Anda di halaman 1dari 18

ANAK ZINA DAN ANAK HASIL INSEMINASI

Makalah ini diajukan untuk memenuhi Tugas pada Mata Kuliah Fiqih
Dosen Ust.Aziz

Di Susun Oleh :
Cucu Sulastri

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)


PERSATUAN ISLAM GARUT
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah ini sebatas pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki.
Dan juga kami berterima kasih pada Ust. Aziz selaku Dosen mata kuliah Fiqih
yang telah memberikan tugas ini kepada penulis.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita. Penulis juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang
penulis harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa sarana yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan penulis memohon
kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Pameungpeuk, Juli 2013

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan Makalah
BAB II PEMBAHASAN
A. Anak Zina
1. Nasab anak zina
2. Anak Zina dan Warisan
B. Anak Hasil Inseminasi
1. Pengertian Inseminasi
2. Hukum Inseminasi Buatan
3. Benar-Salahkah Inseminasi Buatan
a. Segi Agama
b. Segi Sosial
c. Segi Hukum
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak zina adalah anak yang yang lahir dari hubungan zina, yaitu
hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan diluar akad
nikahyang sah. Ajaran syariat Islam mengajarkan kita untuk tidak boleh
berputus asa dan menganjurkan untuk senantiasa berikhtiar (usaha) dalam
menggapai karunia Allah SWT. Demikian halnya di ntara pancamaslahat
yang diayomi oleh maqashid asy-syari’ah (tujuan filosofis syariah Islam)
adalah hifdz an-nasl (memelihara fungsi dan kesucian reproduksi) bagi
kelangsungan dan kesinambungan generasi umat manusia. Allah telah
menjanjikan setiap kesulitan ada solusi (QS.Al-Insyirah:5-6) termasuk
kesulitan reproduksi manusia dengan adanya kemajuan teknologi kedokteran
dan ilmu biologi modern yang Allah karuniakan kepada umat manusia agar
mereka bersyukur dengan menggunakannya sesuai kaedah ajaran-Nya.
Inseminasi buatan merupakan hasil terapan sains modern yang pada
prinsipnya bersifat netral sebagai bentuk kemajuan ilmu kedokteran dan
biologi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Anak Zina?
2. Apa yang menyebabkan timbulnya Inseminasi?

