern,
yaitu :
b. Hukum Islam umumnya tidak berlaku pada negara yang mayoritas berpenduduk
muslim Tidak berlakunya hukum Islam secara formal pada negara-negara yang
mayoritas Islam seperti Indonesia, merupakan suatu yang menarik diteliti, padahal
dalam ajaran Islam, terdapat penekanan untuk menerapkan hukum Islam bila
sedang memutuskan suatu perkara.
c. Belum munculnya kader mujtahid yang serius Belum munculnya kader mujtahid
yang serius, sebagai bukti masih adanya rasa enggan untuk berijtihad di kalangan
mujtahid, karena hampir semua persolaan fiqh yang muncul sudah dibahas oleh
ulama-ulama fiqh terdahulu melalui buku-buku fiqh yang diterbitkan. Di samping itu,
calon ulama dan ulama-ulama Islam lebih banyak tertarik pada wilayah politik
praktis, apalagi disinyalir wilayah ini cukup menjanjikan dalam hal profit. Sedangkan
wilayah fiqh, masih dianggap kering dan lemah dari sisi profit.
e. Dunia Islam masih menganggap rendah hukum dan sarjana hukum Islam
Pandangan dunia Islam yang masih menganggap rendah hukum dan sarjana hukum
Islam lebih disebabkan oleh kuatnya dominasi hukum Barat (orientalis) dalam dunia
Islam, sehingga timbul sikap remeh terhadap eksistensi hukum, sehingga
menjadikan sarjana hukum Islam merasa tidak memiliki percaya diri dan otoritas
yang penuh untuk melakukan ijtihad secara serius.
f. Pengunaan bahasa hukum Islam masih terkesan kuno, karena istilahistilah (term)
hukum umumnya sudah dimonopoli oleh hukum Barat, sehingga istilah-istilah hukum
Islam menjadi tersisihkan.
Ada dua real eksternal yang dihadapi hukum Islam dalam perjalanan sejarahnya
hingga saat ini. Pertama : Pandangan negatif dari sebagian orientasi tentang
eksistensi hukum Islam, dan kedua : munculnya berbagai masalah-masalah baru yang
membutuhkan ketetapan hukum yang cepat dan tepat. Ada sejumlah orientasi yang
mengkritisi hukum Islam karena ketakutannya. Diantara orientasi yang memberikan
kritikan itu adalah :
a. N.J. Coulson Dalam bukunya A History of Islamic Law, Coulson mengatakan : istilah
spesifik hukum diekspresikan sebagai kehendak Tuhan yang tidak dibatalkan.
Sebagai kebalikan dari sistem-sistem hukum yang didasarkan pada akal manusia.
Hukum Tuhan semacam ini memiliki dua karakteristik khusus yang utama. Pertama,
ia merupakan sistem kekal dan abadi, yang tidak mudah dimodifikasi dengan berbagi
otoritas legislatif. Kedua, karena berbagai perbedaan orang yang membentuk dunia
Islam,berbagi sistem hukum merupakan produk akan manusia yang didasarkan pada
situasi lokal dan kebutuhan-kebutuhan kelompok suatu masyarakat
tertentu.Selanjutnya dikatakan bahwa Yurisprudensi Islam hanya dapat berhasil
memecahkan masalah hukum dan masyarakat, jika bebas dari tujuan hukum agama
yang diekspresikan dalam pengertian totaliter. Dari pernyataan di atas, seolah-olah ia
mengatakan bahwa hukum Islam tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk mengatur
atau mengontrol masyarakat.
