Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

FIKIH MUNAKAHAT

“WALI DAN SAKSI DALAM PERNIKAHAN”

Oleh

Kelompok IV

NORI ISMAN 2012020012

FITRI HANISYAH 2012020016

Dosen pengampu :
Mufti Ulil Amri,MA

BIMBINGANKONSELINGISLAM (A)

FAKULTASDAKWAHDANILMUKOMUNIKASI

UNIVERSITASISLAM NEGERIIMAM BONJOLPADANG

2022M/1443 H
KATA PENGATAR

Assalamu'alaikum wr.wb
Alhamdulillah segala puji milik Allah SWT dengan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan
makalahini dengan baik dan tepatwaktu. Shalawat dan salam tidak lupa penulis sampaikan
pada baginda Rasulullah SAW,diman belia tela membawa kita dari alam jahiliyah kealam
yang berilmu pengetahuan seperti saat sekarang ini.

Makalah ini penulis buat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fikih Munakahat
yang membahas tentang WALI DAN SAKSI DALAM PERNIKAHAN.
Semoga makalah ini dapat memberikan sedikit pengetahuan dan menambah
Wawasan para pembaca,walaupun makalah ini masih jauh dari kata sempurn juga tidak
terlalu banyak pembahasannya. Sebab keterbatasan pengetahuan penulis tentang pembahasan
ini, serta sedikitnya referensi yang dapat penulis temukan.

Padang, 29 Maret2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............ ............... ................................................................

DAFTAR ISI.............. ..............................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG.............. ...................................................................


B. RUMUSAN MAKALAH.............. ..............................................................
C. TUJUAN PEMBAHASAN.............. ............................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. WALI DALAM PERNIKAHAN.............. ...................................................


B. URUTAN WALI.............. ...........................................................................
C. SAKSI DALAM PERNIKAHAN.............. .................................................

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN.............. ............................................................................ .
B. SARAN.............. ...........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.............. ........................................................................... ...


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

perwalian dalam terminologi para fuqaha sebagaimana dirumuskan oleh


Wahbah az-Zuhaili ialah kekuasaan atau otoritas (yang dimiliki) seseorang untuk
secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri tanpa harus bergantung (terikat)
atas seizin orang lain. Atas dasar pengertian kata wali di atas, dapat dipahami
bahwasanya hukum Islam menetapkan bahwa orang yang paling berhak menjadi wali
bagi kepentingan anaknya ialah ayah.
Wali yang berhak mengawinkan perempuan adalah „ashabah yaitu keluarga
laki-laki dari jalur ayah, bukan dari jalur ibu. Ini adalah pendapat jumhur ulama
selain Abu Hanifah yang memasukkan kerabat dari ibu dalam daftar wali
saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui suatu peristiwa kejadian atau
orang yang diminta hadirpada suatu peristiwa untuk mengetahui agar suatu ketika
diperlukan dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu
benar-benar terjadi

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian wali?
2. Siapa saja yang bisa menjadi wali ?
3. Apa pengertian saksi ?

C. TUJUAN PEMBAHASAN
1. Untuk mengetahui wali pengertian serta ururan wali
2. Untuk mengetahui saksi dalam akad pernikahan
BAB II

PEMBAHASAN

Jumat, 14 November 2014

Nasab, Radha'ah, Hadhanah, Pendidikan anak (Tarbiyatul Aulad)

A. Nasab

1. Pengertian Nasab

Nasab menurut bahasa berarti keturunan atau kerabat. Secara etimologi dalam
Ensiklopedia Indonesia, nasab di definisikan sebagai keturunan ikatan keluarga
sebagai hubungan darah baik karena hubungan darah ke atas (bapak, kakek, ibu,
nenek, dan seterusnya), ke bawah (anak, cucu, dan seterusnya) maupun ke samping
(saudara, paman, bibi dan lain-lain). [1]

Seseorang boleh menasabkan dirinya kepada seseorang atau ayahnya apabila sudah
terpenuhi syarat-syaratnya, adapun syarat-syaratnya adalah sebagaimana berikut;

a. Seorang anak yang lahir dari seorang perempuan memang benar hasil
perbuatannya dengan suaminya.

b. Ketika perempuan hamil, waktunya tidak kurang dari waktu kehamilan pada
umumnya.

c. Suami tidak mengingkari anak yang lahir dari istrinya.[2]