C. Tujuan Penulisan Makalah


1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Anak Zina
2. Untuk mengetahui apa yang menyebabkan timbulnya Inseminasi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Anak Zina
Tidak dapat dipungkiri lagi musibah perzinaan sudah mulai merebak di
negara ini. Kata ‘zina’ mulai disamarkan dengan istilah yang samar dan agak
menarik, WIL (Wanita Idaman Lain), PIL (Pria Idaman Lain), PSK (Penjaja
Seks Komersial), Gadis Pendamping dan yang sejenisnya yang mengesankan
permasalahan ini mulai dianggap ringan oleh sebagian kaum muslimin di
negeri ini.
Ditambah lagi dengan ditinggalkannya syariat islam secara umum dan
khususnya hukuman bagi para pezina. Sehingga hal-hal ini mendukung
tersebarnya penyakit ini dilingkungan kaum muslimin. Padahal semaraknya
perzinaan membuahkan banyak permasalahan. Tidak hanya pada kedua
pelakunya namun juga pada buah hasil perbuatan tersebut. Gelaran anak zina
sudah cukup membuat sedih anak tersebut, apalagi kemudian muncul masalah
lainnya, seperti nasab, warisan, perwalian dan masalah-masalah sosial lainnya
yang tidak mungkin lepas darinya.
Realita seperti ini tentunya tidak lepas dari sorotan syari’at Islam yang
sempurna dan cocok untuk semua zaman. Tinggal kita melihat kembali
bagaimana fikih Islam memandang status anak zina dalam keluarganya. Hal
ini menjadi lebih penting dan mendesak dengan banyaknya realita status
mereka yang masih banyak dipertanyakan masyarakat. Tentunya ini semua
membutuhkan penjelasan fikih islam walaupun dalam bentuk yang ringkas,
agar masyarakat menyadari implikasi buruk zina dan tidak salah dalam
menyikapi anak-anak yang lahir dari perzinaan.
Hal ini semakin penting untuk diketahui dengan adanya sikap salah
dari sebagian masyarakat dalam menghukumi mereka. Apalagi dengan adanya
sebagian kaum lelaki yang mengingkari janin yang dikandung istrinya atau
anak yang lahir dari istrinya itu adalah hasil hubungan dengannya. Atau juga
sengaja menikahi wanita hamil di luar nikah, kemudian untuk menutupi aib
keluarga dan menasabkan anak tersebut sebagai anaknya.
1. Nasab anak zina
Anak zina pada asalnya dinasabkan kepada ibunya sebagaimana
anak mula’anah dinasabkan kepada ibunya. Sebab keduanya sama-sama
terputus nasabnya dari sisi bapaknya.[1] Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
menyatakan tentang anak zina:
Artinya: “Untuk keluarga ibunya yang masih ada…” [HR. Abu
Dawud, kitab Ath-Thalaq, Bab Fi Iddi’a` Walad Az-Zina no. 2268 dan
dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shohih Sunan Abu Dawud no.
1983]
Juga menasabkan anak dari Mula’anah kepada ibunya,
sebagaimana dijelaskan Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma dalam
penuturannya:
Artinya: “Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengadakan
mula’anah antara seorang dengan istrinya. Lalu lelaki tersebut
mengingkari anaknya tersebut dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
memisahkan keduanya dan menasabkan anak tersebut kepada ibunya.”
[HR. Bukhari, Kitab Ath-Thalaq, Bab Yalhaqu al-Walad Bi al-Mar`ah.[2]
Inilah salah satu konsekuensi mula’anah. Ibnu al-Qayyim ketika
menjelaskan konsekuensi mula’anah menyatakan: “Hukum yang ke enam
adalah terputusnya nasab anak dari sisi sang bapak, karena Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam menetapkan untuk tidak dipanggil anak
tersebut dengan nasab bapak, inilah yang benar dan ia adalah pendapat
mayoritas ulama.” [Zaad al-Ma’ad 5/357]
Syaikh Musthafa Al’Adawi Hafizhahullah menyatakan: “Inilah
pendapat mayoritas ulama bahwa nasab anak tersebut terputus dari sisi
bapaknya karena Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam menetapkan
tidak dinasabkan kepada bapaknya. Inilah pendapat yang benar.” [Jaami’
Ahkaam an-Nisaa` 4/232]
Sedangkan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Rahimahullah menyatakan: “Anak zina diciptakan dari sperma tanpa
pernikahan, sehingga tidak dinasabkan kepada seorangpun baik kepada
lelaki yang menzinahinya atau kepada suami wanita tersebut apabila ia
bersuami, karena ia tidak memiliki bapak yang syar’i.” [Syarhu al-Mumti’,
Tahqiq Kholid al-Musyaiqih, 4/255]

2. Anak Zina dan Warisan


Hukum dalam warisan anak zina dalam semua keadaannya sama
dengan hukum waris anak mula’anah karena terputusnya nasab mereka
dari sang bapak.[3] Masalah waris mewaris bagi anak zina adalah bagian
dari konsekwensi nasabnya.
a. Anak zina dengan lelaki yang menzinahi ibunya.
Hubungan waris mewaris antara anak zina dengan bapaknya ada
dengan adanya sebab pewarisan (Sabaab al-Irts) yaitu Nasab. Ketika
anak zina tidak dinasabkan secara syar’I kepada lelaki tersebut maka
tidak ada waris mewarisi diantara keduannya. Dengan demikian maka
anak zina tersebut tidak mewarisi dari orang tersebut dan kerabatnya
dan juga lelaki tersebut tidak mewarisi harta dari anak zina tersebut.
b. Anak zina dengan ibunya
Sedangkan dengan ibunya maka terjadi saling mewarisi dan
anak zina tersebut sama seperti anak-anak ibunya yang lainnya, karena
ia adalah anaknya sehingga masuk dalam keumuman firman Allah
Ta’ala :
Artinya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki
sama dengan bahagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja,
Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [QS.
An-Nisaa` 4: 11]

