Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

AUL DAN RAD


Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
FIQIH MAWARIS

Dosen Pengampu:
Mukhsinun, S.H.I,M.H.I
Disusun Oleh :
SUCI IKHTIYARI R 19.21184

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam


Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Kebumen
Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya
terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan tema “AUL DAN RAD”. Kemudian shalawat beserta salam kita
sampaikan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman
hidup yakni al-qur’an dan sunnah untuk keselamatan umat di dunia.

Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Fiqih Mawaris. Selanjutnya
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak
Mukhsinun,S.H.I., M.H.I. selaku dosen pengampu mata kuliah Fiqih Mawaris.

Penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan dalam penulisan makalah


ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Kebumen, 05 April 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ……...…………………………...……………………………. i
DAFTAR ISI ...……………………………………...…………………………. ii
BAB 1 Latar Belakang masalah……………………………………... 1
Pendahuluan Rumusan masalah……………………………………………. 2
Tujuan Penulisan……………………………………………... 2
Pengertian AUL………………………………………………. 3
Latar Belakang Terjadinya AUL…...……………………….. 3
BAB 2 Penyelesaian masalah AUL...………………………………… 4
Pembahasan Perhitungan Pokok Masalah AUL……..……………………. 5
Pengertian Rad ………………………………………………. 9
Syarat Terjadinya Rad………………………………………. 10
Ahli Waris Penerima Rad dalam hukum islam……………. 11
BAB 3 Kesimpulan…………………………………………………… 14
Penutup Kritik dan Saran……………………………………………… 15
Daftar Pustaka…………………………………………………………………. 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hukum kewarisan Islam menjelaskan tentang prosedur beserta substansi dalam
hal pembagian waris. Zaman yang semakin berkembang menjadi sebuah fenomena
yang perlu dikaji oleh hukum waris Islam. Problematika baru yang belum pernah ada
di masa lalu sekarang muncul bergantian. Konsep dasar dalam hukum waris tentunya
menjadi hal pokok sebagai landasan guna penyelesaian masalah di masyarakat.

Ketika ada seseorang meninggal yang disebut dengan pewaris meninggalkan


harta warisannya dan ahli waris, maka ahli waris harus mendapatkan harta warisan
sesuai dengan bagiannya masing-masing.

Kasus kelebihan harta waris (radd) dan kasus kekurangan harta waris (aul)
bukanlah yang pertama kali. Sudah sekian lama kasus ini terjadi di dalam
masyarakat. Sejauh ini hukum Islam mencoba memberikan solusi terkait masalah ini.
Sehingga jelas bahwa Hukum Waris Islam senantiasa mengikuti perkembangan
zaman. Karena hukum itu bersifat dinamis sesuai dengan keadaan sosial masyarakat
yang ada. Di dalam Hukum Waris Islam ada masalah-masalah kewarisan yang
diselesaikan secara khusus. Masalah-masalah khusus dalam kewarisan ini adalah
persoalan-persoalan kewarisan yang penyelesaiannya menyimpang dari
penyelesaian yang biasa, dengan kata lain pembagian harta warisan itu tidak
dilakukan sebagaimana biasanya. Masalah-masalah khusus ini timbul karena adanya
kejanggalan apabila penyelesaian pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara
biasa. Untuk menghilangkan kejanggalan tersebut, maka penyelesaian pembagian
harta warisan itu dilakukan secara khusus.

Dalam makalah ini akan membahas tentang aul dan radd yaitu ketika
pembagian harta warisan terjadi kekurangan ataupun kelebihan harta.

