Anda di halaman 1dari 13

AGAMA DAN KESEHATAN MENTAL

1
Moh. Khoirur Risqi, 2Nurur Rohman Maulidi
Institut Agama Islam Negeri Madura
1
eric2016hr@gmail.com, 2rohmanmaulidi4@gmail.com

ABSTRACT
Religion and the human psyche cannot be separated because they are interconnected
with each other. For this reason, this article will examine religion and mental health
which includes a discussion of the definition of mental health, the relationship between
religion and mental health, then in this case also includes some expert opinions
regarding religion and mental health and the factors that cause deviation of religious
attitudes. The method used in this article is a qualitative research method with a library
research approach. Data collection techniques were carried out through interviews
with academics involving lecturers and students at several Indonesian universities.
KEYWORDS: Mental health, Religion, Deviation of religious attitudes.
ABSTRAK
Agama dan kejiwaan manusia tidak dapat dipisahkan karena keduanya saling
berhubungan satu sama lainnya. Untuk itu artikel ini akan mengkaji tentang agama
dan kesehatan mental yang didalamnya mencakup pembahasan mengenai definisi
kesehatan mental, hubungan agama dengan kesehatan mental, kemudian dalam hal ini
juga menyertakan beberapa pendapat para ahli mengenai agama dan kesehatan mental
serta faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya penyimpangan sikap keagamaan.
Metode yang digunakan dalam artikel ini yaitu metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan kajian pustaka. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara
terhadap akademisi yang melibatkan dosen dan mahasiswa di beberapa perguruan
tinggi Indonesia.
KATA KUNCI: Kesehatan mental, Agama, Penyimpangan sikap keagamaan.

PENDAHULUAN

Sejak awal abad ke-19 dapat dikatakan bahwa para ahli kedokteran mulai menyadari
akan adanya hubungan antara penyakit dengan kondisi dan psikis manusia. Hubungan timbal
balik ini menyebabkan manusia dapat menderita gangguan fisik yang disebabkan oleh
gangguan mental dan sebaliknya gangguan mental dapat menyebabkan penyakit fisik. Dan
diantara faktor mental tersebut adalah keyakinan agama. Hal ini antara lain disebabkan
sebagian besar dokter fisik melihat bahwa penyakit mental sama sekali tak ada hubungan

1
dengan penyembuhan medis, serta sebagai penyembuhan penderita penyakit mental dengan
menggunakan pendekatan agama. Carl Gustav Jung menyatakan:

“Di antara pasien saya yang tahu sudah berumur di atas 35 tahun, tak seorang pun yang
menderita penyakit jiwa tanpa ada hubungan dengan agama”.1
Sedangkan dalam Islam, konsep kesehatan mental atau al-tibb al-ruhani pertama kali
diperkenalkan dunia kedokteran Islam oleh seorang dokter dari Persia bernama Abu Zayd
Ahmed ibnu Sahl al-Balkhi (850-934). Dalam kitabnya berjudul Masalih al-Abdan wa al-
Anfus (Makanan untuk Tubuh dan Jiwa), al-Balkhi berhasil menghubungkan penyakit antara
tubuh dan jiwa. Ia biasa menggunakan istilah al-Tibb al-Ruhani untuk menjelaskan kesehatan
spritual dan kesehatan psikologi. Sedangkan untuk kesehatan mental dia kerap menggunakan
istilah Tibb al-Qalb.2

Agama tampaknya memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.


Pengingkaran manusia terhadap agama mungkin karena faktor-faktor tertentu baik yang
disebabkan oleh kepribadian maupun lingkungan masing-masing.

Namun untuk menutupi atau meniadakan sama sekali dorongan dan rasa keagamaan
kelihatannya sulit dilakukan, hal ini Karena manusia ternyata memiliki unsur batin yang
cenderung mendorongnya untuk tunduk kepada Zat yang gaib, ketundukan ini merupakan
bagian dari faktor intern manusia dalam psikologi kepribadian dinamakan pribadi (self)
ataupun hati nurani (conscience of man). Fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT
ialah manusia diciptakan mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid.3

Untuk itu artikel dengan judul agama dan kesehatan mental ini didalamnya akan
mengkaji mengenai hubungan atara agama kesehatan mental, pendapat tokoh mengenai hal
tersebut, serta penyebab terjadinya perilaku penyimpangan keagamaan.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam artikel ini yaitu menggunakan metode penelitian
kualitatif dengan pendekatan kajian pustaka (library research). Beberapa referensi yang
berasal dari hasil riset maupun buku-buku primer maupun sekunder dijadikan sebagai bahan
rujukan yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Untuk metode pengumpulan data
1
Akmal Hawi, Seluk Beluk Ilmu Jiwa Agama, cet. 1, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2014), 60.
2
Purmansyah Ariadi, “Kesehatan Mental dalam Perspektif Islam,” Syifa’ MEDIKA, Vol. 3, No. 2, (Maret
2013): 120.
3
Ibid., 123.

