Anda di halaman 1dari 15

MAKALA FIQIH MAWARIS

Ashhabul Furudh dan Bagiannya

Kelompok 3
Disusun Oleh HES 3B :
Zakiya Lovita Sari (2223120051)
Yawan Saputri (2223120033)

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI FATMAWATI SUKARNO
BENGKULU
2023
KATA PENGANTAR

Tiada kata yang mewakili perasaan saya saat ini kecuali rasa syukur. Untuk itu, saya
ucapkan terima kasih kepada Tuhan atas rahmat-Nya, saya dapat menyusun makala ini dengan
baik. Meski mendapatkan kendala, tapi saya bisa melaluinya sehingga laporan penelitian
berjudul ‘’ Ashhabul Furudh dan Bagiannya" ini dapat terselesaikan tepat waktu. Saya
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat, Saya ucapkan terima kasih kepada
dosen pembimbing yang tak lelah menerima ajakan diskusi. Selain itu saya sangat berterima
kasih kepada orang tua, sahabat, dan teman-teman. Mereka telah memberikan dukungan serta
doa sehingga saya memiliki kekuatan lebih untuk mengumpulkan data dan melakukan analisis.

Saya menyadari bahwa makala ini masih banyak kekurangan. Sebagai penulis, saya
berharap pembaca bisa memberikan kritik agar tulisan selanjutnya jauh lebih baik. Di sisi lain
saya berharap pembaca menemukan pengetahuan baru dari laporan makala ini. Walaupun tulisan
ini tidak sepenuhnya bagus, saya berharap ada manfaat yang bisa diperoleh oleh pembaca.
Demikian sepatah dua patah kata dari saya. Terima kasih.

Selamat membaca!

Bengkulu, 25 Oktober 2023

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................................................

DAFTAR ISI.............................................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................................................

BAB II PEMBAHSAAN..........................................................................................................................................

A. Pengertian Ahli Waris...............................................................................................................4


B. Pembagian ahli waris................................................................................................................5

BAB III PENUTUP .................................................................................................................................................

KESIMPULAN.........................................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Harta warisan adalah semua peninggalan pewaris yang berupa hak dan kewajiban

atau semua harta kekayaan yang ditinggalaki-lakian untuk dibagikan kepada yang berhak

(ahli waris). Dalam pembagian harta warisan antara laki-laki dan perempuan juga perlu

adanya asas keadilan tanpa mendiskriminasikan antara laki-laki dan perempuan. Berbeda

pada masa jahiliyyah, pembagian warisan hanya berlaku pada laki-laki saja dan terhadap

anak yang belum dewasa, anak perempuan atau kaum perempuan tidak berhak mendapat

warisan dari harta peninggalan orang yang meninggal dunia. Setelah Islam sempurna

pembagian warisan tidak lagi pembedaan antara ahli waris anak-anak, perempuan, dan

orang dewasa dalam memperoleh hak-haknya untuk menerima warisan. Dalam hukum

Islam, tentang pembagian warisan telah ditetapkan dalam Q.S. al-Nisā’ ayat 11,

khususnya tentang bagian laki-laki dan perempuan.

ahli waris ashabul furudh adalah para ahli yang disebut dan telah ditentukan

bagiannya di dalam Al-Qur'an. Bagian yang telah di tentukan dalam Al-Qur'an ada enam

macam, yaitu ½ (setengah), ¼ (seperempat), 1/3 (sepertiga), 2/3 (dua pertiga), 1/6

(seperenam), dan 1/8 (seperdelapan).

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu ahli waris?
2. Bagaimana pembagian ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu ahli waris.
2. Untuk mengetahui pembagian ahli waris laki-laki dan ahli waris perempu
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ahli Waris

Ashabul Furudh (Zawil Furudh) adalah bagian-bagian yang telah ditentukan oleh

syariat Islam (al-Qur’an dan Hadits) berkenaan dengan orang yang mendapatkan harta

warisan. Pembagian harta waris ini terbagi menjadi 2 kelompok yaitu ahli waris laki-laki

dan ahli waris perempuan.

