KELAS B
UNIVERSITAS SILIWANGI
2022
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Hukum Kewarisan di Indonesia
Menurut BW, KHI, dan Adat”. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan bisa
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tak lupa selawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di dunia dan di
akhirat nanti.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Fiqh Mawaris. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan penulis
dan para pembaca. Terimakasih kepada bapak Biki Zulfikri Rahmat., S.Sos.I., M.E.Sy selaku
dosen mata kuliah Fiqh Mawaris yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berbagi
pengetahuannya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulis menyadari,
bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun sangat kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Tim Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan
merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris erat kaitannya dengan
ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum
yang dinamakan kematian mengakibatkan masalah bagaimana penyelesaian hak-hak dan
kewajiban. Sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) buku kedua tentang kebendaan dan juga dalam hukum waris Islam, dan
juga hukum waris adat.
Pada prinsipnya kewarisan adalah langkah-langkah penerusan dan pengoperaan harta
peninggalan baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari seorang pewaris
kepada ahli warisnya, maksudnya dari pewaris ke ahli warisnya. Akan tetapi di dalam
kenyataannya proses serta langkah-langkah pengalihan tersebut bervariasi, dalam hal ini
baik dalam hal hibah, hadiah dan hibah wasiat, ataupun permasalahn lainnya.
Kewarisan di Indonesia pada hakikatnya memiliki berbagai payung hukum, yaitu
hukum kewarisan menurut BW, hukum kewarisan menurut KHI, dan hukum kewarisan
menurut hukum adat.
B. Rumusan Masalah
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Dewi Noviarni, ‘Kewarisan Dalam Hukum Islam Di Indoensia’, Hukum Keluarga Islam, 1.1 (2021), 62–75
<https://ejournal.an-nadwah.ac.id/index.php/ainulhaq/article/view/236>.
2
B. Hukum Kewarisan KUH Perdata (BW)
Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih memakai ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam kitab Undang-Undang hokum perdata/KUH Perdata
(Burgerlijk Wetboek/BW). Dalam KUH Perdata hukum waris merupakan bagian dari
hukum harta kekayaan sehingga pengaturan hukum terdapat dalam Buku Ke II KUH
Perdata tentang Benda
1. Pengertian Hukum Waris KUH Perdata (BW)
Definisi hukum kewarisan KUH Perdata dalam Kitab Undang Undang Hukum
Perdata tidak dimuat secara tegas, tetapi para ahli hukum memberikan atau
mengemukakan tentang pengertian hukum kewarisan KUHPerdata. Menurut para ahli
hukum, khususnya mengenai hukum kewarisan Perdata sebagai berikut:
Menurut Wiryono Prodjodikoro, mengatakan "Hukum waris adalah hukum-
hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur, tentang apakah dan bagaimanakah
pelbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal
dunia beralih kepada orang lain yang masih hidup"
Menurut Scopomo menjelasakan bahwa, "Hukum waris memuat peraturan yang
mengatur proses penerusan serta peralihan barang terwujud dan barang tidak terwujud
dari suatu angkatan manusia kepada keturunanya,
Menurut Pasal 830 KUH Perdata: "Pewarisan hanya berlangsung.karena
kematian." Jadi harta peninggalan atau warisan baru terbuka kalau si pewaris sudah
meninggal dunia dan si ahli waris masih hidup saat warisan terbuka.
2. Unsur-Unsur Hukum Waris KUH Perdata
Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa pengertian kewarisan menurut KUH
Perdata memperlihatkan beberapa unsur, yaitu:
a. Seorang peninggal warisan atau erflater yang pada wafatnya meninggalkan
kekayaan.
Unsur pertama ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana
hubungan seseorang peninggal warisan dengan kekayaannya dipengaruhi oleh sifat
lingkungan kekeluargaan, di mana peninggal warisan berada.
b. Seseorang atau beberapa orang ahli waris (erfgenaam) yang berhak menerima
kekayaan yang ditinggalkan itu.
Ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana harus ada tali
kekeluargaan antara peninggal warisan dan ahli waris agar kekayaan si peninggal
warisan dapat beralih kepada si ahli waris.
