Kelompok III
Nurhanisa : 1120136
Dosen Pengempu:
FAKULTAS SYARI’AH
(IAIN) BUKITTINGGI
1443 / 2021
i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr Wb.
Semoga makalah sederhana ini dapat memberikan manfaat yang luar biasa
bagi kami sebagai tim penulis khususnya dan bagi pembaca sekalian pada
umumnya. Aamiin yaa robbal’aalamiin.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 9
B. Saran ..................................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Waris dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan pusaka. Maksudnya adalah
harta, benda dan hak yang ditinggalkan oleh orang yang mati (meninggal) untuk
dibagikan kepada yang berhak menerimanya. Dalam hal ini, orang yang
meninggalkan harta bendanya disebut sebagai pewaris, sedangkan orang yang
menerima harta tersebut disebut dengan ahli waris.
Pembagian waris ini lazim disebut faraidh, artinya menurut syara’ ialah
pembagian harta pusaka/warisan kepada beberapa orang ahli waris seperti yang
tercantum dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qias. Ketentuan bagian-bagian
yang harus diterima oleh pewaris telah diatur oleh Allah SWT, begitu juga halnya
dengan orang-orang yang berhak menerima warisan. Bagian-bagian yang diterima
oleh pewaris yang telah ditetapkan oleh Al-Quran yaitu: ½ (setengah), ¼
(seperempat), 1/8 (seperdelapan), 1/3 (sepertiga), 2/3 (duapertiga) dan 1/6
(seperenam). Orang-orang yang berhak menerima warisan dikelompokkan ke
dalam tiga kelompok, yaitu: ashabul furudh, ashobah dan dzawil arham.
B. Rumusan Masalah
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ashabah
Kata ashabah merupakan jamak dari ﻋﺎﺼﺐyang berarti kerabat seseorang dari
pihak bapaknya dalam memberikan defenisi ashabah atau ta’shib pada hakikatnya,
para ulama faraid mempunyai kesamaan persepsi dan asal-usul antara lain sebagai
mana yang dikemukakn Rifa’I Arif.[5] Dalam pengertian lain ashabah adalah
bagian sisa setelah diberikan kepada ahli waris ashbul al-furud. Sebagai ahli waris
penerima bagian sisa, ahli waris ashabah terkadang menerima bagian banyak
(seluruh harta warisan) terkadang menerima bagian sedikit, tetapi terkadang tidak
menerima bagian sama sekali, karena telah habis diberikan kepada ahli waris
ashabul al-furud.
Didalam pembagian sisa harta bwarisan, ahli waris yang memiliki hubungan
kekrabatan yang terdekatlah yang lebih dahulu menerimanya. Konsekuensi cara
pemabagian warisan ini, maka ahli waris yang peringkat kekerabatannya berada
dibawahnya tidak mendapatkan bagian. Dasar pembegian ini adalah perintah
Rasulullah saw:
B. Macam-macam Ashabah
1
Suhrawardi K. Rubis, Op., Cit, hal. 99.
2
Ashabah secara umum terbagi menjadi dau yaitu ashabah nasabiyah ( ashabah
disebabkan adanya hubungan darah dengan sipewaris). Adapun macam-macam
ahli waris ashabah nasabiyah ada tiga macam yakni sebagai berikut:
1. Ashabah bi nafsi
Yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri berhak menerima
bagian ashabah, ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali mu’tiqah
(orang perempuan yang memerdekakan hamba sahaya) yaitu terdi dari:
1) Anak laki-laki
2) Cucu laki-laki dari garis laki-laki
3) Bapak
4) Kakek (dari garis bapak)
5) Saudara laki-laki sekandung
6) Saudara laki-laki seayah
7) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
8) Anak laki-laki saudara laki-laki se ayah
9) Paman sekandung
10) Paman se ayah
11) Anak laki-laki paman sekandung
12) Anak laki-laki paman se ayah
13) Mu’tiq atau mu’tiqah (orang laki-laki atau perempuan yang
memerdekakan hamba sahaya)2
Dalam pengertian lain ashabah bi nafsi adalah setiap laki-laki yang antara
dia dan si mayyit tidak ada ahli waris perempuan, atau yang langsung
berlangsung dengan si mayyit tanpa ada hubungan ahli waris perempuan. Dalil
warisnya adalah firman Allah SWT dalam surat Annisa: 11
2
Ahmad Rofiq, Op., Cit
3
Artinya:
Kondisi ahli waris ashabah bi nafsi ada tiga, yaitu mendapatkan semua harta
jika ia hanya sendirian, mendapatkan sisa bagian setelah dibagi-bagikan kepada
ashabul furud, dan jika seluruh warisan habis dibagikan, ia tidak mendapatkan
warisan.