Menurut Kompilasi Hukum Islam ahli waris adalah orang yang pada saat

meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan

pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Yang termasuk ashabul furudh ada sebelas orang. Mereka adalah : suami, istri

satu orang atau lebih, ibu, ayah, kakek, nenek satu orang atau lebih, anak perempuan,

putri anak laki-laki (cucu wanita dari anak laki), saudari kandung, saudari satu ayah,

saudara satu ibu baik laki maupun wanita.

B. Pembagian Ahli Waris

Ketentuan mengenai bagian dari masing-masing ashabul furudh telah diatur

dalam al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 11 dan 12 yang artinya :

11. Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu
: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan [272];
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[273], maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika
orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas)
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

12. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak,
maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-
hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu
itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu
sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun.
Berikut ini penjelasan mengenai syarat warisan laki-laki dan harta warisan
perempuan:

1. Bagian Waris Suami

1.1. Suami mendapat jatah waris setengah dari peninggalan istrinya jika si istri tidak
memiliki keturunan, yang dimaksud keturunannya adalah: “anak-anaknya, baik itu putra
maupun putri, cucu dari putranya sampai kebawah” adapun cucu dari putri mereka
termasuk dari keturunan yang tidak mendapat waris.

1.2. Suami mendapat jatah waris seperempat dari istrinya jika si istri memiliki
keturunan, baik itu keturunan darinya ataupun dari suami lain. Adapun keturunan yang
tidak mewarisi, seperti anak perempuan dari anak perempuan, maka dia tidak mengurangi
bagian suami atau isteri.

2. Bagian Waris Istri

1.1. Seorang istri mendapat seperempat dari peninggalan suaminya jika si suami tidak
memiliki keturunan.

1.2. Istri mendapat waris seperdelapan dari suami jika dia (suami) memiliki keturunan,
baik itu darinya ataupun dari istrinya yang lain.

Adapun Isteri yang ditalak (diceraikan) dengan talak raj’ie itu mewarisi dari suaminya
apabila suami mati sebelum habis masa iddahnya. Orang-orang Hambali berpendapat
bahwa isteri yang ditalak sebelum dicampuri oleh suami yang mentalaknya di waktu sakit
yang menyebabkan kematian, kalau suami mati karena sakit, sedang isteri belum
menikah lagi, maka isteri itu mendapat warisan. Demikian pula bila isteri yang ditalak
yang telah dicampuri oleh suami yang mentalaknya, selama dia belum menikah lagi, dan
berada dalam masa ‘iddah karena kematian suami.

3. Bagian Waris Ibu

1.1. Ibu mendapat sepertiga peninggalan dengan tiga syarat: Mayit tidak memiliki
keturunan, tidak adanya sejumlah saudara, baik laki-laki maupun wanita.
1.2. Ibu mendapat jatah seperenam: jika mayit memiliki keturunan, atau adanya
sejumlah saudara, baik laki-laki maupun wanita.

1.3. Mengambil sepertiga dari sisa harta bila tidak ada orang-orang yang telah
disebutkan tadi sesudah bagian seorang suami-isteri. Yang demikian itu terdapat dalam
dua masalah yang dinamakan gharraiyyah, yaitu Pertama: Bila si mayit meninggalkan
suami dan dua orang tua. Kedua : Bila si mayit meninggalkan isteri dan dua orang tua.

4. Bagian Waris Ayah

1.1. Ayah mendapat waris seperenam secara fardhu dengan syarat adanya keturunan
laki-laki bagi si mayit, seperti putra ataupun cucu dari putranya.

1.2. Ayah mendapat waris sebagai ta’shib/ashabah jika si mayit tidak memiliki
keturunan. Dengan demikian, maka ayah mengambil semua peninggalan bila ia sendirian,
atau sisa dari ashabul furudh jika ia bersama seseorang dari mereka.

1.3. Ayah mendapat waris dengan jalan fardhu dan ta’shib sekaligus jika terdapat
keturunan mayit yang wanita, seperti: putrinya atau putri dari putranya (cucu), dalam
keadaan ini ayah berhak mendapat seperenam sebagai fardhu dan juga mendapatkan sisa
harta sebagai ashabah.