b. Kerr Menurut Kerr, hukum Islam bersifat idealitas dan terhindar dari kembali orang-
orang Islam modern dalam teori klasik tentang khalifah dan usaha untuk menemukan
di dalamnya dasar-dasar bagi lembagalembaga demokrasi,Kedaulatan yang bersifat
umum dan lain-lain, tidak hanya dirangsang oleh pertemuan politik Timur dan Barat
beberapa abad yang lalu, tetapi juga didorong oleh publikasi orientalis. Kelihatannya
ia menemukan kekeliruan pada semangat para ahli hukum yang idealis, dimana
perhatian utama mereka dalam menafsirkan hukum Islam adalah untuk
mempertahankan bentuk ideal menghindari metodemetode yang mengubah
kehendak nilai-nilai yang diwahyukan. Baik Cuolson maupun Kerr adalah penganut
positivisme. Secara prinsip mereka concern pada kepentingan materiil masyarakat
dan menganggap hukum Islam adalah suatu yang bersifat agamis, dan bukan hukum
dalam pengertian modern.
c. Jhon Shamson Dalam bukunya, Encountring Islamic Law, sebagaimana dikutip oleh
Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and The Orientalis. Delhi; Makazi
Maktaha Islam 1995,Tantangan Hukum Islam Di Abad Modern (Ahmad Munir)
sebagai sebuah sistem hukum yang tidak sempurna secara mendasar. Bidang kritik
telah berubah dari mempertahankan pemerintahan kolonial selama masa
imperialisme kepada dakwaan kontemporer atas hak-hak asasi manusia, demokrasi
dan pluralisme. Permasalahan dengan kritik ini ialah bahwa ia memantulkan
hubungan kekuatan antara Eropa (Amerika Serikat) dan dunia Islam. Argumen yang
mengatakan hukum Islam itu tidak sempurna menyegarkan persepsi bahwa Eropa itu
lengkap. Sebagai akibatnya, keterkaitan tulus dengan hukum Islam menjadi
problematik, karena setiap orang yang mencoba ke arah itu ditarik ke dalam bidang
peraturan orientalis. Permasalahan sekarang bagi peneliti Islam tidak hanya mengkaji
ulang kajian Barat terhadap Islam, tetapi juga mengkaji Barat itu sendiri yang telah
mendominasi peradaban dunia dan melahirkan berbagai masalah di dunia Islam.
Pandangan orientalis di atas, berangkat dari pendekatan yang keliru terhadap hukum
Islam. Mereka tidak memahami bahwa sumber rujukan utama telah menegaskan
bahwa Allah SWT telah memberikan isyarat dengan jelas menyangkut keharusan
tegaknya supremasi hukum di muka bumi ini, sebagaimana dinyatakan dalam :
Meskipun demikian bukanlah berarti bahwa pandangan orientalis itu sama sekali tidak
ada positifnya. Minimal munculnya pandangan-pandangan tersebut, akan meransang
dan memotivasi cendekiawan muslim khususnya ahli hukum Islam untuk lebih intens
mengkaji secara mendalam dan filosofis tentang hukum Islam, serta senantiasa
berusaha dan memperbaharui pemikirannya sesuai dengan tuntutan kemajuan
zaman. Bila hal tersebut tidak dilakukan maka tidak heran jika orientalis akan
memahami kandungan kandungan islam di dunia Barat lebih komprehensif dan
memiliki metodologi dan pendekatan yang lebih modern.
Tantangan hukum Islam eksternal yang lain adalah munculnya berbagai macam
persoalan-persoalan baru di abad modern ini sebagai konsekuensi dari
perkembangan peradaban manusia, yang menuntut jawaban dan ketetapan hukum
dengan segera, misalnya munculnya fenomena cybersex yang kini sedang melanda
dunia, praktik cloning atau masalah beredarnya pil penghancur janin (aborsi) merek
RU-486, yang baru-baru ini disahkan pemakaiannya oleh pemerintah Amerika Serikat,
yang katanya telah melalui perdebatan selama 12 tahun. Pemakaian pil aborsi
tersebut akan memudahkan proses aborsi, tanpa harus ditangani oleh dokter atau
dukun.
