FIKIH MUNAKAHAT
Oleh
Kelompok IV
Dosen pengampu :
Mufti Ulil Amri,MA
BIMBINGANKONSELINGISLAM (A)
FAKULTASDAKWAHDANILMUKOMUNIKASI
2022M/1443 H
KATA PENGATAR
Assalamu'alaikum wr.wb
Alhamdulillah segala puji milik Allah SWT dengan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan
makalahini dengan baik dan tepatwaktu. Shalawat dan salam tidak lupa penulis sampaikan
pada baginda Rasulullah SAW,diman belia tela membawa kita dari alam jahiliyah kealam
yang berilmu pengetahuan seperti saat sekarang ini.
Makalah ini penulis buat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fikih Munakahat
yang membahas tentang WALI DAN SAKSI DALAM PERNIKAHAN.
Semoga makalah ini dapat memberikan sedikit pengetahuan dan menambah
Wawasan para pembaca,walaupun makalah ini masih jauh dari kata sempurn juga tidak
terlalu banyak pembahasannya. Sebab keterbatasan pengetahuan penulis tentang pembahasan
ini, serta sedikitnya referensi yang dapat penulis temukan.
Padang, 29 Maret2022
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. KESIMPULAN.............. ............................................................................ .
B. SARAN.............. ...........................................................................................
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian wali?
2. Siapa saja yang bisa menjadi wali ?
3. Apa pengertian saksi ?
C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Untuk mengetahui wali pengertian serta ururan wali
2. Untuk mengetahui saksi dalam akad pernikahan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Nasab
1. Pengertian Nasab
Nasab menurut bahasa berarti keturunan atau kerabat. Secara etimologi dalam
Ensiklopedia Indonesia, nasab di definisikan sebagai keturunan ikatan keluarga
sebagai hubungan darah baik karena hubungan darah ke atas (bapak, kakek, ibu,
nenek, dan seterusnya), ke bawah (anak, cucu, dan seterusnya) maupun ke samping
(saudara, paman, bibi dan lain-lain). [1]
Seseorang boleh menasabkan dirinya kepada seseorang atau ayahnya apabila sudah
terpenuhi syarat-syaratnya, adapun syarat-syaratnya adalah sebagaimana berikut;
a. Seorang anak yang lahir dari seorang perempuan memang benar hasil
perbuatannya dengan suaminya.
b. Ketika perempuan hamil, waktunya tidak kurang dari waktu kehamilan pada
umumnya.
Nasab merupakan nikmat yang paling besar yang diturunkan oleh Allah SWT kepada
hamba-Nya, sebagaimana firman dalam surat al-Furqan ayat 54 yang berbunyi:
“Dan dia pula yang menciptakan manusia dari air, lalu dia jadikan manusia itu (punya)
keturunan mushaharah (hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan) dan
adalah tuhanmu yang Maha Kuasa. (Qs. Al-Furqan : 54)
Islam telah menetapkan bahwa setiap anak yang dilahirkan ke dunia mempunyai hak-
hak yang tentu saja menjadi kewajiban orang tua untuk memenuhi hak tersebut. Ada 5
bagian hak anak yaitu: Nasab (garis keturunan), penyusunan,
pemeliharaan/pengasuhan, perwakilan dengan berbagai jenisnya yaitu perwalian atas
jiwa dan perwalian atas harta serta nafkah.[3]
Para ulama sepakat bahwa nasab seseorang kepada ibunya terjadi disebabkan karena
kehamilan karena adanya hubungan seksual yang dilakukan dengan seorang laki-laki,
baik hubungan itu dilakukan berdasarkan akad nikah maupun melalui perzinaan.
Adapun dasar-dasar tetapnya nasab dari seorang anak kepada bapaknya, bisa terjadi
dikarenakan oleh beberapa hal yaitu :
Para ulama fiqh sepakat bahwa para wanita yang bersuami dengan akad yang sah
apabila melahirkan maka anaknya itu dinasabkan kepada suaminya itu. Mereka
berdasarkan pendapat tersebut antara lain pada hadist, yang artinya:
“anak-anak yang dilahirkan adalah untuk laki-laki yang punya isteri (yang melahirkan
anak itu ) dan bagi pezina adalah rajam”.