Yang perlu diingat sehubungan dengan keberadaan ayah selaku ahli waris adalah bahwa
kedudukan saudara-saudara kandung baik satu ayah ataupun satu ibu, seluruhnya jatuh
(tidak mendapat waris) dengan keberadaan ayah atau kakek.

5. Bagian Waris Kakek

Kakek ada yang shahih dan ada yang fasid. Kakek yang shahih ialah kakek yang
nasabnya dengan mayit tidak diselingi oleh perempuan, misalnya ayah dari ayah. Kakek
yang fasid ialah kakek yang nasabnya dengan si mayit diselingi oleh perempuan,
misalnya ayah dari ibu. Kakek yang shahih mendapatkan waris menurut ijma’.

Hak waris kakek yang shahih itu gugur dengan adanya ayah; dan bila ayah tidak
ada, maka kakek shahih yang menggantikannya, kecuali dalam tiga masalah:
1. Ibu dari ayah itu tidak mewarisi bila ada ayah, sebab ibu dari ayah itu gugur dengan
adanya ayah dan mewarisi bersama kakek.

2. Apabila si mayit meninggalkan ibu-bapak dan seorang dari suami-isteri, maka ibu
mendapatkan sepertiga dari sisa harta sesudah bagian salah seorang dari suami-isteri.
Adapun bila kakek menggantikan ayah, maka ibu mendapatkan sepertiga dari semua
harta. Masalah ini dinamakan masalah ‘Umariyah, karena masalah ini diputuskan
oleh ‘Umar. Masalah ini juga dinamakan gharraaiyyah karena terkenalnya bagai
bintang pagi. Akan tetapi Ibnu ‘Abbas menentang hal itu, dan katanya:
“Sesungguhnya ibu mendapatkan sepertiga dari keseluruhan harta ; karena firman
Allah : ‘dan bagi ibunya itu sepertiga'”.

3. Bila ayah didapatkan, maka terhalanglah saudara-saudara laki-laki perempuan


sekandung, dan saudara-saudara laki-laki serta saudara-saudara perempuan sebapak.
Adapun kakek, maka mereka tidak terhalang olehnya. Ini adalah mazhab Asy-Syafi’i,
Abu Yusuf, Muhammad dan Malik. Sedang Abu Hanifah berpendapat bahwa kakek
menghalangi sebagaimana ayah menghalangi mereka, tidak ada perbedaan antara
kakek dan ayah. Undang-undang Warisan Mesir telah mengambil pendapat yang
pertama, dimana dalam pasal 22 terdapat ketentuan berikut :

 Kakek akan mendapat waris seperenam secara fardhu dengan dua syarat:adanya
keturunan mayit, tidak adanya ayah.

 Kakek akan mewarisi sebagai ashobah jika mayit tidak memiliki keturunan, atau tidak
ada ayah.

 Kakek akan mewarisi dengan fardhu dan ta’shib bersamaan ketika ada keturunan mayit
yang wanita, seperti putri dan putrinya putra (cucu).

6. Bagian Waris Nenek

Bagi nenek yang shahih (nenek yang nasabnya dengan si mayit tidak diselingi oleh kakek
yang fasid. Adapun Kakek yang fasid ialah kakek yang nasabnya dengan si mayit
diselingi oleh perempuan, seperti ayah dari ibu) ada tiga ketentuan :
1.1. Nenek yang berhak untuk mendapat waris: adalah ibunya ibu, ibunya ayah, ibunya
kakek dan begitulah seterusnya dengan asal wanita, dua orang dari arah ayah dan satu
dari arah ibu.

1.2. Secara mutlak tidak ada jatah waris untuk seluruh nenek jika ada ibu, sebagaimana
pula tidak ada waris secara mutlak untuk kakek ketika ada ayah.

1.3. Waris yang didapat oleh satu orang nenek ataupun lebih adalah seperenam (mutlak)
dengan syarat tidak ada ibu.

7. Bagian Waris anak-anak putri

1.1. Satu orang putri ataupun lebih akan mendapat waris dengan ta’shib jika ada
bersama mereka saudara laki-laki, dengan hitungan untuk laki-laki seperti jatah dua orang
wanita.

1.2. Seorang putri mendapat waris setengah harta dengan syarat tidak adanya muasshib
baginya, yaitu saudara laki-lakinya, tidak ada yang menyertainya, yaitu saudarinya yang
lain.

