Anda di halaman 1dari 11

Masalah Khoroq’, Musytarakah, Gharawayn Dalam Waris

Makalah ini disusun untuk memenuhitugas mata kuliah Fiqh Mawaris

Dosen pengampu : Syabul bachri, M.HI.

Disusun Oleh Kelompok 10:

1. Shafira Haifa’ A. N (210203110008)


2. Raihan Dzaky Ferdiansyah (210203110071)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya layak kita panjatkan kehadirat Allah Swt. Tuhan seru sekalian
alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”Masalah Kharaqa’,
Mustarakah, Gharawayn dalam Waris ”. Penulis memperoleh banyak bantuan dari
berbagai pihak atas penyusunan makalah ini, karena itu penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen pengampu Mata Kuliah Fiqh Mawaris,
Bapak Syabul bachri, M.HI. yang telah memberikan dukungan, dan kepercayaan yang
begitu besar.
Semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada
langkah yang lebih baik lagi kedepannya. Meskipun penulis berharap isi dari makalah
ini bebas dari kekurangan dan kesalahan namun tak ada gading yang tak retak, penulis
senantiasa mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat
lebih baik lagi. Akhir kata, penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua
pembaca.

Malang, 20 Mei 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii

BAB I (PENDAHULUAN) .............................................................................................. 1

A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah.................................................................................................. 1
C. Tujuan Masalah ..................................................................................................... 1

BAB II (PEMBAHASAN) ............................................................................................... 2

A. Masalah Kharqa’ ................................................................................................... 2


B. Masalah Musytarakah ............................................................................................ 3
C. Masalah Gharawayn .............................................................................................. 4

BAB III (PENUTUP) ....................................................................................................... 7

A. Kesimpulan ...................................................................................................... 7

Daftar Pustaka ............................................................................................................... 8

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Persoalan mengenai waris dalam tatanan kehidupan sehari-hari tidak bisa dianggap
remeh, karena dalam hal ini waris merupakan masalah yang berkaitan dengan pembagian harta,
yang bernilai sensitif yang jika tidak diselesaikan secara adil, maka sudah dipastikan akan
berdampak pada timbulnya masalah. Hak waris kental kaitannya dengan masalah, untuk itulah
pemahaman akan hak dan kewajiban seorang ahli waris sangat mempengaruhi dalam proses
pembagian harta waris.

Sistem waris merupakan salah satu cara adanya perpindahan kepemilikan, yaitu
“berpindahnya harta benda dan hak-hak material dari pihak yang mewariskan (muwaris),
setelah yang bersangkutan wafat kepada para penerima warisan (waratsah) dengan jalan
pergantian yang didasarkan pada hukum syara. ”Terjadinya proses pewarisan ini, tentu setelah
memenuhi hak-hak terkait dengan harta peninggalan si mayit. Orang-orang Arab di masa
jahiliyah telah mengenal sistemwaris sebagai sebab berpindahnya kepemilikan hanya
diperuntukkan untuk laki-laki, berfisik kuat. Sistem kewarisan di masa jahiliyah ini terus
berkembang sampai permulaan Islam dengan mengubah tidak hanya laki-laki yang
mendapatkan warisan, tetapi untuk semua orang yang mempunyai hubungan nasab dan sebab
pernikahan.
Dalam pandangan Islam kewarisan itu termasuk salah satu bagian dari fiqih atau
ketentuan yang harus di patuhi umat Islam dan dijadikan pedoman dalam menyelesaikan harta
peninggalan seseorang yang telah mati. Allah Subhanahu Wa Ta’alamenetapkan ketentuan
tentang warisan ini adalah karena ia menyangkut dengan harta yang di satu sisi kecenderungan
manusia kepadanya dapat menimbulkan persengketaan dan di sisi lain Allah, Subhanahu Wa
Ta’alatidak menghendaki manusia memakan harta yang bukan haknya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana para pendapat ulama mengenai masalah dalam waris ?