2
dilakukan melalui wawancara. Bagi narasumber yang terjangkau dilakukan dengan
wawancara langsung dikediamannya, sedangkan narasumber yang tidak terjangkau dilakukan
dengan wawancara tidak langsung melalui telepon.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Definisi Kesehatan Mental

Istilah “kesehatan mental” diambil dari konsep mental hygiene. Kata mental
diambil dari bahasa Yunani, pengertiannya sama dengan psyche dalam bahasa Latin yang
artinya psikis, jiwa atau kejiwaan. Jadi istilah mental hygiene dimaknakan sebagai
kesehatan mental atau jiwa yang dinamis bukan statis karena menunjukkan adanya usaha
peningkatan.4

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa kesehatan mental


merupakan kondisi dari kesejahteraan yang disadari individu, yang di dalamnya terdapat
kemampuan kemampuan untuk mengelola stres kehidupan yang wajar, untuk bekerja
secara produktif dan menghasilkan, serta berperan serta dikomunitasnya.5

Kehidupan yang wajar disini, menurut Khairul Mufid dapat dikatakan sebagai
suatu kondisi dimana seseorang dapat menyesuaikan dengan keadaan. Baik menyesuaikan
dengan dirinya sendiri (self adjustment) maupun dengan orang lain serta masyarakat
sekitar.6

Adapun pendapat lain mengenai kesehatan mental, Romlawati mendefinisikan


bahwasanya,

"Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan


mental, baik berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap
lingkungan sosial). Kesehatan mental merupakan kondisi dimana individu memiliki
kesejahteraan yang tampak dari dirinya yang mampu menyadari potensinya sendiri,
memiliki kemampuan untuk mengatasi tekanan hidup normal pada berbagai situasi
dalam kehidupan.”7

4
Ibid., 119.
5
Kartika sari dewi, Buku Ajar Kesehatan Mental, (semarang: upt undip press, 2012), 10-11.
6
Khairul Mufid, Mahasiswa program studi profesi Ners Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Negeri Wiraraja
Sumenep, Wawancara lewat telepon (1 November 2022 pada pukul 08.48 WIB).
7
Romlawati, Mahasiswi Program Studi Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Madura,
Wawancara langsung (1 November 2022 pada pukul 10.19 WIB).

3
Sedangkan dalam perspektif keilmuan, Akmal Hawi yang mengutip pendapat M.
Buchoni Kesehatan mental adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip,
peraturan-peraturan serta prosedurnya untuk mempertinggi kesehatan rohani. Orang yang
sehat mentalnya adalah orang yang dalam rohani atau dalam hatinya selalu merasa senang,
aman dan tentram.8

Prinsip-prinsip dalam memahami Kesehatan Mental telah diungkap Schneiders


sejak tahun 1964 yang mencakup tiga hal, yaitu berdasarkan sifat manusia, hubungan
manusia dengan lingkungannya serta hubungan antar individu dengan Tuhannya.

Prinsip pertama yang didasari atas sifat manusia ada sebelas, yaitu:9

1. Kesehatan dan penyesuaian mental tidak terlepas dari kesehatan fisik dan integritas
organisme.
2. Dalam memelihara kesehatan mental, tidak terlepas dari sifat manusia sebagai pribadi
yang bermoral, intelek, religius, emosional, dan sosial.
3. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan integrasi dan pengendalian diri,
meliputi: pengendalian pemikiran, imajinasi, hasrat, emosi dan perilaku.
4. Memperluas pengetahuan diri merupakan keharusan dalam pencapaian dan
memelihara kesehatan mental.
5. Kesehatan mental memerlukan konsep diri yang sehat, meliputi: penerimaan dan
usaha yang realistik terhadap status dan harga diri.
6. Pemahaman dan penerimaan diri harus ditingkatkan dalam usaha meningkatkan diri
dan realisasi diri untuk mencapai kesehatan mental.
7. Stabilitas mental memerlukan pengembangan yang terus-menerus dalam diri individu,
terkait dengan: kebijaksanaan, keteguhan hati, hukum, ketabahan, moral, dan
kerendahan hati.
8. Pencapaian dalam pemeliharaan kesehatan mental terkait dengan penanaman
kebiasaan baik.
9. Stabilitas mental menuntut kemampuan adaptasi, kapasitas mengubah situasi dan
kepribadian.
10. Stabilitas mental memerlukan kematangan pemikiran, keputusan, emosionalitas, dan
perilaku.