1.3. Dua orang putri ataupun lebih berhak mendapat waris dua pertiga dengan syarat
jumlah mereka dua orang atau lebih, tidak ada muasshib bagi mereka, yaitu saudara laki-
laki mereka.

8. Bagian Waris Cucu Perempuan (Anak Perempuan Dari Anak Laki-Laki)

1.1. Seorang cucu perempuan dari anak laki ataupun lebih dari satu akan mendapat
waris sebagai ta’shib jika ada bersamanya saudara laki-laki mereka yang sederajat
dengannya, yaitu putranya putra (cucu laki).

1.2. Cucu perempuan mendapat waris setengah harta dengan syarat tidak ada
muasshibnya, yaitu saudara laki-lakinya. Atau dalam hal tidak ada yang menyertainya,
yaitu saudarinya yang lain, atau tidak ada keturunan mayit yang lebih tinggi derajatnya,
seperti putra ataupun putri mayit.
1.3. Dua orang cucu perempuan ataupun lebih akan mendapat waris dua pertiga
dengan syarat jumlah mereka dua orang atau lebih. Atau dengan tidak adanya muasshib
mereka, yaitu saudara laki-laki mereka, ataupun tidak adanya keturunan yang derajatnya
lebih tinggi dari mereka.

1.4. Satu orang atau lebih dari cucu perempuan mendapat waris seperenam dengan
syarat tidak adanya muasshib mereka, yaitu saudara laki-laki mereka, tidak ada keturunan
mayit yang lebih tinggi derajat darinya kecuali satu orang putri yang berhak mendapat
setengah harta peninggalan, karena mereka tidak akan mengambil seperenam kecuali
dengan keberadaannya, begitu pula hukumnya dengan putrinya cucu bersama cucu
perempuan dari anak laki, dst.

9. Bagian Waris Saudari Kandung

1.1. Seorang saudari kandung mendapat waris setengah dari harta dengan syarat
tidak ada yang menyertainya dari saudari lainnya, tidak ada muasshib, yaitu saudaranya,
tidak ada asli waris, yaitu ayah atau kakek si mayit, tidak ada keturunan.

1.2. Beberapa saudari kandung mendapat bagian dua pertiga dengan syarat jumlah
mereka dua orang atau lebih, mayit tidak memiliki keturunan, tidak ada asal waris yang
pria, tidak ada muasshib mereka, yaitu saudara mereka.

1.3. Seorang saudari kandung ataupun lebih akan menjadi ashobah jika ada bersama
mereka muasshibnya, yaitu saudara laki, dengan pembagian untuk laki-laki sama dengan
dua bagian wanita, atau ketika mereka bersama keturunan mayit yang wanita seperti putri
mayit.

10. Bagian Waris Saudari se-Ayah

1.1. Saudari satu ayah mendapat bagian setengah harta dengan syarat tidak ada yang
menyertainya dari saudari selainnya, tidak ada muasshib, yaitu saudara laki-lakinya, tidak
ada asal waris dari laki-laki, tidak ada keturunan mayit, tidak ada saudara kandung, baik
laki-laki maupun wanita.
1.2. Saudari satu ayah berhak mendapat dua pertiga bagian dengan syarat jumlah
mereka dua orang atau lebih, tidak ada muasshib, yaitu saudara laki-laki mereka, tidak
ada asli waris laki, tidak ada keturunan, tidak ada saudara kandung, baik laki-laki maupun
wanita.

1.3. Seorang saudari satu ayah atau lebih akan mendapat bagian seperenam dengan
syarat adanya seorang saudari kandung mayit yang mendapat bagian setengah dengan
fardhu, tidak ada muasshib baginya, tidak ada keturunan mayit, tidak ada asli waris laki-
laki, tidak ada saudara kandung, baik itu satu orang ataupun lebih.

1.4. Seorang saudari satu ayah ataupun lebih akan mendapat waris sebagai ta’shib jika
ada bersama mereka muasshibnya, yaitu saudara laki-laki mereka, maka pembagiannya
untuk satu orang laki-laki sama dengan dua orang wanita, atau mungkin juga jika mereka
ada bersama keturunan mayit yang wanita, seperti putri mayit.