1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan AUL ?
2. Bagaimana Latar Belakang Terjadinya AUL?
3. Bagaimana Penyelesaian Masalah AUL?
4. Bagaimana Perhitungan Pokok Masalah AUL?
5. Apa yang dimaksud dengan RAD?
6. Apa saja syarat terjadinya RAD?
7. Bagaimana ahli waris penerima RAD dalam hukum islam?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui definisi dari AUL.
2. Untuk mengetahui Latar Belakang Terjadinya AUL.
3. Untuk mengetahui bagaimana Penyelesaian Masalah AUL.
4. Untuk mengetahui Bagaimana Perhitungan Pokok Masalah AUL.
5. Untuk mengetahui definisi dari RAD.
6. Untuk mengetahui apa saja syarat terjadinya RAD.
7. Untuk mengetahui ahli waris penerima RAD dalam hukum islam menurut
beberapa ulama.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. AUL (Kasus kekurangan harta waris)
1. Pengertian Aul
Istilah ‘aul dalam defenisinya dikenal dengan bertambahnya jumlah harta waris
dari yang telah ditentukan (furudhul muqoddaroh) dan berkurangnya bagian para ahli
waris (ashabul furud). Keadaan seperti ini terjadi disaat dalam pembagiannya bagian
ashabul furudh makin banyak sehingga harta yang dibagikan habis sedangkan
diantara mereka ahli waris (ashabul furudh) belum semua menerima pembagian
warisannya. Maka jalan keluarnya adalah ditambahkan jumlah asal masalahnya
sehingga seluruh harta waris dapat dibagi secara cukup dan sesuai jumlah ahli waris
(ashabul furudh) yang tentunya menyebabkan pembagian masing-masing ahli waris
menjadi berkurang. Oleh karena itu terpaksa asal masalahnya ditambah, sehingga
seluruh golongan ash-habul furudh, mendapat kebagian warisan. Dengan demikian
kekurangannya dipikul oleh semua ahli waris tanpa menghalangi seorangpun d ari
warisan. Pada masa Rasul SAW dan Abu Bakar RA tidak pernah terjadi kasus ‘aul. Dan
di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tidak terdapat nash yang mengatur dan menjelaskan
tentang ‘aul oleh karenanyalah masalah aul tersebut adalah masalah ijtihadiyah. 1

2. LATAR BELAKANG TERJADINYA AUL


Pada zaman Rasulullah saw sampai dengan kekhalifahan Abu Bakar, masalah aul ini
belum pernah timbul. Ini berarti bahwa pada masa-masa ini kemungkinan besar memang
tidak didapati peristiwa kematian dengan meninggalkan struktur kewarisan seperti
yang terdapat dalam masalah-masalah aul. Atau boleh jadi karena pada masa-masa itu
tidak ada kasus yang menuntut penyelesaian secara aul.2
Kasus ‘aul yang pertama sekali terjadi adalah dimana Khalifah Umar RA, hal
disebutkan didalam satu riwayat, bahwa seorang perempuan meninggal dunia
meninggalkan suami, dua orang saudara perempuan sekandung. Suami mendapatkan
bagian seperdua, sedangkan dua orang saudara perempuan sekandung mendapatkan
bagian duapertiga, yang ternyata bagiannya lebih banyak dari harta pusaka yang tersisa.

1
Hulia Syahendra, Aul dalam teori dan Praktik hukum waris islam, Hukum Replik Vol.6 No.1 , Maret 2018. Hal
29
2
Muhibbussabry, Fikih Mawaris , (Medan : CV Pusdikra Mitra Jaya,2020). Hal 42

3
Maka datanglah mereka kepada Khalifah Umar r.a. dengan meminta bagian mereka
masing-masing penuh sesuai dengan apa yang telah ditetapkan di dalam al-qur’an, Umar
r.a. menyatakan kepada mereka “saya tidak tahu yang mana diantara kalian yang
didahulukan dan yang diakhirkan”. Apabila engkau memberikan bagian suami
terdahulu, yakni seperdua, maka akan berkuranglah bagian dua orang saudara
sekandung.

Dan andai kata bagian saudara perempuan sekandung didahulukan yakni dua
pertiga, Khalifah Umar menunda masalah keputusan tersebut. Beliau mengadakan
musyawarah dengan para sahabatnya, maka Zaid ibn Tsabit mengusulkan aul, Umar
pun berkata marilah kita meng’aulkan Faridh dan kata-kata Umar tersebut didukung
oleh para sahabat dengan demikian terjadilah Ijma’ sahabat terhadapn masalah ‘aul.