8
Akmal Hawi, Seluk Beluk Ilmu Jiwa Agama, ... 67.
9
Kartika Sari Dewi, Buku Ajar Kesehatan Mental,...14-15.

4
11. Kesehatan mental memerlukan belajar mengatasi secara efektif dan secara sehat
terhadap konflik mental, kegagalan, serta ketegangan yang timbul.

Kemudian sebagai prinsip yang kedua adalah tiga prinsip yang didasari atas
hubungan manusia dengan lingkungannya, yaitu:10

1. Kesehatan mental dipengaruhi oleh hubungan interpersonal yang sehat, khususnya di


dalam keluarga.
2. Penyesuaian yang baik dan kedamaian pikiran dipengaruhi oleh kecukupan individu
dalam kepuasan kerja.
3. Kesehatan mental memerlukan sikap yang realistik, yaitu menerima realita tanpa
distorsi dan objektif.

Serta prinsip yang terakhir, merupakan dua prinsip yang didasari atas hubungan
individu dengan Tuhan, yaitu:

1. Stabilitas mental memerlukan pengembangan kesadaran atas realitas terbesar dari


dirinya yang menjadi tempat bergantung kepada setiap tindakan yang fundamental.
2. Kesehatan mental dan ketenangan hati memerlukan hubungan yang konstan antara
manusia dengan Tuhannya.11
B. Hubungan Agama dengan Kesehatan Mental

Dalam kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan


kesehatan jiwa, terletak pada penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan Yang
Maha Tinggi. Sikap pasrah yang serupa itu diduga akan memberi sikap optimis pada diri
seseorang sehingga muncul perasaan positif. Dengan kata lain, kondisi yang demikian
menjadikan manusia pada kondisi kodratinya, sesuai dengan fitrah kejadiannya, sehat
jasmani dan rohani.12

Selaras dengan hal tersebut, menurut Khairul Mufid agama dapat menjadi
pegangan untuk menjalankan hidup lebih optimis sehingga seseorang tersebut dapat
memiliki pengharapan serta menentukan tujuan hidupnya.13

10
Ibid., 15.
11
Ibid.
12
Akmal Hawi, Seluk Beluk Ilmu Jiwa Agama,...69.
13
Khairul Mufid, Mahasiswa program studi profesi Ners Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Negeri Wiraraja
Sumenep, Wawancara lewat telepon (1 November 2022 pada pukul 08.48 WIB).

5
Dapat disimpulkan bahwa antara kesehatan mental dengan agama, keduanya
saling mempengaruhi. Ketika seseorang mengikuti aturan agama dengan sebenar-
benarnya, maka seseorang tersebut akan memiliki ketentraman jiwa. Dan ketentraman
jiwa disini dapat dikatakan sebagai kondisi mental yang sehat. Dan orang yang memiliki
kesehatan mental yang baik akan memiliki sifat positif sehingga dapat menjalankan
agama dengan baik pula.

Agama sering dipandang sebagai anutan. Dianggap sebagai sesuatu yang datang
dari luar dan asing. Padahal, potensinya sudah bersemi dalam batin sbagai fitrah manusia,
potensinya dilantarkan oleh keangkuhan keegoisan Manusia. Ketika jalinan keharmonisan
antara kebutuhan fisik dan mental spritual terputus, Akibatnya manusia kehilangan
kemampuan untuk mengenal dirinya serta menyelami potensi diri sebagai mahluk hidup
beragama (homo religius).14

Ketika manusia melupakan Sang Maha Pencipta dan kehilangan God view-nya,
kehidupan jadi hampa. Menjauhkan diri dari Sang Pencipta, berarti mengosongkan diri
dari nilai-nilai imani. Sungguh merupakan “kerugian” terbesar bagi manusia selaku
makhluk berdimensi spiritual.15

