Psikologi abnormal adalah salah satu cabang psikologi yang berupaya untuk memahami
pola perilaku abnormal dan cara menolong orang yang mengalaminya.[1]
Abnormal berarti tidak normal, menyimpang dari suatu standar yang bisa berarti di atas
normal atau di bawah normal.
Ulman (1980) mengusulkan definisi operasional mengenai tingkah laku abnormal sebagai
jenis tingkah laku menyimpang (deviance) yang memerlukan perhatian profesional dari psikiater,
psikolog atau tenaga profesional lain dalam bidang kesehatan jiwa.
Dalam definisi ini secara implisit terungkap bahwa jika seorang individu menunjukkan
tingkah laku yang berbeda, tidak mengikuti aturan yang berlaku, tidak pantas, mengganggu dan tidak
dapat dimengeti dengan kriteria yang biasa, maka tingkah laku tersebut dianggap abnormal.
a. Faktor Biologis
Dalam memahami penyebab perilaku abnormal, para ahli kesehatan mental dengan hati-hati
mengevaluasi apa yang terjadi di tubuh seseorang yang dapat dihubungkan ke warisan genetis atau
gangguan fungsi fisik. Penyebab biologi yang pertama warisan genetis, seorang anak laki-laki atau
perempuan dari orang tua yang menderita depresi secara statistik memiliki kemungkinan mengalami
depresi. Kedua, gangguan fungsi medis misalnya kelenjar tiroid dapat menyebabkan tentang kondisi
mood dan emosi yang beragam. Ketiga, kerusakan otak yang disebabkan oleh trauma kepala
meskipun ringan, dapat mengakibatkan perilaku aneh dan perubahan emosi yang intens. Keempat,
paparan stimulus lingkungan seperti zat beracun atau zat penyebab alergi dapat
menyebabkanseseorang mengalami perubahan emosi dan perilaku yang mengganggu.
b. Faktor Psikologis
Jika faktor biologi dapat memberikan semua jawaban, maka kita menganggap gangguan
mental sebagai penyakit medis. Sesungguhnya, hal ini tidak hanya sekadar itu saja. Gangguan
umumnya muncul sebagai akibat pengalaman hidup yang bermasalah. Gangguan-ganggun itu
meliputi pengalaman traumatis, asosiasi yang dipelajari, persepsi yang terdestorsi, dan cara berpikir
yang salah.
c. Faktor Sosiokultural
Istilah sosiokultural mengacu pada berbagai lingkaran pengaruh sosial pada hidup kita
misalnya teman, rekan kerja, keluarga, dan juga budaya. Abnormalitas dapat pula disebabkan oleh
kejadin-kejdian pada salah satu konteks sosial tersebut. Penyebab sosiokultural misalnya, pertama
gangguan dalam hubungan asmara, hubungan samara yang gagal dapat menimbulkan depresi yang
memungkinkan tindakan bunuh diri. Kedua masalah dalam hubungan yang luas, dibesarkan oleh
orang tua yang sadis dapat pula menyebabkan seseorang membangun pola hubungan yang dicirikan
dengan kontrol dan luka emosional. Ketiga hura-hura politik atau sosial bahkan pada level yang
relatif lokal dapat memunculkan emosi dari kecemasan yang menganggu hingga ketakutan yang tak
tertahankan. keempat diskriminasi terhadap kelompok sosial seseorang terutama kaum minoritas
baik yang menyangkut ras, budaya, orientasi seksual, atau kecacatan.[2]
Coleman (1984) membahas beberapa perspektif penyebab tingkah laku abnormal dengan
membedakan antara penyebab primer, penyebab predisposisi, penyebab yang mencetuskan dan
penyebab yang menguatkan (reinforcing).
