Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

SISTEM HUKUM CIVIL LAW


Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Tata Hukum Indonesia
Dosen Pengampu: Dr., Zulham, M.Hum. dan Fuji Bako

Disusun oleh kelompok 4:


Salma Salsabila (0204211015)
Zahra Zeta Donita (0204213042)
Nur Patimah (020421)
Abdur Rahman (02042)
M. Rizky Khoir (02042)

Program Studi Hukum Ekonomi Syariah


Fakultas Syariah dan Hukum
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA (UINSU)
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini dalam bentuk maupun isinya dengan sangat sederhana. Semoga
makalah ini dapat dipergunakan sebagai satu acuan, petunjuk maupun pedoman
bagi pembaca dalam mata kuliah Pengantar Tata Hukum Indonesia.
Penulis merasa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik
secara teknis maupun materi mengingat minimnya kemampuan yang dimiliki.
Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak dibutuhkan
demi penyempurnaan makalah ini.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang kepada pihak-pihak yang turut
membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT memberikan imbalan setimpal
kepada mereka yang memberikan bantuan dan dapat menjadikan semua bantuan
itu sebagai ibadah. Amin Ya Rabbal Alamin.

Medan, November 2022


DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................1
Latar Belakang ...........................................................................................1
Rumusan Masalah ........................................................................................1
Tujuan Masalah ...........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................2
Pengertian Ahli Waris Ashobah.................................................................2
Macam-Macam Ahli Waris Ashobah.........................................................2
Ashobah Sababiyah.....................................................................................2
Ashobah Nasabiyah.....................................................................................2
Ashobah bi nafsih.......................................................................................2-6
Ashobah bi Ghair........................................................................................7-10
Ashobah Ma’al Ghair.................................................................................11-
13

BAB III PENUTUP.......................................................................................14


Kesimpulan ...........................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................15
BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Waris sangat erat kaitanya dengan harta peninggalan atas kematian seseorang yang
meninggalkan harta. Harta peninggalan tersebut diharapkan dapat bermanfaat untuk ahli
waris sesuai dengan bagian-bagianya masing masing tanpa adanya konflik yang selama ini
banyak dipermasalahkan. Waris merupakan salah satu kajian ilmu fiqih yang sangat penting.
Adapun kata mawaris merupakan jama’ dari kata “mirats” yang berarti pusaka atau disebut
juga harta peninggalan. Dengan demikian semua harta peninggalan orang yang telah wafat
yang diterima oleh para ahli waris disebut dengan mirats. Orang yang meninggal dunia dan
meninggalkan benda dinamakan muwaris, sedangkan orang yang berhak menerima harta
benda disebut waris atau ahli waris. Istilah harta atau terkadang disebut tirkah, dijelaskan
dalam firman Allah Surat An-Nisa’ ayat 7, maka dapatlah dimengerti bahwa harta
peninggalan mempunyai arti yang sama dengan mirats yakni harta peninggalan, jadi harta
yang ditinggalkan oleh seseorang yang meningal dunia dinamakan tarikah si mati atau
tarikatul mayyit. Sebagaimana diketahui bahwa banyak pembagian harta waris dianggap
kurang adil dan tidak sesuai dengan syariat islam. Dalam pembagian Ahli Waris ada yang
disebut dengan ahli waris Ashobah yang akan menjadi pokok pembahasan pada makalah ini.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat diperoleh rumusan masalah yang akan menjadi
pembahasan di makalah ini, diantaranya yaitu:

a. Apa pengertian dari Ashobah?


b. Bagaimana pembagian macam-macam Ashobah?

C.Tujuan Makalah
Adapun tujuan makalah ini ditulis adalah untuk menjawab rumusan masalah yang ada,
sehingga memudahkan kita untuk mengetahui dan memahami dengan baik apa yang akan
menjadi pembahasan didalam makalah yang mana secara garis besar membahas tentang ahli
waris ashobah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ahli Waris Ashobah

