Anda di halaman 1dari 127

Kesehatan Mental

Bagian Petama

Ruang Lingkup Kesehatan Mental

A. Pengertian Kesehatan Mental


Secara etimologis, kata “mental” berasal dari kata latin, yaitu “mens” atau “mentis” artinya
roh, sukma, jiwa, atau nyawa. Di dalam bahasa Yunani, kesehatan terkandung dalam kata hygiene,
yang berarti ilmu kesehatan. Maka kesehatan mental merupakan bagian dari hygiene mental (ilmu
kesehatan mental).1
Menurut Kartini Kartono dan Jenny Andary dalam Yusak, ilmu kesehatan mental adalah
ilmu yang mempelajari masalah kesehatan mental/jiwa, yang bertujuan mencegah timbulnya
gangguan/penyakit mental dan gangguan emosi, dan berusaha mengurangi atau menyembuhkan
penyakit mental, serta memajukan kesehatan jiwa rakyat.2
Sebagaimana seorang dokter harus mengetahui faktor-faktor penyebab dan gejala-gejala
penyakit yang diderita pasiennya. Sehingga memudahkan dokter untuk mendeteksi penyakit dan
menentukan obat yang tepat. Definisi mereka berdua menunjukan bahwa kondisi mental yang sakit
pada masyarakat dapat disembuhkan apabila mengetahui terlebih dulu hal-hal yang mempengaruhi
kesehatan mental tersebut melalui pendekatan hygiene mental.
Dalam perjalanan sejarahnya, pengertian kesehatan mental mengalami perkembangan
sebagai berikut :
1. Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit jiwa (neurosis
dan psikosis). Pengertian ini terelihat sempit, karena yang dimaksud dengan orang yang sehat
mentalnya adalah mereka yang tidak terganggu dan berpenyakit jiwanya. Namun demikian,
pengertian ini banyak mendapat sambutan dari kalangan psikiatri3.
Kembali pada istilah neurosis, pada awalnya kata tersebut berarti ketidakberesan dalam
susunan syaraf. Namun, setelah para ahli penyakit dan ahli psikologi menyadari bahwa
ketidakberesan tingkah laku tersebut tidak hanya disebabkan oleh ketidakberesan susunan syaraf,
tetapi juga dipengaruhi oleh sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang lain, maka
aspek mental (psikologi) dimasukkan pula dalam istilah tersebut.4
2. Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan
masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup. Pengertian ini lebih luas dan umum, karena telah

1
Yusak Burhanuddin, Kesehatan Mental ( Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h.9

2
Lihat Ibid., h.9-10
3
Sururin, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 142
4
Abdul Mujib, Fitrah & Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, (Jakarta: Darul Falah,1999), h.48

1
Kesehatan Mental
dihubungkan dengan kehidupan sosial secara menyeluruh. Dengan kemampuan penyesuaian diri,
diharapkan akan menimbulkan ketentraman dan kebahagiaan hidup.
3. Terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa serta mempunyai
kesanggupan untuk mengatasi problem yang biasa terjadi, serta terhindar dari kegelisahan dan
pertentangan batin (konflik).
4. Pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan potensi,
bakat dan pembawaan semaksimal mungkin, sehingga membawa kebahagiaan diri dan orang lain,
terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa.
Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang sehat mentalnya adalah
orang yang terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa, maupun menyesuaikan diri, sanggup
menghadapi masalah-masalah dan kegoncangan-kegoncangan yang bias, adanya keserasian fungsi
jiwa, dan merasa bahwa dirinya berharga, berguna, dan berbahagia serta dapat menggunakan
potensi-potensi yang ada semaksimal mungkin.5
Kesehatan mental (mental hygiens) adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-
prinsip, peraturan-peraturan serta prosedur-prosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani.6
Menurut H.C. Witherington, kesehatan mental meliputi pengetahuan serta prinsip-prinsip yang
terdapat lapangan Psikologi, kedokteran, Psikiatri, Biologi, Sosiologi, dan Agama7
Kesehatan Mental merupakan kondisi kejiwaan manusia yang harmonis. Seseorang yang
memiliki jiwa yang sehat apabila perasaan, pikiran, maupun fisiknya juga sehat. Jiwa (mental) yang
sehat keselarasan kondisi fisik dan psikis seseorang akan terjaga. Ia tidak akan mengalami
kegoncangan, kekacauan jiwa (stres), frustasi, atau penyakit-penyakit kejiwaan lainnya. Dengan
kata lain orang yang memiliki kesehatan mental juga memiliki kecerdasan baik secara intelektual,
emosional, maupun spiritualnya.
Selanjutnya bila dicermati aktivitas manusia, ada yang selalu bergembira dan berbahagia
dan ada pula yang selalu mengeluh, merasa gelisah dan bersedi hati, tidak cocok dengan orang lain,
tidak bersemangat serta tidak dapat memikul tanggung jawab. Gejala-gejala yang menggelisakan
itulah yang mendorong para ahli ilmu jiwa untuk berusaha menyelidiki faktor apa yang
menyebabkan tingkah laku orang itu berbeda-beda, kendatipun kondisinya sama. Dan juga apa
penyebabnya ada orang yang tidak mampu merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam hidup
ini. Usaha inilah menurut Zakiah Darajat menimbulkan satu cabang disiplin ilmu dari ilmu jiwa,
yaitu kesehatan mental (Mental Hygiene).8
Memberikan definisi kesehatan mental tidaklah mudah. Dalam psikologi mutakhir,
kesehatan mental oleh berbagai aliran dimasukkan ke dalam suatu cabang psikologi yang terkenal
dengan nama Psikologi Kepribadian atau Psikologi Syahsiyah. Secara singkat dapat dikatakan
bahwa ada ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh manusia yang secara keseluruhan dapat membedakan
dengan orang lain. Ciri-ciri tersebut nampak dalam pola-pola tingkah laku, keinginan-keinginan dan

5
Lihat Sururin, op.cit., h. 144
6
Lihat dalam Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 154
7
Ibid.
8
Zakiah Darajat, Kesehatan Mental (Cet.XVIII; Jakarta: CV.Haji Masagung,, 2005 ), h. 11

2
Kesehatan Mental
cara-cara untuk memuaskannya. Atau berbagai pola-pola tingkah laku yang digunakan oleh
seseorang untuk bergerak terhadap perangsang-perangsang yang dihadapinya, baik pola-pola itu
merupakan ekspressi melalui wajah atau gerak jasmaniah ataupun merupakan ucapan kata-kata
ataupun cara berfikir. Kadang juga kesehatan mental itu diartikan dengan kebahagiaan di dunia.9
Kesehatan mental adalah terjemahan dari Hygiene dan mens atau mentis. Hygiene berasal
dari kata Hygeia bahasa Yunani yaitu nama dewi kesehatan Yunani yang artinya kesehatan mental.
Sedang mental berarti jiwa, nyawa, sukma, roh, semangat. Dengan demikian kesehatan mental
adalah jiwa yang sehat. Ilmu kesehatan mental adalah ilmu kesehatan jiwa yang memasalahkan
kehidupan kerohanian yang sehat, dengan memandang pribadi manusia sebagai satu totalitas psiko-
fisik yang kompleks.10
Seseorang dikatakan sehat mentalnya bila terjalin secara harmonis antara fungsi-fungsi
psikisnya dengan fungsi-fungsi pisiknya. Atau orang yang memiliki ketenteraman, kedamaian,
ketenangan dan kestabilan hidupnya.
Hal-hal yang dilakukan dalam kesehatan mental adalah agar seseorang mendapatkan
keseimbangan jiwa, menegakkan kepribadian yang terintegrasi dengan baik, serta mampu
memecahkan segala kesulitan hidup dengan kepercayaan diri dan keberanian. Kesemuanya itu
bertujuan agar seseorang memiliki dan membina jiwa yang sehat, berusaha mencega kepatahan
jiwa, mencegah berkembangnya macam-macam penyakit mental dan sebab musabab timbulnya
penyakit tersebut serta mengusahakan penyembuhan dalam stadium permulaan
Kesehatan mental adalah salah satu cabang dalam psikologi. Oleh karena itu pembicaraan
tentang teori-teori dalam kesehatan mental tidak dapat dipisahkan dengan teori-teori dalam
psikologi. Dalam kaitan ini akan dikemukakan beberapa teori yang menyangkut mental manusia
diantaranya; Teori Psikoanalisa, Behaviorisme, Eksistensialisme dan Teori Humanistic. 11
a. Teori Psikoanalisa
Para penganut Psikoanalisa berpendapat bahwa kesehatan mental yang wajar terletak pada
kesanggupan ”Aku yang Agung” untuk membuat sintesis antara berbagai alat-alat diri dan tuntutan
masyarakat. Atau pertarungan yang timbul antara alat-alat ini dan tuntutan-tuntutan realitas (Freud).
Tetapi mereka berpendapat bahwa manusia hanya sanggup mencapai sebagian saja kesehatan
mentalnya, ”sebab manusia tidak sanggup mncapai kebahagiaan dan kemajuan sekaligus”.12
Freud berpendapat bahwa kesehatan mental tentang manusia dimana manusia bertarung
terus menerus dengan kandungan-kandungan si ”Dia” dan tuntutan-tuntutan realitas dengan si
”Aku” harus menyelesaikan pertarungan itu. Akulah yang bertanggung jawab untuk memuaskan
dorongan-dorongan si Dia tanpa menentang tuntutan-tuntutan realitas.13

9
Lihat Hasan Langgulung, Teori-Teori Kesehatan Mental (Cet.I; Jakarta: Radar Jaya Offset Jakarta, 1986),h.
295
10
Lihat Kartini Kartono, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental Dalam Islam (Cet.VI; Bandung, CV Mandar
Maju, 1989), h.3-4
11
Sumardi Suryabrata, Psikologi Kepribadian (Cet.II; Jakarta CV. Rajawali, 1987), h. 77
12
Hasan Langgulung, op.cit., h. 18-19.
13
Ibid. h. 19

3
Kesehatan Mental
Selanjutnya beliau mengatakan bahwa perkembangan mental adalah belajar
mempergunakan cara-cara baru dalam mereduksikan tegangan yang timbul karena individu
menghadapi berbagai hal yang dapat menjadi sumber tegangan (tension) dan hal yang dapat
menimbulkan tegangan atau rasa tidak enak. Sering kali individu belajar, karena ingin mengurangi
atau menghilangkan rasa tidak enak. Itu dengan cara bertingkah laku seperti orang lain. Inilah yang
dimaksud dengan identifikasi.14
Kemudian Psikoanalisa sering ditafsirkan dalam tiga batas pengertian. Pertama, sebagai
suatu konsep toritik dalam ilmu perilaku yang menjelaskan struktur dan dinamika kepribadian
manusia. Kedua, suatu bentuk psikoterapi bagi gangguan jiwa. Ketiga, sebagai suatu teknik untuk
menelusuri pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan tak sadar manusia. Jadi konsep kepribadian
dalam teori ini diawali dengan pendapat Sigmund Freud tentang kehidupan manusia yang dikuasai
oleh alam ketidaksadarannya.15
Seorang tokoh dari aliran ini bernama Carl Gustav Jung juga semula murid Freud tidak
berbicara tentang mental kepribadian, tetapi berbicara tentang psike. Adapun yang dimaksud
dengan psike oleh Jung ialah segala peristiwa psikis, baik yang disadari maupun yang tidak disadari.
Jadi Psike dapat diartikan kepribadian. Menurut Jung kepribadian itu sendiri terdiri dari dua alam
yaitu : alam sadar dan alam tidak sadar. Kesadaran mempunyai dua kelompok yaitu fungsi jiwa dan
sikap jiwa yang keduanya mempunyai peranan masing-masing dalam orientasi manusia terhadap
dunianya.16
b. Teori Behaviorisme
Behaviorisme dianggap sebagai reaksi terhadap teori psikoanalisa. 17 Penganut aliran ini
berpendapat bahwa mempelajari pengalaman pribadi tentang asosiasi bebas atau tafsiran mimpi
tidak akan memberikan fakta-fakta ilmiah yang dapat diterima, karena sukar membuktikan
kebenaran persyaratan ini. Aliran behaviorisme melahirkan pendekatan yang sangat kontradiktif
dengan psikoanalisa yang memandang manusia sangat dipengaruhi oleh insting tak sadar dan
dorongan-dorongan nafsu rendah. Teori ini tidak mengakui konsepsi ketidaksadaran/kesadaran yang
menjadi inti dari psikoanalisa, namun lebih memandang aspek stimulus lingkungan yang bisa
membentuk perilaku manusia dangan sesuka hati lingkungan eksternal itu.18
Kebiasaan merupakan konsep dasar pada teori tentang tingkah laku, yaitu proses
kepribadian (personality). Seseorang memperoleh kebiasaan-kebiasaannya, yakni ia
mempelajarinya. Sedang kepribadian itu adalah susunan tertentu yang terdiri dari kebiasaan.
Susunan itulah yang menentukan tingkah laku seseorang dan membedakan kepribadian dari orang
lain. Teori ini menguatkan pentingnya faktor lingkungan yang dihadapi seseorang dalam
hidupnya.19
14
Sumardi Suryabrata, op.cit., h. 78
15
Lihat Elmira N. Sumintradja “Konsep Manusia Menurut Psikoanalisa: Eksplansi, Kritik dan Titik Temu
dengan Psikologi Islami” dalam Metodologi Psikologi Islami (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 23
16
Sumardi Suryabrata, op cit., h. 111
17
Mike W.Martin, From Morality to Mental Health Virtue and Vice in a Therapeutic Culture (Oxford: Oxford
University Press, 2006), h.16
18
Lihat Rismiyati.E.Koesma “Konsep Manusia Menurut Psikologi Behavioristik: Kritik dan Kesejalanan
dengan Konsep” dalam Metodologi.. op.cit.,h.56.
19
Hasan Langgulung,op.cit.h. 23.

4
Kesehatan Mental
Pendeknya teori ini memandang manusia sebagai satu susunan tertentu yang terdiri dari
kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh dan dipelajarinya. Olehnya itu ditekankan pentingnya faktor-
faktor lingkungan yang dihadapi oleh seseorang dalam perkembangannya, dan kegoncangan emosi
dan sosial adalah hasil dari salah satu faktor dari: (a) kegagalan mempelajari atau memperoleh
tingkah laku yang sesuai, (b) mempelajari pola-pola tingkah laku yang tidak sesuai atau penyakit,
dan (c) seseorang menghadapi suasana-suasana pertarungan yang menghendaki ia untuk
membedakan dan mengambil keputusan dimana ia merasa tidak sanggup mengerjakannya.
Jika seorang telah memperoleh kebiasaan yang sesuai dengan budaya masyarakatnya dan
menolong untuk hidup dengan dinamis, aktif dan berhasil dengan orang-orang lain, maka ia
memiliki kesehatan mental yang wajar. Sebaliknya, jika ia gagal memperoleh kebiasaan atau ia
memperoleh kebiasaan yang tidak sesuai dengan kebiasaan yang disetujui oleh masyarakat, maka
kesehatan mentalnya adalah buruk atau goncang emosinya.20
Dengan demikian dapat dipahami bahwa teori behaviorisme sangat mengagungkan
pengaruh lingkungan dalam membentuk perilaku manusia. Manusia dapat dikatakan pasif, karena
tergantung dari perlakuan yang diberikan lingkungan kepadanya.
c. Teori Eksistensialisme
Kesehatan mental menurut teori ini adalah agar manusia menikmati wujudnya. Manusia
menikmati wujudnya berarti ia mengetahui arti wujud ini, menyadari potensi-potensinya, dan
bahwa ia bebas untuk mencapai apa yang ia kehendaki dengan cara yang dipilihnya. Begitu juga ia
menyadari segi-segi kelemahannya dan menerimanya. Ia menyadari sifat-sifat hidup yang
mengandung pertentangan-pertentangan. Wujudnya pertentangan ini salah satu ciri-ciri kehidupan
ini, ia berhasil mencapai susunan nilai-nilai tertentu yang akan menjadi bingkai kehidupannya, dan
akhirnya ia kembali dari pengasingannya kepada ketentramannya. Manusia tidak sanggup mencapai
itu, kecuali jika ia menghadapi dirinya dengan jujur dan amanah atau berdiri telanjang di depan
cermin tanpa pakaian kepalsuan atau sarung dosa.21
Jadi aliran ini sangat pesimistis, sebab mereka menyadari kesulitan yang dihadapi manusia
untuk mencapai kesehatan mental yang wajar, terutama dalam kehidupan yang tidak
punyakeamanan dan ketentraman.
d. Teori Humanistik (kemanusiaan)
Teori Humanistik merasa kurang puas dengan eksplanasi tentang perilaku manusia menurut
psikoanalisa dan behavorisme. Kritiknya adalah mengapa konsepsi tentang perilaku manusia harus
dibangun pemahamannya melalui studi manusia yang tidak sehat mental dan manusia yang dapat
dibentuk seenaknya seperti tanah liat oleh lingkungannya? Bukankah manusia adalah mahkluk yang
bebas menentukan perkembangan dirinya menjadi sehat mental bila ia mendapat kesempatan,
sehingga ia dapat berperilaku optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya?22
Selanjutnya teori ini mengemukakan bahwa individu-individu dengan seluruh
kompleksitasnya dan segi pandangan ini diringkaskan dengan istilah ”personologi”, yang

20
Lihat Ibid.,h.24.
21
Ibid.,h.30-31 dan Rasmiyati,op.cit.,h. 58.
22
Elmira M.Sumintradja,op.cit.,h.41.

5
Kesehatan Mental
diciptakan oleh Murray (1983) untuk memberi usaha-usahanya sendiri dan usaha orang-orang lain
yang memiliki keprihatinan mendalam untuk memahami individu secara penuh. Secara konsisten ia
menekankan lainnya dalam pribadi berhubungan dengan fungsi yang lain.23 Manusia tidak dapat
menyatu dengan alam, mereka terisolasi dan kesepian. Agar dapat survive, manusia harus menyatu
dengan orang lain.24
Jadi teori humanistik tidak menolak mentah-mentah konsep yang mendukung mazhab atau
teori sebelumnya, tetapi sebenarnya berupaya untuk mengintegrasikan segi yang bermanfaat,
bermakna, dan dapat diterapkan bagi kemanusiaan.
Definisi-definisi kesehatan mental yang diungkap secara umum dengan menggunakan
berbagai konsep, sebagian menggunakan istilah penyesuaian dan yang lain menggunakan
penyesuaian terpadu, dan ada pula yang menggunakan konsep keterpaduan.
Keterlepasan dari teori-teori tersebut di atas, ada yang memberikan definisi kesehatan
mental sebagai penyesuaian sosial seseorang, seperti pendapat Boehm (1955) yang mengatakan
bahwa kesehatan mental adalah keadaan dan paras dinamisme seseorang dari segi sosial yang
membawa kepada pemuasan kebutuhan-kebutuhan. Jadi yang dimaksud kesehatan mental di sini
adalah keadaan seseorang yang menentukan dinamisme sosialnya. Definisi ini didasarkan atas
asumsi bahwa orang yang hidup bersama dengan orang lain karena bertujuan memuaskan berbagai
kebutuhannya. Semakin sanggup seseorang hidup bersama dengan orang lain dan memuaskan
kebutuhan-kebutuhannya tanpa membangkitkan kemarahan mereka, maka itulah tanda baiknya
penyesuaiannya dan selanjutnya menjadi bukti kesehatan mentalnya yang wajar.25
Selanjutnya ada beberapa tokoh yang memberikan definisi kesehatan mental sebagai
berikut:
Kilander (1965) mengatakan kesehatan mental seseorang dapat diukur dengan mengetahui
sejauh mana ia dapat memberi pengaruh pada lingkungannya, kesanggupan menyesuaikan diri
dengan kehidupan yang akan membawa kepada pemuasan pribadi, kemampuan dan kebahagiaan
yang wajar bagi seseorang.
Shoben (1965) berbeda sedikit dengan apa yang dikemukakan oleh Kilander. Ia berbicara
tentang penyesuaian terpadu yang ditentukan oleh berbagai sifat seperti kesanggupan menjaga diri,
rasa tanggung jawab pribadi, rasa tanggung jawab sosial, menaruh perhatian pada berbagai nilai-
nilai terutama nilai-nilai demokrasi.26
Al-Qoussy (1970) mengatakan bahwa kesehatan mental adalah perpaduan antara berbagai
fungsi-fungsi psikologis dengan kesanggupan menghadapi krisis-krisis psikologis yang biasa
menimpa manusia dan dengan perasaan positif terhadap kebahagiaan dan kepuasan. Istilah
perpaduan dimaksudkan pengumpulan unit-unit kecil ke dalam jumlah besar untuk membentuk unit
yang lebih besar. Di sisi lain pemaduan yang dimaksud beliau adalah penyesuaian yang sempurna

23
Sumadi Suryabrata,op.cit.,h.126.
24
Paulus Budiharjo,op.cit.,h.62.
25
Lihat Abd.Salam Abd Gaffar, Muqaddimah fi al-Sihhah al-Nafsiyah (Kaheran: Dar an-Nahdah al’Arabiyah,
1977), 167 dan lihat Hasan Langgulung, op.cit., h. 299.
26
Raymond F.Paloutzian Crystal L.Park, Handbook of The Psychology of Religion and Spirituality (New
York: The Guilford Press, 2005), h.167

6
Kesehatan Mental
di antara berbagai fungsi-fungsi psikologis dan bebasnya manusia dari pertarungan dari dalam.
Bebasnya seseorang dari pertarungan kerisauan dan keragu-raguan yang diakibatkannya, dan
kemampuannya menyelesaikan pertarungan itu bila ia terjadi, itulah syarat pertama kesehatan
mental. Itu dapat dicapai melalui falsafah agama atau sosial atau moral. . . Gejala-gejala kesehatan
mental pada definisi ini bukan hanya terbatas pada penyesusian psikologis seseorang, sebab fungsi
kehidupan psikologis dengan berbagai unsurnya adalah penyesuaian seseorang dengan suasana
lingkungan sosial dan pisik, dan tujuannya adalah pemuasan kebutuhan-kebutuhan manusia.27
Definisi ini menonjolkan pentingnya seseorang berpegang pada falsafah agama, sosial, atau
moral supaya ia dapat merasakan kebahagiaan. Dan orang yang betul-betul bahagia adalah yang
memiliki pribadi yang kuat, selalu mengejar tujuan yang mulia dan kebutuhan-kebutuhan serta
keingingan-keinginannya tidak bertentangan dengan kemaslahatan kemanusiaan.
Magarius (1974) menyatakan berbagai gejala aktivitas psikologis, yang dianggap merupakan
tanda-tanda kesehatan mental yang wajar. Menurut beliau kesehatan mental adalah kesediaan
seseorang menerima kesanggupannya secara realistik, kenikmatan seseorang menikmati hubungan-
hubungan sosialnya, kejayaan seseorang dalam pekerjaannya dan kerelaannya terhadap kerja
tersebut, kegembiraan hidup secara umum, kesanggupan menghadapi kekecewaan-kekecewaan
hidup sehari-hari, kesanggupan memuaskan kebutuhan-kebutuhan dan motif-motif, ketetapan sikap,
kesanggupan memikul tanggung jawab pekerjaan dan keputusan serta keseimbangan emosi.28
Maslow (1972) menyatakan indikator terhadap kesehatan mental yang wajar adalah bahwa
orang itu adalah manusia yang sempurna sebab ia bertalian dengan sejumlah nilai-nilai, di antaranya
adalah kejujuran kepada diri sendiri dan kepada orang lain, keberanian menyatakan apa yang
dianggap benar, bekerja keras, menunaikan kerja yang harus ditunaikannya, mengetahui siapa
dirinya, apa keinginannya, apa yang disukainya, mengetahui apa yang baik baginya . . . dan
menerima itu semua tanpa menggunakan cara membela diri yang bertujuan merusak fakta yang
sebenarnya.29
Zakiah Darajat memberikan pengertian kesehatan mental sebagai berikut: 1. Kesehatan
mental adalah terhindarnya orang dari gejala-gejala gangguan jiwa (neurose) 2. Kesehatan mental
adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri dengan orang lain dan masyarakat
serta lingkungan dimana dia hidup dan berinteraksi. 3. Kesehatan mental adalah pengetahuan dan
perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan
pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang
lain serta dari gangguan-gangguan dan penyakit jiwa 4. Kesehatan mental adalah terwujudnya
keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan
untuk menghadapi problem-problem biasa yang terjadi dan merasakan secara positif kebahagiaan
dan kemampuan diri.30

27
Lihat Al-Qoussy, Usus al-Sihhah al-Nafsiyah (Kairo: Dar al-Nahdah al-Misriyah, 1970), h. 274
28
Lihat Magarius, al-Sihhah al-Madrasiyah wa al- ‘Amal al-Madrasi (Kairo: al-Nahdah al-Misriyah, 1974), h.
73- 80.
29
Lihat Maslow, The Further Reaches of Human Nature (New York: The Viking Press, 1972), h. 45-51 dan
lihat dalam Hasan Langgulung, op.cit. h. 304
30
Lihat Zakiah Darajat, op.cit., h. 6

7
Kesehatan Mental
Jadi dalam hal ini Kesehatan mental adalah keserasian atau kesesuaian antara seluruh aspek
psikologis yang dimiliki oleh seseorang untuk dikembangkan secara optimal agar individu mampu
melakukan kehidupan-kehidupannya sesuai dengan tuntutan-tuntutan atau nilai-nilai yang berlaku
secara individual, kelompok maupun masyarakat luas sehingga sehat baik secara mental maupun
secara sosial.
Dari pemikiran tersebut di atas, maka muncul pula pengertian mengenai kesehatan dalam
beragam ungkapnya. Pengertian sehat atau kesehatan menurut dokter mungkin sedikit banyak akan
berbeda dengan perawat, fisioterapi, apoteker atau tenaga paramedis lainnya, meskipun mereka
bersama-sama mengabdi pada bidang kesehatan.
Adapun pengertian tentang kesehatan dalam indeks buku The International Dictionary Of
Medicine and Biology (Freund,1991) mendefinisikan kesehatan sebagai suatu kondisi yang dalam
keadaan baik dari suatu organisme atau bagiannya yang dirincikan oleh fungsi yang normal dan
tidak adanya penyakit. WHO mendefinisikan kesehatan sebagai keadaan (status) sehat utuh secara
fisik, mental (rohani) dan sosial, bukan hanya suatu keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan
kelemahan (Smeet, 1994). Pembahasan mengenai konsep kesehatan lebih difokuskan pada model-
model kesehatan yang muncul. Model-model kesehatan itu antara lain model barat dan model timur.
Menurut Eisenberg (Helman, 1990) yang dimaksud dengan model adalah cara merekonstruksi
realita, memberikan makna kepada fenomena-fenomena alam yang pada dasarnya bersifat chaos.
Model kesehatan barat dapat dibedakan menjadi beberapa macam yaitu model biomedis atau sering
disebut sebagai model medis ( Joesoet, 1990; Freund, 1991; Helman, 1990; Tamm, 1993), model
spikiatris (Helman, 1990) dan model psikosomatis (Tamm, 1993) sedangkan model kesehatan timur
umumnya disebut model kesehatan holistik (Joesoet, 1990) yang menekankan pada keseimbangan
(Helman,1990).
Model biomedis (Freud, 1991) memiliki 5 asumsi. 1.Terdapat perbedaan yang nyata antara
tubuh dan jiwa sehingga penyakit diyakini berada pada suatu bagian tubuh tertentu. 2.Bahwa
penyakit dapat direduksi pada gangguan fungsi tubuh, entah secara biokimia atau neurofisiologi.31
3.Keyakinan bahwa setiap penyakit disebabkan oleh suatu agen khusus yang secara potensial dapat
didefinisikan. 4.Melihat tubuh sebagai suatu mesin. 5.Konsep bahwa obyek yang perlu diatur dan
dikontrol.
Asumsi ini merupakan kelanjutan dari asumsi bahwa tubuh adalah suatu mesin yang perlu
mendapatkan pemeliharaan. Model psikosometik menyatakan penyakit berkembang melalui saling
terkait secara berkesinambungan antara faktor fisik dan mental yang saling memperkait satu sama
lain melalui jaringan yang kompleks. Holisme dalam arti yang sempit melihat organisme manusiawi
sebagai suatu sistem kehidupan yang semua komponennya saling terkait dan saling tergantung.
Sementara menurut arti luas pandangan holistis menyadari bahwa sistem tersebut merupakan suatu
bagian integral dari sistem-sistem yang luas dimana organisme individu berinteraksi terus menerus
dengan lingkungan fisik dan sosialnya yaitu tetap terpengaruh oleh lingkungan. Seseorang
dikatakan sehat tidak cukup dilihat hanya dari segi fisik, psikologis dan sosial saja, tapi juga harus
31
Robert H.Frank, What Price the Moral High Ground ? Ethical Dilemmas in Competitive Environments
(Oxford: Princeton University Press, 2004), h. 7

8
Kesehatan Mental
dilihat dari segi spiritual dan agama. Inilah yang kemudian disebut Dadang Hawari sebagai dimensi
sehat itu, yaitu : Bio-psiko-sosial-spiritual.
Jadi seseorang yang sehat mentalnya tidak hanya sebatas pengertian terhindarnya dia dari
gangguan dan penyakit jiwa baik neurosis maupun psikosis, melainkan patut pula dilihat sejauh
mana seseorang itu mampu menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan lingkungannya, mampu
mengharmoniskan fungsi-fungsi jiwanya, sanggup mengatasi problem hidup termasuk kegelisahan
dan konflik batin yang ada, serta sanggup mengaktualisasikan potensi dirinya untuk mencapai
kebahagiaan.32
Istilah kesehatan mental sendiri memperoleh pengertian yang beragam seiring
perkembangannya: 1. Sebagai kondisi atau keadaan sebagaimana gambaran di atas. 2. Sebagai ilmu
pengetahuan cabang dari ilmu psikologi yang bertujuan mengembangkan potensi manusia seoptimal
mungkin dan menghindarkannya dari gangguan dan penyakit kejiwaan. Seseorang dapat berusaha
memelihara kesehatan mentalnya dengan menegakkan prinsip-prinsipnya dalam kehidupan, yaitu :
1. Mempunyai self image atau gambaran dan sikap terhadap diri sendiri yang positif. 2. Memiliki
interaksi diri atau keseimbangan fungsi-fungsi jiwa dalam menghadapi problema hidup termasuk
stress. 3. Mampu mengaktualisasikan secara optimal guna berproses mencapai kematangan. 4.
Mampu bersosialisasi dan menerima kehadiran orang lain 5. Menemukan minat dan kepuasan atas
pekerjaan yang dilakukan 6. Memiliki falsafah atau agama yang dapat memberikan makna dan
tujuan bagi hidupnya. 7. Mawas diri atau memiliki kontrol terhadap segala kegiatan yang muncul 8.
Memiliki perasaan benar dan sikap yang bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kesehatan mental itu dikelompokkan kedalam enam
kategori, yaitu:1. Memiliki sikap batin (Attidude) yang positif terhadap dirinya sendiri, 2.
Aktualisasi diri, 3. Mampu mengadakan integrasi dengan fungsi-fungsi yang psikis 4. Mampu
berotonom terhadap diri sendiri (Mandiri), 5. Memiliki persepsi yang obyektif terhadap realitas
yang ada serta 6. Mampu menselaraskan kondisi lingkungan dengan diri sendiri.

B. Sejarah Kesehatan Mental


Seperti kesehatan fisik, kesehatan mental merupakan aspek sangat penting bagi setiap fase
kehidupan manusia. Kesehatan mental terentang dari yang baik sampai dengan yang buruk. Setiap
orang, mungkin dalam hidupnya mengalami kedua sisi rentangan tersebut, kadang-kadang keadaan
mentalnya sangat sehat, tetapi di lain waktu justru sebaliknya. Pada saat mengalami masalah
kesehatan mental, seseorang membutuhkan pertolongan orang lain untuk mengatasi masalah yang
dihadapinya tersebut. Kesalahan mental dapat memberikan dampak terhadap kehidupan sehari-hari
atau masa depan seseorang termasuk anak-anak dan remaja. Merawat dan melindungi kesehatan
mental anak-anak merupakan aspek yang sangat penting yang dapat membantu perkembangan anak
yang lebih baik di masa depan.
Untuk mengetahui sejarah kesehatan mental, berikut ini akan diuraikan mulai dari masa pra
ilmiah sampai dengan sekarang.

32
Lihat Dadang Hawari, Al-Quran Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa (Cet.XI; Jakarta: PT.Dana
Bhakti Prima Yasa, 2004), h. 413- 415

9
Kesehatan Mental
1.     Era pra Ilmiah
a.      Kepercayaan Animisme
Sejak zaman dulu sikap terhadap gangguan kepribadian atau mental  telah muncul dalam
konsep primitif animeisme, ada kepercayaan bahwa dunia ini diawasi atau dikuasai oleh roh-roh
atau dewa-dewa. Orang primitif percaya bahwa angin bertiup, ombak mengalun, batu berguling,
dan pohon tumbuh karena pengaruh roh yang tinggal dalam benda-benda tersebut. Orang yunani
percaya bahwa gangguan mental terjadi karena dewa marah dan membawa pergi jiwanya. Untuk
menghindari kemarahannya, maka mereka mengadakan perjamuan pesta (sesaji) dengan mantra
dari korban.
b. Kemunculan Naturalisme
Perubahan sikap terhadap tradisi animisme terjadi pada zaman Hipocrates (460-467). Dia
dan pengikutnya mengembangkan pandangan revolusioner dalam pengobatan, yaitu dengan
menggunakan pendekatan ”Naturalisme”, suatu aliran yang berpendapat bahwa gangguan mental
atau fisik itu merupakan akibat dari alam. Hipocrates menolak pengaruh roh, dewa, sistim atau
hantu sebagai penyebab sakit. Dia menyatakan: ”Jika anda memotong batok kepala, maka anda
akan menemukan otak yang basah, dan memicu bau yang amis, akan tetapi anda tidak akan melihat
roh, dewa atau hantu yang melukai badan anda”. Ide naturalistik ini kemudian dikembangkan oleh
Galen, seorang tabib dalam lapangan pekerjaan pemeriksaan atau pembedahan hewan. Dalam
perkembangan selanjutnya, pendekatan naturalistik ini tidak dipergunakan lagi di kalangan orang-
orang Kristen. Seorang dokter Perancis, Philipe Pinel (1745-1826) menggunakan filsafat politik dan
sosial yang baru untuk memecahkan problem penyakit mental. Dia telah terpilih menjadi kepala
Rumah Sakit Bicetre di Paris. Di rumah sakit ini, para pasiennya (yang maniac) dirantai, diikat di
tembok dan di tempat tidur. Para pasien yang telah dirantai selama 20 tahun atau lebih, badan
mereka dipandang sangat berbahaya dibawa jalan-jalan di sekitar rumah sakit. Akhirnya, di antara
mereka banyak yang berhasil, mereka tidak menunjukkan lagi kecenderungan untuk melukai atau
merusak dirinya sendiri.33
2.     Era Ilmiah (Modern)
Perubahan yang sangat berarti dalam sikap dan era pengobatan gangguan mental, yaitu dari
animisme (ir-rasional) dan tradisional ke sikap dan cara yang rasional (ilmiah), terjadi pada saat
berkembangnya Psikologi Abnormal dan psikiatri di Amerika Serikat, yaitu pada tahun 1783. ketika
itu Benyamin Rush (1745-1813) menjadi anggota staf medis di rumah sakit Penisylvania. Di rumah
sakit ini ada 24 pasien yang dianggap sebagai ”lunaties” (orang-orang gila atau sakit ingatan). Pada
waktu itu sedikit sekali pengetahuan tentang penyakit kegilaan tersebut, dan kurang mengetahui
bagaimana menyembuhkannya. Sebagai akibatnya, pasien-pasien tersebut dikurung dalam sel yang
kurang sekali alat ventilasinya, dan mereka sekali-sekali digugur dengan air.
Rush melakukan usaha yang sangat berguna untuk memahami orang-orang yang menderita
gangguan mental tersebut. Cara yang ditempuhnya adalah dengan melalui penulisan artikel-artikel
dalam koran, ceramah, dan pertemuan-pertemuan lainnya. Akhirnya, setelah usaha itu dilakukan

33
Lihat dalam Ibid., h. 387-388

10
Kesehatan Mental
(selama 13 tahun), yaitu pada tahun 1796 di rumah mental. Ruangan ini dibedakan untuk pasien
wanita dan pria. Secara berkesenambungan, Rush mengadakan pengobatan kepada para pasien
dengan memberikan dorongan (motivasi) untuk mau bekerja, rekreasi, dan mencari kesenangan.34
Perkembangan psikologi abnormal dan pskiatri ini memberikan pengaruh kepada lahirnya
Mental Hygiene yang berkembang menjadi suatu ”Body Of Knowledge” berikut gerakan-gerakan
yang teorganisir. Perkembangan kesehatan mental dipengaruhi oleh gagasan, pemikiran dan
inspirasi para ahli, dalam hal ini terutama dari dua tokoh perintis, yaitu Dorothea Lynde Dix dan
Clifford Whittingham Beers. Kedua orang ini banyak mendedikasikan hidupnya dalam bidang
pencegahan gangguan mental dan pertolongan bagi orang-orang miskin dan lemah. Dorthea Lynde
Dix lahir pada tahun 1802 dan meninggal dunia tanggal 17 Juli 1887. Dia adalah seorang guru
sekolah di Massachussets, yang menaruh perhatian terhadap orang-orang yang mengalami
gangguan mental. Sebagian perintis (pioner), selama 40 tahun dia berjuang untuk memberikan
pengorbanan terhadap orang-orang gila secara lebih manusiawi.
Usahanya mula-mula diarahkan pada para pasien mental di rumah sakit. Kemudian diperluas
kepada para penderita gangguan mental yang dikurung di rumah-rumah penjara. Pekerjaan Dix ini
merupakan faktor penting dalam membangun kesadaran masyarakat umum untuk memperhatikan
kebutuhan para penderita gangguan mental. Berkat usahanya yang tak kenal lelah, di Amerika
Serikat didirikan 32 rumah sakit jiwa, dimana dia layak mendapat pujian sebagai salah seorang
wanita besar di abad 19. Pada tahun 1909, gerakan kesehatan mental secara formal mulai muncul.
Selama dekade 1900-1909 beberapa organisasi kesehatan mental telah didirikan, seperti: American
Social Hygiene Associatin (ASHA), dan American Federation for Sex Hygiene.35
Perkembangan  gerakan-gerakan dibidang kesehatan mental ini tidak lepas dari jasa Clifford
Whittingham Beers (1876-1943). Bahkan, karena jasa-jasanya itulah, dia dinobatkan sebagai ”The
Founder Of The Mental Hygiene Movement”. Dia terkenal karena pengalamannya yang luas dalam
bidang pencegahan dan pengobatan gangguan mental dengan cara yang sangat manusiawi. Dedikasi
Beers yang begitu kuat dalam kesehatan mental, dipengaruhi juga oleh pengalamannya sebagai
pasien di beberapa rumah sakit jiwa yang berbeda. Selama di rumah sakit, dia mendapatkan
pelayanan atau pengobatan yang keras dan kasar (kurang manusiawi). Kondisi seperti ini terjadi,
karena pada masa itu belum ada perhatian terhadap masalah gangguan mental, apalagi
pengobatannya.
Setelah dua tahun mendapatkan perawatan di rumah sakit dia mulai memperbaiki dirinya,
dan selama tahun terakhirnya sebagai pasien, dia mulai mengembangkan gagasan untuk membuat
suatu gerakan untuk melindungi orang-orang yang mengalami gangguan mental atau orang gila
(insane). Setelah dia kembali dalam kehidupan yang normal (sembuh dari penyakitnya), pada tahun
1908 di menindaklanjuti gagasannya dengan mempublikasikan sebuah tulisan autobiografinya
sebagai, mantan penderita gangguan mental, yang berjudul ”A Mind That Found It Self”. Kehadiran
buku ini disambut baik oleh Willian James, sebagai seorang pakar psikologi. Dalam buku ini, dia
memberikan koreksi terhadap program pelayanan, perlakuan atau ”treatment” yang diberikan

34
Lihat dalam Maslow, op.cit., h. 313
35
Lihat dalam Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama (Cet.XVIII; Jakarta: Bulang Bintang, 2005), h. 7-8

11
Kesehatan Mental
kepada para pasien di rumah sakit-rumah sakit yang dipandangnya kurang manusiawi. Disamping
itu dia melupakan reformasi terhadap lembaga yang diberikan perawatan gangguan mental.
Beers meyakini bahwa penyakit atau gangguan mental dapat dicegah atau disembuhkan.
Selanjutnya dia merancang suatu program yang bersifat nasional yang bertujuan:
1.   Mereformasi program perawatan dan pengobatan terhadap orang-orang pengidap penyakit
jiwa.
2.  Melakukan penyebaran informasi kepada masyarakat agar mereka memiliki pemahaman dan
sikap yang positif terhadap para pasien yang mengidap gangguan atau penyakit jiwa.
3.   Mendorong dilakukannya berbagai penelitian tentang kasus-kasus dan pengobatan gangguan
mental.
4.   Mengembangkan praktek-praktek untuk mencegah gangguan mental.36
Program Beers ini ternyata mendapat respon positif dari kalangan masyarakat, terutama
kalangan para ahli, seperti William James dan seorang Psikiatris ternama, yaitu Adolf Mayer.
Begitu tertariknya terhadap gagasan Beers, Adolf Mayer menyarankan untuk menamai gerakan itu
dengan nama ”Mental Hygiene”. Dengan demikian, yang mempopulerkan istilah ”Mental Hygiene”
adalah Mayer. Belum lama setelah buku itu diterbitkan, yaitu pada tahun 1908, sebuah organisasi
pertama, didirikan, dengan nama ”Connectievt Society For Mental Hygiene”. Satu tahun kemudian,
tepatnya pada tanggal 19 Februari 1909 didirikan ”National Community Society For Mental
Hygiene”, 37di sini Beers diangkat menjadi sekretarisnya.
Organisasi ini bertujuan: Melindungi kesehatan mental masyarakat, menyusun standar
perawatan para pengidap gangguan mental, meningkatkan studi tentang gangguan mental dalam
segala bentuknya dan berbagai aspek yang terkait dengannya. Menyebarkan pengetahuan tentang
kasus gangguan mental, pencegahan dan pengobatannya dan mengkoordinasikan dengan lembaga-
lembaga perawatan yang ada.
Terkait dengan perkembangan gerakan kesehatan mental ini, Deutsch mengemukakan
bahwa pada masa dan pasca Perang Dunia I, gerakan kesehatan mental ini mengkonsentrasikan
programnya untuk membantu mereka yang mengalami masalah serius. Setelah perang usai, gerakan
kesehatan mental semakin berkembang dan cakupan garapannya meliputi berbagai bidang kegiatan,
seperti: pendidikan, kesehatan masyarakat, pengobatan umum, industri, kriminologi dan kerja
sosial.
Secara hukum, gerakan kesehatan mental ini mendapatkan pengukuhannya pada tanggal 3
Juli 1946, yaitu ketika Presiden Amerika Serikat menandatangani ”The National Mental Health
Act”. Dokumen ini merupakan bluprint yang komprehensif, yang berisi program-program jangka
panjang yang diarahkan untuk meningkatkan kesehatan mental seluruh warga masyarakat.
Beberapa tujuan yang terkandung dalam dokumen tersebut itu meliputi: Meningkatkan
kesehatan mental seluruh warga masyarakat Amerika Serikat, melalui penelitian, investigasi,
eksperimen penanganan kasus-kasus, diagnosis dan pengobatan. Membantu lembaga-lembaga
pemerintah dan swasta yang melakukan kegiatan penelitian dan meningkatkan koordinasi antara
36
Lihat Ibid., h.9
37
Bandingkan dengan Maslow, op.cit., h. 317-318

12
Kesehatan Mental
para peneliti dalam melakukan kegiatan penelitian dan meningkatkan kegiatan dan mengaplikasikan
hasil-hasil penelitiannya. Memberikan latihan terhadap para personel tentang kesehatan mental, dan
mengembangkan serta membantu negara dalam menerapkan berbagai metode pencegahan,
diagnosis, dan pengobatan terhadap para pengidap gangguan mental38
Pada tahun 1950 organisasi kesehatan mental terus bertambah, yaitu dengan berdirinya
”National Association For Mental Health” yang bekerjasama dengan tiga organisasi swadaya
masyarakat lainnya, yaitu ”National Committee For Mental Hygiene”, ”National Mental Health
Foundation”, dan ”Psychiatric Foundation”. Gerakan kesehatan mental ini terus berkambang,
sehingga pada tahun 1075 di Amerika Serikat terdapat lebih dari seribu tempat perkumpulan
kesehatan mental. Di belahan dunia lainnya, gerakan ini dikembangkan melalui ”The World
Federation For Mental Health” dan “The World Health Organization”.39

Sejarah Kegilaan dan Konstruksi Kebenaran


Anda mungkin ingat, pada tahun 2002, sebuah film berjudul A Beautiful Mind John Nash
peraih Nobel matematika yang juga penderita schizophrenia.40 Asal tahu saja, film itu lalu dikritik
habis-habisan oleh beberapa pengamat film dan perusahaan film pesaing, gara-gara dianggap
mengabaikan sisi homoseksualitas dan kecenderungan anti-Semit yang ada pada diri Nash.
Sementara itu, penulis biografi Nash, Sylvia Nasar, meskipun membelanya namun ia malah menulis
bahwa karya-karya tulis anti-Semit dari Nash lebih merupakan wujud dari sakit jiwanya ketimbang
kefanatikannya, dinominasikan meraih piala Oscar. Kisah dalam film tersebut adalah karya
Pernyataan para pengkritik Nash ini, bahkan juga penulis biografinya (yang tampak
membelanya) adalah contoh gambaran nyata tentang citra negatif dan perlakuan yang tidak
mengenakkan terhadap orang yang mengalami schizophrenia, yang malahan disebut oleh penulis
biografi Nash sebagai sakit jiwa. Bukan hanya itu, perilaku homoseksual dianggap sebagai praktek
yang menyimpang dan abnormal sehingga perlu dikenai sanksi sosial, atau setidaknya
disembuhkan.

Nasib Orang Gila dalam Keseharian.