Ketika seseorang tersebut melenceng dari agamanya, maka orang tersebut pun
akan mengalami gangguan dalam jiwanya yang menurut deddi Effendi dalam perspektif
Al-Qur'an gangguan jiwa tersebut dapat berupa kecemasan atau kekhawatiran serta
ketakutan. Beliau mengatakan bahwa,

"Yang menjadi penyebabnya adalah memiliki rasa kekhawatiran yang tinggi serta
memiliki rasa ketakutan yang tinggi. Kalau dalam istilah Al-Qur’an khawatir itu
disebut dengan khuzn sedangkan takut itu disebut dengan khauf. Khuzn atau
khawatir itu secara definisi adalah ketakutan terhadap sesuatu yang belum terjadi
sedangkan khauf atau takut itu ketakutan terhadap sesuatu yang sedang
dihadapinya."16
Beliau juga menjabarkan bahwa dalam Islam, ketika seseorang memiliki
keimanan yang kuat maka tidak akan merasa khawatir dan takut sedikitpun akan
ketetapan Allah.

14
Yatim Pujiati, “Fungsi Agama Terhadap Kesehatan Mental Menurut Zakiah Daradjat,” (Skripsi), Universitas
Islam Negeri Raden Intan Lampung 2018, 53.
15
Purmansyah Ariadi, Kesehatan Mental dalam Perspektif Islam,... 124.
16
Deddi Effendi, Dosen tetap Program studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Institut Darul
Qur’an Jakarta, Wawancara lewat telepon (31 Oktober 2022 pada pukul 13.00 WIB).

6
"Orang yang Iman, orang yang dekat dengan Allah atau orang yang beramal sholeh,
maka bisa dipastikan dia tidak akan pernah mengalami penyakit Mental. Dia tidak
akan pernah mengalami kekhawatiran terhadap sesuatu yang belum terjadi atau
ketakutan terhadap sesuatu yang sedang terjadi. Sebaliknya terjadinya penyakit
mental adalah karena jauh dengan Allah tidak dekat dengan Tuhannya itu yang
sehingga kemudian menjadi pemicu ketidak tenangan. "17
C. Pendapat Para Ahli Mengenai Agama dan Kesehatan Mental

Setelah melakukan wawancara dengan Moh. Ghoni mahasiswa aktif UIN Syarif
Hidayatullah, dia mengatakan bahwa,

"Agama merupakan suatu yang sangat fundamental dalam kehidupan seseorang


terlepas agama apapun yang dia anut, sehingga orang yang beragama cenderung
memiliki mental yang kuat atau sehat secara mental dan tenang dalam menjalani
kehidupan di dunia, kalaupun memiliki suatu permasalahan dia akan berdo’a pada
tuhannya untuk di permudah segala urusannya."18
Sejumlah kasus yang menunjukkan adanya hubungan antara faktor keyakinan
dengan kesehatan jiwa atau mental tampaknya sudah disadari para ilmuwan beberapa
abad yang lalu. Kenyataan serupa itu akan dijumpai dalam banyak buku yang
mengungkapkan akan beberapa eratnya hubungan antara agama dan kesehatan mental.19
Tokoh yang mengungkapkan tentang hubungan antara agama dengan kesehatan mental
dalam hal ini kami mengambil dua tokoh, yaitu Prof. Dr. Zakiyah Dradjat dan Dr.
Jalaluddin.

1. Prof. Dr. Zakiah Dradjat


Zakiah Daradjat mendefinisikan kesehatan mental dengan beberapa pengertian:
a. Terhindarnya orang dari gejala-gejala gangguan jiwa (neurose) dan dari gejala
gejala penyakit jiwa (psychose).
b. Kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan
orang lain dan masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup.
c. Pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan
memanfaatkan segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal
mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain; serta
terhindar dari gangguan-gangguan dan penyakit jiwa.

17
Deddi Effendi, Dosen tetap Program studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Institut Darul
Qur’an Jakarta, Wawancara lewat telepon (31 Oktober 2022 pada pukul 13.00 WIB).
18
Moh. Ghoni mahasiswa program studi Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Wawancara langsung (31 Oktober 2022 pada pukul 10.01 WIB).
19
Akmal Hawi, Seluk Beluk Ilmu Jiwa Agama,.... 68.