a. Penyebab primer adalah kondisi yang harus dipenuhi agar suatu gangguan dapat muncul,
meskipun dalam kenyataan gangguan tersebut tidak atau belum muncul. Contoh dalam bidang
psikologi adalah kecemasan yang terjadi ketika seorang anak masih kecil. Ini merupakan penyebab
primer yang harus ada untuk terjadinya suatu gangguan jiwa atau penyimpangan perilaku, meskipun
perilaku menyimpang itu belum tentu dalam kenyataanya akan benar-benar terjadi.
b. Penyebab predisposisi adalah keadaan sebelum munculnya suatu gangguan yang merintis
kemungkinan terjadinya suatu gangguan di masa yang akan datang. Misalnya sifat tertutup dapat
merupakan predisposisi gangguan perilaku menghindar di kemudian hari.
c. Penyebab yang mencentuskan ialah suatu peristiwa yang sebenarnya tidak begitu parah namun
seolah-olah merupakan sebab timbulnya perilaku abnormal itu, padahal sebenarnya telah ada
predisposisi sebelumnya. Misalnya, seorang yang sejak lama sudah banyak memendam frustasi
(predisposisi), setelah terjadinya suatu peristiwa sepele (peristiwa pencetus) mengalami gangguan
jiwa.
d. Penyebab yang menguatkan (reinforcing) ialah peristiwa yang terjadi pada seseorang yang
memantapkan suatu keadaan atau kecenderungan tertentu, yang telah ada sebelumnya. Misalnya
seorang yang sudah dendam pada sekelompok suku tertentu diberi informasi yang mendukung rasa
dendam itu.
Ada dua faktor penyebab perilaku abnormal menurut islam, yaitu faktor internal dan
eksternal:
a. Faktor internal.
Seseorang yang memiliki keimanan dan ketakwaan yang tinggi, dalam hal ini akan dapat
memperoleh ketenangan dan ketentraman batin dalam hidupnya. Apabila ia menghadapi suatu
problematika hidup, ia menghadapinya dengan sabar dan tidak mudah putus asa karena sebenarnya
dalam diri manusia yang beriman, tidak terjadi putus asa atau yang sifatnya merugikan.
Dengan beriman dan bertakwa, manusia mampu bersikap tenang dan sabar dalam
menghadapi problema hidup dan mampu berfikir secara seimbang serta kondisi kejiwaannya penuh
dengan ketentraman dan kedamaian karena selalu mengingat Allah. Menurut Ustman Najati,
mengingat Allah yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah ingat kepada Allah yang dapat
menimbulkan perasaan tenteram dan tenang. Di dalam jiwanya tidak ada perasaan bersalah. Ini
merupakan terapi bagi kegelisahan yang dirasakan manusia ketika ia merasa lemah dan tidak punya
penyangga serta penolong dalam menghadapi berbagai tekanan dan masalah kehidupan.[3]
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri seseorang, seperti keadaan
ekonomi, kondisi lingkungan, baik lingkungan keluarga, masyarakat, maupun lingkungan pendidikan
dan sebagainya.
a. Psikoterapi
Psikoterapi (psychoterapy) adalah suatu interaksi sistematis antara klien dengan terapis yang
menyertakan prinsip-prinsip psikologis untuk melakukan perubahan pada perilaku, pikiran, dan
perasaan klien, dengan tujuan untuk membantu klien mengatasi perilaku abnormal, memecahkan
masalah dalam kehidupan, atau berkembang sebagai individu.
1) Terapi Psikodinamika.
3) Terapi Humanistik.
Terapi humanistik memfokuskan pada pengalaman subjektif dan kesadaran klien pada saat
ini. Terapi terpusat individu dari Roger membantu orang-orang untuk menigkatkan kesadaran dan
penerimaan terhadap perasaan dari ddalam yang dihukum secara sosial dan tidak diakui. Terapis
terpusat individu yang efektif memiliki kualitas-kualitas penerimaan ositif tanpa syarat, empati,
ketulusan dan kongruen.
4) Terapi Kognitif.