Nasab merupakan nikmat yang paling besar yang diturunkan oleh Allah SWT kepada
hamba-Nya, sebagaimana firman dalam surat al-Furqan ayat 54 yang berbunyi:

“Dan dia pula yang menciptakan manusia dari air, lalu dia jadikan manusia itu (punya)
keturunan mushaharah (hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan) dan
adalah tuhanmu yang Maha Kuasa. (Qs. Al-Furqan : 54)
Islam telah menetapkan bahwa setiap anak yang dilahirkan ke dunia mempunyai hak-
hak yang tentu saja menjadi kewajiban orang tua untuk memenuhi hak tersebut. Ada 5
bagian hak anak yaitu: Nasab (garis keturunan), penyusunan,
pemeliharaan/pengasuhan, perwakilan dengan berbagai jenisnya yaitu perwalian atas
jiwa dan perwalian atas harta serta nafkah.[3]

2. Dasar-dasar Nasab Menurut fiqh Islam

Para ulama sepakat bahwa nasab seseorang kepada ibunya terjadi disebabkan karena
kehamilan karena adanya hubungan seksual yang dilakukan dengan seorang laki-laki,
baik hubungan itu dilakukan berdasarkan akad nikah maupun melalui perzinaan.
Adapun dasar-dasar tetapnya nasab dari seorang anak kepada bapaknya, bisa terjadi
dikarenakan oleh beberapa hal yaitu :

a. Melalui pernikahan yang sah

Para ulama fiqh sepakat bahwa para wanita yang bersuami dengan akad yang sah
apabila melahirkan maka anaknya itu dinasabkan kepada suaminya itu. Mereka
berdasarkan pendapat tersebut antara lain pada hadist, yang artinya:

“anak-anak yang dilahirkan adalah untuk laki-laki yang punya isteri (yang melahirkan
anak itu ) dan bagi pezina adalah rajam”.

b. Nasab yang Ditetapkan Melalui Pernikahan Fasid

Pernikahan fasid adalah pernikahan yang dilangsungkan dalam keadaan cacat syarat
sahnya. Misalnya menikahi wanita yang masih dalam masa iddah. Menurut
kesepakatan ulama fiqh penetapan nasab anak yang lahir dalam pernikahan fasid sama
dengan penetapan nasab anak dalam pernikahan yang sah. Akan tetapi ulama fiqh
mengemukakan tiga syarat dalam penetapan nasab anak-anak dalam pernikaha fasid
tersebut antara lain:

- Suami punya kemampuan menjadikan isterinya hamil, yaitu seorang yang baligh
dan tidak memiliki satu penyakit yang bisa menyebabkan isterinya tidak hamil.

- Hubungan senggama bisa dilaksakan.


- Anak dilahirkan dalam waktu enam bulan atau lebih setelah terjadinya akad
fasid (menurut jumhur ulama) dan sejak hubungan senggama (menurut ulama
hanafiyah).[4]

Status Anak Luar Nikah Menurut Hukum Islam

Mengenai status anak luar nikah, para ulama sepakat bahwa anak itu tetap punya
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung jawab atas segala
keperluannya, baik materiil maupun spirituil adalah ibunya dan keluarga ibunya.
Demikian pulanya dengan hak waris-mewaris. Dalam hal anak diluar nikah ini, dibagi
ke dalam dua kategori :

a. Anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan dalam
pernikahan yang sah.

Menurut Imam Malik dan imam Syafi’i, anak yang lahir setelah enam bulan dari
perkawinan ibu dan bapaknya, anak itu dinasabkan kepada bapaknya. Jika anak itu
dilahirkan sebelum enam bulan, maka anak itu dinasabkan kepada ibunya. Berbeda
dengan pendapat itu, menurut Imam Abu Hanifah bahwa anak di luar nikah itu tetap
dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah.

b. Anak yang dibuahi dan dilahirkan diluar pernikahan yang sah

Status anak diluar nikah dalam kategori yang kedua, disamakan statusnya dengan
anak zina dan anak li’an, oleh karena itu maka mempunyai akibat hukum sebagai
berikut:

1. Tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya. Bapaknya tidak wajib memberikan nafkah kepada
anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah
secara manusiawi, bukan secara hukum. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100,
menyebutkan anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab
dengan ibunya dan keluarga ibunya

2. Tidak ada saling mewaris dengan bapaknya, karena hubungan nasab merupakan
salah satu penyebab kerwarisan.

3. Bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar nikah. Apabila anak diluar nikah
itu kebetulan seorang perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak
berhak dinikahkan oleh bapak biologisnya.