Ashobah adalah ahli waris yang berhak mendapatkan sisa harta waris setelah
Zawi al-furud (ahli waris yang sudah ditentukan bagiannya dalam Al-Qur’an dan Hadits)
mengambil bagiannya. Maka ahli waris ashobah akan mendapatkan warisan jika bagian zawi
al-furud sudah diambil. Hal ini berarti jika harta zawi al-furud menghabiskan seluruh harta
warisan maka ahli waris ashobah tidak akan mendapatkan harta waris tersebut. Namun jika
harta warisan tersebut masih ada sisa atau tidak ada zawi al-furud, maka semua harta
waris/sisanya akan diambil semua oleh ashobah.
Perlu ditegaskan di sini bahwa meskipun bagian ahli waris penerima sisa
menunggu pembagian ahli waris zawi al-furud, tidak berarti bahwa derajat kedekatan ahli
waris ashobah lebih rendah dari zawi al-furud, melainkan hanya dalam urutan pembagian saja
zawi al-furud didahulukan, karena untuk menentukan ada sisa harta atau tidaknya, harus
menunggu harta diberikan kepada ahli waris zawi al-furud terlebih dahulu.

B. Macam Macam Ahli Waris Ashobah

Ashobah Sababiyah
Ashabah sababiyah adalah ashabah karena adanya sebab, yaitu sebab memerdekakan
budak. Ketika seorang budak yang telah dimerdekakan meninggal dunia dan tak memiliki
kerabat secara nasab maka sang tuan yang memerdekakannya bisa mewarisi harta
peninggalannya secara ashabah, sebagai balasan atas kebaikannya yang telah memerdekakan
sang budak.

Ashobah Nasabiyah
 Ashobah bi nafsih

Yang termasuk ahli waris ‘ashobah binafsih adalah ahli waris yang mendapatkan
bagian sisa karena dirinya sendiri dan kedudukannya memang asli sebagai penerima
sisa. Artinya mereka menerima bagian sisa tidak karena alhli waris lain.Mereka
semuanya ahli waris kerabat laki-laki yang tidak dicelah-celahi oleh perempuan. ahli
waris golongan ini adalah penerima bagian sisa yang asli. Ketentuan ini mengandung
dua pengertian, yaitu antara mereka dengan orang yang meninggal tidak ada perantara
sama sekali, seperti anak laki-laki dan ayah orang yang meninggal. Serta terdapat
perantara, tetapi bukan yang perempuan seperti cucu laki-laki dari anak laki-laki,
ayahnya ayah, saudara sekandung.
Para ahli waris penerima bagian sisa yang asli tersebut adalah

1) Anak laki-laki (ibn), baik seorang atau lebih berhak atas seluruh sisa harta setelah
diberikan ke dhaw al-furu’.
2) Cucu laki-laki keturunan anak laki-laki (Ibn al-Ibn), ia berhak atas sisa harta
setelah dibagikan ke penerima bagian tertentu jika anak laki-laki tidak ada. Cucu laki-laki
berposisi sebagai anak laki-laki dan berhak mewarisi bersama dengan ahli waris lain
sebagaimana anak laki-laki, begitu juga cucu dapat menutupi ahli waris lain sebagaimana
anak laki-laki menutupi ahli waris yang lain.
3) Bapak (al-Ab), berhak menerima bagian ashobah jika tidak ada anak dan atau cucu
laki-laki. Jika ada anak perempuan maka bapak berhak mendapat bagian 1/6 ditambah
bagian ‘as-abah kalau masih ada.
4) Kakek (al-Jadd), dapat menggantikan posisi bapak jika bapak tidak ada, syarat
perolehannya sesuai dengan kondisi bapak.
5) Saudara laki-laki sekandung (al-akh sl-shaqi) berhak atas bagian ‘asabah jika tidak
ada anak atau cucu laki-laki dan juga tidak bersama dengan bapak. Menurut jumhur
ulama’ bapak tidak bisa menutupi kewarisan saudara, karena itu suadara laki-laki bisa
mewarisi bersama kakek
6)Saudara lak-laki sebapak (al-Akh li Ab), dapat mewarisi bagian sisa dengan syarat
tidak ada anak dan cucu laki-laki, bapak, dan juga saudara sekandung. Jika bersama anak
dan cucu perempuan, ibu atau nenek, maka saudara lakilaki sebapak dapat mewarisi.
7) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung (ponaan asli) (ibn al-Akh al-Shaqi), jika
tidak ada anak dan cucu laki-laki, ayah atau kakek saudara laki-laki sekandung dan
sebapak.
8) Anak laki-laki saudara laki- laki sebapak (ponaan sebapak) (ibn al-Akh li Ab),
dapat mewarisi bagian sisa jika tidak bersama ahli waris 1 sampai 7.
9) Paman Kandung garis bapak (al-amm), dapat mewarisi bagian sisa jika tidak ada
ahli waris no 1-8.
10) Paman sebapak (al-amm li ab), jika tidak ada ahli waris no 1-9 di atas.
11) Anak laki-laki paman sekandung (ibn al-amm), jika tidak ada ahli waris no.1-10.
12) Anak laki-laki paman sebapak (ibn al-Amm li Ab), jika tidak ada ahli waris no 1-
11
Agar lebih sistematis dan mudah untuk diidentifikasi para ahli waris ‘asabah ini dapat
dikelompokkan sesuai garis kekerabatannya sebagai berikut:
1) Garis kerabat anak-anak (jihat al-Bunuwwah), meliputi anak-anak laki-laki pewaris, cucu
laki-laki garis laki, dan seterusnya ke bawah.
2) Garis kerabat leluhur (al-Ubuwwah), meliputi bapak, kakek, dan seterusnya ke atas
3) Garis Kerabat Saudara (al-Ukhuwwah), meliputi saudara laki-laki sekandung, sebapak,
dan semua keterunannya yang laki-laki.
4) Garis Kerabat paman (al-Umumah), meliputi paman sekandung, paman sebapak, dan
keturunannya yang laki-laki ke samping1