Dalam kehidupan sehari-hari kisah lain tentang orang gila, orang yang mengalami masalah
kejiwaan atau kelainan mental seperti penderita psikosis, schizophrenia, stress, depresi, dan
sebagainya seringkali mengalami nasib yang jauh mengenaskan. Gejala-gejala seperti ini dipandang
sebagai penyakit yang secara medis perlu disembuhkan. Masih beruntung bagi seorang Nash.
Orang-orang yang selama ini dibilang gila dan tidak waras oleh masyarakat berkeliaran di pinggiran
jalan dan menjadi obyek cemohan. Mereka berada dalam kondisi yang benar-benar menyedihkan.
38
Lihat dalam Yusuf Syamsu, Mental Hygiene Perkembangan Kesehatan Mental dalam Kajian Psikologi dan
Agama (Bandung: Pusta Bani Quraisy ,2004), h. 5-8
39
Bandingkan dengan Maslow,op.cit., h. 323-324
40
Skizofrenia merupakan penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan pada dopamin yaitu salah satu sel
kimia dalam otak. Ia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons
emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah)
dan haluninasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra). Lihat selengkapnya dalam Dadang Hawari, op.cit., h.592-594

13
Kesehatan Mental
Orang-orang gila ini seringkali dikonsepsikan sebagai mereka yang menyimpang dari mayoritas
masyarakat. Mereka dianggap defiant dalam kategori abnormal. Terhadap mereka, masyarakat
menghardiknya sementara pemerintah pun menyingkirkannya, setidaknya mengasingkannya secara
tidak manusiawi. Di Jakarta dan di kota-kota metropolitan pada umumnya, mereka dianggap
sebagai sampah yang mengganggu keindahan, kenyamanan, dan ketertiban kota. Tidak jarang kita
jumpai aparat Trantib pemerintah daerah setempat menggaruk mereka tanpa rasa prikemanusiaan
sedikitpun.
Perlakuan buruk masyarakat dan aparat pemerintah terhadap orang-orang yang disebut gila
ini ternyata juga tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh kalangan akademis dan orang-
orang terpelajar yang menempuh studi bidang kedokteran. Atas nama penelitian ilmiah, kegilaan
dipahami dan diajarkan sebagai penyakit yang harus disembuhkan secara medis. Mereka, para ahli
psikiatri, sibuk menciptakan kategori-kategori dan definisi-definisi kegilaan berikut cara-cara
penanganannya. Melalui definisi dan kategori itu lantas mereka merasa berhak menentukan mana
orang gila dan mana yang waras, siapa yang sehat dan siapa yang sakit, serta siapa yang normal dan
siapa yang abnormal. Pada gilirannya lalu mereka mengintrodusir mekanisme-mekanisme tertentu
dan berbeda tentang bagaimana seharusnya memperlakukan mereka. Perlakuan terhadap orang gila
yang semena-mena ini biasanya ditentukan oleh persepsi dan konsepsi masyarakat atau pemerintah
terhadap kegilaan. Oleh karena itu sebuah konsepsi yang keliru tentang kegilaan pasti akan
membuahkan penanganan yang keliru pula. Dan pada gilirannya cara penanganan yang salah ini
akan menyebabkan orang yang mengalami kegilaan sendiri malah bertambah menderita, bukannya
dipulihkan.
Dalam sajian ini saya ingin menunjukkan bahwa dalam sejarahnya konsep kegilaan telah
dipahami secara berbeda-beda oleh masyarakat. Setiap masa dan periode memiliki konsep tersendiri
mengenai kegilaan dan bagaimana ia harus ditangani, serta bagaimana dampak penanganan itu bagi
penderita sendiri. Paparan ini sekaligus memperlihatkan bahwa konsep kegilaan sebagai penyakit
yang harus disembuhkan secara medis adalah fenomena baru dalam dunia modern sekarang ini.
Demikian juga kategori-kategori abnormalitas dan menyimpang merupakan konstruksi sosial yang
telah menjadi mitos. Sebuah mitos rasionalitas yang dibangun oleh aparat-aparat kemajuan, rezim
pengetahuan, dan modernisme. Dalam hal ini tidak bisa tidak kita berhutang jasa pada Michel
Foucault yang berhasil menggali bukti sejarah melalui serangkaian penelitiannya tentang sejarah
kegilaan di Eropa.41
Konsep kegilaan dalam lembaran sejarah: Orang Gila dan Penyakit Lepra Pada abad
Tengah, sebelum abad ke-15. Di Eropa orang-orang gila dihubungkan dengan terjadinya
penghilangan dan pengeksklusian terhadap para penderita lepra dari masyarakat umum, dan mereka
ditempatkan pada rumah-rumah sakit terpisah. Di seluruh daerah kekristenan ternyata jumlah rumah
sakitnya mencapai 19.000 buah. Sekitar tahun 1226 ketika Louis VIII membuat undang-undang
rumah sakit lepra bagi Perancis, lebih dari 2000 kantor pendaftaran muncul. Di keuskupan Paris
sendiri terdapat 43 kantor. Dua kantor paling besar sekitar Paris adalah Saint-Germain dan Saint-

41
Lihat selengkapnya dalam Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa . . .op.cit., h. 27-29

14
Kesehatan Mental
Lazare. Sementara itu pada abad ke-12, Inggris dan Skotlandia memiliki sedikitnya 220 rumah sakit
bagi setengah juta penduduknya. Lalu memasuki abad ke-15 semua rumah sakit itu perlahan-lahan
mulai kosong. Dengan mulai menghilangnya penyakit lepra ini di Eropa, masyarakat
menyelenggarakan pesta sukacita dan syukuran yang sangat meriah. Namun sesuatu telah berubah.
Ada fenomena baru yang muncul seiring dengan menghilangnya lepra. Pada abad berikutnya kantor
Saint-Germain di Paris bergeser menjadi tempat untuk mereformasi anak-anak nakal. Sementara itu
di Inggris institusi-institusi rumah sakit itu digunakan untuk menangani orang-orang miskin.
Adapun di Stuttgart Jerman, sebuah laporan pengadilan tahun 1589 mengindikasikan bahwa selama
lima puluh tahun tidak ada lagi penderita lepra di rumah-rumah sakit. Tapi di Lipplingen, rumah
sakit lepra berubah dipakai untuk menampung orang-orang yang tidak bisa disembuhkan dan orang-
orang gila.42
Pada awal abad ke-17, lepra benar-benar lenyap dari daratan Eropa. Meski demikian ada hal
yang masih tersisa yang menarik dari hilangnya lepra ini dan terus berlanjut ke periode berikutnya.
Yakni suatu struktur yang tetap tinggal dalam imaji-imaji masyarakat yang dilekatkan pada ciri
penderita lepra, yakni struktur pengucilan atau eksklusi itu sendiri. Mengapa struktur ini masih
bertahan meski penderita lepra telah tiada?. Berlanjutnya “tradisi” pengucilan ini sebenarnya bisa
ditemukan akarnya pada kosmologi gereja abad pertengahan yang mengenal konsep penyerahan diri
sebagai kunci penyelamatan. Penyakit merupakan tanda kemarahan sekaligus anugerah Tuhan.
Menerima dengan sabar segala penderitaan serta menerima konsekuensi pengucilan akibat
penyakitnya memiliki makna sebentuk komuni kepada Allah. Pandangan semacam inilah yang ikut
memungkinkan struktur pengucilan itu terus terjadi dan “direproduksi” bersamaan dengan
kepercayaan reintegrasi spiritual Gereja. Dengan demikian sebenarnya hilangnya penderita lepra ini
telah menyebabkan kekosongan obyek pemberlakuan hukum moral dalam spiritual Gereja,
sehingga konsekuensinya nilai-nilai moral yang semula dikenakan kepada penderita lepra yang kini
telah lenyap harus mendapatkan kambing hitam lainnya. Pertanyaannya siapa kambing hitamnya?
Mari kita ikuti kisah orang gila pada abad berikutnya.
Orang gila dan parodi kritik sosial memasuki periode renaisans, kisah tentang orang-orang gila
mulai beragam. Dalam beberapa karya sastra klasik digambarkan mengenai orang-orang gila yang
yang dinavigasikan dalam kapal di lautan. Namun gambaran kapal-kapal itu bersifat romantik dan
satiris yang secara simbolis membawa orang-orang gila ke pulau keberuntungan dan kebenaran
mereka. Di antara karya-karya ini adalah Symphorien Champier yang memadukan Ship of Princes
and Battles of Nability pada tahun 1502 dengan Ship of Virtous Ladies tahun 1503. Terdapat juga
Ship of Health bersama dengan Bauwe Schute Jacob van Oestvoren tahun 1413. Adapun dalam
Narranschiff, orang-orang gila itu bebas berlayar dari kota ke kota. Mereka berlayar dengan mudah
dan diijinkan mengembara di daerah terbuka. Pada masa renaisance ini, orang-orang gila
diperlakukan secara baik, dirawat sedemikian rupa di tengah-tengah warga kota, seperti di Jerman.
Selain itu bahtera-bahtera ziarah dan kargo-kargo menjadi perlambang orang-orang gila yang
tengah mencari rasionya. Masa ini disebut juga “fase ambang” bagi orang-orang gila. Mereka yang

42
Bandingkan dengan Zakiah Darajat dalam “Kesehatan Mental” op.cit., h. 17-24 dan Dadang Hawari, op.cit., h.
115-116.

15
Kesehatan Mental
di samping sebagai tahanan, juga memiliki ruang bebas. Dalam karya sastra, semisal Praise of
Folly karangan Erasmus, dan The Cure of Madnes dan Ship of Fools karangan Hieronymus Bosch,
kegilaan sering dimainkan sebagai parodi atau satire dalam pertunjukan drama-drama. Justeru
mereka yang dilekati status gila adalah mereka yang dengan keanehannya membawa kabar
kebenaran dan pesan kebijaksanaan. Foucault menyebutnya orang-orang yang dikaruniai hikmat.
Orang gila, orang bodoh atau orang tolol inilah yang justeru memiliki eksistensi penting sebagai
penjaga moral dan kebenaran. Dalam spontanitas parodi, mereka melontarkan kritisisme sosial dan
moral. Mereka menjungkirbalikkan norma-norma, asumsi-asumsi, dan pandangan-pandangan
umum yang dianut masyarakat. Orang gila macam ini dibiarkan berkeliaran. Ia menjadi
lambang/simbol kebijaksanaan, atau semacam Kebodohan yang melawan dan berdialog dengan
supermasi kepintaran rasio. Orang Gila dan Hospital Generale seiring bergulirnya waktu, makna
positif kegilaan era renaisans yang menandai dialog kritis antara “kebodohan” dan rasio ini pelan-
pelan lenyap. Tema-tema kapal kegilaan berakhir dan muncullah tema “Rumah Sakit Jiwa”. 43
Pada abad ke-17 terjadi pergeseran makna dan posisi orang-orang gila ini. Di Paris, Inggris,
Skotlandia, dan juga Jerman, tiba-tiba secara serentak hampir bersamaan, orang-orang gila
ditempatkan dalam “Hospital Generale”; sebuah rumah pengurungan yang dibangun atas biaya
pemerintah.
Di Paris, pendirian Hospital Generale ini sengaja didekritkan pada tahun 27 April 1656.
Bersamaan dengan itu, gudang-gudang senjata, rumah tinggal, balai-balai kota, dan rumah-rumah
sakit difungsikan sebagai rumah pengurungan. Ruang di mana orang miskin Paris, orang-orang
cacat dengan segala jenis kelamin dan keturunan, dalam kondisi sehat atau tidak sehat ditempatkan
di dalamnya. Pinel, misalnya menemukan orang-orang gila dalam Hospital Generale di Bicetre
(rumah prajurit) dan La Salpetriere (gudang senjata). Di sana hukuman dan represi diberlakukan
dengan sadis oleh raja, polisi dan pengadilan.
Di Paris, Hopital Generale ini sama sekali tidak terkait dengan dengan suatu konsep medis
tertentu untuk merawat orang-orang gila, melainkan kekuasaan. Kenyataan ini ditunjukkan dari
peristiwa pembubaran Pusat Yayasan Sosial Gereja Seluruh Negara (Grand Almonry of the Realm)
yang bertugas memberi bantuan sosial dan kesejahteraan kepada masyarakat oleh penguasa raja..
Dengan penghapusan ini diharapkan pemerintah akan lebih leluasa menerapkan proses pengurungan
tanpa intervensi hukum dari lembaga-lembaga lain. Dengan demikian sesungguhnya Hospital
Generale tidak lain merupakan instansi aturan dari tatanan monakhial dan borjuis belaka yang
dijalankan di Perancis selama periode tersebut.
Adapun di Jerman, rumah-rumah pengoreksian atau Zuchthausern, semacam Hospital
Generale didirikan di Hamburg sekitar tahun 1620, Basel (1667), Breslau (1668), Frankfurt (1684),
Spandau (1684) dan Konigsberg (1691). Jumlah ini pun masih berkembang di Leipzig, Halle,
Cassel, Brieg, Osnabruck dan Torgau. Bangunan kurungan ini mirip struktur semi-pengadilan, yang
memiliki aparat-aparat administratif yang memiliki kekuasaan mutlak dan aturan-aturan yang
independen di luar peradilan, kehakiman, dan keputusan raja. Orang-orang gila dikurung bersama-

43
Lihat Zakiah Darajat, “Kesehatan … op.cit ,h. 7-9 dan bandingkan Hasan Langgulung, op.cit., h. 5-9

16
Kesehatan Mental
sama dengan para tuna-wisma, pengangguran, orang sakit, orang tua, orang yang tidak waras, dan
kaum miskin.
Di Inggris, asal-usul pengurungan ini diperoleh dengan penemuan akta pada tahun 1575
yang berisi “hukuman atas para gelandangan dan pembebasan orang-orang miskin”. Rumah-rumah
pengoreksian dibangun mencapai angka satu rumah setiap desanya. “Akta proyek” ini telah
menempatkan para pengangguran, gelandangan, dan orang-orang miskin ke dalam rumah-rumah
pengoreksian. Mereka dikurung dan dipekerjakan di dalamnya. Yang paling mengerikan mereka
berada di bawah tanggungan pribadi-pribadi sehingga sering diperlakukan sewenang-wenang.
Sebuah akta tahun 1670 pengadilan menegaskan status mereka dalam rumah-rumah kerja. Tidak
kalah juga pada tahun 1697 beberapa jemaah gereja Bristol bersatu padu membentuk rumah-rumah
kerja pertama di Inggris. Rumah kerja kedua dibangun di Worcester tahun 1703 dan ketiga di
Dublin, lalu di Plymouth, Norwich, Hull dan Exester. Hingga pada akhir abad ke-18, rumah-rumah
kerja ini sudah mencapai 126 buah. Rumah-rumah kerja ini lalu meluas sampai Belanda, Italia, dan
Spanyol. Penghuninya pun mulai heterogen. Dari orang-orang yang dituduh melanggar hukum
dalam masyarakat, anak nakal, pemboros, orang yang tidak memiliki profesi sampai mereka yang
dianggap tidak waras.
Perlu ditekankan di sini, bahwa pada abad tersebut masyarakat industri yang menekankan
sebesar-besarnya produksi mulai terbentuk di Eropa. Karenanya lalu kriteria kegilaan pun ditujukan
bagi mereka yang tidak mampu bekerja, para peminta, orang-orang malas, atau mereka yang tidak
lagi produktif. Pada tahun 1532, Parlemen Paris memutuskan menangkap pengemis dan memaksa
mereka bekerja di pabrik tenun dengan kaki di rantai. Tahun 1534, para pengemis dan gelandangan
harus meninggalkan kota dan dilarang menyanyi himne di jalan-jalan. Pada tahun 1657 keluar
sebuah maklumat berisi larangan kepada siapapun untuk mengemis di kota dan di desa sekitar Paris.
Bahkan pada tahun 1622 muncul pamflet Grievous Groan for the Poor (Rintihan yang
menyedihkan bagi orang-orang miskin) dibuat oleh Thomas Dekker yang menekankan bahaya yang
akan terjadi atas keberadaan orang-orang miskin dan merekomendasikan agar mereka dibuang ke
tanah baru India Barat dan Timur. Atau mereka ditempatkan dalam rumah-rumah pengoreksian.
Tampak kemudian apa yang disebut sebagai Hospital Generale ini adalah tempat pengurungan bagi
orang-orang yang dianggap abnormal, gila, dan menyimpang. Mereka adalah pengangguran,
pengemis, pemalas, orang-orang cacat, juga orang yang tidak waras dan tidak mampu bekerja. Di
dalam Hospital Generale ini lalu mereka ditempatkan untuk diberikan pekerjaan oleh penguasa.44
Tujuannya bukan untuk menjamin kesejahteraan mereka, melainkan sebagai disposisi
penguasa tentang apa yang seharusnya mereka lakukan. Tepatnya sebuah etika bahwa manusia
harus melakukan kerja sebagai sebuah hukuman. Menjadi kewajiban moral penguasa untuk
membuat manusia itu bekerja. Dengan bekerja, manusia membedakan dirinya dengan binatang,
yakni sebagai manusia yang waras.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa fungsi Hospital Generale adalah alat koreksi
belaka terhadap status kegilaan seseorang; yakni mencegah kesemrawutan tatanan dari orang-orang
malas, pengemis dan pengangguran, yang notabene dianggap sebagai dimensi kebinatangan

44
Lihat Kartini Kartono, Patologi Sosial 3 (Cet.II; Bandung: Mandar Maju, 2006), h. 35-38

17
Kesehatan Mental
manusia. Atas nama “kewajiban moral” ini penguasa melakukan serangkaian praktek pendisiplinan
dan represi fisik terhadap orang-orang gila. Mereka diikat dengan rantai, dipukuli, berada dalam
pasungan, digantung, dan dtempatkan dalam penjara-penjara untuk mentaati kerja. Peristiwa ini bisa
dihubungkan dengan pengkambinghitaman atas hilangnya subyek moral setelah penyakit lepra di
daratan Eropa menghilang.

Orang Gila dan Disiplin Psikiatri


Memasuki abad 19, orang-orang gila dikelompokkan dan dikategorisasikan ke dalam
mereka yang mengalami gangguan mental, stres, neurosis, melankolis, atau schizoprenia
dimasukkan dalam rumah-rumah sakit jiwa. Mereka menjalani proses “penyembuhan”. Mereka
tidak lagi mengalami represi fisik (diikat pada rantai atau dicambuk seperti seabad sebelumnya),
juga mereka tidak menjadi tanggung jawab masyarakat bersama, melainkan kegilaan itu ditangani
oleh seorang dokter, seorang terapis atau seorang psikiater untuk disembuhkan baik penyakitnya.
Lalu bagaimana mekanismenya?
Adapun mekanismenya adalah melalui kesunyian dan penyadaran layaknya orang yang
bertatapan dengan “cermin”. Maksudnya: orang-orang gila ini ditempatkan dalam kesunyian,
berbicara, menatap dan mengoreksi dirinya sendiri, bagaikan berada dihadapan sebuah cermin,
sehingga menyadari kegilaannya. Melalui percakapan, bahasa dan kata-kata, terapi mencoba
meyakinkan orang gila akan status kegilaannya dan menyadari dirinya sendiri benar-benar gila
supaya bebas dari kegilaan tersebut. Melalui terapi itu mereka dihinakan karena status kegilaannya
itu. Di sini tentu saja sang terapis-lah (dokter) yang menentukan disposisi gila dan tidak, rasional
atau tidak rasional. Dan perlahan-lahan cara-cara, aturan-aturan, dan pengetahuan terapi ini
diinstitusionalisasikan dalam suatu disiplin ilmu yang kita kenal sekarang ini sebagai disiplin ilmu
psikiatri, berikut teknik psikoanalisisnya.
Penilaian kegilaan ini dilakukan secara terus menerus. Apa yang dilakukan oleh tokoh medis
ini dalam teknik psikiatrinya bukanlah diagnosa obyektif dan ketat atas kegilaan itu sendiri,
melainkan mengobservasi dan mempercakapkan kegilaan itu sendiri pada penderitanya. Tokoh
medis itu mengorek sumber-sumber kegilaan, mengungkap kesalahan-kesalahan tersembunyi, dan
biasanya berusaha menghadirkan rasionalitas menggantikan unsur-unsur atau perasaan irasionalitas
penyebab kegilaan. Dokter, melalui otoritas keilmuannya, mengontrol, mengawasi, dan menentukan
kehendak, moralitas dan makna keteraturan atau kewarasan dalam diri pasien.
Menurut Foucault, tahap ini merupakan tindakan yang lebih menyakitkan daripada represi
fisik sebagaimana terjadi sebelumnya. Mengapa? Karena disiplin psikiatri justeru menjadi alat
represi paling paripurna yang langsung menusuk ke jantung batin, mengawasi perasaan dan pikiran
manusia. Jika pada abad klasik orang gila dibiarkan berkeliaran atau dihempaskan berlayar dalam
samudra kebebasan, lalu pada abad berikutnya mereka dikurung dalam penjara Hospital Generale
yang represif dan mematikan, maka pada abad 19 ini kegilaan adalah sebuah penyakit dan
penderitanya mesti ditempatkan dalam rumah sakit jiwa untuk disembuhkan secara medis. Bukan
hanya itu, sekarang telah muncul suatu otoritas baru yang memiliki otoritas tunggal menentukan

18
Kesehatan Mental
status kegilaan seseorang, yakni para ahli dan dokter. Tidak berhenti di situ mereka pun
menciptakan disiplin keilmuan baru untuk melegitimasi kekuasaannya, yakni disiplin ilmu psikiatri.
Dengan demikian pada zaman modern ada tiga institusi yang saling terkait dan dianggap paling
berhak menghakimi status kegilaan seseorang. Pertama, dokter atau ahli medis; Kedua, disiplin
ilmu psikiatri; dan ketiga, sebuah struktur aneh yang disebut rumah sakit jiwa. Foucault menyebut
fenomena ini sebagai pendewaan atas tokoh medis dalam struktur penanganan kegilaan.45
Ketiga institusi inilah yang akhirnya memberikan label baru terhadap orang-orang gila ini
sebagai orang yang berpenyakit jiwa. Dari hasil penelitian Michel Foucault mengenai sejarah
kegilaan di atas, dapat dipahami bagaimana sebuah kegilaan telah dikonsepsikan dan ditangani
secara berbeda-beda dalam setiap periode sejarah tertentu. Ada pergeseran-pergeseran tentang
makna kegilaan berikut posisi orang-orang gila dalam masyarakat. Di situ pula ditunjukkan
kekuasaan macam apa yang mengklaim punya hak menentukan kategori-kategori kegilaan dan cara
penanganannya.
Dalam kapal-kapal kegilaan abad renaisans, misalnya, orang-orang gila adalah mereka kaum
bijak yang bebas menyampaikan khotbah-khotbah satiris dan kritis terhadap kekuasaan. Dalam
Hospital Generale orang-orang gila didefinisikan dan dikendalikan oleh kuasa obligasi etis negara.
Sedangkan dalam rumah sakit jiwa mereka diawasi, dikontrol dan dikendalikan para tokoh medis
dan ilmu psikiatrinya. Kini disiplin psikiatri sangat sentral dalam penanganan masalah kelainan
mental atau kegilaan ini. Dengan mudahnya kegilaan dipersepsi sebagai penyakit yang mesti
disembuhkan secara medis. Misalnya laporan Scientific American 1999 yang mengutip hasil
penelitian W.W. Eaton, menyatakan bahwa pada tahun 1985 terdapat sekitar 1 % penduduk dunia
yang berumur antara 15 hingga 30 tahun mengidap penyakit Schizoperenia. Angka tersebut akan
terus membesar karena hingga kini belum ditemukan metoda penyembuhan dan obat penyembuh
yang manjur dan meyakinkan. Lalu laporan itupun mengajukan tiga pendekatan untuk mengenali
gejala penyakit jiwa ini yaitu pendekatan genetika, pendekatan kejiwaan, dan pendekatan anatomis
keorganan otak.
Pendekatan genetika, katanya, cenderung mengkaitkan penderita penyakit Schizoprenia
berdasarkan garis keturunan dengan genetika generasi sebelumnya seperti ayah-bunda, kakek,
nenek dan seterusnya, mengenai kemungkinan mengidap penyakit yang sama. Adapun pendekatan
kejiwaan menyimpulkan bahwa penyebab penyakit schizoprenia berasal dari ketidakberesan mental
(mental disorder). Masalah kejiwaan ini (pathophysiology) berkaitan timbal balik dengan kerja
fungsional otak melalui jaringan sistem persyarafan. Dan pada akhir laporan tersebut dinyatakan
bahwa uji coba perawatan medis terhadap gejala-gejala kejiwaan tersebut (penyakit-penyakit itu,
kata mereka) terkadang menimbulkan dampak yang mengerikan, terutama bagi penderita yang
berusia produktif, karena dapat menimbulkan kekurangan pathognomonic yang berpengaruh pada
tingkat kesuburan penderita.46 Oleh karena itu, diharapkan pengobatan alternatif dapat berperan.
Dari laporan tersebut setidaknya secara implisit menunjukkan bahwa penanganan medis
terhadap gejala kegilaan atau sakit mental tidaklah berhasil. Bisa jadi (atau malahan mungkin bisa

45
Lihat Ibid., h. 39-40
46
Lihat Zakiah Darajat, op.cit., h. 56-58

19
Kesehatan Mental
dipastikan), ketidakberhasilan ini akibat salah diagnosa terhadap gejala kegilaan. Ia dianggap
sebuah penyakit, padahal bisa jadi gejala-gejala yang ahli medis anggap sebagai sakit jiwa, kelainan
mental, atau kegilaan tersebut adalah produk atau pengaruh dari sistem sosial kita yang sebenarnya
fasis dan tidak memberi ruang sejengkalpun pada manusia untuk membangun proyek imajinasinya.
Bisa jadi mereka adalah jiwa-jiwa yang kosong yang meratap dan mengalami histeria ketakutan
oleh situasi masyarakat dan sistem sosial kita yang telah sakit parah. Sayangnya orang-orang yang
mengaku sehat (padahal sebenarnya sakit ini) malahan menghakimi mereka sebagai penderita
penyakit jiwa. Sejarah kegilaan dan bagaimana ia ditangani secara berbeda-beda di atas memberi
pelajaran mengenai kejatuhan kita dalam berbagai asumsi naif. Asumsi-asumsi yang berakibat fatal
bagi kehidupan manusia. Karenanya, kita seyogyanya perlu curiga terhadap asumsi-asumsi itu dan
kekuasaan (kuasa pengetahuan, kuasa institusi, kuasa otoritas tertentu) di baliknya. Ini artinya, kita
dituntut memiliki sensitifitas dan kepekaan dalam melihat kenyataan: apakah suatu konsep atau
sistem pengetahuan tertentu lebih humanis dan emansipatoris atau, sebaliknya, justeru melakukan
dehumanisasi?
Jelasnya, kita patut mempertanyakan jangan-jangan persepsi dan cara kita memperlakukan
orang gila, tidak waras, gangguan mental, dan sebagainya selama ini adalah konstruksi belaka dari
sebuah “rezim kebenaran” yang diciptakan oleh para ahli medis dan disiplin ilmu psikiatri yang
sekarang ini giat diintrodusir melalui sekolah-sekolah dan perguruan tinggi kita. Jika benar
demikian, maka tibalah kita pada kesimpulan hipotetis, bahwa pengetahuan dan tindakan kita
sepenuhnya dikendalikan rezim kekuasaan/pengetahuan yang fasis dan yang tak henti-hentinya
mencengkeram kehidupan kita.
Perlu juga saya tambahkan tentang studi kasus penyakit lepra yang ada di Sulawesi Selatan
yang konon menempati peringkat pertama di Indonesia perlu mendapat perhatian serius dari
berbagai kalangan dan lapisan. Dan begitu juga penderita gangguan jiwa dan penyakit jiwa (gila)
perlu penghargan dan perhatian serius, apalagi dewasa ini meningkat tajam yang salah satu
pemicunya adalah kegagalan dalam Pilkada, kegagalan dalam mencapai karir, jabatan dan
sebagainya.

20
Kesehatan Mental

Bagian Kedua

Gangguan Jiwa

Secara umum gangguan jiwa mencakup berbagai keadaan gangguan fungsi mental dan
perilaku seseorang seperti psikosis fungsional termasuk skizofrenia, gangguan mood dan afek,
gangguan waham dan sebagainya. Demikian banyaknya jenis gangguan jiwa dan beragam manusia
berbeda akibat reaksi secara holistik baik fisik, psikis dan sosial, sehingga penyebab gangguan jiwa
adalah multifaktorial atau multidimensional. Bahkan hingga saat ini belum ada kesepahaman
definisi tentang gangguan jiwa. Seseorang dikatakan mengalami gangguan jiwa bila terdapat
gangguan pada unsur psikis berupa pikiran, perasaan, perilaku, dan dapat disertai gangguan fisik
dan sosial.47
Dadang Hawari membagi gangguan jiwa ke dalam dua golongan besar yaitu Psikosa dan
Non-Psikosa. Golongan Psikosa ditandai dengan dua gejala utama yaitu tidak adanya pemahaman
diri (insight) dan ketidak mampuan menilai realitas (reality testing ability ). Sedang golongan non-
Psikosa kedua gejala utama tersebut masih baik. Golongan Psikosa itu sendiri dibagi dalam dua sub
golongan, yaitu Psikosa Fungsional dan Psikosa Organik. Yang dimaksud Psikosa Fungsional
adalah gangguan jiwa yang disebabkan karena terganggunya fungsi sistem tranmisi sinyal
penghantar syaraf (neurotransmilter) sel-sel saraf dalam susunan saraf pusat (otak), tidak terdapat
kelainan struktural pada sel-sel saraf otak tersebut. Sedangkan Psikosa Organik adalah gangguan
jiwa yang disebabkan karena adanya kelainan pada struktur susunan saraf pusat otak yang
disebabkan misalnya terhadap tumor di otak, kelainan pembuluh darah di otak, infeksi di otak, dan
sebagainya.48
Penyebab gangguan jiwa biasanya tidak tunggal tetapi multiple. Berbagai penyebab baik
fisik, psikis dan sosial sekaligus sebagai penyebab yang saling mempengaruhi sehingga dalam
membuat diagnosa biasanya dibuat diagnosa multiaksial (multifaktorial/multidimensional) seperti
yang digunakan pada Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa ( PPDGJ ) yang mengacu
kepada The Diagnosis And Statistical Manual of Mental Disorder ( DSM ).
Tanda dan gejala gangguan jiwa sangat bervariasi tergantung jenis gangguan jiwa yang
terjadi. Secara umum biasanya beberapa gejala yang muncul bersamaan, gejala itu membuat dirinya

47
Lihat M.Sattu Alang, op.cit., h. 14
48
Lihat Dadang Hawari, op.cit., h. 561-562

21
Kesehatan Mental
lain daripada sebelumnya atau bertahan sampai jangka waktu yang cukup lama dan muncul terus-
menerus. Berbagai penyakit jiwa juga dapat dikenali melalui tanda dan gejala fisik, psikis dan
sosial. Banyak sekali gejala kejiwaan seperti sedih, marah, cemas yang langsung dapat
mempengaruhi kondisi fisik orang yang bersangkutan. Manifestasi ini yang seringkali disebut
sebagai psikosomatis atau reaksi psikofisiologi, yaitu gangguan jiwa yang dapat menimbulkan
manifestasi pada gangguan tubuh. Penyakit-penyakit yang biasanya dapat terpicu oleh reaksi
psikosomatis, antara lain: sakit kepala, insomnia, gangguan saluran cerna, diare atau asma. Gejala
yang mungkin timbul adalah sakit kepala, nyeri perut, mual, muntah, sulit makan, diare, batuk, atau
sesak. Bila dikaitkam dengan psikosomatis, biasanya gejalanya berlangsung lama atau lebih dari 2
minggu hilang timbul. Sedangkan gejala psikis yang bisa timbul adalah persepsi yang kacau,
pemikiran yang menyimpang dan kacau, ekpresi dari emosi yang keliru, depresi macam-macam
pengekspresian emosi, reaksi emosi yang tidak tepat, aktivitas motorik yang tidak normal, atau
aktivitas yang tidak terkendalikan.49
Selain itu terdapat gejala dan tanda tanda lain yang dapat terjadi pada penderita gangguan
jiwa. Tanda-tanda lain tersebut sering kali dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari dari orang-
orang yang normal. Di antaranya adalah disorientasi; dimana seorang bisa tidak tahu di mana ia
berada, siapa dirinya, hari apa sekarang. Tanda lain adalah menarik diri dari pertemuan-pertemuan
dengan orang-orang lain, kecurigaan dan kepekaan yang berlebih-lebihan, rangsangan dan
kebutuhan seksuil yang tidak normal atau kekanak-kanakan.
Tanda dan gejala gangguan sosial juga dapat menyertai gangguan jiwa. Biasanya yang
disebut abnormal oleh karena ia menunjukkan tingkah laku, sikap, cara berpikir, yang tidak cocok
dengan standar normal masyarakat atau lingkungan di mana ia hidup. Manusia adalah makhluk
sosial, karena itu ia mempunyai kebutuhan-kebutuhan sosial dan ingin menjadi bagian integral dari
lingkungannya. Karena itu normal jika ia selalu cenderung untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Baru bisa mengenali adanya gejala abnormal, jikalau orang yang bersangkutan
secara tidak sadar bertingkah laku yang tidak sesuai dengan standar normal masyarakat, yang secara
integral ia sendiri menjadi bagian di dalamnya. Gejala-gejala penyakit jiwa dapat pula
mengekspresikan diri secara spiritual, misalnya gagasan perasaan berdosa yang tidak terampunkan,
fanatisme tinggi atau malah sebaliknya keragu-raguan yang terus-menerus.

A. Klasifikasi Gangguan Jiwa


Klasifikasi psikiatri melibatkan pembedaan dari perilaku normal dan abnormal. Dalam hal
ini normal dan abnormal dapat berarti sehat dan sakit, tetapi bisa juga digunakan dalam arti lain.
Sejumlah gejala psikiatri berbeda tajam dari normal dan hampir selalu menunjukkan penyakit.
(Ingram et al., 1993) Gangguan Jiwa dibagi menjadi dua kelainan mental utama, yaitu penyakit
mental dan cacat mental. Cacat mental suatu keadaan yang mencakup difisit intelektual dan telah
ada sejak lahir atau pada usia dini. Penyakit mental secara tidak langsung menyatakan yang
kesehatan sebelumnya, kelainan yang berkembang atau kelainan yang bermanifestasi kemudian
dalam kehidupan.

49
Lihat Ibid., h. 564

22
Kesehatan Mental
1. Penyakit mental secara prinsip dibagi dalam psikoneurosis dan psikosis. Kategori ini sesuai
dengan awam tentang kecemasan dan kegilaan. Psikoneurosis merupakan keadaan lazim
yang gejalanya dapat dipahami dan dapat diempati. Psikosis merupakan penyakit yang
gejalanya kurang dapat dipahami dan tidak dapat diempati serta klien sering kehilangan
kontak realita.
2. Istilah fungsional dan organik menunjukkan etiologi penyakit dan digunakan untuk
membagi psikosis. Psikosis fungsional berarti ada gangguan fungsi, tanpa kelainan patologi
yang dapat dibuktikan50
Gejala utama atau gejala yang menonjol pada gangguan jiwa terdapat pada unsur kejiwaan,
tetapi penyebab utamanya mungkin di badan (somatogenik), di lingkungan sosial (sosiogenik)
ataupun psikis (psikogenik), (Maramis, 1994). Biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan
tetapi beberapa penyebab sekaligus dari berbagai unsur itu yang saling mempengaruhi atau
kebetulan terjadi bersamaan, lalu timbulah gangguan badan ataupun jiwa.

B. Macam-Macam Gangguan Jiwa


Gangguan jiwa artinya bahwa yang menonjol ialah gejala-gejala yang psikologik dari unsur
psikis (Maramis, 1994). Macam-macam gangguan jiwa oleh (Rusdi Maslim, 1998), yaitu;
Gangguan mental organik dan simtomatik, skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan waham,
gangguan suasana perasaan, gangguan neurotik, gangguan somatoform, sindrom perilaku yang
berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik, Gangguan kepribadian dan perilaku masa
dewasa, retardasi mental, gangguan perkembangan psikologis, gangguan perilaku dan emosional
dengan onset masa kanak dan remaja.
1. Skizofrenia.
Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang penderitanya tidak mampu menilai realitas (Reality
Testing Ability/ RTA) dengan baik dan pemahaman diri (self insight) buruk.51 Skizoprenia
merupakan penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan pada dopamin, yaitu salah satu sel
kimia dalam otak. Ia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan
afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali
diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang
pancaindra). Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. Data American Psychiatric Association (APA)
tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia. 75% Penderita
skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang
berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stresor. Kondisi penderita sering terlambat
disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri.
Pengenalan dan intervensi dini berupa obat dan psikososial sangat penting karena semakin lama ia
tidak diobati, kemungkinan kambuh semakin sering dan resistensi terhadap upaya terapi semakin
kuat. Seseorang yang mengalami gejala skizofrenia sebaiknya segera dibawa ke psikiater dan
psikolog.

50
Lihat Zakiah Dajat,”Kesehatan …op.cit., h. 36-37
51
Dadang Hawari, op.cit., h. 593

23
Kesehatan Mental
Gejala Skizofrenia
Indikator premorbid (pra-sakit) pre-skizofrenia antara lain ketidakmampuan seseorang
mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak acuh. Penyimpangan
komunikasi: pasien sulit melakukan pembicaraan terarah, kadang menyimpang (tanjential) atau
berputar-putar (sirkumstantial). Gangguan atensi: penderita tidak mampu memfokuskan,
mempertahankan, atau memindahkan atensi. Gangguan perilaku: menjadi pemalu, tertutup, menarik
diri secara sosial, tidak bisa menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan jelas, mengganggu dan
tak disiplin.
Gejala-gejala skizofrenia pada umumnya bisa dibagi menjadi dua kelas:
a. Gejala-gejala Positif Termasuk halusinasi, delusi, gangguan pemikiran (kognitif). Gejala-
gejala ini disebut positif karena merupakan manifestasi jelas yang dapat diamati oleh orang
lain.
b. Gejala-gejala Negatif Gejala-gejala yang dimaksud disebut negatif karena merupakan
kehilangan dari ciri khas atau fungsi normal seseorang. Termasuk kurang atau tidak mampu
menampakkan/mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku, kurangnya dorongan untuk
beraktivitas, tidak dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan kurangnya
kemampuan bicara (alogia).52
1. Gejala Positif Skizofrenia
Secara rinci gejala-gejala positif yang diperlihatkan pada penderita Skizofrenia adalah
sebagai berikut:
a. Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional (tidak masuk
akal). Meskipun telah dibuktikan secara obyektif bahwa keyakinannya itu tidak rasional,
namun penderita tetap meyakini kebenarannya.
b. Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa rangsangan (stimulus).
Misalnya penderita mendengar suara-suara/bisikan-bisikan di telinganya padahal tidak ada
sumber dari suara/bisikan itu.

c. Kekacauan alam pikir, yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya. Misalnya
bicaranya kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur pikirannya.

d. Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan


semangat dan gembira berlebihan.

e. Merasa dirinya ”orang Besar”, merasa serba mampu, serba hebat dan
sejenisnya.

f. Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman terhadap


dirinya.
g. Menyimpan rasa permusuhan.
2. Gejala Negatif Skizofrenia
52
Lihat selengkapnya Zakiah Darajat, ”Kesehatan Mental ” op.cit., h. 82-85

24
Kesehatan Mental
Gejala-gejala negatif yang diperlihatkan pada penderita Skizofrenia adalah sebagai berikut:
a. Alam perasaan (affect) ”tumpul” dan ”mendatar”. Gambaran alam perasaan ini dapat terlihat
dari wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi.
b. Menarik diri atau mengasingkan diri (withdrawn) tidak mau bergaul atau kontak dengan
orang lain, suka melamun (day dreaming).

c. Kontak emosional amat ”miskin”, sukar diajak bicara, pendiam.

d. Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.

e. Sulit dalam berpikir abstrak.

f. Pola pikir stereotip

g. Tidak ada/kehilangan dorongan kehendak (avolition) dan tidak ada inisiatif, tidak ada upaya
dan usaha, tidak ada spontanitas, monoton, serta tidak ingin apa-apa dan serba malas
(kehilangan nafsu).53
Meski bayi dan anak-anak kecil dapat menderita skizofrenia atau penyakit psikotik yang
lainnya, keberadaan skizofrenia pada grup ini sangat sulit dibedakan dengan gangguan kejiwaan
seperti autisme, sindrom Asperger atau ADHD atau gangguan perilaku dan gangguan stres post-
traumatik. Oleh sebab itu diagnosa penyakit psikotik atau skizofrenia pada anak-anak kecil harus
dilakukan dengan sangat berhati-hati oleh psikiater atau psikolog yang bersangkutan.
Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang merupakan faktor predisposisi
skizofrenia, yaitu gangguan kepribadian paranoid atau kecurigaan berlebihan, menganggap semua
orang sebagai musuh. Gangguan kepribadian skizoid yaitu emosi dingin, kurang mampu bersikap
hangat dan ramah pada orang lain serta selalu menyendiri. Pada gangguan skizotipal orang memiliki
perilaku atau tampilan diri aneh dan ganjil, afek sempit, percaya hal-hal aneh, pikiran magis yang
berpengaruh pada perilakunya, persepsi pancaindra yang tidak biasa, pikiran obsesif tak terkendali,
pikiran yang samar-samar, penuh kiasan, sangat rinci dan ruwet atau stereotipik yang termanifestasi
dalam pembicaraan yang aneh dan inkoheren.
Tidak semua orang yang memiliki indikator premorbid pasti berkembang menjadi
skizofrenia. Banyak faktor lain yang berperan untuk munculnya gejala skizofrenia, misalnya stresor
lingkungan dan faktor genetik. Sebaliknya, mereka yang normal bisa saja menderita skizofrenia jika
stresor psikososial terlalu berat sehingga tak mampu mengatasi. Beberapa jenis obat-obatan
terlarang seperti ganja, halusinogen atau amfetamin (ekstasi) juga dapat menimbulkan gejala-gejala
psikosis.
Penderita skizofrenia memerlukan perhatian dan empati, namun keluarga perlu menghindari
reaksi yang berlebihan seperti sikap terlalu mengkritik, terlalu memanjakan dan terlalu mengontrol
yang justru bisa menyulitkan penyembuhan. Perawatan terpenting dalam menyembuhkan penderita

53
Lihat Dadang Hawari, op.cit., h. 594-596

25
Kesehatan Mental
skizofrenia adalah perawatan obat-obatan antipsikotik yang dikombinasikan dengan perawatan
terapi psikologis.
Kesabaran dan perhatian yang tepat sangat diperlukan oleh penderita skizofrenia. Keluarga
perlu mendukung serta memotivasi penderita untuk sembuh. Kisah John Nash, doktor ilmu
matematika dan pemenang hadiah Nobel 1994 yang mengilhami film A Beautiful Mind,
membuktikan bahwa penderita skizofrenia bisa sembuh dan tetap berprestasi.
Skizofrenia merupakan bentuk psikosa fungsional paling berat, dan menimbulkan
disorganisasi personalitas yang terbesar. Skizofrenia juga merupakan suatu bentuk psikosa yang
sering dijumpai dimana-mana sejak dahulu kala. Meskipun demikian pengetahuan kita tentang
sebab-musabab dan patogenisanya sangat kurang (Maramis, 1994). Dalam kasus berat, klien tidak
mempunyai kontak dengan realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal.
Berikut ini ada beberapa contoh kasus penderita Skizofrenia:
Contoh Kasus 1.
Joe adalah siswa yang baik di sepanjang masa SMA-nya. Ia anggota tim futbol,
mempertahankan ranking yang bagus dan mendapatkan pujian pada tiap semesternya. Ia ramah
dan populer. Menjelang akhir semester pertama di maktab (college)-nya, semuanya mulai berubah.
Joe tak lagi makan bersama dengan kawan-kawannya, pada kenyataannya ia mulai berkurung diri
di dalam kamarnya. Ia mulai mengebaikan kesehatan pribadinya dan berhenti menghadiri kuliah.
Joe mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi dan harus membaca kalimat yang sama secara
berulang-ulang. Ia mulai percaya bahwa kata-kata dalam naskah bukunya memiliki makna yang
khusus baginya dan dengan sesuatu cara memberitahukannya sebuah pesan untuk menjalankan
sebuah misi rahasia. Joe mulai menyangka bahwa kawan sekamarnya bersekongkol dengan
telepon dan komputernya untuk mengawasi kegiatannya. Joe menjadi takut jika kawan sekamarnya
tahu akan pesan dalam naskah bukunya dan kini mencoba untuk menipunya. Joe mulai percaya
teman sekamarnya dapat membaca pikirannya, pada kenyataannya siapapun yang ia lewati di aula
atau di jalanan dapat mengatakan apapun yang ia pikirkan. Saat Joe sedang sendirian di
kamarnya, ia dapat mendengar bisikan mereka yang ia percayai sedang mengawasinya. Ia tak
dapat memastikan apa yang mereka katakan tapi ia yakin bahwa mereka membicarakannya.
Contoh Kasus 2.
Roger adalah pria berusia 36 tahun yang memiliki riwayat panjang mendengar suara-suara
yang menyuruhnya untuk melukai diri sendiri dan orang lain. Ia telah menuruti suara-suara itu di
masa yang lalu dan akibatnya ia harus menjalani pemenjaraan karena telah mengancam seseorang
dengan sebilah pisau. Ia juga takut dilukai oleh musuh-musuhnya dan hal itu mengakibatkannya
tidak tidur dengan tujuan untuk melindungi dirinya sendiri. Roger secara aktif menggunakan
alkohol, ganja dan kokain untuk mengatasi gejala-gejalanya. Roger telah lama berhenti minum
obat dari dokternya karena pengalamannya akan ketidaknyamanan efek sampingnya. Ia
melaporkan bahwa ia merasa letih dan tidak dapat berhenti melangkah. Ia pada mulanya
mengalami pemulihan saat pertama kali menggunakan narkoba dan alkohol. Tapi segera setelah
itu ia menemukan bahwa semakin banyak ia menggunakan narkoba dan alkohol semakin paranoid
dan menjadi semakin waspada ia jadinya dan gejala-gejalanya kembali menjadi parah.

26
Kesehatan Mental
Kekhawatiran Roger akan melukai orang lain dan ketakutan akan dilukai telah mengakibatkan
dirinya memiliki rencana untuk bunuh diri. Ia tak mampu untuk mengetahui kaitan antara obat dari
dokternya dan narkoba dengan pengendalian gejala dan pemburukan penyakitnya. Roger juga
harus berjuang melawan diabetes dan ketidakmapanan gula darah karena kurang gizi dan
penggunaan alkohol.

Contoh Kasus 3
Edward menghabiskan waktunya sendirian di tempat tidur, jika ia bisa. Sebelum ia sakit, ia
menikmati waktunya bersama keluarganya atau bekerja. Kadangkala ia berpikir masalah
pekerjaan, dan kadang-kadang ia membuat rencana, namun ia nampaknya tak pernah mencapai
tahap wawancara atau kontrak kerja. Saat ia mengunjungi orang tuanya mereka mencoba
membujuknya untuk berbicara tentang masalah keluarga atau politik. Edward tak banyak berkata-
kata. Walaupun ia menolak dikatakan depresi, dan ia mengungkapkan harapannya akan masa
depan, ia hampir-hampir tak pernah tersenyum dan benci untuk membereskan piring sisa makan
atau membereskan tempat tidurnya. Psikiater telah menanyainya tentang suara-suara, akan tetapi
Edward bersikukuh bahwa ia tak pernah mendengarnya. Saat ia dirawat di rumah sakit untuk
pertama kalinya, ia ingat, ia kesulitan untuk mempertahankan jalan pikirannya, dan ia tahu ia
bertingkah aneh karena polisi menangkapnya saat ia keluyuran di jalanan ketika mengenakan
pakaian menyelam. Tapi Edward tak dapat mengingat kenapa dan nampaknya hal itu bukan lagi
merupakan masalah baginya.
Seperti yang telah digambarkan dalam contoh kasus di atas, skizofrenia adalah penyakit
mental yang memiliki rentang yang luas. Bahkan beberapa ahli meragukan bahwa penyakit ini
adalah gangguan yang tunggal. Fakta bahwa hanya ada satu kata untuk merujuk ke sesuatu penyakit
tidaklah berarti bahwa penyakit itu satu ekali-kali bisa timbul serangan. Jarang bisa terjadi
pemulihan sempurna dengan spontan dan jika tidak diobati biasanya berakhir dengan personalitas
yang rusak ” .
Untuk pemberian terapi dan rehabilitasi kepada penderita gangguan jiwa skizofrenia perlu
ditempuh cara-cara sebagai berikut:
1. Dari sisi organobiologik, dihindari kemungkinan adanya faktor genetik (keturunan), maka perlu
diteliti riwayat atau sissilah keluarga. Bila dalam keluarga ditemukan salah seorang menderita
skizofrenia sebaiknya menikah dengan orang jauh dan sesama penderita skizofrenia sebaiknya tidak
saling menikah. Menikah sesuai anjuran agama adalah menentramkan kehidupan manusia
sebagaimana firman-Nya surah ar-Rum (30) ; 21:
          
          

Terjemahnya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan

27
Kesehatan Mental
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.54

Ayat di atas memberikan petunjuk bagi manusia (laki-laki dan perempuan) untuk
mengadakan perkawinan supaya merasa tenteram dan berkasih-kasihan. Dengan cara ini seseorang
yang menderita gangguan jiwa skizofernia bisa sembuh.
Untuk menghindari kemungkinan adanya faktor epigenetik, hendaknya selama kehamilan
seorang ibu perlu mendapat perawatan yang baik. Olehnya itu perlu dicegah adanya infeksi virus
atau infeksi penyakit lainnya. Dicegah menurunnya auto-immune, dicegah berbagai macam
komplikasi kandungan. Gizi harus cukup dan berimbang dan selama kehamilan dipelihara kondisi
mental emosional ibu dalam keadaan sehat atau stabil, bebas dari stres, cemas dan depresi.
2. Psiko-Edukatif; dalam perkembangan jiwa atau kepribadian seseorang dari mulai lahir hingga
menginjak usia remaja, hendaknya tidak hanya berkembang secara baik dari segi pisik tetapi juga
aspek kejiwaaannya. Pendidikan anak hendaknya diperhatikan oleh orang tua agar terbentuk
sifat /pribadi yang bisa menangkis terjadinya gangguan jiwa skizofrenia. Orang tua perlu
memberikan perhatian, kasih sayang, pendidikan yang baik dan memberikan keteladanan bagi anak.
Firman Allah dalam surah al-Ahzab (33) , 21:

            
    

Terjemahnya: Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) ayat di atas dijadikan orang tua dalam
membina, mendidik anak dengan Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah.55
Selanjutnya orang tua memperhatikan sikap-sikap anak yang merupakan kemampauan daya
kompetensi anak. Sikap itu antara lain; kemampuan untuk percaya kepada kebaikan orang lain,
sikap terbuka dan kemampuan pengendalian diri terhadap orang lain. Perlu orang tua mendoakan
anaknya agar menjadi orang yang bertaqwa, orang baik dan orang yang berguna bagi orang lain.
Firman Allah dalam surah al-Furqan (25), 74:

          
  

Terjemahnya: Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-
isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah
kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.56

54
Departemen Agama RI., Al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta: Bumi Restu, 1988/1999), h. 644
55
Ibid., h. 670
56
Ibid., h. 569

28
Kesehatan Mental
Kalau meneladani atau mencontoh Rasulullah saw., maka hakkul yakin anak atau generasi
bisa terhindar dari gangguan jiwa khususnya skizofrenia.

