Anda di halaman 1dari 6

Nama : Galuh Permadi

NIM : 12060220014
Progam Studi / kelas : HKI / A
Mata Kuliah : Perkembangan Pemikiran Hukum Islam
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Phil. Widiyanto, M.A.

Summary

FOR THE SAKE OF PROTECTION RELIGION Apostasy and its Judical Impact on
Muslim’s Martial Life in Indonesia by Euis Nurlaelawati”

Konteks

Di bawah hukum Islam, murtad dianggap sebagai kejahatan dan berdasarkan hadits dihukum mati.
Pada dasarnya tidak ada ayat yang berhubungan dengan kemurtadan yang mengatur hukuman
kemurtadan dalam kehidupan ini, tetapi mereka mengutuknya dengan istilah yang sangat keras.

Mengenai masalah keluarga, ketika seorang murtad adalah orang yang sudah menikah, maka
hukumannya akan berimbas pada status perkawinannya, termasuk keluarganya. haknya untuk
perwalian, hak asuh, dan warisan

Indonesia telah mengadopsi hukum Islam sebagai salah satu elemen yang memperkaya hukum
nasionalnya dan menempatkan sejumlah pasal untuk mengatur masalah kemurtadan. Meskipun
hukum Indonesia telah mereformasi aturannya terkait dengan masalah ini, teks-teks Islam klasik
tetap menjadi rujukan utama di kalangan hakim ketika menangani masalah ini.

Kemurtadan dari Perspektif Hukum Islam: Dampaknya Terhadap Pernikahan

Hukum Islam klasik mengharuskan pasangan harus bebas dari kondisi yang akan mencegah
mereka dari menikah satu sama lain, yaitu, berada di sama garis keturunan darah, suadara
sepersusuan, dan telah terikat oleh ikatan perkawinan anggota keluarganya sebagai ibu atau ayah
mertua. Dan terpenuhinya rukun-rukun serta syarat-syarat nikah yang ada. Adapun masalah
pernikahan yang berkaitan dengan agama pengantin maka secara umum ada 3 pendapat. Pertama:
Sah karena keduanya beragama islam kedua: Kemungkinan boleh menikah beda agama antara
seorang muslim laki-laki dengan wanita non-muslim(ahlul kitab) ketiga: Kemustahilan menikah
beda agama.

Dari hal ini kita bisa menilai bagaimana seaandainya salah satu melakukan tindakan murtad.
Kemurtadan dalam Perkawinan: Perspektif Indonesia

Hukum Islam di Indonesia mengatur bahwa pernikahan hanya dapat dilakukan oleh pasangan yang
menganut agama yang sama. Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang berlaku bagi
semua warga negara Indonesia tanpa membedakan agamanya mengatur bahwa perkawinan dapat
dilakukan jika memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang dan sesuai dengan
keyakinan agamanya. Dan Kompilasi Hukum Islam menetapkan aturan yang sama.

Pasal 40 dengan jelas mengatur hal ini dan menyatakan bahwa seorang laki-laki dilarang menikahi
seorang perempuan dengan syarat-syarat tertentu. Pertama, syarat seorang perempuan terikat
perkawinan dengan seorang laki-laki. Kedua, kondisi dimana seorang wanita berada dalam masa
tunggu setelah perceraian. Ketiga adalah kondisi dimana seorang wanita bukan muslim. Pasal lain
mengatur larangan perempuan menikah dengan laki-laki non-Muslim
Sejalan dengan peraturan tersebut, maka Indonesia mengatur bahwa pindah agama dapat menjadi
salah satu alasan di mana perkawinan tidak dapat dipertahankan. Pada dasarnya, melalui Kompilasi
Hukum Islam , Indonesia tidak serta merta membubarkan perkawinan pasangan yang salah satunya
murtad. Padahal, Kompilasi Hukum Islam menempatkan kemurtadan sebagai salah satu alasan
perceraian dapat dimohonkan di pengadilan. Hal ini terlihat jelas dalam pasal 116 Kompilasi Hukum
Islam .

Menarik juga bahwa ada tambahan klausa pada kata 'murtad' dalam pasal tesebut untuk membatasi
kemurtadan yang dapat dijadikan sebagai dasar perceraian. Klausulnya adalah bahwa kemurtadan
yang dapat dijadikan dasar perceraian adalah kemurtadan yang mengakibatkan ketidakharmonisan
dalam perkawinan