Dalil dalilnya
1) Dalam qur’an surah an nisa ayat 11
‫هّٰللا‬
‫ا‬JJ‫ َركَ    ۚ  َواِ ْن  َك‬J َ‫ا  ت‬JJ‫ا   َم‬JJَ‫َ  اثنَتَي ِْن  فَلَه َُّن  ثُلُث‬ َ ‫ص ْي ُك ُم   ُ  فِ ۤ ْي  اَوْ اَل ِد ُك ْم  لِل َّذ َك ِر   ِم ْثل‬
ْ ‫ُ  حظِّ  ااْل ُ ْنثَيَ ْي ِن   ۚ فَا ِ ْن  ُك َّن  نِ َسٓا ًء  فَوْ ق‬ ِ ْ‫يُو‬
   ٗ‫ا ِ ْن  لَّ ْم  يَ ُك ْن  لَّه‬Jَ‫ ٌد   ۚ ف‬Jَ‫هٗ    َول‬JJَ‫ا نَ   ل‬JJ‫ َركَ   اِ ْن  َك‬Jَ‫َت   َوا ِح َدةً  فَلَهَا  النِّصْ فُ    ۗ وَاِل َ  بَ َو ْي ِه  لِ ُك ِّل   َوا ِح ٍد   ِّم ْنهُ َما  ال ُّس ُدسُ    ِم َّما  ت‬ ْ ‫ن‬
ٰ ۤ
‫ٓا‬JJَ‫ا  اَوْ    َدي ٍْن   ۗ اب‬JJَ‫ ْي  بِه‬J‫ص‬ ِ ْ‫يَّ ٍة  يُّو‬J‫ص‬ ۢ ۤ
ُّ ‫ث   ۗ فَا ِ ْن  َكا نَ   لَهٗ   اِ ْخ َوةٌ  فَاِل ُ ِّم ِه‬
ِ ‫ ِد   َو‬J‫ ُدسُ    ِم ْن  بَ ْع‬J‫  الس‬ ُ ُّ ۤ
ُ ‫َولَ ٌد   َّو َو ِرثَهٗ   اَبَ ٰوهُ  فَاِل ُ ِّم ِه  الثل‬
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬ ً ْ ْ
َ ‫ضة   ِّمنَ    ِ   ۗ اِ َّن   َ   َكا نَ    َعلِ ْي ًم‬
‫ا  ح ِك ْي ًما‬ َ ‫ُؤ ُك ْم   َواَ ْبنَٓا ُؤ ك ْم   ۚ اَل   تَ ْدرُوْ نَ   ايُّهُ ْم  اق َربُ   لـك ْم  نَفعًا   ۗ ف ِر  ْي‬
َ ُ َ َ َ ُ
Artinya: "Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan
untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua
orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih
dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak
perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang
ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang
meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas)
setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara
mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh,
Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana."
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 11)