Menurut Faruq, kebangkitan hukum Islam bukanlah sekedar kebutuhan sejarah, tetapi
justru kebutuhan hukum Islam itu sendiri.16 Untuk menjawab berbagai persoalan
yang muncul dalam masyarakat modern, sedikit ada lima faktor yang dapat menjadi
pedoman :
Di samping kemajuan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, kondisi alam hingga
faktor-faktor tradisional, ada banyak faktor lain turut mempengaruhi perkembangan
hukum adat di Indonesia. Dikutip dari Pengantar Hukum Indonesia oleh Rahman
Syamsuddin, berikut faktor-faktornya:
Peraturan adat istiadat sudah terdapat sejak zaman kuno, yaitu zaman pra-Hindu,
menurut para ahli berakar dari adat-adat Melayu Polinesia. Selanjutnya peraturan adat
istiadat tersebut secara berturut-turut dipengaruhi dengan masuknya agama Hindu,
Budha, Islam, dan Kristen. Beberapa contoh hukum adat yang dapat ditemukan
adalah sebagai berikut :
• Kitab Civacasana, masa kerajaaan Dharmawangsa, pada zaman Hindu tahun 1000.
• Kitab Gajah Mada dan Kitab Adigama, masa kerajaan Majapahit, tahun 1331.
Hukum adat yang kini hidup di tengah-tengah masyarakat merupakan hasil akulturasi
antara adat istiadat (peraturan-peraturan) zaman pra-Hindu dengan peraturan-
peraturan hidup yang dibawa oleh pengaruh Hindu, Budha, Islam, dan Krsiten (Bewa
Ragawino, Pengantar dan AsasAsas Hukum Adat Indonesia, Universitas
Padjajajaran, 2008). Setelah terjadinya akulturasi, maka hukum adat atau hukum
pribumi dapat dibagi menjadi
dua, yaitu :
• Hukum tidak tertulis (jus non scriptum), merupakan hukum asli penduduk.
Istilah hukum adat pertama kali diperkenalkan oleh Christian Snouck Hurgronye dalam
bukunya “De Acheers” (1893), namun sebenarnya jauh sebelumnya, pada peraturan
Ditinjau secara yuridis, penerapan hukum adat di zaman kolonial Belanda dilakukan
berdasarkan Regeringsregelement 75 yang kemudian diundangkan dalam Staatblad
No. 415 tahun 1925 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1926. Staatblad No.
415 tahun 1925 tersebut merupakan pengganti Staatblad No. 2 tahun 1855. Sejak
tahun 1929 pemerintahan kolonial Belanda secara resmi mulai menggunakan hukum
adat di dalam peraturan perundang-undangannya. Mulai digunakannya istilah hukum
adat antara lain dapat dilihat di dalam Indische Staats Regeling 1929 pasal 134 ayat
2 ; “Dalam hal timbul perkara hukum perdata antara orang-orang muslim dan hukum
adat mereka memingta penyelesaiannya maka penyelesaian perkara tersebut
diselenggarakan oleh hakim agama kecuali ordonansi telah menetapkan sesuatu
yang lain”.
Hukum adat sebagai perwujudan nilai-nilai kearifan lokal yang terbentuk dari
keunggulankeunggulan budaya setempat yang merupakan produk budaya masa lalu
yang patut dan secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup, dan tubuh serta terus
berkembang.
Bentuk ukum adat akan berhubungan erat dengan tata susunan rakyat Indonesia,
dimana keberlakuan hukum adat ada di dalam perserikatan hukum atau perkumpulan
antar manusia yang mempunyai anggota-anggota yang merasa mempunyai
keterikatan antara anggota yang satu dengan anggota yang lainnya dalam satu
kesatuan yang penuh solidaritas, dimana dalam anggota-anggota tertentu berkuasa
untuk bertindak atas nama mewakili kesatuan guna mencapai tujuan dan kepentingan
bersama. Bentuk hukum adat secara umum bila disistematiskan seperti dalam tata
hukum Indonesia, maka akan tergambarkan bidang ruang lingkup dalam arti luas,
yang terbagi atas tiga subsystem, yaitu :
B.3.a. Hukum adat mengenai tata negara, yaitu tatanan yang mengatur susunan dan
ketertiban dalam persekutuan-persekutuan hukum, serta susunan dan lingkungan
kerja alat-alat perlengkapan, jabatan-jabatan, dan pejabatnya.