Pernikahan fasid adalah pernikahan yang dilangsungkan dalam keadaan cacat syarat
sahnya. Misalnya menikahi wanita yang masih dalam masa iddah. Menurut
kesepakatan ulama fiqh penetapan nasab anak yang lahir dalam pernikahan fasid sama
dengan penetapan nasab anak dalam pernikahan yang sah. Akan tetapi ulama fiqh
mengemukakan tiga syarat dalam penetapan nasab anak-anak dalam pernikaha fasid
tersebut antara lain:
- Suami punya kemampuan menjadikan isterinya hamil, yaitu seorang yang baligh
dan tidak memiliki satu penyakit yang bisa menyebabkan isterinya tidak hamil.
Mengenai status anak luar nikah, para ulama sepakat bahwa anak itu tetap punya
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung jawab atas segala
keperluannya, baik materiil maupun spirituil adalah ibunya dan keluarga ibunya.
Demikian pulanya dengan hak waris-mewaris. Dalam hal anak diluar nikah ini, dibagi
ke dalam dua kategori :
a. Anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan dalam
pernikahan yang sah.
Menurut Imam Malik dan imam Syafi’i, anak yang lahir setelah enam bulan dari
perkawinan ibu dan bapaknya, anak itu dinasabkan kepada bapaknya. Jika anak itu
dilahirkan sebelum enam bulan, maka anak itu dinasabkan kepada ibunya. Berbeda
dengan pendapat itu, menurut Imam Abu Hanifah bahwa anak di luar nikah itu tetap
dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah.
Status anak diluar nikah dalam kategori yang kedua, disamakan statusnya dengan
anak zina dan anak li’an, oleh karena itu maka mempunyai akibat hukum sebagai
berikut:
1. Tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya. Bapaknya tidak wajib memberikan nafkah kepada
anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah
secara manusiawi, bukan secara hukum. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100,
menyebutkan anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab
dengan ibunya dan keluarga ibunya
2. Tidak ada saling mewaris dengan bapaknya, karena hubungan nasab merupakan
salah satu penyebab kerwarisan.
3. Bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar nikah. Apabila anak diluar nikah
itu kebetulan seorang perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak
berhak dinikahkan oleh bapak biologisnya.
C. Hadhanah
1. Pengertian Hadhanah
Hadhanah menurut bahasa adalah Al- Janbu berarti erat atau dekat. Sedangkan
menurut istilah memelihara anak laki-laki atau perempuan yang masih kecil dan belum
dapat mandiri, menjaga kepentingan anak, melindungi dari segala yang
membahayakan dirinya, mendidik rohani dan jasmani serta akalnya supaya si anak
dapat berkembang dan dapat mengatasi persoalan hidup yang akan dihadapinya.[11]
Dalam istilah fiqh digunakan dua kata namun ditunjukan untuk maksud yang sama
yaitu kafalah dan hadhanah. Yang dimaksud dengan hadhanah atau kaffalah dalam
arti sederhana ialah “pemeliharaan” atau “pengasuhan”. Dalam arti yang lebih
lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus
perkawinan. Hal ini dibicarakan dalam fiqh karena secara praktis antara suami dan
istri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan ayah atau
ibunya. [12]
Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya adalah wajib,
sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun
dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah SWT untuk membiayai anak dan
istri dalam firman Allah pada surat al – Baqarah ayat 233 :
“Adalah kewajiban ayah untuk member nafkah dan pakaian untuk anak dan istrinya”
Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan
ibu masih terikatan dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah
terjadinya perceraian.
3. Rukun dan Syarat Hadhanah
Pemeliharaan atau pengasuh anak itu berlaku antara dua unsure yang menjadi rukun
dalam hukumnya, yaitu orangtua yang mengasuh yang disebut hadhin dan anak yang
diasuh atau madhun. Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib
dan sahnya tugas pengasuh itu. Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan ayah secara
bersama berkewajiban untuk memelihara anak hasil dari perkawinan itu. Setelh
terjadinya perceraian dan keduanya harus berpisah, makan ibu dan atau ayah
berkewajiban memelihara anaknya secara sendiri-sendiri.
Ayah dan ibu yang akan bertindak sebagai pengasuh diisyaratkan hal-hal sebagai
berikut:
1. Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan tugas
yang berat itu, oleh karenanya belum dikenal kewajiban dan tindakan yang
dilakukannya itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan.
2. Berpikiran sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu berbuat
untuk dirinya sendiri dan dengan keadaannya itu tentu tidak akan mampu berbuat
untuk orang lain.
3. Beragama Islam. Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama, karena
tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak
yang diasuh. Kalau diasuh oleh orang yang bukan Islam dikhawatirkan anak yang
diasuhkan jauh dari agamanya.