2) Dalam qur’an surah an nisa ayat 76


  ‫و‬J َ Jُ‫ك   َۚ وه‬ َ ‫ر‬J َ Jَ‫ا  ت‬JJ‫فُ    َم‬J‫ص‬ ْ ِ‫ا  ن‬Jَ‫ت  فَلَه‬ ٌ ‫هٗۤ   اُ ْخ‬JJَ‫ ٌد   َّول‬Jَ‫ْس  لَهٗ    َول‬
َ ‫ك  لَـي‬ ْ ِ‫يَ ْستَ ْفتُوْ نَكَ    ۗ قُ ِل  هّٰللا ُ  يُ ْفتِ ْي ُك ْم  ف‬
َ َ‫ى  الـ َك ٰللَ ِة   ۗ اِ ِن  ا ْم ُرٌؤ ا  هَل‬
ْ ‫يَ ِرثُهَ ۤا  اِ ْن  لَّ ْم  يَ ُك ْن  لَّهَا   َولَ ٌد   ۗ فَا ِ ْن  َكا نَـت‬
  ‫َا  اثنَتَي ِْن  فَلَهُ َما  الثُّلُ ٰث ِن   ِم َّما  تَ َركَ    َۗ واِ ْن  َكا نُ ۤوْ ا  اِ ْخ َوةً   ِّر َجا اًل    َّونِ َسٓا ًء  فَلِل َّذ َك ِر‬
‫هّٰلل‬ ‫هّٰللا‬
‫ضلُّوْ ا   ۗ  َوا ُ  بِ ُك ِّل   َش ْي ٍء   َعلِ ْي ٌم‬ ِ َ‫ِم ْثلُ   َحظِّ  ااْل ُ ْنثَيَ ْي ِن   ۗ يُبَيِّنُ    ُ  لَـ ُك ْم  اَ ْن  ت‬
Artinya: "Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seseorang mati dan dia tidak
mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara
perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang
laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak.
Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara

1
Mohammad Ali al-Sabuni, al-Mawa>ri>th fi> al-Shari>’ah alIsla>miyyah, (Kairo: Dar al-Hadith, t.th.), 67
laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian
dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu agar kamu tidak
sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 176)

3) Hadis Abdullah bin abbas


Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw. bersabda "Bagikanlah harta
peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki
yang paling utama. " (HR. Bukhari)2

Hukum hukunya
Aṣhobah binnafsi, memiliki tiga hukum, yaitu:3
1. Jika hanya sendiri, mengambil seluruh harta. Contohnya yang ditinggalkan hanya seorang
anak laki-laki, maka seluruh harta waris diberikan untuknya.
2. Mengambil sisa harta setelah diambil oleh aṣhabul furuḍ (penerima bagian tertentu),
contohnya ahli waris yang ditinggalkan anak ayah dan ibu, maka ibu dapat bagian 1/3
sementara ayah mengambil 2/3 sebagai sisa dari bagian yang telah diambil oleh ibu.
3. Tidak mendapatkan warisan apapun karena seluruhnya telah diambil oleh aṣhabul furudh,
contohnya ditinggalkan suami, saudara perempuan kandung dan paman kandung, maka
bagian suami 1/2, saudara perempuan kandung 1/2, paman tidak dapat apa-apa, karena bagian
seluruhnya telah diambil oleh aṣhabul furuḍ
jalur ashobah binafsi
Menurut Imam Hanafi, ada lima jalur „aṣabah binnafsi, yaitu:
 Al-bunuwwah (jalur hubungan anak)
 Al-ubuwwah (jalur hubungan orang tua)
 Al-ukhuwwah (jalur hubungan saudara),
 Al-umumah (jalur hubungan paman) dan
 Al-wala‟ (jalur hubungan karena memerdekakan budak)4
Sementara Abu Yusuf dan Mazhab Hanbali, berpendapat bahwa ada enam jalur, yaitu
 Al-bunuwwah,
 Al-ubuwwah,
 Al-jududah (jalur hubungan kakek)
 Al-ukhuwwah,
 Banu Al-ukhuwwah (jalur anak-anak saudara),
 Umumah
 Al-wala’5
Menurut Malikiyah dan Syafi‟iyah ada tujuh, yaitu
2
Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab Farāiḍ, bab warisan anak dari kedua orang tuanya, no hadiṡ
6732, Lihat Ahmad bin „Ali bin Hajar al-„Askalani, Fathu al-Bāri bi Syarḥi Shahih alBukhāri, Jilid XII, h. 12
3
Komite Fakutas Syari‟ah Universitas Al-Azhar, Fiqh Al-Mawarits…h, 208-209
4
Muhammad Amin, Raddu al-Muḥtār „ala al-Durrī al-Mukhtār, Jilid VI, h. 773-775
5
Muhammad Amin, Raddu al-Muḥtār „ala al-Durrī al-Mukhtār, Jilid VI, h. 7
 Al-bunuwwah,
 Al-ubuwwah,
 Al-jududah dan
 Al-ukhuwwah,
 Anu al-ukhuwwah,
 Al-umumah,
 Al-wala‟
 Baitul mal.6