• Hukum tanah
• Hukum perutangan
B.3.c. Hukum Adat mengenai delik (hukum pidana), yang sistemnya dijalankan oleh
para pemuka adat (pengetua-pengetua adat), karena ia adalah pimpinan yang
disegani masyarakatnya.
Sebagai aspek dari kebudayaan, hukum adat terwujud dari nilai-nilai kearifan lokal
yang dipercaya dan diyakini kebaikannya sehingga menjadi pedoman dalam
bertingkah laku dalam masyarakat dalam mewujudkan kehidupan masyarakat yang
tertib, aman, dan damai.
Sumber-sumber hukum adat yang dikutip dari Bewa Ragawino, Pengantar dan Asas-
Asas Hukum Adat Indonesia, Universitas Padjajaran, adalah sebagai berikut :
• Pepatah adat.
• Yurisprudensi adat.
• Hasil-hasil penelitian tentang hukum adat dan nilai-nilai yang tumbuh dan berlaku
dalam masyarakat. Sumber-sumber hukum adat tersebut memiliki coraknya masing-
masing maupun secara bersama-sama, yang dutip dari Sri Warjiyati, Ilmu Hukum
Adat, yaitu :
• Corak tradisional
• Corak keagamaan
• Corak Kebersamaan
Apakah hukum adat masih dibutuhkan dalam menjawab tuntutan globalisasi? 114
Moh . Koesnoe, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, termasuk perintis
yang melihat hubungan erat antara munculnya hukum modern dengan kapitalisme,
yang berarti, Weber melihat kapitalisme itu sebagai penyebab terjadinya perubahan
dalam tipe hukum dari tradisional menjadi modern. Kapitalisme menuntut suatu
tatanan normatif . Sistem-sistem hukum yang ada pada waktu itu menyimpulkan,
hanya hukum modern yang rasional, atau suatu rasionalitas formal yang bersifat logis
yang mampu memberikan tingkat perhitungan yang dibutuhkan. Legisme memberikan
dukungan kepada perkembangan kapitalisme dengan memberikan suasana yang dan
dapat diperhitungkan. dewasa ini. Dengan tegas, Menski menolak konsep ―anti-
pluralist‖ alias konsep “unification visions”, yang pada dasarnya berupaya
menyeragamkan visi internasional dunia global dibawah satu visi ala Amerika,
mengenai isu-isu krusial menyangkut hukum, keadilan dan HAM. Sebenarnya di
Indonesia sudah lama menjadi sasaran dan memang berhasil diularkan visi
universalitas HAM dengan mengabaikan sisi partikularistik HAM yang lebih realistis,
karena hukum, keadilan dan HAM sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat
plural. Bahkan pandangan Menski itu, Titik akhir dari globalisasi merupakan fenomena
keanekaragaman yang hampir tak terbatas, yaitu benar-benar sebagai “glocalization‖
dan bukan sebaliknya penyeragamaan yang sangat tidak realistis. Jadi globalisasi
berjalan bareng dengan “glocalisasi” (pluralitas). Keanekaragaman hukum yang
berlaku di Indonesia merupakan kebutuhan hukum dari suatu 99 masyarakat yang
majemuk.
Moh. Koesnoe. Hukum Adat (Dalam Alam kemerdekaan Nasional dan Persoalaan
Menghadapi Era Globalisasi, Ubhara Press, Surabaya,1996 100 merupakan unsur
penting dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari paham positisme hukum.
