Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Macam-macam ahli waris


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Mawaris
Dosen Pengampu: IMAM SYAFI'I, M.H

Disusun Oleh:
Argo Putro Pratama
Siti Nurhayani
Eka Amiati Ningsih
Rohma Indrawati
Nur Diana

PROGRAM STUDI MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM ZAINUL HASAN
GENGGONG KRAKSAAN PROBOLINGGO
TAHUN AJARAN 2022-2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan atas kehadirat Allah azza wajalla, dengan
limpahan rahmat, taufik, hidayah dan inayah-NYA kami kelompok 3 dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “macam-macam ahli waris”. Yang mana makalah ini bertujuan agar
dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang mata kuliah Fiqih Mawaris.
Kami selaku penyusun berterimakasih kepada:
1. Bapak Abdul Aziz Wahab M.Ag selaku rector Universitas Islam Zainul Hasan
Genggong.
2. Bapak Nuntufa, S.E,M.M selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam.
3. Ibu Zahida I’tisoma Billah, M.E. selaku Ketua Prodi Manajemen Keuangan Syariah.
4. Bapak Imam Syafi'i selaku pengampu Mata Kuliah Fiqih Mawaris.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari anggota
kelompok sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu,
kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat
maupun tata bahasanya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat walaupun masih banyak terdapat kesalahan. Kami
selaku penyusun mohon kritik dan saran yang membangun agar dapt memperbaiki kesalahan
pada makalh ini. Terima Kasih.

Probolinggo, 24 sepetember 2022

penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................
A. Latar Belakang......................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................
C. Tujuan Penulisan..................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................


A. Jumlah para ahli waris..........................................................................
B. Al-fard...................................................................................................
C. Masalah umarriyatin/ghawarain...........................................................
D. Al-ta’shib/al-ashobah............................................................................
E. Urutan pembagian harta warisan..........................................................

BAB III PENUTUP.........................................................................................


A. Kesimpulan...........................................................................................
B. Saran.....................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan
bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang
lingkup kehidupan manusia, bahwa setiap manusia akan mengalami peristiwa yang
merupakan hukum yang lazimnya disebut dengan meninggal dunia. Apabila ada peristiwa
hukum, yaitu meninggalnya seseorang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu
bagaimana tentang pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang
meninggal dunia.

Menurut pakar hukum Indonesia, Wirjono Prodjodikoro, hukum waris diartikan sebagai
hukum yang mengatur tentang kedudukan harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal
dunia (Pewaris), dan cara-cara berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain (Ahli
Waris). Meskipun pengertian hukum waris tidak tercantum dalam KUH Perdata, namun tata
cara pengaturan hukum waris tersebut diatur oleh KUH Perdata. Sedangkan berdasarkan
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 mengenai Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
Indonesia, pengertian hukum waris adalah hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan
atas harta peninggalan Pewaris, lalu menentukan siapa saja yang berhak menjadi Ahli Waris
dan berapa besar bagian masing-masing. Dari pengertian ini dapatlah diketahui bahwa
substansi dari hukum kewarisan termasuk kewarisan Islam ialah pengaturan tentang peralihan
hak milik dari si mayit (Pewaris) kepada Ahli Warisnya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Berapakah jumlah para ahli waris?
2. Pengertian dari al-fard?
3. Sebutkan masalah ummarriyatin/ghawarain?
4. Pengertian al-ta’shib/al-ashobah?
5. Bagaimana urutan pembagian harta warisan?
C. TUJUAN MASALAH
1. Supaya mahasiswa/I mengetahui tentang jumlah para ahli waris
2. Supaya mahasiswa/I mengetahui tentang Pengertian dari al-fard
3. Supaya mahasiswa/I mengetahui tentang masalah ummarriyatin/ghawarain
4. Supaya mahasiswa/I mengetahui tentang Pengertian al-ta’shib/al-ashobah
5. Supaya mahasiswa/I mengetahui tentang urutan pembagian harta warisan
BAB II
PEMBAHASAN
A. JUMLAH PARA AHLI WARIS