Jalur-jalur aṣabah binnafsi ini penting untuk diketahui, karena didasarkan pada urutan
dan tingkatan pada masing-masing jalur ahli waris, sehingga jalur al-bunuwwah lebih
didahulukan untuk mendapatkan aṣabah daripada jalur al-ubuwwah, jalur al-ubuwwah lebih
didahulukan dari al-ukhuwwah, jalur al-ukhuwwah lebih didahulukan dari jalur al-umumah,
jalur al- umumah lebih didahulukan daripada jalur al-wala‟. Begitu juga, jalur al-wala‟ lebih
didahulukan dari jalur baitul mal.

6
Jalal al-Dīn „Abdullah bin Najmu bin Syās al-Mālikī, „Aqd al-Jawāhir al-Ṡaminah, Jilid III,h. 436-437
 Ashobah Bi al-Ghair

Ashobah bi al-ghair adalah ahli waris wanita yang menjadi ashobah karena
pihak lain.7 Ashobah bi al-ghair (menjadi ashobah karena ada ahli waris yang lain)
ialah ahli waris perempuan yang berkedudukan sebagai ahli waris dzawil furudh
apabila mewaris bersama-sama ahli waris laki-laki maka mereka menjadi ashobah
dan menghabiskan sisa harta.8
Ahli waris penerima ashobah bi al-ghair mereka itu adalah:9
1) Anak perempuan kandung ketika mewaris bersama anak laki-laki kandung
2) Cucu perempuan dari anak laki-laki ketika mewaris bersama-sama cucu
laki-laki dari anak laki-laki
3) Saudara perempuan sekandung ketika mewaris bersama saudara laki-laki
sekandung
4) Saudara perempuan seayah ketika mewaris bersama dengan saudara laki-
laki seayah
Ketentuan hal di atas sebagai salah satu acuan dalam melakukan
penyelesaian kasus waris. Penjelasan di atas akan diuraikan sebagai berikut: jika
ahli waris anak perempuan bersama-sama dengan ahli waris anak laki-laki, maka
mereka mendapatkan harta waris yang berubah ashobah. Begitu pula berlaku
untuk ahli waris cucu prempuan garis-laki-laki bersama ahli waris cucu-laki-laki
garis laki-laki. Berlaku juga untuk ahli-waris saudara perempuan sekandung
bersama ahli waris saudara laki-laki sekandung. Terakhir berlaku ashobah ahli
waris saudara perempuan seayah bersama dengan saudara laki-laki seayah.10

Syarat-syarat Ashobah bi al-Ghair


7
Dwi Novidiantoko, Buku Fikih Munakahat, (Sleman: Penerbit Deepublish, 2021), h. 224.
8
Tinuk Dwi Cahyani, Hukum Waris dalam Islam: Dilengkapi Contoh Kasus dan
Penyelesaiannya, (Malang: Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang, 2018), h. 71.
9
Ibid, h. 71-72.
10
Ibid, h. 72.