2. Bagaimana cara penyelesaian masalah dalam waris ?
3. Apa itu masalah Kharqa’, Mustarakah, dan Gharawayn ?

C. Tujuan Masalah
Tujuan dengan adanya makalah ini untuk :
1. Mengetahui pendapat para ulama mengenai masalah dalam waris
2. Mengetahui bagaimana cara penyelesaian masalah dalam waris
3. Mengetahui apa arti dari Kharqa’, Mustarakah, dan Gharawayn

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Masalah Kharqa’
Pengertian Masalah Kharqa’
Kharqa secara bahasa berarti mencabik, memecah, menggoyah, dan menyobek.
Adapun menurut istilah kharqa adalah suatu kasus dalam pembagian yang melibatkan ahli
waris ibu, saudara perempuan dan kakek. Masalah ini dinamakan dengan masalah 'harqa'
(koyak atau cabik) adalah karena dalam masalah ini terdapat bermacam-macam pendapat
sahabat seolah-olah pendapat yang satu mengoyakkan atau mencabik pendapat yang lain, yaitu
pendapat Zaid bin Tsabit yang diikuti oleh mazhab Imam Malik, Syafi'i dan Ahmad di satu
pihak, pendapat Abu Bakar yang dianut oleh mazhab Imam Abu Hanifah di satu pihak dan
pendapat Utsman bin 'Affan di pihak lain. Selain itu ada pula pendapat Ibnu Mas'ud.
Menurut pendapat Zaid bin Tsabit ibu mendapat bagian sepertiga (1/3), sedangkan
kakek beserta seorang saudara perempuan kandung mendapat bagian muqasamah dengan
ketentuan bahwa kakek mendapat dua kali bagian saudara perempuan kandung (2 : 1). Menurut
pendapat Gbu Bakar ibu mendapat sepertiga I, kakek menjadi 'ashabah (2/3), sedangkan
seorang saudara perempuan kandung terhijab oleh kakek sehingga ia tidak mendapat. Menurut
pendapat Usman bin. 'Affan warisan itu dibagi menjadi tiga bagian. Ibu mendapat ratu bagian
(1/3 dari 3). Begitu juga kakek dan seorang saudara perempuan kandung. Masing-masing
mereka mendapat satu bagian (1/3 dari 3). Menurut pendapat Ibnu Mas'ud seorang saudara
perempuan kandung mendapat seperdua (1/2), sedangkan kakek dan ibu masing-masing
mendapat seperdua dari sisa, yaitu setelah dikeluarkan bagian seorang saudara perempuan
kandung. Dengan demikian ibu mendapat seperempat (1/4) dan kakek mendapat seperempat
(1/4) atau separoh dari seperdua (1/2 dari 1/2), yakni setelah dikeluarkan bagian seorang
saudara perempuan sebanyak seperdua (1/2).

Contoh Masalah Kharqa


1. Menurut Zaid Ibn Tsabit yang diikuti oleh imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam
Hambali, ibu mendapatkan bagian 1/3 karena tidak ada anak, cucu atau dua saudara
atau lebih. Adapun sisa harta dibagikan kepada kakek dan saudara perempuan sesuai
dengan prinsip 2:1. Jika harta waris yang ditinggalkan 90 juta, maka:
 Ibu 1/3 x 90 juta = 10 juta (sisanya Rp. 60 juta dibagi kakek dan saudara
perempuan).
 Kakek asabah = 40 juta
 Saudara asabah = 20 juta
2. Dikemukakan oleh Ali Ibn Abi Tholib. Menurutnya ibu mendapatkan 1/3 sedangkan
saudara perempuan ½ dan kakek mendapatkan sisanya yaitu 1/6.
Asal Masalah 6.
 Ibu 1/3 → 2/6 x 90 juta = 30 juta
 Saudara perempuan ½ → 3/6 x 90 juta = 45 juta
 Kakek 1/6 → 1/6 x 90 juta = 15 juta

2
B. Masalah Musytarakah

Pengertian Musytarakah
Di dalam hukum waris Islam, masalah musytarakah ini digambarkan di mana dalam
pembagian warisan ahli waris yang ada terdiri dari suami, dua orang saudara seibu atau lebih
(baik laki-laki maupun perempuan atau campuran keduanya), seorang saudara laki-laki
kandung atau lebih, dan seorang ibu atau nenek. 1

Penyelesaian Masalah Kewarisan Musytarakah


Dalam masalah musytarakah ini suami mendapatkan bagian 1/2, ibu atau nenek
mendapat bagian 1/6, saudara seibu memperoleh bagian 1/3, dan saudara laki-laki kandung
mendapat bagian ashabah. Namun pada kenyataannya semua ahli waris yang mendapatkan
bagian pasti menghabiskan seluruh harta waris yang ada sehingga saudara laki-laki sekandung
yang mendapat bagian ashabah atau sisa tidak mendapatkan apa-apa.

Untuk lebih mudah memahami masalah ini dapat digambarkan dalam sebuah tabel sebagai
berikut:

Ahli Waris Bagian 6

Suami 1/2 3
Ibu/Nenek 1/6 1
Saudara Seibu 1/3 2

Saudara Laki-laki Ashabah -


Majmu’ Siham 6

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa saudara laki-laki kandung pada akhirnya tidak
mendapatkan apa-apa dari harta waris dikarenakan telah dibagi habis oleh para ahli waris yang
memperoleh bagian pasti (dzawil furûdl).
Untuk menyelesaikan masalah ini para ulama faraidl mengambil jalan dengan
menjadikan saudara laki-laki kandung sebagai saudara seibu di mana mereka bersama-sama
mendapatkan bagian pasti 1/3.
Dengan demikian maka pembagian warisan dalam masalah musytarakah ini menjadi
sebagai berikut:

Ahli Waris Bagian 6

Suami 1/2 3

1
“Mengenal Konsep Musytarakah dalam Hukum Waris Islam,” nu.or.id, diakses 21 Mei 2023,
https://islam.nu.or.id/warisan/mengenal-konsep-musytarakah-dalam-hukum-waris-islam-Kt5aY.

3
Ibu/Nenek 1/6 1
Saudara Seibu dan 1/3 2
Saudara Laki-laki
Majmu’ Siham 6

Dari tabel di atas dapat dipahami bahwa bagian 1/3 yang pada mulanya hanya menjadi
bagian saudara seibu kini juga dibagikan kepada saudara laki-laki kandung. Dengan demikian
maka siham 2 dibagikan secara rata kepada sejumlah ahli waris yang terdri dari saudara seibu
dan saudara laki-laki kandung.
Menurut Musthafa Al-Khin masalah musytarakah ini pertama kali ditetapkan oleh sahabat
Umar bin Khathab dan disepakati oleh sekelomok sahabat di antaranya Zaid bin Tsabit. Atas
dasar ini pula Imam Syafi’i menjadikannya sebagai pendapat madzhabnya.

C. Masalah Gharawayn

a. Pengertian Gharawayn
Secara bahasa, Gharawain berasal dari kata Gharra artinya tipuan. Menurut Abd. Al
Rahim dalam masalah tersebut terjadi penipuan kepada ahli waris ibu. Dalam ketentuannya ibu
menerima 1/3 bagian, tetapi kenyataannya ia menerima ¼ atau bahkan 1/6 bagian dari harta
peninggalan. Ulama lain mengartikan Gharawain sebagai bentuk ganda dari Gharra (tasniyah)
yang berarti “bintang cemerlang”. Masalah ini disebut juga masalah ‘Umrayatain, dinisbahkan
kepada penggagas utamanya yaitu Umar bin Khattab. Malahan Syihab al Din al Ramly
menyebutnya dengan Gharibatain, karena masalah tersebut tidak ada yang menandinginya. 2

b. Pendapat fuqoha tentang masalah Gharawayn


Masalah Gharawain merupakan salah satu dari masalah - masalah ijtihadiyah
(menyimpang dari ketentuan yang berlaku umum sepanjang ilmu faraidh), yakni bagian ibu
yang merupakan salah seorang waris dari kelompok ashhabul furudh mendapat alternatif
bagian 1/3 atau 1/6. Dalam konteks ini bagian ibu berubah menjadi 1/3 sisa (tsuluts al baqi).
Hal ini terjadi dalam kasus kewarisan yang strukturnya terdiri dari: suami, ibu, dan ayah, atau
istri, ibu, dan ayah pewaris (dua kasus). 3