4. Adil dalam arti menjalankan agama secara baik, dengan meninggalkan dosa besar
dan menjauhi dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq yaitu tidak
konsisten dalam beragama. Orang yang komitmen agamanya rendah tidak dapat
diharapkanh untuk mengasuh dan memelihara abak yang masih kecil.[13]
5. Mampu mendidik, jika penyakit berat atau perilaku tercela maka membahayakan
jiwa anak dan justru terlantarkan berada di tangannya
6. Amanah
7. Merdeka, sebab seorang budak kekuasaannya kurang lebih terhadap anak dan
kepentingan terhadap anak lebih tercurahkan kepada tuannya[14]
Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah :
1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam
mengurus hidupnya sendiri.
2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat
berbuat sendiri, meskipun telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh
berada di bawah pengasuhnya siapapun.
Bila kedua orangtua si anak masih lengkap dan memenuhi syarat maka yang paling
berhak melakukan hadhanah atas anak adalah ibu. Alasannya adalah ibu lebih
memiliki kasih sayang dibandingkan ayah, sedangkan dalam usia yang sangat muda itu
lebih dibutuhkan kasih sayang. Bila anak berada dalam asuhan seorang ibu, maka
segala biaya yang diperlukan untuk itu tetap berada di bawah tanggung jawab si ayah.
Hal ini sudah merupakan pendapat yamg disepakati oleh ulama.
Bila anak laki-laki telah melewati masa kanak-kanak yaitu mencapai usia tujuh tahun,
yang dalam fiqh dinyatakan sebagai mumayyiz, dan dia tidak idiot, antara ayah dan
ibu berselisih dalam memperebutkan hak hadhanah, maka si anak diberi hak piih
antara tinggal bersama ayah atau ibunya untuk pengasuhan selanjutnya. Inilah
pendapat sebagian ulama di antaranya IMAM Ahmad dan Syafi’iy.
Hak pilih diberikan kepada anak apabila terpenuhi dua syarat, yaitu :
Pertama : kedua orang tua telah memenuhi syarat untuk mengasuh sebagaimana
disebutkan di atas. Bila salah satu memenuhi syarat dan yang satu lagi tidak, maka si
anak diserahkan kepada yang memenuhi syarat, baik ayah atau ibu.
Kedua: si anak tidak dalam keadaan idiot. Bila si anak dalam keadaan idiot, meskipun
telah melewati masa kanak-kanak, maka ibu berhak mengasuh; dan tidak ada hak pilih
untuk si anak.
Bila yang telah mencapai masa tamyiz itu adalah anak perempuan, ulama beda
pendapat dalam menetapkan yang berhak melakukan hadhanah. Menurut pendapat
Imam Ahmad yang diikuti oleh pengikut dan ulama lainnya, anak perempuan itu
diberikan kepada ayah, karena dia yang berhak melakukan hadhanah. Alasan yang
dikemukakan ulama ini adalah, baha yang menjadi tujuan dari hadhanah itu di
samping pemeliharaan adalah rasa diri. Anak perempuan yang telah mencapai tujuh
tahun mendapatkan rasa dirinya bila dia berada dibawah ayahnya. Dia memerlukan
pemeliharaan dan ayah lebih baik dalam hal ini dibandingkan dengan ibu.
Imam al-syafi’iy berpendapat bahwa anak perempuan itu diberi pilihan untuk hidup
bersama ayahnya atau ibunya, sebagai mana yang berlaku pada anak laki-laki. Abu
hanifah berpendapat bahwa ibu lebih berhak untuk melaksanakan hadhanah sampai
dia kawin/haid. Menurut imam malik ibu berhak sampai dia kawin/bergaul dengan
bergaul dengan suaminya, karena anak dalam usia tersebut tidak mampu untuk
memilih
Bila salah seorang ibu dan ayah itu ingin melakukan perjalanan yang akan kembali
pada waktunya sedangkan yang satu lagi menetap ditempat, maka yang menetap di
tempat lebih berhak menjalankan hadhanah. Alasannya ialah, bahwa perjalanan itu
mengandung resiko dan kesulitan bagi si anak, oleh karena itu menetap lebih baik
karena tidak ada resiko bagi si anak.
Dalam hal pindah tempat juga ulama beda pendapat. Menurut ulama ahlu ra’yi
(hanafiyah) bila yang melakukan pindah tempat adalah ayah maka ibu lebih berhak
atas hadhanah. Bila ibu yang pindah ketempat dilaksanakan perkawinan, ibu yang
berhak tapi bila pindah ke tempat lain, ayah lah yang berhak. Ulama lainnya termasuk
imam malik dan al-syafi’iy yang berhak atas hadhanah dalam keadaan pindah tempat
adalah ayah.