B. Anak Hasil Inseminasi


1. Pengertian Inseminasi
Inseminasi merupakan terjemahan dari artificial insemination.
Artificial artinya buatan ataua tiruan, sedangkan insemination berasal dari
kata latin. Inseminatus artinya pemasukan atau penyampaian. artificial
insemination adalah penghamilan atau pembuahan buatan. Dalam kamus
‫تلقيح الصناعى‬, seperti dalam kitab al-fatawa karangan mahmud syaltut.
Jadi, insiminasi adalah penghamilan buatan yang dilakukan
terhadap wanita dengan cara memasukan sperma laki-laki ke dalam rahim
wanita tersebut dengan pertolongan dokter, istilah lain yang semakna
adalah kawin suntik, penghamilan buatan dan permainan buatan (PB).
Yang dimaksud dengan bati taqbung (Test tubebaby) adalah bayi yang di
dapatkan melalui proses pembuahan yang dilakukan di luar rahim
sehingga terjadi embrio dengan bantuan ilmu kedokteran. Dikatakan
sebagai kehamilan, bayi tabung karena benih laki-laki yang disedut dari
zakar laki-laki disimpan dalam suatu tabung.
Untuk menjalani proses pembuahan yang dilakukan di luar rahim,
perlu disediakan ovom (sel telur dan sperma). Jika saat ovulasi (bebasnya
sel telur dari kandung telur) terdapat sel-sel yang masak maka sel telur itu
di hisab dengan sejenis jarum suntik melalui sayatan pada perut, kemudian
di taruh dalam suatu taqbung kimia, lalu di simpan di laboratorium yang di
beri suhu seperti panas badan seorang wanita. Kedua sel kelamin tersebut
bercampur (zygote) dalam tabung sehingga terjadinya fertilasi. Zygote
berkembang menjadi morulla lalu dinidasikan ke dalam rahim seorang
wanita. Akhirnya wanita itu akan hamil. Inseminasi permainan
(pembuahan) buatan telah dilakukan oleh para sahabat nabi terhadap
pohon korma. Bank sperma atau di sebut juga bank ayah mulai tumbuh
pada awal tahun 1970.