7
d. Terwujudnya keharmonisan yang sungguh sungguh antara fungsi fungsi jiwa,
serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem biasa yang
terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya.20

Adapun mengenai agama menurut Zakiyah Dradjat agama merupakan unsur


yang terpenting dalam pembinaan mental. Tanpa agama, rencana-rencana
pembangunan tidak akan terlaksana dengan sebaik-baiknya karena dapatnya
seseorang melaksanakan suatu rencana dengan baik tergantung kepada ketenangan
jiwanya. Jika jiwa gelisah, ia tidak akan sanggup menghadapi kesukaran yang
mungkin terdapat dalam pelaksanaan rencana-rencana tersebut.21

2. Dr. Jalaluddin

Dalam bukunya “Psikologi Agama” beliau menjelaskan bahwa kesehatan


mental merupakan suatu kondisi batin yang senantiasa berada dalam keadaan tenang,
aman dan tentram, dan upaya untuk menemukan ketenangan batin dapat dilakukan
antara lain melalui penyesuaian diri secara resignasi (penyerahan diri sepenuhnya
kepada Tuhan).22

D. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Penyimpangan Sikap Keagamaan

Faktor-faktor yang penyebab terjadinya perilaku menyimpang dalam sikap


keagamaan ada dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

1. Faktor Internal.
a. Kontrol diri yang lemah
Menurut Santrock, kontrol diri yang lemah terjadi karena perilaku
menyimpang dapat digambarkan sebagai bentuk kegagalan mengembangkan
kontrol diri dalam tingkah laku seseorang. Beberapa anak dalam mengembangkan
kontrol diri yang seharusnya sudah diterima ketika mengalami proses
pertumbuhan.23

20
Akmal Hawi, Seluk Beluk Ilmu Jiwa Agama, .... 119.
21
Susilawati, “Kesehatan Mental Menurut Zakiah Daradjat,” (Skiripsi), Universitas Islam Negeri Raden Intan
Lampung, 2017, 88.
22
Akmal Hawi, Seluk Beluk Ilmu Jiwa Agama, .... 119.
23
Densi Sah Putri, “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilau Menyimpang Remaja”, (Skripsi), Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Kediri, 2018, 19.

8
Oleh karena itu kontrol diri yang lemah menjadi pengaruh seseorang
melakukan perilaku menyimpang. Menurut Kartono anak-anak remaja yang
melakukan kejahatan atau melakukan perilaku menyimpang pada umumnya
kurang memiliki kontrol diri tersebut dan suka menegakkan standar tingkah laku
sendiri disamping meremehkan keberadaan orang lain.24
Sebagai contoh, di era modern ini anak-anak bahkan sejak kecil tentunya
tidak terlepas dari gadged. Dan hal tersebut yang menjadi salah satu pemicu dini
dari perilaku penyimpangan sikap keagamaan. Rafli Ainur Roziq memaparkan
bahwa:
“Ketika anak kecil melihat video mengenai penyimpangan agama, maka dia
akan merekam sejak itu, dan akan mengaplikasikan atau mempraktekkan
ketika suatu saat dia sudah lebih mengetahuinya.”25
b. Kurangnya pemahaman tentang agama
Sudah menjadi kejadian yang ada didunia di mana segala sesuatu hampir
dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan, sehingga keyakinan beragama mulai
terdesak. Kepercayaan kepada allah SWT tinggal simbol, larangan-larangan dan
suruhan-suruhan allah SWT. tidak diindahkan lagi. Dengan kurangnya
pemahaman tentang agama pada seseorang maka hilanglah kekuatan pengontrol
yang ada di dalam dirinya sehingga terjerumus kedalam perilaku menyimpang.
Dengan demikian satu-satunya alat pengawas dan pengontrol moral yang dimiliki
adalah masyarakat dengan hukum dan peraturannya26
Mengenai contoh penyimpangan sikap keagamaan dari segi kurangnya
pemahaman mengenai agama, menurut Abd. Hamid Ramadhani yaitu ketika
seseorang menganggap semua agama salah, maupun menganggap agamanya
paling benar sedangkan kepercayaan yang lain salah.
“Penyimpangan agama itu terjadi ketika menganggap agamanya benar dan
menganggap kepercayaan yang lain salah. Seperti pengakuan mengenai
agama itu hanya satu, agama yang berlandaskan akidah tauhid yaitu agama
Islam. Nah tetapi dalam perspektif lain, agama Islam itu masih bisa dikatakan
sebagai Penyimpangan agama oleh agama-agama lainnya karena berusaha
menganggap bahwa agama Islam itu adalah agama yang paling benar.”27