Perlindungan Agama dalam Praktik Hukum Indonesia: Kasus Perceraian dan Hak Asuh
Perceraian, Tak Terelakan dalam Kekacauan Iman?
Kompilasi Hukum Islam tampaknya ingin menempatkan kemurtadan pada posisi yang sama
dengan alasan lain untuk perceraian. Oleh karena itu, memberikan kebebasan kepada pasangan
untuk memutuskan apakah pernikahan mereka harus dilanjutkan atau tidak. Dengan demikian,
Tampaknya Kompilasi Hukum Islam tidak bermaksud untuk membubarkan perkawinan pada saat
salah satu pihak melakukan murtad. Kebebasan beragama diasumsikan dilaksanakan dalam hal ini
dan Kompilasi Hukum Islam memberi wewenang kepada pihak-pihak terkait untuk menentukan
nasib perkawinan mereka. Namun demikian, sejumlah hakim yang cenderung mengacu pada
hukum kitab- kitab fiqh masih menganggap perceraian antara pasangan secara otomatis terjadi
pada saat salah satu pihak dalam perkawinan melakukan murtad dan bukan pada saat putusan
perceraian dikeluarkan.
Mereka juga mengabaikan klausul yang terlampir dalam pasal terkait yang menekankan unsur
ketidakharmonisan akibat perbuatan murtad dan oleh karena itu cenderung menekankan
perbuatan murtad itu sendiri.

Seperti Mukti Arto dan Fachruddin. Arto membahas prosedur peradilan Islam dan menangani
proses perceraian terutama yang dimohonkan dengan alasan murtad. Dengan pendekatan yang
sama, Fachruddin melihat masalah murtad sebagai salah satu alasan perceraian yang tercantum
dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Yang mana dia juga mengkritik Kompilasi Hukum
Islam karena membatasi praktik murtad yang digunakan dalam perceraian dengan kondisi
ketidakharmonisan akibat kemurtadan. Baginya, perbedaan agama itu sendiri merupakan
ketidakharmonisan dalam kehidupan berumah tangga.

Mengutamakan 'kepentingan terbaik untuk anak' secara agama': tidak ada hak asuh
untuk murtad

Masalah lain yang terkena dampak dari tindakan murtad adalah masalah hak asuh setelah
perceraian. Ditetapkan bahwa ketika orang tua memisahkan anak-anak berusia di bawah 12 tahun
akan pergi dengan ibu mereka dan mereka yang berusia di atas 12 tahun dapat memilih salah satu
orang tua dengan siapa mereka akan tinggal.

keputusan hakim pengadilan agama Indonesia tentang kasus-kasus hak asuh umumnya
menekankan kepentingan terbaik bagi anak-anak, tetapi keputusan-keputusan tersebut bertumpu
pada persepsi masing-masing hakim tentang apa yang merupakan yang terbaik bagi anak –anak.

Gagasan tentang yang terbaik Kepentingan anak sangat ditekankan dalam Konvensi Hak Anak
(CRC). Konvensi ini mengacu pada gagasan bahwa anak-anak harus dilindungi dengan sebaik-
baiknya dari segi keuangan, aspek fisik dan psikologis.

Antara Perlindungan Beragama dan Hak atas Kebebasan Beragama

Sebagaimana dikemukakan di atas, walaupun pada dasarnya pemerintah menghormati kebebasan


beragama, hubungan antaragama tetap menjadi sumber konflik di Indonesia

dalam kaitannya dengan aturan perwalian, Kompilasi Hukum Islam memang mengatur bahwa untuk
menjamin keselamatan anak lahir dan batin, pengadilan agama dapat mengalihkan hak asuh dari
satu calon kepada orang lain. Meskipun tidak jelas apakah aspek spiritual yang dijamin atau
dilindungi juga termasuk agama (Islam),

Sikap hukum hakim yang demikian menunjukkan bahwa meskipun sejumlah reformasi telah
diperkenalkan, doktrin-doktrin agama tetap sangat dijunjung tinggi. Oleh karena itu, seringkali
praktik hukum keluarga Islam bertentangan dengan norma dan standar hak asasi manusia
internasional yang berlaku saat ini mengenai persamaan dan perlindungan harkat dan martabat
semua manusia dan kebebasan beragamanya

karena Indonesia telah meratifikasi sejumlah kovenan internasional yang relevan, termasuk ICCPR,
CEDAW, dan CRC, mereka dapat menjadikannya sebagai dasar hukumnya.

Bahkan, Hakim agama jarang, bahkan tidak pernah, merujuk pada undang-undang ratifikasi. Sikap
seperti itu mungkin karena Indonesia belum mengambil cara yang tepat untuk mengikuti
ratifikasi.