4
saudara kandung perempuan dan saudara perempuan se ayah, dua saudara
perempuan se ibu, dan paman dalam hal ini saudara kandung perempuan
memperoleh ½ bagian dari harta warisan sedangkan saudara perempuan
seayah memperoleh 1/6 untuk melenkapi 2/3, dua saudara perempuan se ibu
memperoleh 1/3 bagian sedangkan paman sebagai ashabah tidak memperoleh
harta warisan.3
2. Ashabah bi al-ghair
Yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli
waris yang telah menerima bagian sisa apabila ahli waris penerima sisa tidak ada
maka ia tetap menerima bagian tertentu. Ahli waris penerima ashabah bi al-ghair
tersebut terdiri dari:
Contoh kasus 1:
Seseorang wafat meninggalkan seorang anak kandung laki-laki dan seorang anak
kandung perempuan, dalam hal ini seluruh harta warisan dibagi diantara mereka
berdua, sebagai ashabah dengan ketentuan bagian laki-laki adalah dua kali lipat
bagian perempuan.
Conotoh kasus 2:
Seseorang wafat maninggalkan cucu laki-laki dan dua cucu perempuan, dalam hal
ini harta warisan menjadi milik mereka berdua sebagai ashabah dengan ketentuan
bagian laki-laki adalah dua kali lipat bagian perempuan.
Contoh kasus 3:
3
M. Thaha Abul Ela Khalifah, Hukum Waris, (Cet., 1. Solo: Tiga Serangkai, 2007), hal. 402-403.
4
Ahmad Rofiq, Op., Cit. hal. 83
5
Seseorang wafat meninggalkan saudara kandung laki-laki dan perempuan, dala
hal ini harta warisan menjadi milik mereka berdua, sebagai ashabah dengan
ketentuan bagian laki-laki adalah dua kali lipat dari bagian perempuan.
Contoh kasus 4:
“Allah telah menetapkan bagian warisan anak-anakmu untuk seorang anak laki-
laki sama dengan dua orang anak perempuan” (QS. An-Nisa’: 11).
Ashaba bil ghair adalah warisan yang berdasarkan kaidah bahwa bagian laki-laki
adalah dua kali lipat bagian perempuan. Ashabah bil ghair adalah setiap wanita
yang bagian warisannya setelah atau dua sepertiga jika ada laki-laki yang
memiliki derajat dan kekuatan kekerabatan yang sama.
1) Ashabah, yaitu wanita yang memiliki hak waris setengah dari harta
warisan jika ia sendiri atau dua sepertiga jika ia berdua atau lebih
2) Ghair, yaitu laki-laki yang bergabung bersama wanita karena berada pada
derajat yang sama dan memiliki hubungan kekerabatan yang sangat kuat.
1) Seseorang wafat meninggal anak perempuan, ibu, dan paman, dalam hal ini
anak perempuan memperoleh ½ dari harta warisan, ibu memperoleh 1/6
berdasarkan furudh dan paman mendapatkan sisanya ashabah
2) Seseorang wafat meninggalkan 2 anak perempuan, istri, dan paman, dalam hal
ini dua anak perempuan memperoleh 2/3 bagian berdasarkan ketentuan
6
furudh, istri mendapatkan 1/8 bagian berdasarkan ketentuan furudh, dan
paman mendapatkan sisanya ashabah.