Yang menjadi latar belakang/dasar pemikiran sebabsebabnya ibu diberikan 1/3 sisa
terhadap dua masalah dimaksud, tidak 1/3 harta adalah, berdasarkan kepada peraturan umum
dalam ilmu faraidh bahwa “laki-laki mendapat dua kali lipat dari bagian perempuan.” Seperti
pada masalah pertama, jika ibu diberikan bagian 1/3 = 2/6, tentu bagian ayah akan lebih sedikit,

2
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan (LSIK), Raja Grafindo Persada, Jakarta,
cet. I, 1973, hal. 103-104.
3
Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN di jakarta, Direktorat Jenderal
Pembinaan kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, op cit, hal. 143.

4
sebab ayah selaku ashobah hanya mendapat 1/6 bagian, sebab suami mengambil bagian
sebanyak ½ = 3/6. Begitu juga dengan masalah kedua. Oleh karenanya dicarikan jalan keluar
agar dua banding satu antara ayah dan ibu (dalam hal ini) dapat direalisasikan dalam dua kasus
tersebut, dengan cara memberikan ibu (dalam dua kasusnya) sebesar 1/3 sisa saja.

Sehubungan dengan permasalahan ini, bagian untuk ayah selaku ashobah, ternyata
lebih sedikit dari bagian ibu yang semestinya mendapat bagian 1/3 karena pewaris tidak ada
meninggalkan keturunan atau dua saudara. Oleh karena itu, penerapannya perlu
mempertimbangkan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat dimana hukum waris
tersebut dilaksanakan.

Di samping itu, ada pula fuqaha yang tidak sependapat dengan masalah Gharawain ini,
seperti Ibnu Abbas, Qadi Syuraih, Dawud Ibn Sirin, dan jama’ah, dengan latar belakang
pemikiran bahwa:
Kalau yang dijadikan alasan oleh pendapat yang menyatakan bahwa ibu mendapat 1/3
sisa itu adalah, karena kalau ditetapkan dengan 1/3 saja bagian ayah akan lebih sedikit, maka
oleh pendapat yang kedua yang menyatakan bahwa bagian ibu adalah 1/3 (sesuai teks ayat di
atas) dinyatakan bahwa: “Bagaimana halnya dengan permasalahan (kasus kewarisan) yang
strukturnya terdiri dari istri, ibu, dan ayah?” Sebab di sini bagian akan terlihat lebih banyak
dari bagiannya ibu, walaupun tidak sampai pada dua kali lipatnya. 4
Bertolak dari sini pula, kiranya dapat dipahami mengapa Ibnu Sirin dan Abu tsaur
nampaknya menggabungkan antara penerapan Umar bin Khattab dan Ibnu Abbas. Yakni untuk
kasus kewarisan yang strukturnya terdiri dari: suami, ibu, dan ayah, maka ibu diberikan dengan
bagian 1/3 sisa. Sedangkan untuk kasus yang strukturnya terdiri dari: isteri, ibu, dan ayah, ibu
(dalam hal ini) diberikan 1/3 harta (mendapat bagian sebagaimana ketentuan umum dalam ilmu
faraidh). Dengan demikian, kasus kewarisan seperti dalam masalah Gharawain/’Umrayatain
ini. Penyelesaiannya dapat dilihat dalam dua versi pendapat, yaitu pendapatnya Umar bin
Khattab dan versinya Ibnu Abbas. Di dalam aplikasinya, menurut analisis Ibnu Rusyd dan
Fatchur Rahman, pendapat jumhur ulama dipandang lebih praktis dan rasional.

c. Contoh Masalah Gharawyn

a) Kasus kewarisan yang ahli warisnya terdiri dari: suami, ibu, dan ayah, maka
penyelesaiannya adalah
 Suami mendapat ½ = 3/6
 Ibu 1/3 sisa = 1/6
 Ayah, ashobah = 2/6
Suami lebih dahulu mengambil bagiannya ½, karena pewaris tidak memiliki keturunan,
sehingga sisanya yang ½ itu, kemudian diserahkan untuk ibu sebanyak 1/3 sisanya, yakni 1/3
x ½ = 1/6, dan sisanya yang 2/6, diberikan kepada ayah selaku ashobah.