Status Anak di Luar Nikah Menurut Hukum Perkawinan Nasional.


Menurut hukum Perkawinan Nasional Indonesia, status anak dibedakan menjadi dua:
pertama, anak sah. kedua, anak luar nikah. Anak sah sebagaimana yang dinyatakan
UU No. Tahun 1974 pasal 42: adalah dalam anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah. Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 99 yang
menyatakan : “ anak sah adalah : (a) anak yang lahir dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah.(b). Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan
dilahirkan oleh istri tersebut.[6]

C. Hadhanah

1. Pengertian Hadhanah

Hadhanah menurut bahasa adalah Al- Janbu berarti erat atau dekat. Sedangkan
menurut istilah memelihara anak laki-laki atau perempuan yang masih kecil dan belum
dapat mandiri, menjaga kepentingan anak, melindungi dari segala yang
membahayakan dirinya, mendidik rohani dan jasmani serta akalnya supaya si anak
dapat berkembang dan dapat mengatasi persoalan hidup yang akan dihadapinya.[11]

Dalam istilah fiqh digunakan dua kata namun ditunjukan untuk maksud yang sama
yaitu kafalah dan hadhanah. Yang dimaksud dengan hadhanah atau kaffalah dalam
arti sederhana ialah “pemeliharaan” atau “pengasuhan”. Dalam arti yang lebih
lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus
perkawinan. Hal ini dibicarakan dalam fiqh karena secara praktis antara suami dan
istri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan ayah atau
ibunya. [12]

2. Hukum dan Dasar Hukum Hadhanah

Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya adalah wajib,
sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun
dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah SWT untuk membiayai anak dan
istri dalam firman Allah pada surat al – Baqarah ayat 233 :

“Adalah kewajiban ayah untuk member nafkah dan pakaian untuk anak dan istrinya”

Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan
ibu masih terikatan dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah
terjadinya perceraian.
3. Rukun dan Syarat Hadhanah

Pemeliharaan atau pengasuh anak itu berlaku antara dua unsure yang menjadi rukun
dalam hukumnya, yaitu orangtua yang mengasuh yang disebut hadhin dan anak yang
diasuh atau madhun. Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib
dan sahnya tugas pengasuh itu. Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan ayah secara
bersama berkewajiban untuk memelihara anak hasil dari perkawinan itu. Setelh
terjadinya perceraian dan keduanya harus berpisah, makan ibu dan atau ayah
berkewajiban memelihara anaknya secara sendiri-sendiri.

Ayah dan ibu yang akan bertindak sebagai pengasuh diisyaratkan hal-hal sebagai
berikut:

1. Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan tugas
yang berat itu, oleh karenanya belum dikenal kewajiban dan tindakan yang
dilakukannya itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan.

2. Berpikiran sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu berbuat
untuk dirinya sendiri dan dengan keadaannya itu tentu tidak akan mampu berbuat
untuk orang lain.

3. Beragama Islam. Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama, karena
tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak
yang diasuh. Kalau diasuh oleh orang yang bukan Islam dikhawatirkan anak yang
diasuhkan jauh dari agamanya.

4. Adil dalam arti menjalankan agama secara baik, dengan meninggalkan dosa besar
dan menjauhi dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq yaitu tidak
konsisten dalam beragama. Orang yang komitmen agamanya rendah tidak dapat
diharapkanh untuk mengasuh dan memelihara abak yang masih kecil.[13]

5. Mampu mendidik, jika penyakit berat atau perilaku tercela maka membahayakan
jiwa anak dan justru terlantarkan berada di tangannya

6. Amanah

7. Merdeka, sebab seorang budak kekuasaannya kurang lebih terhadap anak dan
kepentingan terhadap anak lebih tercurahkan kepada tuannya[14]

Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah :

1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam
mengurus hidupnya sendiri.
2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat
berbuat sendiri, meskipun telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh
berada di bawah pengasuhnya siapapun.

Bila kedua orangtua si anak masih lengkap dan memenuhi syarat maka yang paling
berhak melakukan hadhanah atas anak adalah ibu. Alasannya adalah ibu lebih
memiliki kasih sayang dibandingkan ayah, sedangkan dalam usia yang sangat muda itu
lebih dibutuhkan kasih sayang. Bila anak berada dalam asuhan seorang ibu, maka
segala biaya yang diperlukan untuk itu tetap berada di bawah tanggung jawab si ayah.
Hal ini sudah merupakan pendapat yamg disepakati oleh ulama.