2. Depresi
Depresi merupakan masalah kesehatan jiwa yang utama dewasa ini. Orang yang mengalami
depresi adalah orang yang paling banyak menderita. Kadang depresi penyebab utama tindakan
bunuh diri.
Pengertian depresi beraneka ragam komentar para pakar, tergantung dari sisi mana ia
melihatnya.
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam
perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan,
psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri
(Kaplan, 1998). Depresi juga dapat diartikan sebagai salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada
alam perasaan yang ditandai dengan kemurungan, keleluasaan, ketiadaan gairah hidup, perasaan
tidak berguna, putus asa dan lain sebagainya 57. Depresi adalah suatu perasaan sedih dan yang
berhubungan dengan penderitaan. Dapat berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau
perasaan marah yang mendalam (Nugroho, 2000). Depresi adalah gangguan patologis terhadap
mood mempunyai karakteristik berupa bermacam-macam perasaan, sikap dan kepercayaan bahwa
seseorang hidup menyendiri, pesimis, putus asa, ketidak berdayaan, harga diri rendah, bersalah,
harapan yang negatif dan takut pada bahaya yang akan datang. Depresi menyerupai kesedihan yang
merupakan perasaan normal yang muncul sebagai akibat dari situasi tertentu misalnya kematian
orang yang dicintai. Sebagai ganti rasa ketidaktahuan akan kehilangan seseorang akan menolak
kehilangan dan menunjukkan kesedihan dengan tanda depresi (Rawlins et al., 1993). Individu yang
menderita suasana perasaan (mood) yang depresi biasanya akan kehilangan minat dan kegembiraan,
dan berkurangnya energi yang menuju keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktiftas (Depkes,
1993). Depresi dianggap normal terhadap banyak stress kehidupan dan abnormal hanya jika ia tidak
sebanding dengan peristiwa penyebabnya dan terus berlangsung sampai titik dimana sebagian besar
orang mulai pulih (Atkinson, 2000).
Adapun ciri-ciri kepribadian depresif antara lain;
Pemurung, sukar untuk bisa senang, sukar untuk merasa bahagia, pesimis menghadapi masa
depan, memandang diri rendah, mudah merasa bersalah dan berdosa, mudah mengalah, enggan
bicara, mudah merasa haru, sedih dan menangis, gerakan lamban, lemah, lesu, kurang energik.
Seringkali mengeluh sakit ini dan itu (keluhan-keluhan psikomatik), mudah tegang,agitatif, gelisah,
serba cemas, khawatir, takut, mudah tersinggung, tidak ada kepercayaan diri, merasa tidak mampu,
merasa tidak berguna. Merasa selalu gagal dalam usaha, pekerjaan ataupun studi, suka menarik diri,
pemalu dan pendiam, lebih suka menyisihkan diri, tidak suka bergaul, pergaulan sosial amat
terbatas. Lebih suka menjaga jarak, menghindari keterlibatan dengan orang, suka mencela,
mengkritik, konvensional, sulit mengambil keputusan. Tidak agresif, sikap oposisinya dalam bentuk

57
Dadang Hawari, op.cit., h. 519

29
Kesehatan Mental
pasif-agresif, pengendalian diri terlampau kuat, menekan dorongan/impuls diri, menghindari hal-hal
yan tidak menyenangkan. Lebih senang berdamai untuk menghindari konflik ataupun konfrontasi.58
Orang yang memiliki gejala tersebut di atas, Al-Quran memberikan solusi sebagaimana
firman-Nya dalam surah al-An’am (6) : 48:
           
    

Terjemahnya: Dan tidaklah kami mengutus para Rasul itu melainkan untuk memberikan kabar
gembira dan memberi peringatan. barangsiapa yang beriman dan mengadakan
perbaikan Maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka
bersedih hati.59

Maksud mengadakan perbaikan pada ayat tersebut berarti melakukan pekerjaan-pekerjaan


yang baik untuk menghilangkan akibat-akibat yang jelek dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan.
Ciri-ciri kepribadian depresif tersebut di atas pada setiap diri seseorang tidak harus sama
mencakup semua gejala-gejala secara keseluruhan. Seseorang baru dikatakan mengalami gangguan
depresi manakala yang bersangkutan mengalami gangguan di bidang fisik (somatik) maupun psikis
sedemikian rupa sehingga menggangu fungsi dalam kehidupannya sehari-hari.
Dadang Hawari memberikan gejala-gejala depresi sebagai berikut:

a. Gejala Klinis Depresi;


Afek disforik, yaitu perasaan murung, sedih, gairah hidup menurun, tidak bersemangat,
merasa tidak berdaya, perasaan bersalah, berdosa, penyesalan. Nafsu makan menurun, berat badan
menurun, konsentrasi dan daya ingat menurun. Mengalami gangguan tidur; insomnia (sukar/tidak
dapat tidur) atau hipersomnia (terlalu banyak tidur). Agitasi atau retardasi psikomotor (gaduh
gelemah tak berdaya). Hilangnya rasa senang, semangat dan minat, tidak suka lagi melakukan hobi,
kreativitas dan prokdutivitas menurun. Gangguan seksual menurun dan pikiran-pikiran tentang
kematian dan bunuh diri.60
Gejala di atas ini banyak dialami oleh orang yang kehilangan jabatan dan kedudukan atau
kekuasaan. Olehnya itu Al-Quran memberi peringatan sebagaimana firman-Nya dalam surah Ali
’Imran (3) , 139:
         
Terjemahnya: Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal
kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang
beriman.61
b. Depresi Pasca Kuasa
58
Lihat Ibid., h.,522-523
59
Ibid., h. 194
60
Dadang Hawari, op.cit., h. 524
61
Departemen Agama, op.cit., h. 98

30
Kesehatan Mental
Adapun keluhan-keluhan penderita yang disertai dengan perubahan sikap dan perilaku,
misalnya: Suka mengkritik, merasa dirinya benardan mengeluarkan kekesalan, prasangka buruk dan
selalu curiga, merasa diperlakukan tidak adil, suka mencela dan skeptis, perasaan tertekan, tidak
puas, kecewa dan bersikap oposan, suka menggerutu dan mengeluarkan kekesalan, dan kekecewaan
hatinya yang biasa dilakukan atau diucapkan secara berulangulang.
c. Depresi Pasca Stroke
Gejala depresi pada penderita stroke, adalah adanya gejala utama pada gangguan afek
(mood), tidak terdapat tanda-tanda delirium (menurunnya kesadaran), demensia (kemunduran daya
ingat), sindrom waham organik, atau halusinasi organik. Terdapat faktor organik spesifik (kelainan
pada otak akibat stroke) yang dinilai mempunyai hubungan etiologik (penyebab) dengan gangguan
itu,yang terbukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Selanjutnya
peningkatan aktivitas (di tempat kerja, dalam hubungan sosial atau seksual), atau ketidak-tenangan
pikiran. Lebih banyak berbicara dari lazimnya atau adanya dorongan untuk berbicara terus menerus.
Gagasan melompat-lompat (flight of ideas) atau penghayatan subyektif bahwa pikirannya sedang
berlomba. Rasa harga diri yang melambung (grandiosity), yang dapat setaraf dengan waham
(keyakinan yang tidak rasional namun diyakini kebenarannya), Berkurangnya kebutuhan tidur,
Mudah teralih perhatian, yaitu perhatiaanya terlalu cepat tertarik pada stimulus luar yang tidak
penting atau yang tidak berarti, Keterlibatan berlebihan dalam akvitas-aktivitas yang mengandung
kemungkinan resiko tinggi akibat yang merugikan apabila tidak diperhitungkan secara bijaksana.
Misalnya, berbelanja berlebihan, tingkah laku eksual secara terbuka, penanaman modal secara
bodoh,mengemudi kendaraan (”ngebut”) secara tidak bertanggung jawab dan tanpa perhitungan.
Gejala depresif berat adalah kurangnya nafsu makan atau penurunan berat badan yang cukup
berarti (tidak sedang diet), atau sebaliknya penambahan nafsu makan atau kenaikan berat badan
yang cukup berarti. Sukar tidur (insomnia) atau sebaliknya banyak tidur (hipersomnia). Gaduh-
gelisa (agitasi) atau pasif dan lemah (retardasi psikomotor), bukan hanya perasaan subyektif dari
kegelisahan atau perlambanan. Hilangnya minat atau rasa senang dalam hal yang bisa
dikerjakannya, atau pengurang gairah seksual yang tidak terbatas dalam periode ketika sedang ada
waham atau halusinasi. (catatan : waham adalah suatu keyakinan yang tidak rasional namun
diyakini kebenarannya; sedangkan halusinasi adalah pengalaman pancaindera tanpa ada
rangsangan. Hilangnya semangat, rasa letih, perasaan tidak berguna, menyalahkan diri sendiri, atau
perasaan bersalah dan berdosa berlebihan yang tidak pada tempatnya, seringkali perasaan ini setaraf
dengan waham. Adanya tanda-tanda berkurangnya kemampuan berpikir atau konsentrasi dan
pikiran berulang tentang kematian, gagasan untuk bunuh diri, keinginan mati atau usaha bunuh
diri.62
Perlu dipahami bahwa hidup manusia itu selalu silih berganti, kadang senang kadang susah,
kadang miskin kadang kaya dan kadang kita berkuasa dan kadang menjadi bawahan. Kalau kita
mengalami depresi hendaklah ditingkatkan keimanan dan ketaqwaan dan kedekatan kepada Allah
swt. sambil memiliki kesabaran. Hal ini difirmankan dalam Al-Quran surah Al-Hajj ( 22 ), 34-35:

62
Lihat dalam Ibid., h. 257-258

31
Kesehatan Mental
        
         
Terjemahnya; (34). ... dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada
Allah),(35). (yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati
mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang
yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa
yang Telah kami rezkikan kepada mereka.63

d.Depresi Neurotik
Depresi neurotik adalah suatu gangguan afek (mood) yang menahun dn mencakup gambaran
efek (mood) depresif atau hilangnya minat atau rasa senang di dalam semua atau hampir semua
aktivitas kehidupan sehari-hari dan waktu senggang yang biasa dilakukannya. Kadang-kala
seseorang yang mengalami depresi neurotik itu pada waktu-waktu tertentu (bebeapa hari sampai
beberapa minggu) terbebas dari gangguan tersebut (periode normal), namun kemudian sesudah
gangguan afektif tadi akan muncul kembali.
Seseorang degan gangguan depresi neurotik selama dalam periode depresif akan
menunjukkan gejala-gejala paling sedikit 3 dari gejala berikut :
a. Sukar tidur (insomnia) atau sebaliknya banyak tidur (hipersomnia).
b. Lesu atau keluhan yang menahun.
c. Perasaan kurang mampu, rendah diri atau mencela diri sendiri.
d. Berkurangnya efektivitas atau produktivitas di sekolah, pekerjaan, atau di rumah.
e. Berkurangnya konsentrasi, perhatian atau kemampuan untuk berpikir jernih.
f. Menarik diri dari pergaulan sosial.
g. Kehilangan minat atau kemampuan menikmati dalam aktivitas yang menyenangkan.
h. Iritabilitas (mudah tersinggung) atau marah yang berlebihan tidak pada tempatnya.
i. Tidak mampu menanggapi ujian atau penghargaan dengan perasaan senang.
j. Kurang aktif atau kurang berbicara dari biasanya, merasa lamban dan gelisah.
k. Bersikap pesimis terhadap masa depan, menyesali peristiwa masa lalu atau mengasihani diri
sendiri.
l. Mudah haru, mata berlinang atau menangis.
m.Pikiran berulang tentang kematian atau keinginan untuk bunuh diri.64
Pada gangguan depresif neurotik tadi yang bersangkutan masih mampu menilai ralitas
(Reality Testing Ability/RTA) dengan aik dan demikian pula halnya dengan pemahaman diri
(insight), atau dengan kata lain tidak terdapat ciri-ciri gangguan jiwa berat (psikosis), seperti
waham, halusinasi, inkoherensi ataupun asosiasi yang melonggar.
Pengidak depresi neurotik banyak mengalami putus asa dalam hidupnya. Al-Quran
melarang hamba-hamba Allah berpustus asa. Hal ini difirmankan dalam Al-Quran surah Az-Zumar
(39) ; 53:

63
Departemen Agama, opcit., h. 517
64
Lihat Ibid., h. 530-531

32
Kesehatan Mental
             
         
Terjemahnya: Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka
sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah
mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.65
e. Depresi Siklotimit
Seseorang dengan depresi Siklotimit paling sedikit dalam kurun waktu 2 tahun mengalami
gangguan alam perasaan (affect mood) ini, yang mencakup suatu saat yang lain mengalami episode
hipomatik. Pada gangguan depresif siklotimit tidak terdapat ciri psikotik seperti waham, halusinasi,
inkoherensi atau pelonggaran assosiasi. Juga tidak disebabkan gangguan jiwa lainnya, seperti
remisi.
Berikut ini beberapa contoh orang yang mengalami depresi:
Kasus 1 :
Dalam satu malam tetapi setiap satu jam sekali selalu terbangun. Ny T mengalami
kesulitan memulai tidur dan hanya tidur kurang lebih tiga jam Kondisi ini mengakibatkan Ny T
selalu merasa tubuhnya tidak fresh dan berat badannya mengalami penurunan dari 52 kg menjadi
47 kg. Penyebab Ny T mengalami insomnia adalah suami Ny T menuduh Ny T telah berselingkuh
karena hasutan tetangga yang tidak suka pada Ny T. Ny T berusaha menjelaskan pada suaminya
bahwa dirinya tidak berselingkuh, tetapi suami Ny T tetap tidak percaya. Suami Ny T selalu marah-
marah pada Ny T dan melarang Ny T untuk berbincang-bincang dengan tetangga di luar rumah.
Suami Ny T juga pelit dalam memberikan uang belanja dan melarang Ny T untuk berdagang. Pada
awalnya, Ny T berusaha untuk tidak terlalu serius dalam memikirkan masalahnya dan menuruti
keinginan suaminya, namun suami Ny T tetap memperlakukan Ny T dengan buruk. Suami Ny T
selalu memarahi Ny T sehingga Ny T selalu memikirkannya dan merasa tertekan. Ny T dan
suaminya juga pisah ranjang. Ny T juga takut bercerita pada suaminya bahwa dirinya mengalami
kesulitan tidur setiap hari.
Kasus 2. Takut pada kegelapan.
Seorang pasien menghubungi saya untuk meminta diterapi. Ia mengatakan mengalami rasa
takut bila ingin ke kamar mandi. Saya katakan padanya bahwa ia mengalami fear of darkness atau
rasa takut di tempat gelap. Ia mengatakan bahwa ia merasa seolah-olah akan diserang oleh
seseorang di rumahnya sendiri, terutama ketika ia ingin pergi ke kamar mandi. Ia tidak dapat tidur
dan merasa kawatir bila tidur dengan kondisi lampu mati. Dan bila ia ingin ke kamar mandi semua
lampu di rumah harus menyala. Atau kalau tidak ia akan memilih untuk tetap di kamar tidurnya
dan menjalani malamnya dengan penderitaan. Saya hanya melakukan satu kali sesi dengan empat
putaran untuk masalah fear of darknessnya. Saya lakukan tapping pada bebeapa masalah
emosional yang menjadi penyebabnya. secara keseluruhan sesi terapi hanya memakan waktu
kurang dari satu jam dan kini pasien berani pergi ke kamar mandi kapanpun ia mau tanpa harus
menyalakan semua lampu di rumah. Berhati-hatilan dengan segala informasi yang masuk kepada

65
Departemen Agama, opcit., h. 753

33
Kesehatan Mental
anda, mungkin itu bisa berbentuk iklan atau berita kekerasan di TV, cerita dari seseorang, dll.
Karena bila sistim keyakinan anda memecayainya, anda akan mengalami keadaan seperti yang
anda takutkan. Hal itu akan membuat anda menderita. Dan akan diperparah lagi bila anda
mencoba mengatasi masalah anda dengan obat penenang. Selain anda akan tergantung dengan
obat itu, pemakaian jangka panjang akan mengganggu daya ingat.
Kasus 3. Kejadian Traumatis Karena Dikhianati Pacar
Sebut saja, Ani, wanita 28 tahun di sebuah kota di Jawa Timur, menceritakan pengalaman
traumatisnya yang terjadi lebih dari 3 tahun yang lalu. Ia merasa dikhianati oleh kekasihnya yang
baru sadar bahwa kekasihnya itu sudah beristri. Ia telah menyerahkan segalanya kepada
kekasihnya ini, karena kekasihya berjanji akan menikahinya. Suatu peristiwa klien saya hamil dan
oleh kekasihnya disuruh untuk menggugurkan kandungannya. Dan Klien saya mengambil resiko
dengan nyawanya untuk menggugurkan calon bayi yang ada dalam kandungannya itu. Tapi
sayang, setelah kekasihnya lalu meninggalkannya begitu saja.
Sejak saat itu Klien saya mengalami depresi selama hampir tiga tahun lebih akibat trauma
masa lalu dengan kekasihnya itu. Namun ia tidak menceritakan apakah traumanya itu sudah
menimbulkan rasa sakit pada tubuh fisiknya. Begitu banyak hal, kenangan dan benda-benda yang
mengingatkannya kembali pada kekasihnya, seperti bila melihat mobil Zenia ia akan teringat
kekasihnya, bila melihat kalender, pakaian, ia akan teringat kekasihya, bila malam tiba ia juga
teringat ketika kekasihnya sering datang ke kostnya dan mengobrol bersama teman-teman kostnya,
ia teringat prosesi waktu menggugurkan kangdungannya,dll. Ia mengatakan dalam sehari bisa
lebih dari 10 kali ia teringat akan kekasihnya itu. Bila trauma itu datang, maka di situ berkumpul
kebencian, penyesalan, dendam, amarah, dan kekecewaan, dan ia akan mengirim sms kepada
kekasihya sebagai ungkapan kemarahanya. Saya melakukan terapi dengan EFT untuk menghapus
memori traumatis itu pada aspek-aspek-aspek yang membuatnya depresi. Sempat klien saya
mengalami kesulitan mengingat hal-hal yang membuatnya depresi. Karena itu lalu saya meminta
klien saya untuk segera mencatat ketika timbul hal-hal yang memicu ingatanya. Setelah dilakukan
tapping pada semua aspek yang ada, klien saya melaporkan bahwa kini ia merasa lebih tenang dan
dapat mengendalikan emosinya untuk tidak mengirim sms ke kekasihya itu. Ia juga mengatakan
sekarang ia tidak merasa sakit hati lagi.
Depresi yang dialami klien saya ini tidak hanya datang dari trauma masa lalunya, tapi juga
rencana perkawinannya yang akan dilangsungkan satu bulan lagi. Ketakutan-ketakutan datang
membayangi klien saya untuk menghadapi kehidupan bersama calon suaminya nanti. Beberapa
ketakutannya seperti takut trauma masa lalunya akan mempengaruhi hubungan perkawinanya,
klien saya tidak mencintai calon suaminya karena ia menikah atas kemauan orang tua, takut
menghadapi malam pertama karena tidak ada hasrat seks kepada calon suaminya, beberapa
bentuk fisik dari calon suami tidak ia sukai. Karena itu saya lakukan tapping pada aspek-aspek di
atas.
Setelah pesta perkawinan dilangsungkan, saya menunggu kabar dari klien saya pada
keesokan harinya. Dan malam harinya klien saya memberi kabar bahwa baru besok malam ia akan
menjalani malam pertama bersama suaminya. Ia mengatakan mohon dibantu doa. Dua bulan

34
Kesehatan Mental
kemudian saya mencoba untuk menanyakan kabar dan keadannya. Klien saya mengatakan bahwa
kehidupan perkawinan bersama suaminya dalam keadaan baik dan kini mereka sedang fokus untuk
mendapatkan momongan serta mengembangkan usaha suaminya.
Kasus 4. Trauma dibalik derita sakit kepala dan insomnia bertahun-tahun.
Kita akan melihat bahwa derita fisik sering merupakan efek lanjutan dari masalah
emosional. Hendi, pria 25 tahun, mengeluhkan sakit kepalanya yang intens yang ia derita setiap
hari. Menurutya sakit kepalanya karena ia selalu kurang tidur atau insomnia. Saya mencoba
melakukan tapping EFT pada aspek sakit kepalanya. Sesi tapping pertama menurukan intensitas
sakit kepalanya menjadi 8 dari skala10. Tapping kedua menurunkan intensitas sakit kepalanya
menjadi 5. Tapping ketiga tidak menurunkan intensitas sakit kepalanya. Lalu saya mulai menggali
faktor-faktor emosional yang mungkin menjadi penyebabnya. Saya ketahui bahwa klien saya
mengalami kepedihan emosional dari masa lalu dengan kekasihnya pada waktu mereka masih
kuliah.
Beberapa faktor utama emosional yang dimiliki klien saya ini adalah :
- Merasa sangat kehilangan kekasihnya
- Memendam amarah kepada bapak kekasihya
- Teringat saat jalan-jalan bersama kekasihnya
- Merasa hidupnya berantakan gara-gara peristiwa ini
- Teringat kebaika kekasihya
Setelah dilakukan tapping EFT intensitasnya turun menjadi 2 dan sakit kepalanya hanya
tersisa sedikit dan hal itu bukan masalah lagi baginya sebagaimana penuturannya. Seluruh sesi
terapi ini berjalan kurang dari satu jam Walaupun intensitas sakit kepalanya sudah tidak
mengganggu lagi, saya menyarankan klien saya untuk melakukan tapping di rumah untuk
menuntaskan masalah yang mungkin terlewatkan. Tiga bulan kemudian saya kembali menanyakan
kondisi klien saya ini. Ia melaporkan bahwa sekarang ia dapat tidur dengan baik dan sakit
kepalanya sudah hilang.

Terapi Depresi
Ada beberapa pendekatan dalam terapi depresi antara lain;
a. Pendekatan Terapi Psikofarmaka
Yang dimaksud dengan terapi psikofarmaka adalah pengobatan dengan memakai obat-
obatan (farmaka) yang berkhasiat memulihkan fungsi gangguan neuro-transmitter di susunan saraf
pusat otak. Terapi psikofarmaka yang banyak dipakai oleh para dokter (psikiater) adalah obat anti
cemas (anxiolytic) dan obat anti depresi.
b. Pendekatan Terapi Somatik;
Maksudnya dalam pengalaman praktek sehari-hari sering dijumpai gejala atau keluhan fisik
(somatik) sebagai gejala ikutan atau akibat dari stress, kecemasan dan depresi yang berkepanjangan.
Untuk menghilangkan keluhan-keluhan somatik (fisik) itu dapat diberikan obat- obatan yang
ditujukan kepada organ tubuh yang bersangkutan.
c. Pendekatan Terapi Psikologik (Psikoterapi/Konseling)

35
Kesehatan Mental
Psikoterapi ini banyak macam ragamnya tergantung dari kebutuhan baik individual maupun
keluarga, misalnya; Psikoterapi suportif( memberikan motivasi), Psikoterapi re-edukatif
(pendidikan ulang), Psikoterapi re-konstruktif (rekontruksi kepribadian), Psikoterapi kognitif
(memulihkan fungsi kognitif pasien), Psikoterapi psiko-dinamik (menganalisa dan menguraikan
proses dinamika kejiwaan pasien), Psikoterapi perilaku (memulihkan gangguan perilaku untuk
beradaptasi) dan Psikoterapi keluarga(memperbaiki hubungan kekeluargaan).
c. Pendekatan Terapi Perilaku( Psikososial)
Maksudnya untuk memulihkan kembali kemampuan adaptasi agar yang bersangkutan dapat
kembali berfungsi secara wajar dalam kehidupan sehai-hari baik di rumah, di sekolah/kampus, di
tempat kerja, maupun dilingkungan pergaulan sosialnya. Untuk mencapai hal tersebut di atas
hendaknya kita melakukan perubahan-perubahan kebiasaan (gaya hidup) yang idak sehat.
d. Pendekatan Terapi Religi (Agama).
Allah berfirman dalam surah Asy-Syura ( 26 ), 80:
    
Terjemahnya:Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku.66
.Ayat ini maksudnya manusia harus berusaha dan berikhtiyar apabila ia sakit, yaitu berobat
dan Insya Allah akan menyembuhkanya. Soal penyembuhan juga disebutkan dalam Al-Quran surah
Yunus (10): 57:
          
   
Terjemahnya: Hai manusia, Sesungguhnya Telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta
rahmat bagi orang-orang yang beriman.67
Olehnya itu setiap fasien harus mendekatkan diri kepada Allah dalam artian meningkatkan
ketaqwaan serta selalu berdoa dan berzikir, supaya dosa-dosa yang salah satu penyebab penyakit
bisa disembuhkan oleh Allah swt.

3. Kecemasan
Kecemasan sebagai pengalaman psikis yang biasa dan wajar, yang pernah dialami oleh
setiap orang dalam rangka memacu individu untuk mengatasi masalah yang dihadapi sebaik-
baiknya, Maslim (1991). Suatu keadaan seseorang merasa khawatir dan takut sebagai bentuk reaksi
dari ancaman yang tidak spesifik (Rawlins 1993). Penyebabnya maupun sumber biasanya tidak
diketahui atau tidak dikenali. Intensitas kecemasan dibedakan dari kecemasan tingkat ringan sampai
tingkat berat. Menurut Sundeen (1995) mengidentifikasi rentang respon kecemasan kedalam empat
tingkatan yang meliputi, kecemasan ringan, sedang, berat dan kecemasan panik.
Seseorang akan menderita gangguan cemas manakala yang bresangkutan tidak mampu
mengatasi stresor psikososial.68 Tipe kepribadian pencemas antara lian; Cemas, khawatir, tidak

66
Departemen Agama, op.cit., h. 579
67
Ibid., h. 315
68
Dadang Hawari, op.cit., h.504

36
Kesehatan Mental
tenang, ragu dan bimbang; Memandang masa depan dengan was-was (khawatir); Kurang percaya
diri, gugup apabila tampil di muka umum (”demam panggung”); Sering merasa tidak bersalah,
menyalahkan orang lain; Tidak mudah mengalah, suka ”ngotot”; gerakan sering serba salah, tidak
tenang bila duduk, gelisah; Seringkali mengeluh ini dan itu (keluhan-keluhan somatik), khawatir
berlebihan terhadap penyakit; Mudah tersinggung, suka membesar-besarkan masalah yang kecil
(dramatisasi); Dalam mengambil keputusan sering diliputi rasa bimbang dan ragu; bila
mengemukakan sesuatu atau bertanya seringkali diulang-ulang; Kalau sedang emosi sering kali
bertindak histeris.
Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh orang yang mengalami gangguan
kecemasan antara lain sebagai berikut: Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya
sendiri, mudah tersinggung; Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut; Takut sendirian,
takut pada keramaian dan banyak orang; Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan;
Gangguan konsentrasi dan daya ingat; Keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan
tulang, pendengaran berdenging (tinitus), berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan,
gangguan perkemihan, sakit kepala dan lain sebagainya.
Gejala-gejala fisiknya adalah sebagai berikut: gemetar, tegang, nyeri otot, letih, tidak dapat
santai, kelopak mata bergetar, kening berkerut, muka tegang, gelisah, tidak dapat diam, mudah
kaget, berkeringat berlebihan, jantung berdebar-debar, rasa dingin, telapak tangan/kaki basah, mulut
kering, pusing, kepala terasa ringan, kesemutan, rasa mual, rasa aliran panas atau dingin, sering
buang air seni, diare, rasa tidak enak di ulu hati, kerongkongan tersumbat, muka merah atau pucat,
denyut nadi dan nafas yang cepat waktu istirahat.
Tiap manusia pasti mempunyai rasa cemas. rasa cemas ini biasanya terjadi pada saat adanya
kejadian atau peristiwa tertentu, maupun dalam menghadapi suatu hal. Misalkan, orang merasa
cemas, ketika tampil dihadapan banyak orang atau ketika sebelum ujian berlangsung, dan masih
banyak lagi. Kecemasan yang dimiliki seseorang seperti diatas adalah normal. dan bahkan
kecemasan ini perlu dimiliki oleh manusia. akan tetapi kecemasan berubah menjadi abnormal ketika
kecemasan yang ada dalam diri individu menjadi berlebihan atau melebihi dari kapasitas umumnya.
Individu yang mengalami gangguan seperti ini bisa dikatakan mengalami anxiety disorder
(gangguan kecemasan) yaitu ketakutan yang berlebihan dan sifatnya tidak rasional. Seseorang
dikatakan menderita anxiety disorder apabila kecemasan atau anxietas ini mengganggu aktivitas
dalam kehidupan dari diri individu tersebut. salah satunya terganggunya fungsi sosial dalam diri
individu. Misalnya, kecemasan yang berlebihan ini menghambat diri seseorang untuk menjalin
hubungan akrab antar individu maupun kelompoknya.
Tipe-Tipe Gangguan Kecemasan.
Anxiety disorder memiliki bebrapa pembagian yang lebih spesifik. diantaranya:
1. Fobia
Fibia adalah ketakutan yang berlebihan yang disebabkan oleh benda, binatang ataupun
peristiwa tertentu. sifatnya biasanya tidak rasional, dan timbul akibat peristiwa traumatik yang
pernah dialami individu. Fobia juga merupakan penolakan berdasar ketakutan terhadap benda atau

37
Kesehatan Mental
situasi yang dihadapi, yang sebetulnya tidak berbahaya dan penderita mengakui bahwa ketakutan
itu tidak ada dasarnya. Ada beberapa macam Fobia:
a. Fobia Spesifik adalah ketakutan berlebih yang disebabkan oleh benda, atau peristiwa
traumatik tertentu, misalnya: ketakutan terhadap kucing (ailurfobia), ketakutan terhadap ketinggian
(acrofobia), ketakutan terhadap tempat tertutup (agorafobia), fobia terhadap kancing baju, dsb.
b. Fobia Sosial adalah ketakutan berlebih pada kerumunan atau tempat umum. ketakutan ini
disebabkan akibat adanya pengalaman yang traumatik bagi individu pada saat ada dalam
kerumunan atau tempat umum. misalnya dipermalukan didepan umum, ataupun suatu kejadian yang
mengancam dirinya pada saat diluar rumah.69
2. Obsesif Kompulsif
Seperti contoh Kasus dibawah ini: X adalah seorang remaja madya yang saat ini sedang
kuliah disuatu universitas. sudah beberapa hari ini ia mempunyai kebiasaan aneh yang tidak bisa ia
hentikan. kebiasannya adalah mencuci tangannya lebih dari 10x dalam satu hari. teman-temannya
juga heran mengapa ia berperilaku seperti itu. ketika ia berkonsultasi kepada psikolog sekolahnya ia
baru tahu apa yang terjadi padanya. psikolog menanyainya apa yang menyebabkannya seperti itu,
lalu X mulai menceritakan kejadian apa yang sebenarnya ia lakukan.X adalah kakak dari A. saat
kecil keduanya pernah bertengkar, X tanpa sengaja mengambil gunting dan menorehkannya ke
lengan adiknya,A. akibatnya lengan A terluka dan menyebabkannya cacat. peristiwa ini
membuatnya bersalah dan ia terus menerus memikirkan kesalahannya ini (obsesif), dan tiap kali ia
mengingatnya ia akan mencuci tangannya berulang-ulang. (kompulsif).
Berdasarkan cerita diatas, kita bisa melihat bahwa obsesif adalah pemikiran yang berulang
dan terus-menerus. Sedangkan kompulsif adalah pelaksanaan dari pemikirannya tersebut. Perilaku
ini merupakan ritual pembebasan dari dosa pada orang tersebut. dengan mencuci tangan ia berharap
bisa membersihkan dari dosa yang telah ia perbuat. obsesif kompulsif ini biasanya cenderung pada
perilaku bersih-bersih. Perilaku seperti ini sebenarnya banyak terjadi pada lingkungan kita tetapi,
kita kadang malah menganggap perilaku ini wajar.
3. Post Traumatik-Stress Disorder (PTSD/ Gangguan Stress Pasca Trauma)
PTSD merupakan kecemasan akibat peristiwa traumatik yang biasanya dialami oleh veteran
perang atau orang-orang yang mengalami bencana alam . PTSD biasnya muncul beberapa tahun
setelah kejadian dan biasanya diawali dengan ASD, jika lebih dari 6 bulan maka orang tersebut
dapat mengembangkan PTSD. Simtom dan diagnosis:
Akibat kejadian traumatik atau bencana yang tingkatnya sangat buruk: perkosaan, peperangan,
bencana alam, ancaman yang serius terhadap orang yang sangat dicintai, melihat orang lain disakiti
atau dibunuh. Akan berakibat tidak dapat konsentrasi, mengingat, tidak dapat santai, impulsif,
mudah terkejut, gangguan tidur, cemas, depresi, mati rasa; hal-hal yang menyenangkan tidak
menarik lagi, ada perasaan asing terhadap orang-lain dan yang lampau. Kalau trauma dialami
bersama orang lain, dan yang lain mati: ada rasa bersalah, sering terjadi mimpi buruk atau gangguan
tidur.

69
Supratinya,A. Mengenal Perilaku Abnormal, (Yogyakarta: Kanisius.
LAB/UPF Ilmu Kedokteran Jiwa, 1995), h.7-8

38
Kesehatan Mental
Gangguan pasca trauma dapat akut, kronis atau lambat, trauma akibat orang, perang,
serangan fisik atau penganiayaan berlangsung lebih lama daripada trauma setelah bencana alam.
Simtom memburuk jika dihadapkan kepada situasi yang mirip. Dapat terjadi pada anak dan orang
dewasa. Simtom pada anak: mimpi tentang monster atau perubahan tingkah laku: ramai → pendiam
Riwayat psikopatologi pada keluarga memegang peranan Perlakuan Dapat melalui terapi kelompok.
Dengan cara ini penderita mendapatkan support dari teman-temannya.
4. GAD (Generalized Anxiety Desease: Gangguan Kecemasan Tergeneralisasikan)
Tanda-tanda; kecemasan kronis terus menerus rnencakup situasi hidup (cemas akan terjadi
kecelakaan, kesulitan finansial). Ada keluhan somatik: berpeluh, merasa panas, jantung berdetak
keras, perut tidak enak, diare, sering buang air kecil, dingin, tangan basah, mulut kering,
tenggorokan terasa tersumbat, sesak nafas, hiperaktivitas sistem saraf otonomik. Merasa ada
gangguan otot: ketegangan atau rasa sakit pada otot terutama pada leher dan bahu, pelupuk mata
berkedip terus, bcrgetar, mudah lelah, tidak mampu untuk santai, mudah terkejut, gelisah, sering
berkeluh. Cemas akan terjadinya bahaya, cemas kehilangan kontrol, cemas akan
mendapatkan.serangan jantung, cemas akan mati. Sering penderita tidak sabar, mudah marah, tidak
dapat tidur, tidak dapat konsentrasi.
5. Gangguan Panik
Tanda-tanda: sekonyong-sekonyong\sesak nafas, detak jantung keras, sakit di dada, merasa
tercekik, pusing, berpeluh, bergetar, ketakutan yang sangat akan teror, ketakutan akan ada
hukuman. Depersonalisasi dan derealisasi: perasaan ada di luar badan, merasa dunia tidak nyata,
ketakutan kehilangan kontrol, ketakutan menjadi gila, takut akan mati. Terjadinya: sering, sekali
seminggu atau lebih sering. Beberapa menit. Dihubungkan dengan situasi khusus, misalnya
mengendarai mobil. 70
Terapi Gangguan Kecemasan
Pendekatan-pendekatan psikologis berbeda satu sama lain dalam tekhnik dan tujuan
penanganan kecemasan. Tetapi pada dasarnya berbagai tekhnik tersebut sama-sama mendorong
klien untuk menghadapi dan tidak menghindari sumber-sumber kecemasan mereka. Dalam
menangani gangguan kecemasan dapat melalui beberapa pendekatan :
1.Pendekatan-Pendekatan Psikodinamika
Dari perspektif psikodinamika, kecemasan merefleksikan energi yang dilekatkan kepada
konflik-konflik tak sadar dan usaha ego untuk membiarkannya tetap terepresi. Psikoanalisis
tradisional menyadarkan bahwa kecemasan klien merupakan simbolisasi dari konflik dalam diri
mereka. Dengan adanya simbolisasi ini ego dapat dibebaskan dari menghabiskan energi untuk
melakukan represi. Dengan demikian ego dapat memberi perhatian lebih terhadap tugas-tugas yang
lebih kreatif dan memberi peningkatan. Begitu juga dengan yang modern, akan tetapi yang modern
lebih menjajaki sumber kecemasan yang berasal dari keadaaan hubungan sekarang daripada
hubungan masa lampau. Selain itu mereka mendorong klien untuk mengembangkan tingkah laku
yang lebih adaptif.
70
Lihat dalam Pedoman Diagnosis Dan Terapi (Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan
RSUD Dr. Soetomo., 1994), h. 26-27

39
Kesehatan Mental
2.Pendekatan-Pendekatan Humanistik
Para tokoh humanistik percaya bahwa kecemasan itu berasal dari represi sosial diri kita yang
sesungguhnya. Kecemasan terjadi bila ketidaksadaran antara inner self seseorang yang
sesungguhnya dan kedok sosialnya mendekat ke taraf kesadaran. Oleh sebab itu terapis-terapis
humanistik bertujuan membantu orang untuk memahami dan mengekspresikan bakat-bakat serta
perasaan-perasaan mereka yang sesungguhnya. Sebagai akibatnya, klien menjadi bebas untuk
menemukan dan menerima diri mereka yang sesunggguhnya dan tidak bereaksi dengan kecemasan
bila perasaan-perasaan mereka yang sesungguhnya dan kebutuhan-kebutuhan mereka mulai muncul
ke permukaan.
3.Pendekatan-Pendekatan Biologis.
Pendekatan ini biasanya menggunakan variasi obat-obatan untuk mengobati gangguan
kecemasan. Diantaranya golongan benzodiazepine Valium dan Xanax (alprazolam). Meskipun
benzodiazepine mempunyai efek menenangkan, tetapi dapat mengakibatkan depensi fisik. Obat
antidepresi mempunyai efek antikecemasan dan antipanik selain juga mempunyai efek antidepresi.
71

4.Pendekatan-Pendekatan Belajar Efektifitas


Penanganan kecemasan dengan pendekatan belajar telah banyak dibenarkan oleh beberapa
riset. Inti dari pendekatan belajar adalah usaha untuk membantu individu menjadi lebih efektif
dalam menghadapi situasi yang menjadi penyebab munculnya kecemasan tersebut.
Ada beberapa macam model terapi dalam pendekatan belajar, diantaranya :
a) Pemaparan Gradual Metode ini membantu mengatasi fobia ataupun kecemasan melalui
pendekatan setapak demi setapak dari pemaparan aktual terhadap stimulus fobik. Efektifitas terapi
pemaparan sudah sangat terbukti, membuat terapi ini sebagai terapi pilihan untuk menangani fobia
spesifik. Pemaparan gradual juga banyak dipakai pada penanganan agorafobia. Terapi bersifat
bertahap menghadapkan individu yang agorafobik kepada situasi stimulus yang makin menakutkan,
sasaran akhirnya adalah kesuksesan individu ketika dihadapkan pada tahap terakhir yang
merupakan tahap terberat tanpa ada perasaan tidak nyaman dan tanpa suatu dorongan untuk
menghindar. Keuntungan dari pemaparan gradual adalah hasilnya yang dapat bertahan lama. Cara
Menanggulangi ataupun cara membantu memperkecil kecemasan:
b) Rekonstruksi Pikiran Yaitu membantu individu untuk berpikir secara logis apa yang terjadi
sebenarnya. biasanya digunakan pada seorang psikolog terhadap penderita fobia.
c) Flooding Yaitu individu dibantu dengan memberikan stimulus yang paling membuatnya takut
dan dikondisikan sedemikan rupa serta memaksa individu yang menderita anxiety untuk
menghadapinya sendiri.
d) Terapi Kognitif Terapi yang dilakukan adalah melalui pendekatan terapi perilaku rasional-
emotif, terapi kognitif menunjukkan kepada individu dengan fobia sosial bahwa kebutuhan-
kebutuhan irrasional untuk penerimaan-penerimaan sosial dan perfeksionisme melahirkan
kecemasan yang tidak perlu dalam interaksi sosial. Kunci terapeutik adalah menghilangkan
71
Lihat Panggabean, L. (2003). Pengembangan Kesehatan Perkotaan ditinjau dari Aspek Psikososial. (makalah).
Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat DepKes. H.5-7

40
Kesehatan Mental
kebutuhan berlebih dalam penerimaan sosial. Terapi kognitif berusaha mengoreksi keyakinan-
keyakinan yang disfungsional. Misalnya, orang dengan fobia sosial mungkin berpikir bahwa tidak
ada seorangpun dalam suatu pesta yang ingin bercakap-cakap dengannya dan bahwa mereka
akhirnya akan kesepian dan terisolasi sepanjang sisa hidup mereka. Terapi kognitif membantu
mereka untuk mengenali cacat-cacat logis dalam pikiran mereka dan membantu mereka untuk
melihat situasi secara rasional. Salah satu contoh tekhnik kognitif adalah restrukturisasi kognitif,
suatu proses dimana terapis membantu klien mencari pikiran-pikiran dan mencari alternatif rasional
sehingga mereka bisa belajar menghadapi situasi pembangkit kecemasan.
e) Terapi Kognitif Behavioral (CBT) Terapi ini memadukan tehnik-tehnik behavioral seperti
pemaparan dan tehnik-tehnik kognitif seperti restrukturisasi kognitif. Beberapa gangguan
kecemasan yang mungkin dapat dikaji dengan penggunaan CBT antara lain : fobia sosial, gangguan
stres pasca trauma, gangguan kecemasan menyeluruh, gangguan obsesif kompulsif dan gangguan
panik. Pada fobia sosial, terapis membantu membimbing mereka selama percobaan pada pemaparan
dan secara bertahap menarik dukungan langsung sehingga klien mampu menghadapi sendiri situasi
tersebut.72

4. Gangguan Kepribadian
Klinik menunjukkan bahwa gejala-gejala gangguan kepribadian (psikopatia) dan gejala-
gejala neurosa berbentuk hampir sama pada orang-orang dengan intelegensi tinggi ataupun rendah.
Jadi boleh dikatakan bahwa gangguan kepribadian neurose dan gangguan intelegensi sebagaian
besar tidak tergantung pada satu dan lain atau tidak berkorelasi. Klasifikasi gangguan kepribadian:
kepribadian paranoid, kepribadian afektif atau siklotemik, kepribadian skizoid, kepribadian
axplosif, kepribadian anankastik atau obsesif-konpulsif, kepridian histerik, kepribadian astenik,
kepribadian antisosial, Kepribadian pasif agresif, kepribadian inadequat, Maslim (1998).
John C. Nemiah, MD, profesor psikiatri dari Harvard Medical School dalam bukunya
Foundations of Psychopathology menjelaskan istilah narsisme berasal dari kata Narcissus, nama
seorang pemuda tampan dalam mitos Yunani kuno. Konon suatu hari Narcissus menangkap citra
wajahnya pada permukaan air yang tenang di hutan, dan sontak ia jatuh cinta pada diri sendiri.
Selanjutnya ia putus asa karena tidak mampu memenuhi apa yang sangat diinginkannya; ia bunuh
diri dengan sebilah belati. Dari tetesan darahnya yang jatuh di dekat air, tumbuhlah bunga yang
sampai sekarang dikenal dengan nama Narcissus. Dari penjelasan di atas, tergambar adanya
kesulitan besar berhubungan dengan orang lain bila kita terlalu mengagumi diri sendiri. Kekaguman
pada diri sendiri yang berlebihan membuat kita selalu lapar untuk memuaskan kebutuhan dan
kepentingan diri sendiri, selalu mencari perhatian dan pujian, serta tidak peka terhadap perasaan dan
kebutuhan orang lain.
A. Pengertian Gangguan Kepribadian
72
Lihat selengkapnya dalam Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja. 2005. Pengantar Psikologi Abnormal.
(Bandung: PT. Refika Aditama., 2005), h. 74-77

41
Kesehatan Mental
Gangguan Kepribadian adalah pola-pola perilaku maladaptive yang sifatnya kronis, dan
sepenuhnya tidak merasakan gangguan (Meyer dan Salmon, 1984). Beberapa  ciri lain gangguan
kepribadian antara lain adalah kepribadian menjadi tidak fleksibel, tidak wajar atau tidak dewasa
dalam menghadapi stres dalam memecahkan masalah. Mereka umumnya tidak kehilangan kontak
dengan realitas dan tidak menunjukkan kekacauan perilaku yang mencolok seperti pada penderita
narsistik. Penderitaan ini biasanya dialami oleh para remaja dan dapat berlangsung sepanjang hidup
( Atkinson dkk., 1992).
Gangguan kepribadian narsissistik (narcissistic personality disorder) atau cinta pada diri
sendiri digambarkan sebagai orang yang memiliki rasa kepentingan diri yang melambung
(gradiositas) dan dipenuhi khayalan-khayalan sukses bahkan saat prestasi mereka biasa saja, jatuh
cinta pada dirinya sendiri karena merasa mempunyai diri yang unik, selalu mencari pujian dan
perhatian, serta tidak peka terhadap kebutuhan orang lain, malahan justru seringkali
mengeksplorasinya. ( Atkinson dkk., 1992). Dan mereka juga beranggapan bahwa dirinya spesial
dan berharap mendapatkan perlakuan yang khusus pula. Oleh karena itu, mereka sangat sulit atau
tidak dapat menerima kritik dari orang lain. Mereka selalu ingin mengerjakan sesuatu sesuai dengan
cara yang sudah mereka tentukan dan seringkali ambisius serta mencari ketenaran. Sikap mereka ini
mengakibatkan hubungan yang mereka miliki biasanya rentan (mudah pecah) dan mereka dapat
membuat orang lain sangat marah karena penolakan mereka untuk mengikuti aturan yang telah ada.
Mereka juga tidak mampu untuk menampilkan empati, kalaupun mereka memberikan empati atau
simpati, biasanya mereka memiliki tujuan tertentu untuk kepentingan diri mereka sendiri, atau
dengan kata lain mereka bersifat self-absorbed.
Meski mereka berbagi ciri tertentu dengan kepribadian histrionik, seperti tuntutan untuk
menjadi pusat perhatian, mereka memiliki pandangan yang jauh lebih membanggakan tentang diri
mereka sendiri dan kurang melodramatik dibanding orang dengan kepribadian histrionik. Label
gangguan kepribadian ambang (BPD) terkadang dikenakan pada mereka, namun orang dengan
kepribadian narsistik umumnya dapat mengorganisasi pikiran dan tindakan mereka dengan lebih
baik. Mereka cenderung lebih berhasil dalam karier mereka dan lebih bisa meraih posisi dengan
status tinggi dan kekuasaan. Hubungan mereka juga cenderung lebih stabil dibanding dengan orang
BPD.
Walaupun lebih dari setengah orang yang didiagnosis dengan gangguan ini adalah laki-laki,
kita tidak dapat mengatakan bahwa ada perbedaan gender yang mendasar pada tingkat prevalensi
dalam populasi umum. Derajat tertentu dari narsisme dapat mencerminkan penyesuaian diri yang
sehat akan rasa tidak aman, sebuah tameng akan kritik dan kegagalan, atau motif untuk berprestasi
(Goleman, 1988). Kualitas narsistik yang berlebihan dapat menjadi tidak sehat, terutama bila
kelaparan akan pemujaan yang menjadi keserakahan.
b. Ciri-Ciri Gangguan
Menurut DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders – Fourth
Edition) individu dapat dianggap mengalami gangguan kepribadian narsissistik jika ia sekurang-
kurangnya memiliki 5 (lima) dari 9 (sembilan) ciri kepribadian sebagai berikut:
1. Merasa Diri Paling Hebat

42
Kesehatan Mental
2. Seringkali memiliki rasa iri pada orang lain atau menganggap bahwa orang lain iri kepadanya (is
often envious of others or believes that others are envious of him or her).
3. Fantasi  Kesuksesan & Kepintaran
4. Sangat Ingin dikagumi (requires excessive admiration).
5. Kurang empati  (lacks of empathy: is unwilling to recognize or identify with the feelings and
needs of others).
6. Merasa Layak Memperoleh Keistimewaan (has a sense of entitlement).
7. Angkuh dan Sensitif Terhadap Kritik (shows arrogant, haughty behavior or attitudes).
8. Kepercayaan Diri yang Semu
9. Yakin bahwa dirinya khusus, unik dan dapat dimengerti hanya oleh atau harus dengan orang atau
institusi yang khusus atau memiliki status tinggi.73
Secara sains tidak ditemukan sebab-sebab yang sifatnya mengungkapkan narsistik, tapi
banyak riset yang mengungkapkan bahwa ada faktor tertentu yang menandakan bahwa seseorang
itu memiliki gangguan kepribadian narsistik antara lain:
1. merasa dirinya sangat penting dan ingin dikenal oleh orang lain
2. merasa diri unik dan istimewa
3. Suka dipuji dan jika perlu memuji diri sendiri
4. kecanduan difoto atau di shooting
5. suka berlama lama di depan cermin
6. kebanggan berlebih
7. Eksploitatif secara interpersonal(is interpersonally exploitative), yaitu mengambil
keuntungan dari orang lain demi kepentingan diri sendiri.
8. Perilaku congkak/ sombong.74
Spencer A Rathus dan Jeffrey S. Nevid menyebutkan dalam bukunya, Abnormal
Psychology (2000) bahwa orang yang Narcissistic memandang dirinya dengan cara yang
berlebihan. Mereka senang sekali menyombongkan dirinya dan berharap orang lain memberikan
pujian. Hal tersebut dapat berupa kekaguman yang berlebihan terhadap wajah sendiri atau dapat
pula terhadap bagian tubuh tertentu seperti menyukai bentuk mata, bentuk bibir, betis
dsb.Kebutuhan untuk diperhatikan dapat pula menjadikan seseorang rentan terhadap kekurangan
fisik. Ada yang merasa sangat tidak nyaman gara gara jerawat “bandel”, ada merasa perlu dandan
total, walaupun cuma mau ke pasar.75
Contoh Kasus:
David berprofesi sebagai pengacara dan berusia awal 40an. Dia pertama kali datang
mengunjungi psikolog untuk mengatasi mood negatifnya. Sejak awal pertemuan tampak bahwa
David sangat menaruh perhatian pada penampilannya. Dia secara khusus menanyakan pendapat
terapis mengenai baju setelan model terbaru yang dikenakannya dan juga sepetu barunya. David
73
Lihat Fausiah, F &  Widury, J. 2005.Psikologi Abnormal Klinis Dewasa (Jakarta : Universitas Indonesia,
2005), h. 47-51
74
Lihat Ibid., h. 54
75
Nevid, J.S., Rathus, S.A., & Greene, B. 2003. Psikologi Abnormal jilid 1. (Jakarta : Erlangga, 2003), h.. 72-
74

43
Kesehatan Mental
juga bertanya kepada terapis tentang mobil yang digunakan dan berapa banyak klien kelas atas
yang ditangani oleh terapis tersebut. David sangat ingin memastikan bahwa dia sedang
berhubungan dengan seseorang yang terbaik bidangnya. David bercerita tentang kesuksesannya
dalam bidang akademis dan olahraga, tanpa mampu memberikan bukti apapun yang memastikan
keberhasilannya. Selama bersekolah di sekolah hukum, dia adalah seorang work- aholic, penuh
akan fantasi akan keberhasilannya hingga tidak memiliki waktu untuk isterintya. Setelah anak
mereka lahir, David semakin sedikit menghabiskan waktu dengan keluarganya. Tidak lama setelah
dia memliki pekerjaan yang mapan, David menceraikan isterinya karena tidak lagi membutuhkan
bantuan ekonomi dario sang istri. Setelah perceraian tersebut, David memutuskan bahwa dia
benar-benar bebas untuk menikmati hidupnya. Dia sangat suka menghabiskan uang untuk dirinya
sendiri, misalnya dengan menghias apaartemennya dengan berbagai benda-benda yang sangat
menarik perhatian. Dia juga seringkali berhubungan dengan wanita-wanita yang sangat menarik.
Dalam pergaulannya, David merasa nyaman apabila dirinya menjadi pusat perhatian semua
orang. Dia pun merasa nyaman ketika dia berfantasi mengenai kepopuleran yang akan diraihnya,
mendapatkan suatu penghargaan, ataupun memiliki kekayaan berlimpah (sumber : Barlow &
Durant, 1995).
Dengan Individu dengan gangguan kepribadian narsisitik tidak memiliki self-esteem yang
mantap dan mereka rentan untuk menjadi depresi. Masalah-masalah yang biasanya muncul karena
tingkah laku individu yang narsistik misalnya sulit membina hubungan interpersonal, penolakan
dari orang lain, kehilangan sesuatu atau masalah dalam pekerjaan. Kesulitan lainnya adalah mereka
ternyata tidak mampu mengatasi stress mereka rasakan dengan baik. Gangguan kepribadian
narsistik merupakan gangguan yang kronis dan sulit untuk mendapatkan perawatan. Mereka
biasanya tidak dapat menerima kenyataan bahwa usia mereka sudah lanjut, mereka tetap
menghargai kecantikan, kekuatan, dan usia muda secara tidak wajar. Oleh karena itu, mereka lebih
sulit untuk melewati krisis pada usia senja ketimbang individu lain pada umumnya.
Pada penderita narsisme terdapat hubungan erat antara kebutuhan narsistik dengan
kemarahan, bila kebutuhan itu tidak terpuaskan maka akan timbul reaksi tidak setuju dan marah
ketika gagal mendapatkan sesuatu yang kita inginkan. Kebutuhan dan tuntutannya atas orang lain
lebih kuat dan lebih sering dibanding orang dewasa yang berkepribadian matang. Akibat adanya
perasaan lemah, ketidakberdayaan, dan ketidakmampuan yang dialami secara intensif; dan
seringnya terjadi ketidakpuasan (kekecewaan); ia mulai berharap, seringkali mencari, menyeberang
ke orang lain, dan makin kuat sensitivitasnya terhadap penolakan sehingga reaksi-reaksi
kemarahannya sangat kuat. Ini bertentangan dengan harapannya untuk menjadi orang yang baik dan
mencintai, sehingga menambah perasaan ketidakcakapan, ketidakberdayaan, dan rasa bersalah.
Penderita narsisme terjebak dalam lingkaran setan, di mana sebuah tindakan dapat membuat
mereka semakin mengalami kesulitan. Kondisi psikologis ambivalen (atau keadaan memiliki
hubungan yang ambivalen dengan seseorang yang penting) seperti itu, jelas bukan keadaan yang
nyaman. Nemiah juga menjelaskan bahwa penderita narsisme besar kemungkinannya menderita
kesulitan emosional, bila dihadapkan pada kematian individu tempat dirinya bergantung dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhan narsistiknya.

44
Kesehatan Mental
c. Metode Penanganan
Adakah cara untuk keluar dari gamgguan kepribadian narsisme? Tentu saja yaitu dengan
mengambil jalur lain; tidak mengikuti dorongan emosi atau dorongan bertindak yang diarahkan oleh
narsisme. Untuk itu diperlukan kesediaan mengamati gerak-gerik emosi dan keinginan-keinginan di
balik perilaku kita dalam berhubungan dengan orang lain, supaya dorongan yang egoistis dan tidak
realistis dapat dikenali. Selain itu juga harus mulai belajar berempati, membiasakan diri mengamati
masalah dari perspektif orang lain.Sedikitnya ada dua fakta yang bisa menjelaskan kesombongan di
dalam diri manusia. Yang pertama, semua orang tidak suka melihat kesombongan di dalam diri
orang lain. Kedua, tidak ada orang yang bisa menerima dengan ikhlas apabila kesombongannya
dikoreksi orang lain. Dalam Al-quran sifat-sifat seperti itu harus ditinggalkan dan dihindari dalam
hubungan kita dengan sesama manusia, sebagaimana firman-Nya dalam surah Luqman (31), ayat 18
berbunyi:
               
 
Terjemahnya: Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.76
Adapun proses atau solusi yang dapat kita lakukan:
1. Selalu menciptakan perbandingan positif. Artinya,kita melihat orang lain sebagai makhluk
yang piunya kelebihan dan mempunyai sesuatu materi yang bisa kita bagikan untuk
memperbaiki diri, siapapun orang itu.
2. Koreksi langsung. Terkadang kita memunculkan ucapan, perilaku dan sifat-sifat yang
mengandung kesombongan dan itu baru kita sadari setelah kita renungkan.
3. Menumbuhkan dorongan untuk melaklukan learning (pembelajaran hidup).
4. Belajar hidup sederhana. Sederhana disini bukan berati miskin atau berpura-pura miskin.
Sederhana adalah moderasi yang proporsional. Sederhannya orang kaya adalah menghindari
kefoya-foyaan atau berlebih-lebihan untuk hal-hal yang manfaatnya kecil, sedangkan
sederhannya orang yang belum atau tidak kaya adalah menghindari munculnya nafsu untuk
mendapatkan kekayaan dengan cara yang menyengsarakan diri. Hal ini agar kita tidak masuk
kedalam perangkap hedonisme.
5. Belajar memilih ungkapan, penyingkapan dan keputusan yang bersumber dari kerendahan
hati (humble). Misalnya: melihat cara orang lain, membaca buku, mengoreksi diri kita dimasa
lalu dan lain. Karena hukum paradoks yang bekerja didunia ini menggariskan bahwa ketika
kita humble,justru feed back yang muncul adalah sebaliknya, begitu juga tinggi hati (arogant),
feed back yang muncul sebaliknya lagi.