ahli waris nasabiyah dan sababiyah digabung berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan
perempuan, maka akan terkumpul sejumlah 25 ahli waris dengan perincian 15 ahli waris laki-
laki dan 10 ahli waris perempuan. 15 ahli waris laki-laki tersebut adalah:
1) Anak laki-laki (al-Ibn)
2) Cucu laki-laki keturunan anak laki-laki (Ibn al-Ibn)
3) Bapak (al-Abb)
4) Kakek dari garis bapak dan seterusnya ke atas (al-Jadd)
5) Saudara laki-laki sekandung (al-akh al-shaqi>q)
6) Saudara laki-laki sebapak (al-Akh li Abb)
7) Saudara laki-laki seibu (al-Akh li Umm)
8) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung (ibn al-Akh al-Shaqi>q)
9) Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak (ibn al-Akh li Abb)
10) Paman sekandung (al-‘Amm al-Shaqi>q)
11) Paman sebapak (al-‘Amm li Ab)
12) Anak laki-laki paman sekandung (ibn al-‘Amm al-Shaqi>q)
13) Anak laki-laki paman sebapak (Ibn al-‘Amm li Abb)
14) Suami (al-Zauj)
15) Dermawan laki-laki yang memerdekakan hamba (Maula> mu’tiq)

Sedangkan Ahli waris perempuan nasabiyah dan sababiyah terdapat 10 ahli waris jika
diperinci, mereka adalah:
1) Anak Perempuan (al-Bint)
2) Cucu perempuan keturunan laki-laki dan seterusnya ke bawah (bint al-Ibn wa in
nazal)
3) Ibu (al-umm)
4) Nenek garis ibu (al-jaddah min al-umm)
5) Nenek garis bapak (al-jaddah min al-Ab)
6) Saudara Perempuan sekandung(al-Ukht al-Shaqi>qah)
7) Saudara Perempuan Sebapak (al-Ukht li Ab)
8) Saudara Perempuan seibu (al-Ukht li umm)
9) Istri (al-Zaujah)
10) Dermawati yang memerdekakan hamba (Maula> Mu’tiqah)

B. PENGERTIAN AL-FARD

Definisi Ilmu Farāiḍ.


Secara etimologi lafaż farāiḍ adalah bentuk jamak dari farīḍah (sesuatu yang
diwajibkan), diambil dari kata al-farḍu (kewajiban) yang memiliki makna etimologi dan
terminologi. Secara etimologi kata al-farḍu memiliki beberapa arti, di antaranya adalah: al-
wājibu (wajib), al-muqaddaru (diperkirakan), al-ḥaẓzu (pembatasan), al-taqdīru (ketentuan),
al-qa’u (ketetapan/kepastian), al-inzālu (menurunkan), at-tabyīnu (penjelasan), al-Naṣību al-
muqaddaru al-mafrūḍu (bagian yang ditentukan). Dan dinamakan al-farḍu sebagai farḍan
karena ada karakteristik dari ilmu tersebut yang langsung ditetapkan oleh Allah swt1.
ilmu farāiḍ atau ilmu mawāriṡ, yaitu ilmu yang diambil dari al-Qur‟ān, sunnah, Ijma‟
Ulama dan Ijtihad Ulama, untuk mengetahui ahli waris yang dapat mewarisi dan yang tidak
dapat mewarisi, dan mengetahui kadar bagian setiap ahli waris serta tata cara pembagiannya.