Dan dalam riwayat yang lain dinyatakan bahwa penetapan masalah aul itu adalah
usul dari Abbas Ibnu Abdul Muthollib ra. Ia memberikan masalah pendapatnya supaya
masalah yang dimusyawarahkan tersebut di aulkan saja.

3. PENYELESAIAN MASALAH AUL

Adapun cara menyelesaikan masalah aul, yakni dalam hal jumlah saham-saham
ash-habul furudh melebihi asal masalah, maka untuk memenuhi saham-saham mereka
itu secara sempurna tidak mencukupi, untuk itu asal masalah harus dengan saham-
saham para ahli warits, dan sebagai akibatnya nilai masing-masing saham berkurang
besarnya.

Ada beberapa cara yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan masalah ‘aul
diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Setelah diketahui bagian masing-masing ash habul furudh hendaklah dicari asal
masalahnya, kemudian dicari saham-saham dari masing-masing ash habul furudh itu
dari angka asal masalah, lalu saham-saham keseluruhannya itu dijumlah, maka asal
masalah yang semula ditasbihkan dengan menambahkan angka tertentu sehingga
besarnya sama dengan jumlah saham-saham para ahli waris, dengan kata lain, asal
masalah baru dipakai ialah jumlah saham-saham yang seharusnya diterima oleh para
ahli waris. Cara inilah yang lazim ditempuh oleh para ahli faraidh pada umumnya.

4
b. Jumlah sisa kurang dari harta yang terbagi ditanggung oleh ash habul furudh secara
seimbang dengan jalan mengurangi penerimaan masing-masing sesuai dengan
perbandingan besar kecilnya saham.
c. Mengadakan perbandingan saham-saham ash habul furudh yang satu dengan yang
lain, kemudian saham-saham mereka dijumlah. Jumlah ini dipergunakan untuk
membagi harta pusaka, kemudian bertitik tolak pada pembagian ini dapat diketahui
nilai tiap-tiap bagian, dengan demikian dapat ditetapkan bagian yang seharusnya
diterima oleh masing-masing ahli warits.
4. Perhitungan Pokok Masalah AUL
Pada zaman Rasulullah saw sampai dengan kekhalifahan Abu Bakar, masalah aul ini
belum pernah timbul. Kasus ‘aul yang pertama sekali terjadi adalah dimana Khalifah
Umar RA, ada sahabat yang menanyakan bagian waris suami dan dua saudara kandung
perempuan . Dalam ketetapan faraid suami mendapat ½ dan dua saudara kandung
perempuan mendapat 2/3. Pokok masalahnya adalah enam, suami mendapat tiga bagian
sedangkan dua saudara kandung perempuan mendapat 4 bagian, jumlah seluruh bagian
melebihi pokok masalah. Bagaimana membaginya? Biarpun demikian suami tetap
menuntut mendapat bagian ½ dan dua saudara perempuan tetap menuntut haknya 2/3.
Akhirnya sahabat zaid ibn tsabit menyarankan menggunakan aul. Khalifah Umar bin
khatab menerima saran tersebut dan disepakati oleh sahabat sahabat yang lain.
Pokok masalah dalam ilmu faraid semuanya ada tujuh pokok masalah tiga
diantaranya yang bisa dinaikan (aul)yaitu pokok masalah enam, duabelas dan duapuluh
empat. Adapun pokok masalah dua,tiga,empat,dan delapan tidak bisa dinaikan dan tidak
pernah terjadi aul. 3 Pokok Masalah AUL tersebut diantaranya dapat dijelaskan sebagai
berikut :4
a. Asal Masalah 6
Pokok masalah enam dapat di naikan sebanyak empat kali yaitu tujuh, delapan ,
Sembilan dan sepuluh.

3
M Ichsan Maulana, Pintar Fikih Mawaris,(Bogor : Al Aziziah Press, 2014),Hal 132.
4
Ibid hal 133-140

5
1. Aul menjadi 7
Misal Seoarang istri wafat meninggalkan suami dan 2 orang aaak perempuan .