Bila anak laki-laki telah melewati masa kanak-kanak yaitu mencapai usia tujuh tahun,
yang dalam fiqh dinyatakan sebagai mumayyiz, dan dia tidak idiot, antara ayah dan
ibu berselisih dalam memperebutkan hak hadhanah, maka si anak diberi hak piih
antara tinggal bersama ayah atau ibunya untuk pengasuhan selanjutnya. Inilah
pendapat sebagian ulama di antaranya IMAM Ahmad dan Syafi’iy.

Hak pilih diberikan kepada anak apabila terpenuhi dua syarat, yaitu :

Pertama : kedua orang tua telah memenuhi syarat untuk mengasuh sebagaimana
disebutkan di atas. Bila salah satu memenuhi syarat dan yang satu lagi tidak, maka si
anak diserahkan kepada yang memenuhi syarat, baik ayah atau ibu.

Kedua: si anak tidak dalam keadaan idiot. Bila si anak dalam keadaan idiot, meskipun
telah melewati masa kanak-kanak, maka ibu berhak mengasuh; dan tidak ada hak pilih
untuk si anak.

Bila yang telah mencapai masa tamyiz itu adalah anak perempuan, ulama beda
pendapat dalam menetapkan yang berhak melakukan hadhanah. Menurut pendapat
Imam Ahmad yang diikuti oleh pengikut dan ulama lainnya, anak perempuan itu
diberikan kepada ayah, karena dia yang berhak melakukan hadhanah. Alasan yang
dikemukakan ulama ini adalah, baha yang menjadi tujuan dari hadhanah itu di
samping pemeliharaan adalah rasa diri. Anak perempuan yang telah mencapai tujuh
tahun mendapatkan rasa dirinya bila dia berada dibawah ayahnya. Dia memerlukan
pemeliharaan dan ayah lebih baik dalam hal ini dibandingkan dengan ibu.
Imam al-syafi’iy berpendapat bahwa anak perempuan itu diberi pilihan untuk hidup
bersama ayahnya atau ibunya, sebagai mana yang berlaku pada anak laki-laki. Abu
hanifah berpendapat bahwa ibu lebih berhak untuk melaksanakan hadhanah sampai
dia kawin/haid. Menurut imam malik ibu berhak sampai dia kawin/bergaul dengan
bergaul dengan suaminya, karena anak dalam usia tersebut tidak mampu untuk
memilih

Bila salah seorang ibu dan ayah itu ingin melakukan perjalanan yang akan kembali
pada waktunya sedangkan yang satu lagi menetap ditempat, maka yang menetap di
tempat lebih berhak menjalankan hadhanah. Alasannya ialah, bahwa perjalanan itu
mengandung resiko dan kesulitan bagi si anak, oleh karena itu menetap lebih baik
karena tidak ada resiko bagi si anak.

Dalam hal pindah tempat juga ulama beda pendapat. Menurut ulama ahlu ra’yi
(hanafiyah) bila yang melakukan pindah tempat adalah ayah maka ibu lebih berhak
atas hadhanah. Bila ibu yang pindah ketempat dilaksanakan perkawinan, ibu yang
berhak tapi bila pindah ke tempat lain, ayah lah yang berhak. Ulama lainnya termasuk
imam malik dan al-syafi’iy yang berhak atas hadhanah dalam keadaan pindah tempat
adalah ayah.

Bila bertemu kerabat dari pihak ibu dan dari pihak ayah dan mereka semuanya
memenuhi syarat yg ditentukan untuk melaksanakan hadhanah maka urutan yang
berhak menurut yang dianut oleh kebanyakan ulama adalah :

1. Ibu, ibunya ibu dan seterusnya keatas, karena mereka menduduki kedudukan ibu,
kemudian.

2. Ayah, ibunya ayah dan seterusnya keatas, karena mereka menduduki tempat
ayah.

3. Ibunya kakek melalui ibu, kemudian ibunya dan seterusnya keatas.

4. Ibunya kakek melalui ayah, dan seterusnya keatas.

5. Saudara-saudara perempuan ibu.

6. Saudara-saudara perempuan dari ayah.

Lain dari urutan yang disebutkan diatas ulama tidak sepakat dalam keutamaan
haknya. bila ibu yang berhak dan memenuhi syarat melepaskan haknya, kepada siapa
hak hadhanah itu beralih, menjadi pembicaraan dikalangan ulama. Sebagian ulama
berpendapat hak hadhanah pindah kepada ayah, karena ibu ibunya merupakan
cabang, sedangkan ayah bukan merupakan cabang daripada haknya. Perndapat kedua
yang dianggap lebih kuat mengatakan bahwa bila ibu melepaskan haknya, maka hak
tersebut pindah kepada ibu ibunya, karena kedudukan ayah dalam hal ini lebih jauh
urutannya.

