Anda di halaman 1dari 16

MASALAH KALALAH, KEWARISAN

ANAK ZINA DAN ANAK LI’AN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Fiqih Mawaris

Dosen Pengampu : Drs. H. Djejen Zainuddin, M. Pd

Disusun Oleh:

Anggi Haryanto (21.01.00.047)

Asyiqatul Lillah (21.01.00.050)

Ahmad Irman (21.01.00.052)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL HIKMAH
YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM AL-MAHBUBIYAH
JAKARTA

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita haturkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang telah
melimpahkan rahmat serta anugerah-Nya kepada kita semua, sehingga kita semua
masih bisa merasakan nikmat-Nya yang luar biasa ini. Sholawat dan salam tak lupa
kita haturkan kepada junjungan nabi kita, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam yang telah membawa kita dari zaman kegelapan hingga ke zaman terang
benderang.

Terima kasih kami ucapkan kepada Ibu Maftuhah, M.Pd selaku dosen dari
mata kuliah Pengembanagan Profesi Keguruan yang telah memberikan tugas ini
kepada kami, sehingga dengan diberikannya tugas ini, kami dapat menambah
pengetahuan serta wawasan kami terhadap mata kuliah Pengembangan Profesi
Keguruan. Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman sekalian yang
telah mendukung kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini sesuai batas
waktu yang telah ditentukan.

Kami sebagai penulis menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih
banyak kekurangan baik dari segi penyusunannya, bahasa, kata, maupun
penulisannya. Oleh karena itu kami sangat terbuka bila ada yang ingin memberikan
saran dan kritik dari semua pihak, agar pembuatan makalah ini lebih baik lagi
kedepannya.

Jakarta, 13 Juli 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii


DAFTAR ISI .....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 3
A. Pengertian Kalalah .................................................................................. 3
B. Kalalah dalam Kewarisan Hukum Islam ................................................. 4
C. Pengertian Anak Zina .............................................................................. 5
D. Pengertian Anak Li’an ............................................................................ 6
E. Hak Waris Anak Zina dan Anak Li’an .................................................... 8
BAB III PENUTUP ......................................................................................... 12
A. Kesimpulan ........................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat
berarti. Anak merupakan penyambung keturunan, sebagai investasi masa
depan, dan anak merupakan harapan untuk menjadi sandaran dikala usia lanjut.
Ia dianggap sebagai modal untuk meningkatkan peringkat hidup sehingga
dapat mengontrol status social orang tua.
Anak merupakan pemegang keistimewaan orang tua, waktu orang tua
masih hidup anak sebagai penenang dan sewaktu orang tua telah meninggal
anak adalah lambang penerus dan lambang keabadian. Anak mewarisi tanda-
tanda kesamaan dengan orang tuanya, termasuk ciri khas, baik maupun buruk,
tinggi maupun rendah, anak adalah belahan jiwa dan potongan daging orang
tuanya.
Anak adalah amanah sekaligus karunia Allah SWT, yang senantiasa
harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak
sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Orang tua, keluarga, dan
masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi
tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula
dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah
bertanggungjawab menyediakan fasilitas sarana dan prasarana bagi anak,
terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal
dan terarah.
Anak juga merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian berbagai
elemen masyarakat, bagaimana kedudukan dan hak-haknya dalam keluarga,
dan bagaimana seharusnya ia diperlakukan oleh kedua orang tuanya, bahkan
juga dalam kehidupan masyarakat dan negara melalui kebijakan-kebijakannya
dalam mengayomi anak.

1
2

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kalalah dalam kewarisan hukum islam?
2. Bagaimana hak waris terhadap anak zina?
3. Bagaimana hak waris terhadap anak li’an?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui kalalah dalam kewarisan hukum islam
2. Untuk mengetahui hak waris terhadap anak zina
3. Untuk mengetahui hak waris terhadap anak li’an
3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kalalah
Kalalah berasal dari akar kata yang tersusun kaf dan lam. Menurut Ibnu
Faris, makna dasar kata ini berkisar pada tiga hal, yaitu: “tumpul (lawan
tajam)”, “melingkari sesuatu dengan sesuatu”, dan “salah satu organ tubuh
(dada). Yang pertama, seperti ungkapan kalla as-saifu = pedang itu menjadi
tumpul, dan kalil = pedang tumpul. Yang kedua, seperti iklil yang berarti ikat
kepala atau mahkota. Dinamai demikian karena melingkari kepala. Selain tiga
makna ini, Sayyid Thanthawi, memberikan makna lain lagi, yaitu “hilangnya
kekuatan karena lelah”. Demikianlah, makna dasar dari kata kalalah.