Bila bertemu kerabat dari pihak ibu dan dari pihak ayah dan mereka semuanya
memenuhi syarat yg ditentukan untuk melaksanakan hadhanah maka urutan yang
berhak menurut yang dianut oleh kebanyakan ulama adalah :
1. Ibu, ibunya ibu dan seterusnya keatas, karena mereka menduduki kedudukan ibu,
kemudian.
2. Ayah, ibunya ayah dan seterusnya keatas, karena mereka menduduki tempat
ayah.
Lain dari urutan yang disebutkan diatas ulama tidak sepakat dalam keutamaan
haknya. bila ibu yang berhak dan memenuhi syarat melepaskan haknya, kepada siapa
hak hadhanah itu beralih, menjadi pembicaraan dikalangan ulama. Sebagian ulama
berpendapat hak hadhanah pindah kepada ayah, karena ibu ibunya merupakan
cabang, sedangkan ayah bukan merupakan cabang daripada haknya. Perndapat kedua
yang dianggap lebih kuat mengatakan bahwa bila ibu melepaskan haknya, maka hak
tersebut pindah kepada ibu ibunya, karena kedudukan ayah dalam hal ini lebih jauh
urutannya.
Bila ibu yang melaksanakan hadhanah itu kawin, suaminya berhak melarangnya untuk
menyusukan anaknya itu. Kecuali dalam keadaan terpaksa seperti tidak ditemukan
perempuan lain yang dapat diterima oleh si anak. [15]
Hadhanah merupakan kebutuhan atau keharusan demi kemaslahatan anak itu sendiri,
sehingga meskipun kedua orang tua mereka memiliki ikatan atau sudah bercerai anak
tetap berhak mendapatkan perhatian dari kedua anakanya.
Pasal 45:
1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka sebaik-baiknya.
2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini berlaku sampai anak
itu kawin atau berdiri sendiri berlaku terus meski perkawinan antara orang tua putus.
Pasal 46:
1. Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka dengan baik.
2. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua
dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka memerlukan batuannya.
Pasal 47:
1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya, selama mereka tidak dicabut dari
kekuasaanya.
2. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di
luar pengadilan.
Dalam hal ayat 1 Pasal 47, 49 menyebutkan bahwa kekuasaan salah satu atau kedua
orang tuanya dicabut dari anaknya atas permintaan orang tua lain, keluarga anak
dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang
berwenang dengan keputusan pengadilan meskipun dicabut mereka tetap
berkewajiban.[16]
Namun demikian orang tua masih memiliki kewajiban atas biaya pemeliharaan anak
tersebut (ayat 2) berkaitan dengan pemeliharaan anak juga, orang tua pun mempunyai
tanggung jawab yang berkaitan dengan kebendaan. Dalam pasal 106 KHI disebutkan
bahwa orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang
belum dewasa atau di bawah pengampuan. Dan orang tua bertanggung jawab atas
kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban.[17.
Pasal 98 :
1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa 21, sepanjang tidak
cacat fisik atau mental.
Pasal 99 :
2. Hasil dari perbuatan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri
tersebut;
Perceraian bukanlah halangan bagi anak untuk memperoleh hak pengasuhan atas
dirinya dan kedua orang tuanya, sebagaimana yang telah diatur pada UUP NO.1 thn
1974 Pasal 41 tentang akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pendidikan dan pemeliharaan,
bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapt memenuhi kewajiban tersebut,
pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Dan diatur juga dalam KHI pada pasal 105 dalam permasalahan perceraian, yang
mana anak pada saat itu belum mumayyiz yaitu:
2. Syafi’I: Tidak ada batasan tetap tinggal bersama ibunya sampai ia bias
menentukan atau berfikir hal yang terbaik baginya. Namun bila ingin bersama ayah
dan ibunya, maka dilakukan undian, bila si anak diam berarti memilih ibunya.
3. maliki: Anak laki- laki hingga baligh dan perempuan hingga manikah.
4. Hambali: Masa anak laki- laki dan perempuan dan sesudah itu disuruh memilih
ayah atau ibunya.