5. Gangguan Mental Organik


Merupakan gangguan jiwa yang psikotik atau non-psikotik yang disebabkan oleh gangguan
fungsi jaringan otak (Maramis,1994). Gangguan fungsi jaringan otak ini dapat disebabkan oleh

76
Departemen Agama, op.cit., h. 655

45
Kesehatan Mental
penyakit badaniah yang terutama mengenai otak atau yang terutama diluar otak. Bila bagian otak
yang terganggu itu luas , maka gangguan dasar mengenai fungsi mental sama saja, tidak tergantung
pada penyakit yang menyebabkannya bila hanya bagian otak dengan fungsi tertentu saja yang
terganggu, maka lokasi inilah yang menentukan gejala dan sindroma, bukan penyakit yang
menyebabkannya. Pembagian menjadi psikotik dan tidak psikotik lebih menunjukkan kepada berat
gangguan otak pada suatu penyakit tertentu daripada pembagian akut dan menahun.
Gangguan otak organik didefinisikan sebagai gangguan dimana terdapat suatu patologi yang
dapat diidentifikasi (contohnya tumor otak. penyakit cerebrovaskuler, intoksifikasi obat).
Sedangkan gangguan fungsional adalah gangguan otak dimana tidak ada dasar organik yang dapat
diterima secara umum (contohnya Skizofrenia. Depresi) Dari sejarahnya, bidang neurologi telah
dihubungkan dengan pengobatan gangguan yang disebut organik dan Psikiatri dihubungkan dengan
pengobatan gangguan yang disebut fungsional.77
Didalam DSM IV diputusakan bahwa perbedaan lama antara gangguan organik dan
fungsional telah ketinggalan jaman dan dikeluarkan dari tata nama. Bagian yang disebut “Gangguan
Mental Organik” dalam DSM III-R sekarang disebut sebagai Delirium, Demensia, Gangguan
Amnestik Gangguan Kognitif lain, dan Gangguan Mental karena suatu kondisi medis umum yang
tidak dapat diklasifikasikan di tempat lain.78
Menurut PPDGJ III gangguan mental organik meliputi berbagai gangguan jiwa yang
dikelompokkan atas dasar penyebab yang lama dan dapat dibuktikan adanya penyakit, cedera atau
ruda paksa otak, yang berakibat disfungsi otak Disfungsi ini dapat primer seperti pada penyakit,
cedera, dan ruda paksa yang langsung atau diduga mengenai otak, atau sekunder, seperti pada
gangguan dan penyakit sistemik yang menyerang otak sebagai salah satu dari beberapa organ atau
sistem tubuh .79
PPDGJ II membedakan antara Sindroma Otak Organik dengan Gangguan Mental Organik.
Sindrom Otak Organik dipakai untuk menyatakan sindrom (gejala) psikologik atau perilaku tanpa
kaitan dengan etiologi. Gangguan Mental Organik dipakai untuk Sindrom Otak Organik yang
etiolognnya (diduga) jelas Sindrom Otak Organik dikatakan akut atau menahun berdasarkan dapat
atau tidak dapat kembalinya (reversibilitas) gangguan jaringan otak atau Sindrom Otak Organik itu
dan akan berdasarkan penyebabnya, permulaan gejala atau lamanya penyakit yang
menyebabkannya. Gejala utama Sindrom Otak Organik akut ialah kesadaran yang menurun
(delirium )dan sesudahnya terdapat amnesia, pada Sindrom Otak Organik menahun (kronik) ialah
demensia.80
Menurut PPDGJ III, klasifikasi gangguan mental organik adalah sebagai berikut :
77
Lihat W.F.Maramis, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa (Cet. VI;Surabaya: Airlangga University Press, 1992), h.
179-211.
78
Lihat Kaplan.H.I, Sadock. B.J, Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis, edisi ketujuh,
jilid 1. (Jakarta: Binarupa Aksara,1997), h. 502-540.
79
Lihat Kapita Selekta Kedoktera, Edisi ketiga, jilid 1. (Jakarta: Media Aesculapsius Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2001), h. 189-192.

80
Lihat Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III, editor Dr, Rusdi Maslim.1993, h.3

46
Kesehatan Mental
l. Demensia pada penyakit Alzheimer
1.1 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan onset dini.
1.2.Demensia pada penvakit Alzheimer dengan onset lambat.
1.3.Demensia pada penyakit Alzheimer, tipe tak khas atau tipe campuran.
1.4. Demensia pada penyakit Alzheimer Yang tidak tergolongkan ( YTT).
2. Demensia Vaskular
2.1.Demensia Vaskular onset akut.
2.2. Demensia multi-infark
2.3 Demensia Vaskular subkortikal.
2.4. Demensia Vaskular campuran kortikal dan subkortikal
2.5. Demensia Vaskular lainnya
2.6.  Demensia Vaskular YTT
3. Demensia pada penyakit lain yang diklasifikasikan di tempat lain (YDK)
3.1. Demensia pada penyakit Pick.
3.2. Demensia pada penyakit Creutzfeldt – Jakob.
3. 3. Demensia pada penyakit huntington.
3.4. Demensia pada penyakit Parkinson.
3.5. Demensia pada penyakit human immunodeciency virus (HIV).
3.6. Demensia pada penyakit lain yang ditentukan (YDT) dan YDK
4. Demensia YTT.
Karakter kelima dapat digunakan untuk menentukan demensia pada 1-4 sebagai berikut :
1. Tanpa gejala tambahan.
2. Gejala lain, terutama waham.
3. Gejala lain, terutama halusinasi
4. Gejala lain, terutama depresi
5. Gejala campuran lain.
5. Sindrom amnestik organik bukan akibat alkohol dan zat psikoaktif lainnya
6. Delirium bukan akibat alkohol dan psikoaktif lain nya
6.1.   Delirium, tak bertumpang tindih dengan demensia
6.2.  Delirium, bertumpang tindih dengan demensia
6. 3.   Delirium lainya.
6.4    DeliriumYTT.
7. Gangguan mental lainnya akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik.
7.1. Halusinosis organik.
7.2. Gangguan katatonik organik.
7.3. Gangguan waham organik (lir-skizofrenia)
7.4. Gangguan suasana perasaan (mood, afektif) organik.
7.4.1. Gangguan manik organik.
7.4.2. Gangguan bipolar organik.
7.4.3. Gangguan depresif organik.

47
Kesehatan Mental
7.4.4. Gangguan afektif organik campuran.
7.5. Gangguan anxietas organik
7.6. Gangguan disosiatif organik.
7.7. Gangguan astenik organik.
7.8. Gangguan kopnitif ringan.
7.9. Gangguan mental akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik lain YDT.
7.10. Gangguan mental akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik YTT.
8. Gangguan keperibadian dan prilaku akibat penyakit, kerusakan dan fungsi otak
8.1.  Gangguan keperibadian organik
8.2.  Sindrom pasca-ensefalitis
8.3.  Sindrom pasca-kontusio
8.4. Gangguan kepribadian dan perilaku organik akibat penyakit, kerusakan dan disfungsi
otak lainnya.
8.5. Gangguan kepribadian dan perilaku organik akibat penyakit, kerusakan dan disfungsi
otak YTT.
9. Gangguan mental organik atau simtomatik YTT81
Menurut Maramis, klasifikasi gangguan mental organik adalah sebagai berikut:
1. Demensia dan Delirium
2. Sindrom otak organik karena rudapaksa kepala.
3. Aterosklerosis otak
4. Demensia senilis
5. Demensia presenilis.
6. Demensia paralitika.
7. Sindrom otak organik karena epilepsi.
8. Sindrom otak organik karena defisiensi vitamin, gangguan metabolisme dan
intoksikasi.
9. Sindrom otak organik karena tumor intra kranial.
Menurut DSM IV, klasifikasi gangguan mental organik sebagai berikut:
1. Delirium
1.1. Delirium karena kondisi medis umum.
1.2. Delirium akibat zat.
1.3. Delirium yang tidak ditentukan (YTT)
2. Demensia.
2.1. Demensia tipe Alzheimer.
2.2. Demensia vaskular.
2.3. Demensia karena kondisi umum.
2.3.1.    Demensia karena penyakit HIV.
2.3.2.    Demensia karena penyakit trauma kepala.
2.3.3.      Demensia karena penyakit Parkinson.

81
Lihat Ibid., h. 5-9

48
Kesehatan Mental
2.3.4.      Demensia karena penyakit Huntington.
2.3.5.      Demensia karena penyakit Pick
2.3.6.      Demensia karena penyakit Creutzfeldt – Jakob
2.4. Demensia menetap akibat zat
2.5. Demensia karena penyebab multipeL
2.6. Demensia yang tidak ditentukan (YTT)
3. Gangguan amnestik
3.1.Gangguan amnestik karena kondisi medis umum.
3.2 Gangguan amnestik menetap akibat zat
3.3 Gangguan amnestik yang tidak ditentukan ( YTT )
4. Gangguan kognitif yang tidak ditentukan.82
Salah satu contoh gejala utama pada penyakit delirium adalah kesadaran yang menurun.
Gejala-gejala lain adalah penderita tidak mampu mengenal orang dan berkomunikasi dengan baik,
ada yang bingung atau cemas, gelisah dan panik, ada pasien yang terutama berhalusinasi dan ada
yang hanya berbicara komat-kamit dan inkoherent. Pasien delirium yang berhubungan dengan
sindrom putus obat merupakan jenis hiperaktif yang dapat dikaitkan dengan tanda-tanda otonom,
seperti flushing, berkeringat, takikardi, dilatasi pupil, nausca, mundan dan hipertermi. Orientasi
waktu seringkali hilang, sedangkan orientasi tempat dan orang mungkin terganggu pada kasus yang
berat. Pasien seringh mengalami Abromalitas dalam berbahasa, seperti pembicaraan yang bertele-
tele, tidak relevan dan inkoheren. Fungsi kognitif lain yang mungkin terganggu adalah daya ingat
dan fungsi kognitif umum. Pasien mungkin tidak mampu membedakan rangsang sensorik dan
mengintegrasikannya sehingga sering merasa terganggu dengan rangsang yang tidak sesuai atau
timbul agitasi, gejala yang sering tampak adalah marah, mengamuk dan ketakutan yang tidak
beralasan, pasien selalu mengalami gangguan tidur sehingga tampak mengamuk sepanjang hari dan
tertidur dimana saja .
Delirium biasanya hilang bila penyakit badaniah yang menyebabkannya sudah sembuh,
mungkin sampai kira-kira 1 bulan sesudahnya. Jika disebabkan oleh proses langsung menyerang
otak, bila proses itu sembuh, maka gejala-gejalanya tergantung pada besarnya kerusakan yang
ditinggalkan (gejala neurologik/gangguan mental dengan gejala utama gangguan intelegensi).
Biasanya delirium muncul tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari) faktor penyebabnya telah dapat
diketahui dan dihilangkan, walaupun delirium biasanya terjadi mendadak, gejala-gejala prodnormal
mungkin telah terjadi beberapa hari sebelumnya. Prognosa tergantung pada dapat atau tidak dapat
kembalinya penyakit yang menyebabkannya dan kemampuan otak untuk menahan pengaruh
penyakit itu .83
Adapun upaya-upaya /pendekatan dalam menangani gangguan mental organik antara lain;
1. Pendekatan Medis pada Gangguan Mental

82
Lihat W.F Maramis, op.cit., h. 211-215
83
Lihat Ibid., h. 182

49
Kesehatan Mental
a). Sejak 2 abad terakhir, konsep gangguan mental sebagai penyakit yang disebabkan oleh
faktor natural dan dapat dijelaskan secara ilmiah merupakan pandangan yang cukup
dominan.
b). Para dokter berusaha menjelaskan bentuk dan jenis penyakit mental, menemukan
penyebabnya, ciri-cirinya dan mengembangkan metode treatment yang tepat.
c). Anggapan dokter adalah bahwa setiap terjadi perilaku yang patologis merupakan penyakit
susunan saraf. Penelitian dalam hal ini sudah banyak dilakukan.
d). Tradisi psikiatri medis paling terwakili oleh Emil Kraepelin (1855 – 1926). Ia mencoba
mendaftar gejala-gejala yang tampak dari disfungsi mental, kemudian mengklasifikasikan
pasien berdasarkan pola simtom dan mengidentifikasi serta mengklasifikasikan penyakit
mental.
e). Kraepelin melabel 2 penyakit mental parah yang paling umum yakni dementia praecox
(sekarang lebih dikenal dengan sebutan skizofrenia, dari istilah Eugen Bleuler) dan manic-
depressive psychosis.
2. Pendekatan Psikologis pada Gangguan Mental
a. Psikopatologi tidak hanya mengetengahkan konsep penyakit psychological functioning, tapi
juga mengetengahkan bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh faktor-faktor psikologis.
b. Orientasi psikogenik muncul pada studi tentang histeria, yaitu suatu kondisi neurotis yang
sering ditandai dengan gejala fisik seperti, mati rasa, kebutaan dan juga gejala behavioral
seperti kehilangan memori, kepribadian atau kondisi emosi yang tidak menentu. Pada abad
18 dan 19, di Eropa banyak dijumpai subjek yang mengalami simtom histeria tersebut.
c. Untuk menjelaskan terjadinya histeria tersebut, muncul beberapa pandangan yang
berorientasi psikogenik.     Salah satunya adalah dokter Austria, Franz Anton Mesmer (1734
– 1815).
d. Studi tentang histeria ini menggunakan metode hipnotis. Di bawah kondisi hipnotis, pasien
dengan histeria dapat memunculkan kembali simtom histeria yang biasanya muncul.
Hipnotis kemudian menjadi suatu metode yang penting dalam treatment psikologis,
terutama psikoanalisa yang biasa menggunakan asosiasi bebas dan interpretasi mimpi untuk
mengeksplorasi alam bawah sadar.
e. Selain hipnotis, metode lain yang digunakan untuk melakukan terapi pada gangguan mental
adalah katarsis yang dikenalkan oleh Josef Breuer dan kemudian dikembangkan oleh
Sigmund Freud.
f. Katarsis adalah suatu metode terapeutik dimana pasien diminta untuk mengingat kembali
dan melepaskan emosi yang tidak menyenangkan, mengalami kembali ketegangan dan
ketidakbahagiaannya dengan tujuan untuk melepaskan dari penderitaan emosional.
g. Mesmer, Charcot, Breuer dan Freud mengembangkan metode hipnotis dan katarsis. Hal itu
menunjukkan adanya orientasi psikogenik terhadap gangguan mental.84
3. Pendekatan Agama yaitu dengan melakukan beberapa hal sebagai berikut:
- Sholat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar

84
Mike W.Martin, op.cit., h.126

50
Kesehatan Mental
- Puasa dapat meningkatkan ketakwaan dan kesehatan.
- Zakat dapat mendistribusikan kekayaaan dari mereka yang mampu
- Menutup aurat dan Jilbab dapat mencegah dari kejahatan seksual
- Sabar dan Shalat dapat menjadi penolong
- Tahajud dapat meningkatkan daya sembuh penyakit
- Wudhu dapat meredakan amarah
- Mandi sebelum tahajud dapat meningkatkan kecerdasan
- Shodaqoh dapat mencegah bala dan musibah
- Dzikir dapat meningkatkan ketentraman
- Membaca al-Qur’an meningkatkan ketenangan dan rasa bahagia
- Majelis ilmu dapat meningkatkan sakinah
- Seksual sehat dapat meningkatkan kasih sayang
- Silaturahmi memperluas jejaring rizki
- Tidur miring ke kanan posisi barat-utara memberi manfaat
- Meludah dan taawudz dapat menghilangkan pengaruh mimpi buruk
- Berdo’a sebelum tidur menentramkan jiwa dan menghilangkan gangguan sulit tidur/semacam
imsomnia
- Berdo’a setelah bangun tidur menghilangkan malas
- Memaafkan dapat melapangkan hati
- Ar-ruqyah dapat menghilangkan gangguan psikologis dan syetan
Selanjutnya pengobatan dilakukan dengan beberapa cara dengan mempertimbangkan
pengobatan somatis (berorientasi pada organ tubuh yang mengalami gangguan), pengobatan secara
psikologis (psikoterapi dan sosioterapi) serta psikofarmakoterapi (penggunaan obat-obatan yang
berhubungan dengan psikologi). Metode mana yang kemudian dipilih oleh dokter sangat tergantung
pada jenis kasus dan faktor-faktor yang terkait dengannya.  
Pada kasus tahap awal, biasanya pengobatan hanya ditujukan kepada faktor somatis (fisik).
Hal ini dapat menyebabkan penyakit timbul kembali dan yang lebih parah akan menurunkan
kepercayaan pasien akan kemungkinan penyakitnya sembuh yang sebenarnya akan memperparah
kelainan psikosomatiknya sendiri. Akan tetapi memang agak sulit untuk membedakannya dengan
gangguan psikosomatis sehingga baru dapat dibedakan bila kejadiannya telah berulang. Disinilah
perlunya psikoterapi sebagai pendamping terapi somatik.  
Psikoterapi bertujuan untuk menggali masalah-masalah psikologis yang tersembunyi pada
pasien dengan harapan setelah masalah-masalah tersebut disingkirkan, keluhan fisik pasien dapat
turut hilang. Pada keadaan tertentu dimana terapi somatik dan psikoterapi telah dilakukan tetapi
penyakit masih menetap atau terus berulang perlu dipertimbangkan penggunaan psikofarmaka
(obat-obat yang biasa digunakan dalam bidang psikologi) karena mungkin gangguan psikologis
yang diderita berhubungan dengan kondisi kimiawi di otak yang mengalami ketidakseimbangan.  
Terapi psikofarmaka dapat didefinisikan sebagai suatu usaha untuk mengobati atau
mengoreksi perilaku, pikiran, atau mood (keinginan) yang mengalami gangguan akibat perubahan
zat kimia atau cara fisik lainnya. Hubungan antara keadaan fisik tubuh dengan otak pada satu sisi

51
Kesehatan Mental
dan pengaruhnya pada sisi lain sangatlah kompleks dan belumlah dimengerti seluruhnya. Karena
tidak lengkapnya pengetahuan tentang otak dan gangguan yang mempengaruhinya, terapi obat
gangguan mental adalah bersifat empiris (bukti yang didapatkan setelah pemberian obat). Namun
demikian, banyak terapi organik yang langsung memperbaiki kelainan pada otak telah terbukti
sangat efektif dan merupakan terapi pilihan untuk kondisi tertentu. Golongan obat psikofarmaka
yang banyak dipergunakan adalah obat tidur, obat penenang, dan antidepresan. Penggunaan jenis
obat ini perlu pengawasan yang ketat karena seringkali menimbulkan efek samping seperti
ketergantungan psikologis dan fisik yang dapat mengakibatkan keracunan obat, depresi dan
kehilangan sifat menahan diri, gangguan paru-paru, gangguan psikomotoris dan iritatif (mudah
marah, gelisah dan ansietas bila obat dihentikan).85  
Yang dapat anda lakukan: Lihat/ukur kemampuan sendiri. Belajar untuk menerima dan
mencintai diri sendiri seperti apa adanya. Temukan penyebab perasaan negatif dan belajar untuk
menangulanginya. Jangan memperberat masalah dan coba untuk sekali-sekali mengalah terhadap
orang lain meskipun mungkin anda dipihak yang benar. Biarkan orang lain ikut memikirkan
masalah anda. Ceritakan kepada pasangan hidup, teman, supervisor atau pemimpin agama. Mereka
mungkin bisa membantu meletakkan masalah anda sesuai dengan proporsinya dan menawarkan
cara-cara pemecahan yang berguna .Cobalah mandi dengan air hangat dan ramuan wewangian
sebelum tidur untuk menghilangkan stress sepanjang hari. Teknik relaksasi seperti napas dalam,
meditasi atau pijatan mungkin bisa membantu menghilangkan stress.
Tips untuk mencegah terjadinya gangguan mental organik adalah rencanakan perubahan-
perubahan besar dalam kehidupan anda dalam jangka lama dan beri waktu secukupnya bagi diri
anda untuk menyesuaikan dari perubahan satu ke yang lainnya. Rencanakan waktu anda dengan
baik. Buat daftar yang harus dikerjakan dan dilaksanakan sesuai urutan prioritas. Buat keputusan
dengan hati-hati. Pertimbangkan masak-masak segi baik atau buruk sebelum memutuskan sesuatu.
Bangun suatu sistim pendorong yang baik dengan cara banyak berteman dan mempunyai keluarga
yang bahagia. Mereka akan selalu bersama anda dalam setiap kesulitan. Jaga kesehatan, makan
dengan baik, tidur cukup dan latihan olah raga secara teratur. Rencanakan waktu untuk rekreasi dan
teknik relaksasi seperti napas dalam, meditasi atau pijatan mungkin bisa membantu menghilangkan
stress.
Berolahragalah, bisa berupa aerobic; paling sedikit 3 kali dalam satu minggu, selama 20-45
menit. Tingkatkan makan makanan yang kaya akan karbohidrat (buah-buahan, sayuran, dan padi-
padian) dan kurangi konsumsi gula dan makanan yang telah dimurnikan. Kurangi konsumsi kopi,
teh, dan alkohol. Di pagi hari bukalah jendela kamar, dan mulailah hari Anda dengan mengambil
napas dalam-dalam, dan ulangilah bila Anda sedang mengalami stress. Pertahankan hubungan baik
dengan keluarga anda. Tetap pelihara hubungan dengan teman-teman anda. Gunakan waktu anda
sebaik-baiknya dengan melakukan hobi anda atau melakukan sesuatu untuk orang lain. Pertahankan
agar pikiran anda tetap aktif dengan mengikuti hal-hal yang baru.

6. Gangguan Psikosomatik

85
Lihat Ibid., h. 137

52
Kesehatan Mental
Merupakan komponen psikologik yang diikuti gangguan fungsi badaniah. Sering terjadi
perkembangan neurotik yang memperlihatkan sebagian besar atau semata-mata karena gangguan
fungsi alat-alat tubuh yang dikuasai oleh susunan saraf vegetatif. Gangguan psikosomatik dapat
disamakan dengan apa yang dinamakan dahulu neurosa organ. Karena biasanya hanya fungsi
faaliah yang terganggu, maka sering disebut juga gangguan psikofisiologik.86
Gangguan psikosomatis adalah faktor psikologis yang merugikan, mempengaruhi kondisi
medis pasien. Faktor psikologis tersebut dapat berupa gangguan mental, gejala psikologis, sifat
kepribadian atau gaya mengatasi masalah, dan prilaku kesehatan yang maladaptif.
—- Kedokteran psikosomatis menyadari kesatuan dari pikiran dan tubuh serta interaksi diantara
keduanya, dimana faktor psikologis penting dalam perkembangan semua penyakit, namun apakah
peranannya dalam memulai, perkembangan, memperberat dan eksaserbasi penyakit, predisposisi
atau reaksi terhadap suatu penyakit masih dalam perdebatan. Dengan demikian kedokteran prilaku
adalah istilah yang khusus untuk kedokteran psikosomatis.87—-
—-Psikosomatis berasal dari dua kata yaitu psiko yang artinya psikis, dan somatis yang artinya
tubuh. Dalam Diagnostic And Statistic Manual of Mental Disorders edisi ke empat (DSM IV)
istilah psikosomatis telah digantikan dengan kategori diagnostik faktor psikologis yang
mempengaruhi kondisi medis.88
Menurut Wittkower psikosomatis secara luas didefinisikan sebagai usaha untuk mempelajari
interelasi aspek-aspek psikologis dan aspek-aspek fisis semua faal jasmani dalam keadaan normal
maupun abnormal. Ilmu ini mencoba mempelajari, menemukan interelasi dan interaksi antara
fenomena kehidupan psikis (jiwa) dan somatis (raga) dalam keadaan sehat maupun sakit.89
Ada beberapa penyebab dari gangguan psikosomatis :
1. Stres Umum
Stres ini dapat berupa suatu peristiwa atau suatu situasi kehidupan dimana individu tidak
dapat berespon secara adekuat. Menurut Thomas Holmes dan Richard Rahe, di dalam skala urutan
penyesuaian kembali sosial (social read justment rating scale) menuliskan 43 peristiwa kehidupan
yang disertai oleh jumlah gangguan dan stres pada kehidupan orang rata-rata. Sebagai contohnya
kematian pasangan 100 unit perubahan kehidupan, perceraian 73 unit, perpisahan perkawinan 65
unit, dan kematian anggota keluarga dekat 63 unit. Skala dirancang setelah menanyakan pada
ratusan orang dengan berbagai latar belakang untuk menyusun derajat relatif penyesuaian yang
diperlukan oleh perubahan lingkungan kehidupan. Penelitian terakhir telah menemukan bahwa
orang yang menghadapi stres umum secara optimis bukan secara pesimis adalah tidak cenderung
mengalami gangguan psikosomatis, jika mereka mengalaminya mereka mudah pulih dari gangguan.
2.   Stres Spesifik Lawan Non Spesifik

86
Lihat Ibid., h. 214-216
87
Lihat Grebb Saddock Kaplan, Sinopsis Psikiatri. Jilid II. Edisi ketujuh. (Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1997), h.
276-303
88
Lihat Ibid., h. 304
89
Lihat Budihalim S, dan Sukatman D. Psikosamatis Dalam : Ilmu Penyakit Dalam jilid II, (Jakarta: FK UI
Jakarta, 1999), h. 591-592

53
Kesehatan Mental
Stres psikis spesifik dan non spesifik dapat didefenisikan sebagai kepribadian spesifik atau
konflik bawah sadar yang menyebabkan ketidakseimbangan homeostatis yang berperan dalam
perkembangan gangguan psikosomatis. Tipe kepribadian tertentu yang pertama kali diidentifikasi
berhubungan dengan kepribadian koroner (orang yang memiliki kemauan keras dan agresif yang
cenderung mengalami oklusi miokardium).
3.      Variabel Fisiologis
Faktor hormonal dapat menjadi mediator antara stres dan penyakit, dan variabel lainnya
adalah kerja monosit sistem kekebalan. Mediator antara stres yang didasari secara kognitif dan
penyakit mungkin hormonal, seperti pada sindroma adaptasi umum Hans Selye, dimana
hidrokortison adalah mediatornya, mediator mungkin mengubah fungsi sumbu hipofisis anterior
hipotalamus adrenal dan penciutan limfoit. Dalam rantai hormonal, hormon dilepaskan dari
hipotalamus dan menuju hipofisis anterior, dimana hormon tropik berinteraksi secara langsung atau
melepaskan hormon dari kelenjar endokrin lain. Variabel penyebab lainnya mungkin adalah kerja
monosit sistem kekebalan. Monosit berinteraksi dengan neuropeptida otak, yang berperan sebagai
pembawa pesan (messager) antara sel-sel otak. Jadi, imunitas dapat mempengaruhi keadaan psikis
dan mood.
—-—-Proses emosi terdapat di otak dan disalurkan melalui susunan saraf otonom vegetatif ke alat-
alat viseral yang banyak dipersarafi oleh saraf-saraf otonom vegetatif tersebut, seperti
kardiovascular, traktus digestifus, respiratorius, sistem endokrin dan traktus urogenital.90
Adapun kriteria klinis penyakit psikosomatis terdiri atas kriteria yang negatif dan kriteria
yang positif.
1. Kriteria yang positif ( yang biasanya tidak ada)
a.. Tidak didapatkan kelainan-kelainan organik pada pemeriksaan yang teliti sekalipun, walaupun
mempergunakan alat-alat canggih. Bila ada kelainan organik belum tentu bukan psikosomatik,
sebab :
1).Bila penyakit psikosomatik tidak diobati, dalam jangka waktu yang cukup lama dapat
menimbulkan kelainan-kelainan organik pada alat-alat yang dikeluhkan.
2). Secara kebetulan ada kelainan organik, tapi kelainan ini tidak dapat menerangkan keluhan
yang ada pada pasien tersebut, yang dinamakan koinsidensi.
3). Sebelum timbulnya psikosomatis, telah ada lebih dahulu kelainan organiknya tetapi tidak
disadari oleh pasien. Baru disadari setelah diberitahu oleh orang lain atau kadang-kadang
oleh dokter yang mengobatinya. Hal ini membuatnya menjadi takut, khawatir dan gelisah,
yang dinamakan iatrogen.91
b. Tidak didapatkan kelainan psikiatri. Tidak ada gejala-gejala psikotik yakni tidak ada disintegrasi
kepribadian, tidak ada distorsi realitas. Masih mengakui bahwa dia sakit, masih mau aktif berobat.
2.  Kriteria positif (yang biasanya ada)
a. Keluhan-keluhan pasien ada hubungannya dengan emosi tertentu

90
Lihat Mansyur A, dkk. Gangguan Psikosomatis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran. (Jakartta: Media
Aesculapius FK UI 1999), h. 228-231
91
Lihat Ibid., h. 232-234

54
Kesehatan Mental
b. Keluhan-keluhan tersebut berganti-ganti dari satu sistem ke sistem lain, yang dinamakan
shifting phenomen atau alternasi.
c. Adanya vegetatif imbalance (ketidakseimbangan susunan saraf otonom)
d. Penuh dengan stress sepanjang kehidupan (stress full life situation) yang menjadi sebab
konflik mentalnya.
e. Adanya perasaan yang negatif yang menjadi titik tolak keluhan-keluhannya.
f. Adanya faktor pencetus (faktor presipitasi) proksimal dari keluhan-keluhannya.
g. Adanya faktor predisposisi yang dicari dari anamnesis longitudinal. Yang membuat pasien
rentan terhadap faktor presipitasi itu.
— Faktor predisposisi dapat berupa faktor fisik / somatik, biologi, stigmata neurotik, dapat pula
faktor psikis dan sosiokultural. Kriteria-kriteria ini tidak perlu semuanya ada tetapi bila ada satu
atau lebih, presumtif, indikatif untuk penyakit psikosomatis.92—-
Manifestasi klinis
—- Beberapa manifestasi klinis dari gangguan psikosomatis antara lain:
1. Terdapat suatu kondisi medis umum
2. Faktor psikologis secara merugikan mempengaruhi kondisi medis umum dengan cara:
a. Faktor psikologis telah mempengaruhi perjalanan kondisi medis umum seperti yang
ditunjukkan oleh hubungan temporal yang erat antara faktor psikologis dan perkembangan
atau eksaserbasi dari atau keterlambatan penyembuhan dari kondisi medis umum.
b. Faktor psikologis mempengaruhi terapi kondisi medis umum
c. Faktor psikologis berperan dalam resiko kesehatan individu
d. Respon psikologis yang berhubungan dengan stres mencetuskan atau mengeksasebasi gejala
kondisi medis umum.93
—- Yang dimaksud dengan faktor psikologis tersebut adalah:
a. Gangguan mental mempengaruhi kondisi medis (misalnya gangguan depresi berat
memperlambat penyembuhan infark miokard)
b. Gangguan psikologis mempengaruhi kondisi medis (misalnya gejala depresi
memperlambat pemulihan setelah pembedahan, kecemasan mengeksasebasi asma)
c. Sifat kepribadian atau gaya menghadapi masalah mempengaruhi kondisi medis
(misalnya penyangkalan patologis terhadap kebutuhan pembedahan pada seorang pasien
dengan kanker, psikologi lain yang tidak ditentukan mempengaruhi kondisi perilaku
bermusuhan dan tertekan berperan pada penyakit kardiovaskuler)
d. Gangguan kesehatan maladatif mempengaruhi kondisi medis (misalnya tidak
melakukan olahraga, seks yang  tidak aman, makan yang berlebihan)
e. Respon fisiologis yang berhubungan dengan stres mempengaruhi kondisi medis
(misalnya eksasebasi ulkus, hipertensi, aritmia, atau nyeri kepala yang berhubungan dengan
stres).
f. Faktor medis (misalnya faktor personal, kultural atau religius).94-
92
Lihat Maramis. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. (Surabaya: Airlangga University Press,1980), h.:339-341
93
Lihat Ibid., h. 345-347
94
Lihat Ibid., h. 348-349

55
Kesehatan Mental
Gangguan Spesifik pada Psikosomatis
—- Ada beberapa gangguan spesifik yang dapat disebabkan oleh gangguan psikis:
1. Sistem Kardiovaskuler
—- Mekanisme yang terjadi pada psikosomatis dapat melalui rasa takut atau kecemasan yang
akan mempercepat denyutan jantung, meninggikan daya pompa jantung dan tekanan darah,
menimbulkan kelainan pada ritme dan EKG. Kehilangan semangat dan putus asa  mengurangi
frekuensi, daya pompa jantung dan tekanan darah.
—- Gejala-gejala yang sering didapati antara lain: takikardia, palpitasi, aritmia, nyeri
perikardial, napas pendek, lelah, merasa seperti akan pingsan, sukar tidur. Gejala- gejala seperti ini
sebagian besar merupakan manifestasi gangguan kecemasan.95
a.     Penyakit arteri koroner
—- Penyakit arteri koroner menyebabkan penurunan aliran darah ke jantung yang ditandai oleh
rasa tidak nyaman, tekanan pada dada dan jantung episodik. Keadaan ini biasanya ditimbulkan oleh
penggunaan tenaga dan stres dan dihilangkan oleh istirahat atau nitrogliserin sublingual.
—- Flanders Dunbar menggambarkan pasien dengan penyakit jantung koroner sebagai
kepribadian agresif-kompulsif dengan kecenderungan bekerja dengan waktu yang panjang dan
untuk meningkatkan kekuasaan. Meyer Fiedman dan Ray Rosenman mendefinisikan kepribadian
tipe A tipe B. Kepribadian tipe A adalah berhubungan erat dengan perkembangan penyakit jantung
koroner. Mereka adalah orang yang berorientasi tindakan berjuang keras untuk mencapai tujuan
yang kurang jelas dengan cara permusuhan kompetitif. Mereka sering agresif, tidak sabar, banyak
bergerak dan berjuang dan marah jika dihalangi. Kepribadian tipe B adalah kebalikannya. Mereka
cenderung santai, kurang agresif, kurang aktif berjuang mencapai tujuannya.96
—- Untuk menghilangkan ketegangan psikis yang berhubungan dengan penyakit, klinisi
menggunakan obat psikotropika, contohnya diazepam. Terapi medis harus suportif dan
menentramkan, dengan suatu penekanan psikologis untuk menghilangkan stres psikis,
kompulsivitas dan ketegangan.

b.  Hipertensi esensial
—- Orang dengan hipertensi tampak dari luar menyenangkan, patuh dan kompulsif walaupun
kemarahan mereka tidak di ekspresikan secara terbuka, mereka memiliki kekerasan yang terhalangi,
yang ditangani secara buruk. Mereka tampak memiliki presdiposisi untuk hipertensi, yaitu bila
terjadi stres kronis pada kepribadian kompulsif yang terpresdiposisi secara genetik yang telah
merepresi dan menekan kekerasan, dapat terjadi hipertensi. Keadaan ini cenderung terjadi pada
kepribadian tipe A.97
—- Psikoterapi supotif dan dan teknik perilaku ( biofeedback, meditasi, terapi relaksasi) telah
dilaporkan berguna dalam pengobatan hipertensi.
95
Lihat Budihalim S. Mudjadid. Kedokteran Psikosamatis. Dalam : buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II
edisi IV.(Jakarta: FK UI Jakarta 2006), h.: 903-908
96
Lihat Ibid., h. 909-910
97
Lihat Sukatman D, Budihalim S, Biran S.I.  Aspek Psikosomatis Gangguan Pernafasan. Dalam : Ilmu
Penyakit Dalam jilid II, (Jakarta: FK UI ,1999), h.:614-620

56
Kesehatan Mental
c.  Gagal jantung kongestif
—- Faktor psikologis seperti stres, dan konflik emosional non spesifik, sering kali bermakna
dalam memulai atau eksaserbasi gangguan. Intinya bahwa psikoterapi suportif adalah penting pada
pengobatannya.
d.  Sinkop vasomotor (vasodepressor)
—- Sinkop vasomotor  ditandai oleh kehilangan kesadaran secara tiba-tiba yang disebabkan oleh
serangan vasovagal. Rasa khawatir atau takut akut menghambat impuls untuk berkelahi atau
melarikan diri, dengan demikian menampung darah di anggota gerak bawah, dari vasodilatasi
pembuluh darah didalam tungkai. Reaksi tersebut menyebabkan penurunan pasokan darah ke otak,
sehingga terjadi hipoksia otak dan kehilangan kesadaran.

e. Aritmia jantung
Aritmia yang potensial membahayakan hidup kadang-kadang terjadi dengan luapan
emosional dan trauma emosional. Terapi yang digunakan untuk membantu melindungi terhadap
aritmia akibat emosi adalah psikotropika dan obat penghambat Beta seperti propanolol.
f. Fenomena Raynaud
—- Fenomena Raynaud seringkali disebabkan oleh stres eksternal. Terapi dapat diobati dengan
psikotropika suportif, relaksasi progesif atau biofeedback dan dengan melindungi tubuh dari dingin
dan menggunakan sedatif ringan.
g.  Jantung psikogenik bukan penyakit
—- Beberapa pasien adalah bebas dari penyakit jantung tetapi masih mengeluh gejala yang
mengarah ke jantung. Mereka seringkali menunjukkan keprihatinan morbid tentang jantung mereka
dan rasa takut akan penyakit jantung yang meningkat. Rasa takut mereka dapat terentang dari
masalah kecemasan yang dimanifestasikan oleh fobia atau hipokondriasis parah, sampai pada
keyakinan waham bahwa mereka menderita penyakit jantung.98
—- Pengobatan psikofarmaka ditujukan pada gejala yang menonjol. Obat antiansietas dapat
digunakan pada kecemasan yang berat.
2. Sistem pernafasan
a. Asma bronkialis
—- Faktor genetik, alergik, infeksi, stres akut dan kronis semuanya berperan dalam
menimbulkan penyakit. Stimuli emosi bersama dengan alergi penderita menimbulkan konstriksi
bronkioli bila sistem saraf vegetatif juga tidak stabil dan mudah terangsang. Walaupun pasien asma
karateristiknya memiliki kebutuhan akan ketergantungan yang berlebihan, tidak ada tipe
kepribadian yang spesifik yang telah diindentifikasi. Pasien asmatik harus diterapi dengan
melibatkan berbagai disiplin ilmu antara lain menghilangkan stres, penyesuaian diri, menghilangkan
alergi serta mengatur kerja sistem saraf vegetatif dengan obat-obatan.
b. Hay  fever
—- Faktor psikologis yang kuat berkombinasi dengan elemen energi untuk menimbulkan Hay
Fever. Faktor psikiatrik, medis, dan alergik harus dipertimbangkan sebagai terapi hay fever.

98
Lihat Ibid., h. 621-624

57
Kesehatan Mental
c.  Sindroma hiperventilasi
—-Sindroma hiperventilasi disebut juga dispneu nerveous (freud), pseudo asma, distonia pulmonal
(hochrein). Gambaran klinis berupa:
1). Parastesia, terutama pada ujung tangan dan kaki
2). Gejala-gejala sentral seperti gangguan penglihatan berupa mata kabur yang     dikenal
sebagai Blury eyes. Penderita juga mengeluh bingung, sakit kepala dan pusing
3). Keluhan pernafasan seperti dispneu, takipneu, batuk kering, sesak dan perasaan tidak dapat
bernafas bebas
4). Keluhan jantung. Sering dijumpai kelainan yang menyerupai angina pektoris dan juga
ditemukan pada kelainan fungsional jantungdan sirkulasi
5). Keluhan umum, seperti kaki dan tangan dingin yang sangat menganggu, cepat lelah, lemas,
mengantuk, dan sensitif terhadap cuaca
d.  Tuberkulosis
—- Onset dan perburukan tuberkulosis sering kali berhubungan dengan stres akut dan kronis.
Faktor psikologis mempengaruhi sistem kekebalan dan mungkin mempengaruhi daya tahan pasien
terhadap penyakit. Psikoterapi suportif adalah berguna karena peranan stres dan situasi psikososial
yang rumit.99
3. Sistem gastrointestinal
a. Gastritis
—- Kriteria psikologis diperlukan karena diagnosis dengan penemuan negatif organis dan
keluhan vegetatif tidak mencukupi. Dari evaluasi psikis ditemukan:7
1).      Gejala bersifat neurosis
2).      Depresi dan anxietas
3).      Berkeinginan untuk dirawat dan dimanja dan untuk memiliki objek yang diinginkan
b. Ulkus peptikum
—- Sifat kepribadian ulkus menjadi faktor presdiposisi. Sifat kepribadian itu antara lain:1,8
1). Tingkah laku
—- Orang tersebut biasanya tegang, selalu was-was, sangat aktif dalam berbagai bidang. Tidak
mudah menerima kenyataan bila dia gagal
2). Kepandaian
—- Mempunyai kepandaian dalam berbagai bidang yang dikerjakan sekaligus pada waktu yang
bersamaan
3). Pertanggungjawaban
—- Mempunyai tanggung jawab yang sangat besar bahkan sampai memikirkan pekerjaan orang
lain
4). Pengenalan terhadap penyakitnya
—- Tidak menghiraukan penyakitnya, sering terlambat makan, merasa sakit ulu hati tapi masih
mau bekerja terus, sering datang terlambat ke dokter
99
Lihat Budihalim S, Sukatman D. Sindrom Fungsional pada traktus Digestivus. Dalam : Ilmu Penyakit
Dalam jilid II, (Jakarta: FK UI 1999), h. 623-624

58
Kesehatan Mental
5). Umur
—- Terbanyak pada usia 30-an, karena banyak faktor stres, kesulitan dalam bidang ekonomi dan
keluarga
6). Jenis kelamin/ bangsa
—- laki-laki lebih sering dibandingkan wanita. Kulit hitam lebih jarang dibandingkan kulit putih
7). Faktor sosial
—- Sering ditemukan dikota besar dan daerah industri.100
—- Stres dan kecemasan yang disebabkan oleh berbagai konflik yang tidak spesifik dapat
menyebabkan hiperasiditas lambung dan hipersekresi pepsin, yang menyebabkan suatu ulkus.
Psikoterapi merupakan terapi yang dapat dipakai untuk konflik ketergantungan pasien. Biofeedback
dan terapi relaksasi mungkin berguna. Terapi medis lain yang digunakan adalah cimetidine,
famotidine.
c.  Kolitis ulserativa
—- Tipe kepribadian dari pasien dengan Kolitis ulserativa menunjukkan sifat kompulsif yang
menonjol. Pasien cenderung pembersih, tertib, rapi, tepat waktu, hiperintelektual, malu-malu, dan
terinhibisi dalam mengungkapkan kemarahan. Stres non spesifik dapat memperberat penyakit ini.
Terapi yang dianjurkan pada kolitis ulserativa yang akut adalah psikoterapi yang non konfrontatif
dan suportif dengan psikoterapi interpretatif selama periode tenang. Terapi medis terdiri dari
tindakan medis nonspesifik, seperti antikolinergik dan anti diare.
d.  Obesitas
— Terdapat presdiposisi familial genetika pada obesitas, dan faktor perkembangan awal
ditemukan pada obesitas masa anak-anak. Faktor psikologis adalah penting pada obesitas
hipergrafik (makan berlebihan). Terapi yang dianjurkan adalah pembatasan diet dan penurunan
asupan kalori. Dukungan emosional dan modifikasi perilaku adalah membantu untuk kecemasan
dan depresi yang berhubungan dengan makan berlebihan dan diet.
—- Teknik behaviour modification bertujuan untuk mengubah kebiasaan makan, salah satu
programnya sebagai berikut:
1).    Dekripsi tingkah laku untuk mengidentifikasi unsur mana dalam tingkah laku itu yang
dapat diubah.
2).      Pengendalian stimuli yang mendahului makan
3).      Memperlambat proses makan
4).      Menyediakan nilai untuk pengendalian yang berhasil
e).     Anoreksia nervosa
—- Anoreksia nervosa ditandai oleh perilaku yang diarahkan untuk menghilangkan berat badan,
pola aneh dalam menangani makanan, penurunan berat badan, rasa takut yang kuat terhadap
kenaikan berat badan, gangguan citra tubuh, dan pada wanita amenore:101
4. Sistem muskuloskletal

100
Lihat Budihalim S, Aspek Psikosomatis Ulkus Peptik. Dalam : Ilmu Penyakit Dalam jilid II (Jakarta: FK
UI ,1999), h., 628-629
101
Lihat Ibid., h. 630-633

59
Kesehatan Mental
a. Artritis rematoid
—- Stres psikologis mungkin mempresdiposisikan pasien pada artritis rematoid dan penyakit
autoimun melalui supresi kekebalan. Orang artritik merasa terkekang, terikat dan terbatas. Karena
banyak orang artritik memiliki riwayat aktivitas fisik. mereka seringkali memiliki rasa marah yang
terepresi tentang pembatasan fungsi otot-otot mereka, yang memperberat kekakuan dan imobilitas
mereka.
—- Kriteria diagnostik untuk rasa sakit psikosomatis adalah :
1). Saat rasa sakit bersamaan dengan krisis emosional
2). Kepribadian yang khusus
3). Perbedaan frekuensi pada pria dan wanita
4). Hubungan dengan gangguan psikosomatis yang lain
5) Riwayat keluarga
6). Hilang timbul
7). Hilang pada perubahan lingkungan, pergaulan, kebudayaan
b. Nyeri punggung bawah
—- Seringkali seorang pasien dengan nyeri punggung bawah melaporkan bahwa nyerinya
dimulai saat trauma psikologis atau stres. Disamping itu reaksi pasien terhadap nyeri adalah tidak
sebanding secara emosional, dengan kecemasan dan depresi yang berlebihan.102
5. Sistem endokrin
a. Hipertiroidisme
—- Hipertiroidisme (tirotoksikosis) adalah suatu sindroma yang ditandai oleh perubahan
biokimiawi dan psikologis yang terjadi sebagai akibat dari kelebihan hormon tiroid endogen atau
eksogen yang kronis. Gejala medis yang sering muncul berupa intoleransi panas, keringat berleb
ihan, diare, penurunan berat badan, takikardi, palpitasi dan muntah. Gejala dan keluhan psikiatrik
yang muncul antara lain ketegangan, eksitabilitas, iritabilitas, bicara tertekan, insomnia,
mengekspresikan rasa takut yang berlebihan terhadap ancaman kematian.
b. Diabetes melitus
—- Diabetes melitus adalah suatau gangguan metabolisme dan sistem vaskuler yang
dimanifestasikan oleh gangguan penanganan glukosa, lemak, dan protein tubuh. Riwayat herediter
dan keluarga sangat penting dalam onset diabetes. Onset yang mendadak sering kali berhubungan
dengan stres emosional yang mengganggu keseimbangan homeostatik pasien yang terpredisposisi.1
Meninger berpendapat bahwa ada hubungan antara psikoneurotik dengan diabetes, dengan alasan:
1). Jelas adanya gangguan mental sebelum timbulnya penyakit diabetes
2). Gangguan mental yang lain dari gejala mental yang timbul pada penyakit hati atau
hipoglikemi
3). Penyembuhan gangguan mental pararel dengan keadaan kadar gula darah
4). Gangguan metabolisme karbohidrat dan glukosuria membaik dengan diet
5). Dengan sembuhnya gangguan mental, diabetes juga membaik
102
Lihat Arsyad Z, Syahbuddin S. Aspek Psikosomatis Obesitas. Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II. (Jakarta:
FK UI, 1999), h. 657-658

60
Kesehatan Mental
— Menurut Meninger ada 3 gangguan mental yang dijumpai pada diabetes:
a. Depresi
b. Anxietas
c. Fatik (letih)103
c. Gangguan Endokrin Wanita
—- Premenstrual syndrome (PMS), ditandai oleh perubahan subjektif mood, rasa kesehatan
fisik, dan psikologis umum yang berhubungan dengan siklus menstruasi. Secara khusus, perubahan
kadar estrogen, progesteron, dan prolaktin dihipotesiskan berperan penting sebagai penyebab.Gejala
biasanya dimulai segera setelah ovulasi, meningkat secara bertahap, dan mencapai intensitas
maksimum kira-kira lima hari sebelum periode menstruasi dimulai. Faktor psikososial, dan biologis
telah terlibat didalam patogenesis gangguan.
—- Penderitaan menopause (menopause distress), adalah suatu keadaan yang terjadi setelah
tidak adanya periode menstruasi selama satu tahun yang disebut menopause. Banyak gejala
psikologis yang dihubungkan dengan menopause, termasuk kecemasan, kelelahan, ketegangan,
labilitas emosional, mudah marah (iritabilitas), depresi, pening, dan insomnia. Tanda dan gejala
fisik adalah keringat malam, muka kemerahan, dan kilatan panas (hot flash). keadaan ini
kemungkinan berhubungan  dengan sekresi luteinizing hormone (LH). Fungsi yang tergantung pada
estrogen hilang secara berurutan, dan wanita mungkin mengalami perubahan atrofik pada
permukaan mukosa, disertai oleh vaginitis, pruritus, dispareunia, dan stenosis.
—- Wanita mungkin juga mengalami perubahan dalam metabolisme kalsium dan lemak,
kemungkinan sebagai efek sekunder dari penurunan kadar estrogen, dan perubahan tersebut
mungkin disertai oleh sejumlah masalah medis yang terjadi pada tahun-tahun pasca menopause,
seperti osteoporosis dan aterosklerosis koroner.
—- Keparahan gejala menopause tampaknya berhubungan dengan kecepatan pemutusan
hormon, jumlah deplesi hormon, kemampuan konstitusional wanita untuk menahan proses ketuaan,
kesehatan, dan tingkat aktivitas mereka, serta arti psikologis ketuaan bagi mereka.
—- Kesulitan psikiatrik yang bermakna secara klinis dapat berkembang selama siklus kehidupan
fase involusional. Wanita yang sebelumnya mengalami kesulitan psikologis, seperti harga diri yang
rendah dan kepuasan hidup yang rendah, kemungkinan rentan terhadap kesulitan selama
menopause.104
6. Gangguan kekebalan
a. Penyakit Infeksi
—- Penelitian klinis menyatakan bahwa variabel psikologis mempengaruhi kecepatan
pemulihan dari mononukleosis infeksius dan influensa. Stres dan keadaan psikologis yang buruk
menurunkan daya tahan terhadap tuberkulosis dan mempengaruhi perjalanan penyakit. Dengan
demikian perkembangan penyakit sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologis orang.
b. Gangguan Alergi
103
Lihat Ibid., h. 659-660
104
Lihat Nasution H.N. Anoreksia Nervosa. Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II.(Jakarta: FK UI,1999), h.
659-660

61
Kesehatan Mental
—- Bukti klinis menyatakan bahwa faktor psikologis berhubungan dengan pencetus alergi.
Asma bronkial adalah contoh utama proses patologis yang melibatkan hipersensitifitas segera yang
berhubungan dengan proses psikososial.
c. Transplantasi Organ
—- Pengaruh psikososial  seperti kehidupan yang penuh dengan stres, kecemasan dan depresi
mempengaruhi sistem kekebalan yang berperan dalam mekanisme penolakan transpalantasi
organ.105
7. Kanker
a. Masalah Pasien
—- Reaksi psikologis mereka adalah rasa takut akan kematian, cacat, ketidakmampuan, rasa
takut diterlantarkan dan kehilangan kemandirian, rasa takut diputuskan dari hubungan, fungsi peran
dan finansial, kecemasan, kemarahan, dan rasa bersalah. Setengah dari pasien kanker menderita
gangguan mental berupa gangguan penyesuaian 68%, gangguan depresi berat 13% dan delirium
8%. Pada pasien kanker sering ditemukan pikiran dan keinginan bunuh diri.
b. Masalah yang berkaitan dengan pengobatan
      1). Terapi radiasi. Efek samping terapi radiasi adalah ensefalopati yang berhubungan dengan
peningkatan tekanan intrakranial.
2). Kemoterapi. Efek samping kemoterapi berupa mual dan muntah
3). Rasa sakit. Pasien kanker dengan rasa sakit memiliki insidensi depresi dan kecemasan yang
lebih tinggi dibanding mereka yang tanpa rasa sakit.
c. Masalah Keluarga
—- Kecemasan dan depresi dalam anggota keluarga memerlukan intervensi yang aktif. Keluarga
harus memberikan pelayanan untuk pasien.
8. Gangguan kulit
a.  Pruritus Menyeluruh
—- Pruritus psikogenik menyeluruh adalah tidak ada penyebab organik . kemarahan yang
terekspresi dan kecemasan yang terekspresi merupakan penyebab paling sering, karena secara
disadari atau tidak mereka menggaruk dirinya sendiri secara kasar.
b. Pruritus setempat (Pruritus ani dan Pruritus vulva).
c.  Hiperhidrosis
—- Hiperhidrosis dipandang sebagai fenomena kecemasan yang diperantarai oleh sistem saraf
otonom. Ketakutan, kemarahan dan ketegangan dapat menyebabkan meningkatnya sekresi keringat,
karena manusia memiliki 2 mekanisme berkeringat yaitu termal dan emosional. Berkeringat
emosional terutama tampak pada telapak tangan, telapak kaki dan aksila. Berkeringat termal paling
jelas pada dahi, leher, punggung tangan dan lengan bawah.106
9. Nyeri kepala
a. Migren
105
Lihat Ibid., h. 667-668
106
Lihat Sukatman D, Budihalim S, Aspek Psikosomatis Penyakit Reumatik Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid
II, (Jakarta: FK UI,1999), h. 648- 649

62
Kesehatan Mental
—- Migren adalah ganguan paroksismal yang ditandai oleh nyeri kepala rekuren, dengan atau
tanpa gangguan visual dan gastrointestinal. 2/3 pasien memiliki riwayat gangguan yang sama.
Kepribadian obsesional yang jelas terkendali dan perfeksionistik, yang menekan marah, dan yang
secara genetik berpresdisposisi pada migren mungkin menderita nyeri kepala tersebut 1 Mekanisme
terjadinya migren psikosomatis berupa:
1). Vasospasme arteri serebri
2). Distensi arteri karotis eksterna
3). Edema dinding arteri
—- Pada periode prodromal migren paling baik diobati dengan Ergotamine, Tartrate (Cafergot),
dan analgetik. Psikoterapi bermanfaat untuk menghilangkan efek konflik dan stres.
b. Tension ( kontraksi otot)
—- Terjadi pada 80% populasi selama perode stres emosional. Kepribadian tipe  A yang tegang,
berjuang keras dan kompetitif peka terhadap gangguan ini. Stres emosional sering kali disertai
kontraksi otot kepala dan leher yang lama melebihi beberapa jam dapat menyempitkan pembuluh
darah yang menyebabkan iskemia.
 Gejalanya berupa nyeri tumpul dan berdenyut dimulai pada sub ocipitalis yang
menyebar keseluruh kepala. Kulit kepala nyeri terhadap sentuhan, biasanya bilateral dan tidak
disertai gejala prodromal seperti mual dan muntah. Onset cenderung pada sore dan malam hari.
Pada stadium awal dapat diberikan anti ansietas, pelemas otot dan pemijatan atau aplikasi panas
pada kepala dan leher. Jika terdapat depresi yang mendasari anti depresan perlu diberikan. Jika
kronis psikoterapi merupakan terapi pilihan.107

Pemeriksaan
—- Biasanya penderita datang kepada dokter dengan keluhan-keluhan, tetapi tidak didapatkan
penyakit atau diagnosis tertentu, namun selalu disertai dengan keluhan dan masalah. Pada 239
penderita dengan gangguan psikogenik Streckter telah menganalisis gejala yang paling sering
didapati yaitu 89% terlalu memperhatikan gejala-gejala pada badannya dan 45% merasa kecemasan,
oleh karena itu pada pasien psikosomatis perlu ditanyakan beberapa faktor yaitu:
1. Faktor sosial dan ekonomi, kepuasan dalam pekerjaan, kesukaran ekonomi, pekerjaan yang
tidak tentu, hubungan dengan dengan keluarga dan orang lain, minatnya, pekerjaan yang
terburu-buru, kurang istirahat.
2. Faktor perkawinan, perselisihan, perceraian dan kekecewaan dalam hubungan seksual, anak-
anak yang nakal dan menyusahkan.
3. Faktor kesehatan, penyakit-penyakit yang menahun, pernah masuk rumah sakit, pernah
dioperasi, adiksi terhadap obat-obatan, tembakau.
4. Faktor psikologik, stres psikologik, keadaan jiwa waktu dioperasi, waktu penyakit berat,
status didalam keluarga dan stres yang timbul.
—- Quirido membagi cara pemeriksaan dalam 3 lapangan :

107
Lihat Kadri. Aspek Psikosomatis. Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II,(Jakarta: FK UI, 1999), h. 665-666

63
Kesehatan Mental
a. Lapangan psikis
b. Lapangan sosial
c. Lapangan somatis
—- Yang ditujukan pada lapangan kejiwaan dinamakan psikoterapi indentik. Yang ditujukan
pada lapangan sosial dan somatik disebut psikoterapi non identik, yang terdiri dari pemeriksaan
fisik, mengobati kelainan fisik dengan obat, memperbaiki kondisi sosial ekonomi, lingkungan,
kebiasaan hidup sehat.

Diagnosis
—- Pada umumnya penderita dengan gangguan psikosomatis dapat dibagi menjadi 3 golongan,
yaitu:
1. Terdapat keluhan tentang fisik, akan tetapi tidak terdapat penyakit fisik dan kelainan organik
yang dapat menyebabkan keluhan tersebut.
2. Terdapat kelainan organik tetapi yang primer yang menyebabkannya adalah faktor
psikologis
3. Terdapat kelainan organik tetapi terdapat juga gejala lain yang timbul bukan sebab penyakit
organik itu, akan tetapi karena faktor psikologis. Faktor psikologis ini mungkin timbul
akibat penyakit organik seperti kecemasan.
—- Lewis memberikan beberapa kriteria khusus untuk diagnosis gangguan psikosomatis yaitu:
1. Gejala-gejala yang didapat mempunyai permulaan, akibat, manifestasi dan jalannya yang
sangat mencurigakan akan adanya gangguan psikosomatik.
2. Dengan pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak didapatkan penyakit organik yang dapat
menyebabkan gejala-gejala.
3. Adanya suatu stres atau konflik yang menyulitkan penderita.
4. Reaksi penderita terhadap stres ini banyak hubungannya dengan gejala-gejala yang
dikeluhkannya, yaitu bahwa gejala-gejala itu secara psikosomatik merupakan manifestasi
fisik dari konflik atau penyelesaian masalah yang tidak memuaskan.
5. Terjadinya stres harus memiliki korelasi antara waktu dan timbulnya keluhan, bertambah
beratnya penyakit yang ada.108
—- Untuk diagnosis perlu dievaluasi faktor-faktor sebagai berikut:
 Komponen organik versus komponen nonorganik.
 Komponen fungsional nonpsikogenik versus psikogenik.
 Dasar kestabilan emosi (kepribadian premorbid dan predisposisi).
 Stres yang menimbulkan gejala-gejala.
 Beratnya gangguan fisik atau psikologik.
Pengobatan

108
Lihat A.H. Dahlan P. Asdie, Migren dan Sakit Kepala. Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II, (Jakarta: FK
UI, 1999), h. 652-654

64
Kesehatan Mental
—- Di Amerika Serikat 1/3 penderita yang datang berobat pada dokter umum tidak mempunyai
gangguan organik, 1/3 yang lain mempunyai gangguan organik tetapi keluhannya berlebihan.
Dengan kesabaran dan simpati banyak penderita dengan gangguan psikosomatik dapat ditolong.
Kita dapat menerangkan kepada penderita tidak dapat sesuatu dalam tubuhnya yang rusak atau yang
kurang, tidak terdapat infeksi dan kanker, hanya anggota tubuhnya bekerja tidak teratur. Untuk
menerangkan bagaimana emosi dapat mengganggu tubuh dapat diambil contoh sehari-hari seperti
orang yang malu mukanya akan menjadi merah, orang yang takut menjadi bergemetar dan pucat.
Dapat dipakai perumpamaan menurut pendidikan dan pengetahuan penderita.
—- Setelah dibuat diagnosis gangguan psikosomatis, terdapat 3 fase terapi yaitu:
Fase 1 : Ialah fase pemeriksaan dan pemberian ketenangan, penderita dan dokter bersama-sama
berusaha dan saling membantu melalui anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik yang teliti
dan tes laboratorium bila perlu. Diusahakan membuktikan bahwa tidak terdapat penyakit
organik dan dijelaskan kepada penderita tentang mekanisme fisiologik serta keterangan
tentang gejala-gejala. Berikan kesempatan kepada penderita untuk bertanya.
Fase 2 : merupakan fase pendidikan, fase ini dokter lebih banyak bicara. Untuk memberi keterangan
tentang keluhan, meyakinkan serta menenangkan pasien,  dapat dikatakan antara lain :
 Bahwa gejala-gejalanya benar ada, dapat dimengerti kalau ia mengeluh dan menderita
 Bahwa gejala-gejalanya sering terdapat juga pada orang lain yang sudah kita obati
 Bahwa tidak ada kanker atau penyakit berbahaya lain
 Bahwa gejala-gejala itu timbul karena ketegangan sehari-hari dan gangguan emosional
 Bahwa gejala itu tidak akan segera hilang, diperlukan beberapa waktu, tetapi akan hilang
atau berkurang bila diobati dengan baik
 Bahwa kita semua mengalami ketegangan, kekecewaan, godaan dan kecemasan
 Bahwa kelelahan fisik atau jiwa dapat mengurangi daya tahan tubuh sehingga timbul gejala
 Bahwa kita apabila terlalu terburu-buru akan timbul ketegangan jiwa
 Bahwa tubuh kita bereaksi terhadap ketegangan yang terlalu berat. Sering gejala merupakan
pekerjaan alat tubuh yang bekerja berlebihan
 Bahwa ini akan lebih baik bila pasien mengerti akan penyebab gejala.
Fase 3 : Ialah fase keinsafan intelektual dan emosional. Pada fase ini pasien  yang lebih banyak
bicara. Terjadi pengakuan, katarsis dan wawancara psikiatrik. Hal ini harus berjalan sangat
pribadi, rahasia, tanpa sering terganggu dan dalam suasana penuh kepercayaaan dan
pengertian. Dokter menjelaskan saja agar pembicaraan berjalan dengan baik, tidak terlalu
menyimpang dari pokok pembicaraan.109
Terdapat 3 golongan senyawa psikofarmaka:
1. Obat Tidur (hipnotik)
—- Diberikan dalam jangka waktu pendek 2-4 minggu. Obat yang dianjurkan adalah senyawa
benzodiazepine berkhasiat pendek seperti nitrazepam, flurazepam, dan triazolam. Pada insomnia
dengan kegelisahan dapat diberikan senyawa fenotiazin seperti tioridazin, prometazin.
109
Lihat Budihalim S, Sukatman D. Psikofarmaka dan Psikosamatik. Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II,
(Jakarta: FK UI,1999),h. 602-603

65
Kesehatan Mental
2. Obat penenang minor dan mayor
Obat penenang minor, diazepam merupakan obat yang efektif yang dapat digunakan pada
anxietas, agitasi, spasme otot, delirium, epilepsi. Benzodiazepine hanya diberikan pada anxietas
hebat maksimal 2 bulan.
Obat penenang mayor, yang paling sering digunakan adalah senyawa fenotiazin dan
butirofenon         seperti clorpromazin, tioridazin dan haloperidol.
3. Antidepresan
—- Yang dianjurkan adalah senyawa trisiklik dan tetrasiklik seperti amitriptilin, imipramin,
mianserin dan maprotilin yang dimulai dengan dosis kecil yang kemudian ditingkatkan.
—-
7. Retardasi Mental (Keterebelakangan Mental)
Retardasi mental merupakan keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap,
yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa perkembangan, sehingga
berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya kemampuan kognitif, bahasa,
motorik dan sosial (Maslim,1998). Keterbelakangan Mental atau lazim disebut Retardasi Mental
adalah suatu keadaan dimana keadaan dengan Intelegensia yang kurang (subnormal) sejak masa
perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak-anak). Biasanya terdapat perkembangan mental
yang kurang secara keseluruhan, tetapi gejala utama ialah Intelegensi yang terbelakang. Retardasi
Mental disebut juga Oligofrenia (oligo- kurang atau sedikit dan fren - jiwa) atau Tuna Mental.
Keadaan tersebut ditandai dengan fungsi kecerdasan umum yang berada dibawah rata-rata dan
disertai dengan berkurangnya kemampuan untuk menyesuaikan diri atau berprilaku adaptif
Retardasi Mental sebenarnya bukan suatu penyakit walaupun retardasi mental merupakan
hasil dari proses Patologik di dalam otak yang memberikan gambaran keterbatasan terhadap
Intelektualitas dan fungsi Adaptif. Retardasi Mental ini dapat terjadi dengan atau tanpa gangguan
jiwa maupun gangguan fisik lainnya.
Retardasi Mental sering disepadankan dengan istilah-istilah, sebagai berikut:
1. Lemah Pikiran ( feeble-minded)
2. Terbelakang Mental (Mentally Retarded)
3. Bodoh atau Dungu (Idiot)
4. Pandir (Imbecile)
5. Tolol (moron)
6. Oligofrenia (Oligophrenia)
7. Mampu Didik (Educable)
8. Mampu Latih (Trainable)
9. Ketergantungan Penuh (Totally Dependent) atau Butuh Rawat
10. Mental Subnormal
11. Defisit Mental
12. Defisit Kognitif
13. Cacat Mental
14. Defisiensi Mental

66
Kesehatan Mental
15. Gangguan Intelektual
Pada kenyataannya IQ (Intelligence Quotient) bukanlah merupakan satu-satunya patokan
yang dapat dipakai untuk menentukan berat ringannya Retardasi Mental. Melainkan harus dinilai
berdasarkan sejumlah besar keterampilan spesifik yang berbeda. Penilaian tingkat kecerdasan harus
berdasarkan semua informasi yang tersedia, termasuk temuan Klinis, Prilaku Adaptif dan hasil Tes
Psikometrik. Untuk diagnosis, yang pasti harus ada penurunan tingkat kecerdasan yang
mengakibatkan berkurangnya kemampuan adaptasi terhadap tuntutan dari lingkungan sosial biasa
sehari-hari. Pada pemeriksaan fisik pasien dengan Retardasi Mental dapat ditemukan berbagai
macam perubahan bentuk fisik, misalnya perubahan bentuk kepala: Mikrosefali, Hidrosefali, dan
Sindrom Down. Wajah pasien dengan Retardasi Mental sangat mudah dikenali seperti
Hipertelorisme, lidah yang menjulur keluar, gangguan pertumbuhan gigi dan ekspresi wajah tampak
tumpul. Sebagai kriteria dan bahan pertimbangan dapat dipakai juga kemampuan untuk dididik atau
dilatih dan kemampuan sosial atau kerja. Tingkatannya mulai dari taraf yang Ringan, Taraf Sedang,
Taraf Berat, dan Taraf Sangat Berat. . Retardasi mental mengenai 1,5 kali lebih banyak pada laki-
laki dibandingkan dengan perempuan
Retardasi Mental Ringan
IQ sekitar 50-55 sampai 70. Sekitar 85 % dari orang yang terkena Retardasi Mental. Pada
umumnya anak-anak dengan Retardasi Mental Ringan ini tidak dapat dikenali sampai anak tersebut
menginjak tingkat pertama atau kedua disekolah.
Retardasi Mental Sedang
IQ sekitar 35-40 sampai 50-55.
Retardasi Mental Berat
IQ sekitar 20-25 sampai 35-40.
Retardasi Mental Sangat Berat
IQ dibawah 20 atau 25.
Penyebab kelainan mental ini adalah faktor keturunan (genetik) atau tak jelas sebabnya
(simpleks).keduanya disebut Retardasi Mental Primer. Sedangkan Faktor Sekunder disebabkan oleh
faktor luar yang berpengaruh terhadap otak bayi dalam kandungan, setelah lahir atau terhadap anak-
anak.
Beberapa Penyebab Retardasi Mental yaitu :
1. Akibat Infeksi dan/atau Intoksikasi.
Dalam Kelompok ini termasuk keadaan Retardasi Mental karena kerusakan jaringan otak
akibat infeksi Intrakranial, cedera Hipoksia (kekurangan oksigen), cedera pada bagian kepala yang
cukup berat, Infeksi sitomegalovirus bawaan, Ensefalitis, Toksoplasmosis kongenitalis, Listeriosis,
Infeksi HIV, karena serum, obat atau zat toksik lainnya.
2. Akibat Rudapaksa dan atau Sebab Fisik Lain.
Rudapaksa sebelum lahir serta juga trauma lain, seperti sinar x, bahan kontrasepsi dan usaha
melakukan abortus dapat mengakibatkan kelainan Retardasi Mental, Pemakaian alkohol, kokain,
amfetamin dan obat lainnya pada ibu hamil, Keracunan metilmerkuri, Keracunan timah hitam juga
dapat mengakibatkan Retardasi Mental.

67
Kesehatan Mental
4. Akibat Gangguan Metabolisme, Pertumbuhan atau Gizi.
Semua Retardasi Mental yang langsung disebabkan oleh gangguan Metabolisme (misalnya
gangguan metabolime lemak, karbohidrat dan protein), Sindroma Reye, Dehidrasi hipernatremik,
Hipotiroid kongenital, Hipoglikemia (diabetes melitus yang tidak terkontrol dengan baik),
pertumbuhan atau gizi termasuk dalam kelompok ini hal-hal seperti Kwashiorkor, Marasmus,
Malnutrisi dapat mengakibatkan Retardasi Mental.
5. Akibat Kelainan pada Kromosom
Kelainan ini bisa diartikan dengan kesalahan pada jumlah Kromosom (Sindroma Down),
defek pada Kromosom (sindroma X yang rapuh, sindroma Angelman, sindroma Prader-Willi), dan
Translokasi Kromosom.
6. Akibat Kelainan Genetik dan Kelainan Metabolik Yang Diturunkan.
Seperti Galaktosemia, Penyakit Tay-Sachs, Fenilketonuria, Sindroma Hunter, Sindroma
Hurler, Sindroma Sanfilippo, Leukodistrofi metakromatik, Adrenoleukodistrofi, Sindroma Lesch-
Nyhan, Sindroma Rett, Sklerosis tuberose
7. Akibat Penyakit Otak Yang Nyata (Postnatal).
Dalam kelompok ini termasuk Retardasi Mental akibat Neoplasma (tidak termasuk
pertumbuhan sekunder karena rudapaksa atau peradangan) dan beberapa reaksi sel-sel otak yang
nyata, tetapi yang belum diketahui betul etiologinya (diduga herediter). Reaksi sel-sel otak ini dapat
bersifat degeneratif, infiltratif, radang, proliferatif, sklerotik atau reparatif.
8. Akibat Penyakit/Pengaruh Pranatal Yang Tidak Jelas.
Keadaan ini diketahui sudah ada sejak sebelum lahir, tetapi tidak diketahui etiologinya,
termasuk Anomali Kranial Primer dan Defek Kogenital yang tidak diketahui sebabnya.
9. Akibat Prematuritas dan Kehamilan Wanita diatas 40 tahun.
Kelompok ini termasuk Retardasi Mental yang berhubungan dengan keadaan bayi pada
waktu lahir berat badannya kurang dari 2500 gram dan/atau dengan masa hamil kurang dari 38
minggu. Serta behubungan pula dengan kehamilan anak pertama pada wanita Adolesen dan diatas
40 tahun.
10. Akibat Gangguan Jiwa Berat.
Untuk membuat diagnosa ini harus jelas telah terjadi gangguan jiwa yang berat itu, dan tidak
terdapat tanda-tanda patologi otak.
11. Akibat Deprivasi Psikososial dan Lingkungan
Retardasi Mental dapat disebabkan oleh fakor-faktor Biomedik maupun Sosiobudaya seperti
kemiskinan, status ekonomi rendah, Sindroma deprivasi. Contohnya Gangguan gizi yang tergolong
berat dan berlangsung lama dibawah dan sebelum umur 4 tahun sangat mempengaruhi
perkembangan otak dan dapat mengakibatkan retardasi mental. Namun keadaan gangguan gizi ini
dapat diperbaiki dengan memperbaiki gizi sebelum usia menginjak umur 6 tahun, namun tetap saja
intelegensi yang rendah itu sudah sukar ditingkatkan walaupun anak itu dibanjiri dengan makanan
bergizi.
Untuk mendiagnosa Retardasi Mental pada seseorang dengan tepat, perlu diambil Anamnesa
dari orang tua dengan sangat teliti mengenai kehamilan, persalinan dan perkembangan anak. Bila

68
Kesehatan Mental
mungkin dilakukan juga pemeriksaan Psikologik, bila perlu diperiksa juga di laboratorium,
diadakan evaluasi pendengaran dan bicara. Observasi Psikiatrik dikerjakan untuk mengetahui
adanya gangguan Psikiatrik disamping Retardasi Mental itu sendiri.
Pencegahan Primer pada orang dengan Retardasi Mental dapat dilakukan dengan pendidikan
kesehatan pada masyarakat, perbaikan keadaan Sosio-Ekonomi, Konseling Genetik dan Tindakan
Kedokteran (seperti perawatan Prenatal yang baik, pertolongan persalinan yang baik, kehamilan
pada wanita Adolesen dan diatas 40 tahun dikurangi dan pencegahan peradangan otak pada anak-
anak).
Pencegahan Sekunder meliputi diagnosa dan pengobatan dini peradangan otak, Perdarahan
Subdural, Kraniostenosis (sutura tengkorak menutup terlalu cepat, dapat dibuka dengan Kraniotomi;
pada Mikrosefali yang Kogenital, operasi tidak menolong)
Pencegahan Tersier merupakan pendidikan penderita atau latihan khusus sebaiknya
disekolah luar biasa. Dapat diberi Neuroleptika kepada yang gelisah, Hiperaktif atau Dektruktif.
Konseling kepada orang tua dilakukan secara Fleksibel dan Pragmatis dengan tujuan antara lain
membantu mereka dalam mengatasi Frustrasi oleh karena mempunyai anak dengan Retardasi
Mental. Orang tua sering menghendaki anak diberi obat, oleh karena itu dapat diberi penerangan
bahwa sampai sekarang belum ada obat yang dapat membuat anak menjadi pandai, hanya ada obat
yang dapat membantu pertukaran Zat (Metabolisme) sel-sel otak

69
Kesehatan Mental

Bagian Ketiga

PENYAKIT JIWA

A. Pengertian Penyakit Jiwa


  Seorang yang diserang penyakit jiwa (Psychose), kepribadiannya terganggu, dan selanjutkan
kurang mampu menyesuaikan diri dengan wajar, dan tidak sanggup memahami problemnya.
Seringkali orang yang  sakit jiwa, tidak merasa bahwa ia sakit, sebaliknya ia menganggap bahwa
dirinya normal saja, bahkan lebih baik, lebih unggul dan lebih penting dari orang lain. 
Sakit jiwa itu ada 2 macam, yaitu :
Pertama : Yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada anggota tubuh. Misalnya otak, sentral saraf
atau hilangnya kemampuan berbagai kelenjar. hal ini mungkin disebabkan oleh karena
keracunan akibat minuman keras, obat-obatan perangsang atau narkotik, akibat penyakit
kotor dan sebagainya.
 Kedua  : Disebabkan oleh gangguan-gangguan jiwa yang telah berlarut-larut sehingga mencapai
puncaknya tanpa suatu penyelesaian secara wajar atau hilangnya keseimbangan mental
secara menyeluruh, akibat suasana lingkungan yang sangat menekan, ketegangan batin
dan sebagainya.110

B. Macam-Macam Penyakit Jiwa


Menurut Zakiah Darajat ada beberapa macam penyakit jiwa di antaranya: 

1.Schizophrenia
Schizophrenia adalah penyakit jiwa yang paling banyak terjadi dibandingkan dengan
penyakit jiwa lainnya, penyakit ini menyebabkan kemunduran kepribadian pada umumnya, yang
biasanya mulai tampak pada masa puber, dan paling banyak adalah orang yang berumur antara 15 –
30 tahun. 
Gejala-gejala diantaranya :

110
Lihat Zakiah Darajat, Kesehatan Mental (Cet.XIV; Jakarta: Masagung, 2006), h. 34-37

70
Kesehatan Mental
Dingin perasaan, tak ada perhatian pada apa yang terjadi di sekitarnya. Tidak terlihat
padanya reaksi emosional terhadap orang yang terdekat kepadanya, baik emosi marah, sedih dan
takut. Segala sesuatu dihadapinya dengan acuh tak acuh. Banyak tenggelam dalam lamunan yang
jauh dari kenyataan, sangat sukar bagi orang untuk memahami pikirannya. Dan ia lebih suka
menjauhi pergaulan dengan orang banyak dan suka menyendiri. Mempunyai prasangka-prasangka
yang tidak benar dan tidak beralasan, misalnya apabila ia melihat orang yang menulis atau
membicarakan sesuatu, disangkanya bahwa tulisan atau pembicaraan itu ditujukan untuk
mencelanya. Sering terjadi salah tanggapan atau terhentinya pikiran, misalnya orang sedang
berbicara tiba-tiba lupa apa yang dikatakannya itu. Kadang-kadang dalam pembicaraan ia pindah
dari suatu masalah ke masalah lain yang tak ada hubungannya sama sekali atau perkataannya tidak
jelas ujung pangkalnya. Halusinasi pendengaran, penciuman atau penglihatan, dimana penderita
seolah-olah mendengar, mencium atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Ia seakan-akan
mendengar orang lain (tetangga) membicarakannya, atau melihat sesuatu yang menakutkannya.
Banyak putus asa dan merasa bahwa ia adalah korban kejahatan orang banyak atau masyarakat.
Merasa bahwa semua orang bersalah dan meyebabkan penderitaannya, keinginan menjauhkan diri
dari masyarakat , tidak mau bertemu dengan orang lain dan sebagainya, bahkan kadang-kadang
sampai kepada tidak mau makan atau minum dan sebagainya, sehingga dalam hal ini ia harus
diinjeksi supaya tertolong.111
Demikian antara lain gejala  Schizophrenia, dan tiap-tiap pasien mungkin hanya mengalami
satu atau dua macam saja dari gejala tersebut, sedangkan dalam hal lain terlihat jauh dari kenyataan.
Sampai sekarang belum diketahui dengan pasti apa sesungguhnya yang menimbulkan
Schizophrenia itu. Ada yang berpendapat bahwa keturunanlah yang besar peranannya. Menurut
hasil beberapa penelitian terbukti bahwa 60% dari orang yang sakit ini berasal dari keluarga yang
pernah dihinggapi sakit jiwa. Adapula yang mengatakan bahwa sebabnya adalah rusaknya kelenjar-
kelenjar tertentu dalam tubuh. Ada yang menitik beratkan pandangannya pada penyesuaian diri
yaitu karena orang tidak mampu menghadapai kesukaran hidup , tidak bisa menyesuaikan diri
sedemikian rupa sehingga sering menemui kegagalan dalam usaha menghadapi kesukaran. 
Apapun sebab sesungguhnya, namun terbukti bahwa kebanyakan penyakit ini mulai
menyerang setelah orang  setelah menghadapi satu peristiwa yang menekan, yang berakibat
munculnya penyakit yang mungkin sudah terdapat secara tersembunyi di dalam orang itu. Faktor
pendorong lain ialah kesukaran ekonomi, keluarga, hubungan cinta, selain itu terdapat kegelisahan
yang timbul akibat terlalu lama melakukan onani, sehingga merasa berdosa dan menyesal, sedang
menghentikannya tak sanggup. Penyakit ini biasnya lama sekali perkembangannya, mungkin dalam
beberapa bulan atau beberapa tahun, baru ia menunjukkan gejala-gejala ringan, tapi akhirnya
setelah peristiwa tertentu, tiba-tiba terlihat gejala yang hebat sekaligus. 
2.Paranoia
Paranoia merupakan penyakit ‘gila kebesaran’ atau ‘gila menuduh orang’. Di antara ciri-ciri
penyakit ini adalah delusi yaitu satu pikiran salah yang menguasai orang yang diserangnya. Delusi
ini berbeda bentuk dan macamnya sesuai dengan suasana dan kepribadian penderita, misalnya :

111
Lihat Ibid., h. 42-44

71
Kesehatan Mental
Penderita mempunyai satu pendapat (keyakinan) yang salah, segala perhatiannya ditujukan ke sana
dan yang satu itu pula yang menjadi buah tuturnya, sehingga setiap orang yang ditemuinya akan
diyakinkannya pula akan kebenarannya pendapatnya itu. Misalnya ada seorang suami yang
menyangka bahwa istrinya berniat jahat meracuninya. Maka selalu menghindar makan di rumah,
karena takut akan terkena racun itu. Penderita merasa bahwa ada orang yang jahat kepadanya dan
selalu berusaha untuk menjatuhkannya atau menganiayanya. Penderita merasa bahwa dirinya orang
besar, hebat tidak ada bandingannya, meyakini dirinya adalah seorang pemimpin besar atau
mungkin mengaku Nabi. Delusi atau pikiran salah yang dirasakan oleh penderita sangat
menguasainya dan tidak bisa hilang. Kecuali itu jalan pikirannya terlihat teratur dan tetap. Pada
permulaan orang menyangka  bahwa pikirannya itu logis dan benar., biasanya orang yang diserang
paranoia ia cerdas, ingatannya kuat, emosinya terlihat berimbang dan cocok dengan pikirannya.
Hanya saja ia mempunai suatu kepercayaan salah, sehingga perhatiaan dan perkataannya selalu
dikendalikan oleh pikirannya yang salah itu.
Sebenarnya kita harus membedakan antara antara sakit jiwa paranoia yang sungguh-sungguh
dengan kelakuan paranoid. Kelakuan paranoid yang juga abnormal juga diantaranya : Terlihat
sekali dalam segala tindakannya, bahwa ia egois, keras kepala dan sangat keras pendirian dan
pendapatnya. Tidak mau mengakui kesalahan  atau kekurangannya, selalu melempar kesalahan
pada orang lain, dan segala kegagalannya disangkannya akibat dari campur tangan orang lain. Ia
berkeyakinan bahwa dia mempunyai kemampuan dan kecerdasan yang luar biasa. Ia berasal dari
keturunan yang jauh lebih baik dari orang lain dan merasa bahwa setiap orang iri, dengki dan takut
kepadanya. Dalam persaudaraan ia tidak setia, orang tadinya sangat dicintainya, akan dapat berubah
menjadi orang yang sangat dibencinya oleh sebab-sebab yang remeh saja. Orang ini tidak dapat
bekerja dan mempunyai kepatuhan pada pimpinan. Karena ia suka membantah atau melawan dan
mempnuayai pendapat sendiri, tidak mau menerima nasehat atau pandangan dari orang lain.112 
3. Manicdepressive
Penderita mengalami rasa besar/gembira yang kemudian kemudian menjadi sedih/tertekan.
Gejalanya yaitu :
a. Mania,
Mania mempunyai tiga tingkatan yaitu ringan (hipo), berat (acute) dan sangat berat (hyper).
Dalam tindakannya orang yang diserang oleh mania ringan terlihat selalu aktif, tidak kenal payah,
suka penguasai pembicaraan, pantang ditegur baik perkataan maupun perbuatannya, tidak tahan
mendengar kecaman terhadap dirinya.biasanya orang ini suka mencampuri urusan orang lain.
Dalam mania yang berat (acute), orang biasanya di serang oleh delusi-delusi pada waktu-waktu
tertentu, sehingga sukar baginya untuk melakukan suatu pekerjaan dengan teratur. Penderita
mengungkapkan rasa gembira dan bahagianya secara berlebihan. kadang-kadang diserang lamunan
yang dalam sekali, sehingga tidak dapat membedakan tempat, waktu dan orang disekelilingnya. 
Dalam hal mania yang sangat berat (hyper) orang yang diserangnya kadang-kadang
membahayakan dirinya sendiri dan mungkin membahayakan orang lain dalam sikap dan
perbuatannya. Penyakit ini dinamakan juga ‘gila kumat-kumatan’, karena penderita berubah-ubah

112
Lihat Ibid., h.51-53

72
Kesehatan Mental
dari rasa gembira yang berlebihan, sudah itu bisa kembali atau menurun menjadi sedih, muram dan
tak berdaya. Dalam hal pertama penderita berteriak, mencai-maki, marah-marah dan sebagainya,
kemudian kembali pada ketenangan biasa dan bekerja seperti tidakl ada apa-apa. 
b.Melancholia
Penderita terlihat muram, sedih dan putus asa. Ia  merasa diserang oleh berbagai macam
penyakit yang tidak bisa sembuh,atau merasa berbuat dosa yang tak mungkin diampuni lagi.
Kadang-kadang ia menyakiti dirinya sendiri. Orang yang diserang penyakit melancholia ringan
sering mengeluh nasibnya tidak baik dan merasa tidak ada harapan lagi. Dan bagi penderita
melancholia berat menjauhkan dirinya dari masyarakat. 
Demikianlah antara lain gejala-gejala gangguan dan penyakit jiwa  yang membuktikan
betapa besar akibat terganggunya kesehatan mental seseorang, yang akan menghilangkan
kebahagiaan dan ketenangan hidupnya.113
Ada juga pakar lain yang membagi macam-macam penyakit jiwa sebagai berikut:
1. Kleptomania
Kleptomania (bahasa Yunani: κλέπτειν, kleptein, "mencuri", μανία, "mania") adalah
penyakit jiwa yang membuat penderitanya tidak bisa menahan diri untuk mencuri. Benda-benda
yang dicuri oleh penderita kleptomania umumnya adalah barang-barang yang tidak berharga, seperti
mencuri gula, permen, sisir, atau barang-barang lainnya. Sang penderita biasanya merasakan rasa
tegang subjektif sebelum mencuri dan merasakan kelegaan atau kenikmatan setelah mereka
melakukan tindakan mencuri tersebut. Tindakan ini harus dibedakan dari tindakan mencuri biasa
yang biasanya didorong oleh motivasi keuntungan dan telah direncanakan sebelumnya.Penyakit ini
umum muncul pada masa puber dan ada sampai dewasa. Pada beberapa kasus, kleptomania diderita
seumur hidup. Penderita juga mungkin memiliki kelainan jiwa lainnya, seperti kelainan emosi,
Bulimia Nervosa, paranoid, schizoid atau border114
Penyakit jiwa ini membuat penderitanya tidak bisa menahan diri untuk mencuri. Benda-
benda yang dicuri oleh penderita kleptomania umumnya adalah barang-barang yang tidak berharga,
seperti mencuri gula, permen, sisir, ya apa deh terserah si penderita. Sang penderita biasanya
merasakan rasa tegang subjektif sebelum mencuri dan merasakan kelegaan atau kenikmatan setelah
mereka melakukan tindakan mencuri tersebut. Tindakan ini harus dibedakan dari tindakan mencuri
biasa yang biasanya didorong oleh motivasi keuntungan dan telah direncanakan sebelumnya.
Penyakit ini umum muncul pada masa puber dan ada sampai dewasa. Pada beberapa kasus,
kleptomania diderita seumur hidup. Penderita juga mungkin memiliki kelainan jiwa lainnya, seperti
kelainan emosi, Bulimia Nervosa, paranoid, schizoid atau borderline personality
disorder.Kleptomania dapat muncul setelah terjadi cedera otak traumatik dan keracunan karbon
monoksida.
2.Neurosis

113
Lihat Ibid., h. 57-62
114
Lihat Grant JE (2004). "Co-occurrence of personality disorders in persons with kleptomania: a preliminary
investigation". J. Am. Acad. Psychiatry Law 32 (4):, (2004), 395-398.

73
Kesehatan Mental
Adalah istilah umum yang merujuk pada ketidakseimbangan mental yang
menyebabkan stress, tapi tidak seperti psikosis atau kelainan kepribadian, neurosis tidak
mempengaruhi pemikiran rasional. Konsep neurosis berhubungan dengan bidang psikoanalisis,
(suatu aliran pemikiran dalam psikologi atau psikiatri.) 
3.Psikosis
 Psikosis adalah ketidakmampuan seseorang menilai realita dengan fantasi dirinya. Hasilnya,
terdapat realita baru versi orang psikosis tersebut. Psikosis adalah suatu kumpulan gejala
atau sindrom yang berhubungan gangguan psikiatri lainnya, tetapi gejala tersebut bukan merupakan
gejala spesifik penyakit tersebut, seperti yang tercantum dalam kriteria diagnostik DSM-IV
(Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) maupun ICD-10 (The International
Statistical Classification of Diseases) atau menggunakan kriteria diagnostik PPDGJ- III (Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa). Arti psikosis sebenarnya masih bersifat sempit dan
bias yang berarti waham dan halusinasi, selain itu juga ditemukan gejala lain termasuk di antaranya
pembicaraan dan tingkah laku yang kacau, dan gangguan daya nilai realitas yang berat. Oleh karena
itu psikosis dapat pula diartikan sebagai suatu kumpulan gejala/terdapatnya gangguan
fungsi mental, respon perasaan, daya nilai realitas, komunikasi dan hubungan
antara individu dengan lingkungannya.
4.Sindrom mahasiswa kedokteran
Sindrom ini muncul ketika seseorang membaca atau mempelajari mengenai suatu penyakit
atau kelainan dan mulai percaya bahwa ia juga sedang mengidap penyakit atau kelainan tersebut,
misalnya pada apofenia. Sebenarnya sindrom ini tidak hanya terbatas
pada mahasiswa kedokteran saja, namun bisa pada siapapun. Namun, sindrom ini dipercaya banyak
diidapi oleh mahasiswa kedokteranDalam masa pembelajaran, para mahasiswa kedokteran harus
mempelajari berbagai daftar sindrom dan tanda ataupun gejala penyakit baik yang sering maupun
jarang terjadi. Ketika sedang mempelajari, mereka merasa mereka turut memiliki gejala atau
sindrom yang ada. Misalnya, ketika mempelajari tumor otak, salah satu tandanya adalah sakit
kepala. Ketika mahasiswa tersebut sakit kepala, ia percaya hal itu disebabkan oleh tumor di otak.

C. Tanda-tanda Utama dari Penyakit Jiwa


Tidak ada satu manusia pun di bumi ini yang terbebas sama sekali dari kemungkinan untuk
menjadi penderita gangguan kejiwaan. Dalam pemakaian "defense mechanism" misalnya,
barangkali dapat dikatakan bahwa perbedaan normal dan abnormal hanya terletak pada frekuensi
dan intensitas dari penggunaan defense itu. Begitu juga dengan gejala dan tanda-tanda yang
abnormal pada umumnya. Hampir setiap orang yang tergolong normal pada saat-saat tertentu dan
dalam kondisi hidup yang tertentu pernah menunjukkan gejala abnormal dalam sikap, cara berpikir,
dan tingkah laku mereka.
Oleh karena itu, hamba-hamba Tuhan sebagai konselor harus berhati- hati dalam mengenali
dan mengklasifikasikan klien dalam kelompok orang-orang yang disebut penderita gangguan
kejiwaan. Hal ini disebabkan oleh karena tanda-tanda dan gejala-gejala abnormal yang klien
tunjukkan belum tentu gejala penyakit jiwa yang sesungguhnya sehingga, kita menyadari

74
Kesehatan Mental
keterbatasan dan kelemahan manusiawi dokter- dokter jiwa dan petugas rumah sakit jiwa yang
sering kali salah mendiagnosa klien/pasien.
D.N. Rosenhan telah membuktikan hal ini dengan eksperimen- eksperimennya, yang
seharusnya membuat setiap hamba Tuhan lebih waspada dan berhati-hati dalam mengirimkan
pasien ke rumah sakit jiwa.
Ini tidak berarti bahwa hamba Tuhan tidak perlu bekerja sama dengan psikiater dan rumah sakit
jiwa, karena hal tersebut di atas menunjukkan kepada kelemahan manusiawi si dokter dan pihak
rumah sakit jiwa dan bukan menunjukkan pada "ketidakbenaran" ilmu psikatri dan psikologi itu
sendiri. Kelemahan-kelemahan manusiawi dari profesional-profesional lain justru menyadarkan
hamba-hamba Tuhan betapa besar tanggung jawab mereka dalam pelayanan konseling. Untuk itu ia
harus mempunyai pengenalan umum tentang gejala-gejala dan tanda-tanda utama dari penyakit
jiwa.
a. Beberapa gejala yang muncul secara bersamaan.
Bagi orang yang tergolong normal, gejala abnormal biasanya muncul sebagai satu-satunya
gejala, sedangkan aspek-aspek hidup lainnya tidak menunjukkan gejala abnormal.
Misalnya: Oleh karena tekanan kehidupan, seorang dapat menangis meraung-raung; tetapi begitu
muncul orang lain ia sadar dan tahu mengontrol ataupun mengarahkan tangisan itu pada tujuan yang
rasional dan dapat diterima oleh lingkungan itu pada umumnya. Tapi lain halnya dengan penderita
penyakit. Beberapa gejala abnormal muncul dan nampak secara bersamaan; ia menangis meraung-
raung, tidak menyadari bagaimana pikiran orang lain terhadap tingkah lakunya dan ia mengarahkan
tangisan itu pada sesuatu yang kacau dan irrasional.
b. Gejala-gejala itu membuat dirinya lain daripada sebelumnya.
Munculnya gejala itu membuat orang yang bersangkutan lain daripada sebelumnya. Orang-
orang lain mengenali bahwa ia sesungguhnya tidak seperti itu, dan seharusnya tidak melakukan
tingkah laku yang semacam itu.
Misalnya: Bermain-main dengan kotorannya sendiri, bahkan kadang-kadang dimakannya.
c. Gejala-gejala itu bertahan sampai jangka waktu yang cukup lama dan muncul terus-menerus.
Orang yang normal dapat bertingkah laku abnormal, tetapi akan segera menyadari dirinya
dan cenderung untuk segera menyesuaikan diri dengan apa yang diinginkan lingkungannya. Tetapi
lain halnya dengan penderita penyakit jiwa.
Di samping itu penyakit jiwa juga dapat dikenali melalui gejala- gejala:
1. Physical (fisik/badani)
Banyak sekali gejala kejiwaan (seperti misalnya, perasaan tidak aman, sedih, marah, cemas,
dsb.) yang langsung dapat mempengaruhi kondisi tubuh orang yang bersangkutan. Jikalau orang
tersebut kemudian menderita sakit, maka jelas penyakit itu pertama-tama disebabkan oleh keadaan
kejiwaannya. Ini yang seringkali disebut sebagai 'psychosomatic' atau 'psychophysiological
reaction', yaitu gangguan kejiwaan yang menggejala secara badani sebagai gangguan tubuh.
Penyakit-penyakit yang biasanya (tidak selalu) tergolong 'psychosomatic reaction' antara lain:
asma, sakit kepala, insomnia, radang usus besar, diarrhea, beberapa penyakit kulit seperti: eksem,
gatal-gatal, borok yang tidak sembuh-sembuh, dsb.

75
Kesehatan Mental
Tentu saja orang-orang dengan gejala psyhosomatis tidak begitu saja dapat digolongkan
sebagai penderita sakit jiwa, meskipun gejala-gejala itu timbul oleh karena gangguan-gangguan
kejiwaan. Sebagian besar dari gejala-gejala ini ada pada orang-orang yang normal, oleh karena itu
meskipun memerlukan pengobatan dari dokter, mereka tidak boleh sama sekali diperlakukan
sebagai pasien-pasien penyakit jiwa.
2. Psychological (jiwani)
Penyakit dan gangguan kejiwaan biasanya juga diekspresikan secara jiwani misalnya:
Faulty Perception (persepsi yang kacau) Manusia diperlengkapi dengan bermacam-macam
indera. Jikalau rangsangan tiba, maka rangsangan itu akan diteruskan melalui sistem persyaratan ke
otak. Dengan inilah orang dapat melihat, mengenali, mendengar suara, merasa panas dingin, sakit,
mencium bau, dsb. Tetapi, ada kasus-kasus kejiwaan yang kadang-kadang dapat menyebabkan
terganggunya proses persepsi ini sehingga orang tersebut dengan mata, hidung, telinga, lidah dan
kulit yang normal ternyata mempunyai persepsi yang berbeda bahkan kacau balau. Ia bisa seolah-
olah buta (psychological blindness), tidak dapat mendengar apa-apa, atau selalu mendengar suara
yang orang lain tidak dengar, dan melihat penglihatan yang orang lain tidak lihat. Gangguan
kejiwaan dapat menyebabkan orang merasa lampu 20 watt dalam kamar itu terlalu terang, atau
suara titik air yang jatuh satu per satu dari kran sebagai suara pukulan palu di kepalanya, dsb.
Dari sini kita mengenal istilah-istilah seperti: Ilusi, yaitu penyalahtafsiran stimulan pada
indera penglihatan. Misalnya: Melihat pohon sebagai orang. Halusinasi, yaitu persepsi yang terjadi
meskipun tidak ada stimulan yang sesungguhnya. Misalnya: Melihat suami yang sudah meninggal,
bahkan dapat berkata-kata kepadanya. Mendengar suara-suara aneh, dsb.
3.Distorted thinking (pemikiran yang menyimpang dan kacau)
Gangguan kejiwaan sering kali juga diekspresikan dalam bentuk pemikiran yang kacau dan
tidak masuk akal.
Misalnya: Si Amir yang yakin bahwa ia lahir 2000 tahun yang lalu. Si Ahmad yang begitu
yakin bahwa di bawah tempat tidurnya
ada bom waktu yang dipasang oleh anak buah Khomeini. Inilah yang disebut 'distorted thinking',
yang menjadi salah satu tanda dari gangguan kejiwaan.
Melihat isinya, 'distorted thinking' dapat dibagi dalam tiga golongan yaitu:
a. Obession (obsesi):
Yaitu pemikiran yang irasional yang timbul karena dorongan dan kenangan yang tidak
menyenangkan, sehingga seolah-olah ada sesuatu yang membuat dia terus-menerus berpikir,
"...saya harus..." atau "pasti akan...", dsb. Misalnya: Pengalaman melihat orang yang dianiaya dalam
peperangan, menyebabkan ia berpikir "pasti suatu hari saya akan mengalami hal yang serupa". Ia
begitu yakin di luar rumah sudah menanti orang-orang yang akan menganiaya dia, sehingga ia
terdorong untuk terus-menerus melakukan hal-hal yang irasional, seperti bersembunyi di bawah
kolong, mengintip melalui lubang pintu, dsb. Pengalaman dengan orangtua yang perfectionist,
membuat ia selalu merasa ada dorongan "saya harus membereskan ini", "saya harus menyelesaikan
itu"; dan ini sering kali tidak masuk akal, misalnya, bangun tengah malam hanya untuk
membersihkan mobil, dsb.

76
Kesehatan Mental
b. Phobia:
Yaitu rasa takut yang irasional. Dan ini bisa berbentuk rasa takut berada dalam ruangan
gelap, rasa takut pada darah, air, ular, angin, di tengah banyak orang, berada di tempat tinggi, lewat
jembatan, dsb.
c. Delusion (delusi):
Yaitu pemikiran yang irasional yang menggejala dalam bentuk munculnya keyakinan
(palsu) bahwa hal itu benar-benar ia alami, atau ia dengar, atau ia lihat, dsb. Misalnya: Yakin betul
bahwa ia bertemu dengan Al-Qaeda, bahkan yakin betul bahwa ia sendiri telah diangkat menjadi
rasul dan menuntut orang-orang lain mengikut dan menyembah dia.
4. Faulty Emotional Expression (Ekpresi dari emosi yang keliru)
Setiap orang sudah belajar sejak kecil bagaimana mengekspresikan perasaan senang, susah,
sakit, bahagia, kasih, benci, dsb. Dan umumnya orang yang normal mempunyai pengekspresian
yang mirip dengan orang-orang lain. Misalnya, tertawa sebagai ekspresi dari rasa sedih. Tetapi tidak
demikian halnya dengan orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan, mereka seringkali
melakukan pengekspresian emosi secara keliru, dan tentunya berbeda daripada orang-orang pada
umumnya.
Pengekspresian emosi yang keliru ini dapat berbentuk:
a. Tanpa ekspresi
Penderita sakit jiwa seringkali hidup dalam dunianya sendiri, sehingga emosinya tidak
tergerak oleh keadaan dan situasi di sekelilingnya. Mereka tidak tertawa atas hal-hal yang lucu dan
menyenangkan, juga tidak sedih atas hal-hal yang menyedihkan.
b. Elation atau Euphoria (ekspresi/gembira yang berlebih-lebihan)
Penderita sakit jiwa juga sering kali mengekspresikan emosi secara berlebih-lebihan. Untuk
hal yang kecil dia bisa tertawa sampai menangis.
c. Depresi
Pada saat-saat tertentu setiap orang bisa mengalami/merasa tidak bergairah, kecil hati dan
susah, tetapi hanya untuk sementara saja. Tetapi tidak demikian halnya dengan penderita sakit jiwa.
Ada kasus-kasus di mana tanpa alasan yang jelas perasaan sedih itu timbul tenggelam dan bahkan
bertahan lama. Mereka memang dapat mengatakan bahwa mereka kuatir terhadap sesuatu (entah
pekerjaan, keluarga, kesehatan, masa depan, dll.) tetapi sebenarnya hal-hal itu bukan penyebab
utama dari kekuatiran yang berlebih-lebihan itu. Hal-hal itu hanyalah 'precipitating factor' yang
menjadi gangguan kejiwaan oleh karena sudah ada 'predisposing factor' pada mereka itu. Oleh
karena itu, hal-hal yang bagi orang lain cuma menimbulkan perasaan sedih yang normal dan untuk
sementara, bagi mereka menjadi "depresi" dimana putus asa dan tidak bahagia yang terus-menerus.
Enos D. Martin seorang psikiater menyebutkan tentang tiga jenis depresi dengan contoh-
contoh praktis:
1) Normal grief reaction (rasa sedih sebagai reaksi yang normal atas suatu 'kehilangan'). Seorang
pejabat yang mendekati masa pensiun merasa sedih oleh karena munculnya perasaan 'tidak berguna
dan tidak dapat dipakai lagi'. Tekanan kesedihan itu telah menimbulkan macam- macam gangguan
seperti misalnya kehilangan nafsu makan, tidak bisa tidur, sakit kepala, dsb. Ternyata setelah ustas

77
Kesehatan Mental
menyatakan bahwa jabatan baginya cuma berarti bahwa ia tidak perlu lagi mengerjakan tugas-tugas
administrasi (yang berarti bahwa ia masih boleh berkarya, melakukan konseling, dsb.) langsung
gejala-gejala kejiwaan itu lenyap.

2). Neurotic depression (depresi yang neurotis)


Seorang ustas mengalami depresi oleh karena sebagai ustas senior ia merasa tersaing dengan
munculnya ustas muda yang dalam beberapa hal sangat dikagumi oleh jamaah. Ia tidak bisa tidur,
kehilangan nafsu makan, dsb. Penghiburan dari banyak orang bahwa ia mempunyai lebih banyak
kelebihan ternyata tidak menolong. Dalam kasus ini jelas bahwa kesedihannya bukan sekedar
'normal grief reaction', ia betul-betul menderita depresi dan harus mendapatkan pengobatan dari
dokter. Diketemukan oleh dokter jiwa bahwa ustas ini ternyata mempunyai 'predisposing faktor'
untuk depresi, seperti misalnya, kegoncangan emosi cukup hebat pada masa kecil ketika ia sakit dan
harus masuk rumah sakit, juga faktor lain bahwa semasa kecilnya ia kurang mendapatkan kasih
sayang dari orangtuanya.
3) Endogenous depression (bakat depresi yang diturunkan dari orang-tuanya).
Seorang direktur mengalami depresi oleh karena usahanya untuk mendamaikan dua orang
pakar, bahkan berakibat fatal, yaitu kedua-duanya justru menyalahkan dan melawan dia. Ia
sekarang merasa bahwa seluruh kehidupannya termasuk pelayanannya gagal. Ia kemudian
menderita insomnia (tidak dapat tidur), kehilangan nafsu seksuil, nafsu makan, tidak ada gairah lagi
pada segala hobinya, sering menangis dan menjauhkan diri dari perjumpaan dengan orang lain
bahkan berkali-kali mencoba untuk bunuh diri. Diketemukan pada direktur ini, adanya
'predisposing factor' depresi yang lebih berat dari ustas karena direktur mempunyai bakat-bakat
biologis yang diturunkan dari orangtuanya. Ibunya juga seorang penderita depresi berat.115
d. Emotional variability (macam-macam pengekspresian emosi) .
Setiap orang akan mengalami naik turunnya emosi sebagai reaksi atas pengalaman-
pengalaman kehidupan ini. Tetapi bagi penderita penyakit jiwa naik turunnya emosi ini tidak sesuai
dengan realita yang ada. Mungkin pengalaman yang menyenangkan ini sudah terjadi beberapa hari
yang lalu dan tiba-tiba ia bisa tersenyum-tersenyum bahkan tertawa-tawa tanpa dapat dikontrol oleh
karena ingat akan hal itu. Sering juga diketemukan penderita penyakit jiwa yang menangis tanpa
alasan untuk menangis, atau tiba-tiba marah dan menyerang orang lain tanpa sebab, dsb.
d. Inappropriate affect (reaksi emosi yang tidak tepat)
Sedikit berbeda dengan 'emotional variability', di sini orang yang mendapat gangguan
kejiwaan biasanya memberikan reaksi emosi yang tidak cocok dengan stimulan yang ada. Misalnya:
-- Menangis mendengar cerita yang lucu -- Tertawa geli melihat orang yang sedih menangis
ditinggalkan kekasihnya.
5. Unusual motor activity (activitas motorik yang tidak normal)
Dalam kehidupan ini kita kadang-kadang dapat melakukan aktivitas motorik yang tidak
biasa, misalnya: berlari, berkata, berpikir, berbuat lebih cepat atau lebih lambat daripada biasanya.