4
Departemen Agama Republik Indonesia, Proyek Pengadaan Kitab Suci al Qur’an, al Qur’an dan Terjemahnya,
Pelita IV, Tahun I, 1984/1985, Jakarta, hal. 117.

5
b) Kasus kewarisan yang ahli warisnya terdiri dari: istri, ibu, dan ayah, penyelesaiannya
sebagai berikut :
 Isteri mnedapat ¼ = ¼
 Ibu 1/3 sisa = ¼
 Ayah, ashobah = 2/4

Istri lebih dahulu mengambil bagiannya ¼, karena pewaris tidak ada meninggalkan
keturunan, kemudian sisanya ¾ diberikan untuk ibu sebanyak 1/3 nya dari ¾ =1/4, dan sisanya
yang 2/4 kemudian diserahkan kepada ayah selaku ashobah. Nampak bahwa bagian ayah
adalah dua kali lipat dari bagian ibu pewaris. Perolehan ayah dalam dua masalah Gharawain
ini akan berbeda, sekalipun dalam dua masalah tersebut, bagian ibu sama-sama 1/3 sisa. Sebab,
dalam kasus pertama misalnya, ashhabul furudh yang pertama sekali mengambil bagiannya
adalah suami, sedang dalam masalah kedua, adalah istri pewaris. Bagian ayah dalam kasus
pertama lebih sedikit jika dibandingkan pada kasus kedua.

Sebab, di kasus pertama, suami mengambil ½ bagian, sedangkan pada kasus kedua istri
hanya mengambil ¼ nya saja dari harta warisan. Jika dua kasus kewarisan ini tidak diselesaikan
dengan tsuluts baqi (Gharawain), maka hasilnya akan terlihat seperti berikut: di kasus pertama,
suami mendapat ½, ibu mendapat 1/3, sedangkan ayah selaku ashobah hanya mendapat 1/6
bagian (2:1, untuk ibu dan ayah). Pada kasus kedua, istri mendapat ¼, ibu mendapat 1/3, dan
ayah selaku ashobah mendapat 5/12 bagian (1/3:5/12 untuk ibu dan ayah). Bagian ayah
memang tampak lebih banyak daripada bagian ibu di kasus ini, tapi tidak sampai dua kali
lipatnya.

Memperhatikan dua kasus kewarisan yang penyelesaiannya jika diterapkan sesuai


pendapatnya Ibnu Abbas, maka di sinilah barangkali dapat diketahui alasan atau penyebab
kenapa Ibnu Sirin dan Abu Tsaur, berpendapat bahwa dalam hal ahli waris terdiri dari suami,
ibu, dan ayah, maka bagian ibu adalah 1/3 sisa (tsuluts baqi). Sedangkan jika ahli waris terdiri
dari istri, ibu, dan ayah, maka ibu ditetapkan mendapat 1/3 bukan 1/3 sisa, karena dengan
bagian ibu yang 1/3 itupun bagian ayah selaku ashobah sudah lebih banyak jika dibandingkan
dengan bagian ibu.

Padahal, kedua kasus tersebut masuk dalam permasalahan kasus istimewa


Gharawain/’Umrayatain (dua kasus yang struktur kewarisannya “baku”). Sementara dengan
pendapatnya Umar, sang penggagas utama kasus ini, semacam diistimewakan/dikhususkan
bahwa ibu diberikan 1/3 sisa dalam dua kasusnya. Gharawain/’Umrayatain sebagai bentuk
ganda (tasniyah) sekaligus melambangkan bahwa kasus ini dimaksudkan dalam dua kasus yang
struktur kewarisannya tetap, tidak berubah. Atau, jika tidak seperti itu susunan warisnya, maka
kasus ini tidak dinamai sebagai kasus atau masalah istimewa atau khusus
Gharawain/’Umrayatain.