5. Imamiyyah: Masa asuh anak untuk laki- laki 2 tahun, sedangkan anak perempuan
7 tahun. Sesudah itu haknya ayah, hingga mencapai 9 tahun bila dia perempuan dan 15
tahun bila dia laki- laki, untuk kemudian disuruh memilih dia siapa yang ia pilih.[20]
6. Sedangkan dalam KHI pada pasal 156 juga mengatur tentang hadhanah pada
perceraian:
A) Anak yang belum mumayyiz dipelihara oleh ibunya kecuali telah meninggal
dunia, maka kedudukannya diganti oleh;
2. Ayah,
B) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari
ayahnya atau ibunya.
meskipun tercukupi biayanya, maka atas permintaan kerabat yang juga mempunyai
hak yang dapat menuntut ke pengadilan untuk memindahkan hak hadhanah.
D) Biaya hadhanah tangung jawab ayah sekurang- kurangnya sampai dewasa dan
dapat mengurus
HIKMAH PENSYARIATANNYA Anak-anak kecil dan yang semisalnya seperti orang gila
atau lumpuh dan sejenisnya tidak mampu memelihara dirinya sendiri dan tidak mampu juga
membinanya. Kondisi ini menuntut disyariatkannya kepengasuhan untuk menjaga orang-
orang yang membutuhkannya dan memelihara urusan dan pembinaan mereka, apalagi saat
terjadi perpisahan pasangan suami istri. Itu merupakan sebentuk rahmat bagi mereka
sehingga mereka tidak rusak atau terlantar sehingga menjadi bencana bagi masyarakat.[4]
SYARAT MENDAPATKAN HAK ASUH (HADHANAH).[5] Kalangan ahli fiqih
menyebutkan sejumlah syarat untuk mendapatkan hak asuh anak yang harus dipenuhi demi
menjaga dan memelihara kemaslahatan sang anak. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka hak
asuh anak hilang. Syarat-syarat tersebut ada yang disepakati dan ada yang masih
diperselisihkan para Ulama. Diantara syarat-syarat yang disepakati adalah: Berakal sehat.
Hak pengasuhan tidak boleh diberikan kepada orang yang tidak berakal sehat. Amanah dalam
agamanya. Maksudnya dia memiliki keshalihan dan tidak fasiq. Sebab orang fasiq seperti
pemabuk, dikenal sebagai pezina tidak dapat dipercaya dalam menunaikan kewajiban
kepengasuhan ini. Memiliki kemampuan dalam mengurus urusan dan mendidik anak yang
diasuh. Dalam hal ini, untuk kaum lelaki disyaratkan harus memiliki orang yang mampu
mengurusi anak tersebut, seperti istri, budak, atau wanita yang dibayar untuk mengasuhnya.
Hal ini disebabkan lelaki tidak memiliki kesabaran menghadapi keadaan anak-anak seperti
kaum wanita, sehingga bila tidak ada orang yang mampu mengurusnya maka haknya
berpindah kepada selainya. Demikian juga adat kebiasaan yang ada lelaki tidak langsung
mengurusi anak-anak tapi megurusinya melalui istri-istri mereka. Pengasuh tidak memiliki
penyakit yang dapat memudharatkan sang anak yang diasuh. Tinggal menetap di daerah anak
yang diasuh. Wanita yang akan mengasuh disyaratkan tidak memiliki suami yang bukan
kerabat dari sang anak. Apabila sang wanita pengasuh tersebut baik ibu atau yang lainnya
menikah dengan kerabat sang anak maka tidak hak hadhânah (kepengasuhan)nya tidak gugur.
Seorang ibu akan gugur hak kepengasuhannya terhadap anaknya apabila dia dinikahi lelaki
lainnya. Ibnul Mundzir berkata, “Para Ulama berijma bahwa pasangan suami istri apabila
berpisah dan memiliki anak bayi, maka ibunya yang paling berhak mengasuhnya, selama
sang ibu belum menikah lagi. Mereka juga berijma’ (sepakat) bahwa tidak ada hak bagi ibu
pada anaknya bila telah menikah lagi.[6]Hal ini juga ditegaskan oleh sabda Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dengan menukil dari
ayahnya, dari kakeknya bahwa ada seorang wanita yang mengadu kepada Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
DAFTAR PUSTAKA
[1] DR. Abdul Karim Zaidan Al-Mufassol fi Ahkam al-Mar’ah (Beirut, Muassasah ar-
Risalah tahun 1993) hlm. 321
[4] Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah Jilid 3 Tahkik dan takhrij : Muhammad Nasiruddin Al-Albani
(Cakrawala Publishing,Jakarta 2011) hlm. 398
[5] Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, ( Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 195
[6] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung : Citra Aditya
Bakti,1993), h. 95