C. MASALAH UMMARRIYATIN/GHAWARAIN
a) Kasus kewarisan yang ahli warisnya terdiri dari: suami, ibu, dan ayah, maka
penyelesaiannya adalah:
 Suami mendapat ½ = 3/6
 I b u 1/3 sisa = 1/6
 Ayah, ashobah = 2/6
Suami lebih dahulu mengambil bagiannya ½, karena pewaris tidak memiliki
keturunan, sehingga sisanya yang ½ itu, kemudian diserahkan untuk ibu
sebanyak 1/3 sisanya, yakni 1/3 x ½ = 1/6, dan sisanya yang 2/6, diberikan
kepada ayah selaku ashobah.
b) Kasus kewarisan yang ahli warisnya terdiri dari: istri, ibu, dan ayah,
penyelesaiannya sebagai berikut:
 Isteri mnedapat ¼ = ¼
 I b u 1/3 sisa = ¼
 Ayah, ashobah = 2/4
Istri lebih dahulu mengambil bagiannya ¼, karena pewaris tidak ada
meninggalkan keturunan, kemudian sisanya ¾ diberikan untuk ibu sebanyak
1/3 nya dari ¾ =1/4, dan sisanya yang 2/4 kemudian diserahkan kepada ayah
selaku ashobah. Nampak bahwa bagian ayah adalah dua kali lipat dari bagian
ibu pewaris.
Perolehan ayah dalam dua masalah Gharawain ini akan berbeda,
sekalipun dalam dua masalah tersebut, bagian ibu sama-sama 1/3 sisa. Sebab,
dalam kasus pertama misalnya, ashhabul furudh yang pertama sekali
mengambil bagiannya adalah suami, sedang dalam masalah kedua, adalah istri
pewaris. Bagian ayah dalam kasus pertama lebih sedikit jika dibandingkan
pada kasus kedua. Sebab, di kasus pertama, suami mengambil ½ bagian,
sedangkan pada kasus kedua istri hanya mengambil ¼ nya saja dari harta
warisan.
Jika dua kasus kewarisan ini tidak diselesaikan dengan tsuluts baqi
(Gharawain), maka hasilnya akan terlihat seperti berikut: di kasus pertama,
suami mendapat ½, ibu mendapat 1/3, sedangkan ayah selaku ashobah hanya

1
Ahmad bin Fāris al-Rāzī, Mu‟jam Maqāyīs al-lugah (Beirut: Dār al-Jīl, t.th), Jilid IV, h. 488-489. Lihat Ibnu
Manżūr alIfrīqī, Lisān al-„Arab (Beirut: Dār Iḥyā al-Turāṡ al-Islāmī, 1403), Jilid X, h. 230-232.
mendapat 1/6 bagian (2:1, untuk ibu dan ayah). Pada kasus kedua, istri
mendapat ¼, ibu mendapat 1/3, dan ayah selaku ashobah mendapat 5/12
bagian (1/3:5/12 untuk ibu dan ayah). Bagian ayah memang tampak lebih
banyak daripada bagian ibu di kasus ini, tapi tidak sampai dua kali lipatnya.
Memperhatikan dua kasus kewarisan yang penyelesaiannya jika diterapkan
sesuai pendapatnya Ibnu Abbas, maka di sinilah barangkali dapat diketahui
alasan atau penyebab kenapa Ibnu Sirin dan Abu Tsaur, berpendapat bahwa
dalam hal ahli waris terdiri dari suami, ibu, dan ayah, maka bagian ibu adalah
1/3 sisa (tsuluts baqi). Sedangkan jika ahli waris terdiri dari istri, ibu, dan
ayah, maka ibu ditetapkan mendapat 1/3 bukan 1/3 sisa, karena dengan bagian
ibu yang 1/3 itupun bagian ayah selaku ashobah sudah lebih banyak jika
dibandingkan dengan bagian ibu. Padahal, kedua kasus tersebut masuk dalam
permasalahan kasus istimewa Gharawain/’Umrayatain (dua kasus yang
struktur kewarisannya “baku”). Sementara dengan pendapatnya Umar, sang
penggagas utama kasus ini, semacam diistimewakan/dikhususkan bahwa ibu
diberikan 1/3 sisa dalam dua kasusnya. Gharawain/’Umrayatain sebagai
bentuk ganda (tasniyah) sekaligus melambangkan bahwa kasus ini
dimaksudkan dalam dua kasus yang struktur kewarisannya tetap, tidak
berubah. Atau, jika tidak seperti itu susunan warisnya, maka kasus ini tidak
dinamai sebagai kasus atau masalah istimewa atau khusus
Gharawain/’Umrayatain.