Suami ½ dari 6 =3
Anak kandung perempuan 2 orang 2/3 dari 6 =4
Jumlah =7

Penjelasan singkat :Harta peninggalan tersebut dijadikan menjadi 7 bagian


dan dari 7 bagian tersebut , suami mendapat 3 bagian , dan 2 orang anak
perempuan mendapat 4 bagian. Jumlah bagian / nishab lebih besar dari pokok
masalah , maka masalah ini mesti dinaikan agar harta peninggalan bisa
mencukupi hak masing – masing ashabul furudl. Masalah AUL ini dinaikan
kepada 7 .

2. AUL Menjadi 8
Misal Seorang istri wafat meninggalkan suami , 2 orang anak perempuan , dan
Ibu.

Suami ½ dari 6 =3
Ibu 1/6 dari 6 =1
Anak kandung 2 orang 2/3 dari 6 =4
Jumlah =8

Penjelasan singkat : Pada masalah ini total keseluruhan bagian adalah 8


sementara pokok masalahnya 6 .Jumlah bagian / nishab lebih besar dari pokok
masalah , maka dari itu masalah ini dinaikan ke 8 agar harta peninggalan bisa
mencukupi hak masing – masing ashabul furudl , dari ke 8 bagian tersebut suami
mendapat 3 bagian , Ibu mendapat 1 bagian dan 2 orang anak perempuan
mendapat 4 bagian.

3. AUL Menjadi 9
Misal Seorang istri wafat meninggalkan suami , 2 orang anak perempuan , dan
Saudara kandung se ibu 2 orang.

6
Suami ½ dari 6 =3
Anak kandung 2 orang 2/3 dari 6 =4
Saudara kandung se ibu 2 orang 1/3 dari 6 =2
Jumlah =9

Penjelasan singkat : Pada masalah ini total keseluruhan bagian adalah 9,


sementara pokok masalahnya 6 .Jumlah bagian / nishab lebih besar dari pokok
masalah , maka dari itu masalah ini dinaikan ke 9 agar harta peninggalan bisa
mencukupi hak masing – masing ashabul furudl. Harta peninggalan tersebut
dijadikan menjadi 9 bagian dan dari 9 bagian tersebut , suami mendapat 3 bagian
,2 orang anak perempuan mendapat 4 bagian, dan Saudara kandung se ibu 2
orang mendapat 2 bagian
4. AUL Menjadi 10
Misal Seorang istri wafat meninggalkan suami, Ibu, 2 orang anak perempuan ,
dan Saudara kandung se ibu 2 orang.

Suami ½ dari 6 =3
Anak kandung 2 orang 2/3 dari 6 =4
Saudara kandung se ibu 2 orang 1/3 dari 6 =2
Ibu 1/6 dari 6 =1
Jumlah = 10

Penjelasan singkat : Pada masalah ini total keseluruhan bagian adalah 10,
sementara pokok masalahnya 6 .Jumlah bagian / nishab lebih besar dari pokok
masalah , maka dari itu masalah ini dinaikan ke 10 agar harta peninggalan bisa
mencukupi hak masing – masing ashabul furudl. Harta peninggalan tersebut
dijadikan menjadi 10 bagian dan dari 10 bagian tersebut , suami mendapat 3
bagian ,2 orang anak perempuan mendapat 4 bagian, Saudara kandung se ibu 2
orang mendapat 2 bagian , dan Ibu mendapat 1 bagian.
b. Asal Masalah 12
Asal Masalah 12 dapat dinaikan sebanyak 3 kali , yaitu:

7
1. AUL menjadi 13
Misal Seorang suami wafat meninggalkan istri, Ibu, 2 orang anak perempuan.