115
Lihat dalam Winter "What is Depression", Leadership, 1982, Vol. III, No. 1, h., 82-83.

78
Kesehatan Mental
Tetapi untuk itu selalu ada alasan dan tujuan yang jelas dan disadari, dan hanya untuk sementara
saja, tetapi lain halnya dengan penderita penyakit jiwa. Sering kali kita bisa mengenali adanya
tanda-tanda gangguan kejiwaan melalui aktivitas motorik yang tidak normal, misalnya:
a. Over activity (activitas yang berlebihan)
Sebagai contoh, pasien yang berbicara terus-menerus dengan susunan kalimat yang tidak
mengandung pengertian sama sekali (kacau, dan irasional). Ketidakmampuan untuk duduk tenang,
terus- menerus gelisah; terkejut bahkan lari ketakutan atas suara tertentu; tangan dan kaki bahkan
mata yang bergerak-gerak terus, dsb.
b. Under Activity (kurang aktif)
Sebagai kebalikan dari 'over activity', maka gejala penyakit jiwa sering kali ditandai oleh
sikap diam, tidak bergerak-gerak, seperti seolah-olah lemah badan, tidak dapat berbicara, dsb.
c. Compulsive activity (aktivitas yang tidak terkendalikan)
Dalam hidup ini sering kali kita merasakan adanya dorongan yang besar untuk melakukan
sesuatu, tetapi sering kali oleh karena sebab-sebab tertentu hal itu belum dapat dilaksanakan. Bagi
orang yang normal hal ini biasa dan ia bisa menyesuaikan diri dengan mengalihkan perhatian pada
aktivitas-aktivitas yang lain. Tetapi pada penderita penyakit jiwa tidak demikian, mungkin apa yang
ia ingin lakukan sendiri tidak ia sadari lagi, tetapi ia merasakan adanya dorongan yang kuat untuk
melakukan sesuatu aktivitas. Dan ini diekspresikan dengan menggigit-gigit kuku terus-menerus,
menggaruk-garuk kaki, mempermainkan alat kelamin, menggigit-gigit bibir, melipat-lipat tangan,
menulis-nulis dengan jari, menghisap ujung baju, dsb.
6. Gejala abnormal yang lain
Tanda-tanda lain dari adanya gangguan kejiwaan dalam ketegori ini sering kali dapat
diketemukan dalam kehidupan sehari-hari dari orang-orang yang normal. Oleh karena itu kita harus
berhati-hati dan tidak menyamaratakan setiap gejala sebagai abnormal atau gejala penyakit jiwa.
Misalnya:
a..Disorientasi; dimana seorang bisa tidak tahu di mana ia berada, siapa dirinya, hari apa
sekarang, dsb.
b. Withdrawal; menarik diri dari pertemuan-pertemuan dengan orang-orang lain.
c. Kecurigaan yang berlebih-lebihan.
Kepekaan yang berlebih-lebihan terhadap otoritas.
d. Menyembunyikan sesuatu secara tidak normal, misal, uang disimpan di bawah tanah.
e. Rangsangan dan kebutuhan seksuil yang tidak normal.
f. Kekanak-kanakan, dsb.
3. Sosial
Biasanya yang disebut abnormal oleh karena ia menunjukkan tingkah laku, sikap, cara
berpikir, yang tidak cocok dengan standar normal masyarakat atau lingkungan di mana ia hidup.
Manusia adalah makhluk sosial, karena itu ia mempunyai kebutuhan-kebutuhan sosial dan ingin
menjadi bagian integral dari lingkungannya. Karena itu normal jika ia selalu cenderung untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Meskipun demikian, tidak secara otomatis orang yang
"tidak dapat menyesuaikan diri" dapat disebut sebagai orang yang tidak normal atau punya gejala

79
Kesehatan Mental
penyakit jiwa, jikalau ia dengan sadar melakukan hal itu. Yang mungkin oleh karena ia memang
tidak/belum menjadi bagian integral dari masayarakat itu. Kasus-kasus seperti misionaris konteks
sosial, kita baru bisa mengenali adanya gejala abnormal, jikalau orang yang bersangkutan secara
tidak sadar bertingkah laku yang tidak sesuai dengan standar normal masyarakat, yang secara
integral ia sendiri menjadi bagian di dalamnya.
4. Spiritual (rohani)
Gejala-gejala penyakit jiwa dapat pula mengekspresikan diri secara spiritual, misalnya
gagasan perasaan berdosa yang tidak terampunkan, fanatik, keragu-raguan yang terus-menerus, dsb.
Frank Minirth mengatakan bahwa gangguan-gangguan kejiwaan bisa menggejala secara rohani:
"A person with an impending psychotic break may display an intense religious
preoccupation. Someone having an obsessive compulsive neurosis may struggle with a fear of
having committed the unpardonable sin. Or he may fear he hasn't really trusted Christ as Savior.
Emotional and physical problems manifest still another spiritual cloaks. Individuals with temporal
lobe epilepsy may communicate renewed religious interest and moral piety. Those with a manic-
depressive psychosis may talk in a religious jargon. People diagnosed as having schizophrenia,
obsessive-compulsive, ego-alien thought, and multiple personalities are sometimes victims of
demon-possession."
5. Terapi atau Pengobatan
Salah seorang ulama Islam Syekh Muhammad bin al-Utsaimin mencoba mengobati atau
menawarkan terapi dengan pendekatan Ruqyah bagi fasien penyakit jiwa sebagai berikut:
Ada seorang mengajukan pertanyaan kepada Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin :
Apakah seorang mukmin bisa menderita sakit jiwa? Apakah obatnya secara syara? Perlu diketahui
bahwa pengobatan modern mengobati penyakit-penyakit ini hanya dengan obat-obatan masa kini
saja?
Beliau menjawab tidak disangsikan lagi bahwa manusia bisa menderita penyakit-penyakit
jiwa berupa hamm (sakit hati) terhadap masa depan huzn (duka cita) terhadap masa lalu. Penyakit-
penyakit kejiwaaan lebih banyak mempengaruhi tubuh dari penyakit-panyakit anggota tubuh.
Pengobatan penyakit-penyakit ini dengan perkara-perkara syar’iyah (ruqyah) lebih manjur daripada
pengobatannya dengan obat-obatan yang bisa digunakan.
Di antara obat-obatnya adalah hadits shahih Ibnu Mas’ud: :
“Artinya : Tidak ada seorang mukmin yang menderita hamm, atau, ghamm, atau duka cita, lalu ia
menjawab, ‘Ya Allah’ sesungguhnya aku adalah hambaMu, anak hamba laki-lakiMu, anak hamba
perempuanMu, ubun-ubunku di tanganMu, berlalu hukum Engkau padaku, qadhaMu sangat adil
padaku, aku memohon kepadaMu dengan segala nama yang Engkau namakan diriMu dengannya,
atau Engkau beritahu kepada seseorang makhlukMu, atau Engkau turunkan dalam kitabMu, atau
hanya Engkau yang mengetahuinya dalam ilmu ghaib di sisiMu, jadikanlah Al-Qur’an sebagai
penyejuk hatiku, cahaya dadaku, penerang duka citaku, dan hilangnya hamm (sakit hati)ku.
Melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala melapangkan darinya” [HR Ahmad dalam Al-Musnad
3704-4306]

80
Kesehatan Mental

Ini termasuk pengobatan secara syara. Demikian pula seorang manusia membaca.
“Artinya : Tiada ilah (yang berhak diibadahi) selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku
termasuk orang yang berbuat aniaya” (HR At-Tirmidzi, Ad-Da’awt 3505 dan Ahmad no.
1465)
Siapa yang meginginkan tambahan lagi, rujuklah (bacalah) kepada kitab yang ditulis para
ulama dalam bab dzikir, seperti Al-Wabil Ash-Shayyib karya Ibnul Qayyim, Al-Kalim Ath-Thayib
karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Al-Adzkar oleh An-Nawawi, demikian pula Zad Al-Ma’ad
karya Ibnul Qayyim.
Tetapi, manakala iman lemah, niscaya lemahlah penerimaan jiwa terhadap obat-obat
syar’iyah. Sekarang manusia lebih banyak berpegang kepada obat-obatan nyata daripada berpegang
mereka terhadap obat-obatan syar’iyah. Dan manakala iman kuat, niscaya obat-obatan syar’iyah
memberikan implikasi secara sempurna, bahkan implikasinya lebih cepat dari pada pengaruh obat-
obatan biasa. Sangat jelas bagi kita semua cerita seseorang yang diutus Rasulullah saw dalam satu
pasukan (sariyah). Lalu mereka singgah di suatu kaum bangsa Arab. Tetapi kaum/suku yang
mereka singgahi tidak memberikan jamuan kepada para sahabat. Maka, Allah Subhanahu wa Ta’ala
menghendaki pemimpin kaum tersebut di gigit ular.
Sebagian mereka berkata kepada yang lain, “Pergilah kepada mereka yang telah
singgah/mampir, mungkin saja kalian mendapatkan ahli ruqyah di sisi mereka”. Para sahabat
berkata, “Kami tidak akan meruqyah pimpinan kalian, kecuali kalau kalian memberikan kepada
kami kambing sebanyak begini dan begini”. Mereka mejawab, “Tidak mengapa”. Lalu salah
seorang sahabat pergi membacakan atas orang yang di gigit ular tersebut. Ia hanya membaca surah
Al-Fatihah. Orang yang digigit ular tadi langsung berdiri,seolah-olah berlepas dari ikatan. Seperti
inilah, bacaan Al-Fatihah memberikan pengaruh atas laki-laki ini; karena ia muncul dari hati orang
yang penuh iman. Nabi saw bersabda setelah mereka kembali kepada beliau, “Tahukah engkau
bahwa ia adalah ruqyah” (HR Al-Bukhari, kitab Ath-Thibb 5749, Muslim, kitab As-Salam 2201)
Namun di zaman kita sekarang ini, iman dan agama telah lemah. Manusia berpegang atas
perkara-perkara yang terasa dan nampak. Sebenarnya mereka diuji padanya. Akan tetapi di hadapan
mereka terdapat para ahli sulap dan mempermainkan akal, kemampuan, dan harta manusia. Mereka
meyakini sebagai qurra (pembaca Al-Qur’an) yang bersih, namun mereka sebenarnya adalah
pemakan harta dengan cara batil. Manusia berada di antara dua sisi yang kontradiktif, di antara
mereka ada yang bersikap ekstrim dan tidak melihat adanya implikasi secara absolut terhadap
bacaan. Ada pula yang bersikap ekstrim dan bermain dengan akal manusia dengan bacaan bohong
serta menipu. Ada pula yang berada di tengah.116
D. Ilmuwan Islam, Perintis Pengobatan Penyakit Jiwa
Peradaban Barat kerap mengklaim bahwa Philipe Pinel (1793) merupakan orang pertama
yang memperkenalkan metode penyembuhan penyakit jiwa. Tak cuma itu, Barat juga menyatakan
rumah sakit jiwa (RSJ) pertama di dunia adalah  Vienna’s Narrenturm  yang dibangun pada tahun
116
Lihat selengkapnya dalam Syaikh Ibnn Baz, Ibn Utsaimin, Fatawa Al-Ilaj bil Qur’an wa Sunnah, Ar-Ruqa
ma Yata’allahqu Biha Al-Lajnah al-Daimah, h. 22-24 dan lihat fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

81
Kesehatan Mental
1784.  Benarkah klaim peradaban Barat itu? Klaim itu tentu sangat tak berdasar. Sebab, jauh
sebelum Barat mengenal metode penyembuhan penyakit jiwa berikut tempat perawatannya, pada
abad ke-8 M di Kota Baghdad.
Menurut Syed Ibrahim B PhD dalam bukunya berjudul  “Islamic Medicine: 1000 years
ahead of its times”, mengatakan, rumah sakit jiwa atau  insane asylums telah didirikan para dokter
dan psikolog Islam  beberapa abad sebelum peradaban Barat menemukannya. Hampir semua kota
besar di dunia Islam pada era keemasan telah memiliki rumah sakit jiwa. Selain di Baghdad  ibu
kota Kekhalifahan Abbasiyah   insane asylum juga terdapat di kota Fes, Maroko. Selain itu,  rumah
sakit jiwa
juga sudah berdiri di Kairo, Mesir  pada tahun 800 M. Pada abad ke-13. M,  kota Damaskus dan
Aleppo juga telah memiliki rumah sakit jiwa. Mari kita bandingkan dengan Inggris. Negara
terkemuka di Eropa itu baru membuka rumah sakit jiwa pada th 1831 M. Rumah sakit jiwa pertama
di negeri Ratu Elizabeth itu adalah Middlesex County Asylum yang terletak di Hanwell sebelah barat
London. Pemerintah Inggris membuka rumah sakit jiwa setelah mendapat desakan dari Middlesex
County Court Judges. Setelah itu Inggris mengeluarkan Madhouse Act 1828 M. Lalu
Bagaimana peradaban Islam mulai mengembangkan pengobatan kesehatan jiwa?  Menurut
Syed Ibrahim, berbeda dengan para dokter Kristen di abad pertengahan yang mendasarkan sakit
jiwa pada penjelasan yang takhayul, dokter Muslim justru lebih bersifat rasional. Para dokter
Muslim mengkaji justru melakukan kajian klinis terhadap pasien-pasien yang menderita sakit jiwa.
Tak heran jika para dokter Muslim berhasil mencapai kemajuan yang signifikan dalam bidang ini.
Mereka berhasil menemukan psikiatri dan pengobatannya berupa psikoterapi dan pembinaa moral
bagi penderita sakit jiwa.
”Selain itu, para dokter dan psikolog Muslim juga mampu menemukan bentuk pengobatan
modern bagi penderita sakit jiwa seperti, mandi pengobatan dengan obat, musik terapi dan  terapi
jabatan,” papar Syed Ibrahim. Konsep kesehatan mental atau  al-tibb al-ruhani pertama kali
diperkenalkan dunia kedokteran Islam oleh seorang dokter dari Persia bernama Abu Zayd Ahmed
ibnu Sahl al-Balkhi (850-934). Dalam kitabnya berjudul  Masalih al-Abdan wa al-Anfus (Makanan
untuk Tubuh dan Jiwa), al-Balkhi berhasil menghubungkan penyakit antara tubuh dan jiwa. Ia biasa
menggunakan istilah  al-Tibb al-Ruhani untuk menjelaskan kesehatan spritual dan kesehatan
psikologi. Sedangkan untuk  kesehatan mental dia kerap menggunakan istilah  Tibb al-Qalb . Ia pun
sangat terkenal dengan teori yang dicetuskannya tentang kesehatan jiwa yang berhubungan dengan
tubuh. Menurut dia, gangguan atau penyakit pikiran sangat berhubungan dengan kesehatan badan.
Jika jiwa sakit, maka tubuh pun tak akan bisa menikmati hidup dan itu bisa menimbulkan penyakit
kejiwaan,  tutur al-Balkhi.
Menurut al-Balkhi, badan dan jiwa bisa sehat dan bisa
pula sakit. Inilah yang disebut keseimbangan dan ketidakseimbangan. Dia menulis bahwa
ketidakseimbangan dalam tubuh dapat menyebabkan demam, sakit kepala, dan rasa sakit di badan.
Sedangkan, ketidakseimbangan dalam jiwa dapat mencipatakan kemarahan, kegelisahan, kesedihan,
dan gejala-gejala yang berhubungan dengan kejiwaan lainnya.

82
Kesehatan Mental
Dia juga mengungkapkan dua macam penyebab depresi. Menurut dia, depresi bisa
disebabkan alasan yang diketahui, seperti mengalami kegagalan atau kehilangan. Ini bisa
disembuhkan secara psikologis. Kedua, depresi bisa terjadi oleh alasan-alasan yang tak diketahui,
kemukinan disebabkan alasan psikologis. Tipe kedua ini bisa disembuhkan melalui pemeriksaan
ilmu kedokteran. Selain  al-Balkhi, peradaban Islam juga memiliki dokter kejiwaan bernama Ali
ibnu Sahl Rabban al-Tabari. Lewat kitab  Firdous al-Hikmah yang ditulisnya pada abad ke-9 M, dia
telah mengembangkan psikoterapi untuk menyembuhkan pasien yang mengalami gangguan jiwa. 
Al-Tabari menekankan kuatnya hubungan antara psikologi dengan kedokteran.
Menurut dia, untuk mengobati pasien gangguan jiwa membutuhkan konseling dan dan
psikoterapi. Al-Tabari menjelaskan, pasien kerap kali mengalami sakit karena imajinasi atau
keyakinan yang sesat. Untuk mengobatinya, kata al-Tabari, dapat dilakukan melalui ”konseling
bijak”. Terapi ini bisa dilakukan oleh seorang dokter yang cerdas dan punya humor yang tinggi.
Caranya dengan membangkitkan kembali kepercayaan diri pasiennya. Melalui kitab yang ditulisnya
yakni  El-Mansuri dan  Al-Hawi , dokter Muslim legendaris al-Razi  juga telah berhasil
mengungkapkan definisi symptoms (gejala) dan perawatannya untuk menangani sakit mental dan
masalah-masalah yang berhubungan dengan kesehatan mental.
Al-Razi juga tercatat sebagai dokter atau psikolog pertama yang membuka ruang psikiatri di
sebuah rumah sakit di Kota Baghdad.  Pemikir Muslim lainnya di masa keemasan Islam yang turut
menyumbangkan pemikirannya untuk pengobatan penyakit kejiwaan adalah Al-Farabi. Ilmuwan
termasyhur ini secara khusus menulis risalah terkait psikologi sosial dan berhubungan dengan studi
kesadaran. Selain itu, Ibnu Zuhr, alias Avenzoar  juga  telah berhasil mengungkap penyakit syaraf
secara akurat. Ibnu Zuhr juga telah memberi sumbangan yang berarti bagi neuropharmakology
modern. Yang tak kalah penting lagi, Ibnu Rusyd atau Averroes  ilmuwan Muslim termasyhur telah
mencetuskan adanya penyakit Parkinson’s.
Sejarawan Francis Bacon menyebut Al-Haitham sebagai ilmuwan yang meletakkan dasar-
dasar psychophysics dan psikologi eksperimental. Berdasarkan hasil penelusuran yang
dilakukannya, Bacon merasa yakin bahwa Al-Haitham adalah sarjana pertama yang berhasil
menggabungkan fisika dengan psikologi, dibandingkan Fechner yang baru menulis  Elements of
Psychophysics pada tahun 1860 M. Begitulah, kedokteran dan psikologi Islam mengembangkan
pengobatan penyakit jiwa.  merupakan ”Utang Budi Kedokteran Modern”.
Kontribusi umat Islam bagi peradaban manusia adalah fakta yang tak terbantahkan. Para
sejarawan sains Barat dalam sebuah konferensi mengakui bahwa dunia kedokteran modern 
berutang begitu banyak terhadap para ilmuwan Muslim di era keemasan Islam. Betapa tidak, dokter
Muslim di era kekhalifahan merupakan perintis diagnosis dan penyembuhan beragam penyakit.
Dr Emilie Savage-Smith dari St Cross College di Oxford mengungkapkan, Islam adalah
peradaban pertama yang memiliki rumah sakit. Menurut dia, rumah sakit pertama di dunia dibangun
Kekhalifahan Abbasiyah di kota Baghdad, Irak sekitar tahun 800 M. ”Rumah sakit  yang berdiri di
Baghdad itu lebih mutakhir dibandingkan rumah sakit di Eropa Barat yang dibangun beberapa abad
setelahnya,’ ‘ papar Savage-Smith seperti dikutip  Independent.

83
Kesehatan Mental
Savage-Smith mengungkapkan, rumah sakit (RS) Islam terbesar di zaman keemasan
dibangun di Mesir dan Suriah pada abad ke-12 dan 13 M. Pada masa itu, RS Islam sudah
menerapkan sistem perawatan pasien berdasarkan penyakitnya. Menurut Savage-Smith,
pembangunan sebuah sistem rumah sakit yang begitu luas merupakan salah satu pencapaian
terbesar dalam peradaban Islam pada abad pertengahan.
”Peradaban Islam pada abad ke-10 M untuk pertama kalinya memperkenalkan sistem
pendidikan kedokteran secara langsung di rumah sakit,” papar Savage-Smith. Ia pun mengagumi
Islam yang mengajarkan umatnya untuk merawat seluruh jenis penyakit tanpa memandang status
ekonomi pasiennya.
Menurut dia, rumah sakit Islam pada era kejayaannya terbuka bagi semua; laki-laki,
perempuan, warga sipil, militer, kaya, miskin, Muslim dan non-Muslim. Pada masa itu, kata
Savage-Smith, rumah sakit memiliki beragam fungsi yakni sebagai; pusat perawatan kesehatan,
rumah penyembuhan bagi pasien yang sedang dalam tahap pemulihan dari sakit atau kecelakaan.
Selain itu, ungkap Savage-Smith, peradaban Islam juga sudah memiliki rumah sakit jiwa
atau  insane asylum.   Menurut dia, masyarakat Muslim juga tercacat sebagai yang pertama
mendirikan dan memiliki  rumah sakit jiwa. Rumah sakit pada era keemasan Islam juga berfungsi
sebagai tempat perawatan para manusia lanjut usia (manula) yang keluarganya kurang beruntung.
Smith-Savage menuturkan, para dokter Muslim menguasai dunia kedokteran berkat upaya
penerjemahan terhadap karya-karya kedokteran Yunani klasik. Tak cuma menerjemahkan, namun
para dokter Muslimpun mengembangkan, menemukan  serta menulis buku-buku kedokteran. Para
dokter Muslim pun berhasil menemukan sejumlah penyakit, cara pengobatan hingga
penyembuhannya. Menurut Smith-Savage, dokter Muslim telah mampu menjelaskan beragam jenis
penyakit infeksi seperti cacar air. Selain itu, kedokteran Islam juga menemukan penyakit yang
sebelumnya tak diketahui manusia, seperti kataraks. Bahkan, kedokteran Islam juga telah berhasil
melakukan operasi atau bedah. Peradaban Barat pun belajar dan mengembangkan hasil penemuan
dan penelitian di bidang kedokteran. Tanpa kontribusi kedokteran Islam, boleh jadi dunia Barat tak
akan menguasai ilmu kedokteran seperti saat ini.
Berikut ini penulis menyajikan beberapa contoh studi kasus yang erat kaitannya dengan
penyakit jiwa sebagai berikut:

Studi Kasus 1
Putriku mengalami gangguan kejiwaan kronis. Pada bulan Ramadan lalu dia tidak
berpuasa karena kambuh dan kesadarannya hilang. Saya sangat berat menghadapinya
penderitaannya selama berbulan-bulan. Apa yang harus saya lakukan?. Pertanyaan kedua: Putriku
ini kalau tidur tidak dapat dibangunkan untuk shalat apa saja, sampai dia bangun sendiri. Karena
kesulitan tersebut, apakah ibunya terkena dosa? Anak wanitaku berumur 23 tahun dan mengalami
sakit sudah 4 tahun, dan kambuh dua kali dalam setahun. Mohon doa anda agar dia sembuh.
Alhamdulillah.
Pertama: Kami memohon kepada Allah agar menyembuhkan putri anda, dan memperbaiki
kondisinya. Kedua: Kalau penyakitnya parah sampai hilang kesadarannya selama bulan Ramadan.

84
Kesehatan Mental
Maka dia tidak diharuskan mengqada dan membayarat kaffarah. Karena waktu itu dia tidak
termasuk terkena beban berpuasa. Sedangkan kalau kondisi sakitnya hanya sebatas stres,
sedangkan kesadaraannya masih ada, dalam hal ini ada dua kondisi. Kondisi pertama, jika
sakitnya ada harapan sembuh menurut rekomendasi para dokter. Maka dia harus mengqada yang
telah terlewat ketika penyakitnya telah hilang. Kondisi kedua, penyakitnya tidak ada harapan
sembuh. Maka dia tidak wajib berpuasa, cuma  diharuskan memberi makan untuk setiap hari yang
tidak berpuasa kepada seorang miskin.
Syekh Ibnu Baz rahimahullah pernah sebagai berikut, 'Ada orang sakit telah mendapatkan
sebagian bulan Ramadan kemudian mengalami hilang kesadaran dan terus berlanjut. Apakah
anak-anaknya mengqada untuknya?' Beliau menjawab: “Dia tidak perlu mengqada kalau
mengalami hilang kesadaran atau yang dikenal dengan pingsan. Kalau kesadarannya kembali, dia
tidak perlu mengqada. Hal ini seperti kondisi orang gila atau idiot, tidak wajib qada. Melainkan
kalau pingsannya sebentar, misalnya sehari, dua hari atau paling lama tiga hari. Maka tidak
mengapa diqada sebagai kehati-hatian. Adapun kalau waktunya lama, maka tidak wajib mengqada
karena disamakan seperti orang idiot. Kalau Allah kembalikan akalnya, maka dia mulai lagi
dengan amalan (yang baru).' (Majmu Fatawa Syekh Ibn Baaz)
Ketiga: Jika putri anda tidak bangun untuk menunaikan shalat pada waktunya, dan anda
tidak dapat membangunkannya. Maka tidak mengapa bagi anda Insya Allah Ta’ala. Jika sudah
bangun, dia harus mengqada shalat-shalat yang terlewatkan. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu
‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa lupa (menunaikan) shalat atau tertidur, maka tebusannya adalah
menunaikan shalat  ketika mengingatnya.” (HR. Muslim, no. 684)
Kalau pelaksanaan shalat setiap waktu membuatnya berat, maka dia dibolehkan menjama
antara Zuhur dan Ashar, dan antara Magrib dan Isya, baik taqdim (memajukan waktu akhir di
waktu yang lebih awal) maupun ta’khir (mengakhirkan waktu awal ke waktu yang akhir), mana
yang mudah baginya.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Qashar (memendekkan shalat)
sebabnya adalah khusus safar. Tidak diperkenankan selain safar. Sedangkan jamak
(menggabungkan dua shalat menjadi satu) sebabnya adalah keperluan dan uzur. Kalau dia butuh,
maka dia dapat menjama dalam safar, baik safar sebentar ataupun lama. Begitu juga dibolehkan
menjamak jika ada hujan dan semisalnya. Dan sebab-sebab lainnya. Karena tujuan jamak adalah
menghilangkan kesulitan pada umat.” (Majmu’ Fatawa, 22/293)
Studi kasus kedua ini terjadi pada hari senin 15 Pberuari 2010 di Kabupaten Mamuju
Sulawesi Barat yang dimuat di Antara News oleh Aco sebagai berikut:

Kasus 2:
Mamuju (ANTARA News) - Amri (40) penderita sakit lumpuh dari lingkungan So`do,
Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat yang sedang menjalani perawatan medis di RSUD Mamuju
kian terguncang setelah dokter setempat mendiagnosa dirinya mengalami "Sakit Jiwa" (gila).
"Seminggu saya menjalani perawatan di RSUD karena penyakit lumpuh, namun tiba-tiba dokter
ahli penyakit dalam, dr Arif Ibrahim yang menangani saya menyarankan untuk menjalani

85
Kesehatan Mental
perawatan medis di Rumah Sakit Jiwa di Kota Pare-Pare, Sulawesi Selatan," kata Amri, saat
ditemui di RSUD Mamuju, Minggu. Ia mengatakan, dirinya terkejut mendengar permintaan dokter
tersebut karena telah menyarankan untuk segera dirujuk ke rumah sakit jiwa jika ingin mencari
kesembuhan secara total. "Saya tidak tahu, kenapa dokter menyarankan seperti itu, padahal saya
masih merasa cara berfikir hingga saat ini masih normal dan masih berkelakuan yang wajar,"
katanya. Dia mengatakan, pernyataan dokter yang meminta untuk segera menjalani perawatan di
rumah sakit jiwa telah mengganggu dirinya secara psikologis bahkan keluarganya pun ikut
terguncang, apalagi mereka itu dari keluarga yang tidak mampu. "Mestinya dokter tidak
mengeluarkan pernyataan yang membingunkan saya, karena mau tidak mau beban derita yang
saya tanggung selama ini justeru malah bertambah, apalagi kondisi saya belum sempat sembuh,
tiba-tiba muncul penyakit baru yakni kelainan jiwa," tuturnya.
Dia mengatakan, sejak dirawat di RSUD Mamuju, keluarga Amri sudah tak mampu
menutupi biaya karena keluarga mereka sudah menganggur yang hanya mengandalkan
menambang pasir di sungai oleh istri pasien. "kami tidak punya biaya apa-apa untuk hidup untuk
menjalani perawatan di rumah sakit ini apalagi jika harus di rujuk ke tempat lain, karena kami
tidak lagi bekerja," sebut Asmija, Istri Amri yang turut setia mendampinginya di RSUD Mamuju. Ia
mengatakan, untuk biaya sehari-hari keluarganya selama dirawat di rumah sakit Mamuju tidak
ada, meski biaya pengobatan suaminya ditanggung oleh pihak rumah sakit secara gratis. "Sejak
suami saya (Amri) menderita lumpuh akibat mengalami infeksi usus di bagian pencernaannya sejak
dua tahun lalu, hanya saya yang mencari nafkah untuk suami saya itu, karena suami saya sudah
tidak bisa bekerja, jangankan bekerja untuk berdiri saja sulit," katanya. Selain itu, lanjutnya,
pihaknya juga sudah tidak mampu lagi memberikan sesuap nasi bagi anaknya Nuramanah (6),
yang juga mengalami kelainan atau cacat karena kulitnya bersisik seperti ular sejak lahir. "Saya
bekerja sebagai penambang pasir dengan upah Rp15.000 per hari, untuk memberi makan anak
saya yang cacat dan suami saya yang lumpuh meski saya sendiri juga menderita penyakit gondok
dan tidak lagi bekerja," ujarnya.
Namun, sejak suaminya diboyong ke rumah sakit Mamuju oleh Dinas Kesehatan Kabupaten
Mamuju, maka pihaknya tidak dapat berbuat apa-apa lagi, karena harus mendampingi suaminya
yang dirawat di rumah sakit. "Saya sudah tidak bekerja sehingga tidak punya uang untuk hidup di
rumah sakit, karena petugas medis hanya memberikan pengobatan gratis tanpa memberikan biaya
hidup," katanya. Oleh karena itu, ia meminta agar pemerintah Kabupaten Mamuju dapat
memberikan bantuan dana untuk mengurangi beban hidup keluarganya yang membutuhkan selama
dirawat di rumah sakit.

E. Berbagai Pendekatan dalam Memahami Agama


 Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif dalam
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar
menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekedar disampaikan dalam khotbah, melainkan secara
konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.Tuntutan
terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini

86
Kesehatan Mental
banyak menggunakan pendekatan teologis normatif dilengkapi dengan pemahaman agama yang
menggunakan pendekatan lain, yang secara oprasional konseptual, dapat memberikan jawaban
terhadap masalah yang timbul.117
Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini belum ada laporan
penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai
konsep tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna
agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat. Sehingga kajian
tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting. Karena sifat
universalitas agama dalam masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa
melihat agama sebagai salah satu faktornya. Seringkali kajian tentang politik, ekonomi dan
perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu faktor
determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan realitas sosial
yang lebih lengkap.
Pernyataan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi di dalam kehidupan, di sisi lain juga
memberikan gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya.
Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran
agama dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya. Pertemuan antara doktrin agama dan
realitas budaya terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama. Dalam Islam, misalnya saja
perayaan Idul Fitri di Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi kepada
yang lebih tua adalah sebuah bukti dari keterpautan antara nilai agama dan kebudayaan. Pertautan
antara agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena agama tidak berada dalam realitas
yang vakum selalu original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas budaya berarti
mengingkari realitas agama sendiri yang selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti dilingkari
oleh budayanya.118
Berkenaan dengan pemikiran di atas, maka penulis akan mengkaji berbagai pendekatan
yang dapat digunakan dalam memahami agama. Hal demikian perlu dilakukan, karena melalui
pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya,
sebaliknya tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut, tidak mustahil agama menjadi sulit
dipahami oleh masyarakat tidak fungsional, dan akhinya masyarakat mencari pemecahan masalah
kepada selain agama, dan hal ini tidak boleh terjadi.
Berbagai pendekatan yang dilakukan para peneliti dalam memahami agama, namun penulis
dalam makalah ini membatasi pada pendekatan teologis normatif filosofis dan pendekatan
Antropologi. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma
yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.
Ada dua variabel yang perlu dijelaskan pengertiannya di sini yaitu pendekatan Teologis
Normatik dan pendekatan Antropologi.
1. Pendekatan Teologis Normatif

117
Abdullah, Yatmin, Studi Islam Kontemporer (Cet.I; Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2006),h. 3
118
Lihat Ibid., h. 6

87
Kesehatan Mental
Menurut M. Amin Abdullah teologi pasti mengacu kepada agama tertentu. Pendekatan
teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami
agama dengan menggunakan empiris dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar. 119
Selanjutnya beliau mengatakan, bahwa teologi, sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak pasti
mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen, dan dedikasi
yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan
sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis. Karena sifat
dasarnya yang partikularistik, maka dengan mudah kita dapat menemukan teologi Kristen Katolik,
teologi Kristen Protestan, dan begitu seterusnya.120
Menurut pengamatan Sayyed Hosein Nasr, dalam era komtemporer ada 4 prototipe
pemikiran keagamaan Islam yaitu pemikiran keagamaan fundalisme, modernis, mislanis, dan
tradisionalis. Salah satu ciri teolog masa kini adalah sifat kritisnya. Sikap kritis ini ditujukan
pertama-tama pada agamanya sendiri (agama sebagai institusi sosial dan kemudian juga kepada
situasi yang dihadapinya). Penggunaan ilmu-ilmu sosial dalam teologi merupakan fenomena baru
dalam teologi.
Pendekatan teologis normatif semata-mata tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas
agama saat ini. Kemudian muncul terobosan baru untuk melihat pemikiran teologi masa kritis yang
termanifestasikan dalam budaya tertentu secara lebih objektif lewat pengamatan empiris faktual.121
Dan jika diteliti lebih mendalam lagi, dalam intern umat beragama tertentu pun masih dapat
dijumpai berbagai paham atau sekte keagamaan. Dalam Islam sendiri secara tradisional, dapat
dijumpai teologi Mu'tazilah, teologi Asy'ariyah, dan Maturidivah. Dan sebelumnya terdapat pula
teologi yang bernama Khawarij dan Murji'ah. Menurut pengamatan Savyed Hosein Nasr, dalam era
kontemporer ini ada 4 prototipe pemikiran keagamaan Islam, yaitu pemikiran keagamaan
fundamentalis, modernis, mesianis, dan tradisionalis. Keempat prototipe pemikiran keagamaan
tersebut sudah barang tentu tidak mudah disatukan dengan begitu saja. Masing-masing mempunyai
"keyakinan" teologi yang seringkali sulit untuk didamaikan. Mungkin kurang tepat menggunakan
istilah "teologi" di sini, tetapi menunjuk pada gagasan pemikiran keagamaan yang terinspirasi oleh
paham ketuhanan dan pemahaman kitab suci serta penafsiran ajaran agama tertentu adalah juga
bentuk dari pemikiran teologi dalam bentuk dan wajah yang baru.122
Berkenaan dengan pendekatan teologi tersebut, Amin Abdullah mengatakan bahwa
pendekatan teologi semata-mata tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat
sekarang ini. Terlebih lagi kenyataan demikian harus ditambahkan bahwa doktrin teologi pada
dasarnya memang tidak pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan
social kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Kepentingan ekonomi, sosial, politik,

119
Abdullah, M. Amin, dkk., Metodologi Penelitian Agama, Pendekatan Multidisipliner, (Yogyakarta:
Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006), h. 3.
120
Lihat Ibid., h. 5
121
Lihat dalam H.M. Amin Abdullah, dkk., Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural. (Yogyakarta;
IAIN Sunan kalijaga-Kurnia Kalam Semesta, 2002), h. 12
122
Lihat Ibid., h. 23-24

88
Kesehatan Mental
pertahanan selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah mengelompok dan mengkristal dalam
satu komunitas masyarakat tertentu. 123
Dalam pendekatan teologis memahami agama adalah pendekatan yang menekankan bentuk
formal simbol-simbol keagamaan, mengklaim sebagai agama yang paling benar, yang lainnya salah
sehingga memandang bahwa paham orang lain itu keliru, kafir, sesat, dan murtad. Pendekatan
teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami
agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa
wujud empiris dari keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang
lainnya.
Pendekatan teologis dalam memahami agama cenderung bersikap tertutup, tidak ada dialog
yang saling menyalahkan dan mengkafirkan, yang ada pada akhirnya terjadi pembagian-pembagian
umat, tidak ada kerja sama dan tidak terlihat adanya kepedulian sosial. Melalui pendekatan teologis
ini agama dapat menjadi buta terhadap masalah-masalah sosial cenderung menjadi lambang atau
identitas yang tidak memiliki makna.124
Pendekatan teologis juga erat kaitannya dengan ajaran pokok dari Tuhan yang di dalamnya
belum terdapat penularan pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologis agama dilihat sebagai
suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada keraguan sedikitpun dan tampak bersikap ideal.
Dalam kaitan ini agama tampil prima dengan seperangkat ciri yang khas.
Pendekatan teologis dalam memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu
cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran
yang berasal dari Tuhan sudah pasti benar sehingga tidak perlu dipertanyakan terlebih dahulu,
melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.
Pendekatan teologis tersebut menunjukkan adanya kekurangan yang antara lain bersifat ekslusif,
dogmatis, tidak mau mengakui kebenaran agama lain. Sedangkan kelebihannya melalui pendekatan
teologis normatif ini seseorang akan memiliki sikap militansi dalam beragama, yakni berpegang
teguh kepada agama yang diyakininya sebagai yang benar, tanpa memandang dan meremehkan
agama lainnya.125
Dengan pendekatan yang demikian seseorang akan memiliki sikap fanatis terhadap agama
yang dianutnya. Pendekatan teologis ini selanjutnya erat kaitannya dengan pendekatan normatif,
yaitu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang
di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologis ini agama
dilihat dari suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikitpun dan nampak
bersikap ideal. Dalam kaitan ini agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas.
Untuk agama Islam misalnya, secara normatif pasti benar, menjunjung nilai-nilai luhur. Untuk
bidang sosial agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, tolong menolong,
123
Lihat Amin Abdullah, op.cit., h.6
124
Lihat Abdullah, Taufik dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar (Cet.II;
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 1990), h. 27-28.
125
Lihat Umam Kh, Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktis, (Jakarta: Grafindo
Persada, 2006), h. 52-55

89
Kesehatan Mental
tenggang ras, persamaan derajat dan sebagainya. Untuk bidang ilmu pengetahuan, agama tampil
mendorong pemeluknya agar memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi setinggi-tingginya,
menguasai keterampilan, keahlian dan sebagainya.126
Pendekatan Teologis Normatif oleh Charles J. Adams diklasifikasi menjadi tiga bagian,
yaitu:
1. Pendekatan Missionaris Tradisional
Pada abad 19, terjadi gerakan misionaris besar-besaran yang dilakukan oleh gereja-gereja,
aliran, dan sekte dalam Kristen. Gerakan ini menyertai dan sejalan dengan pertumbuhan kehidupan
politik, ekonomi, dan militer di Eropa yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat di
Asia dan Afrika. Sebagai konsekuensi logis dari gerakan itu, banyak misionaris dari kalangan
Kristen yang pergi ke Asia dan Afrika mengikuti kolonial (penjajah) untuk merubah suatu
komunitas masyarakat agar masuk agama Kristen serta meyakinkan masyarakat akan pentingnya
peradaban Barat.
Untuk mewujudkan tujuannya tersebut, para missionaris berusaha dengan sungguh untuk
membangun dan menciptakan pola hubungan yang erat dan cair dengan masyarakat setempat.
Begitu juga dengan penjajah, mereka harus mempelajari bahasa daerah setempat dan bahkan tidak
jarang mereka terlibat dalam aktivitas kegiatan masyarakat yang bersifat kultural. Dengan
demikian, eksistensi dua kelompok itu, missionaris tradisional dan penjajah (yang sama-sama
beragama Kristen) mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap perkembangan keilmuan
Islam. Dalam konteks itu karena adanya relasi yang kuat antara Islam dan missionaris Kristen, maka
Charles J. Adams berpendapat bahwa studi Islam di Barat dapat dilakukan dengan memanfaatkan
missionaris tradisional itu sebagai alat pendekatan yang efektif. Dan inilah yang kemudian disebut
dengan pendekatan missionaris tradisional (traditional missionaris approach) dalam studi Islam.127
2. Pendekatan Apologetik
Di antara ciri utama pemikiran Muslim pada abad kedua puluh satu adalah “keasyikannya”
(preoccupation) dengan pendekatan apologetik dalam studi agama. Dorongan untuk menggunakan
pendekatan apologetik dalam khazanah pemikiran keislaman semakin kuat. Di sebagian wilayah
dunia Islam, seperti di India, cukup sulit ditemukan penulis yang tidak menggunakan pendekatan
apologetik. Perkembangan pendekatan apologetik ini dapat dimaknai sebagai respon mentalitas
umat Islam terhadap kondisi umat Islam secara umum ketika dihadapkan pada kenyataan
modernitas. Selain itu, apologetik ini muncul didasari oleh kesadaran seorang yang ingin keluar dari
kebobrokan internal dalam komunitasnya dan dari jerat penjajahan peradaban Barat.128
Menurut Adams, pendekatan apologetik memberikan kontribusi yang positif dan cukup
berarti terhadap generasi Islam dalam banyak hal. Sumbangsih yang terpenting adalah menjadikan
generasi Islam kembali percaya diri dengan identitas keislamannya dan bangga terhadap warisan
klasik. Dalam konteks pendekatan studi Islam, pendekatan apologetik mencoba menghadirkan

126
Lihat Agus Bustanuddin, Agama dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta: Raja
Grapindo Persada, 2006), h. 57-59
127
Lihat dalam Connolly, Peter (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2002), h.., 7-8.
128
Lihat Ibid., h. 14-16

90
Kesehatan Mental
Islam dalam bentuk yang baik. Sayangnya, pendekatan ini terkadang jatuh dalam kesalahan yang
meniadakan unsur ilmu pengetahuan sama sekali.
Secara teoritis, pendekatan apologetik dapat dimaknai dalam tiga hal. Pertama, metode yang
berusaha mempertahankan dan membenarkan kedudukan doktrinal melawan para pengecamnya.
Kedua, dalam teologi, usaha membenarkan secara rasional asal muasal ilahi dari iman. Ketiga,
apologetik dapat diartikan sebagai salah satu cabang teologi yang mempertahankan dan
membenarkan dogma dengan argumen yang masuk akal. Ada yang mengatakan bahwa apologetika
mempunyai kekurangan internal. Karena, di satu pihak apologetik menekankan rasio, sementara di
pihak lain, menyatakan dogma-dogma agama yang pokok dan tidak dapat ditangkap oleh rasio.
Dengan kata lain, apologetik, rasional dalam bentuk tetapi irasional dalam isi.129
2. Pendekatan Irenic
Yang ketiga ini ada semacam usaha untuk membuat jembatan antara cara pandang para
orientalis terdahulu yang penuh dengan motivasi negatif dan para pengikut Islam yang merasa hasil
kajian para orientalis tersebut banyak mengandung penyimpangan.
Sejak Perang Dunia II, gerakan yang berakar dari lingkungan kegamaan dan universitas
tumbuh di Barat. Gerakan itu bertujuan untuk memberikan apresiasi yang baik terhadap
keberagamaan Islam dan membantu mengembangkan sikap apresiatif itu. Langkah ini dilakukan
untuk menghilangkan prasangka, perlawanan, dan hinaan yang dilakukan oleh barat, khususnya
Kristen Barat terhadap Islam. Oleh karena itu, langkah praktis yang dilakukan adalah membangun
dialog antara umat Islam dengan kaum Kristen untuk membangun jembatan penghubung yang
saling menguntungkan antara tradisi kegamaan dan bangsa.
Salah satu bentuk dari usaha untuk harmonisasi itu adalah melalui pendekatan irenic. Usaha
ini pernah dilakukan oleh uskup Kenneth Gragg, seorang yang menekuni dalam kajian Arab dan
teologi. Melalui beberapa seri tulisannya yang cukup elegan dan dengan gaya bahasa yang puitis, ia
telah cukup berhasil menunjukkan kepada Barat secara umum dan kaum Kristen secara khusus
tentang adanya keindahan dan nilai religius yang menjiwai tradisi Islam. Karenanya, menjadi tugas
bagi kaum Kristen untuk bersikap terbuka terhadap kenyataan ini.
Tokoh lain yang telah mengembangkan pendekatan ini adalah W.C. Smith yang
mensosialisasikan konsep ini melalui buku dan tulisan-tulisannya yang lain. Smith sangat concern
pada persoalan diversitas (perbedaan) agama. Menurutnya, perbedaan agama (religious diversity)
merupakan karakter dari ras/bangsa manusia secara umum, sedang eksklusifitas agama (religous
exclusiviness) merupakan karakter dari sebagian kecil dari umat manusia.130
Berkenaan dengan realitas perbedaan agama, Smith membuat tiga model pertanyaan, yaitu:
pertama, pertanyaan ilmiah (scientific question) untuk menanyakan apa bentuk perbedaan,
mengapa, dan bagaimana perbedaan itu dapat terjadi. Kedua, pertanyaan teologis (theological
question) untuk mengetahui bagaimana seseorang dapat memahami normativitas agama dan ketiga,
129
Lihat D. Hendropuspito. Sosiologi Agama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984),h. 47-48

130
Lihat Pals, Daniel L. (ed), Seven Theories of Religion, (New York: Oxford University Press, 1996), h., 57-
58

91
Kesehatan Mental
pertanyaan moral (moral question) yang mengetahui sikap seseorang terhadap perbedaan
kepercayaan.131
Dari pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa pendekatan teologi dalam pemahaman
keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan
yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya
sebagai yang paling benar sedangkan yang lainnya sebagai salah. Aliran teologi yang satu begitu
yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar sedangkan faham lainnya salah, sehingga
memandang paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya. Demikian pula paham
yang dituduh keliru, sesat dan kafir itu pun menuduh kepada lawannya sebagai yang sesat dan kafir.
Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling meng-kafirkan, salah menyalahkan dan
seterusnya. Dengan demikian, antara satu aliran dan aliran lainnya tidak terbuka dialog atau saling
menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan (eksklusifisme), sehingga yang terjadi adalah
pemisahan dan terkotak-kotak.132
Dari uraian tersebut terlihat bahwa pendekatan teologis dalam memahami agama
menggunakan cara berfikir deduktif, yaitu cara berfikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini
benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang bersalal dari Tuhan, sudah pasti benar, sehingga tidak
perlu ditanyakan lebih dahulu. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendekatan ini memiliki
kekurangan yaitu bersifat eksklusif, dogmatis, tidak mau mengakui kebenaran agama lain dan
sebagainya.
2. Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya
memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah
yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain
bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu Antropologi dalam melihat suatu masalah
digunakan pula untuk memahami agama. 133
Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Dawam Rahardjo, lebih
mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-
kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan
dalam pengamatan sosiologis. penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke
lapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari
kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan di
bidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model matematis, banyak
juga memberi sumbangan kepada penelitian historis.134
131
Lihat Ibid., h. 59
132
Lihat Mudzhar, M. Atho, Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi, Pidato Pengukuhan Guru Besar
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 15 September 1999, h.5-7 .
133
Lihat Olson, Carl, Theory and Method in the Study of Religion; a Selection of Critical Readings, (Canada:
Thomson Wadsworth, 2003), h. 76-77
134
Lihat dalam D. Hendopuspiti, op.cit., h. 54-56

92
Kesehatan Mental
Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka dalam berbagai penelitian antropologi agama
dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan
politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan golongan miskin pada umumnya, lebih
tertarik kepada gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat mesianis, yang menjanjikan perubahan
tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan golongan orang kaya lebih cenderung untuk
mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu
menguntungkan pihaknya. Karl Marx (1818-1883), sebagai contoh, melihat agama sebagai opium
atau candu masyarakat tertentu sehingga mendorongnya untuk memperkenalkan teori konflik atau
yang biasa disebut dengan teori pertentangan kelas. Menurutnya, agama bisa disalahfungsikan oleh
kalangan tertentu untuk melestarikan status quo peran tokoh-tokoh agama yang mendukung sistem
kapitalisme di Eropa yang beragama Kristen. Lain halnya dengan Max Weber (1964-1920). Dia
melihat adanya korelasi positif antara ajaran Protestan dengan munculnya semangat kapitalisme
modern. Etika Protestan dilihatnya sebagai cikal bakal etos kerja masyarakat industri modern yang
kapitalistik. Cara pandang Weber ini kemudian diteruskan oleh Robert N. Bellah dalam karyanya
The Religion of Tokugawa. Dia juga melihat adanya korelasi positif antara ajaran agama Tokugawa,
yakni semacam percampuran antara ajaran agama Budha dan Sinto pada era pemerintahan Meiji
dengan semangat etos kerja orang Jepang modern. Tidak ketinggalan, seorang Yahudi kelahiran
Paris, Maxime Rodinson, dalam bukunya Islam and Capitalism menganggap bahwa ekonomi Islam
itu lebih dekat kepada sistem kapitalisme, atau sekurang-kurangnya tidak mengharamkan prinsip-
prinsip dasar kapitalisme.135
Melalui pendekatan antropologis di atas, kita melihat bahwa agama ternyata berkorelasi
dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dalam hubungan ini, jika kita
ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang, maka dapat dilakukan dengan cara
mengubah pandangan keagamaannya.
Dalam kajian Islam memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam sebuah
masyarakat, baik dalam wacana dan praktis sosialnya menunjukkan adanya unsur konstruksi
manusia. Walaupun tentu pernyataan ini tidak berarti bahwa agama semata-mata ciptaan manusia,
melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan seperti yang tercermin
dalam kitab-kitab suci dan konstruksi manusia terjemahan dan interpretasi dari nilai-nilai suci
agama yang direpresentasikan pada praktek ritual keagamaan. Pada saat manusia melakukan
interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan budaya primordial
yang telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan kenapa interpretasi terhadap ajaran
agama berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Kajian komparatif Islam di Indonesia
dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz misalnya membuktikan adanya pengaruh budaya
dalam memahami Islam. Di Indonesia Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik,
sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Perbedaan manifestasi
agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya.136

135
Lihat Djamari, Agama dalam Perspektif Sosiologi (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), h. 15-17

93
Kesehatan Mental
Perdebatan dan perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya adalah perbedaan dalam
masalah interpretasi, dan merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan agama yang
sesuai dengan kontek budaya dan sosial. Misalnya dalam menilai persoalan-persoalan tentang
hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan persoalan kekuasaan dan suksesi
kepemimpinan, adalah persoalan keseharian manusia dalam hal ini masalah interpretasi agama dan
penggunaan simbol-simbol agama untuk kepentingan kehidupan manusia. Tentu saja peran dan
makna agama akan beragam sesuai dengan keragaman masalah sosialnya.137
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk
memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk
dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan
komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi
merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai
budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk
memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai 'khalifah' (wakil Tuhan) di bumi,
misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.138
Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan
utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan
yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam
kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya. Para antropolog
menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka
sebut sebagai 'common sense' dan 'religious atau mystical event.' Dalam satu sisi common sense
mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun
dengan bantuan teknologi, sementera itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi
di luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi.139
Penjelasan lain misalnya yang diungkapkan oleh Emile Durkheim tentang fungsi agama
sebagai penguat solidaritas sosial, atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi penting agama
dalam penyeimbangan gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan betapa agama begitu
penting bagi eksistensi manusia. Walaupun harus disadari pula bahwa usaha-usaha manusia untuk
menafikan agama juga sering muncul dan juga menjadi fenomena global masyarakat. Dua sisi
kajian ini usaha untuk memahami agama dan menegasi eksistensi agama sesungguhnya
menggambarkan betapa kajian tentang agama adalah sebagai persoalan universal manusia.140

136
Mudzhar, M. Atho, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek (Cet.III; Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998), h.. 82-84
137
Lihat Ibid., h. 84

138
Lihat Umam Kh, Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktis ( Cet.II; Jakarta: Grafindo Persada,
2006), h. 67
139
Lihat Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, ( Cet V; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 91-92.
140
Lihat Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah. ( Cet IV; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), h. 62-
63

94
Kesehatan Mental
Menurut M.Atho’ Mudhar , ada lima fenomena agama yang dapat dikaji, yaitu:
a. Scripture atau naskah atau sumber ajaran dan simbol agama.
b. Para penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan
penghayatan para penganutnya.
c. Ritus, lembaga dan ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan.
d. Alat-alat seperti masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya
e. Organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan, seperti
Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Protestan, Syi’ah dan lain-lain.
Kelima obyek di atas dapat dikaji dengan pendekatan antropologi, karena kelima obyek
tersebut memiliki unsur budaya dari hasil pikiran dan kreasi manusia.141
Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak
akan lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas
kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari
keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu,
antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas
kemanusiaan dan memahami Islam yang telah dipraktikkan Islam that is practised yang menjadi
gambaran sesungguhnya dari keberagamaan manusia.
Dari uraian di atas dapat dipahami bawa:
1. Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama menggunakan cara berfikir deduktif,
yaitu cara berfikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena
ajaran yang bersalal dari Tuhan, sudah pasti benar, sehingga tidak perlu ditanyakan lebih
dahulu. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendekatan ini memiliki kekurangan yaitu bersifat
eksklusif, dogmatis, tidak mau mengakui kebenaran agama lain.
2. Jika budaya tersebut dikaitkan dengan agama, maka agama yang dipelajari adalah agama
sebagai fenomena budaya, bukan ajaran agama yang datang dari Allah. Antropologi tidak
membahas salah benarnya suatu agama dan segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual
dan kepercayaan kepada yang sakral, wilayah antropologi hanya terbatas pada kajian terhadap
fenomena yang muncul.
3. Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya
memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat..

