Anda di halaman 1dari 5

Hanna Djumhana bastaman, merangkum pandangan-pandangan tentang kesehatan mental

menjadi empat pola wawasan dengan masing-masing orientasinya sebagai berikut :


1. Pola wawasan yang berorientasi simptomatis
Pola wawasan yang berorientasi simptomis menganggap bahwa hadirnya
gejala (compliants) dan keluhan (compliants)merupakan tanda adanya gangguan atau
penyakit yang diderita seseorang.
Sebaliknya hilang atau berkurangnya gejala dan keluhan itu menunjukkan bebasnya
seseorang dari gangguan atau penyakit tertentu dan dianggap sebagai kondisi sehat. Dengan
demikian kondisi jiwa yang sehat ditandai oleh bebasnya seseorang dari gejala-gejala
gangguan kejiwaan tertentu (psikologis).
A.scott (1965) mengelompokkan terdapat enam macam kriteria untuk menentukan
seseorang mengalami gangguan mental, yaitu sebagai berikut :
1. Orang yang memperoleh pengobatan psikiatris
Orang yang terganggu mentalnya adalah orang yang memperoleh pengobatan
(treatment) psikiatris. Pengertian ini lebih menekankan pada pasien-pasien yang
memperoleh perawatan di rumah sakit. Orang-orang yang tidak mendapatkan
perawatan di rumah sakit tidak dianggap sebagai orang yang mengalami gangguan
mental. Tetapi dalam berbagai studi juga diketahui bahwa penderita gangguan mental
tidak semuanya memperoleh perawatan di rumah sakit. Perawatan di rumah sakit
sangat berhubungan dengan berbagai faktor seperti ekonomi, budaya, kemauan, dan
daya tampung.
2. Hasil diagnosa psikiatris
Dalam suatu studi tentang sakit mental, dilakukan dengan melakukan survei atau
pendataan di masyarakat, yang secara sistematis dilakukan
penyaringan (screening). Studi di masyarakat ini dapat dilakukan secara langsung
atau pendataan tidak langsung dari laporan masyarakat disekitarnya.
3. Ketidak bahagiaan subjektif
Sehat dan sakit dapat diketahui melalui pemahaman atau pengakuan subjektif. Dalam
hal ini sakit mental itu sebagai suatu pengalaman subjektif bagi seseorang. Jika
seseorang merasa mengalami gangguan, maka dia sebenarnya tidak sehat mentalnya,
tetapi jika tidak merasa mengalami gangguan maka sehatlah dia. Dalam masyarakat
banyak sekali orang yang mengalami gangguan mental yang merasa tidak mengalami
gangguan.
4. Adanya simptom-simptom psikologis secara objektif
Pada setiap gangguan mental terdapat simptom-simptom atau gejala psikologis
tertentu. Gejala-gejala itu berdasarkan kriteria yang ditetapkan jika terdapat pada
seseorang maka dijadikan sebagai indikasi adanya gangguan mental padanya.
Misalnya, gangguan kepribadian antisosial ditandai oleh gejala-gejala pelanggaran
kepada peraturan dan norma sosial.
5. Kegagalan adaptasi secara positif
Seseorang yang gagal dalam adaptasi secara positif dikatakan mengalami gangguan
mental. Adaptif ini berbeda dengan penyesuaian sosial, karena adaftif lebih aktif dan
didasarkan atas kemampuan pribadi sekaligus melihat konteks sosialnya. Atas dasar
pengertian yang terakhir ini, tentu tidak mudah untuk menentukan alat ukur yang
dapat digunakan untuk mengukur ada tidaknya gangguan mental pada seseorang
karena selain harus mengetahui potensi individunya juga mengetahui konteks
sosialnya.

2. Pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri


Pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri mengganggap bahwa kemampuan
seseorang untuk menyesuaikan diri merupakan unsur utama dari kondisi jiwa yang sehat.
Dalam hal ini penyesuaian diri diartikan secara luas, yakni secara aktif berupaya memenuhi
tuntutan lingkungan tanpa kehilangan harga diri, atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan
pribadi tanpa melanggar hak-hak orang lain. Penyesuaian diri yang pasif dalam bentuk serba
menarik diri atau serba menuruti tuntutan lingkungan adalah penyesuaian diri yang tidak
sehat, karena biasanya akan berakhir dengan isolasi diri atau menjadi mudah berombang-
ambing situasi.

3. Pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi


Bertolak pandangan bahwa manusia adalah makhluk bermartabat yang memiliki berbagai
potensi dan kualitas yang khas insani (human qualities), seperti kreatifitas, rasa humor, rasa
tanggung jawab, kecerdasan dan sebagainya.
Menurut pandangan ini sehat mental terjadi bila potensi-potensi tersebut dikembangkan
secara optimal sehingga mendatangkan manfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya. Dalam
mengembangkan kualitas-kualitas insani ini perlu diperhitungkan norma-norma yang berlaku
dan nilai-nilai etis yang dianut, karena potensi dan kualitas-kualitas insani ada yang baik dan
ada yang buruk.
4. Pola wawasan yang berorientasi religius/agama
Pola wawasan yang berorientasi religius/agama berpandangan bahwa agama memiliki daya
yang dapat menunjang kesehatan jiwa. Kesehatan jiwa diperoleh sebagai akibat dari
keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan, serta menerapkan tuntunan-tuntunan keagamaan
dalam hidup.
Atas dasar pandangan-pandangan tersebut dapat diajukan secara operasional tolak ukur
kesehatan jiwa atau kondisi jiwa yang sehat, yaitu :
 Bebas dari gangguan dan penyakit-penyakit kejiwaan;
 Mampu secara luwes menyesuaikan diri dan menciptakan hubungan antar pribadi
yang bermanfaat dan menyenangkan;
 Mengembangkan potensi-potensi pribadi (bakat, kemampuan, sikap, sifat, dan
sebagainya) yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya;
 Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan dan berupaya menerapkan tuntunan agama
dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan tolak ukur di atas dapat digambarkan bahwa orang yang benar-benar sehat
mentalnya adalah orang yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
berusaha secara sadar merealisasikan nilai-nilai agama, sehingga kehidupannya itu
dijalaninya sesuai dengan tuntunan agamanya. Ia pun merasa sadar berupaya untuk
mengembangkan berbagai potensi dirinya, seperti bakat, kemampuan, sifat dan kualitas-
kualitas pribadi lainnya yang positif. Sejalan dengan itu ia pun berupaya untuk menghambat
dan mengurangi kualitas-kualitas negatif dirinya, karena sadar bahwa hal itu dapat menjadi
sumber berbagai gangguan (penyakit) jiwa.
Psikologi zikir tidak asing lagi bagi orang muslim karena teknik berzikir berguna untuk
manusia dalam mengahadapi masalah perilaku atau psikologis, dan umumnya untuk
menambah fungsi psikologis itu sendiri dari seseorang. Dengan kata lain, teknik meditasi bisa
diterapkan untuk pengobatan dan perlindungan penyakit. Teknik meditasi sama seperti
aktivitas zikir setelah melakukan shalat. Dalam berzikir dengan sikap duduk diam dan
membaca puji-pujian kepada Allah dapat mempengaruhi aspek fisik dan mental, dan
terciptanya ketenangan jiwa yang akan membantu keseimbangan antara rohani dan jasmani
pada diri kita. Dalam ajaran Tarekat, dalam melakukan zikir, dilakukan dengan banyak
teknik. Salah satunya adalah berzikir sambil mengatur napas secara halus dan perlahan dan
ada pula yang menggunakan teknik penahan nafas sambil berzikir di dalam hati.
Muhamad Mahmud sebagai ahli yang memberikan gambaran dengan jelas pendapatnya
tentang kesehatan mental. Menurutnya setidaknya terdapat sembilan macam tanda-tanda
kesehatan mental yaitu:
1. Kemapanan (as-sakinah), ketenangan (Al-Thumaninah), dan Rileks (Ar-rahah).
Kondisi mental yang tenang dan tentram dapat digambarkan dalam tiga bentuk, pertama;
adanya kemampuan individu dalam menghadapi perubahan dan persoalan zamannya,
kedua; kemampuan individu dalam bersabar menghadapi persoalan-persoalan hidup
yang berat seperti ketakutan dan kemiskinan, dan ketiga; kemampuan individu untuk
optimis dan menganggap baik dalam menempuh kehidupan, sebab setiap ada kesulitan
pasti akan datang kemudahan.
2. Memadai (Al-Kifayah) dalam beraktivitas. Seseorang yang mengenal potensi,