24
Ibid.
Rofli Ainur Roziq, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Madura,
25

Wawancara secara langsung (2 November 2022 pada pukul 08.23)


26
Ibid., 20.
Abd. Hamid Ramadhani, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah IAIN
27

Madura, Wawancara secara langsung (2 November 2022 pada pukul 08.45)

9
2. Faktor Eksternal
a. Keutuhan keluarga
Keluarga sangat berperan penting dalam perkembangan anak. Karena
keluarga merupakan pendidikan pertama bagi anak, dan orang tua sebagai roll
model nya. Rofli Ainur Roziq mengatakan bahwa:
“Ketika orang tua sudah melakukan hal yang menyimpang dari agama, maka
otomatis anaknya pun akan mengikutinya.”28

Sedangkan yang dimaksud dengan faktor keutuhan keluarga disini ialah


keutuhan dalam struktur keluarga, yaitu di dalam keluarga itu ada ayah, ibu dan
ana-anak. Apabila tidak ada ayah atau ibu keduanya tidak ada, maka struktur
keluarga itu tidak utuh lagi. Apabila ayah atau ibunya jarang pulang kerumah atau
berbulan-bulan meninggalkan rumah, karena tugas-tugas lain, maka struktur
keluarga itu pun sebenarnya tidak utuh lagi. Begitu pula apabila orang tuanya
bercerai, maka keluarga itu pun tidak utuh lagi29
Dalam proses perkembangan remaja membutuhkan keluarga karena
keluarga merupakan unit sosial terkecil yang pertama ditemuinya. Perkembangan
remaja sangatlah bergantung terhadap bimbingan dari orang tuanya. Bagi remaja
yang kurang mendapatkan perhatian dari orang tuanya maka dia akan melakukan
perilaku menyimpang. Oleh karena itu keutuhan keluarga sangat berpengaruh
terhadap perkembangan remaja.
b. Peranan sosial ekonomi keluarga
Keadaan sosial ekonomi keluarga dapat juga berperan terhadap
perkembangan anak-anak. Misalnya anak yang orang tuanya berpenghasilan
cukup (sosial ekonominya cukup), maka anak-anak tersebut lebih banyak
mendapat kesempatan untuk mengembangkan berbagai macam-macam kecakapan.
Begitu pula sebaliknya bagi anak yang orang tuanya sosial ekonominya kurang
akan mempengaruhi perkembangan remaja dan bisa melakukan perbuatan-
perbuatan yang tidak diinginkan seperti perilaku menyimpang yang akan
merugikan remaja yang bersangkutan30

Rofli Ainur Roziq, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Madura,
28

Wawancara secara langsung (2 November 2022 pada pukul 08.23)


29
Abu Ahmadi, Psikologi Sosial, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), 239.
30
Ibid., 236.

10
c. Pengaruh lingkungan masyarakat
Perkembangan remaja sangat di pengaruhi oleh lingkungan tempat
tinggalnya. Rofli Ainur Roziq memaparkan bahwa baik buruknya suatu
lingkungan akan berpengaruh terhadap perilaku penyimpangan keagamaan ini,
alasannya karena:
“Ketika kita berada dilingkungan yang baik, maka kita pun akan ikut baik.
Sebaliknya ketika berada dilingkungan yang buruk (marak terjadi
penyimpangan sosial), maka kitapun akan terpengaruhi buruknya.”31
Misalnya, ketika remaja berteman dengan orang yang nakal maka dia akan
ikut nakal juga begitu juga sebaliknya. Karena remaja masih sangat rentan
terhadap perilaku yang ada di tempat tinggalnya.
Lingkungan masyarakat merupakan kondisi tempat tinggal yang turut
mempengaruhi pola pikir dan berkembangnya jiwa remaja. Bentuk salah satu
manifestasi dan penentangan terhadap lingkungan adalah geng remaja. Saat ini
geng remaja telah menjurus pada hal-hal yang negatif, seperti perkelahian masal,
minum-minuman keras (alkohol, Komix). Narkoba, melakukan kejahatan seksual
dan perampokan32
d. Pengaruh teman sebaya
Lingkungan sosial yang dimaksud adalah teman sebaya. Teman sebaya
merupakan lingkungan bergaul seorang anak dan melalui interaksi dengan teman
sebaya, individu akan berkenalan dan mulai bergaul dengan teman-teman dengan
pola perilaku yang berbeda-beda. Sehingga melalui interaksi inilah masing-masing
individu akan saling memahami keinginan-keinginan dan tidak jarang individu
akan membentuk kelompok-kelompok.
Jika perilaku teman-teman sebayanya telah dirasa cocok, pergaulan teman
sebaya dapat mempengaruhi perilaku remaja. Perilaku tersebut bisa berupa
perilaku positif dan dapat pula berupa perilaku negatif.33