3
c. Harta Warisan (nalatenschap), yaitu ujud kekayaan yang ditinggalkan dan beralih
kepada ahli waris.
Ini menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana ujud kekayaan yang
beralih itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan, dimana peninggal
warisan dan ahli waris bersama-sama berbeda
3. Tidak Patut Menerima Waris (Onwaardig)
Terdapatnya sebab-sebab menurut Undang-undang ahli waris tidak patut atau
terlarang (onwaardig) untuk menerima warisan dari si pewaris. (Pasal 838,... untuk ahli
waris karena undang-undang dan Pasal 912 untuk ahli waris karena adanya wasiat).
a. Ahli waris menurut undang-undang yang dinyatakan tidak patut untuk menerima
warisan, dalam Pasal 838 KUH Perdata, adalah:
1) Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau
mencoba membunuh si pewaris.
2) Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah
telah melakukan pengaduan terhadap si pewaris, ialah suatu pengaduan telah
melakukan kegiatan kejahatan yang diancam hukuman penjara lima tahun
lamanya atau lebih berat.
3) Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si pewaris
untuk membuat atau mencabut surat wasiat.
4) Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat. wasiat si
pewaris.
b. Ahli waris menurut wasiat yang dinyatakan tidak patut untuk menerima warisan
dalam Pasal 912 KUH Perdata, adalah :
1) Mereka yang telah dihukum karena membunuh si pewaris.
2) Mereka yang telah menggelapkan, membinasakan atau memalsukan surat
wasiat si pewaris.
3) Mereka yang dengan paksaan atau kekerasan telah mencegah si pewaris untuk
mencabut atau mengubah surat wasiatnya.
4
b. Adanya Saisine bagi ahli waris, yaitu sekalian ahli waris dengan sendirinya secara
otomatis karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, dan segala hak
serta segala kewajiban dari seorang yang meninggal dunia.
c. Asas Kematian, yaitu Pewarisan hanya karena kematian.
d. Asas Individual, yaitu Ahli waris adalah perorangan (secara pribadi): bukan
kelompok ahli waris..
e. Asas Bilateral, yaitu: Seseorang mewaris dari pihak bapak dan juga dari pihak ibu.
f. Asas Penderajatan, yaitu: Ahli waris yang derajatnya dekat dengan pewaris
menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya.2
5. Sebab-sebab Mewarisi
Sebab-sebab yang dapat menyebabkan orang lain untuk mendapatkan warisan
berdasarkan KUH Perdata adalah :
a. Keturunan
Menurut KUH Perdata/BW, tidak ada perbedaan sama sekali antara anak laki-laki
maupun anak perempuan karena mereka sama-sama dapat mewarisi harta orang
tuanya
b. Perkawinan
Demikian juga dengan istri yang ditinggal oleh suaminya atau sebaliknya, mereka
dapat menjadi ahli waris apabila salah seorang di antara mereka meninggal dunia.3
6. Sistem Pembagian Waris Menurut KUH Perdata (BW)
Menurut KUHPerdata/ BW, ahli waris yang berhak mewaris dapat dibagi menjadi
4 (empat) golongan, yaitu:
2
Shide Liang and others, ‘No 主観的健康感を中心とした在宅高齢者における 健康関連指標に関する共分
散構造分析Title’, Proceedings of the National Academy of Sciences, 3.1 (2015), 1–15
<http://dx.doi.org/10.1016/j.bpj.2015.06.056%0Ahttps://academic.oup.com/bioinformatics/article-
abstract/34/13/2201/4852827%0Ainternal-pdf://semisupervised-
3254828305/semisupervised.ppt%0Ahttp://dx.doi.org/10.1016/j.str.2013.02.005%0Ahttp://dx.doi.org/10.101
6/j.ceb>.
3
Dinamika Hukum Kewarisan and Akhmad Haries, ‘Perspektif Mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga ( Hk )
Jurusan Ilmu’, 7.2 (2015), 273–306.
5
- Golongan III: Kakek dan nenek, atau leluhur dalam garis lurus terus ke atas, yang
jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 853, 858 ayat (1) KUHPerdata.