6
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan dari masalah kharqa dalam pembagian warisan adalah terdapat perbedaan
pendapat di antara para sahabat mengenai bagaimana pembagian tersebut seharusnya
dilakukan. Pendapat Zaid bin Tsabit mengatakan bahwa ibu mendapatkan sepertiga (1/3)
warisan, sementara kakek dan seorang saudara perempuan mendapatkan bagian yang dibagi
dengan perbandingan 2 banding 1 (2:1). Pendapat Abu Bakar menyatakan bahwa ibu
mendapatkan sepertiga (1/3) warisan, kakek mendapatkan dua pertiga (2/3) warisan sebagai
ashabah, dan seorang saudara perempuan kandung tidak mendapatkan bagian. Pendapat
Utsman bin Affan mengatakan bahwa warisan dibagi menjadi tiga bagian yang masing-masing
diberikan kepada ibu, kakek, dan seorang saudara perempuan kandung. Pendapat Ibnu Mas'ud
menyatakan bahwa seorang saudara perempuan kandung mendapatkan separuh (1/2) warisan,
sementara kakek dan ibu masing-masing mendapatkan separuh (1/2) sisa warisan setelah
bagian saudara perempuan kandung dikeluarkan. Ibu mendapatkan seperempat (1/4) dan kakek
mendapatkan seperempat (1/4) atau separuh dari separuh (1/2 dari 1/2) setelah bagian seorang
saudara perempuan kandung dikeluarkan.

Dalam masalah musytarakah ini suami mendapatkan bagian 1/2, ibu atau nenek mendapat
bagian 1/6, saudara seibu memperoleh bagian 1/3, dan saudara laki-laki kandung mendapat
bagian ashabah. Namun pada kenyataannya semua ahli waris yang mendapatkan bagian pasti
menghabiskan seluruh harta waris yang ada sehingga saudara laki-laki sekandung yang
mendapat bagian ashabah atau sisa tidak mendapatkan apa-apa. Untuk menyelesaikan masalah
ini para ulama faraidl mengambil jalan dengan menjadikan saudara laki-laki kandung sebagai
saudara seibu di mana mereka bersama-sama mendapatkan bagian pasti 1/3. Dengan demikian
maka siham 2 dibagikan secara rata kepada sejumlah ahli waris yang terdri dari saudara seibu
dan saudara laki-laki kandung.
Dalam kasus gharawain ini, suami menerima ½, karena pewaris tidak ada anak atau cucu
dari anak laki-laki; ibu menerima 1/3, juga karena pewaris tidak meninggalkan anak atau cucu
dari anak laki-laki; dan ayah menjadi ashabah disebabkan tidak ada anak atau cucu dari anak
laki-laki. Menurut Umar ra, bahwa ibu mendapat 1/3 sisa harta warisan, maka cara
penyelesaian masalah gharrawain adalah dengan cara memberikan hak warisan terlebih dahulu
kepada suami atau istri, kemudian sisanya diberikan kepada ibu 1/3 dan ayah 2/3.

7
DAFTAR PUSTAKA
nu.or.id. “Mengenal Konsep Musytarakah dalam Hukum Waris Islam.” Diakses 21 Mei 2023.
https://islam.nu.or.id/warisan/mengenal-konsep-musytarakah-dalam-hukum-waris-
islam-Kt5aY.
Departemen Agama Republik Indonesia, Proyek Pengadaan Kitab Suci al Qur’an, al Qur’an
dan Terjemahnya, Pelita IV, Tahun I, 1984/1985, Jakarta, hal. 117.
Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN di jakarta,
Direktorat Jenderal Pembinaan kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, op
cit, hal. 143.
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan (LSIK), Raja
Grafindo Persada, Jakarta, cet. I, 1973, hal. 103-104.
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Jld. 10, Damsyik, Dar al-Fikr, 2006.

Anda mungkin juga menyukai