Bila ibu yang melaksanakan hadhanah itu kawin, suaminya berhak melarangnya untuk
menyusukan anaknya itu. Kecuali dalam keadaan terpaksa seperti tidak ditemukan
perempuan lain yang dapat diterima oleh si anak. [15]

Macam- Macam Hadhanah

Hadhanah merupakan kebutuhan atau keharusan demi kemaslahatan anak itu sendiri,
sehingga meskipun kedua orang tua mereka memiliki ikatan atau sudah bercerai anak
tetap berhak mendapatkan perhatian dari kedua anakanya.

a) Hadhanah Pada Masa Perkawinan.

UUP No. 1 tahun 1974 pasal 45, 465, 47 sebagai berikut:

Pasal 45:

1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka sebaik-baiknya.

2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini berlaku sampai anak
itu kawin atau berdiri sendiri berlaku terus meski perkawinan antara orang tua putus.

Pasal 46:

1. Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka dengan baik.

2. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua
dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka memerlukan batuannya.

Pasal 47:

1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya, selama mereka tidak dicabut dari
kekuasaanya.

2. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di
luar pengadilan.

Dalam hal ayat 1 Pasal 47, 49 menyebutkan bahwa kekuasaan salah satu atau kedua
orang tuanya dicabut dari anaknya atas permintaan orang tua lain, keluarga anak
dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang
berwenang dengan keputusan pengadilan meskipun dicabut mereka tetap
berkewajiban.[16]
Namun demikian orang tua masih memiliki kewajiban atas biaya pemeliharaan anak
tersebut (ayat 2) berkaitan dengan pemeliharaan anak juga, orang tua pun mempunyai
tanggung jawab yang berkaitan dengan kebendaan. Dalam pasal 106 KHI disebutkan
bahwa orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang
belum dewasa atau di bawah pengampuan. Dan orang tua bertanggung jawab atas
kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban.[17.

Ditambah dengan KHI pasal 98 dan 99 tentang pemeliharaan anak

Pasal 98 :

1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa 21, sepanjang tidak
cacat fisik atau mental.

2. Orang tuanya mewakili anaknya tersebut mengenai segala perbuatan.

3. PA (Pengadilan Agama) dapat menunjuk kerabat terdekat yang mampu bila


orangtuanya tidak mampu.

Pasal 99 :

Anak yang sah adalah :

1. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;

2. Hasil dari perbuatan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri
tersebut;

b) Hadhanah Pada Masa Perceraian

Perceraian bukanlah halangan bagi anak untuk memperoleh hak pengasuhan atas
dirinya dan kedua orang tuanya, sebagaimana yang telah diatur pada UUP NO.1 thn
1974 Pasal 41 tentang akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara, mendidik anak-anaknya,


semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilaman ada perselisihan mengenai
pengasuhan anak bilamana ada perselisihan mengenai pengasuhan anak-anak,
pengadilan memberi keputusan;

2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pendidikan dan pemeliharaan,
bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapt memenuhi kewajiban tersebut,
pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya


penghidupan dan menentukan suatau kewajiban bagi bekas istri.[18]

Dan diatur juga dalam KHI pada pasal 105 dalam permasalahan perceraian, yang
mana anak pada saat itu belum mumayyiz yaitu:

1. Belum berumur 12 tahun masih haknya seorang ibu.


2. Ketika sudah mumayyiz disrahkan kepada anaknya untuk memilih diantara
kedua orang tuanya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.

3. Biaya pemeliharaan di tanggung oleh ayah.[19]

Sedangkan menurut fikih 5 mazhab :

1. Hanafi: 7 tahun untuk laki- laki dan 9 tahun untuk perempuan.

2. Syafi’I: Tidak ada batasan tetap tinggal bersama ibunya sampai ia bias
menentukan atau berfikir hal yang terbaik baginya. Namun bila ingin bersama ayah
dan ibunya, maka dilakukan undian, bila si anak diam berarti memilih ibunya.