KESIMPULAN

Rofli Ainur Roziq, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Madura,
31

Wawancara secara langsung (2 November 2022 pada pukul 08.23)


32
Sofyan Wilis, Remaja dan Masalahnya, (Bandung: Alfabeta,2012), 66.
33
Mu’tadin, Pengantar Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, (Yogyakarta : Andi Offset, 2002), 22.

11
Kesehatan mental merupakan kondisi dari kesejahteraan yang disadari individu, yang
di dalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk mengelola stres kehidupan yang wajar,
untuk bekerja secara produktif, dan berperan serta dikomunitasnya.

Mengenai hubungan antara kesehatan mental dengan agama, keduanya saling


mempengaruhi. Ketika seseorang mengikuti aturan agama dengan sebenar-benarnya, maka
seseorang tersebut akan memiliki ketentraman jiwa. Dan ketentraman jiwa disini dapat
dikatakan sebagai kondisi mental yang sehat. Dan orang yang memiliki kesehatan mental
yang baik akan memiliki sifat positif sehingga dapat menjalankan agama dengan baik pula.

Sedangkan orang yang kondisi mentalnya dalam keadaan tidak baik terkadang malah
dapat menimbulkan suatu perilaku menyimpang dalam suatu agama. Faktor-faktor yang
menjadi penyebabnya tidak hanya dari dalam diri seseorang tersebut, namun faktor-faktor
dari luar pun turut mempengaruhinya. Seperti halnya keluarga, sosial ekonomi, faktor
keadaan lingkungan yang kurang baik serta pengaruh dari teman sebaya.

DAFTAR PUSTAKA

Ariadi, Purmansyah. “Kesehatan Mental dalam Perspektif Islam,” Syifa’ MEDIKA, Vol. 3,
No. 2, Maret 2013.
Dewi, Kartika Sari. Buku Ajar Kesehatan Mental, Semarang: upt undip press, 2012.
Effendi, Deddi. Dosen tetap Program studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin
Institut Darul Qur’an Jakarta, Wawancara lewat telepon (31 Oktober 2022 pada pukul
13.00 WIB).
Ghoni, Moh. Mahasiswa Program Studi Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Wawancara langsung (31 Oktober 2022 pada pukul 10.01
WIB).
Hawi, Akmal. Seluk Beluk Ilmu Jiwa Agama, cet. 1, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2014.
Mu’tadin, Pengantar Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Yogyakarta : Andi Offset, 2002.
Mufid, Khairul. Mahasiswa program studi profesi Ners Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Negeri Wiraraja Sumenep, Wawancara lewat telepon (1 November 2022 pada pukul
08.48 WIB).
Pujiati, Yatim. “Fungsi Agama Terhadap Kesehatan Mental Menurut Zakiah Daradjat,”
(Skripsi), Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung 2018.
Putri, Densi Sah. “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilau Menyimpang Remaja”,
(Skripsi), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri, 2018.

12
Ramadhani, Abd. Hamid. Mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas
Tarbiyah IAIN Madura, Wawancara secara langsung (2 November 2022 pada pukul
08.45)
Romlawati, Mahasiswi Program Studi Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
IAIN Madura, Wawancara langsung (1 November 2022 pada pukul 10.19 WIB).
Roziq, Rofli Ainur. Mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah
IAIN Madura, Wawancara secara langsung (2 November 2022 pada pukul 08.23)
Susilawati, “Kesehatan Mental Menurut Zakiah Daradjat,” (Skripsi), Universitas Islam
Negeri Raden Intan Lampung, 2017.
Wilis, Sofyan. Remaja dan Masalahnya, Bandung: Alfabeta, 2012.

13

Anda mungkin juga menyukai