- Golongan IV: Sanak keluarga di dalam garis menyamping sampai tingkat ke-6 yang
jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal 858 ayat (2), 861, 832 ayat (2), 862,
863, 864, 856 dan 866 KUHPerdata.4
Hukum kewarisan bagi umat Islam Indonesia diatur dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI), yaitu dalam Buku II KHI yang terdiri dari pasal 171 sampai dengan pasal 214.
4
Melani Khairunnisa, ‘Hukum Waris’, Makalah Analisis Hukum Waris di Indonesia, (2015),
https://www.academia.edu/26205437/Makalah_Analisis_Hukum_Waris_di_Indonesia
6
4) Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa
harta benda yang menjadi hak miliknya maupun hak-haknya.
5) Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya
pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
6) Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang-orang lain atau
lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
7) Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari
seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
8) Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari,
biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal
kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan.
9) Baitul Maal adalah balai harta keagamaan.5
5
Nur Mujib, ‘Kewarisan Ayah Dalam Perspektip KHI’, Pa-Jakartatimur.Go.Id, 2020, pp. 1–6.
7
Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan
nenek.
Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.
Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak,
ayah, ibu, janda atau duda.
Dari ketentuan pasal ini dapat disimpulkan bahwa ayah dan ibu (dan anak, janda atau
duda), dalam kondisi apapun, selain karena halangan memperoleh warisan menurut
pasal 173 KHI, selalu mendapatkan bagian warisan. Dengan demikian tidak ada
ahli waris yang bisa menghalangi “menghijab” kewarisan ayah dan ibu (orangtua).
6
MH Sugali, SH, ‘Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam » SUGALILAWYER’, SUGILILAWYER.COM, 2018.
8
d) Pasal 179 tentang Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan
anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat
bagaian.
e) Pasal 180 tentang Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak
meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka janda mendapat
seperdelapan bagian.
f) Pasal 181 tentang bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka
saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat
seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-
sama mendapat sepertiga bagian.
g) Pasal 182 tentang bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah,
sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ua
mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan
saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka
bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut
bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara
laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan.
h) Pasal 183 tentang para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam
pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.
i) Pasal 184 tentang bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu
melaksanakan hak dan kewajibannya, maka baginya diangkat wali berdasarkan
keputusan Hakim atas usul anggota keluarga.
j) Pasal 185
(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam
Pasal 173.
(2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti.
k) Pasal 186 tentang anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.
l) Pasal 187, Bilamana pewaris meninggalkan warisan harta peninggalan, maka oleh
pewaris semasa hidupnya atau oleh para ahli waris dapat ditunjuk beberapa orang
sebagai pelaksana pembagian harta warisan dengan tugas:
9
mencatat dalam suatu daftar harta peninggalan, baik berupa benda bergerak
maupun tidak bergerak yang kemudian disahkan oleh para ahli waris yang
bersangkutan, bila perlu dinilai harganya dengan uang;
Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah merupakan harta warisan yang
harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.
m) Pasal 188, Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat
mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian
harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu,
maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama
untuk dilakukan pembagian warisan.
n) Pasal 189,
Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari
2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan
dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan.
Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak dimungkinkan karena di
antara para ahli waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka
lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris yang dengan cara
membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya
masing-masing.
o) Pasal 190, Bagi pewaris yang beristeri lebih dari seorang, maka masing-masing
isteri berhak mendapat bagian atas gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya,
sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak para ahli warisnya.
p) Pasal 191, Bila pewaris tidak meninggalkanahli waris sama sekali atau ahli
warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan
Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk
kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan umum.
4. Mengenai Aul dan Rad
Terdapat dalam pasal 192-193 KHI
5. Mengenai Wasiat
Terdapat dalam pasal 194-209 KHI
6. Mengenai Hibah
Terdapat dalam pasal 210-2014 KHI. 7
7
Sugali, SH.
10
D. Hukum Kewarisan Menurut Hukum Adat
1. Pengertian dan dasar hukum Waris Adat
Hukum waris adat ialah peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan
serta mengoperkan barang-barang yang berujud harta benda atau yang tidak berujud
benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya. Meninggalnya orang tua
memang merupakan suatu peristiwa penting bagi proses pewarisan, akan tetapi tidak
mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan hak
atas harta benda tersebut.