3. maliki: Anak laki- laki hingga baligh dan perempuan hingga manikah.

4. Hambali: Masa anak laki- laki dan perempuan dan sesudah itu disuruh memilih
ayah atau ibunya.

5. Imamiyyah: Masa asuh anak untuk laki- laki 2 tahun, sedangkan anak perempuan
7 tahun. Sesudah itu haknya ayah, hingga mencapai 9 tahun bila dia perempuan dan 15
tahun bila dia laki- laki, untuk kemudian disuruh memilih dia siapa yang ia pilih.[20]

6. Sedangkan dalam KHI pada pasal 156 juga mengatur tentang hadhanah pada
perceraian:

A) Anak yang belum mumayyiz dipelihara oleh ibunya kecuali telah meninggal
dunia, maka kedudukannya diganti oleh;

1. Wanita- wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu,

2. Ayah,

3. Wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah,

4. Saudara- saudara perempuan dari anak yang bersangkutan,

5. Wanita- wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu,

6. Wanita- wanita sedarah menurut garis samping ayah.

B) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari
ayahnya atau ibunya.

C) Apabila pemegang hadhanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan


rohani anak

meskipun tercukupi biayanya, maka atas permintaan kerabat yang juga mempunyai
hak yang dapat menuntut ke pengadilan untuk memindahkan hak hadhanah.
D) Biaya hadhanah tangung jawab ayah sekurang- kurangnya sampai dewasa dan
dapat mengurus

sendiri (21 tahun).

E) Apabila ada perselisihan PA dapat memutuskan berdasarkan a, b, c dan d.

F) Pengadilan dapat pula mengingat kemampuan ayahnya pada penetapan jumlah


biaya untuk

memelihara dan pendidikan anak.