9
Ashobah bi al-ghair tidak akan terwujud kecuali dengan beberapa
persyaratan berikut:11
Pertama: haruslah wanita yang tergolong ashbabul furudh. Bila wanita
tersebut bukan dari ashhabul furudh, maka tidak akan menjadi ashobah bi al-
ghair. Sebagai contoh, anak perempuan dari saudara laki-laki tidak dapat menjadi
ashobah bi al-ghair dengan adanya saudara kandung laki-laki dalam deretan ahli
waris. Sebab dalam keadaan demikian, anak perempuan saudara laki-laki
bukanlah termasuk ashhabul furudh.
Kedua: laki-laki yang menjadi ashobah (penguat) harus yang sederajat.
Misalnya, anak laki-laki tidak dapat menjadi pen-ta'shib (penguat) cucu
perempuan, dikarenakan anak laki-laki tidak sederajat dengan cucu perempuan,
bahkan ia berfungsi sebagai pen-tahjib (penghalang) hak waris cucu. Begitu juga
anak laki-laki keturunan saudara laki-laki, tidaklah dapat menguatkan saudara
kandung perempuan disebabkan tidak sederajat.
Ketiga: laki-laki yang menjadi penguat harus sama kuat dengan ahli waris
perempuan shahibul fardh. Misalnya, saudara laki-laki seayah tidak dapat men-
ta'shib saudara kandung perempuan. Sebab saudara kandung perempuan lebih
kuat kekerabatannya daripada saudara laki-laki seayah.
Catatan:
Setiap perempuan ahli waris berhak mendapat bagian setengah (1/2) jika
sendirian, ia berhak mendapatkan bagian dua per tiga (2/3) bila menerima
bersama saudara perempuannya, dan akan menjadi ashobah bila mempunyai
saudara laki-laki. Kaidah ini hanya berlaku bagi keempat ahli waris dari kalangan
wanita yang saya sebutkan (yakni anak perempuan, cucu perempuan keturunan
anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah).12

Dalil Hak Waris Ashobah bi al-ghair

11
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1995), h. 67.
12
Ibid, h. 67-68.

10
Dalil bagi hak waris para ashobah bi al-ghair adalah firman Allah QS. An-
Nisa’: 11.

َّ ِ‫ل‬
ِّ ‫لذ َك ِر ِمثْل َح‬
ِ ‫ظ األ ْنَثَينْي‬
ُ
“Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan”.13
Dan juga berlandaskan firmanNya dalam QS. An-Nisa’: 176.

َّ ِ‫وِإ ْن َكانُوا ِإ ْخو ًة ِر َجاال ونِساء فَل‬


ِّ ‫لذ َك ِر ِمثْل َح‬
ِ ‫ظ األ ْنَثَينْي‬
ُ ًَ َ َ َ
“Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan
perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang
saudara perempuan”.14
Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan “ikhwatan” dalam ayat
tersebut adalah saudara laki-laki dan saudara kandung perempuan dan yang
seayah. Mereka berpendapat bahwa kata ikhwatan tidak mencakup saudara laki-
laki atau perempuan yang seibu, disebabkan hak waris mereka berdasarkan fardh
(termasuk ashhabul furudh) bukan sebagai ashobah. Selain itu, hak waris mereka
pun antara laki-laki dan perempuan—sama rata, berdasarkan firman-Nya (artinya)
: “maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu” (anNisa’: 12).15

Sebab Penamaan Ashobah bi al-Ghair


Adapun sebab penamaan ashobah bi al-ghair adalah karena hak ashobah
keempat wanita itu bukanlah karena kedekatan kekerabatan mereka dengan
pewaris, akan tetapi karena adanya ashobah lain (ashobah bi nafsihi), seperti
saudara kandung laki-laki ataupun saudara laki-laki seayah mereka. Bila para
ashobah bin nafsihi itu tidak ada, maka keempat wanita tersebut mendapat hak
warisnya secara fardh.16
Adapun beberapa contoh dari ashobah bil ghair yakni: 17

13
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, (Bandung: PT. Sigma Eksamedia
Arkanlima, 2009), h. 78.
14
Ibid, h. 106.
15
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam..., h. 68.
16
Ibid, h. 68.
17
Tinuk Dwi Cahyani, Hukum Waris dalam Islam..., h. 73-74.