Istri ¼ dari 12 =3
Anak kandung 2 orang 2/3 dari 12 =8
Ibu 1/6 dari 12 =2
Jumlah = 13

Penjelasan singkat : Pada masalah ini total keseluruhan bagian adalah 13,
sementara pokok masalahnya 12 .Jumlah bagian / nishab lebih besar dari pokok
masalah , maka dari itu masalah ini dinaikan ke 13 agar harta peninggalan bisa
mencukupi hak masing – masing ashabul furudl, dari 13 bagian tersebut , Istri
mendapat 3 bagian ,2 orang anak perempuan mendapat 8 bagian, dan Ibu
mendapat 2 bagian.
2. AUL Menjadi 15
Misal Seorang suami wafat meninggalkan istri, Ibu, anak laki - laki, saudara
perempuan se ayah , saudara perempuan se ibu.

Istri ¼ dari 12 =3
Anak laki laki ½ dari 12 =6
Ibu 1/6 dari 12 =2
Saudara kandung se ayah 1/6 dari 12 =2
Saudara kandung se ibu 1/6 dari 12 =2
Jumlah = 15

Penjelasan singkat : Pada masalah ini total keseluruhan bagian adalah 15,
sementara pokok masalahnya 12 .Jumlah bagian / nishab lebih besar dari pokok
masalah , maka dari itu masalah ini dinaikan ke 13 agar harta peninggalan bisa
mencukupi hak masing – masing ashabul furudl, dari 15 bagian tersebut , Istri
mendapat 3 bagian ,anak laki laki mendapat 6 bagian, Ibu mendapat 2 bagian,
saudara kandung se ayah mendapat 2 bagian, saudara kandung seibu mendapat
2 bagian.

8
3. AUL Menjadi 17
c. Asal Masalah 24
Asal Masalah 24 dapat dinaikan sebanyak 1 kali , yaitu naik menjadi masalah 27.

B. RAD (Kasus kelebihan harta waris)


1. Pengertian Rad.
Kata radd berarti i’adah yang bermakna mengembalikan, sebagaimana kalimat radda
‘alayh haqqah yang berarti ‘adahu ‘alayh yang artinya dia mengembalikan hak
kepadanya. Kata radd juga berarti sarf yaitu memulangkan kembali. Sebagaimana kalimat
radda ‘anhu kaida ‘aduwwih, bermakna memulangkan kembali tipu muslihat musuhnya.
Dalam literatur lain disebutkan bahwa radd berarti al-irja’ yang bermakna pengembalian.
Radd dalam bahasa Arab secara umum berarti adalah kembali/kembalikan atau juga
bermakna berpaling/palingkan dan menghalau.
Menurut Wahbah al-Zuhayli, radd adalah adanya harta yang tersisa dalam
perhitungan dan apa yang tersisa dikembalikan kepada dhawil furud nasab (selain
suami/isteri) sesuai dengan bagian-bagian perhitungan mereka.Wahbah menyangkal
adanya pengembalian kepada suami/isteri dengan alasan bahwa, mereka tidak memiliki
hubungan nasab tetapi hanya dibatasi dengan hubungan sebab, yaitu hubungan
perkawinan. Sehingga, bagian harta yang tersisa hanya diberikan kepada dhawil furud
nasab sesuai dengan hak mereka masing-masing ketika tidak dijumpai adanya ‘asabah.
Apabila dalam kasus tersebut terdapat ‘asabah, maka kasus ini tidak dinamakan dengan
radd, karena harta dapat dihabiskan oleh ahli waris ‘asabah, sehingga tidak ada harta yang
tersisa.5
Dengan demikian, radd dapat dipahami sebagai salah satu kasus waris yang terjadi
apabila jumlah saham-saham ahli waris lebih kecil dari pada asal masalah yang akan
dibagi. Sehingga menyebabkan adanya sisa lebih dari saham yang tidak habis terbagi
tersebut dan dikembalikan bagian yang tersisa dari bagian dhawil furud nasabiyyah kepada
mereka sesuai dengan besar kecilnya bagian, apabila tidak ada orang lain yang berhak
menerimanya. Saham yang tersisa tersebut harus dikembalikan melalui penyelesaian yang