Terapi kognitif berfokus untuk memodifikasi kognisi maladaptif yang dipercaya mendasari
masalah emosional dan perilaku self-defeating. Ada dua pendekatan dari terapi kognitif:
Terapi ini berfokus untuk menyanggah keyakinan irrasional yang menyebabkan distres
emosional dan menggatinya dengan perilaku dan keyakinan yang adaptif.
Terapi ini berfokus untuk membantu klien mengidentifikasi, menantang, dan mengganti
kognisi yang terdistorsi, seperti kecenderungan untuk membesar-besarkan kejadian negatif dan
mengecilkan pencapaian pribadi.
5) Terapi Kognitif-behavioral.
Terapi kognitif-behavioral adalah bentuk yang lebih luas dari terapi perilaku yang
mengitegrasikan teknik-teknik kognitif dan behavioral dalam penanganannya.
6) Terapi Elektrik
a) Elektrik teknik : pendekatan pragmatis yang mengambil teknik-teknik dari aliran tetapi berbeda
tanpa merasa perlu menggunakan posisi teoretis yang diwakili aliran-aliran ini.
7) Terapi Kelompok, Keluarga, dan Perkawinan.
a) Terapi kelompok : terapi yang menggunakan metode sebuah kelompok yang anggotanya terdiri dari
para klien bersama dengan seorang terapis. Terapi ini memberi kesempatan untuk saling
mendukung dan berbagi pengalaman belajar di dalam kelompok untuk membantu individu
mengatasi kesulitan psikologis dan mengembngkan perilaku yang lebih adaptif.
b) Terapi keluarga : terapi dimana keluarga (bukan individu) yang menjadi unit penanganan. Terapi
keluarga memfokuskan pada klarifikasi komunikasi keluarga, mengatasi konflik peran, menghindari
adanya kambing hitam dari anggota keluarga dan membantu anggota keluarga mengembangkan
otonomii yang lebih besar.
c) Terapi pasangan : terapi yang berfokus pada pemecahan konflik pada pasangan yang mengalami
stress.
b. Terapi Biomedis.
Dalam psikiatri Amerika berkembang penekanan terhadap terapi biomedis, khususnya
pada penggunaan (juga disebut obat psikotropika). Terapi biomedis biasanya dilakukan oleh
dokter medis, banyak diantara mereka yang mengikuti pelatihan spesialisasi dalam psikiatri
atau psikofarmakologi.
Terapi biomedis utama adalah terapi obat dan terapi elektrokonvulsif (ECT). Obat-
obatan antikecemasan seperti Valium, dapat mengatasi kecemasan jangka pendek, tetapi tidak
secara langsug membantu orang untuk memecahkan masalah mereka atau mengatasi stress.
Atipsikotik membantu mengontrol simtom psiotik yang menonjol, tetapi penggunaaan obat-
obatan ini diasosiasikan dengan risisko efek samping serius. Antidepresan dapat mengurangi
depresi dan Litium membantu menstabilkan perubahan mood pada orang-orang dengan
gangguan bipolar. ECT sering mengarah pada pembahasan dramatis dari
depresi. Psyhosurgery telah nyaris hilang sebagai bentuk penanganan karena konsekuensinya.
Daftar Pustaka
`
Nevid S Jeffrey, Rathrus A Spencer,Greene Beverly. 2003. Psikologi Abnormal. Jakarta :. Erlangga.
Richard P. Halgin dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Yogyakarta : Salemba Humanika.
http : //Nuruladzkiyah.blogspot.com/ diakses pada tanggal 10 Februari 2017 pukul
10.00 WIB
[1] Jeffrey S. Nevid, Psikologi Abnormal, jilid 1, edisi 5, (Jakarta :. Erlangga,
2003), hal. 4.
[2] Richard P. Halgin dkk, Psikologi Abnormal, jilid 1, edisi 6, (Yogyakarta : Salemba Humanika,
2006), hal.9.
[3] Nuruladzkiyah.blogspot.com diakses pada tanggal 10 Februari 2017 pukul
10.00 WIB