F. Agama dan Kesehatan Mental (Versi Dunia Barat)


1. Religiosity, Meaning in Life, and Psychological well-being (Hubungan antara Religiusitas,
Makna Dalam Hidup, dan Kesejahteraan Psikologis).

Agama telah sering dipertimbangkan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap


kesehatan jiwa dan psikologi kesejahteraan, meskipun arah dari pengaruh ini telah sering
diperdebatkan. (Bergin, Masters, & Richards, 1987; Bergin, Stiuchfield, Gaskin, Masters dan

141
Mudzhar, M. Atho, op.cit., h. 47-48

95
Kesehatan Mental
Sullivan, 1988). Penelitian terakhir dan Tinjauan dari bukti menyatakan, bahwa keagamaan itu
memiliki hubungan yang positif dengan kesejahteraan dan kesehatan jiwa.
Dalam suatu tinjauan awalnya, Lea (1982) menyimpulkan keagamaan yang positif
berhubungan dengan penyesuaian diri dalam masyarakat dewasa serta lebih kuat bagi usia lanjut.
Witter, Stock, Okun dan Haring (1985) melakukan suatu meta-analisis dari 28 penelitian yang
diberikan efek ukuran 56 tentang hubungan antara agama dan subjektif kesejahteraan. Efek ukuran
berkisar dari 01 dan + -.. 58, dan Witter dkk, menyimpulkan bahwa "beragama yang positif
berhubungan dengan persepsi tentang kesejahteraan" (p.335). Pengukuran beragama
diklasifikasikan sebagai kegiatan keagamaan (pertemuan jemaat gereja dan keikutsertaan diberi
nilai) atau keagamaan (minat pada agama dan kesadaran akan agama), dan efek ukuran yang
ditemukan itu sedikit lebih besar pada kegiatan keagamaan daripada beragama. Langkah-langkah
Kesejahteraan ini juga diklasifikasikan sebagai penilaian kepuasan hidup, moral, kualitas hidup,
kesejahteraan, atau kebahagiaan, namun tidak ada perbedaan dalam efek ukuran yang ditemukan
antara keduanya.
Bergin (1983) melaporkan sebuah meta-analisis terhadap 24 penelitian yang meneliti
hubungan antara beragama dan psikopatologi. Efek ukuran di sini berkisar dari 32 -. sampai + 0,82.
Sebagian kecil (23 persen) terkait hubungan negatif antara beragama dan kesehatan jiwa, sedangkan
hampir setengah (47 persen) menunjukkan hubungan yang positif. Namun, efek yang paling kecil
dan tidak signifikan. Bergin menyimpulkan bahwa klaim sebelumnya keyakinan beragama
mengerahkan efek negatif terhadap kesehatan jiwa tidak dapat dipertahankan namun memerhatikan
kesulitan dalam penilaian hubungan itu dengan jelas mengingat ukuran keragaman beragama dan
kesehatan jiwa yang terkait.
Donahue (1985) meninjau berbagai macam penelitian meneliti religiusitas ekstrinsik dan
intrinsik. Meskipun tidak secara langsung berkaitan dengan kesehatan jiwa dan masalah
kesejahteraan, Donahue melaporkan bahwa beberapa relevan konstruksi yang diferensial yang
berkaitan dengan dimensi-dimensi beragama. Extrinsicness ditemukan berkorelasi positif dengan
prasangka dan dogmatisme, sedangkan instrinsicness itu tidak berkorelasi dengan sifat-sifat ini.
Extrinsicness berkorelasi positif dengan kegelisahan sedangkan instrinsicness berkorelasi negatif
dengan kegelisahan.
Peterson dan Roy (1985) menyimpulkan dari pandangan mereka bahwa religiusitas psikis
memudahkan mencapai kesejahteraan. Bergin dkk . (1987) menemukan orientasi keagamaan hakiki
yang negatif berhubungan dengan kecemasan sedangkan yang positif berhubungan dengan kontrol
diri dan penyesuaian pribadi. Mereka menyarankan bahwa "keterlibatan agama secara signifikan
mampu berkorelasi positif yang berfungsi menjadi pribadi yang normal" (hal. 200), dan tidak selalu
berhubungan dengan kemiskinan terhadap kesehatan mental . Bergin dkk . (1988), dalam penelitian
kualitatif bersama peserta agama, tidak menemukan bukti religiusitas berkorelasi negatif dengan
kesehatan mental, dan menemukan penyesuaian yang lebih baik bagi peserta yang agamanya
terintegrasi secara positif ke dalam gaya hidup mereka. Willits dan Crider (1988) melaporkan
bahwa religiusitas dalam sampel paruh baya berkorelasi positif dengan keseluruhan psikologis

96
Kesehatan Mental
kesejahteraan. Pollner (1989) menemukan bahwa hubungan simbolis dengan korelasi yang
signifikan "ilahi lainnya" adalah dari subjektif kesejahteraan.
Bersamaan, dangan bobot pembuktian yang menunjukkan bahwa agama itu memiliki
hubungan yang kecil namun positif dengan kesehatan mental dan psikologis kesejahteraan. Namun,
temuan tersebut sering dicampur dan tampaknya tergantung pada keduanya baik secara religiusitas
serta kesejahteraan yang diukur. Beberapa peneliti di bidang ini telah mencatat pengaruh ini,
menyatakan bahwa agama dapat memiliki kedua aspek yaitu peningkatan dan patogen (misalnya,
Bergin dkk , 1988;. Willits & Crider, 1988). Hubungan tersebut juga telah ditemukan bervariasi
tergantung pada variabel lainnya yang terlibat dan yang dikendalikan (misalnya, Lea, 1982;
Peterson & Roy, 1985).
Mekanisme dengan agama yang mana dapat memberikan efek terhadap kesejahteraan belum
dieksplorasi secara luas, meskipun beberapa hipotesis telah dikemukakan. Pollner (1989)
mengusulkan tiga proses melalui religiusitas dapat mempengaruhi kesehatan mental serta
kesejahteraan. Pertama, agama bisa memberikan sumber daya sebagai penjelasan serta penyelesaian
keadaan yang bermasalah. Kedua, agama dapat beroperasi untuk meningkatkan rasa diri sendiri
sebagai kewenangan atau berkhasiat. Ketiga agama dapat memberikan dengan berdasarkan arti bagi
perasaan , tujuan, serta identitas pribadi, dan menanamkan potensi dalam menjauhkan peristiwa
dengan makna. Argumen serupa juga dikemukakan oleh Peterson serta Roy (1985), yang
menyatakan secara khusus bahwa agama dapat memberikan skema penafsiran yang menyeluruh hal
itu memungkinkan seorang individu untuk memahami eksistensi. Jadi, agama tidak dapat
berkontribusi langsung kepada kesejahteraan seseorang , melainkan dapat mempengaruhi
kesejahteraan secara tidak langsung dengan memberikan rasa pemaknaan serta arah tujuan dalam
hidup.
Terlepas dari mana makna muncul, apakah dari sumber agama atau tidak ada keterkaitan
yang nyata antara pencarian seseorang terhadap (pencapaian) makna serta kesehatan emosional
mereka. Pandangan ini telah didukung keduanya baik secara secara teoritis empiris. Frank (1959,
1967) meyakini bahwa kehendak kepada makna adalah motivasi manusia yang penting, ketika
pencarian kesejahteraan seseorang terhadap makna dihalangi, maka frustrasi eksistensi terjadi, yang
menyebabkan kondisi patologis yang disebutnya "penyakit saraf noogenic." Maddi (1967)
menggambarkan kondisi serupa, penyakit saraf eksistensi, yang "ditandai dengan keyakinan hal itu
hidup seseorang tidak berarti dengan nada afektif apatisme kebosanan, dengan tidak adanya
selektivitas dalam tindakan" (p.313). Demikian pula, Reker Wong (1988 / mengusulkan bahwa
pencapaian pemaknaan pribadi memberikan seseorang sebuah penafsiran terhadap pengalaman
hidup, tujuan yang berharga maksud tertentu, perasaan kepuasan dan pemenuhan.
Penelitian ini juga mendukung kesimpulan umum bahwa tercapainya pemaknaan dikaitkan
dengan hasil positif kesehatan mental, sedangkan kurangnya pemaknaan dikaitkan dengan hasil
patologis (Coleman, Kaplan, & Downing, 1986; Ganellen & Blaney, 1984; Harlow, Newcomb, &
Bentler, 1986; Yalom, 1980; Zika & Chamberlain, 1987). Pencarian makna dan pencapaian yang
muncul menjadi dasar dalam kehidupan yang sukses (Lacocque, 1982; Yalom, 1980).

97
Kesehatan Mental
Di samping itu erat kaitannya dengan psikologis kesejahteraan, makna secara konseptual
terkait dengan agama yang mana. Yalom (1980) membedakan antara dua kelompok luas terhadap
pemaknaan, makna kosmos, dimana "... mengimplikasikan beberapa desain yang ada di luar dan
unggul kepada orang dan selalu mengacu dalam beberapa keajaiban atau urutan spiritual alam
semesta" (p.423) dan bumi tak bermakna tanpa makna kosmis maka akan mengalami makna pribadi
yang dipenuhi selaras dengan makna kosmik. Adanya perasaan pemaknaan kosmik akan
memberikan hubungan yang jelas antara religiusitas dan sistem makna.
Gagasan bahwa agama menyediakan sebuah kerangka kerja yang memberikan arti dan
tujuan hidup telah didukung oleh beberapa penyelidikan empiris. Makna dalam kehidupan telah
ditemukan lebih tinggi dalam intrinsik daripada ekstrinsik agama (Bolt, 1975; Crandall &
Rasmussen, 1975; Soderstrom & Wright, 1977), bagi mereka dengan sudut pandang agama
berkomitmen kemudian tidak berkomitmen (Soderstom & Wright , 1977), bagi mereka yang
konservatif agama daripada nonreligius (Dufton & Perlman, 1986) dan bagi mereka yang baru-baru
ini mengalami konversi agama (Paloutzian, 1981). Yalom (1980) melaporkan bahwa rasa makna
positif dalam hidup dikaitkan dengan kedua nilai-nilai diri transenden dan keyakinan agama yang
dipegang.
Namun, makna dalam konteks tentang religiusitas telah rancu. Peneliti mengajukan dimensi
dari religiusitas yang telah mengusulkan bahwa makna tersebut hanya satu dimensi (Raja & Hunt,
1975; Hilty, Morgan, & Burns, 1984). Peneliti lain telah menemukan arti sebagai bagian dari
kesejahteraan psikologis (misalnya, Peterson & Roy, 1985). Yang lainnya telah diperjualbelikan arti
yang terpisah (Reker & Wong, 1988), dengan tidak ada relevansi yang kuat dengan agama dan
spiritual (misalnya, Yalom, 1980; Paloutzian, 1981).
Jelaslah bahwa, makna dapat berasal dari berbagai sumber, dan agama hanya salah satu dari
sejumlah yang mudah diakses. Battista dan Almond (1973) menyarankan beberapa model yang
berbeda untuk mengenali makna dalam kehidupan, yang artinya berasal dari Tuhan (agama), dari
yang (eksistensial), dari kemanusiaan (humanistik), atau dari kehidupan (self-transenden). Mereka
menemukan bahwa orang-orang sering berkomitmen untuk dua atau lebih dari sistem kepercayaan,
yang artinya berasal dari gabungan sumber. DeVogler-Ebersole dan Ebersole (1985) menemukan
bahwa makna dapat digolongkan menjadi delapan sumber yang berbeda, dengan individu biasanya
pelaporan tentang empat yang relevan dengan diri mereka sendiri. Reker dan Wong (1988)
mengusulkan tiga belas sumber penting dari makna, mencakup keyakinan agama dan aktivitas.
Reker & Guppy (1988) menemukan perubahan umur dalam sumber-sumber, dengan agama menjadi
sumber semakin penting dengan usia. Chamberlain dan Zika (1988), dalam studi faktor analisis
tindakan makna, menyimpulkan bahwa artinya adalah multidimensional. Mereka menyarankan
bahwa makna memiliki beberapa asal-usul, melalui pencapaian tujuan atau pemenuhan, memiliki
filosofi yang jelas atau kerangka kerja, kami melalui contentedness dan kepuasan dengan apa yang
dimiliki seseorang dalam hidup. Dengan demikian, bisa berarti memiliki berbagai sumber yang
berbeda, termasuk agama. Meskipun agama bisa meningkatkan arti, itu tidak mungkin satu-satunya
sumber makna, dan tampaknya tidak pantas untuk membatasi makna pada dimensi religiusitas.

98
Kesehatan Mental
Kami telah menguji penelitian hubungan antara religiusitas, makna dalam hidup, dan
kesejahteraan psikologis. Berikut ini adalah rincian dari dua studi tersebut. Sebagaimana dicatat
bahwa makna dapat diperoleh dari beberapa sumber selain dari agama, dan dengan demikian kita
ingin menilai hubungan antara religiusitas dan kesejahteraan ketika artinya itu diperhitungkan.
Alasan lebih lanjut bahwa makna termasuk dari sumber tersebut karena memiliki hubungan kuat
dengan agama dan kesejahteraan dan karena itu kami menganggap itu sebagai variabel kontrol
kritis.
Penelitian yang terbaru telah disarankan bahwa kesejahteraan terdiri dari setidaknya tiga
dimensi utama: kepuasan hidup, dampak positif dan dampak negatif. Kepuasan hidup ini dianggap
secara kognitif berdasarkan (rasional) evaluasi terhadap kesejahteraan, berbeda dengan efek positif
dan negatif, yang berdasarkan evaluasi afektif (emosional) evaluasi tampaknya sesuai dalam
mencakup semua ketiga dimensi kesejahteraan karena bukti secara empiris menunjukkan bahwa
mereka memiliki korelasi yang berbeda (Chamberlain, 1988). Karena hasil campuran dari penelitian
sebelumnya menghubungkan religiusitas dan kesejahteraan, kami menganggap penting untuk
menguji apakah tingkat religiusitas akan berbeda terhadap masing-masing dimensi kesejahteraan.
Studi 1
Penelitian ini melibatkan dua kelompok yang berbeda dari masyarakat yang ikut serta dalam
penelitian secara umum tentang kepribadian dan kesejahteraan dan telah disarankan akan menjadi
"resiko" dalam hal mengalami kesejahteraan yang lebih rendah. Kelompok-kelompok ini adalah
para ibu di rumah untuk merawat anak-anak dan orang lanjut usia. Individu di dalam kelompok
telah dianggap sebagai "resiko" karena mereka cenderung agak terisolasi tidak membayar kerja
sering memiliki keterbatasan sumber daya keuangan dan sering memiliki tingkat ketergantungan
pada orang lain. Selain itu ibu memiliki tuntutan dan tanggung jawab terhadap perawatan anak dan
orang lanjut usia sering menghadapi masalah kesehatan.
Para ibu yang termasuk dalam studi ini jika mereka bukan dalam pekerjaan yang dibayar
dan memiliki perawatan paling tidak satu anak di bawah usia lima tahun. Dari 188 ibu dalam
kelompok itu, hampir semua sudah menikah (95 persen) dan tinggal sedikit saja (5 persen). Yang
dapat dimasukkan kedalam sampel lanjut usia, peserta harus berusia 60 tahun atau lebih. Berbeda
dengan ibu, proporsi yang jauh lebih kecil (54 persen) dari 137 subyek lansia yang sudah menikah,
dan proporsi yang jauh lebih besar (43 persen) tinggal sendirian. Kedua kelompok responden
menyelesaikan sebuah kuesioner yang berisi langkah-langkah psikologis kesejahteraan, religiusitas,
dan tujuan dalam hidup.
Psikologis kesejahteraan dinilai dengan dua ukuran yang berbeda. Dimensi afektif
kesejahteraan, dampak positif dan negatif, ditentukan dengan efek ukuran (Kammann & Flett,
1983). Komponen kesejahteraan lainnya, kepuasan hidup, dinilai dengan (1976) ukuran secara
global Andrews dan Withey's, Kepuasan hidup-3. Arti hidup dinilai dengan ujian Tujuan Hidup
(Crumbaugh & Maholick 1964.). Religiusitas diukur dengan dua dari (1975) skala Raja dan Hunt,
Orientasi terhadap Pertumbuhan dan Berjuang, dan Arti: mental. Skala ini telah dicatat oleh Raja
dan Hunt (1975) meliputi dimensi intrinsik keagamaan dan dipilih sebagai yang paling relevan
untuk meneliti dalam konteks -makna kehidupan. Sebuah analisis korelasional terhadap dokumen

99
Kesehatan Mental
dari skala ini mendorong kami untuk menggabungkan mereka dalam mengukur keagamaan tunggal
bagi analisis kami.
Salah satu keterbatasan penelitian ini adalah penggunaan ukuran keagamaan tunggal. Kami
memilih ukuran yang intrinsik sejalan dengan penelitian sebelumnya yang telah menunjukkan
instrinsicness untuk menjadi lebih kuat terkait dengan makna kehidupan (Bolt, 1975; Crandall &
Rasmussen, 1975; Soderstorm & Wright, 1977). Namun, hubungan antara keagamaan dan
kesejahteraan dapat bervariasi dengan berbagai komponen kesejahteraan. Kami memutuskan untuk
meneliti ini dalam studi kedua dengan menggunakan ukuran multidimensi keagamaan.
Studi 2
Penelitian ini terus meneliti hubungan antara agama dan kesejahteraan dalam konteks
makna, dengan menggunakan sampel agama dan ukuran multidimensi religiusitas. Dua kelompok
responden agama yang dilibatkan melalui kelompok-kelompok lokal yaitu jemaat kajian Injil,
Katolik Roma 99 dan 112 anggota jemaat Pantekosta. Setiap responden menyelesaikan kuesioner
tertulis yang meliputi ukuran religiusitas, yang berarti dalam hidup, dan kesejahteraan psikologis.

Kami tidak mencoba untuk membedakan antara sistem makna kosmik dan terestrial. arti
Cosmic, yang berkaitan dengan pengertian tentang ketertiban spiritual di alam semesta (Yalom,
1980), secara langsung relevan dengan keyakinan agama. Yalom berpendapat bahwa skema makna
yang komprehensif, dalam pengertian ini, telah disediakan oleh tradisi Yahudi-Kristen di dunia
barat. Meskipun kami telah berpendapat bahwa agama adalah hanya salah satu sumber yang
tersedia beberapa makna, ia harus memiliki peran penting dalam pengembangan makna kosmik.
Karena itu, mungkin untuk mengeksplorasi perbedaan antara makna kosmik dan terestrial dalam
penelitian mendatang untuk memeriksa hubungan antara religiusitas dan kesejahteraan, dan
khususnya untuk membandingkan kelompok-kelompok keagamaan dan non keagamaan pada
masalah-masalah.
Bagaimanapun, agama nampaknya tidak memiliki peran penting dalam pengembangan
sistem makna. Dalam literatur tentang makna hidup, ada perdebatan tentang apakah makna
ditemukan atau dibuat. Baird (1985) berpendapat bahwa makna merupakan produk penciptaan
daripada penemuan. Individu harus menemukan dan membangun rasa mereka sendiri dan makna
dari prestasi mereka, komitmen, dan hubungan. Reker dan Wong (1988) menyatakan bahwa makna
diciptakan dengan membuat pilihan, mengambil tindakan, dan memasuki hubungan, tetapi makna
yang juga ditemukan dari kodrat seperti adanya alam semesta dan kehidupan. Agama. Sebagaimana
Yalom (1980) berkomentar, menyediakan kerangka kerja potensial yang dapat eksis sebagai
diberikan untuk banyak orang. Salah satu alasan mengapa orang beragama cenderung memiliki
tingkat yang lebih tinggi terhadap makna hidup mungkin bahwa ada sesuatu "di luar sana" bagi
mereka untuk menemukan. Masalah ini berguna untuk dieksplorasi dalam penelitian masa depan.
Pembahasan di atas menunjukkan kebutuhan untuk mempertimbangkan konteks di mana
hubungan antara religiusitas dan kesejahteraan diuji. Dari penelitian kami, menunjukkan bahwa
hubungan antara religiusitas dan kesejahteraan dapat ditengahi oleh makna. Meskipun agama dapat
memberikan sumber penting terhadap makna, bagi kebanyakan orang makna mungkin akan berasal

100
Kesehatan Mental
dari kombinasi sumber (Battista & Almond, 1973). Temuan kami menunjukkan bahwa makna
hidup sangat terkait dengan kesejahteraan psikologis, dan bahwa setiap hubungan antara religiusitas
dan kesejahteraan mungkin memiliki jalur melalui makna.
Selain itu, pemahaman kita tentang hubungan antara religiusitas dan kesejahteraan atau
kesehatan mental mungkin lebih baik maju jika konstruksi dipisahkan sejelas mungkin. Hal ini
dapat dicapai dengan tetap fokus pada aspek rohani non kesejahteraan dan kesehatan mental, dan
merupakan relasional untuk pendekatan yang diambil dalam penelitian ini. Namun, fokus ini
seharusnya tidak menghalangi penyelidikan ke kesejahteraan spiritual dalam dirinya sendiri.
Mengingat lebih konseptual memperjelas dari kesejahteraan rohani membangun, pertanyaan yang
menarik dapat diatasi tentang faktor penentu dan hubungannya dengan spiritual non kesejahteraan.
Mungkin juga penting untuk membangun kesejahteraan yang digunakan pada studi dalam
menyelidiki religiusitas. Sejumlah peneliti (Elliuson, 1983 'Moberg, 1984; Moberg & Brusek, 1978;
Paloutzian & Ellison, 1982) berpendapat kuat untuk harus menyertakan aspek-aspek spiritual
kesejahteraan. Moberg (1971) mengusulkan dua dimensi besar, satu yang berkaitan dengan rasa
kesejahteraan dalam hubungannya dengan Tuhan, dan yang lain yang berkaitan dengan rasa
kepuasan hidup dan tujuan. Dalam publikasi kemudian, Moberg (1984) mengemukakan bahwa
kesejahteraan rohani "adalah sebuah fenomena multidimensi dengan ratusan komponen" (p.352).
Polutzaian & Ellison mengusulkan bahwa kesejahteraan rohani bisa dibagi yaitu agama
kesejahteraan dan eksistensial kesejahteraan (Ellison, 1983). Penelitian di bidang ini akan
berkembang lebih pesat sekali konsepsi spiritual yang lebih jelas kesejahteraan dirumuskan, dan
sekali hubungannya dengan aspek-aspek sekuler kesejahteraan didirikan.
Temuan dari studi 2 menunjukkan secara jelas bahwa dimensi religiusitas berbeda yang
berhubungan dengan kesejahteraan. Tiga dari variabel religiusitas menunjukkan asosiasi yang
konsisten dengan kesejahteraan, sedangkan dua tidak. Tiga dimensi yang berhubungan (keyakinan
pribadi, keterlibatan gereja, dan ortodoksi) dengan keyakinan agama pribadi, komitmen, dan
keterlibatan, dan mungkin bahwa dimensi religiusitas semacam ini hanya relevan untuk mencapai
kesejahteraan psikologis. Dua dimensi lainnya (kesadaran sosial dan pengetahuan agama) tidak
memberikan ukuran religiusitas pribadi dalam arti yang sama. Bahkan, akan ada kemungkinan
nonreligius masih memiliki tingkat pengetahuan agama dan sikap positif terhadap keterlibatan
gereja dalam masalah-masalah sosial. Hal ini menimbulkan kekhawatiran seperti apa sebenarnya
yang dimaksud dengan religiusitas dan apa ruang lingkup yang seharusnya. Sebelumnya kami telah
berpendapat bahwa arti dalam hidup, meskipun sangat relevan dengan keyakinan agama, dapat
dicapai dengan cara nonreligius dan lebih luas dari dimensi religiusitas. Isu-isu konseptual
memerlukan klarifikasi.
Walaupun temuan-temuan ini sulit diperbandingkan dari studi 1 dan Studi 2 secara
langsung, perbandingan ini dapat dilakukan di seluruh kelompok untuk ukuran religiusitas intrinsik
dalam studi 1 dan ukuran intrinsik, keyakinan pribadi, dalam Studi 2. Perbandingan ini
menunjukkan bahwa arti-penting agama bagi kelompok mempengaruhi kekuatan dan ruang lingkup
pergaulan. Ibu memiliki korelasi positif kecil dengan kepuasan hidup saja. Tetapi orang yang lanjut
usia, agama telah meningkat arti-penting, yang memiliki korelasi positif moderat dengan kepuasan

101
Kesehatan Mental
hidup dan Katolik positif menunjukkan pola yang serupa dengan orang tua, sementara Pentakosta,
dengan orientasi mereka yang lebih intrinsik, memiliki hubungan yang lebih kuat dengan semua
tiga ukuran sumur sedang.

Yang menjadi utama bagi kami adalah untuk mempelajari bagaimana hubungan antara
religiusitas dan kesejahteraan akan bertahan ketika makna kehidupan diperhitungkan. karena ada
perbedaan religiusitas antara kelompok, analisis yang terpisah dilakukan pada setiap kelompok.
Namun, menghasilkan hasil yang sama pada kedua kelompok, meskipun perbedaan dari segi
religiusitas. Analisis menunjukkan bahwa setiap dimensi religiusitas dicatat dalam berbagai varians
dalam dimensi kesejahteraan sekalipun makna dalam hidup ini sebagian keluar. Dalam kasus
terbaik, religiusitas menjelaskan hanya satu-setengah dari satu persen dari varians dalam
kesejahteraan. seperti dalam studi 1, mengontrol efek makna secara efektif menghapus semua
hubungan antara religiusitas dan kesejahteraan yang disarankan oleh (orde pertama) korelasi
sederhana. Sebaliknya, kehidupan yang berarti dengan religiusitas sebagian keluar adalah prediktor
substansial dari setiap dimensi kesejahteraan, menjelaskan antara 20 persen dan 30 persen dari
varians dalam kesejahteraan.
Hubungan yang diperoleh dalam studi ini memastikan hasil temuan penelitian yang
sebelumnya dari asosiasi positif sederhana antara religiusitas dan psikologi kesejahteraan (Bergin,
1983; Lea, 1982; Witter dkk, 1985.). Namun demikian, sebagai peneliti sebelumnya telah mencatat
kekuatan dari hubungan tersebut dapat bergantung tentang bagaimana kesejahteraan ditentukan,
bagaimana religiusitas ditentukan, dan sifat dari kelompok yang terlibat.
Hasil ini menunjukkan bahwa, di mana religiusitas secara signifikan berhubungan dengan
kesejahteraan, hal ini bias menjelaskan antara 5 persen dan 23 persen dari varians dalam
kesejahteraan, tergantung pada dimensi religiusitas dan kesejahteraan yang terlibat. Temuan ini
paralel dengan hasil sebelumnya yang melibatkan hubungan langsung antara komponen religiusitas
dan langkah-langkah kesejahteraan dan kesehatan mental (Bergin, 1983; Witter et al, 1985.).
Akhirnya, kami menguji hubungan antara religiusitas, makna dan kesejahteraan bagi kedua
kelompok. Untuk Katolik, tiga dimensi religiusitas berkorelasi antara, keyakinan pribadi,
keterlibatan gereja dan ortodoksi, semua berhubungan di moderat ke tingkat yang rendah dengan
semua tiga ukuran kesejahteraan. Dimensi religiusitas dua lainnya, hati nurani sosial dan ilmu
agama, yang tidak berkorelasi dengan kesejahteraan kecuali untuk asosiasi negatif kecil antara
pengetahuan agama dan dampak negatif pada kelompok Pentakosta. seperti yang diharapkan, tujuan
hidup berkorelasi sedang dengan semua dimensi kesejahteraan pada kedua kelompok.
Selanjutnya kita meneliti hubungan antara dimensi religiusitas, dan termasuk makna
kehidupan karena Hilty dkk. (1984) menganggap di antara dimensi. Untuk kedua kelompok, tiga
dimensi religiusitas (keyakinan pribadi, terlibat di gereja, dan ortodoksi) yang berkorelasi pada
tingkat sedang, dan sakit tiga berkorelasi sedang dengan tujuan dalam hidup. Dua dimensi lainnya
religiusitas berbeda antara kelompok. Untuk Pentakosta, kesadaran sosial dan pengetahuan agama
tidak berkorelasi dengan dimensi lain. Pada kelompok Katolik, kedua dimensi tersebut berkorelasi
dengan beberapa dimensi lain. Tujuan dalam hidup ini tidak berkorelasi dengan kedua dimensi.

102
Kesehatan Mental
Hasil ini secara umum mirip dengan Hilty dkk. (1984) mengemukakan beberapa pengecualian. Di
sini, pengetahuan agama tidak berkorelasi negatif dengan dimensi lain dalam kelompok, dan hati
nurani sosial memiliki korelasi yang lebih tinggi bagi umat Katolik.
Pentakosta juga dinilai lebih tinggi dari ortodoks, ukuran penerimaan kepercayaan
tradisional dan doktrin. Hal ini mencerminkan penekanan Pentakosta terhadap keyakinan
fundamental dan interpretasi literal dari Alkitab (McGaw, 1980). Katolik dinilai lebih tinggi
terhadap hati nurani sosial, menunjukkan bahwa mereka melihat diri mereka sendiri dan gereja
mereka memiliki peran yang kuat dalam masyarakat dan isu-isu sosial daripada Pentakosta. Tidak
ada perbedaan terhadap dimensi pengetahuan agama, mungkin karena kelompok belajar Alkitab
adalah sumber peserta dari kedua gereja.
Pantekosta dinilai lebih tinggi terhadap keyakinan pribadi, yang menilai pentingnya agama
dalam kehidupan pribadi seseorang, dan merupakan ukuran religiusitas intrinsik. Mengingat
Pantekosta menekankan terhadap spiritualitas pribadi dan komitmen, hasil ini menegaskan harapan
bagi Pentakosta lebih hakiki. Pentakosta juga dinilai lebih tinggi terhadap pengaturan gereja, dan
mencerminkan orientasi ekstrinsik. Sekali lagi, penekanan Pantekosta pada partisipasi pribadi dalam
pertemuan gereja, digabungkan dengan harapan yang kuat untuk mendukung gereja dan terlibat
dalam penginjilan, yang akan memprediksi hasil ini. Temuan ini menunjukkan bahwa Pentakosta
sesuai dengan (1978) kategori Hood tentang agama tanpa pandang bulu .
Pertama-tama kita membandingkan hasil antara Katolik dan Pentakosta terhadap perbedaan
dalam religiusitas, makna hidup, dan kesejahteraan. Tidak ada perbedaan antara kelompok dalam
kesejahteraan, kecuali untuk efek positif, di mana Pentakosta memiliki tingkat sedikit lebih tinggi
daripada Katolik. Begitupun juga tidak ada perbedaan dalam arti kehidupan, tetapi perbedaan-
perbedaan substansial muncul di religiusitas.
Dimensi afektif kesejahteraan lagi-lagi dinilai dengan pengaruh meter . Kepuasaan hidup
diukur dengan Tingkat Kepuasan dengan Skala Kehidupan (Diener, Emmons, Larsen, & Griffin,
1985). Arti dalam hidup ini sekali lagi dievaluasi dengan ujian Tujuan dalam Kehidupan . Untuk
menilai religiusitas secara lebih rinci, kami menggunakan revisi Raja dan skala Hunt yang
dikemukakan oleh Hilty dkk. (1984). Dua skala dihilangkan: Tujuan Hidup, yang kita ukur dengan
ujian Tujuan dalam Hidup, dan Intoleransi Kerancuan, yang berisi item budaya sesuai untuk sampel
kami. Skala Sosial Hati Nurani juga diubah dengan menghilangkan referensi untuk orang kulit
hitam.
Mungkin juga penting untuk membangun kesejahteraan yang digunakan pada studi dalam
menyelidiki religiusitas. Sejumlah peneliti (Elliuson, 1983 'Moberg, 1984; Moberg & Brusek, 1978;
Paloutzian & Ellison, 1982) berpendapat kuat untuk harus menyertakan aspek-aspek spiritual
kesejahteraan. Moberg (1971) mengusulkan dua dimensi besar, satu yang berkaitan dengan rasa
kesejahteraan dalam hubungannya dengan Tuhan, dan yang lain yang berkaitan dengan rasa
kepuasan hidup dan tujuan. Dalam publikasi kemudian, Moberg (1984) mengemukakan bahwa
kesejahteraan rohani "adalah sebuah fenomena multidimensi dengan ratusan komponen" (p.352).
Polutzaian & Ellison mengusulkan bahwa kesejahteraan rohani bisa dibagi yaitu agama
kesejahteraan dan eksistensial kesejahteraan (Ellison, 1983). Penelitian di bidang ini akan

103
Kesehatan Mental
berkembang lebih pesat sekali konsepsi spiritual yang lebih jelas kesejahteraan dirumuskan, dan
sekali hubungannya dengan aspek-aspek sekuler kesejahteraan didirikan.
Selain itu, pemahaman kita tentang hubungan antara religiusitas dan kesejahteraan atau
kesehatan mental mungkin lebih baik maju jika konstruksi dipisahkan sejelas mungkin. Hal ini
dapat dicapai dengan tetap fokus pada aspek rohani non kesejahteraan dan kesehatan mental, dan
merupakan relasional untuk pendekatan yang diambil dalam penelitian ini. Namun, fokus ini
seharusnya tidak menghalangi penyelidikan ke kesejahteraan spiritual dalam dirinya sendiri.
Mengingat lebih konseptual memperjelas dari kesejahteraan rohani membangun, pertanyaan yang
menarik dapat diatasi tentang faktor penentu dan hubungannya dengan spiritual non kesejahteraan.
Pembahasan di atas menunjukkan kebutuhan untuk mempertimbangkan konteks di mana
hubungan antara religiusitas dan kesejahteraan diuji. Dari penelitian kami, menunjukkan bahwa
hubungan antara religiusitas dan kesejahteraan dapat ditengahi oleh makna. Meskipun agama dapat
memberikan sumber penting terhadap makna, bagi kebanyakan orang makna mungkin akan berasal
dari kombinasi sumber (Battista & Almond, 1973). Temuan kami menunjukkan bahwa makna
hidup sangat terkait dengan kesejahteraan psikologis, dan bahwa setiap hubungan antara religiusitas
dan kesejahteraan mungkin memiliki jalur melalui makna.
Bagaimanapun, agama nampaknya tidak memiliki peran penting dalam pengembangan
sistem makna. Dalam literatur tentang makna hidup, ada perdebatan tentang apakah makna
ditemukan atau dibuat. Baird (1985) berpendapat bahwa makna merupakan produk penciptaan
daripada penemuan. Individu harus menemukan dan membangun rasa mereka sendiri dan makna
dari prestasi mereka, komitmen, dan hubungan. Reker dan Wong (1988) menyatakan bahwa makna
diciptakan dengan membuat pilihan, mengambil tindakan, dan memasuki hubungan, tetapi makna
yang juga ditemukan dari kodrat seperti adanya alam semesta dan kehidupan. Agama. Sebagaimana
Yalom (1980) berkomentar, menyediakan kerangka kerja potensial yang dapat eksis sebagai
diberikan untuk banyak orang. Salah satu alasan mengapa orang beragama cenderung memiliki
tingkat yang lebih tinggi terhadap makna hidup mungkin bahwa ada sesuatu "di luar sana" bagi
mereka untuk menemukan. Masalah ini berguna untuk dieksplorasi dalam penelitian masa depan.
Kami tidak mencoba untuk membedakan antara sistem makna kosmik dan terestrial. arti
Cosmic, yang berkaitan dengan pengertian tentang ketertiban spiritual di alam semesta (Yalom,
1980), secara langsung relevan dengan keyakinan agama. Yalom berpendapat bahwa skema makna
yang komprehensif, dalam pengertian ini, telah disediakan oleh tradisi Yahudi-Kristen di dunia
barat. Meskipun kami telah berpendapat bahwa agama adalah hanya salah satu sumber yang
tersedia beberapa makna, ia harus memiliki peran penting dalam pengembangan makna kosmik.
Karena itu, mungkin untuk mengeksplorasi perbedaan antara makna kosmik dan terestrial dalam
penelitian mendatang untuk memeriksa hubungan antara religiusitas dan kesejahteraan, dan
khususnya untuk membandingkan kelompok-kelompok keagamaan dan non keagamaan pada
masalah-masalah.
Dari uraian di atas, secara teoritis ditemukan bahwa agama telah sering dipertimbangkan
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kesehatan jiwa dan psikologi kesejahteraan.
Keagamaan yang positif berhubungan dengan penyesuaian diri dalam masyarakat dewasa

104
Kesehatan Mental
serta lebih kuat bagi usia lanjut (Lea, 1982). Peterson dan Roy (1985) menyimpulkan bahwa
religiusitas psikis memudahkan mencapai kesejahteraan. Bergin dkk (1987) menyatakan bahwa
orientasi keagamaan hakiki yang negatif berhubungan dengan kecemasan sedangkan yang positif
berhubungan dengan kontrol diri dan penyesuaian pribadi. Keterlibatan agama secara signifikan
mampu berkorelasi positif yang berfungsi menjadi pribadi yang normal, dan tidak selalu
berhubungan dengan kemiskinan terhadap kesehatan mental.
Pollner (1989) mengusulkan tiga proses melalui religiusitas dapat mempengaruhi kesehatan
mental serta kesejahteraan. Pertama, agama bisa memberikan sumber daya sebagai penjelasan serta
penyelesaian keadaan yang bermasalah. Kedua, agama dapat beroperasi untuk meningkatkan rasa
diri sendiri sebagai kewenangan atau berkhasiat. Ketiga agama dapat memberikan dengan
berdasarkan arti bagi perasaan , tujuan, serta identitas pribadi, dan menanamkan potensi dalam
menjauhkan peristiwa dengan makna.
Peterson serta Roy (1985), menyatakan secara khusus bahwa agama dapat memberikan
skema penafsiran yang menyeluruh hal itu memungkinkan seorang individu untuk memahami
eksistensi. Jadi, agama tidak dapat berkontribusi langsung kepada kesejahteraan seseorang,
melainkan dapat mempengaruhi kesejahteraan secara tidak langsung dengan memberikan rasa
pemaknaan serta arah tujuan dalam hidup.
Frank (1959, 1967) meyakini bahwa kehendak kepada makna adalah motivasi manusia yang
penting, ketika pencarian kesejahteraan seseorang terhadap makna dihalangi, maka frustrasi
eksistensi terjadi, yang menyebabkan kondisi patologis yang disebutnya "penyakit saraf noogenic."
Maddi (1967) menggambarkan kondisi serupa, penyakit saraf eksistensi, yang "ditandai dengan
keyakinan hal itu hidup seseorang tidak berarti dengan nada afektif apatisme kebosanan, dengan
tidak adanya selektivitas dalam tindakan" (p.313). Demikian pula, Reker Wong (1988)
mengusulkan bahwa pencapaian pemaknaan pribadi memberikan seseorang sebuah penafsiran
terhadap pengalaman hidup, tujuan yang berharga maksud tertentu, perasaan kepuasan dan
pemenuhan.
Namun demikian, secara empiris teori di atas masih banyak diperdebatkan. Hal ini dapat
ditemukan dalam artikel ini sebagaimana terungkap sebagai berikut: Witter, Stock, Okun dan
Haring (1985) melakukan suatu meta-analisis dari 28 penelitian. Witter dkk, menyimpulkan bahwa
"beragama yang positif berhubungan dengan persepsi tentang kesejahteraan" (p.335). Sementara
itu, Bergin (1983) melaporkan sebuah meta-analisis terhadap 24 penelitian yang meneliti hubungan
antara beragama dan psikopatologi. Berdasarkan meta-analisis tersebut Bergin menemukan
sebagian kecil (23 persen) terkait hubungan negatif antara beragama dan kesehatan jiwa, sedangkan
hampir setengah (47 persen) menunjukkan hubungan yang positif. Demikian pula penelitian yang
dilakukan oleh Donahue (1985) meninjau berbagai macam penelitian meneliti religiusitas ekstrinsik
dan intrinsik. Donahue melaporkan bahwa beberapa relevan konstruksi yang diferensial yang
berkaitan dengan dimensi-dimensi beragama. Extrinsicness ditemukan berkorelasi positif dengan
prasangka dan dogmatisme, sedangkan instrinsicness itu tidak berkorelasi dengan sifat-sifat ini.
Extrinsicness berkorelasi positif dengan kegelisahan sedangkan instrinsicness berkorelasi negatif
dengan kegelisahan. Bergin dkk (1988), dalam penelitian kualitatif bersama peserta agama, tidak

105
Kesehatan Mental
menemukan bukti religiusitas berkorelasi negatif dengan kesehatan mental, dan menemukan
penyesuaian yang lebih baik bagi peserta yang agamanya terintegrasi secara positif ke dalam gaya
hidup mereka. Willits dan Crider (1988) melaporkan bahwa religiusitas dalam sampel paruh baya
berkorelasi positif dengan keseluruhan psikologis kesejahteraan. Pollner (1989) menemukan bahwa
hubungan simbolis dengan korelasi yang signifikan "ilahi lainnya" adalah dari subjektif
kesejahteraan.
Berdasarkan tinjauan teoritis dan empiris di atas, maka saya menyimpulkan bahwa dalam
penelitian mengenai religiusitas, makna dalam hidup, dan kesejahteraan psikologis memiliki
variabel atau dimensi yang banyak. Oleh karena itulah sehingga antara penelitian yang satu dengan
yang lainnya menunjukan perbedaan karena dimensi yang digunakan adalah berbeda.
Mengenai penelitian dalam artikel ini ada beberapa hal menurut saya merupakan suatu
kelemahan penelitian yaitu penggunaan pengukuran variabel keagamaan yaitu hanya menggunakan
ukuran intrinsik, sementara varibel ini dapat diukur dengan ukuran lain. Namun demikian, peneliti
telah jujur mengungkap hal ini sebagai keterbatasan dalam penelitiannya sebagaimana diungkapkan
sebagai berikut: One limitation of this study was the use of a single religiosity measure. We chose
an intrinsic measure in line with previous research that had shown instrinsicness to be more
strongly associated with meaning (Bolt, 1975; Crandall & Rasmussen, 1975; Soderstorm &
Wright, 1977). Kelemahan lain bila dikaitkan anatara studi 1 dan studi 2 dalam hal pemilihan
sampel atau penentuan responden menjadi berbeda yaitu pada studi 1 sampelnya adalah kelompok
ibu rumah tangga yang berjumlah 188 orang dan kelompok lansia yang berjumlah 137 orang,
sementara pada studi 2 sampelnya adalah dua kelompok responden agama yang dilibatkan melalui
kelompok-kelompok lokal yaitu Jemaat Kajian Injil, Katolik Roma 99 orang dan 112 orang anggota
Jemaat Pantekosta. Penentuan sampel atau responden termasuk perbedaan jumlah sampel dalam
penelitian perbandingan menurut saya sangat berpengaruh terhadap jastifikasi hasil penelitian atau
dengan kata lain akan sulit untuk mengambil keputusan hasil penelitian. Hal ini secara tidak
langsung diakui oleh peneliti sebagaimana diungkapkan dalam kesimpulan artikel ini yaitu sebagai
berikut: Although it is difficult to compare findings from Study 1 and Study 2 directly, a comparison
can be made across groups for the intrinsic religiosity measure in Study 1 and the intrinsic
measure, personal faith, in the Study 2.
Hal lain paling mendasar dalam suatu penelitian menurut saya adalah metodologi dan alat
analisis atau metode analisis yang digunakan. Dalam artikel atau penelitian ini tidak ditunjukan atau
dijelaskan dengan jelas mengenai metode analisis yang digunakan. Oleh karena itu, menurut saya,
ini juga adalah merupakan kelemahan dalam penelitian ini.
Terlepas dari beberapa kelemahan di atas, namun penelitian ini telah membuktikan beberapa
hal sebagaimana terungkap dalam hasil penelitiannya yaitu sebagai berikut: dimensi religiusitas
berbeda yang berhubungan dengan kesejahteraan. Tiga dari variabel religiusitas menunjukkan
asosiasi yang konsisten dengan kesejahteraan, sedangkan dua tidak. Tiga dimensi yang
berhubungan (keyakinan pribadi, keterlibatan gereja, dan ortodoksi) dengan keyakinan agama
pribadi, komitmen, dan keterlibatan, dan mungkin bahwa dimensi religiusitas semacam ini hanya
relevan untuk mencapai kesejahteraan psikologis. Dua dimensi lainnya (kesadaran sosial dan

106
Kesehatan Mental
pengetahuan agama) tidak memberikan ukuran religiusitas pribadi dalam arti yang sama. Bahkan,
akan ada kemungkinan nonreligius masih memiliki tingkat pengetahuan agama dan sikap positif
terhadap keterlibatan gereja dalam masalah-masalah sosial. Hal ini menimbulkan kekhawatiran
seperti apa sebenarnya yang dimaksud dengan religiusitas dan apa ruang lingkup yang seharusnya.
Sebelumnya kami telah berpendapat bahwa arti dalam hidup, meskipun sangat relevan dengan
keyakinan agama, dapat dicapai dengan cara nonreligius dan lebih luas dari dimensi religiusitas.
Isu-isu konseptual memerlukan klarifikasi.
Hasil lain disebutkan bahwa arti-penting agama bagi kelompok mempengaruhi kekuatan dan
ruang lingkup pergaulan. Ibu memiliki korelasi positif kecil dengan kepuasan hidup. Tetapi orang
yang lanjut usia, agama telah meningkat arti-penting, yang memiliki korelasi positif moderat
dengan kepuasan hidup dan Katolik positif menunjukkan pola yang serupa dengan orang tua,
sementara Pantekosta, dengan orientasi mereka yang lebih intrinsik, memiliki hubungan yang lebih
kuat dengan semua tiga ukuran.

References

Andrews, F.M., & Withey, S.B. (1976). Social indicators of wellbeing. New York: Plenum.
Baird, R.M. (1985). Meaning in life: Discovered or created? Journal of Religion and Health, 24,
117-124.
Battista, J., & Almond, R. (1973). The development of meaning in life. Psychiatry, 36, 409-427.
Bergin, A.E. (1983). Religiosity and mental health: A critical reevaluation and meta-analysis.
Professional Psychology: Research and Practice, 14, 170-184.
Bergin, A.E., Masters, K.S., & Richards, P.S. (1987). Religiousness and mental health reconsidered:
A study of an intrinsically religious sample. Journal of Counseling Psychology, 34, 197-
204.
Bergin, A.E., Stinchfield, R.D., Gaskin, T.A., Masters, K.S., & Sullivan, C.E. (1988). Religious
life-styles and mental health: An exploratory study. Journal of Counseling Psychology,35,
91-98.
Bolt, M. (1975). Purpose in life and religious orientation. Journal of Psychology and Theology, 3,
116-118.
Chamberlain, K. (1988). On the structure of subjective and well-being. Social Indicators Research,
20, 581-604.
Chamberlain, K., & Zika, S. (1988). Measuring meaning in life: An examination of three scales.
Personality and Individual Differences, 9, 689-596.
Coleman, s., Kaplan, J., & Downing, R.D. (1975). Life cycle and loss-the spiritual vacuum of
heroin addiction. Family Process, 25, 5-23.
Crandall, J.E., & Rasmussen, R.D. (1975). Purpose in life as related to specific values. Journal of
Clinical Psychology, 31, 483-485.

107
Kesehatan Mental
Crumbaugh, J.C., & Maholick, L.T. (1964). An experimental study in existentialism: The
psychometric approach to Frankl’s concept of noogenic neurosis. Journal of Clinical
Psychology, 20, 200-207.
DeVogler-Ebersole, K.L., & Ebersole, P. (1985). Depth of meaning in life. Psychological Reports,
56, 303-310.
Diener, E. (1984). Subjective well-being. Psychological Bulletin, 95, 542-575.
Diener, E., Emmons, R.A., Larsen, R.J., & Griffin, S. (1985). The Satisfaction with Life Scale.
Journal of Personality Assessment, 49, 71-75.
Donahue,M.J. (1985). Intrinsic and extrinsic religiousness: Review and meta-analysis. Journal of
Personality and Social Psychology, 48, 400-419.
Dufton, B.D., & Perlman, D. (1986). The association between religiosity and the Purpose in Life
Test: Does it reflect purpose or satisfaction? Journal of Psychology and Theology, 14, 42-
48.
Ellison, C.W. (1983). Spiritual well-being: Conceptualization and measurement. Journal of
Psychology and Theology, 11, 330-340.
Frankl, V. (1959). Man’s search for meaning. London: Hooder & Stoughton.
Frankl, V. (1967). Psychotherapy and existentialism. New York: Simon & Schuster.
Ganellen, R.J., & Blaney, P.H. (1984). Hardiness and social support as moderators of the effects of
life stress. Journal of Personality and Social Psychology, 47, 156-163.
Harlow, L.L., Newcomb, M.D., & Bentler, P.M. (1986). Depression, self-derogation, substance use,
and suicide ideation: Lack of Purpose in life as a mediational factor. Journal of Clinical
Psychology, 42, 5-21.
Hilty, D.M., Morgan, R.L., & Burns, J.E. (1984). King and Hunt revisited: Dimensions of religious
involvement. Journal for the Scientific Study of Religion, 23, 252-266.
Hood, R.W. (1973). Forms of religious commitment and intense religious experience. Review of
Religious Research, 15, 29-36.

2. Ritual Agama dan Kesehatan Mental


Penelitian lintas-budaya ritual agama yang biasanya merujuk kepada perspektif sosial
dimana ritual upacara keagamaan diperiksa melalui lensa teori seorang fungsionalis. Adanya
pengecualian untuk pendekatan ini ditemukan dalam karya Scheff (1979), sosok yang lebih dari 1
dekade memprakarsai perdebatan tentang nilai emosional ritual dari sudut pandang rasa terharu dan
pengurangan kecemasan. Menurut Scheff, ritual memungkinkan adanya pengakuan atas gangguan
emosi dalam lingkungan sosial serta sanksi yang menyediakan batas aman dimana untuk
menghidupkan kembali, mengalami rasa sakit, dan penderitaan emosi. Pembebasan perasaan dalam
membalikkan kecenderungan terhadap penindasan dengan memfasilitasi pengakuan dan ekspresi
menyakitkan, takut, sedih, atau memalukan.