Hadhânah Dan Syaratnya Dalam Islam HADHANAH DAN SYARATNYA DALAM


ISLAM Oleh Ustadz Khalid Syamhudi Lc Angka perceraian di Indonesia cukup tinggi.
Sebuah fenomena yang berdampak tidak hanya pada suami istri tersebut saja, tapi juga
berdampak pada anak-anaknya. Akibat dari bubarnya perkawinan tersebut, tidak
sedikit pula anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menanggung derita yang
seharusnya tidak ia tanggung . Padahal anak adalah amanah sekaligus karunia Allâh
Subhanahu wa Ta’ala yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat
harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.
Penjelasan tentang hak anak sebagai manusia ini bisa jadi tidak bisa dipenuhi karena
perceraian orang tuanya. Ditinjau dari sisi hak anak yang masih kecil dan belum
mandiri, pengasuhan (hadhânah) adalah suatu perbuatan yang wajib dilaksanakan
oleh orang tuanya, karena tanpa hadhânah anak akan menjadi terlantar yang berarti
kehilangan hak-haknya. Pengasuhan anak atau hadhânah dalam perspektif Islam
menempati satu dari beberapa konsep perwalian yang pengaturannya sangat jelas.
Sejak anak masih dalam rahim ibunya, ia sudah mempunyai hak-hak sebagai seorang
manusia sempurna seperti hak waris, hak wakaf dan yang paling asasi adalah hak
nasab dari orang tuanya. Semua hak-hak tersebut akan berlaku efektif apabila ia telah
lahir. Pengasuhan anak setelah terjadi perceraian bisa menjadi konflik antara orang
tua. Bagaimana sebetulnya Islam menjelaskan pengasuhan anak setelah perceraian?
Siapa saja pihak yang berhak memiliki hak pengasuhan dan apa saja syarat-syaratnya?
PENGERTIAN HADHANAH Kata hadhânah adalah bentuk mashdar dari kata
hadhnu ash-shabiy, yang bermakna mengasuh atau memelihara anak. Secara
terminologis, hadhânah adalah menjaga anak yang belum bisa mengatur dan merawat
dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga dirinya dari hal-hal yang dapat
membahayakan dirinya. Hukum hadhânah ini hanya dilaksanakan ketika pasangan
suami istri bercerai dan memiliki anak yang belum cukup umur untuk berpisah dari
ibunya. Hal ini disebabkan karena si anak masih perlu penjagaan, pengasuhan,
pendidikan, perawatan dan melakukan berbagai hal demi kemaslahatannya.Inilah
yang dimaksu dengan perwalian (wilâyah). HUKUM HADHANAH Hadhânah
(pengasuhan anak) hukumnya wajib, karena anak akan hancur dengan sebab
ditelantarkan. Oleh karena itu, wajib menjaga anak tersebut dari kehancuran
sebagaimana diwajibkan menafkahinya dan menyelamatkannya dari kebinasaan.[1]
Anak-anak kecil yang masih memerlukan pengasuhan ini akan mendapatkan bahaya
jika tidak mendapatkan pengasuhan dan perawatan. Selain itu ia juga harus tetap
diberi nafkah dan diselamatkan dari segala hal yang dapat merusaknya. Sebagian
Ulama fikih menukilkan Ijma’ tentang kewajiban mengasuh anak kecil hingga mempu
mandiri.[2] Hukum wajib di sini maksudnya yaitu wajib kifâyah. Hadhânah sangat
terkait dengan tiga hak: Hak wanita yang mengasuh Hak anak yang diasuh Hak ayah
atau orang yang menempati posisinya Jika masing-masing hak ini dapat disatukan,
maka itulah jalan yang terbaik dan harus ditempuh. Jika masing-masing hak saling
bertentangan, maka hak anak harus didahulukan daripada hak yang lainnya.
Hadhânah (kepengasuhan) ini menjadi hak bagi sang anak (al-mahdhûn) juga orang
yang mengasuh (al-hâdin). Dia menjadi hak anak (al-mahdhûn) ditinjau dari hak
penjagaan yang harus didapatkan si anak yang jika ditelantarkan akan menyebabkan
si anak sengsara. Hadhânah (kepengasuhan) juga merupakan hak pengasuh (al-
hâdhin). Ini jika ditinjau dari kebebasan yang dimilikinya untuk menuntut atau
menggugurkan hak tersebut selama sang anak bisa diasuh oleh selainnya. Orang yang
berhak menuntut hak kepengasuhan ini adalah semua lelaki yang menjadi ashabah
(semua lelaki yang menjadi ahli waris dari garis keturunan laki-laki selain suami-red)
seperti bapak, kakek, saudara sekandung dan saudara sebapak dan paman. Juga
semua wanita yang menjadi ahli warisnya seperti ibu, nenek, saudari atau orang yang
punya pertalian darah dengan ahli waris seperti bibi, keponakan (anaknya bibi) atau
sepupu dan yang lainnya. Jika semua yang di atas tidak ada lagi, maka pemerintah
yang mengurusnya.[3] Terkait dengan hal ini ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan. Pihak ibu terpaksa harus mengasuh anak jika kondisinya memang
memaksa demikian karena tidak ada orang lain selain dirinya yang dipandang pantas
untuk mengasuh anak. Si ibu tidak boleh dipaksa mengasuh anak jika kondisinya
memang tidak mengharuskan demikian. Karena mengasuh anak itu hanya hak (bukan
kewajiban) serta tidak ada mudharat yang dikhawatirkan akan menimpa sang anak
hanya karena keberadaan mahram lain selain ibunya. Seorang ayah tidak berhak
merampas anak dari orang yang lebih berhak mengasuhnya (baca: ibu) lalu
memberikannya kepada wanita lain kecuali ada alasan syar’i yang
memperbolehkannya. Jika ada wanita yang bersedia menyusui selain ibu si anak, maka
ia harus menyusui bersama (tinggal serumah) dengan si ibu hingga tidak kehilangan
haknya mengasuh anak.