keterampilan dan kedudukan secara baik maka ia dapat bekerja dengan baik pula, dan
hal itu adalah merupakan bagian dari kesehatan mentalnya.
3. Menerima keberadaan dirinya dan keberadaan orang lain. Orang yang sehat mentalnya
adalah orang yang menerima keadaan sendiri, baik dengan kondisi fisik, kedudukan,
potensi, maupun kemampuannya, karena keadaan itu merupakan anugrah dari Allah
SWT untuk menguji kualitas manusia, baik anugrah yang bersifat Fitri maupun anugrah
yang diusahakan keberadaannya. Dan tandanya adalah adanya kesediaan diri untuk
menerima segala kelebihan dan kekurangan orang lain, sehingga ia mampu bergaul dan
menyesuaikan diri dengan orang lain seperti mencintai saudaranya sebagaimana ia
mencintai diri sendiri.
4. Adanya kemampuan untuk memelihara atau menjaga diri. Artinya, kesehatan mental
seseorang ditandai dengan kemampuan untuk memilah-milah dan mempertimbangkan
perbuatan yang akan dilakukannya. Jika perbuatan itu semata-mata untuk kepuasan
seksual, maka jiwa harus dapat menahan diri, namun jika untuk kepentingan ibadah atau
takwa kepada Allah SWT maka harus dilakukan sebaik mungkin.
5. Kemampuan untuk memikul tanggung jawab, baik tanggung jawab keluarga, sosial,
maupun agama. Tanggung jawab menunjukan kematangan diri seseorang, sekaligus
sebagai tanda-tanda kesehatan mentalnya.
6. Memiliki kemampuan untuk berkorban dan menembus kesalahan yang diperbuat.
Berkorban berarti kepedulian untuk kepentingan bersama dengan cara memberikan
sebagian kekayaan atau kemampuannya. Sedang menebus kesalahan artinya kesadaran
diri sendiri akan kesalahan yang diperbuat, ia berani menanggung resiko akan kesalahan
yang ia perbuat, sehingga ia senantiasa memperbaiki dirinya agar tidak mengulangi di
masa yang akan datang.
7. Kemampuan individu untuk membentuk hubungan sosial yang baik yang dilandasi sikap
saling percaya dan saling mengisi. Hal ini dapat dikatakan sebagai kesehatan mental
karena, masing-masing fihak merasa hidup tidak sendiri. Apabila ia ditimpa musibah
maka yang lain ikut membantunya. Apabila ia mendapatkan keluasan rizki maka yang
lain ikut menikmatinya. Pergaulan hidupnya dilandasi oleh sikap saling percaya dan
mengenyampingkan rasa curiga dan sikap jelek lainnya.
8. Memiliki keinginan yang realistik, sehingga dapat diraih secara baik. Keinginan yang
tidak masuk akal akan membawa seseorang ke jurang angan-angan, lamunan, kegilaan,
dan kegagalan. Keinginan yang terwujudkan dapat memperkuat kesehatan mental.
Keinginan yang baik adalah keinginan yang dapat mencapai keseimbangan dan
kebahagiaan dunia dan akhirat.
9. Adanya rasa kepuasan, kegembiraan, dan kebahagiaan dalam mensikapi atau menerima
nikmat yang diperoleh. Kepuasan dan kebahagiaan dikatakan sebagai tanda-tanda
kesehatan mental, sebab individu merasa sukses, telah terbebas dari dari segala beban,
dan terpenuhi kebutuhan hidupnya. Kriteria kepuasan atau kebahagiaan batin seseorang
tidak semata-mata disebabkan terpenuhinya kebutuhan material, namun terdapat
penyebab lain yang lebih hakiki, yaitu kebutuhan meta-material seperti kebutuhan akan
spiritual. Hal ini sebagaimana yang pernah diungkap oleh Maslow, hieraki kebutuhan
tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu; pertama; kebutuhan-
kebutuhan taraf dasar yang meliputi kebutuhan fisik, rasa aman dan terjamin, cinta dan
ikut memiliki, dan harga diri. Kedua; meta-kebutuhan, meliputi apa saja yang
terkandung dalam aktualisasi diri seperti keadilan, kebaikan, keindahan, keteraturan,
kesatuan, dan sebagainya.

Dan selain tanda-tanda tersebut di atas, ada tanda-tanda lain sebagai wujud dari kesehatan
mental yaitu; adanya perasaan cinta. Secara Etimologi, Ibnu Qoyyim menemukan sebuah
kesimpulan yang mengatakan bahwa cinta mampu mendorong individu untuk hidup
berdamai, rukun, saling kasih mengasihi, dan menjauhkan diri dari kebencian, dendam,
permusuhan, dan pertikaian.

Anda mungkin juga menyukai