11. Bagian Waris Saudara Se-Ibu

1.1. Saudara satu ibu, baik laki-laki maupun wanita mendapat bagian seperenam
dengan syarat si mayit tidak memiliki keturunan, tidak ada asli waris yang laki-laki, atau
dia hanya satu orang (tidak ada saudara se-ibu lainnya).

1.2. Saudara satu ibu, baik itu laki-laki ataupun wanita mendapat bagian sepertiga
dengan syarat jumlah mereka lebih dari satu orang, mayit tidak memiliki keturunan, atau
tidak ada asli waris yang laki-laki.

Sebagai catatan, saudara satu ibu tidak dibedakan antara laki-laki dan wanitanya, laki-laki
mereka tidak menta’shibkan wanitanya, bahkan mereka mendapat bagian dengan merata
(sama).
Berikut ini penjelasan mengenai pembagian harta warisan laki-laki dan harta warisan
perempuan:

1. Seperdua (1/2)
Para ahli warisnya adalah 5 (lima) orang, yaitu:

1. Anak Perempuan, apabila hanya seorang diri, jika si mati tidak meninggalkan anak laki-
laki (QS, 4:11)
2. Seorang cucu perempuan dari laki-laki, jika si mati tidak meninggalkan anak atau cucu
laki-laki
3. Seorang saudara perempuan sekandung apabila seorang diri
4. Seorang saudara perempuan, jika hanya seorang diri
5. Suami, jika tidak ada anak atau susu (QS, 4:12)

2. Seperempat (1/4)
Para ahli warisnya adalah 2 (dua) orang, yaitu:

1. Suami, jika ada anak atau cucu dari anak laki-laki (QS, 4:11)
2. Istri seorang atau lebih, jika si mayit tidak meninggalkan anak atau cucu (QS, 4:12)

3. Seperdelapan (1/8)
Para ahli warisnya adalah 1 (satu) orang, yaitu:
1. Istri seorang atau lebih, apabila ada anak atau cucu (QS, 4:12)
4. Sepertiga (1/3)
Para ahli warisnya adalah 2 (dua) orang, yaitu:

1. Ibu, jika si mati tidak meninggalkan anak atau cucu dari anak laki-laki atau dua orang
saudara (QS, 4:11)
2. Dua orang atau lebih saudara seibu bagi si mati, baik laki-laki maupun perempuan (QS,
4:12)

5. Dua pertiga (2/3)


Para ahli warinya adalah 4 (empat) orang, yaitu:
1. Dua orang anak perempuan atau lebih, jika mereka tidak mempunyai saudara laki-laki
(QS, 4:11)
2. Dua cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, jika mereka tidak ada anak perempuan
atau saudara laki-laki
3. Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih, jika si mati tidak meninggalkan anak
perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki atau saudara laki-laki mereka (QS,
4:176)
4. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih, jika tidak ada yang tersebut nomor 1, 2
dan 3 atau saudara laki-laki mereka
6. Seperenam (1/6)
Para ahli warisnya adalah 7 (tujuh) orang, yaitu:
1. Ayah, jika si mati meninggalkan anak atau cucu (QS, 4:11)
2. Ibu, jika si mati meninggalkan anak, cucu laki-laki atau saudara laki-laki/perempuan lebih
dari seorang
3. Kakek, jika si mati meninggalkan anak, cucu dan tidak meninggalkan Bapak.
4. Nenek, jika si mati tidak ada ibu
5. Cucu perempuan dari anak laki-laki jika bersama-sama seorang anak perempuan
6. Saudara perempuan seayah atau lebih bila ia bersama-sama saudara perempuan sekandung
7. Saudara seibu baik laki-laki/perempuan, jika si mati tidak meninggalkan anak, bapak atau
datuk
Daftar Pustaka

Al-Qur’an dan terjemahannya

Ahmad Azhar Basyir, Hukum waris Islam, 1999, Ekonesia Fakultas Hukum UII, Yogyakarta.

Ahmad Zahari, Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam: Syafi’i, Hazairin dan KHI, 2003, Romeo
Grafika, Pontianak.

Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam, tanpa tahun, Mutiara
Ilmu, Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai