GAMBARAN UMUM
GANGGUAN MENTAL
19
20
1
M. Hamdani Bakran Adz-Dzaky, Psikoterapi dan Konseling Islam; Penerapan Metode
Sufistik, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), hlm. 215.
2
Ibid., hlm. 216.
21
gejala dan faktor atau pencetus yang bisa membuat kondisi mental menjadi
tidak sehat (terganggu) secara dini.
b) Pengertian Mental
Pengertian “mental” secara definitif belum ada kepastian definisi
yang jelas dari para ahli kejiwaan. Secara etimologi kata “mental” berasal
dari bahasa Yunani, yang mempunyai pengertian sama dengan pengertian
psyche, artinya psikis, jiwa atau kejiwaan.3
James Draver memaknai mental yaitu “revering to the mind”
maksudnya adalah sesuatu yang berhubungan dengan pikiran atau pikiran
itu sendiri.4 Secara sederhana mental dapat dipahami sebagai sesuatu yang
berhubungan dengan batin dan watak atau karakter, tidak bersifat jasmani
(badan).5
Kata mental diambil dari bahasa Latin yaitu dari kata mens atau
metis yang memiliki arti jiwa, nyawa, sukma, roh, semangat. Dengan
demikian mental ialah hal-hal yang berkaitan dengan psycho atau kejiwaan
yang dapat mempengaruhi perilaku individu. Setiap perilaku dan ekspresi
gerak-gerik individu merupakan dorongan dan cerminan dari kondisi
(suasana) mental.6
Sedangkan secara terminologi para ahli kejiwaan maupun ahli
psikologi ada perbedaan dalam mendefinisikan “mental”. Salah satunya
sebagaimana dikemukakan oleh Al-Quusy (1970) yang dikutip oleh Hasan
Langgulung, mendefinisikan mental adalah paduan secara menyeluruh
antara berbagai fungsi-fungsi psikologis dengan kemampuan menghadapi
krisis-krisis psikologis yang menimpa manusia yang dapat berpengaruh
3
Moeljono Notosoedirjo, Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan, (Malang: Universitas
Muhammadiyah, 2001), hlm. 21.
4
James Draver, A Dictionary of Psychology, (New York: Pengin Books, t.th.), hlm. 169.
5
Tim Penyusun Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi Kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 646.
6
Kartini Kartono dan Jenny Andari, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam,
(Bandung , Mandar Maju, 1989), hlm. 3.
22
terhadap emosi dan dari emosi ini akan mempengaruhi pada kondisi
mental.7
Pengertian lain “mental” didefinisikan yaitu yang berhubungan
dengan pikiran, akal, ingatan atau proses yang berasosiasi dengan pikiran,
akal dan ingatan.8 Seperti mudah lupa, malas berfikir, tidak mampu
berkonsentrasi, picik, serakah, sok, tidak dapat mengambil suatu
keputusan yang baik dan benar, bahkan tidak mempunyai kemampuan
untuk membedakan yang benar dan yang salah, yang hak dan yang batil,
antara halal dan haram, yang bermanfaat dan yang mudharat.9 Dari sini
dapat ditarik pengertian yang lebih signifikan bahwa mental itu terkait
dengan, akal (pikiran/rasio), jiwa, hati (qalbu), dan etika (moral) serta
tingkah laku). Satu kesatuan inilah yang membentuk mentalitas atau
kepribadian (citra diri). Citra diri baik dan jelek tergantung pada
mentalitas yang dibuatnya.
Kondisi individu kelihatan gembira, sedih, bahkan sampai
hilangnya gairah untuk hidup ini semua tergantung pada kapasitas mental
dan kejiwaannya. Mereka yang tidak memiliki sistem pertahanan mental
yang kuat dalam menghadapi segala problematika kehidupan atau tidak
memiliki sistem pertahanan diri yang kuat untuk mengendalikan jiwanya,
maka individu akan mengalami berbagai gangguan-gangguan kejiwaan,
yang berpengaruh pada kondisi kepribadian yang bisa mendorong pada
perilaku-perilaku pathologies.10
Kondisi mental tersebut bisa digolongkan dalam dua bentuk yaitu
kondisi mental yang sehat dan kondisi mental yang tidak sehat. Kondisi
mental yang sehat akan melahirkan pribadi-pribadi yang normal. Pribadi
yang normal ialah bentuk tingkah laku individu yang tidak menyimpang
7
Hasan Langgulung, Teori-teori Kesehatan Mental, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992),
hlm. 30.
8
C.P. Chaplin, Kamus Psikologi, terj, Kartini Kartono, (Jakarta: PT grafindo Persada,
1995), hlm. 407.
9
M. Hamdani Bakran Adz-Dzaky, op. cit., hlm. 231.
10
Kartini Kartono dan Jenny Andari, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam,
(Bandung : Mandar Maju, 1989), hlm. 6-7
23
dari tingkah laku pada umumnya dimana seorang individu itu tinggal, dan
pribadi yang normal akan menunjukkan tingkah laku yang serasi dan tepat
(adekuat) dan bisa diterima oleh masyarakat secara umum, dimana sikap
hidupnya sesuai dengan norma dan pola hidup lingkungannya. Secara
sederhana individu tersebut mampu beradaptasi secara wajar.11 Jadi
pribadi yang normal dan metal yang sehat ini bisa dirasakan pada kondisi
diri kita atau kondisi perasaan kita yang cenderung stabil, tidak banyak
memendam konflik internal, suasana hati yang tenang, dan kondisi
jasmani yang selalu merasa selalu sehat.
Sementara itu yang perlu mendapatkan perhatian dan perlu
diwaspadai oleh setiap individu ialah kondisi mental yang tidak sehat,
karena kondisi mental yang tidak sehat itu akan membentuk suatu
kepribadian yang tidak sehat pula (abnormal). Pribadi yang tidak sehat
(abnormal) ialah adanya tingkah laku seseorang atau individu yang sangat
mencolok dan sangat berbeda dengan tingkah laku umum yang ada di
lingkungannya, atau disebut juga dengan perilaku-perilaku yang
menyimpang (abnormal). Secara umum bentuk mental yang tidak sehat
yaitu secara relatif bisa dilihat pada individu jauh dari kemampuan
beradaptasi atau selalu mengalami kesulitan dalam beradaptasi, dan
memiliki ciri bersikap inferior dan superior.12 Yang menjadi barometer
setiap kelainan tingkah laku individu ialah kondisi mentalnya. Mental
yang sehat itulah yang menentukan tanggapan atas dirinya terhadap setiap
persoalan, dan kemampuan untuk beradaptasi, dan mental yang sehat
pulalah yang menentukan apakah seseorang atau individu memiliki gairah
hidup atau justru mereka pasif dan tidak bersemangat bahkan memiliki
ketakutan untuk hidup.13
Pada dasarnya untuk mengetahui apakah seseorang atau individu
sehat mentalnya atau tidak (terganggu mentalnya) tidaklah mudah diukur
atau diperiksa dengan alat-alat seperti halnya pada penyakit jasmani, akan
11
Ibid., hlm. 7
12
Ibid.
13
Zakiyah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1990) , hlm. 16.
24
tetapi yang menjadi ukuran adalah merasakan diri kita sejauh mana
kondisi perasaan kita apakah sudah melampaui batas kewajaran atau tidak
seperti, rasa bersedih, kecewa, pesimis, rendah diri dan lain sebagai. Dan
seseorang atau individu yang terganggu kesehatan mentalnya, bisa dilihat
pada tindakannya, tingkah lakunya atau ekspresi perasaannya, karena
seseorang atau individu yang terganggu kesehatan mentalnya ialah apabila
terjadi kegoncangan emosi, kelainan tingkah laku atau tindakannya.14
Dengan demikian mental ialah hal-hal yang berada dalam diri
seseorang atau individu yang terkait dengan psikis atau kejiwaan yang
dapat mendorong terjadinya tingkah laku dan membentuk kepribadian,
begitu juga sebaliknya mental yang sehat akan melahirkan tingkah laku
maupun kepribadian yang sehat pula.
Sigmund Freud memberikan definisi bahwa kepribadian yang sehat
adalah adanya keseimbangan antara dorongan-dorongan dan motif-motif
tiap bagian jiwa dalam pemuasannya. Begitu juga Arthur Gorden melihat
bahwa kemampuan mengharmoniskan dorongan-dorongan psikis dengan
realitas dengan sendirinya akan terbentuk kepribadian yang sehat dan akan
melahirkan tingkah laku yang sehat pula (normal).15
c) Pengertian Gangguan Mental
Yang dimaksud dengan gangguan adalah hal-hal yang
menyebabkan ketidak beresan (ketidakwarasan) atau ketidakwajaran
terhadap kesehatan metal atau jiwa.16
Dalam terminologi yang lain gangguan mental ialah adanya
ketidakseimbangan yang terjadi dalam diri kita, berpusat pada perasaan,
emosional dan dorongan (motif/ nafsu), yang mengakibatkan pada
ketidakharmonisan antara fungsi-fungsi jiwa, yang menyebabkan
kehilangan daya tahan jiwa, pada akhirnya jiwa menjadi labil dan
14
Ibid., hlm. 16.
15
F. Patty, dkk, Pengantar Psikologi Umum, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hlm. 189-
190.
16
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit., hlm. 202.
25
17
Zakiyah Daradjat, op. cit., hlm. 13.
18
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan¸ op. cit., hlm. 202.
19
Dadang Hawari, Al-Quran, Ilmu Kedokteran Jiwa Dan kesehatan Jiwa, (Jakarta: Dana
Bakti Primayasa, 1999), hlm.
20
Kartini Kartono dan Jenny Andari, op cit., hlm.80-81
26
21
Zakiyah Daradjat, op. cit., hlm. 33
27
22
Jamaluddin Kafie, Psikologi Dakwah, (Surabaya: Indah Surabaya, 1993), hlm. 50
23
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan¸ op. cit., hlm. 260.
24
Jamaluddin Kafie, op. cit., hlm. 50-51.
28
25
Ibid., hlm. 51.
26
Agus Sujanto, Psikologi Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 58.
27
Adams, Pokok-Pokok Ilmu Jiwa Umum,Tej, Wayan Ardhana dan Sudarsono, (Surabaya:
Usaha Nasional, 1985), hlm. 117-118.
29
28
William Gladstone, Apakah Mental Anda Sehat, terj, Jeanette M, Lesmana, dkk, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 20-21.
29
Jamaluddin Kafie, op. cit., hlm. 51-52.
30
Agus Sujanto, op. cit., hlm. 75.
30
31
H. Zuhairi dan Sardjoe, Ilmu Jiwa Umum, (Surabaya: Usaha Nasional, 1984), hlm. 9
32
Ibid., 10-11.
31
33
Ibid., 12.
34
Ibid., 13.
32
35
Jamaluddin Kafie, op. cit., hlm. 52
36
M. Dimyati Mahmud, Psikologi; Suatu Pengantar, (Yogyakarta: BPFE-
YOGYAKARTA, 1990), hlm. 163.
37
Jamaluddin Kafie, op. cit., hlm. 53.
33
38
Ibid.
34
39
M. Dimyati Mahmud, op. cit., hlm. 163.
40
Ibid., hlm. 176.
35
41
Ibid., hlm. 166.
36
42
Ibid., hlm. 168.
43
Ibid., 170
44
Ibid.
37
45
Ibid., hlm. 178
46
Ibid., 179.
38
47
Agus Sujanto, op. cit., hlm. 132-133.
39
48
Jamaluddin Kafie, op. cit., hlm. 54-55
49
Ibid.
40
bahwa kehendak atau kemauan juga tidak bisa terlepas dari apa yang
disebut dengan “hasrat” ataupun “nafsu” yang bergejolak, yakni suatu
keinginan yang kuat atau meluap-luap, yang cenderung menggebu-
gebu yang terkadang bisa mengganggu atau pikiran, perasaan, emosi
bahkan hasrat tersebut sampai menguasainya, kalau pikiran, perasaan
dan emosinya telah tertutup maka yang muncul adalah sifat
emosionalnya atau nafsunya yang begitu berkobar-berkobar, maka
tidak menutup kemungkinan perilaku atau sikap dan tindakan yang
dilakukan pasti tindakan berada diluar kontrol yang ada dalam dirinya.
Dengan demikian secara lahiriah orang tersebut mengalami gangguan
mental. Maka dari itu kita harus mampu mengatur dan mengendalikan
kehendak atau kemauan kita, jangan sampai terjebak pada hasrat dan
nafsu yang cenderung mengarahkan sikap dan tingkah laku kita pada
tindakan yang negatif. Gejala gangguan mental disini juga bisa kita
kenali atau kita deteksi sendiri lewat kehendak atau kemauan kita.
5) Sikap dan Tingkah Laku
Tingkah laku adalah gerak gerik, aktivitas, tindakan, sikap dan
perbuatan atau gerakan yang nampak pada individu, yang merupakan
manifestasi dari gejala-gejala kejiwaan yang ada dalam diri manusia.
Secara sederhana tingkah laku bisa dikatakan sebagai bentuk yang
kongkrit dari jiwa itu sendiri, maka dari itu tingkah laku sifatnya
mudah diamati, dikenali, ditafsirkan, diramalkan, dan mudah
dimengerti atau mudah difahaminya. Dengan demikian tingkah laku
bisa disebut sebagai bentuk ungkapan jiwa yang tidak bohong, karena
tingkah laku yaitu sebagai manifestasi atau ekspresi dari jiwa baik
yang disadari maupun yang tidak disadari.50
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Freud dengan teori
analisisnya yang mengatakan bahwa perilaku menyimpang ataupun
bentuk gangguan mental yang lain yaitu, bahwa sumber utama konflik
dan gangguan mental itu merupakan manifestasi dari dimensi kejiwaan
50
Ibid., hlm. 48.
41
yang berada pada dimensi alam bawah sadar.51 Begitu juga J.B.
Watson penganut faham psikologi behaviorisme, yang dikutip oleh
Drs. M. Dimyati Mahmud, mengatakan bahwa sumber utama konflik
atau gangguan-gangguan mental lain itu ialah akibat dari sesuatu yang
disadari atau juga kondisi lingkunganlah yang mempengaruhinya
tingkah laku seseorang.52 Jadi tingkah laku ialah manifestasi dari
kondisi kejiwaan yang tidak bisa ditipu dan segala bentuk konflik
ataupun problem yang terjadi pada diri kita atau seseorang itu bisa kita
amati lewat sikap dan tingkah laku yang diwujudkannya.
Sebagai mana penjelasan tersebut di atas, bahwa tingkah laku
ialah merupakan ekspresi dan manifestasi dari gejala-gejala hidup
kejiwaan yang ada dalam diri manusia tersebut. Maka segala sikap
tindakan yang dilakukan tidak bisa lepas dari kondisi kejiwaannya
karena, manusia itu terbentuk atas dua dimensi yakni dimensi jasmani
dan dimensi rohani, yang mana keduanya saling mempengaruhi.
Tingkah laku manusia mempunyai arah dan tujuan yaitu untuk
memenuhi suatu kebutuhan hidupnya baik sebagai mahluk individual,
sosial, dan mahluk berketuhanan. Kebutuhan manusia merupakan
dorongan dari kehendak, atau kemauan, pikiran, emosi dan perasaan,
dimana semuanya secara totalitas bekerjasama untuk menentukan
tingkah laku yang tepat (positif) yang harus dilakukan oleh manusia
untuk memenuhi semua kebutuhan.53
Dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tingkah
laku manusia menurut tinjauan psikologis ialah beberapa macam
aktivitas, kegiatan dan tindakan manusia yang tampak secara riil
(obyektif dan terbuka) sebagai bentuk penampakan (ekspresi/
51
Segimund Freud, Psikoanalisis Sigmund Freud, terj, Ira Puspitorini, Ikon (Yogyakarta:
Teralitera, , 2002), hlm. 324.
52
M. Dimyati Mahmud, Psikologi; Suatu Pengantar, op. cit., hlm. 15-16.
53
Jamaluddin Kafie, op. cit., hlm. 48-50.
42
54
Ibid.
43
tertuju pada obyek yang jelas dan selalu muncul berulang-ulang kali.
Kecenderungan merupakan sifat watak kita yang disposisional
(bakat/ketetapan) yakni bukan merupakan tingkah laku itu sendiri,
akan tetapi merupakan sesuatu yang memungkinkan akan
menimbulkan suatu bentuk tingkah laku dan mengarah pada obyek
tertentu. Dari kecenderungan inilah yang akan membentuk suatu
sikap atau tingkah laku yang mengarah pada satu kebiasaan, bahkan
bisa disebut sebagai bentuk watak yang ada dalam diri seseorang.
Dari kecenderungan-kecenderungan yang ada dalam diri seseorang,
bisa kita lihat sementara karakter yang ada dalam diri individu atau
seseorang tersebut.
8. Nafsu: adalah kecenderungan yang kuat, hasrat yang bergolak,
keinginan yang meluap-luap yang sangat hebat sekali, sehingga bisa
mengganggu keseimbangan mental dan fisik. Nafsu inilah yang
terkadang menghilangkan pertimbangan akal sehat dan
menyingkirkan semua hasrat yang lain. Tingkah laku yang negatif
biasanya lebih condong dikuasai oleh dorongan-dorongan nafsu
negatif. Dan nafsu negatif biasanya lebih mendominasi sikap
maupun tingkah dari pada nafsu positif. Nafsu inilah yang terkadang
bisa menjerumuskan tingkah laku pada hal- hal yang negatif kalau
tidak mampu mengendalikan atau mengatur nafsunya, sehingga
nafsu juga bisa mendorong atau membentuk pada suatu bentuk
tingkah laku atau karakter pada diri seseorang.
9. Kemauan, adalah dorongan kehendak yang terarah pada tujuan-
tujuan hidup tertentu, dan dikendalikan oleh pertimbangan akal budi.
Jadi dalam kemauan itu ada kebijaksanaan akal dan wawasan dan
wawasan serta ada kontrol dan persetujuan dari pusat kepribadian.
Dari sini akan timbul dinamika dan aktivitas manusia yang diarahkan
pada tujuan akhir. Kemauan merupakan sifat dasar manusia yang
bertujuan untuk mengaktualisasikan bakat atau seluruh potensi yang
ada dalam dirinya. Dengan adanya kemauan ini sehingga suatu sikap
45
55
Kartini Kartono, Psikologi Umum, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm. 99-110.
47
kelainan yang ada dalam diri kita, baik secara fisik maupun secara
psikis. Secara psikis ada semacam ketidakwajaran pada fungsi intelek
yang semakin tidak efisien, terkadang ada semacam masalah dalam fisik
yang tidak kita ketahui asal penyebabnya, tiba-tiba kita merasa sakit.
Gejala psikis, yang merupakan indikasi dari kondisi mental yang
tidak sehat yang bisa menimbulkan terjadinya gangguan mental, dengan
ciri-ciri diantaranya yaitu:
1) Perasaan sering gelisah, menderita insomnia (kesulitan akan tidur),
mudah tersinggung, sering mimpi buruk, mudah marah, cenderung
bersikap agresif, dan mudah garang (kurang perhatian pada daerah
sekitarnya).
2) Lekas jadi cemas, sering bingung, sering lupa, suka menyendiri,
benci terhadap keramaian, kehilangan nafsu makan dan seksual, dan
cenderung kehilangan kontrol diri, seperti suka ceroboh, sering
berbuat dengan tergesa-gesa dan lain-lain.
3) Sering terjadi disorientasi waktu, kadang-kadang berperilaku
immoral, terkadang lupa terhadap diri sendiri, terkadang berbicara
ngelantur dan tidak jelas.
4) Sering berbuat apatis, beku emosional, perasaan sering berganti-
ganti, tidak mampu melakukan konsentrasi, ada kelesuan pada
bagian interesnya,
5) Aktivitas intelektualnya mundur dan juga kemampuan-kemampuan
lain menjadi lemah seperti tidak bisa berfikir secara cermat.
6) Merasa kesulitan dalam melakukan adaptasi atau adjustment dan
sering datang perasaan-perasaan putus asa.
7) Prestasi menurun, merasa kesulitan dalam beraktualisasi, sosialisasi,
dan komunikasi serta timbul perasaan-perasaan cepat bosan dan suka
mengumpat.
8) Tanpa disadari tiba-tiba bicara sendiri tanpa dengan obyek yang jelas
48
Dari sekian gejala yang tampak dalam diri kita sebagaimana tersebut
di atas, semua itu merupakan cerminan dari kondisi mental yang tidak sehat
(terganggu) yang dapat mempengaruhi kondisi jiwa, sehingga pada ujungnya
dapat membentuk suatu kepribadian yang tidak sehat pula.
56
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Pathologi Seks, (Bandung: Penerbit Alumni,
1985), hlm. 124-140.
57
Ibid.
49
58
Drs. Abdul Wahib, Puasa dan Kesehatan Mental, Media, Edisi, 10 th. 11/ Maret 1992,
(Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang), hlm. 57
59
Yang dimaksud dengan disability ialah keterbatasan atau kekurangan kemampuan untuk
melaksanakan sesuatu aktivitas pada tingkat personal, yaitu melakukan kegiatan hidup sehari-hari
yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup. Lih. Rusdi Maslim, Ed,
Diagnosis Gangguan Jiwa; Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III, t.th, hlm. 7.
60
Ibid.
50
61
F. Patty, dkk, op. cit., hlm. 56-57.
51
bisa kita sebut dengan istilah “potensi” dasar yang dimiliki oleh manusia
sejak ia dilahirkan. Potensi ini sedikit besar dipengaruhi oleh faktor
genetik yang dimiliki dari salah satu orang tuanya.62
Gen merupakan pembawa sifat-sifat hereditas. Jadi apakah diri
kita mempunyai kulit hitam, rambut keriting atau lurus, perawakan tinggi
atau pendek, cerdas atau kurang cerdas, periang atau pemurung, normal
atau idiot, dan sebagainya. Semua ini di tentukan oleh sifat-sifat yang ada
pada genes (gen).63 Maka dapat kita ketahui bahwa sifat-sifat dasar yang
ada pada diri kita baik lahir maupun batin telah ditentukan atau
dipengaruhi oleh gen, karena kita berasal dari bentukan sel warisan
(turunan).
Kerusakan pada gen yang bisa mengakibatkan ketidaknormalan
pada perkembangan individu baik secara fisik maupun psikis (intelektual),
berpengaruh pada kondisi mental. Kalau kita merasa kondisi fisik maupun
psikis kita mengalami ada semacam kelainan, itu akibat dari:
a) Kekurangan nutrisi (gizi), terkena infeksi dan keracunan sewaktu kita
ada dalam kandungan.
b) Sewaktu ibu mengandung, ia menderita suatu penyakit, sehingga ada
pengaruh yang buruk pada janin (foetus intra uterine). Sehingga janin
(bayi) yang dilahirkan terindikasi akan menderita toxemia, yaitu
peristiwa keracunan pada darah, sehingga mengakibatkan abnormalitas
pada sistem syaraf.
c) Terjadi keracunan pada janin (intoxication) akibat atau efek dari obat-
obat penenang yang mengandung racun, misal obat kontrasepsi anti
hamil yang sangat kuat mengandung racun, akan tetapi obat tersebut
gagal bekerja secara efektif. Atau akibat dari salah satu orang tua yang
pecandu. Sehingga mengakibatkan pertumbuhan janin dalam
kandungan tidak normal atau mengalami kerusakan pada mental dan
fisik. Dimana ini bisa mengakibatkan gejala secondary amentia dan
62
Ibid.
63
Ibid., 56.
52
feeble minded, yakni mengalami lemah ingatan pada anak, akibat janin
mengalami keracunan zat besi (plumbum; loodvergiftinging) dalam
kandungan. Sedangkan obat yang bisa merusak janin tersebut disebut
dengan istilah “teratogenik”.
d) Pada saat mengandung ibu mengalami tekanan mental, seperti trauma,
panik, sock, penuh ketakutan atau ibu sedang mengalami psikhosa
(jadi gila) atau menjadi gila disaat mau melahirkan. Kondisi ibu yang
semacam ini tidak menutup kemungkinan akan melahirkan anak yang
lemah bahkan cacat mental.
e) Pada saat ibu mengandung kandungannya terkena benturan yang
sangat keras sehingga mengenai kepala janin atau bagian vital lain. 64
Jadi tidak heran apabila ada seseorang baru umur beberapa tahun
memiliki kelainan mental seperti idiot, agresif, dan keterbelakangan
mental lain sebagainya, ini semua tak lain akibat gen yang dibawanya. Jadi
gen merupakan salah satu faktor pencetus terjadi gangguan mental.
2) Kondisi Fisik yang Tidak Normal
Kondisi fisik yang tidak normal atau seseorang yang dilahirkan
dengan kondisi fisik yang tidak normal (cacat), ketika seorang itu tumbuh
dewasa atau mulai bisa berfikir dan ketika dia mulai menyadari akan
dirinya serta keinginan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya,
misalnya bermain, sekolah, dan beraktualisai. Dengan melihat kondisi
fisiknya yang tidak normal, secara naluriah dan itu pasti akan mengalami
disintegrative dalam dirinya, yakni kondisi mentalnya akan mulai
terganggu, seperti hilangnya rasa percaya diri, tumbuhnya rasa malu,
minder dan sebagainya.65 Pada tahap perkembangan selanjutnya apabila
tidak dibekali dengan pondasi psikologis yang kuat, pasti orang yang
mengalami cacat fisik, dalam dirinya mulai tumbuh perasaan-perasaan
negatif atau terjadi konflik batin, yang pada puncaknya menganggap
dirinya tidak berarti lagi, Victor E. Frankl menyebutnya orang semacam
64
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Pathologi Seks, op. cit., hlm. 27-28.
65
Abdul Aziz El-Quussy, Pokok-Pokok Kesehatan Jiwa/ Mental, terj., Zakiyah Daradjat,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 72-76.
53
hilangnya semangat hidup. Jadi kondisi fisik yang tidak normal juga
berpengaruh besar terhadap kondisi mental kita.
3) Keluarga
Keluarga merupakan faktor internal yang kerap kali merupakan
faktor terbesar pencetus terjadinya kekalutan mental. Misal apa bila kita
sudah berkeluarga tuntutan-tuntutan yang ada seperti, pemenuhan
kebutuhan keberlangsungan hidup yang harus dipenuhi setiap hari dan
lain-lain yang ada dalam keluarga, ini pasti akan membuat diri seseorang
merasa tertekan untuk bagaimana untuk memenuhi kebutuhan itu semua.
Begitu juga tidak ada kasih sayang dari keluarga (orang tua) cenderung
membuat diri kita merasa tidak diperhatikan dan perasaan aneh lain yang
timbul dalam diri kita. Perasaan aneh ini disebut sebagai gejala
ketidakwarasaan kondisi jiwa atau ketidaksehatan mental kita. Dalam hal
ini Kartini Kartono mengungkapkan bahwa suasana institusionalia dan
interaksional dalam keluarga, yang tidak disertai dengan kasih sayang
akan mengakibatkan retardasi pertumbuhan dari segala fungsi jasmaniah
dan fungsi kejiwaan anak, terutama terjadi hambatan-hambatan pada
perkembangan inteligensi (IQ) dan emosional (EQ). Lembih lanjut ia
mengemukakan bahwa, seorang bayi yang tidak pernah mendapatkan
kasih sayang dan mendapatkan hubungan (relationship) yang wajar
(normal) dari orang tua (keluarga), itu akan berakibat pada ketidak
mampuan mengadakan hubungan dengan lingkungannya yang normal
secara permanen pada usia dewasa, dan cenderung pada tingkah laku atau
moral yang tidak wajar atau rusak/ cacat (moral defectiveness).68
Moral deficiency atau defect ialah tingkah laku individu yang
dicirikan hidupnya sela lalu delinquent yakni selalu melakukan kejahatan
(crimes). Padahal dalam dirinya tidak ada kelainan-kelainan
(penyimpangan) atau gangguan pada inteleknya. Akan tetapi kondisi
mental yang dialaminya ialah dia tidak lagi mempunyai kemampuan untuk
mengenal, mengerti, mengendalikan dan mengadakan regulasi terhadap
68
Ibid., hlm. 30.
55
74
Ibid.
58
Dalam hal ini yang dapat menjadi faktor pencetus terjadinya gangguan
mental ialah terkait dengan masalah “penyesuaian diri (adjustment)”. Hidup
dalam lingkungan baru bisa timbul perasaan-perasan seperti, canggung, malu-
malu, dan takut, apabila perasaan ini berlarut-larut dalam diri, maka yang
terjadi tak lain adalah konflik batin yang diakibatkan dari ketidakmampuan
dalam melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungannya. Dan apa bila ini
tidak diwaspadai akan mengakibatkan terjadinya gangguan mental yang lebih
parah, yakni yang awalnya neurosis menjadi psikotik.75
Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, mengungkapkan bahwa faktor yang
bisa menyebabkan terjadinya tekanan mental atau faktor pencetus terjadinya
gangguan mental, sebagian besar yaitu diakibatkan oleh adanya tekanan sosial
atau disebut dengan “stressor psikososial”, yakni apa bila seseorang tidak
mampu mengatasi dan menyikapi stressor tersebut, yang bersangkutan akan
mengalami penurunan (imunitas) sehingga kadar kesehatan yang ada dalam
diri baik fisik maupun mental terganggu, baik ringan (neurosis) maupun berat
(psychotic).
Stressor sosial adalah setiap keadaan atau kejadian yang menyebabkan
perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga orang tersebut dituntut
secara terpaksa untuk melakukan adaptasi untuk menanggulanginya. Akan
tetapi tidak semua orang mampu untuk melakukannya, sehingga timbullah
keluhan-keluhan seperti, perasaan cemas, stress, bingung, perilaku aneh,
depresi dan lain sebagainya. Perlu diketahui bahwa banyak sekali stressor
psikososial yang ada dalam kehidupan sehari-hari, dan ini semua orang
dituntut untuk bisa melakukan penyesuaian dan penyikapan, sehingga diri kita
tidak jatuh sakit, baik fisik maupun psikis.
Dari sekian banyak jenis stressor psikososial yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari, para pakar memberikan beberapa contoh seperti:
perkawinan, hubungan interpersonal, pekerjaan, kondisi lingkungan hidup
yang buruk, keuangan, hukum, politik, adat istiadat, perkembangan diri,
penyakit fisik (cacat/ cidera), keluarga, trauma, dan lain sebagainya. Dari
75
Ibid., hlm. 259-257.
59
76
Dadang Hawari, Manajemen Stres, Cemas, dan Depresi, op. cit., hlm. 3-11.
77
Ibid., hlm. 17.
78
William Gladstone, Apakah Mental Anda Sehat,op. cit., hlm. 40.
79
Dadang Hawari, Manajemen Stres, Cemas, dan Depresi, op. cit., hlm. 17-20.
80
Ibid., hlm. 17-20.
60
Dari gambaran tersebut di atas dapat dicontohkan, misal apa bila kita
mendengar berita bahwa kita akan dikelurkan dari pekerjaan (PHK) secara
spontan reaksi yang terjadi dapat digambarkan, yakni; stimulus (berita
kehilangan pekerjaan) tadi dari panca indera pendengar diteruskan melalui saraf
ke pusat emosi ari limbic System di otak, kemudian diteruskan melalui saraf pula
ke kelenjar adrenalin yang letaknya di atas organ ginjal (kelenjar suprarenalis).
Rangsangan tersebut akan bereaksi dan mempengaruhi atau mengakibatkan
produksi hormon adrenalin jantung meningkat kemudian masuk dalam
peredaran darah dan mempengaruhi jantung (berdebar-debar, tekanan darah
(tension) meninggi, asam lambung meningkat, emosi meledak-ledak dan tidak
terkendali, keluar keringat dingin dan lain sebagainya, yang jelas
mengakibatkan perubahan-perubahan pada sikap dan tingkah laku. Apabila
kejadian ini tidak disikapi dengan baik, perkembangan selanjutnya ialah lama
kelamaan akan menimbulkan terjadinya gangguan-gangguan baik pada organ
tubuh (fisik) maupun pada organ psikis (mental). seperti mengalami stres,
kekebalan atau imunitas fisik dan mentalnya menurun dan akhirnya ia bisa jatuh
sakit yang lebih parah, baik sakit fisis (fisiologis) maupun psikologis (psikis/
mental).
Steven E. Keller, dkk, dan juga Solomon sebagaimana yang dikutip oleh
Prof. DR. dr. Dadang Hawari mengungkapkan bahwa “stres psikososial akan
mengakibatkan stres psychobiologic yang berdampak pada menurunnya
61
imunitas tubuh, bila imunitas tubuh menurun maka yang bersangkutan rentan
jatuh sakit baik fisik maupun mental”.81
Mekanisme psiko-neuro-imunologi atau psiko-neuro-endokrinologi
secara sederhana dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut:
Gejala/ keluhan
81
Ibid., hlm. 13-14.
82
Ibid., hlm.20-21.
62
83
Suardiman, Menuju Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1986), hlm.
6.