5
Muhammad ‘Ali al-Sabuni, Pembagian Waris menurut Islam, terj. A.M. Basalamah (Jakarta: Gema Insani,
1995), hal 105.

9
tepat berdasarkan nass.Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadinya perselisihan antar dhawil
furud.6

2. SYARAT TERJADINYA RAD


Syarat pusaka-mempusakai salah satunya adalah adanya ahli waris atau dhawil furud
yang berhak menerima bagian-bagiannya sesuai dengan ketentuan nass. Mereka dapat
menerima harta waris lantaran mempunyai sebab-sebab untuk mempusakai, seperti adanya
hubungan darah, perkawinan, dan hubungan wala’ (kekerabatan menurut hukum yang
timbul karena membebaskan budak ataupun adanya perjanjian tolong menolong dan
sumpah setia antara seseorang dengan yang lainnya). Hal itu juga menjadi salah satu rukun
dari radd, dengan adanya ahli waris dhawil furud maka harta dapat dibagikan sesuai
dengan bagian mereka masingmasing seperti yang terdapat dalam nass. Ada kemungkinan,
masih ada sisa harta setelah dilakukan pembagian terhadap dhawil furud yang ada. Jika
harta tersebut lebih setelah yang bagian pokoknya dibagikan, maka rukun dari radd
terpenuhi, yang mengakibatkan adanya pengembalian kembali kepada mereka yang
berhak menerimanya.
Inti permasalahannya adalah adanya sisa harta yang kemudian akan dikembalikan
kepada ahli waris yang berhak menerimanya sesuai dengan ijtihad para sahabat.
Merupakan suatu kemungkinan akan terjadi suatu kasus penyelesaian pembagian harta
peninggalan tanpa ada ahli waris yang berkedudukan sebagai ‘asabah. Ini merupakan
rukun yang ketiga dalam kasus radd, yaitu tidak adanya ‘asabah. Apabila terwujudnya
‘asabah dalam pembagian warisan, harta tidak akan bersisa. Secara otomatis harta tersebut
akan dihabiskan oleh ahli waris yang masuk dalam kategori ‘asabah. Misalnya adanya
anak laki-laki, bapak atau kakek. Ketiga rukun tersebut harus ada tanpa terkecuali, apabila
salah satu dari ketiga rukun tersebut tidak terpenuhi, maka radd tidak akan terjadi.
Radd terjadi apabila terpenuhinya tiga syarat yang menjadi penyebab terjadinya
masalah waris tersebut, di antaranya:
a. Adanya dhawil furud
b. Adanya sisa bagian peninggalan
c. Tidak adanya ‘asabah

6
Lia Murlisa, Ahli waris penerima rad menurut kompilasi hukum islam, Islam Futura Vol 14 No 2, Februari
2015.hal 288.

10
Bila tidak memenuhi ketiga syarat diatas maka masalah rad tidak akan terjadi . 7

Ahli waris yang berhak menerima tambahan bagian rad ada 8 orang ,diantaranya :
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari keturunan laki-laki
3. Ibu
4. Saudara kandung perempuan
5. Saudara perempuan seayah
6. Saudara perempuan seibu
7. Saudara laki-laki seibu
8. Nenek

Adapun ayah dan kakek bila salah satu diantara mereka masih ada , maka tidak akan
terjadi rad karena jika harta masih tersisa kemungkinan mereka yang akan mendapatkan
tambahan sebagai ashobah .8