HIKMAH PENSYARIATANNYA Anak-anak kecil dan yang semisalnya seperti orang gila
atau lumpuh dan sejenisnya tidak mampu memelihara dirinya sendiri dan tidak mampu juga
membinanya. Kondisi ini menuntut disyariatkannya kepengasuhan untuk menjaga orang-
orang yang membutuhkannya dan memelihara urusan dan pembinaan mereka, apalagi saat
terjadi perpisahan pasangan suami istri. Itu merupakan sebentuk rahmat bagi mereka
sehingga mereka tidak rusak atau terlantar sehingga menjadi bencana bagi masyarakat.[4]
SYARAT MENDAPATKAN HAK ASUH (HADHANAH).[5] Kalangan ahli fiqih
menyebutkan sejumlah syarat untuk mendapatkan hak asuh anak yang harus dipenuhi demi
menjaga dan memelihara kemaslahatan sang anak. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka hak
asuh anak hilang. Syarat-syarat tersebut ada yang disepakati dan ada yang masih
diperselisihkan para Ulama. Diantara syarat-syarat yang disepakati adalah: Berakal sehat.
Hak pengasuhan tidak boleh diberikan kepada orang yang tidak berakal sehat. Amanah dalam
agamanya. Maksudnya dia memiliki keshalihan dan tidak fasiq. Sebab orang fasiq seperti
pemabuk, dikenal sebagai pezina tidak dapat dipercaya dalam menunaikan kewajiban
kepengasuhan ini. Memiliki kemampuan dalam mengurus urusan dan mendidik anak yang
diasuh. Dalam hal ini, untuk kaum lelaki disyaratkan harus memiliki orang yang mampu
mengurusi anak tersebut, seperti istri, budak, atau wanita yang dibayar untuk mengasuhnya.
Hal ini disebabkan lelaki tidak memiliki kesabaran menghadapi keadaan anak-anak seperti
kaum wanita, sehingga bila tidak ada orang yang mampu mengurusnya maka haknya
berpindah kepada selainya. Demikian juga adat kebiasaan yang ada lelaki tidak langsung
mengurusi anak-anak tapi megurusinya melalui istri-istri mereka. Pengasuh tidak memiliki
penyakit yang dapat memudharatkan sang anak yang diasuh. Tinggal menetap di daerah anak
yang diasuh. Wanita yang akan mengasuh disyaratkan tidak memiliki suami yang bukan
kerabat dari sang anak. Apabila sang wanita pengasuh tersebut baik ibu atau yang lainnya
menikah dengan kerabat sang anak maka tidak hak hadhânah (kepengasuhan)nya tidak gugur.
Seorang ibu akan gugur hak kepengasuhannya terhadap anaknya apabila dia dinikahi lelaki
lainnya. Ibnul Mundzir berkata, “Para Ulama berijma bahwa pasangan suami istri apabila
berpisah dan memiliki anak bayi, maka ibunya yang paling berhak mengasuhnya, selama
sang ibu belum menikah lagi. Mereka juga berijma’ (sepakat) bahwa tidak ada hak bagi ibu
pada anaknya bila telah menikah lagi.[6]Hal ini juga ditegaskan oleh sabda Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dengan menukil dari
ayahnya, dari kakeknya bahwa ada seorang wanita yang mengadu kepada Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam

ِ ‫ َأ ْن‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬


‫ت‬ َ ِ ‫ فَقَا َل لَهَا َرسُو ُل هَّللا‬،‫ َوَأ َرا َد َأ ْن يَ ْنت َِز َعهُ ِمنِّي‬،‫ َوِإ َّن َأبَاهُ طَلَّقَنِي‬،‫ َو ِحجْ ِري لَهُ ِح َوا ًء‬،‫َوثَ ْديِي لَهُ ِسقَا ًء‬
‫ق بِ ِه َما لَ ْم تَ ْن ِك ِحي‬ ُّ ‫“ َأ َح‬Wahai Rasûlullâh! Anak ini dulu pernah menjadikan perutku sebagai
wadahnya, payudaraku sebagai sumber minumnya dan kamarku sebagai rumahnya. Kini
ayahnya telah menceraikanku dan ingin merampasnya dariku.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda kepada wanita ini, “Kamu lebih berhak terhadapnya selama kamu belum
menikah lagi“.[HR Abu Daud no. 2276, Ahmad (2/182 dan al-Hâkim dalam al-Mustadrak
2/225 dan dihasankan al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Dawud

DAFTAR PUSTAKA

[1] DR. Abdul Karim Zaidan Al-Mufassol fi Ahkam al-Mar’ah (Beirut, Muassasah ar-
Risalah tahun 1993) hlm. 321

[2] Aminuddin,Slalmat Abidin.(Fiqih Munakahat II Bandung.cv Pustaka Setia).hlm 171


[3]AL Abdulan Majid Mahmud Muthlub Wazif Fi Ahkam Al Usroh Al Islamiyah, Panduan
Hukum Keluarga Sakinah, Alih Bahasa : Harits Fadly dan Ahmad Khotib, Era media. Cet
1( Solo 2005,) hal: 520.

[4] Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah Jilid 3 Tahkik dan takhrij : Muhammad Nasiruddin Al-Albani
(Cakrawala Publishing,Jakarta 2011) hlm. 398

[5] Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, ( Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 195

[6] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung : Citra Aditya
Bakti,1993), h. 95

Anda mungkin juga menyukai