Selain hukum adat yang berlaku dalam mayarakat Indonesia yang merupakan hukum
yang tidak tertulis, peranan hukum Islam dalam pembanguna hukum nasional juga
tidak bisa di pungkiri. Pengembangan hukum nasional memberikan porsi yang
memadai bagi entitas-entitas budaya, adatistiadat dan agama sebagai landasan dari
pembangunan hukum nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
B.7.3. Oleh karena itu diperlukan pengamatan yang cermat dan seksama
atas nilai-nilai, perkembangan nilai-nilai, normanorma yang tumbuh, dan
berkembang. Sehingga pemahaman mengenai eksistensi hukum adat
dalam hal ini secara substantif, bukan terletak pada apakah hukum adat
tersebut telah ditetapkan oleh negara atau tidak. Lebih dari itu adalah, nilai-
nilai yang hidup di tengah masyarakat, sekalipun tidak tertulis. Moh.
Koesnoe dengan mensitir pendapat Djojodiguno mengatakan bahwa untuk
dinyatakannya hukum adat sebagai hukum yang berlaku (hukum positif)
tidaklah mesti harus dilihat dari adanya penerapan sanksi, akan tetapi
hukum adat telah cukup dinyatakan berlaku apabila ada pernyataan-
pernyataan (menurut penulis termasuk ‗ungkapan– ungkapan simbolik
bermakna‘) yang diungkapkan sebagai pernyataan rasa keadilan dalam
perhubungan pamrih, yang dinyatakan berlaku sebagai uger-ugeran. Jadi
hal ini memang berbeda dengan pendapat para ahli hukum adat yang lain
yang menunjuk kepada sanksi yang harus dijatuhkan/diputus oleh Hakim
atau penguasa adat sebagai ciri untuk menyatakan adat sebagai hukum
(hukum adat). Lebih tegas lagi Koesnoe mengatakan bahwa pilihan untuk
menetapkan hukum dengan penggunaan sanksi sebagai ciri pokoknya
akan membawa kekecewaan didalam menentukanCatatan-catatan
Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberadaan hukum adat dalam arti
berlakunya dalam kehidupan masyarakat aturanaturan yang bersifat ‗non-statutair‘,
adalah apabila dalam kehidupan sehari-hari benar-benar dirasakan sebagai norma-
norma kehidupan (uger-ugeran) yang menjiwai dalam hubungan antar sesama
sebagai pernyataan rasa keadilan terutama dalam hubungan pamrih, keberadaan
sanksi lebih terkait dengan penegakannya. Sanksi dalam hal ini tidak seharusnya
dalam bentuk konkrit (tegas) tetapi bisa juga dalam bentuk sanksi moral.
Di pihak lain ada kepala adat yang merupakan penguasa wilayah persekutuan
masyarakat adat yang memerintah berdasarkan otoritas informal yang diberikan
masyarakat. Buntut dari dualisme kepemimpinan ini adalah dengan tersingkirnya
kepala adat dari sistem pemerintahan desa. Kepala adat dipercaya untuk mengatur
pelaksanaan upacara adat. Upacara adat yang dipercayakan pelaksanaannya kepada
ketua adat itu bukan merupakan bukti penghormatan dari masyarakat adat, melainkan
untuk kepentingan komoditi pariwisata semata. Oleh karena proses marjinalisasi adat
itu berkaitan dengan faktor-faktor struktural. Dengan menghapus marjinalisasi
menjadi demokratisasi dan menggantikan sentralisasi menjadi desentralisasi.
C. Hukum Barat
Hak istimewa yang diberikan Kerajaan Belanda kepada VOC pada waktu itu adalah
hak octrooi, yaitu hak yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan,
mengumumkan perag, mengadakan perdamaian, dan mencetak uang. Dengan hak
octrooi tersebut, VOC menerapkan aturan-aturan yang dibawa dari Belanda kepada
penduduk pribumi di negeri jajahannya. Gubernur Jenderal diberi wewenang untuk
membuat peraturan guna menyelesaikan masalah dalam lingkungan pegawai-
pegawai VOC, serta wewenang untuk memutuskan perkara perdata maupun pidana.