3. AHLI WARIS PENERIMA RAD DALAM HUKUM ISLAM

Berikut ini telah disebutkan dari beberapa ulama tentang penerima rad dalam hukum
islam , diantaranya sebagai berikut :9

a. ‘Utsman bin ‘Affan


Utsman bin Affan berpendapat bahwa jika harta melebihi saham dan tidak
ada ‘asabah dari jalur nasab dan juga dari jalur sebab pewarisan, maka harta
dibagikan seluruhnya kepada dhawil furud tanpa terkecuali (radd boleh diberikan
kepada siapa saja tanpa ada pengecualian) sesuai dengan bagian mereka
masingmasing. Menurutnya lagi, radd juga dapat diberikan kepada suami atau isteri
sebagaimana diberikan kepada dhawil furud lainnya. ‘Utsman merujuk pada
permasalahan ‘awl, dimana suami atau isteri menanggung kekurangan ketika ‘awl.26
Jika terjadi ‘awl pada pewarisan, tentu akan ada pengurangan bagian dari semua
dhawil furud, tanpa terkecuali. Agar imbang, mereka juga wajib menerima tambahan
ketika ada pengembalian untuk harta yang tersisa. Adapun ahli waris penerima radd
menurut ijtihad ‘Utsman bin ‘Affan antara lain adalah sebagai berikut:

7
M Ichsan Maulana, Pintar Fikih Mawaris,(Bogor : Al Aziziah Press, 2014),Hal 132.
8
Ibid Hal 132.
9
Lia Murlisa, Ahli waris penerima rad menurut kompilasi hukum islam, Islam Futura Vol 14 No 2, Februari
2015.hal 291.

11
1. Suami/isteri
2. Ayah
3. Kakek,
4. Ibu
5. Nenek
6. Anakperempuan
7. Cucu perempuan pancar laki-laki
8. Saudari kandung
9. Saudari seayah
10. Saudari seibu
11. Saudara seibu

b. Ibnu Mas’ud
Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa sisa harta warisan dikembalikan kepada ahli
waris dhawil furud kecuali tujuh orang, di antaranya suami/isteri (keduanya secara
mutlak), cucu perempuan garis laki-laki jika ada anak perempuan, saudara
perempuan seayah jika bersama saudara perempuan sekandung, saudara-saudara ibu
apabila bersama ibu, nenek jika ada dhawil furud yang lebih berhak. Dalam hal ini
Ibnu Mas’ud memprioritaskan ahli waris yang berhak menerima radd adalah ahli
waris yang terdekat. Sebagai contoh nenek. Nenek dekat dengan si mayit karena ada
perantara perempuan lain yaitu ibu sehingga memperlemah nenek untuk mendapatkan
hak waris, secara otomatis nenek tidak dapat ikut bergabung kepada mereka yang
mempunyai hubungan kekerabatan yang lebih kuat.
c. Ibnu ‘Abbas
Ibnu Abbas berpendapat bahwa pengembalian terhadap harta warisan yang
tersisa itu diserahkan kepada dhawil furud selain suami/isteri, juga selain nenek jika
ia bersama dengan seorang dhawil furud yang memiliki hubungan kekerabatan karena
nasab. Jika tidak ada, maka ia boleh memiliki pengembalian harta tersebut Oleh
karena itu, nenek tidak boleh mendapatkan bagian lebih dari apa yang
telah ditetapkan, kecuali jika tidak ada dhawil furud yang memiliki hubungan
kekerabatan karena nasab. Dengan demikian menurut Ibnu ‘Abbas, dhawil furud
yang berhak menerima radd adalah ayah, kakek ke atas, ibu, anak perempuan, cucu

12
perempuan dari anak laki-laki, saudari kandung, saudari seayah, saudari seibu dan
saudara seibu.
d. Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa radd bisa digunakan untuk menyelesaikan
pembagian harta warisan yang tersisa dan hak radd diberikan kepada semua dhawil
furud berdasarkan garis keturunan, artinya suami/isteri tidak dapat menerima hak
tersebut karena mereka saling pusaka mempusakai oleh sebab perkawinan dan
terputus hubungan mereka karena salah satunya meninggal dunia. Alasan ‘Ali bin Abi
Talib ialah bahwa nass yang mengatur hak suami/isteri mengenai kewarisan telah
demikian tegas dan hanya dalam ayat mawaris saja. dhawil furud yang berhak
menerima radd di antaranya adalah ibu, nenek, anak perempuan, cucu perempuan
pancar laki-laki, saudari kandung, saudari seayah, saudari seibu dan saudara seibu.