11
1) Jika pewaris memiliki ahli waris yang terdiri dari ayah, ibu, anak laki-laki,
dan anak perempuan maka, ayah memperoleh 1/6 bagian sesuai ketentuan
furudh, ibu memperoleh 1/6 bagian sesuai ketentuan furudh dan anak laki-
laki dan anak perempuan memperoleh sisanya sebagai ashobah dengan
ketentuan bagian laki-laki adalah dua kalilipat dari bagian paerempuan.
2) Jika pewaris memiliki ahli waris yang terdiri dari anak perempuan, ibu dan
paman, maka bagian masing-masing ahli waris adalah anak perempuan
memproleh 1/2 bagian dari harta warisan, ibu memperoleh 1/6 bagian
berdasarkan urutan hubungan kekerabatan dan paman mendapatkan sisanya
yakni ashobah.
3) Jika pewaris memiliki ahli waris yang terdiri dari 2 anak perempuan, isteri,
dan paman, maka dalam hal ini bagian masing-masing ahli waris adalah dua
anak perempuan mendapatkan 2/3 bagian merujuk kepada ketentuan furudh,
istri mendapatkan 1/8 bagian berdasarkan ketentuan furudh, dan paman
mendapatkan bagian yakni sisanya ashobah.
Hal yang tersebut diatas merupakan ahli waris ashobah bil ghair yang dapat
digunakan untuk rujukan dalam penyelesaian kasus waris. Yang mana ketentuan
mengenai ahli waris ashobah bil ghair memiliki bagian yang tidak sama dalam
mendapatkan harta waris sesuai dengan kedudukannya sebagai ahli waris dan
hubungan kekerabatan dengan pewaris.18

18
Ibid, h. 74.

12
 Ashobah Ma’a al Ghair

Ashobah ma’a al ghair adalah ahli waris yang menerima bagian ashobah karena
bersama ahli waris lain yang bukan penerima bagian ashobah, apabila ahli waris lain tidak
ada maka ia menerima bagian tertentu. 19

Masalah Warisan Orang yang Memiliki Dua Jalur Keturunan berserta kaidah-kaidah sebagai
berikut :
1. Apabila dalam diri seseorang terkumpul dua jalur keturunan atau lebih dan
semuanya menjadikan ia sebagai ashabah, maka ia mewarisi melalui jalur yang lebih kuat.
Contohnya, seorang anak laki-laki yang juga menjadi orang yang memerdekakan ayahnya.
Maka ia akan mewarisi ayahnya dengan sifat sebagai anak bukan sebagai orang yang
memerdekakan. Maka dapat disimpulkan, pada kasus ini seseorang tidak dapat mewarisi
secara dua kali.
2. Apabila dalam diri seseorang terkumpul bagian fardh dan juga bagian ashabah,
maka ia dapat mewarisi melalui dua jalur tersebut. Misalnya, seseorang meninggal dunia dan
meninggalkan seorang nenek, saudara laki-laki seibu, dan seorang duda, yang juga
merupakan anak paman kandung pewaris. Maka untuk nenek seperenam, saudara laki-laki
seibu seperenam, duda setengah sebagai fardh-nya, dan sisanya untuk duda sebagai ashabah
karena ia anak paman kandung.
3. Apabila jalur keturunan lebih dari satu yang tidak membawa banyak sifat bagi ahli
waris, seperti nenek yang mempunyai dua jalur kekerabatan. Misalnya ibu dari ibunya ibu,
yang pada saat bersamaan ia juga adalah ibu dari bapaknya bapak, maka pembagian warisan
cukup satu kali, yaitu hanya mendapatkan seperenam. 20

Adapun dasar hukum pembagian dari ashobah ma’a al ghair yaitu pelaksanaan
pembagian warisan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dalam riwayat dari Ibnu Mas’ud :

19
Hendrasanto Prastowo, “Hubungan hibah dengan waris menurut kompilasi hukum islam dan kitab undang-
undang hukum perdata” , (Semarang: Universitas Diponegoro, 2010), h. 44
20
Mustari Abdillah, “Hukum Kewarisan Islam”, (Makassar: Alauddin University Press, 2013), h. 119-120