Kumpulan peraturan-peraturan yang diterapkan oleh VOC dikenal sebagai Statuta
Batavia, yang pertama kali dibukukan pada tahun 1642 dan secara berkala Statuta
Batavia diperbaharui. Statuta Batavia tersebut bukanlah kodifikasi hukum karena
peraturanperaturan yang ada di dalam statute Batavia tersebut tidak disusun secara
sistematik.
Hingga pada akhir masa VOC, yaitu pada tanggal 31 Desember 1799, tata hukum
yang berlaku terdiri atas aturan-aturan yang diciptakan oleh Gubernur Jenderal yang
berkuasa di daerah kekuasaan VOC serta aturan-aturan tidak tertulis yang berlaku
bagi orang-orang pribumi, yaitu hukum adatnya masing-masing (Hasim Purba,
Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Universitas Sumatera Utara, 2007). Kemudian
ditambahkan oleh Hasim Purba, bahwa setelah Kerajaan Belanda berhasil melakukan
kodifikasi hukum perdata pada tahun 1830 yang kemudian diundangkan pada tanggal
1 Oktober 1938, maka dibentukalah komisi kodifikasi hukum untuk wilayah jajahannya
pada tanggal 15 Agustus 1939 dan diundangkan diundangkan di daerah jajahan pada
tanggal 1 Mei 1948. Komisi tersebut berhasil membuat peraturan-peraturan yang akan
diterapkan di negara jajahannya, yaitu :
• Hukum perdata yang berlaku bagi golongan Eropa adalah Burgerlijk Wetboek (BW)
dan Wetbeok van Koophandel (WvK) yang diundangkan berlakunya tanggal 1 Mei
1946, dengan asas konkordasi.
• Hukum pidana material yang berlaku bagi golongan Eropa adalah Wetboek van
Strafrecht (WvS) yang diundangkan berlakunya pada tanggal 1 Januari 1948.
• Hukum acara yang yang digunakan dalam proses peradilan bagi golongan Eropa
adalah Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering yang berlaku di daerah Pulau
Jawa dan Pulau Madura. Peradilan di luar Pulau Jawa dan Pulau Madura diatur dalam
Rechts Reglement Buitengewesten untuk daerah masing-masing.
• Hukum yang berlaku bagi golongan pribumi adalah hukum adat dalam bentuk tidak
tertulis, tetapi jika dikehendaki lain, pemerintahan kolonial Belanda dapat mengganti
hukum adat dengan menggunakan ordonansi (pasal 131 ayat 6 IS). Selanjutnya,
untuk mengatur segala hal yang belum ada ketetapannya, pemerintahan kolonial
Belanda mengeluarkan ordonansi sesuai dengan kebutuhan pada masa itu. Selama
masa penjajahan Jepang, daerah Hindia Belanda dibagi dua, yaitu Indonesia Timur di
bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang yang berkedudukan di Makassar, dan
Indonesia Barat di bawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang yang berkedudukan di
Jakarta.
Namun demikian, sepanjang Indonesia merdeka, terjadi dua kali perubahan system
kenegaraan, yaitu dari Republik Indonesia (RI) selama periode 17 Agustus 1945
sampai dengan 26 Desember 1949, Republik Indonesia Serikat selama periode 27
Desember 1949 sampai dengan 16 Agustus 1950, Republik Indonesia (RI) dengan
system parlementer selama periode 17 Agustus 1950 sampai dengan 4 Juli 1959),
dan kembali ke model pertama setelah proklamasi kemerdekaan melalui Dekrit
Presiden tanggal 5 Juli 1959.