D. PENGERTIAN AL-TA’SHIB/AL-ASHOBAH

Definisi ‘Aṣabah.
Secara etimologi, ‘ashabah adalah laki-laki dari kerabat pewaris, yang nisabnya
kepada pewaris tidak ada perempuan. Atau dengan kata lain kerabat pewaris sebapak.
Sedangkan „aṣabah menurut terminologi adalah ahli waris yang tidak memiliki bagian
tertentu, baik besar maupun kecil, dari segi jika sendiri mengambil seluruh harta, jika
bersama dengan ahli waris penerima aṣhabul furuḍ, mengambil sisa setelah diambil oleh
aṣhabul furuḍ, jika seluruh harta telah diambil oleh aṣhabul furuḍ, maka penerima „aṣabah
tidak mendapatkan sedikitpun dari harta peninggalan.2
Pembagian ‘Aṣabah
Aṣabah terbagi kepada dua, yaitu:
1. ‘Aṣabah Sababiyah, yaitu „aṣabah yang terjadi karena sebab memerdekakan
budak, baik laki-laki maupun perempuan.
Menurut para ulama, pembagian pertama ‘aṣabah nasabiyah lebih
didahulukan dari pada ‘aṣabah sababiyah, karena nasab (keturunan) lebih
dekat kepada pewaris dibandingkan dengan sabab (sebab).
2. ‘Aṣabah Nasabiyah, yaitu ‘aṣabah yang ditetapkan karena sebab nasab
(keturunan), seperti anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki dan
2
Kecuali anak laki-laki dan ayah mereka tidak akan pernah luput dari penerimaan harta. Lihat Muhammad
Amin, Raddu alMuḥtār „ala al-Durrī al-Mukhtār,... Jilid VI, h. 773
seterusnya ke bawah dan qarabah (kekerabatan), seperti ayah, kakek, saudara
lai-laki kandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki saudara kandung,
anak laki-laki saudara seayah, paman kandung, paman seayah dan anak laki-
laki paman kandung dan anak laki-laki paman seayah.
Hukum ‘Aṣabah Nasabiyah.
Aṣabah nasabiyah, terbagi kepada tiga macam, yaitu sebagai berikut:
1)‘aṣabah binnafsi, 2) ‘aṣabah bil ghair, dan 3) ‘aṣabah ma’al ghair.
Semua macam pembagian ini, memiliki hukum dan masalah-masalah khusus
tersendiri, yang akan dijelaskan di bawah ini:
1) ‘Aṣabah Bi an-nafsi, setiap laki-laki yang sangat dekat hubungan
kekerabatannya dengan pewaris, yang tidak diselingi oleh perempuan.
Jumlah penerima aṣabah bin nafsi; secara tertib berjumlah 12 orang,
yaitu:
1. Anak laki-laki.
2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan generasi di bawahnya.
3. Ayah.
4. Kakek serta generasi di atasnya.
5. Saudara kandung .
6. Saudara seayah.
7. Anak laki-laki saudara kandung.
8. Anak laki-laki saudara seayah dan generasi di bawahnya
9. Paman kandung.
10. Paman seayah.
11. Anak laki-laki paman kandung.
12. Anak laki-laki paman seayah dan generasi di bawahnya.
2) Ashabah bil ghair
adalah setiap ahli waris perempuan yang memiliki bagian pasti
bila berbarengan dengan saudara laki-lakinya maka ahli waris
perempuan tersebut menjadi ahli waris ashabah karena adanya saudara
laki-laki tersebut.   Dalam hal ini seorang anak perempuan menjadi
ashabah bila bersamaan dengan anak laki-laki, cucu perempuan
menjadi ashabah bila bersamaan dengan cucu laki-laki, saudara
perempuan sekandung menjadi ashabah bila bersamaan dengan
saudara laki-laki sekandung, dan saudara perempuan sebapak menjadi
ashabah bila besamaan dengan sauadara laki-laki sebapak.   Dengan
demikian maka bisa disimpulkan ada 4 (empat) ahli waris yang masuk
dalam kategori ashabah bil ghair di mana keempatnya adalah ahli waris
perempuan yang terdiri dari anak perempuan, cucu perempuan dari
anak laki-laki, saudara perempuan sekandung, dan saudara perempuan
sebapak bila masing-masing bersamaan dengan orang yang
mengashabahkan (mu’ashshib)-nya.