108
Kesehatan Mental
Teori Scheff tentang ritual pembersihan merupakan konsep yang terkemuka dalam
menjauhkan emosional. Hasilnya, Scheff menentang bahwa ritual menawarkan bentuk pembebasan
dari rasa haru dengan menciptakan kondisi dimana peserta dapat menjadi aktif dengan melibatkan
ekspresi perasaan sambil menjauhkan dirinya dari intensitas pengalaman emosional. Kesenjangan
emosi dapat diwujudkan dalam peran ganda yang mengasumsikan bahwa individu baik sebagai
peserta maupun sebagai pengamat dalam suatu upacara keagamaan. Pemecahan yang mengarah
pada suatu respon yang bertentangan sebagai peserta adalah pada orang yang percaya pada saat
yang sama atau pada orang yang sedang ragu. Oleh karena itu, Scheff menyimpulkan bahwa ritual
doa berfungsi sebagai jarak pada komunikan sehingga membuat hal ini terjadi baik antara individu
maupun pengamat. “selama komunikan baik beriman maupun kafir berada dalam komunikasi
dengan makhluk ghaib”. Sementara itu interpretasi Scheff tentang kesenjangan emosi yang
menawarkan perspektif menarik tentang ritual dan emosi. Bab ini menyajikan pemahaman
alternative tentang hubungan antara ritual, katarsis dan kesehatan mental. Sebagai sebuah proses
interaktif, ritual melibatkan peserta dalam perilaku yang memperkuat hubungan keterkaitan yang
signifikan kepada orang lain. Subjek yang menjadi lampiran tersebut bisa jadi merupakan pribadi
ilahiyah, pemimpin spiritual, komunitas agama atau seluruh masyarakat. Namun, ada rasa
keterkaitan yang memfasilitasi respon katarsis yang melalui emosi rasa sakit dapat di bawah pada
kesadaran dan kenangan atau mengungkapkan untuk pertama kali.
Kembali ke contoh Scheff tentang doa dan nilai katarsis dari upacara agama melalui
hubungan interpersonal antara komunikan dan dewa. Dibandingkan dengan keraguan dan
emosional, keduanya memiliki keterkaitan ilahiyah, supernatural, dan sebagai ritual yang signifikan
yang member kekuatan potensi untuk menimbulkan emosi yang luar biasa yang kemudian diakhiri
dengan tindakan yang nyata dalam aktualisasi ketaatan beragama. Dalam kerangka ini, interaktif,
analisis, lintas budaya, ritual dan katarsis akan disajikan melalui penggambaran data antropologi
dan teori sosial psikologis, rasa malu, kesedihan, kemarahan, yang akan diuji melalui upacara
pengakuan ritual, berkabung dan konfortasi.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa Scheff menentang ritual yang menawarkan bentuk
pembebasan dari rasa haru dengan menciptakan kondisi dimana peserta dapat menjadi aktif dengan
melibatkan ekspresi perasaan sambil menjauhkan dirinya dari intensitas pengalaman emosional.
pemahaman alternative tentang hubungan antara ritual, katarsis dan kesehatan mental. Sebagai
sebuah proses interaktif, ritual melibatkan peserta dalam perilaku yang memperkuat hubungan
keterkaitan yang signifikan kepada orang lain, keraguan dan emosional, keduanya memiliki
keterkaitan ilahiyah, supernatural, dan sebagai ritual yang signifikan yang memberi kekuatan
potensi untuk menimbulkan emosi yang luar biasa yang kemudian diakhiri dengan tindakan yang
nyata dalam aktualisasi ketaatan beragama. Sementara itu interpretasi Scheff tentang kesenjangan
emosi yang menawarkan perspektif ritual dan emosi, hal ini sangat bergantung pada pemahaman
seseorang tentang bagaimana proses ritual yang memiliki kesempurnaan ritual supranatural.
Ritual memang bagian dari ajaran agama. Ritual itu penting, dimana kita bisa menafikan
ritualitas dalam malaksanakan agama. Tetapi ada aspek yang tidak kalah penting yaitu aktualitas.

109
Kesehatan Mental
Aktualitas dalam beragama berarti mengejawantahkan nilai-nilai ajaran agama dalam kehidupan
sehari-hari.
Scheff menyimpulkan bahwa ritual doa berfungsi sebagai jarak pada komunikan sehingga
membuat hal ini terjadi baik antara individu maupun pengamat. “selama komunikan baik beriman
maupun kafir berada dalam komunikasi dengan makhluk ghaib”. Seorang muslim seharusnya
mengaktualsiasikan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Ibadah dalam Islam tidak hanya untuk
dikerjakan, tetapi juga harus diimplementasikan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari.
Kesalehan tidak hanya berupa kesalehan ritual hubungan mansusia dengan Tuhannya, tetapi juga
kesalahan sosial hubungan manusia sesama manusia dan makhluk hidup lainnya.

Malu dan Pengakuan


Malu mungkin merupakam sesuatu yang sangat meresap pada emosi manusia dan
merupakan unsur intrinsik dalam pemahaman tentang nilai ritual sebagai katarsis. Dalam membahas
tentang pentingnya rasa malu dalam pengembangan kepribadian dan hubungan sosial di tengah-
tengah masyarakat barat, Giddens (1984) mencatat tingginya pevalensi, istilah yang berhubungan
dengan rasa malu saat mereka berada dalam kursus bahasa sehari-hari. Ia mengamati bahwa malu
akan mengancam pondasi harga diri dan beberapa komentar bahwa “komponen motivasi berasal
dari kepribadian anak dan orang dewasa yang umumnya menghindar dari kecemasan dan
pengokohan harga diri melawan ‘banjir melalui’ rasa malu dan rasa bersalah. (Giddens, 1984. p 55-
57).
Rasa malu dan rasa bersalah memiliki lintas budaya yang sangat relevan, itu terbukti melaui
tatacara yang menginformasikan berbagai sistem agama. Dari sebuah suku, dipraktekkan seekor
kambing hitam sebagai ritual pengakuan dosa umat katolik. Universalitas pengakuan ritual telah
diamati oleh Reik (1959) yang merasakan dalam diri manusia adanya suatu “keharusan untuk
mengakui” (hal. 180), yang dapat meringankan beban penderitaan. Seperti perspektif pada ritual
yang menunjukkan bahwa harga diri dan penerimaan merupakan inti dari tindakan pengakuan.
Tujuannya adalah untuk mengurangi rasa malu dan kebencian terhadap diri sendiri yang menyertai
persepsi dari khilaf dan dosa.
Di Hunchol, meksiko selatan, pengakuan layaknya api yang berkobar, api suci di mana
semua dosa dilemparkan. Berikut. La Barre (1964) menggambarkan pengakuan dosa seksual dalam
persiapan untuk sebuah kunjungan: Setiap wanita menyiapkan pada setiap rumah sehelai benang
strip daun kelapa dengan simpul berpasangan. Dia membawa benang ke kuil dan berdiri di depan
kobaran api sambil menyebutkan nama mereka satu per satu kemudian melemparkan kabel pada api
untuk di bakar. Dikatakan bahwa tidak ada bentakan keras dari pengakuan ini jika tidak maka pria
tidak akan menemukan sebuah pabrik hikuli tunggal. Orang-orang juga tidak merasa ganjil saat
mereka pergi bersama mengingat dosa-dosa mereka dan di kamp tertentu mereka berbicara kepada
arah angin dan disertai hembusannya, kepada pemimpin yang akan dibakar di dalam kobaran api.
(Hal. 41).
Yang lebih umumnya lagi, dari pengakuan telah ditemukan di kalangan penduduk asli
Amerika di Amerika Serikat sebagaimana dicontohkan dalam upacara pengakuan dosa dari

110
Kesehatan Mental
Ojibway yang menyatakan dosa-dosa mereka secara terbuka di hadapan seluruh masyarakat. Pada
awal abad keduapuluh, Skinner (1914) mempersiapkan tabungan financial khusus untuk upacara
pengakuan dosa: Ini dulunya adalah kebiasaan untuk menyatakan pengakuan kepada publik perihal
hubungan seksual yang tidak sah pada interval. Beberapa laki-laki, diberi hak dalam mimpi untuk
memanggil, mengumpulkan orang bersama-sama di penginapan di mana mereka berada. Pertama
para orang tua kemudian para pemuda dan kemudian wanita. Sebuah batu yang diibaratkan
semangat besar hadir dan ditempatkan di tengah-tengah lantai untuk membuat satu kesungguhan.
batu itu mendengar perkataan mereka dan bencana melanda semua pendusta. Pria yang tidak
mengatakan kebenaran itu pasti akan mati terbunuh pada perang antar budaya dikalangan mereka
berikutnya.
Demikian pula, Hari Raya Pendamaian Yahudi dirayakan dengan cepat komunal selama dua
puluh empat jam disertai dengan pelayanan keagamaan di mana anggota jemaat bersama-sama
bertobat dari perbuatan yang salah pada tahun sebelumnya. Pengakuan dosa dibacakan dengan
keras dan bersamaan, dalam pengakuan tersebut mereka menekankan tanggung jawab bersama dari
komunitas Yahudi. Beberapa kali ditampilkan dalam ibadah, para peserta bangkit dan berkata
kepada Allah :
Kami telah berdosa terhadapMu dengan menjadi orang yang keras hati.
Dan kami telah berdosa terhadapMu dengan berbicara sembarangan.
Kami telah berdosa terhadapMu baik secara terbuka maupun secara rahasia.
Dan kami telah berdosa terhadapMu melalui lisan yang ofensif.
Kami telah berdosa kepadaMu melalui pikiran kotor.
Dan kami telah berdosa terhadapMu melalui pengakuan kosong
(Harlow, 1978, hal 407).
Umumnya, pengakuan semacam ini melibatkan ekspresi kolektif dari dosa, yang
menciptakan kesadaran salah paham. Efeknya adalah untuk mengurangi lebih jauh rasa isolasi yang
melekat pada perasaan malu. Kami menyarankan penggunaan inklusif ini tidak ada satu orang lebih
atau kurang yang jauh dari dosa. Dalam ritual publik, hal ini telah dibahas dalam semua upacara
pengakuan dosa. Pengungkapan melalui upacara meningkatkan ekspresi katarsis emosi oleh
ekisternalisasi rasa bersalah dan rasa malu yang mungkin akan berbalik ke arah dalam diri. Oleh
karena itu, upacara pengakuan menjadi salah satu sarana untuk melepaskan penderitaan
diinternalisasi penderitaan emosional. Dalam cara yang sama, ritual publik berkabung memberikan
struktur ritual di mana perasaan duka dan kesedihan secara terbuka mengakui dan divalidasi dalam
sebuah komunitas agama yang mendukung.
Sungguh beruntung orang-orang yang memiliki rasa malu. Islam telah memberikan tempat
yang mulia bagi perasaan malu. Simaklah beberapa hadits berikut: Salim bin Abdullah dari
ayahnya, mengatakan bahwa Rasulullah saw lewat pada seorang Anshar yang sedang memberi
nasihat (dalam riwayat lain: menyalahkan) saudaranya perihal malu. (Ia berkata, “Sesungguhnya
engkau selalu merasa malu”, seakan-akan ia berkata, “Sesungguhnya malu itu membahayakanmu.”)
Lalu, Rasulullah saw. bersabda, “Biarkan dia, karena malu itu sebagian dari iman.” (Shahih

111
Kesehatan Mental
Bukhari). Karena sesungguhnya rasa malu itu punya tempat, dan rasa malu yang baik itu pasti kan
membawa kebaikan bagi pemiliknya.
Reik berperspektif pada ritual yang menunjukkan bahwa harga diri dan penerimaan
merupakan inti dari tindakan pengakuan. Tujuannya adalah untuk mengurangi rasa malu dan
kebencian terhadap diri sendiri yang menyertai persepsi dari khilaf dan dosa. Orang-orang dengan
sifat pemalu secara naluri menyimpan kesadaran kalau diri mereka terlewatkan dari orang lain. Sifat
pemalu biasanya membuat seseorang kehilangan kesempatan, kurang mendapat kesenangan dan
terkucil dari hubungan sosial. Sifat pemalu dapat membawa banyak kerugian. Tapi bagi orang yang
memiliki sifat ini, tak perlu berkecil hati, karena pada dasarnya ada banyak cara untuk mengusir
jauh-jauh sifat yang merugikan ini. Sebenarnya, formula dari rasa malu terdiri dari ‘terlalu berpusat
pada diri sendiri’ dicampur dengan rasa gugup. Rasa malu adalah sebuah kombinasi dari kegugupan
sosial dan pengkondisian sosial. Ini dulunya adalah kebiasaan untuk menyatakan pengakuan kepada
publik perihal hubungan seksual yang tidak sah pada interval. Dalam kebanyakan kasus, emosi
yang memuncak dalam bersosialisasi membuat orang menanggapi berbagai kejadian dengan rasa
takut. Bila kita kembali kepada hadits Rasulullah di atas yang mengatakan rasa malu adalah
manifestasi dari iman, maka hanya orang-orang yang imannya menancap kuat dan tumbuh yang
memiliki tingkat sensitivitas rasa malu yang sangat tinggi.

Kesedihan dan Upacara Berkabung


Studi tentang upacara berkabung telah sebagian besar dikaitkan dengan investigasi
antropologi ke dalam fungsi sosial dari upacara kematian. Dalam kerangka ini ritus komunal untuk
orang mati telah dijelaskan dalam hal solidaritas kelompok dan interaksi yang disimbolkan dengan
proses berkabung (Mandelbaum, 1959). Dibandingkan dengan pendekatan fungsionalis, penekanan
yang jauh lebih sedikit telah ditempatkan pada nilai psikologis dari upacara berkabung, meskipun
penelitian dokumen yang intens ekspresi kesedihan sering menyertai aspek-aspek sosial dari ritual
keagamaan untuk orang mati.
Di antara COCOPA, seorang penduduk asli Amerika Budaya, Kelly (1949) melaporkan
bahwa, pada pengumuman kematian, anggota keluarga masuk ke dalam masa berduka di mana
mereka menangis, meratap dan menjerit hampir sampai ke titik kelelahan sempurna. katarsis rilis
tersebut, yang terganggu dengan lagu upacara dan tari, dapat dilakukan selama dua hari sebelum
kremasi almarhum. Ungkapan duka melalui ritual seperti ini melibatkan pertukaran individu dalam
membuka perasaan mereka. Menurut Pincus (1974), ini memberikan kontribusi bagi kesehatan
mental peserta yang dinyatakan mungkin menderita akibat efek dari penolakan dan "kemiskinan
pribadi" yang lebih nampak pada kebudayaan represif . Dalam hal ini, tidak adanya ritual berduka
dapat menyebabkan penolakan norma-norma budaya dan sifat pemberontak di mana penderitaan
seseorang mendapat respon melalui perlakuan yang keras dan dengan sikap acuh tak acuh (Gorrer,
1965).
Bagian dari nilai katarsis dari ritual berduka yang terkandung dalam aspek-aspek berkabung
yang memfasilitasi identifikasi korban dengan penderitaan almarhum. COCOPA ini misalnya,
menganalisis sebab kematian sebelum membakarnya dengan melibatkan harta benda dalam sebuah

112
Kesehatan Mental
upacara kremasi rumit. Masa penguburan Katolik memberikan asosiasi yang sama dengan orang
mati melalui representasi simbolis dari penyaliban. Jackson (1959) menjelaskan identifikasi antara
pelayat katolik dengan cara ini :
Dalam upacara ritual orang mengidentifikasi dirinya (sendiri) dengan Yesus. Seorang
individu yang telah mati (almarhum) (pemuka agama) yang terlibat dalam suatu ritus yang
melibatkan baik pikiran dan tindakan. Bersama dengan orang tersebut, ia memiliki penerimaan
agama sosial pada saat yang sama memiliki khasiat pribadi sehingga menjadikan kondisi aman bagi
perasaan yang mendalam. Sejak perang dunia II, upacara peringatan untuk Hari Raya Pendamaian
dalam tradisi Yahudi mengingatkan para peserta tidak hanya kehilangan orang yang mereka cintai
tetapi juga kematian enam juta orang Yahudi dalam Holocaust. Sebuah kutipan dari layanan ini
berbunyi sebagai berikut:
Wahai Tuhan penuh kasih, perdamaian yang besar di hadapanMu kini tengah berlindung di antara
yang kudus dan yang murni untuk diri kami sekalian, saudara laki-laki, perempuan dan anak-anak
dari rumah Israel yang dibantai dan dibakar. memori Mei silam, membuat mereka perpegang teguh
pada kebenaran dan kesetiaan inspirasi dalam hidup. Semoga jiwa mereka terjaga sampai pada
datangnya kehidupan selanjutnya. (Harlow. 1978.p. 691).
Setiap Tahun, identifikasi pelayat Yahudi dengan almarhum mengasumsikan pribadi serta
dimensi sosial sebagai pengingat dari Holocaust yang kemudian menimbulkan emosi yang
mendalam disertai kesedihan dan kesedihan kolektif. Melalui ritual berkabung, sambungan simbolis
yang secara kontekstual merupakan pelepasan emosi, menciptakan sikap tegas terikat dengan
mereka yang telah meninggal. Melalui ikatan emosional dengan almarhum, perasaan putus asa dan
kerinduan yang dinyatakan sebagai “kematian merupakan perpisahan akhir”. Perasaan takut, serta
kesedihan, menyampaikan respon individu untuk takut akan kematian. Hal ini dibuktikan dalam
prevalensi mitologi dan keyakinan yang mengelilingi nasib yang tidak diketahui oleh orang-orang
yang telah meninggal. Dengan demikian, ritual berkabung menyediakan kerangka kerja untuk
mengatasi rasa takut dan kesedihan dengan memperbanyak amal baik untuk memastikan
memberikan perasaan aman dan tenang pada jiwa. Dalam tradisi Kristen, tindakan pencegahan
tersebut ditemukan dalam penyelenggaraan upacara terakhir, sedangkan agama Hindu
membutuhkan perhatian besar dalam membebaskan jiwa untuk reinkarnasi. Di Kota di India,
seorang anak muda melakukan pembakaran jenazah secara kremasi yang seolah-olah semua
anggota masyarakat lainnya dianggap najis. Kebiasaan ini memastikan bahwa roh tidak akan
berlama-lama dan menyebabkan kerusakan bagi yang hidup, dan juga akan menemukan bagian-
bagian yang aman bagi dunia di luar kehidupan jasmani (Mandelbaum. 1959).
Ritual berkabung bertujuan untuk mengurangi kecemasan melalui pengenaan ritual
seremonial yang mengatur interaksi dengan almarhum. Pengaruh katarsis dengan demikian
ditingkatkan dalam situasi di mana perlindungan dan keamanan menginformasikan kerangka
relasional dari proses ritual. Dalam ekspresi ritual keprihatinan, kemarahan dan keselamatan sangat
signifikan sebagai pelepasan permusuhan yang berpotensi merugikan diri sendiri dan orang lain.
Dengan demikian, kemarahan ritual yang telah dipelajari secara ekstensif jauh lebih sedikit

113
Kesehatan Mental
dibandingkan upacara pengakuan dosa atau berkabung yang menawarkan wawasan ke dalam proses
katarsis dari perspektif hubungan kekuasaan konflik dan seremonial.
Dengan demikian, ritual berkabung menyediakan kerangka kerja untuk mengatasi rasa takut
dan kesedihan dengan memperbanyak amal baik untuk memastikan memberikan perasaan aman dan
tenang pada jiwa, umumnya kesedihan akan berkurang dengan sendirinya seiring berjalannya
waktu. Namun pada beberapa orang, kesedihan tetap bertahan meskipun peristiwa yang
menyebabkannya sudah lama terjadi. Orang yang menderita kesedihan, merasa sangat sedih dan
terus teringat dengan peristiwa penyebabnya, seolah-olah peristiwa itu baru saja terjadi.
Orang yang menderita kesedihan tidak bisa merasakan indahnya hidup, selalu murung,
mengurung diri, tidak semangat bekerja, mudah sakit, dan mengalami berbagai masalah fisik atau
emosi lainnya. Tidak jarang, banyak penderita kesedihan menjadi pemabuk atau pecandu narkoba.
Beberapa gejala lain adalah: Banyak orang yang menderita kesedihan merasa hidupnya sudah
berakhir. Bahkan tidak jarang yang mengira dirinya sudah gila karena dia tidak bisa mengendalikan
perasaanya sendiri. Apabila kita mengalami kesedihan yang mendalam sehingga kita tidak punya
semangat hidup seperti dulu. Janganlah berputus asa..! Rokok, alkohol, dan narkoba bukanlah
obatnya. Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk bangkit, salah satunya adalah hipnoterapi.
Melalui ritual berkabung, sambungan simbolis yang secara kontekstual merupakan
pelepasan emosi, menciptakan sikap tegas terikat dengan mereka yang telah meninggal. Melalui
ikatan emosional dengan almarhum, perasaan putus asa dan kerinduan yang dinyatakan sebagai
“kematian merupakan perpisahan akhir”.
Kehidupan di dunia merupakan permainan dan senda gurau. Ada kalanya menang ada
kalanya kalah. Susah dan senang silih berganti. Senangnya merupakan kesenangan yang menipu,
sedihnya merupakan kesengsaraan sementara. Itulah dinamika kehidupan di alam fana. Sungguh
berbeda dengan kehidupan sejati dan abadi di akhirat kelak nanti. Barangsiapa senang, maka ia akan
selamanya senang.

4. Ekspresi Ritual Kemarahan


Penelitian menunjukkan bahwa kemarahan, katarsis ekspresi emosi bertentangan dalam
kebanyakan katarsis. Spesifiknya, ketika target permusuhan berada dalam hubungan yang kurang
baik (marah) kepada individu (Tavris, 1982). Ketika kemarahan dinyatakan oleh seseorang dalam
posisi kurang kuat, pengaruh katarsis dikurangi dengan kecemasan yang mengelilingi perasaan
takut akan pembalasan. Selanjutnya, karena asosiasi kemarahan dengan agresi, manfaat katarsis
pelepasan mungkin dapat dikurangi dengan ketegangan yang mengelilingi ekspresi marah secara
terbuka, karena kesulitan yang menjadi ciri katarsis pelepasan kemarahan, tindakan ritual agresi
memberikan interaksi yang terstruktur di mana permusuhan menyatakan akan dikendalikan oleh
batas-batas ritual seremonial yang menengahi hubungan sosial dari kekuasaan di antara anggota
masyarakat yang terlibat dalam ekspresi upacara kemarahan terhadap anggota masyarakat yang
lebih kuat. Dalam karyanya pada Ritual dan proses, Turner menjelaskan panjang lebar Festival Holi
di India, sebuah ritual musim semi yang didedikasikan untuk Lord Krishna di mana aggress lemah
terhadap yang kuat. berikut mengilustrasikan ini ritual dari pembalikan peran : Siapakah wanita

114
Kesehatan Mental
yang sedang tersenyum ketika dipukuli tanpa ampun? Mereka adalah Brahman Jat kaya dan petani
desa. Dan siapakah mereka orang-orang yang bersemangat, istri-istri desa "memikirkan dengan baik
melalui sistem intercaste nyata dan fiksi kekerabatan. Istri dari "pasangan itu tengah bercanda
seorang pria, dia lalu dihapus dalam aturan hormat ekstrim, tetapi keduanya bergabung sebagai ibu
manusia, istri-istrinya "ayah adik laki-laki". Dalam salah satu komplotan rahasia revolusioner dari
"istri" yang memotong semua garis yang lebih kecil dan link. Orang paling berani dalam
batalionnya terselubung sebenarnya istri petani rendah kasta lapangan-buruh, pengrajin atau-
menials para selir yang membantu korban. "Pergilah dan panggang roti!" Goda seorang petani,
menghasut penyerangnya. "Apakah Anda ingin beberapa benih dari saya?" Teriak korban lain
tersanjung, pedih di bawah pukulan, tapi berdiri di tempatnya. “Brahman enam pria di usia lima
puluhan, sosok yang dijadikan pilar masyarakat desa, tertatih-tatih di masa lalu dan terengah-engah
dalam penerbangan dari staf kuartal dikerahkan oleh tukang sapu Bhangin besar”. (Turner, 1969,
hal.186). Menurut turner (1969) ritual tersebut katarsis karena mereka membersihkan masyarakat
dari "struktural menimbulkan 'dosa’ (hal. 185) melalui pelanggaran norma legitimasi yang
memungkinkan ketidak berdayaan untuk melampiaskan amarah mereka dari permusuhan dengan
orang-orang yang menindas dan menyiksa mereka. Pada saat yang sama, yang kuat harus
mempertahankan serangan fisik dan verbal sosial mereka.
Dalam pendekatan yang agak berbeda untuk pembalikan daya ritual, wallance (1966)
membahas istilah Saturnalia ritual, yakni ritual pemberontakan yang melanggar norma kesopanan
sosial. Dalam budaya Zuni, misalnya, badut memainkan peran seremonial penting. Dalam golongan
misionaris Katolik. Norbeck (1961) menyediakan akun ini sebagai ritual pura-pura. Meskipun
Wallance mengusulkan bahwa ritual pemberontakan jenis ini lebih sekuler dibandingkan agama
murni. Interpretasi yang dimilikinya gagal dalam mengambil bagian (peran) spiritual sebagai badut
dalam tradisi amerika (Cameroon, 1981). Sebagai anggota masyarakat yang menyatakan sebuah
kebenaran dan menghadirkan kebijakan terhadap suku bangsa. Contoh yang disebutkan disini,
yakni kebijakan tentang komunikasi melalui perasaan terhina dan kemarahan yang telah dialami
oleh orang-orang pribumi yang budaya dan warisan leluhurnya telah hilang nilainya dan dirusak
oleh koloni.
Upacara penyembuhan yang ditemukan dikalangan golongan spiritual feminis di United
States masih menawarkan perspektif lain dari ritual kemarahan dan ekspresi haru terhadap
pembalasan dan sikap ketidakramahan. Dalam pergerakan ini, kaum wanita yang melakukan
penyalahgunaan fisik dan seksual menemukan kekuatan dalam pusat ketuhanan sebagai upacara
penyembuhan dari pembalasan terhadap pelanggaran melalui aksi serangan. Korban pemerkosaan
mendeskripsikan pembagian sifat ketidakramahan dalam cara berikut :
Disaat kita melempar telur seraya berteriak bahwasanya saya tengah merasakan kemarahan
yang sebenar-benarnya, sangat cepat dan saya menagis dan melihatnya disana datang dengan wanita
lain. Dan ini terasa seperti sesuatu yang dapat kamu raih dan sentuh. Sungguh kondisi yang
menyerukan keadaan. Saya dapat melihat rasa sakit seorang wanita dan merasakan sesuatu yang
sama antara rasa sakitnya dan rasa sakit saya. Saya menebak disana ada dua elemen, perasaan

115
Kesehatan Mental
marah dan perasaan itu timbul kepermukaan dengan sangat cepat. Dan perasaan yang lebih besar
yang pada umumnya dimiliki oleh wanita. Dan kita perlu untuk mendapatkannya.
Dalam ritual penyembuhan, peserta melaporkan informasi ketegangan dan kegelisahan yang
meningkat akibat kehadiran orang-orang yang memiliki pengalaman emosi. Juga, dalam status
menyatakan upacara yang dideskripsikan oleh Turner dan Wallace, peserta menerima
“permohonan/izin” untuk merasakan kebencian dan kemarahan tanpa konsekuensi ketakuatan atau
sesuatu yang sifatnya murahan. Katarsis tersebut terjadi akibat emosi yang dibenarkan dalam
struktur ritual yang membolehkan serangan tanpa ketakutan akan kerugian yang nyata. Melalui aksi
ritual ini pihak korban menerima kekuasaan yang besar dari pelaku.
Sebagai contoh saran ritual, emosi marah, lebih cenderung menjadi ritual yang diekspresikan oleh
sebagian anggota masyarakat yang mengalami penurunan kekuatan dan dominasi. Aksi katarsis
demikian menjadi makna untuk meniru kenyataan opresif hubungan sosial sebagai aksi ritual dari
kekuatan yang menyatakan pengurangan moment dan efek ilmu psikologi dari strata sosial.
Sementara beberapa ulama berpendapat bahwa masyarakat industri kontemporer menderita
akibat tidak adanya ritual keagamaan (Mandelbaum. 1959: klapp, 1969: Goffman 1971.). Penting
bagi mereka untuk menunjukkan bahwa pandangan-pandangan tersebut tidak memperhitungkan
prevalensi praktek ritual antar budaya kelompok modern seperti Amerika Serikat. Di Afrika
Amerika, Hispanik, dan populasi penduduk asli Amerika, ritual dan upacara keagamaan terus
memberikan identitas sosial dan hubungan emosional untuk anggota masyarakat yang kehilangan
haknya dan terasingkan dari masyarakat. Aspek katarsis tradisi revivalis di gereja hitam di Amerika
Serikat sangat jelas dalam pengalaman Angelou (1969), yang menggambarkan efek dari pertemuan
jasad dan rohani: Semua orang menghadiri pertemuan dalam upacara rohani. Anggota toity-hoity
Gunung Sion, Gereja Baptis berbaur dengan anggota intelektual dari Afrika dengan menggunakan
Methodist Episkopal, Methodis Episkopal Sion, dan orang-orang pekerja sederhana dari piscopal
Methodist Kristen. Mereka tergabung dalam kebenaran dari keeksklusifan kaum miskin yang
terinjak. Meskipun whitefolks punya uang dan kekuasaan, segregasi dan sarkasme serta rumah yang
besar, sekolah-sekolah, halaman rumput seperti karpet, dan buku. Itu lebih baik untuk menjadi
figure lemah lembut dan rendah, diludahi dan disalahgunakan, dan akan menghabiskan kekekalan
dalam api neraka. Tidak seorang pun akan mengakui bahwa orang-orang Kristen dan amal
perbuatan, memikirkan penindas mereka, berpaling selamanya. (Hal. 103-111). Dalam doa-doa para
jemaat African American, kemarahan penindasan dan subordinasi terbantu dengan kepercayaan
pada Tuhan yang adil dan benar yang akan menghukum orang fasik dan menebus umat yang
beriman. Hubungan antara status sosial dan praktik ritual sehingga menjadi kesimpulan atas
pertanyaan Goffinan bahwa "dalam ritual masyarakat kontemporer dilakukan untuk berdiri tegap
dan untuk entitas supernatural di mana-mana di peluruhan" (1971, hal 63). Sebaliknya pendekatan
yang lebih pluralistik terhadap studi budaya modern menunjukkan bahwa bagi perempuan dan etnis
minoritas dan rasial, ritual keagamaan tetap menjadi kendaraan penting bagi pelepasan emosi yang
dinyatakan mungkin akan ditolak dan ditekan oleh budaya yang dominan.
Setiap orang yang benar-benar percaya pada keberadaan Allah, yang sungguh-sungguh takut
kepada-Nya, dan bersandar pada kitab yang telah diturunkan-Nya, tidak akan pernah sanggup

116
Kesehatan Mental
mengambil segala bentuk tindakan yang bisa menyakiti orang-orang yang tak bersalah dan tidak
bisa membela diri. Karena itulah, orang yang melaksanakan tindak terorisme dan kekerasan atas
nama Islam, tidak bisa dikatakan sebagai kelompok agama.
Pesan sesungguhnya dari sebuah agama atau sistem pemikiran lainnya acapkali
diselewengkan oleh mereka yang menamakan diri sebagai pengikutnya, atau ditafsirkan secara
keliru. Hal tersebut berlaku untuk Yudaisme maupun Kristen. Para tentara Perang Salib, sebagai
contoh, adalah orang-orang Kristen Eropa yang berangkat dari Eropa pada akhir abad ke-11 dengan
tujuan membebaskan Tanah Suci. Mereka mungkin berangkat dengan tujuan agama, tapi nyatanya
mereka menyebarkan ketakutan dan kebiadaban ke mana pun mereka pergi.
Kebiadaban mereka, yang menyalah tafsirkan agama Kristen, yang merupakan agama cinta
kasih dan tentunya tidak memberikan ruang untuk kekerasan, jelas sama sekali tidak ada
hubungannya dengan agama sejati sama sekali. Tidak boleh dilupakan bahwa pada akar semua
gerakan-gerakan menyimpang, baik yang dibahas dalam penelitian ini maupun yang tidak, terdapat
kenyataan bahwa orang-orang seperti itu telah berpaling dari akhlaq agama dan telah dibesarkan
tanpa pengetahuan yang benar tentang agama. Akhlaq yang umum pada agama Islam, Kristen, dan
Yahudi amat bertentangan dengan sistem Dajjal, yang dibangun di atas kekerasan dan kebiadaban.
Pada akar agama terdapat cinta, perhatian, dan belas kasih. Allah telah memerintahkan kita untuk
memperlakukan sesama dengan adil, tenggang rasa, pengertian, belas kasih, dan rasa hormat. Lebih
jauh lagi, manusia diwajibkan bersikap seperti itu tanpa memandang agama, bahasa, ras, atau jenis
kelamin dari orang yang dihadapinya. Karena itulah, mustahil terdapat kekerasan di dalam
masyarakat tempat akhlaq agama berlaku. Akhlaq agama merupakan satu-satunya sistem yang
dapat membimbing manusia ke arah kedamaian dan keamanan
Dalam beberapa keterangan tentang kelompok dan organisasi yang menganggap kekerasan
sebagai hal yang normal dan perlu. Tidak seorang pun akan mengakui bahwa orang-orang Kristen
dan amal perbuatan, memikirkan penindas mereka, berpaling selamanya. Tujuannya adalah
mengungkap sistem ideologi Dajjal, yang memperdaya kelompok-kelompok ini hingga
menganggap kekerasan sebagai pemecahan masalah, apa pun pahamnya. Informasi yang diberikan
ini amat penting dari sudut pandang penggambaran rumitnya sistem, yang saat ini begitu meluas di
dunia.
Banyak orang mungkin membayangkan bahwa Ku Klux Klan melakukan sebagian besar
serangan dan penindasan terhadap orang berkulit hitam hanya pada 1920-an dan 1930-an, tapi
kenyataan itu sudah masuk keranjang sampah sejarah di zaman modern ini. Kelompok Klan masih
hidup. Saat ini, di seluruh Amerika Serikat, terdapat banyak sekali gereja Ku Klux Klan, bahkan
dengan nama yang berbeda, dan banyak organisasi rasis yang terkait dengan ajaran-ajaran gereja
tersebut. Gereja dan organisasi yang terkait dengannya itu tidak hanya bermusuhan dengan orang
berkulit hitam, tetapi juga memusuhi semua ras bukan Eropa, terutama muslimin yang tinggal di
Amerika, dengan memercayai perlunya suatu kerja sama dalam perjuangan untuk melawan ras-ras
tersebut. "Perjuangan" tersebut meliputi pembentukan satuan-satuan bersenjata.
Dalam rangka mencegah pencemaran seperti itu, ras lainnya tidak boleh diizinkan hidup di
wilayah ras kulit putih. Pemikirannya adalah bahwa ras lain tidak punya hak untuk setiap bentuk

117
Kesehatan Mental
kesempatan yang dinikmati oleh ras kulit putih. Ras-ras ini dianggap sebagai hama yang mencoba
mencemari kemurnian dan keunggulan ras kulit putih, dan mereka percaya bahwa segala tindakan
yang perlu harus dilakukan untuk melawannya. Pandangan Klan inilah yang menjadi dasar dari
serangan-serangan yang dilakukan terhadap ras lain di Amerika. Pada akar pemikiran ini terdapat
kebencian dan agresi, dan bukannya cinta, tenggang rasa, dan musyawarah.
Survei yang dilakukan terhadap mahasiswa Asia menunjukkan tidak adanya hubungan
emosi positif dengan penurunan kadar stres atau depresi. Hal ini terlihat berbeda dengan orang
Eropa dan Amerika yang justru menunjukkan adanya kaitan emosi positif terhadap penurunan kadar
stres dan depresi sehingga lebih ekspresif dalam mengungkapkan kebahagiaan. Studi ini melibatkan
633 mahasiswa asal Asia, Amerika-Asia dan Eropa-Amerika. Penelitian ini untuk melihat perilaku
ketika mengalami stres dan depresi, seberapa sering memiliki suasana hati yang sedih, merasa tidak
berharga atau perubahan tidur dan nafsu makan. Temuan ini menunjukkan bahwa orang-orang Asia
menafsirkan dan memiliki reaksi emosi positif yang berbeda pada kesehatan mentalnya. "Orang
Asia beranggapan kebahagiaan yang muncul adalah sinyal sesuatu yang buruk akan terjadi
selanjutnya, dan mereka percaya rasa bahagia tersebut akan cepat berlalu," ujar Janxin Leu, seperti
dikutip dari MedIndia: Kurangnya pengaruh emosi positif terhadap ekspresi bahagia pada orang
Asia diduga karena sebagian besar orang Asia selalu berpegangan pada prinsip Yin dan Yang, yang
menanamkan keseimbangan alami untuk hal baik dan buruk. Kondisi ini pula yang turut
mempengaruhi orang Asia untuk sulit mengekspresikan kebahagiaan dan pikiran positifnya. "Jadi
terapi yang mengandalkan emosi dan berpikir positif pada orang barat mungkin tidak akan cocok
digunakan untuk orang Asia dan bisa saja membuat pasien merasa lebih buruk," ungkap Leu.
Sebagai analisis lintas-budaya, studi ritual agama dan kesehatan mental mencakup pengkajian
praktek keagamaan di seluruh dunia, serta terdapat pula dalam ragam budaya Amerika Serikat.
Penilaian tersebut menyarankan bahwa upacara keagamaan memainkan peran penting dalam
mengurangi kecemasan dan isolasi sebagai emosi yang mengakui, menyatakan, dan perspektif
tentang katarsis serta menekankan hubungan antara pelepasan perasaan dan hubungan sosial
interaktif yang menjadi ciri ritual berkabung, pengakuan, dan konfrontasi. Manfaat psikologis dari
ritual sehingga muncul dari aspek relasional tindakan upacara yang memvalidasi dan memberikan
ekspresi emosional dengan realitas pengalaman manusia. Menurut La Barre (1964), ritual
pengakuan antara penduduk asli Amerika tidak dipaksakan oleh otoritas misionaris tetapi
berasaskan adat budaya ini.
Ritual itu intinya terletak pada pelaksanaannya dengan tepat. Sehingga lama kelamaan orang
cenderung memfokuskan pada Teknik Ritual. Teknik pelaksanaan ritual itu umumnya rumit dan
panjang. Sehingga kemudian diperlukan orang-orang khusus untuk menjadi pemimpin ritual. Dalam
posisi pemimpin ibadah yang rutin (dan seringkali rumit) inilah, lalu diperlukan tempat dan jabatan
khusus, muncullah kasta Imam (golongan Lewi, pandhita, pendeta, imam, brahmana, ulama, dll).
Kemudian ada spesialisasi, ada yang menjadi penyanyi, ada yang sebagai pendoa, atau ada yang
melaksanakan korban. Belakangan muncul spesialisasi pengkhotbah. Belakangan, banyak dari para
imam yang tidak lagi hanya menjadi pemimpin ritual, tetapi mengarahkan perhatian pada teologi.

118
Kesehatan Mental
References

Angelou, M. (1969). I know why the caged bird sings. New York: Bantam Books.
Cameron, A. (l981). Daughters of copper woman. Vancouver. BC: Press Gang Publishers.
Darlington, H.S. (1937). Confessions of sins. Psychoanalytic Review. 24.l50-164.
Giddens, A. (1984). The constitution of society. Berkeley. CA: University of California Press.
Goffman, E. (1971). Relation in public. New York: Basic Books.
Gorer, G. (1965). Death grief and mourning in contemporary Britain. London: The Crosset Press.
Harlow, J.(Ed.).(1978). Mahzor for Rosh Hashanah and Yom Kippur. NewYork:The Rabbinical
Assembly.
Jackson, E. ( I959) Grief and ritual. In H. Feifel (Ed.). The meaning of death (pp. 213-218). New
York: McGraw-Hill.
Jacobs, J .L. (1989). The effects of ritual healing on female victims of abuse: A study of
empowerment and transformation. Sociological analysis. 50, 265-279.
Kelly, W. H. (1949). Cocopa attitudes and practices with respect to death and mourning.
Southwestern Journal of Anthropolgy. 5 , 151- I65.
Klapp, O.E. (1969). Collective research for identity. New York: Holt. Rinehart & Winston.
La Barre, W. ( 1964) .Confession as a cathartic therapy in American Indian tribes. In .A. Kiev(Ed.).
Magic, faith, and healing (pp. 36-49). Glencoe, IL: Free Press.
Mandelbaum, D.G. (1959). Social uses of funeral rites. In H. Feifel (Ed.). The meaning of death
(pp. 189-217). New York: McGraw-Hill.
Norbeck, E.(1961). Religion in primitive society. New York:Harper & Row.
Pincus, L.(1974). Death and the family; The importance of mourning. New York: Vintage.
Reik, T. (l959).The compulsion to confess. New York:Farrar, Straus, &Cudahy.
Scheff, T.J. (1979). Catharsis in healing ritual, and drama. Berkeley. CA: University of California
Press.
Skinner , A. ( l9 14). Political organizations cults, and ceremonies of the Plains Ojibway and Plains
Cree Indans. Anthropological Papers, American Museum of Natural History. 11.540
Tavris, C. (l982). Anger: The misunderstood emotion. New York: Simon &Schuster .
Turner, V.W. (1969). The ritual process. Chicago: Aldine.
Wallace, A.F. C. ( 1969). Religion: An anthropological view: New York: Random House.

119
Kesehatan Mental

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abd.Salam Abd Gaffar, Muqaddimah fi al-Sihhah al-Nafsiyah Teheran: Dar an-Nahdah


al’Arabiyah, 1977

Abdullah, Yatmin, Studi Islam Kontemporer Cet.I; Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2006.

Abdullah, M. Amin, dkk., Metodologi Penelitian Agama, Pendekatan Multidisipliner, Yogyakarta:


Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006.

--------------------------.,Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural. Yogyakarta; IAIN Sunan
kalijaga-Kurnia Kalam Semesta, 2002

Abdullah, Taufik dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar Cet.II;
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 1990

Aesculapsius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001

Agus, Bustanuddin, Agama dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, Jakarta:
Raja Grapindo Persada, 2006

A.H. Dahlan P. Asdie, Migren dan Sakit Kepala. Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II. Jakarta: FK
UI, 1999

Arsyad Z, Syahbuddin S. Aspek Psikosomatis Obesitas. Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II.
Jakarta: FK UI, 1999

A. Wiramihardja, Sutardjo, Pengantar Psikologi Abnormal Bandung: PT. Refika Aditama, 2005

Al-Qoussy, Usus al-Sihhah al-Nafsiyah Kairo: Dar al-Nahdah al-Misriyah, 1970

Budihalim S, dan Sukatman D. Psikosamatis Dalam : Ilmu Penyakit Dalam jilid II, Jakarta: FK UI
Jakarta, 1999

120
Kesehatan Mental

-----------, Sindrom Fungsional pada traktus Digestivus. Dalam : Ilmu Penyakit Dalam jilid II,
Jakarta: FK UI 1999

-----------, Psikofarmaka dan Psikosamatik. Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II, Jakarta: FK
UI,1999

Burhanuddin Yusak,, Kesehatan Mental Bandung: CV Pustaka Setia, 1999

Budihalim S, Aspek Psikosomatis Ulkus Peptik. Dalam : Ilmu Penyakit Dalam jilid II Jakarta: FK
UI ,1999

Connolly, Peter (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama (Yogyakarta: LKiS, 2002.

Darajat, Zakiah, Kesehatan Mental Cet.XVIII; Jakarta: CV.Haji Masagung, 2005

--------------------, Ilmu Jiwa Agama Cet.XVIII; Jakarta: Bulang Bintang, 2005

D. Hendropuspito. Sosiologi Agama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984

Djamari, Agama dalam Perspektif Sosiologi Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988

Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah Cet IV; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000

E. Koesma,Rismiyati., “Konsep Manusia Menurut Psikologi Behavioristik: Kritik dan Kesejalanan


dengan Konsep”

Fausiah, F &  Widury, J. 2005.Psikologi Abnormal Klinis Dewasa Jakarta : Universitas Indonesia,
2005

Frank.H, Robert, What Price the Moral High Ground ? Ethical Dilemmas in Competitive
Environments (Oxford: Princeton University Press, 2004

Grant JE. "Co-occurrence of personality disorders in persons with kleptomania: a preliminary


investigation". J. Am. Acad. Psychiatry Law 32 (4): 2004

Hawari, Dadang, Al-Quran Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa Cet.XI; Jakarta: PT.Dana
Bhakti Prima Yasa, 2004

121
Kesehatan Mental
Kadri. Aspek Psikosomatis. Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II Jakarta: FK UI, 1999

Kartini, Kartini, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental Dalam Islam Cet.VI; Bandung, CV
Mandar Maju, 1989

-------------------, Patologi Sosial 3 Cet.II; Bandung: Mandar Maju, 2006

Kaplan.H.I, Sadock. B.J, Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis, edisi
ketujuh, jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara,1997

Kaplan, Saddock,Grebb, Sinopsis Psikiatri. Jilid II. Edisi VII. Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1997

Kapita Selekta Kedoktera, Edisi ketiga, jilid 1. Jakarta: Media

Langgulung, Hasan Langgulung, Teori-Teori Kesehatan Mental Cet.I; Jakarta: Radar Jaya Offset
Jakarta, 1986

L. Panggabean, Pengembangan Kesehatan Perkotaan ditinjau dari Aspek Psikososial. (makalah).


Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat Departemen Kesehatan, 2003.

Magarius, al-Sihhah al-Madrasiyah wa al- ‘Amal al-Madrasi Kairo: al-Nahdah al-Misriyah, 1974

Mansyur A, dkk. Gangguan Psikosomatis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran. Jakartta: Media
Aesculapius FK UI 1999

Maslow, The Further Reaches of Human Nature New York: The Viking Press, 1972

Maramis. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press,1980

Mudzhar, M. Atho, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek Cet.III; Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1998

-----------------------.,Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi, Pidato Pengukuhan Guru


Besar IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 15 September 1999

Mudjadid, Budihalim S., Kedokteran Psikosamatis. Dalam : buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid
II edisi IV Jakarta: FK UI Jakarta 2006

Mujib, Abdul, Fitrah & Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis, Jakarta: Darul
Falah,1999.

122
Kesehatan Mental
Nasution H.N. Anoreksia Nervosa. Dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid II. Jakarta: FK UI,1999

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam Cet V; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.

Nevid, J.S., Rathus, S.A., & Greene, B. 2003. Psikologi Abnormal jilid 1. Jakarta : Erlangga, 2003

Olson, Carl, Theory and Method in the Study of Religion; a Selection of Critical Readings Canada:
Thomson Wadsworth, 2003

Pals, Daniel L. (ed), Seven Theories of Religion New York: Oxford University Press, 1996

Pedoman Diagnosis Dan Terapi Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan RSUD
Dr. Soetomo., 1994

Rusdi Maslim (editor) Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJ-III, 1993

Raymond F.Paloutzian Crystal L.Park, Handbook of The Psychology of Religion and Spirituality
New York: The Guilford Press, 2005

Sukatman D, Budihalim S, Biran S.I.  Aspek Psikosomatis Gangguan Pernafasan. Dalam : Ilmu
Penyakit Dalam jilid II, Jakarta: FK UI ,1999

-----------------------------------------------, Aspek Psikosomatis Penyakit Reumatik Dalam Ilmu


Penyakit Dalam jilid II, Jakarta: FK UI,1999

Sumintradja, Elmira N. “Konsep Manusia Menurut Psikoanalisa: Eksplansi, Kritik dan Titik Temu
dengan Psikologi Islami” dalam Metodologi Psikologi Islami Cet. I; Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000

Sururin, Ilmu Jiwa Agama Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004

Suryabrata, Sumardi, Psikologi Kepribadian Cet.II; Jakarta CV. Rajawali, 1987

Supratinya, Mengenal Perilaku Abnormal, Yogyakarta: Kanisius.


LAB/UPF Ilmu Kedokteran Jiwa, 1995

Syaikh Ibnn Baz, Ibn Utsaimin, Fatawa Al-Ilaj bil Qur’an wa Sunnah, Ar-Ruqa ma Yata’allahqu
Biha Al-Lajnah al-Daimah

123
Kesehatan Mental
Syamsu, Yusuf, Mental Hygiene Perkembangan Kesehatan Mental dalam Kajian Psikologi dan
Agama Bandung: Pusta Bani Quraisy ,2004

Umam Kh, Metodologi Penelitian Agama: Teori dan Praktis Jakarta: Grafindo Persada, 2006

W.F.Maramis, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Cet.VI; Surabaya: Airlangga University Press, 1992

Winter "What is Depression", Leadership, 1982, Vol. III, No. 1

W.Martin,Mike, From Morality to Mental Health Virtue and Vice in a Therapeutic Culture
Oxford: Oxford University Press, 2006

KESEHATAN MENTAL

Oleh
Prof.Dr.H.M.Sattu Alang, MA

124
Kesehatan Mental

2011

KATA PENGANTAR

Buku kesehatan mental ini adalah lanjutan dari buku Kesehatan Mental dan Terapi Islam
yang sudah dicetak beberapa kali. Paparannya memuat tentang ruang lingkup kesehatan mental
yang diawali dari pandangan para pakar kesehatan mental tentang pengertian, ciri serta sejarah
lahirnya ilmu kesehatan mental sebagai salah satu disiplin ilmu psikologi, khususnya psikologi
Islam. Juga dikemukakan sebagian mengenai macam-macam gangguan jiwa dan penyakit jiwa serta
bagaimana menangani setiap kasus kejiwaan tersebut lewat terapi agama dan pendekatan medis.
Buku ini bertujuan untuk membantu para dosen dan mahasiswa jurusan Bimbingan dan
Penyuluhan Islam pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi, dalam mengenal dan memahami
beberapa masalah kejiwaan serta upaya menuntun para klien untuk menemukan kembali jati dirinya
dalam artian sehat jasmani dan rohani yang dalam bahasa agama “hasanah fi al-Dunyah wa al-
Akhirah”. Buku ini juga memuat muatan-muatan sebagian silabi mata kuliah Kesehatan Mental dan
mata kuliah Psikoterapi Islam bagi mahasiswa semester IV (empat) dan VI (enam) jurusan
Bimbingan Penyuluhan Islam pada Fakultas Dakwah dan Komunikai. Juga ditambah dengan
berbagai pendekatan dalam memahami agama.Hal ini penting untuk memperkaya dan memperluas
wawasan mahasiswa dan pembaca lainnya tentang pentingnya pemahaman agama bagi diri
seseorang. Pada bagian terakhir kami sajikan beberapa pandangan tentang agama dan kesehatan
mental (versi dunia barat). Hal ini penting agar wawasan tentang kesehatan mental baik menurut
pandangan dari kalangan pakar muslim mapun dari para pakar yang menggeluti agama dan
kesehatan mental di dunia barat.
Bahan-bahan atau referensi dalam buku ini, banyak bersumber dari buku-buku para pakar
psikologi Islam dan para pakar kesehatan mental serta bahan-bahan yang diperoleh lewat internet.
Contoh kasus yang dipaparkan bersumber dari; majalah, surat kabar dan internet. Kemudian diolah
dan dianalisa apa adanya serta didukung ayat-ayat al-Quran dan berbagai kasus-kasus yang kami
tangani beberapa tahun.
Buku ini juga, saya hadirkan kepermukaan sebagai hasil motivasi dari research fellow ke
luar negeri (Jerman) dalam peningkatan mutu dosen Pendidikan Tinggi Islam dalam meningkatkan
wawasan intelektual dan budaya meneliti dan menulis bagi para dosen, utamanya yang sudah

125
Kesehatan Mental
meraih gelar doktor dan profesor. Olehnya itu, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada
bapak Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Islam Departemen Agama Republik Indonesia
Prof.Dr.Muhammad Ali, MA, Direktur Pendidikan Tinggi Islam Prof.Dr.H.Machasin, MA. Dan
kepala Kasubdit. Pendidikan Tinggi Islam Dr.Muhammad Zein ,MA. Juga kepada Rektor UIN
Alauddin Makassar (Prof.Dr.H.A.Qadir Gassing, HT.MS) yang mencanangkan seribu buku pada
masa kepemimpinannya
Ucapan terima kasih saya haturkan juga kepada Prof.Dr.H.Ahmad M.Sewang, MA, selaku
Pembantu Rektor Bidang Akademik bersama jajarannya yang berkenan menerbitkan buku ini. Juga
kepada Dra.Hj.Sitti Trinurmi, M.Pd.I yang bersedia mengoreksi/mengedit bahasa buku ini,
khususnya bahasa yang digunakan dalam penulisan. Saya pilih sebagai editor dengan pertimbangan
beliau adalah dosen Psikologi dan Bahasa Indonesia.
Semoga buku ini bermanfaat bagi dunia pendidikan dan masyarakat, serta saya
mengharapkan masukan-masukan dan perbaikan demi terwujudnya sebuah buku yang layak.

Makassar, 25 Oktober 2011

.Prof.Dr.H.M.Sattu Alang, M.A

126
Kesehatan Mental
DAFTAR ISI
Bagian Pertama
Ruang Lingkup Kesehatan Mental
A. Pengertian Kesehatan Mental
B. Sejarah Kesehatan Mental
Bagian Kedua
Gangguan Jiwa
A. Klasifikasi Gangguan Jiwa
B. Macam-Macam Gangguan Jiwa
1. Skizofrenia.
2. Depresi
3. Kecemasan
4. Gangguan Kepribadian
5. Gangguan Mental Organik
6. Gangguan Psikosomatik
7. Retardasi Mental (Keterebelakangan Mental

Bagian Ketiga

Penyakit Jiwa

1. Pengertian Penyakit Jiwa


2. Macam-Macam Penyakit Jiwa
a. Schizophrenia
b. Paranoia
c. Manicdepressive
d. Kleptomania
e. Neurosis
f. Psikosis
3. Tanda-tanda Utama dari Penyakit Jiwa
4. Ilmuwan Islam, Penemu Pengobatan Penyakit Jiwa
5. Berbagai Pendekatan Dalam Memahami Agama
6. Agama dan Kesehatan Mental (Versi Dunia Barat)
Daftar Pustaka .

127

Anda mungkin juga menyukai