Dengan demikian maka dapat dilihat bahwa dalam politik hukum Indonesia dari masa
ke masa, keberlakuannya peraturan perundang-undangan masih memiliki kesamaan
sepanjang waktu, dengan perbedaan hanya pada titik berat mana yang ingin
disesuaikan oleh para penguasa, mulai dari VOC, pemerintahan kolonial Belanda,
pemerintahan bala tantara Jepang, Republik Indonesia, maupun Republik Indonesia
Serikat.
Hukum Barat yang diterapkan di Indonesia adalah yang berasal dari Kerajaan Belanda
yangvmerupakan system hukum Eropa Kontinental, sering juga disebut Civil Law.
Awalnya berasal dari kodifikasi hukum di zaman kekaisaran Romawi pada masa
pemerintahan Kaisar Yustianus.Prinsip utama system hukum Eropa Kontinental
adalah bahwa hukum memperoleh kekuasaan mengikat karena berupa peraturan
yang berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi.
Bahwa keputusan hakim hanya mengikat kepada para pihak saja, tidak mengikat
umum, karena hakim tidak bebas dalam menciptakan hukum baru, karena segala
sesuatunya telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Hukum Eropa
Kontinental sangat dipengaruhi oleh aliran Legisme, yaitu aliran yang mengutamakan
penerapan hukum dengan segala konsekuensinya harus dalam bentuk tertulis,
sehingga di dalam Hukum Eropa Kontinental, seluruh peraturan-peraturan dikodifikasi
dandiundangkan dan menjadi aturan baku dan konkrit di kehidupan masyarakat
dengan normanorma yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh masyarakat.
Bentuk-bentuk hukum barat yang diterapkan di wilayah Nusantara yang dikutip dari
• Algemene Maatregaal van Bestuur (AMvB), dibentuk oleh Kroon dan Menteri.
• Hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, dan hukum acara harus diatur
dengan ordonansi.
• Terhadap orang Timur Asing dan Pribumi dapat diberlakukan hukum barat manakala
dirasakan diperlukan.
Sumber-sumber hukum barat terbagi menjadi dua jenis, yaitu sumber materiil yang
berpengaruh terhadap penentuan isi hukum dan sumber formil yang merupakan
penentuan terhadap berlakunya hukum secara formal. Sumber-sumber hukum
materiil dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, antara lain :
Sumber-sumber hukum formil dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, antara lain
:
• Undang-undang
• Kebiasaan
• Yurisprudensi
• Traktat
• Perjanjian
• Doktrin
BAB III
KESIMPULAN
Sistem Hukum Islam, Sistem Hukum Adat, dan Sistem Hukum Barat dalam Perspektif
Filsafat Hukum, Indonesia telah mengadopsi civil law system, prinsip utama sistem
hukum ini adalah mempositifkan hukum dalam bentuk tertulis atau dituangkan dalam
bentuk undang-undang (prinsip legisme), dan hukum yang tidak tertulis tidak diakui
sebagai hukum begitu juga peraturan-peraturan yang dibuat selain oleh negara juga
tidak disebut sebgai hukum akan tetapi sebgai moral masyarakat, hal ini sebagaimana
teori yang dikemukakan oleh John Austin (1790-1859).