2. Hukum Inseminasi Buatan


Inseminasi buatan dilihat dari asal sperma yang dipakai dapat
dibagi dua:
a. Inseminasi buatan dengan sperma sendiri atau AIH (artificial
insemination husband)
b. Inseminasi buatan yang bukan sperma suami atau di sebut donor atau
AID (artificial insemination donor).
Adapun mengenai status anak hasil inseminasi buatan dengan
donor sperma dan/atau ovum menurut hukum Islam adalah tidak sah dan
statusnya sama dengan anak hasil prostitusi atau hubungan perzinaan.
Dan kalau kita bandingkan dengan bunyi pasal 42 UU Perkawinan No. 1
tahun 1974, “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah” maka tampaknya memberi
pengertian bahwa anak hasil inseminasi buatan dengan donor itu dapat
dipandang sebagai anak yang sah. Namun, kalau kita perhatikan pasal dan
ayat lain dalam UU Perkawinan ini, terlihat bagaimana peranan agama
yang cukup dominan dalam pengesahan sesuatu yang berkaitan dengan
perkawinan. [1]
Misalnya pasal 2 ayat 1 (sahnya perkawinan), pasal 8 (f) tentang
larangan perkawinan antara dua orang karena agama melarangnya, dll. lagi
pula negara kita tidak mengizinkan inseminasi buatan dengan donor
sperma dan/atau ovum, karena tidak sesuai dengan konstitusi dan hukum
yang berlaku.
Sedangkan hukum inseminasi buatan pada hewan dan hasilnya
sebagaimana yang sering orang lakukan juga harus didudukkan
masalahnya. Pada umumnya, hewan baik yang hidup di darat, air dan
udara, adalah halal dimakan dan dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk
kesejahteraan hidupnya, kecuali beberapa jenis makanan/hewan yang
dilarang dengan jelas oleh agama.
Adapun tentang inseminasi buatan dengan bukan sperma suami
atau sperma donor para ulama mengharamkannya seperti pendapat Yusuf
Al-Qardlawi yang menyatakan bahwa islam juga mengharamkan
pencakukan sperma (bayi tabung). Apabila pencakukan itu bukan dari
sperma suami.
Mahmud Syaltut mengatakan bahwa penghamilan buatan adalah
pelanggaran yang tercela dan dosa besar, setara dengan zina, karena
memasukan mani’ orang lain ke dalam rahim perempuan tanpa ada
hubungan nikah secara syara’, yang dilindungi hukum syara’.
Pada inseminasi buatan dengan sperma suami sendiri tidak
menimbulkan masalah pada semua aspeknya, sedangkan inseminasi buatan
dengan sperma donor banyak menimbulkan masalah di antaranya masalah
nasab.
Masalah inseminasi buatan ini menurut pandangan Islam termasuk
masalah kontemporer ijtihadiah, karena tidak terdapat hukumnya seara
spesifik di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah bahkan dalam kajian fiqih
klasik sekalipun. Karena itu, kalau masalah ini hendak dikaji menurut
Hukum Islam, maka harus dikaji dengan memakai metode ijtihad yang
lazimnya dipakai oleh para ahli ijtihad (mujtahidin), agar dapat ditemukan
hukumnya yang sesuai dengan prinsip dan jiwa Al-Qur’an dan As-Sunnah
yang merupakan sumber pokok hukum Islam. Namun, kajian masalah
inseminasi buatan ini seyogyanya menggunakan pendekatan multi
disipliner oleh para ulama dan cendikiawan muslim dari berbagai disiplin
ilmu yang relevan, agar dapat diperoleh kesimpulan hukum yang benar-
benar proporsional dan mendasar. Misalnya ahli kedokteran, peternakan,
biologi, hukum, agama dan etika.
Menurut John Naisbitt dalam High Tech - High Touch (1999)