3) Seseorang wafat meninggalkan ayah, ibu, anak laki-laki, dan anak
perempuan dalam hal ini, ayah memperoleh 1/6 bagian berdasarkan
ketentuan furdh, ibu memperoleh 1/6 bagian berdasarkan ketentuan
furudh, dan anak laki-laki dan anak perempuan mendapatkan sisanya
sebagai ashabah dengan ketentuan bagian kali-laki adalah dua kali lipat
bagian perempuan.5
3. Ashabah ma’a al-ghair
yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli
waris lain yang tidak meneriman bagian sisa. Apabila ahli waris lain tidak ada,
maka ia menerima bagian tertentu (al-furud al-muqddara) ahli waris yang
menerima bagian ashabah ma’al ghair adalah:
5
M. Thaha Abul Ela Khalifah, Op., Cit, hal. 409
6
Suparman Usman, Op., Cit, hal. 52
7
Adapun dasar hukum pembagian ashabah ma’a al-ghair ini adalah
pelaksanaan pembagian warisan yang dilakukan Nabi Muhammad saw dalam
riwayat Ibnu Mas’ud yang artinya:
Contoh kasus 1:
Contoh kasus 2:
Seorang wanita wafat meninggalkan suami, ibu, dua anak perempuan, dan saudara
perempuan seayah, dalam hal ini suami memperoleh ¼ dari harta warisan, ibu
memperoleh 1/6 dari harta warisan, dua anak perempuan memperoleh 2/3 bagian.
Dari contoh diatas dapat diketahui bahwa ashabah ma’al ghair memiliki dua
kondisi dalam warisan:
1) Ia mewarisi apa yang tersisa setelah ashabul furud sebagai mana dalam
contoh pertama.
2) Ia tidak mewarisi apapun. Hal itu terjadi jika seuruh harta warisan telah
habis dibagikan kepada asbabul furud.7
7
M. Thaha Abul Ela Khalifah, Op., Cit. hal. 412.
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata ashabah merupakan jamak dari ﻋﺎﺼﺐyang berarti kerabat seseorang dari
pihak bapaknya dalam memberikan defenisi ashabah atau ta’shib pada hakikatnya,
para ulama faraid mempunyai kesamaan persepsi dan asal-usul antara lain sebagai
mana yang dikemukakn Rifa’I Arif. Dalam pengertian lain ashabah adalah bagian
sisa setelah diberikan kepada ahli waris ashbul al-furud. Sebagai ahli waris
penerima bagian sisa, ahli waris ashabah terkadang menerima bagian banyak
(seluruh harta warisan) terkadang menerima bagian sedikit, tetapi terkadang tidak
menerima bagian sama sekali, karena telah habis diberikan kepada ahli waris
ashabul al-furud.
Macam-macam Ashabah
Ashabah bi nafsi
Yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri berhak menerima bagian
ashabah, ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali mu’tiqah (orang
perempuan yang memerdekakan hamba sahaya)
Ashabah bi al-ghair
Yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli
waris yang telah menerima bagian sisa apabila ahli waris penerima sisa tidak ada
maka ia tetap menerima bagian tertentu.
yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli
waris lain yang tidak meneriman bagian sisa.
B. Saran
9
Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh
dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan
berpedoman pada banyak sumber. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan
saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan diatas.
10
DAFTAR PUSTAKA
Suhrawardi K. Rubis. Hukum Waris Islam. Cet. 1; Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Ahmad Rofiq. Fiqih Mawaris. Cet. 4; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
M. Thaha Abul Ela Khalifah. Hukum Waris. Cet. 1; Solo: Tiga Serangkai, 2007.
11