Civil law system ini memiliki kelemahan karena sifatnya yang tertulis akan menjadi
tidak fleksibel, kaku dan statis. Penulisan adalah pembatasan dan pembatasan atas
suatu hal yang sifatnya abstrak atau pembatasan dalam kontek materi dan dinamis
atau pembatasan dalam kontek waktu, oleh karena itu value consciousness
masyarkat ke dalam undang-undang secara logis akan membawa suatu
ketertinggalan substansi undang-undang, di samping itu banyak peraturan
perundang-undangan ba- Sistem Hukum Barat, Sistem Hukum Adat, dan Sistem
Hukum Islam yang diodopsi ke Indonesia dan diberlakukan di Indonesia, misalkan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang, Hukum
Perdata (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), dengan demikian
fenomena legal gab (keterpisahan nilai-nilai masyarakat Indonesia dengan nilai-nilai
peraturan perundang-undangan) merupakan persoalan yang mendasar dan
substansif hukum Indonesia akan selalu menjadi konsekuensi lanjutan yang sulit
untuk dihindari, sehingga tidak ada keterkaitan erat dengan jiwa bangsa Indonesia
yang diaturnya, mestinya yang menjadi Civil law system dalam proses legislasi tidak
dapat dihindarai dari proses pergulatan berbagai kepentingan politik, ekonomi, soisial
budaya dan lain sebagainya, sehingga civil law system adalah undang-undang yang
penuh berbagai nilai-nilai kepentingan, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Critical
Legal Study
Movement (CLSM), misalkan tokohnya Roberto Mangabera Unger, bahkan civil law
system menurut Antonio Gramsci sebagai media kaum kapitalisme dan kaum politik
liberal dengan cara memasukkan kepentingan-kepentingan dalam peraturan
perundang-undangan untuk mencapai tujuan-tujuan kapital dan kedudukan, sehingga
civil law system disebut juga sebagai hukum liberal kapitalism. Hal ini juga
menunjukkan ketidak konsekuensi teori hukum murni yang dikemukakan oleh tokoh
positivisme, Hans Kelsen(1881-1973) yang menyatakan,” hukum harus dibersihkan
dari anasir-anasir yang non yuridis, misalkan unsur sosiologis, politis, historis bahkan
unsur etis).
Civil law system ini mengikuti filsafat positivisme hukum yang menyatakan bahwa
tujuan utama hukum adalah kepastian hukum bukan keadilan dan atau kemanfaatan,
karena filsafat positivisme mengutamakan hal-hal yang sifatnya jelas dan pasti (positif)
di atas segalanya dengan beragomentasi bahwa hanya “Membangun Perdaban Islam
Belajar dari Sejarah Peradaban Barat”, suatu yang bersifat pasti saja yang dapat
dijadikan ukuran kebenaran,
Dengan demikian, maka dalam kultur civil law system hukum identik dengan undang-
undang, sumber hukum adalah un-dangundang, nilai-nilai bersumber dari un dang-
undang, oleh karena itu civil law system tidak mengakui hukum-hukum dan nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat.
Civil law system memberikan konsekuensi para hakim untuk menegakkan hukum
sebagaimana yang sudah ada dalam undang-undang hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Montesquieu (1689-1755), dan mendapat dukungan dari aliran
legisme atau aliran kodifikasi hukum, bahwa undang-undang sudah lengkap, tidak
perlu mencari hukum di luar undang-undang. Oleh karena itu menurut van Apeldoorn
hakim hanyalah sebagai corong undang-undang, hakim bagaikan mesin tanpa akal
dan tanpa hati nurani, fungsi hakim yang sedemikian rupa juga mendapat kritik dari
aliran hukum bebas dengan didasarkan pada teori hukum kodrat (manusia punya akal
dan hati nurani) dan teori sosiologi hukum (dimana ada masyarakat di situ ada hukum,
hukum yang ada dalam Masyarakat jumlahnya lebih banyak daripda hukum yang
ditulis dan dikodifikasikan). Sistem Hukum Adat Hukum adat adalah sistem hukum
yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia
lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan
hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan
kesadaran hukum masyarakatnya. Peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh
kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis.
Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani
dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan
hidup sejahtera.
Daftar Pustaka
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Islam di Indonesia dari Masa ke Masa (Unisia No. 16
Tahun XIII Triwulan V/1992).
Ma’u, Dahlia Haliah, Eksistensi Hukum Islam di Indonesia, Analisis Kontribusi dan
Pembaruan Hukum Islam Pra dan Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia, Jurnal
Ilmiah Al—Syir’ah Vol. 15 No. 1 Tahun 2017.
Purba, Hasim, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Fakultas Hukum, Universitas
Sumatera Utara, 2007.
Warjiyati, Sri, Ilmu Hukum Adat, Panduan Advokasi (Bagi Para Legal),