bioetika bermula sebagai bidang spesialisasi pada 1960 –an sebagai
tanggapan atas tantangan yang belum pernah ada, yang diciptakan oleh
kemajuan di bidang teknologi pendukung kehidupan dan teknologi
reproduksi. Inseminasi buatan ialah pembuahan pada hewan atau manusia
tanpa melalui senggama (sexual intercourse). Ada beberapa teknik
inseminasi buatan yang telah dikembangkan dalam dunia kedokteran,
antara lain adalah: Pertama; Fertilazation in Vitro (FIV) dengan cara
mengambil sperma suami dan ovum istri kemudian diproses di vitro
(tabung), dan setelah terjadi pembuahan, lalu ditransfer di rahim istri.
Kedua; Gamet Intra Felopian Tuba (GIFT) dengan cara mengambil sperma
suami dan ovum istri, dan setelah dicampur terjadi pembuahan, maka
segera ditanam di saluran telur (tuba palupi) Teknik kedua ini terlihat lebih
alamiah, sebab sperma hanya bisa membuahi ovum di tuba palupi setelah
terjadi ejakulasi melalui hubungan seksual.
Namun, kajian masalah inseminasi buatan ini seyogyanya
menggunakan pendekatan multi disipliner oleh para ulama dan
cendikiawan muslim dari berbagai disiplin ilmu yang relevan, agar dapat
diperoleh kesimpulan hukum yang benar-benar proporsional dan
mendasar. Misalnya ahli kedokteran, peternakan, biologi, hukum, agama
dan etika. span style=”font-weight:bold;”b. Hukum Inseminasi bayi tabung
menurut Islam/span Masalah inseminasi buatan ini sejak tahun 1980-an
telah banyak dibicarakan di kalangan Islam, baik di tingkat nasional
maupun internasional. Misalnya Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam
Muktamarnya tahun 1980, mengharamkan bayi tabung dengan sperma
donor sebagaimana diangkat oleh Panji Masyarakat edisi nomor 514
tanggal 1 September 1986.
Lembaga Fiqih Islam Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam
sidangnya di Amman tahun 1986 mengharamkan bayi tabung dengan
sperma donor atau ovum, dan membolehkan pembuahan buatan dengan sel
sperma suami dan ovum dari isteri sendiri. Vatikan secara resmi tahun
1987 telah mengecam keras pembuahan buatan, bayi tabung, ibu titipan
dan seleksi jenis kelamin anak, karena dipandang tak bermoral dan
bertentangan dengan harkat manusia. Mantan Ketua IDI, dr. Kartono
Muhammad juga pernah melemparkan masalah inseminasi buatan dan bayi
tabung. Ia menghimbau masyarakat Indonesia dapat memahami dan
menerima bayi tabung dengan syarat sel sperma dan ovumnya berasal dari
suami-isteri sendiri.[2]
Dengan demikian, mengenai hukum inseminasi buatan dan pada
manusia harus diklasifikasikan persoalannya secara jelas, setidaknya
dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Bila dilakukan dengan sperma atau ovum suami isteri sendiri, baik
dengan cara mengambil sperma suami kemudian disuntikkan ke dalam
vagina, tuba palupi atau uterus isteri, maupun dengan cara
pembuahannya di luar rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum)
ditanam di dalam rahim istri; maka hal ini dibolehkan, asal keadaan
suami isteri tersebut benar-benar memerlukan inseminasi buatan untuk
membantu pasangan suami isteri tersebut memperoleh keturunan.
Hal ini sesuai dengan kaidah ‘al hajatu tanzilu manzilah al dharurat’
(hajat atau kebutuhan yang sangat mendesak diperlakukan seperti
keadaan darurat). Hukumnya haram bila sel telur isteri yang telah