63
ekstern atau dunia luar. Faktor pencetus penyakit ini biasanya penderita
memiliki sejarah hidup ataupun pengalaman hidup yang penuh dengan
kesulitan, tekanan-tekanan batin, dan peristiwa-peristiwa traumatis yang
begitu berat. Atau diakibatkan oleh faktor-faktor yang tidak pernah
menguntungkan selama bersosialisasi, berinteraksi, tidak pernah
mendapatkan kasih sayang masa kecilnya, dan tekanan-tekanan
psikososial yang lain yang tidak pernah memihak serta mengalami
kesulitan dalam mengatasi setiap problemnya. Proses pengkodisian yang
buruk terhadap mental nya tersebut, pada akhirnya menumbuhkan
berbagai macam symptom mental yang patologis, atau menimbulkan
berbagai macam bentuk gangguan mental.87
Gangguan mental tersebut (neurosis) pada umumnya berbentuk,
ketidakmampuan mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya,
ditunjukkan dengan tingkah lakunya yang abnormal dan aneh-aneh,
penderita bisanya tidak memahami dirinya sendiri, bahkan membenci diri
sendiri.88
Sementara faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya
psychoneurosis atau lebih dikenal dengan neurosis, ialah faktor-faktor
psikologis, dan kultural, yang menyebabkan timbulnya banyak stres, dan
ketegangan-ketegangan kuat yang kronis pada seseorang sehingga
pribadinya mengalami frustasi dan konflik-konflik emosional, dan pada
ujungnya menyebabkan terjadinya kelemahan mental (mental
breakdown).89
Gangguan mental juga bisa disebabkan oleh adanya kerusakan
pada anggota tubuh, misalnya kerusakan pada otak, sentral saraf, atau
hilangnya berbagai kelenjar, saraf-saraf atau anggota fisik lainnya untuk
menjalankan fungsinya/ perannya. Faktor yang menyebabkan terjadinya
kerusakan-kerusakan tersebut, sebagaimana penemuan para dokter ahli
87
Kartini Kartono dan Jenny Andari, op cit., hlm. 94-95.
88
Ibid.
89
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Pathologi Seks, op. cit., hlm. 84.
65
saraf dan hasil uji klinis, hal ini dimungkinkan karena keracunan akibat
minuman kera, obat-obatan.
Adapun faktor-faktor lain timbulnya psychoneurosis ialah:
1) Ketakutan yang terus menerus dan sering tidak rasional
2) Ketidakimbangan pribadi
3) Konflik-konflik internal yang serius, terutama sudah dimulai sejak
masa kanak-kanak
4) Lemahnya pertahanan diri (difence of mechanism) secara fisik maupun
mental
5) Adanya tekanan-tekanan sosial dan kebudayaan yang kuat yang tidak
mampu diatasinya
6) Kecemasan, tekanan batin, kesusahan yang berkepanjangan.
7) Dan lain-lain.90
Akibat dari disfungsi saraf itu yang dapat mengganggu kestabilan
mental, pada ujunganya akan membentuk suatu gejala gangguan mental
serius (akut), disebut dengan istilah “neurasthenia”.
Neurasthenia adalah bentuk psikoneurosa yang ditandai adanya
kondisi syaraf-syaraf yang sangat lemah, tanpa energi hidup, selalu terus
menerus merasa capek, lelah, tidak bergairah, energi tubuh menurun,
lemah yang hebat, disertai keluhan-keluhan pada fungsi psikis, kecemasan,
dan dibarengi perasaan-perasaan nyeri dan sakit pada sebagian tubuh
sehingga penderita menjadi malas dan segan melakukan aktivitas atau
segan melakukan sesuatu (kehilangan semangat atau gairah hidup). Dan
juga timbul perasaan cemas yang tidak bisa dibendung , yang disebut
dengan neurosa kecemasan (anxiety neurosis). Misalnya; takut mati, takut
kalau jadi gila, dan ketakutan-ketakutan lain yang tidak rasional, dan tidak
bisa dimasukkan dalam kategori phobia. Dengan gejala emosi tidak
setabil, suka marah-marah, sering dihinggapi perasaan depresi, sering
dalam keadaan excited (gelisah sekali), sering berfantasi, dihinggapi ilusi,
90
Clifford R. Anderson. MD, Petunjuk Modern Pada Kesehatan, terj. Indonesia Publising
House, (Bandung, 1979), hlm. 330.
66
93
Halusinasi ialah suatu pengamatan atau persepsi yang salah alam arti rangsang (obyek)
tidak ada tetapi orang yang mengalaminya merasa mengamati dan diyakini kebenarannya. Seperti
merasa mendengar suara tetapi tidak ada rangsang suara, melihat orang yang akan mengejar dan
ingin membunuhnya padahal pada kenyataannya tidak ada apa, dan lain sebagainya. lih M.
Dimyati Mahmud, hlm. 2565
94
Delusi adalah suatu keyakinan yang dipegang teguh meskipun itu bertentangan dengan
hal yang senyatanya, seperti penderita yakin merasa dirinya seorang presiden, raja, Tuhan (dalam
istilah psikologis disebut dengan delusion of grandeur, yakni delusi kebesaran). Istilah delusi itu
tergantung pada apa yang diyakini oleh penderita. Lih M. Dimyati Mahmud, hlm. 256
68
95
M. Dimyati Mahmud, op. cit., hlm. 253-254
69
96
Ibid., hlm. 257.
71
97
Ibid., 258
98
Kartini Kartono dan Jenny Andari, op. cit., hlm. 91.
72
99
Ibid., hlm. 91-92.