Komentar
1. Berkaitan dengan masalah murtad adalah masalah yang besar dikarenakan masalah ini
berkaitan tentang keimanan seseorang. Murtad dianggap sebagai kejahatan, berdasarkan
hadits dihukum mati Pada dasarnya tidak ada ayat yang berhubungan dengan kemurtadan
yang mengatur hukuman kemurtadan dalam kehidupan ini, tetapi mereka mengutuknya
dengan istilah yang sangat keras yang disebutkan dalam beberapa ayat Al Quran seperti QS
An Nahl: 106-109, QS Albaqoroh: 108,
2. Adapun dasar murtad mendepatkan hukum mati brdasarkan hadits yg dikeluarkan Imam
Bukhori no. 6922 riwayat Ibnu Abbas yang berbunyi “barang siapa mengganti agamanya maka
penggalah dia”.
3. Berkaitan dengan pendapat Mukti Arto dan Fachruddin. Yang membahas prosedur
peradilan Islam dan menangani proses perceraian terutama yang dimohonkan dengan
alasan murtad. Yang mana dia juga mengkritik Kompilasi Hukum Islam karena membatasi
praktik murtad yang digunakan dalam perceraian dengan kondisi ketidakharmonisan akibat
kemurtadan. Hali ini dikarenakan keharmonisan itu sendiri bukanlah hal yang nampak saja
diantara suami istri akan tetapi juga apa yang ada pada batin mereka dari kepercayaan
keagamaan, kalau memang ketidakharmonisan keluarga yang nampak itu bisa menjadi
alasan untuk perceraian tentu ketidakharmonisan batin antara suami istri musti lebih
diutamakan. Maka tidak heran keluarlah pendapat Mukti Arto yang mengatakan perbedaan
agama itu sendiri merupakan ketidakharmonisan dalam kehidupan berumah tangga.
Sehingga bisa kita bayangkan jika seandainya seorang suami muslim memerintahkan
istrinya yang seorang muslimah untuk membelikan tuak dan menyuguhkan tuak untuk
suaminya dan tamunya.
4. Penyebutan alasan perceraian dapat terjadi dalam KHI pasal 116(h) peralihan agama atau
murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakharmonisan dalam rumah tangga.
Penambahan klausul ketidakharmonisan dalam masalah murtad.
Sebenarnya, poin ini menjadikan sedikit kabur, karena klausul ketidakharmonisan ini sudah
disebutkan di poin f. dan apabila klausul ini dihapuskan akan menjadikan hakim lebih
mudah memutuskan tanpa harus membuktikn ketidakharmonisan yang melekat pada
masalah murtad.
5. Perlu diingat bahwa dasar hukum peradilan agama dalam Undang Undang Dasar 1945
adalah diatur oleh Pasal 24 yang pada ayat (1) menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.
Sehingga putusan hakim yang ada terhadap kasus yang ditanganinya jelas diakui oleh
konstitusi dan sah selama dia memiliki kredibilitas dan terlepas dari intervensi.
6. Mnurut Euis bahwa berkaitan keputusan hakim pengadilan agama Indonesia tentang kasus-
kasus hak asuh umumnya menekankan kepentingan terbaik bagi anak-anak, tetapi
keputusan-keputusan tersebut bertumpu pada persepsi masing-masing hakim tentang apa
yang merupakan yang terbaik bagi anak –anak.
Putusan hakim yang lebih memilih memberikan hak asuh anak ke orang tua muslim
dilatarbelakangi karena ingin melindungi agama mereka (Maqosidus Syariah) dan
keselamatan agama adalah proritas diatas segalanya. Dan hakim juga tidak melarang bagi
pihak yang tidak mendapatkan hak asuh dari mengunjungi atau hal yang semisal dari bentuk
bersinggungan dengan si anak, hakim hanya menetapkan hak asuh utama diberikan kepada
orang tua muslim demi terjaganya agama dan anak masih mendapatkan kasih sayang dari
kedua orang tuanya.
7. Pengadilan Agama adalah salah satu diantara 3 Peradilan khusus di Indonesia, dikatakan
peradilan khusus karena peradilan agama mengadili perkara perdata tertentu dan
menangani golongan rakyat tertentu.
8. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama.
1) HIR (herzeine inlandsch reglement) untuk jawa dan Madura / RBG (Rechtsreglement
voor de buitengewesten untuk luar jawa dan Madura);
2) B.Rv ( Reglement op de burgelijke rechtvordering) untuk golongan eropa. Walaupun
sudah tidak berlaku lagi tetapi masih banyak yang relevan;
3) BW (bugelijke wetboek voor Indonesia) atau KUH Perdata;
4) WvK (Wetboek van koophandel) KUH Dagang;
5) UU No 4 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman;
6) UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan PP nomor 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
7) UU No 5 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah
Agung;
8) UU No 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Pertama atas UU no 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama, dan UU No 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas UU no
7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama;
9) UU No 8 tahun 2004 Tentang Peradilan Umum;
10) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam;
11) Peraturan Mahkamah Agung RI;
12) Surat Edaran Menteri Agama ;
13) Peraturan Menteri Agama;
14) Keputusan Menteri Agama;
15) Kitab-kitab Fiqih Islam dan sumber-sumber Hukum yang tidak tertulis
Dari sini kita bisa memahami bahwa memang hakim agama juga bisa menjadikan kitab-
kitab fiqih sebagai sumber hukum, dan ini digunakan manakala seorang hakim tidak
mendapati dasar hukum dalam dasar hukum mereka.
9. Apa yang diutarakan penulis dari argumen sah-sah saja dikarenakan beliau memang
membahas dan menelaah masalah ini menggunakan pendekatan sosial legal. Dan begitu
juga hal keputusan hakim yang mengabulkan permintaan cerai karena kemurtadan dan hak
asuh anak jatuh ke orang tua muslim yang jelas menggunkan pendekatan islam atau hukum
islam.

Anda mungkin juga menyukai