ter¬buahi diletakkan dalam rahim perempuan lain yang bukan isteri,
atau apa yang disebut sebagai “ibu pengganti” (surrogate mother).
Begitu pula haram hukumnya bila proses dalam pembuahan buatan
tersebut terjadi antara sel sperma suami dengan sel telur bukan isteri,
meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam
rahim isteri. Demi¬kian pula haram hukumnya bila proses pembuahan
tersebut terjadi antara sel sperma bukan suami dengan sel telur isteri,
meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam
rahim isteri.
b. Sebaliknya, kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan
donor sperma dan ovum, maka diharamkan dan hukumnya sama
dengan zina. Sebagai akibat hukumnya, anak hasil inseminasi itu tidak
sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang
melahirkannya. Diantara dalil-dalil syar’i yang dapat dijadikan
landasan menetapkan hukum haram inseminasi buatan dengan donor
ialah: Pertama; firman Allah SWT dalam surat al-Isra : 70
Artinya: dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam,
Kami angkut mereka di daratan dan di lautan[862], Kami beri mereka
rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan
yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan[862] Maksudnya: Allah memudahkan bagi anak Adam
pengangkutan-pengangkutan di daratan dan di lautan untuk
memperoleh penghidupan.
Ayat di atas menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan
sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan/keistimewaan sehingga
melebihi makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Dan Tuhan sendiri
berkenan memuliakan manusia, maka sudah seharusnya manusia bisa
menghormati martabatnya sendiri serta menghormati martabat sesama
manusia. Dalam hal ini inseminasi buatan dengan donor itu pada
hakikatnya dapat merendahkan harkat manusia sejajar dengan
tumbuh-tumbuhan dan hewan yang diinseminasi.
Kemudian hadits Nabi Saw yang mengatakan, “tidak halal bagi
seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir menyiramkan
airnya (sperma) pada tanaman orang lain (istri orang lain).” (HR. Abu
Daud, Tirmidzi dan dipandang Shahih oleh Ibnu Hibban).
Berdasarkan hadits tersebut para ulama sepakat mengharamkan
seseorang melakukan hubungan seksual dengan wanita hamil dari istri
orang lain. Tetapi mereka berbeda pendapat apakah sah atau tidak
mengawini wanita hamil.
Menurut Abu Hanifah boleh, asalkan tidak melakukan senggama
sebelum kandungannya lahir. Sedangkan Zufar tidak membolehkan.
Pada saat para imam mazhab masih hidup, masalah inseminasi buatan
belum timbul. Karena itu, kita tidak bisa memperoleh fatwa
hukumnya dari mereka. Hadits ini juga dapat dijadikan dalil untuk
mengharamkan inseminasi buatan pada manusia dengan donor sperma
dan/atau ovum, karena kata maa’ dalam bahasa Arab bisa berarti air
hujan atau air secara umum, seperti dalam Thaha:53. Juga bisa berarti
benda cair atau sperma seperti dalam An-Nur:45 dan Al-Thariq:6.
Ketiga bentuk proses di atas tidak dibenarkan oleh hukum Islam,
sebab akan menimbulkan pencampuradukan dan penghilangan nasab,
yang telah diharamkan oleh ajaran Islam. Oleh karena itu, proses bayi
tabung hendaknya dilakukan dengan memperhatikan nilai moral
Islami dan tetap harus menjunjung tinggi etika dan kaedah-kaedah
syariah.