Menurut Ter Haar, hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang
mengatur cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta
kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi berlaku.
Hilman Hadikusuma mengemukakan bahwa hukum waris adat adalah hukum adat yang
memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta
warisan, pewaris, dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan
penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris. Lebih lanjut Soerojo
Wignjodipoero (1990 : 161) memperjelas bahwa hukum adat waris meliputi norma-
norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil maupun yang
immaterial yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya
serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya. Berdasarkan
uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukum waris adat adalah peraturan-peraturan
yang mengatur proses peralihan harta kekayaan baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud dari pewaris kepada ahli waris.
Dalam struktur masyarakat hukum adat di Indonesia, menganut adanya tiga
macam sistem kekerabatan, yaitu sebagai berikut :
a. Sistem Kekerabatan Parental
Menurut Van Dijk, dalam sistem kekerabatan parental kedua orang tua
maupun kerabat dari ayah-ibu itu berlaku peraturan-peraturan yang sama
baik tentang perkawinan, kewajiban memberi nafkah, penghormatan,
pewarisan. Dalam susunan parental ini juga seorang anak hanya
memperoleh semenda dengan jalan perkawinan, maupun langsung oleh
perkawinannya sendiri, maupun secara tak langsung oleh perkawinan sanak
kandungnya, memang kecuali perkawinan antara ibu dan ayahnya
sendiri.Susunan sistem kekerabatan ini terdapat masyarakat Jawa barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Kalimantan dan Sulawesi (Makassar).
11
b. Sistem Kekerabatan Patrilineal
Dalam sistem kekerabatan patrilineal anak menghubungkan diri dengan
kerabat ayah berdasarkan garis keturunan laki-laki secara unilateral. Di
dalam susunan masyarakat ini, yaitu berdasarkan garis keturunan bapak
(laki-laki), keturunan dari pihak bapak (laki-laki) dinilai mempunyai
kedudukan lebih tinggi serta hak-haknya juga akan mendapatkan lebih
banyak. Susunan sistem kekerabatan ini terdapat pada masyarakat Suku
Bali, suku Rejang, suku batak dan suku Makassar, dan Bangsa Arab.
c. Sistem Kekerabatan Matrilineal
Menurut Bushar Muhammad, dalam masyarakat yang susunannya
matrilineal, keturunan menurut garis ibu dipandang sangat penting,
sehingga menimbulkan hubungan pergaulan kekeluargaan yang jauh lebih
rapat dan meresap diantara para warganya yang seketurunan menurut garis
ibu, hal mana yang menyebabkan tumbuhnya konsekuensi (misalkan, dalam
masalah warisan) yang jauh lebih banyak dan lebih penting dari pada
keturunan menurut garis bapak. Susunan sistem kekerabatan ini terdapat
pada Suku Indian di Apache Barat, Suku Khasi di Meghalaya, India Timur
Laut, Suku Nakhi di provinsi Sichuan dan Yunnan, Tiongkok,Suku
Minangkabau di Sumatera Barat, Kerinci dan orang Sumendo.
12
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dalam penjelasan pasal 49 huruf b UU No.3 Tahun 2006 dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan waris adalah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan
mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan pelaksanaan
pembagian harta peninggalan tersebut serta penetapan pengadilan atas permohonan
seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-
masing ahli waris.
Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masihmemakai ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam kitab Undang-Undang hokum perdata/KUH Perdata
(Burgerlijk Wetboek/BW).
Hukum kewarisan bagi umat Islam Indonesia diatur dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI), yaitu dalam Buku II KHI yang terdiri dari pasal 171 sampai dengan pasal 214.
Dalam struktur masyarakat hukum adat di Indonesia, menganut adanya tiga macam
sistem kekerabatan, yaitu sebagai berikut :
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan baik dari isi materinya
ataupun penulisan makalahnya. Penulis akan memperbaiki makalah ini dengan berpedoman
pada banyak sumber yang dapat di pertanggung jawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan
kritik dan saran mengenai pembahasan makalah ini.
13
DAFTAR PUSTAKA
14