13
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Aul adalah bertambahnya jumlah harta waris dari yang telah ditentukan (furudhul
muqoddaroh) dan berkurangnya bagian para ahli waris (ashabul furud). Jalan keluarnya
adalah ditambahkan jumlah asal masalahnya sehingga seluruh harta waris dapat dibagi
secara cukup dan sesuai jumlah ahli waris (ashabul furudh) yang tentunya menyebabkan
pembagian masing-masing ahli waris menjadi berkurang. Dengan demikian
kekurangannya dipikul oleh semua ahli waris tanpa menghalangi seorangpun dari
warisan. Pada zaman Rasulullah saw sampai dengan kekhalifahan Abu Bakar, masalah aul
ini belum pernah timbul,oleh karenanyalah masalah aul tersebut adalah masalah
ijtihadiyah. Kasus ‘aul yang pertama sekali terjadi adalah dimana Khalifah Umar RA.
Pokok masalah dalam ilmu faraid semuanya ada tujuh pokok masalah tiga diantaranya
yang bisa dinaikan (aul)yaitu pokok masalah enam, duabelas dan duapuluh empat.
Adapun pokok masalah dua,tiga,empat,dan delapan tidak bisa dinaikan dan tidak pernah
terjadi aul.

Radd dalam bahasa Arab secara umum berarti adalah kembali/kembalikan atau juga
bermakna berpaling/palingkan dan menghalau. Menurut Wahbah al-Zuhayli, radd adalah
adanya harta yang tersisa dalam perhitungan dan apa yang tersisa dikembalikan kepada
dhawil furud nasab (selain suami/isteri) sesuai dengan bagian-bagian perhitungan mereka.
Radd dapat dipahami sebagai salah satu kasus waris yang terjadi apabila jumlah saham-
saham ahli waris lebih kecil dari pada asal masalah yang akan dibagi. Sehingga
menyebabkan adanya sisa lebih dari saham yang tidak habis terbagi tersebut dan
dikembalikan bagian yang tersisa dari bagian dhawil furud nasabiyyah kepada mereka
sesuai dengan besar kecilnya bagian, apabila tidak ada orang lain yang berhak
menerimanya.
Radd terjadi apabila terpenuhinya tiga syarat yang menjadi penyebab terjadinya
masalah waris tersebut, di antaranya:
d. Adanya dhawil furud
e. Adanya sisa bagian peninggalan
f. Tidak adanya ‘asabah
Bila tidak memenuhi ketiga syarat diatas maka masalah rad tidak akan terjadi .

14
Ahli waris yang berhak menerima tambahan bagian rad ada 8 orang ,diantaranya :
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari keturunan laki-laki
3. Ibu
4. Saudara kandung perempuan
5. Saudara perempuan seayah
6. Saudara perempuan seibu
7. Saudara laki-laki seibu
8. Nenek
Adapun ayah dan kakek bila salah satu diantara mereka masih ada , maka tidak akan
terjadi rad karena jika harta masih tersisa kemungkinan mereka yang akan mendapatkan
tambahan sebagai ashobah .

B. KRITIK DAN SARAN


Demikian makalah ini kami susun dan tentunya jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

15
DAFTAR PUSTAKA

Hulia Syahendra, Aul dalam teori dan Praktik hukum waris islam, Hukum Replik Vol.6 No.1 , Maret 2018. Hal 29

Lia Murlisa, Ahli waris penerima rad menurut kompilasi hukum islam, Islam Futura Vol 14 No 2, Februari
2015.hal 291

Muhibbussabry, Fikih Mawaris , (Medan : CV Pusdikra Mitra Jaya,2020). Hal 42


M Ichsan Maulana, Pintar Fikih Mawaris,(Bogor : Al Aziziah Press, 2014),Hal 132.

Muhammad ‘Ali al-Sabuni, Pembagian Waris menurut Islam, terj. A.M. Basalamah (Jakarta: Gema Insani,
1995), hal 105.

16

Anda mungkin juga menyukai