3. Benar-Salahkah Inseminasi Buatan?


a. Segi Agama
Dalam hukum Islam tidak menerima cara pengobatan ini dan
tidak boleh menerima anak yang dilahirkan sebagai anak yang sah,
apalagi jika anak yang dilakukan perempuan karena nantinya akan
mempersoalkan siapa walinya jika anak tersebut menikah. Bolehkah
“ayah” yaitu suami yang memiliki gangguan reproduksi dapat
diterima sebagai walinya? Selain masalah agama juga muncul soal
hukum dalam pembagian harat. Bolehkah anak yang dilahirkan AID
mewarisi harta “ayah” juga dalam hal lain-lain yang berkaitan dengan
pewarisan. Di negara barat, yang mana inseminasi benih penderma
dilakukan dengan giatnya, mereka atasi masalah Undang-Undang
dengan menjalani proses “adopsi” secara sah. Tetapi kedudukan di
negara Indonesia masih belum jelas.
Alasan lain dari sekelompok agamawan menolak teknologi
reproduksi ini karena mereka meyakini bahwa kegiatan tersebut sama
artinya bertentangan dengan ajaran Tuhan yang merupakan Sang
Pencipta. Allah adalah kreator terbaik. Manusia dapat saja melakukan
campur tangan dalam pekerjaannya termasuk pada awal
perkembangan embrio untuk meningkatkan kesehatan atau untuk
meningkatkan ruang terjadinya kehamilan, namun perlu diingat Allah
adalah Sang pemberi hidup.
b. Segi Sosial
Posisi anak menjadi kurang jelas dalam tatanan masyarakat,
terutama bila sperma yang digunakan berasal dari bank sperma atau
sel sperma yang digunakan berasal dari pendonor, akibatnya status
anak menjadi tidak jelas. Selain itu juga, di kemudian hari mungkin
saja terjadi perkawinan antar keluarga dekat tanpa di sengaja,
misalnya antar anak dengan bapak atau dengan ibu atau bisa saja
antar saudara sehingga besar kemungkinan akan lahir generasi cacat
akibat inbreeding. Lain halnya dengan kasus seorang janda yang
ditinggal mati suaminya, dan dia ingin mempunyai anak dari sperma
beku suaminya. Hal ini dianggap etis karena sperma yang
digunakan berasal dari suaminya sendiri sehingga tidak menimbulkan
masalah sosial, karena status anak yang dilahirkan merupakan anak
kandung sendiri. Kasus lainnya adalah seorang wanita ingin
mempunyai anak dengan inseminasi tetapi tanpa menikah, dengan
alasan ingin mempunyai keturunan dari seseorang yang diidolakannya
seperti artis dan tokoh terkenal. Kasus tersebut akan menimbulkan
sikap tidak etis, karena sperma yang diperoleh sama halnya dari
sperma pendonor, sehingga akan menyebabkan persoalan dalam
masyarakat seperti status anak yang tidak jelas. Selain itu juga akan
ada pandangan negatif kepada wanita itu sendiri dari masyarakat
sekitar, karena telah mempunyai anak tanpa menikah dan belum
bersuami.
c. Segi Hukum
Dilihat dari segi hukum pendonor sperma melanggar hukum.
Contoh kasus pada bulan Juni 2002, pengadilan di Stockholm, Swedia
menjatuhkan hukuman kepada laki-laki yang mengaku sebagai
pendonor sperma kepada pasangan lesbian yang akhirnya bercerai.
Dan diberi sanksi untuk memberi tunjangan terhadap 3 orang anak
hasil inseminasi spermanya, sebesar 2,5 juta perbulan. Dalam kasus
ini akan timbul sikap etis dan tidak etis. Sikap etis timbul dilihat dari
sikap pendonor sperma yang telah memberikan spermanya kepada
pasangan lesbian, karena berusaha untuk membantu pasangan tersebut
untuk mempunyai anak. Sedangkan sikap tidak etis muncul dari
pasangan lesbian yang bercerai, karena telah menuntut
pertanggungjawaban kepada pendonor sperma yang mengaku sebagai
ayahnya untuk memberikan tunjangan hidup bagi ke-3 anak hasil
inseminasi spermanya.
Dengan demikian maka inseminasi buatan harus berlandaskan nilai
etika tertentu, karena bagaimanapun juga perkembangan dalam dunia
bioteknologi tidak lepas dari tanggung jawab manusia sebagai agen moral
dan subjek moral.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagaimana kita ketahui bahwa inseminasi buatan pada manusia
dengan donor sperma dan/atau ovum lebih banyak mendatangkan mudharat
daripada maslahah. Maslahah yang dibawa inseminasi buatan ialah membantu
suami-isteri yang mandul, baik keduanya maupun salah satunya, untuk
mendapatkan keturunan atau yang mengalami gangguan pembuahan normal.
Namun mudharat dan mafsadahnya jauh lebih besar, antara lain berupa:
1. Percampuran nasab, padahal Islam sangat menjada kesucian/kehormatan
kelamin dan kemurnian nasab, karena nasab itu ada kaitannya dengan
kemahraman dan kewarisan.
2. Bertentangan dengan sunnatullah atau hukum alam.
3. Inseminasi pada hakikatnya sama dengan prostitusi, karena terjadi
percampuran sperma pria dengan ovum wanita tanpa perkawinan yang
sah.
4. Kehadiran anak hasil inseminasi bisa menjadi sumber konflik dalam
rumah tanggal.
5. Anak hasil inseminasi lebih banyak unsur negatifnya daripada anak
adopsi.

B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini masih terdapat kekurangan di
dalamnya. Oleh karena itu penulis berharap kritikan dari bapak agar
pembuatan makalah selanjutnya akan menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detilid_online=469
http://www.eramuslim.com/konsultasi/fikih-kontemporer/hukum-bayi-tabung.htm
Shannon, T. A. 1995. Pengantar Bioetika.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Beno, E. 1988. Bioteknologi Dan Bioetika. Kanisius. Jakarta.
Udhiexz | Hukum Islam | Hasil Anak Inseminasi Dan Bayi Tabung.

Anda mungkin juga menyukai