‫ يعصبانهن في الميراث‬... ‫واألبن واألخ مع اإلناث‬


Artinya: Anak laki-laki dan saudara laki-laki bersama para perempuan
Keduanya mengashabahkan mereka dalam warisan (Muhammad bin
Ali Ar-Rahabi, Matnur Rahabiyyah dalam ar-Rabahiyyatud Dîniyyah,
Semarang, Toha Putra, tanpa tahun, halaman 38).
3) Ashabah ma’al ghair
adalah bagian ashabahnya saudara perempuan sekandung dan
saudara perempuan sebapak bila bersamaan dengan anak perempuan
atau cucu perempuan dari anaklaki-laki.
‫ فهن معهن معصبات‬... ‫واألخوات إن تكن بنات‬

Artinya: Saudara-saudara perempuan bila ada anak-anak perempuan


Mereka bersama anak-anak perempuan menjadi ashabah

E. URUTAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN

Pembagian Harta Warisan dalam Islam


Dikutip dari buku bertajuk 'Pembagian Warisan Menurut Islam' karya Muhammad Ali Ash-Shabuni,
cara pembagian harta warisan berdasarkan Al-Quran surat An-Nisa, persentasenya terdiri dari
setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam
(1/6).
1. Setengah (1/2)

Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan setengah (1/2) adalah satu kelompok laki-laki dan
empat perempuan. yakni suami, anak perempuan, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki,
saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan sebapak.
2. Seperempat (1/4)

Ahli waris yang berhak mendapatkan seperempat dari harta pewaris hanyalah dua orang, yaitu
suami atau istri.
3. Seperdelapan (1/8)

Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian warisan seperdelapan adalah istri. Istri yang
mendapatkan waris dari peninggalan suaminya, baik itu memiliki anak atau cucu dari rahimnya atau
rahim istri yang lain.
4. Duapertiga (2/3)

Ahli waris yang berhak mendapatkan dua pertiga warisan terdiri dari empat perempuan. Ahli
waris ini, antara lain anak perempuan kandung, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara
perempuan kandung, dan saudara perempuan sebapak.
5. Sepertiga (1/3)

Ahli waris yang berhak mendapatkan sepertiga warisan hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara
baik laki-laki atau perempuan dari satu ibu.
6. Seperenam (1/6)
Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian seperenam warisan ada 7 orang, yakni bapak,
kakek, ibu, cucu perempuan, keturunan anak laki-laki, saudara perempuan sebapak, nenek, dan
saudara laki-laki dan perempuan satu ibu.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari pemaparan materi diatas dapat kita simpulkan bahwa waris adalah ahli waris nasabiyah
dan sababiyah digabung berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan, maka akan
terkumpul sejumlah 25 ahli waris dengan perincian 15 ahli waris laki-laki dan 10 ahli waris
perempuan. Secara etimologi lafaż farāiḍ adalah bentuk jamak dari farīḍah (sesuatu yang
diwajibkan), diambil dari kata al-farḍu (kewajiban) yang memiliki makna etimologi dan
terminologi.
‘ashabah adalah laki-laki dari kerabat pewaris, yang nisabnya kepada pewaris tidak
ada perempuan. Atau dengan kata lain kerabat pewaris sebapak. Sedangkan ‘aṣabah menurut
terminologi adalah ahli waris yang tidak memiliki bagian tertentu, baik besar maupun kecil,
dari segi jika sendiri mengambil seluruh harta, jika bersama dengan ahli waris penerima
aṣhabul furuḍ, mengambil sisa setelah diambil oleh aṣhabul furuḍ, jika seluruh harta telah
diambil oleh aṣhabul furuḍ, maka penerima ‘aṣabah tidak mendapatkan sedikitpun dari harta
peninggalan.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Ichsan Maulana, 2014. Pintar Fiqih Waris (Bogor: Al-Aziziyah)
Saifuddin Masykuri, 2016. Ilmu Faraidl Pembagian Harta Warisan (Kediri: Satri Salaf Press)
Nawawi, maimun. 2016. Pengantar hukum kewarisan islam. Penerbit buku pustaka radja
maret 2016.
Muhibbussabry, Lc, MA. 2020. Fiqih mawaris. CV. PUSDIKRA MITRA JAYA. ISBN: 978-
623-93007-5-3
Hj. Wahidah. 2014. Buku Ajar Fikh Waris. IAIN ANTASARI PRESS JL. A. Yani KM. 4,5
Banjarmasin 70235.

Anda mungkin juga menyukai