13
Artinya : “Nabi Muhammad Saw memutuskan bagian anak perempuan setengah, cucu
perempuan garis laki-laki seperenam, dan sisanya untuk saudara perempuan”. (Riwayat al-
Jama’ah, selain Muslim dan al-Nasa’i)

Artinya : “Mu’adh Ibnu Jabal memberikan warisan kepada saudara perempuan dan anak
perempuan masing-masing setengah, ketika berada di Yaman, sedangkan Nabi Muhammad
Saw waktu itu masih hidup”. (Riwayat Abu Dawud dan al- Bukhari dari al- Aswad dengan
maknanya). 21

Imam Syafi’i adalah salah seorang ulama yang menolak adanya radd dalam
kewarisan, dengan berdasarkan dalil-dalil yang ia kemukakan dalam al-qur’an Imam Syafi’i
berkata, “Allah Swt berfirman :

Artinya : “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi
fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu) jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak
tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua
dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta
saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua
orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli
waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara
laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan hukum ini
kepadamu agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. An-Nisa :
176)

21
Pitaloka Oktaviani Luluk Dyah, “Pengesampingan Ashabah Ma’a Al-Ghair Pada Putusan Nomor
2661/PDT.G/2018/PA.SMG”, (Semarang: Uin Walisongo, 2019), h. 43

14
Allah Swt berfirman :

Artinya : “Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi)
wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para istri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
(setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika
seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan
tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang
saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam
harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama
dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah
dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan
Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun”.22

22
Kusnadi, “Raddul Mawaris Menurut Imam Syafi’i”, (Balikpapan: Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah Hidayatullah,
2017), h. 12-14

15
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Ashobah adalah ahli waris yang berhak mendapatkan sisa harta waris setelah Zawi al-
furud (ahli waris yang sudah ditentukan bagiannya dalam Al-Qur’an dan Hadits) mengambil
bagiannya. Maka ahli waris ashobah akan mendapatkan warisan jika bagian zawi al-furud
sudah diambil. Hal ini berarti jika harta zawi al-furud menghabiskan seluruh harta warisan
maka ahli waris ashobah tidak akan mendapatkan harta waris tersebut. Namun jika harta
warisan tersebut masih ada sisa atau tidak ada zawi al-furud, maka semua harta waris/sisanya
akan diambil semua oleh ashobah. Ada tiga kemungkinan seseorang menjadi ahli waris
ashabah, yaitu sebagai berikut: Pertama, mendapat seluruh harta waris saat ahli waris dzawil
furudh tidak ada. Kedua, mendapat sisa harta waris bersama ahli waris dzawil furudh saat ahli
waris dzawil tersebut ada. Ketiga, tidak mendapatkan sisa harta warisan karena telah habis
dibagikan kepada ahli waris dzawil furud. Ashabah sababiyah adalah ashabah karena adanya
sebab, yaitu sebab memerdekakan budak. Ketika seorang budak yang telah dimerdekakan
meninggal dunia dan tak memiliki kerabat secara nasab maka sang tuan yang
memerdekakannya bisa mewarisi harta peninggalannya secara ashabah, sebagai balasan atas
kebaikannya yang telah memerdekakan sang budak. Macam-macam Ashabah Nasabiyah
Para ulama membagi Ashabah Nasabiyah menjadi 3 (tiga) macam, yakni:1. Ashabah bin
nafsi 2. Ashabah bil ghair 3. Ashabah ma’al ghair.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Ash-Shabuni, Muhammad Ali. 1995. Pembagian Waris Menurut Islam. Jakarta:


Gema Insani Press.

2. Cahyani, Tinuk Dwi. 2018. Hukum Waris dalam Islam: Dilengkapi Contoh Kasus dan
Penyelesaiannya. Malang: Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang.

3. Departemen Agama RI. 2009. Al-Quran dan Terjemahnya. Bandung: PT. Sigma
Eksamedia Arkanlima.

4. Novidiantoko, Dwi. 2021. Buku Fikih Munakahat. Sleman: Penerbit Deepublish.

5. Dr. Maimun Nawawi, M.H.I, 2016, Pengantar Hukum Kewarisan, Surabaya: Pustaka
Radja

6. Muhibbusary,lc,MA, 2020, Fiqh Mawaris, :CV pusdikra MJ

17

Anda mungkin juga menyukai