Abu Bakar as-Siddiq mendefinisikan kalalah dengan “seseorang yang


meninggal dunia yang tidak mempunyai anak dan ayah. Pendapat ini kemudian
dianut secara luas oleh para ulama tafsir berikutnya, seperti Ibnu Arabi
(mufasir dari mazhab Maliki) dan Muhammad Husin Tabataba’i (mufaasir
Syiah). Diriwayatkan dari Umar bin Khattab, bahwa selama beberapa saat
masa kekhalifahannya, dalam masalah kalalah, ia mengikuti pendapat Abu
Bakar. Menurut Umar, kalalah adalah mayat yang tidak meninggalkan anak
dan ayah. Penafsiran ini tidak berbeda dengan yang dikemukakan oleh Ali bin
Abi Talib dan sejalan pula dengan pengertian yang ditetapkan oleh mayoritas
fuqaha yang mengatakan bahwa kalalah adalah orang yang mati tanpa
meninggalkan ayah dan anak.1

Sebagian Ulama berkata bahwa kalalah itu adalah nama orang yang
diwarisi yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai orang tua. 2 Ibnu
Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menyatakan fuqaha sependapat
bahwa yang dimaksud dengan kalalah ialah tiadanya empat golongan keluarga

1
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve, 2001).
h. 422
2
Imam Taqiyuddin Abu bakar bin Muhammad Al Husaini, Kifayatul Akhyar Fii Halli Ghayatil
Ikhtishar (Surabaya: CV. Bina Iman, 2007). h. 58

3
4

yang telah disebutkan yaitu ayah, kakek, anak dan cucu baik laki-laki maupun
perempuan.

B. Kalalah dalam Kewarisan Hukum Islam


Menurut Mazhab Syafi’i kalalah adalah keadaan seseorang meninggal
dunia tanpa meninggalkan ayah dan anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak
laki-laki terus ke bawah sampai derajat yang rendah asal masih garis laki-laki.
Dan apabila ada hanya anak perempuan atau cucu perempuan (bukan garis laki-
laki), maka peristiwa kewarisan kalalah itu belum terjadi.

Dalam pembagian harta waris kalalah Mazhab Syafi’i memberikan


beberapa contoh kasus berikut ini:
1. Seorang suami mati dengan meninggalkan ahli waris seorang istri (janda),
seorang ibu, dua anak perempuan, dan seorang saudara laki-laki sekandung.
Kasus tersebut adalah kalalah karena pewaris tidak menurunkan anak/cucu
laki-laki. Adapun pembagiannya seorang istri mendapat 1/8 = 3/24 (karena
ada anak), seorang ibu mendapat 1/6 = 4/24 (karena ada anak), dan dua
orang anak perempuan berbagi sama rata sebanyak 2/3 =16/24, sedangkan
saudara laki-laki memperoleh ashabah yaitu 1/24.
2. Seorang pewaris meninggalakan ahli waris yang terdiri atas seorang istri,
dua orang cucu perempuan dari anak perempuan, seorang ibu dan dua orang
saudara laki-laki sekandung. Menurut Mazhab Syafi’i hal itu telah terjadi
kalalah dan pembagiannya seorang istri 1/8 = 3/24 (karena ada keturunan),
ibu 1/6 = 4/24 (karena ada anak), sedangkan dua orang cucu perempuan dari
anak perempuan adalah nihil, dua orang saudara laki-laki adalah ashabah =
17/24.
3. Seorang suami meninggal dengan tidak berketurunan, sedangkan ia
meninggalkan seorang istri (janda) dan dua orang saudara seibu. Hal ini
menurut Mazhab Syafi’i telah terjadi kalalah dan pembagiannya adalah istri
1/4 = 3/12, dua saudara seibu 1/3 = 4/12, masih ada sisa bagi sebesar 5/12
yang harus diraddkan kepada dua orang saudara seibu sehingga menjadi
9/12.
5

4. Seorang suami mati dengan tidak berketurunan, tetapi meninggalkan ahli


waris seorang istri, seorang ibu dan dua orang saudara laki-laki dan
perempuan. Menurut Mazhab Syafi’i keadaan tesebut telah tejadi kalalah
karena tidak ada anak laki-laki dan ayah, dan pembagiannya istri 1/4 = 3/12,
ibu 1/6 = 2/12, dan dua orang saudara memperoleh 7/12 (saudara laki-laki
2/3 x 7/12 = 14/36 saudara perempuan 1/3 x 7/12 = 7/36).3

C. Pengertian Anak Zina


Anak zina adalah anak yang lahir dari suatu perbuatan zina yaitu
hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dalam
nikah yang sah. Meskipun anak zina itu mempunyai status hukum yang sama
dengan anak li’an yaitu sama-sama tidak sah, namun perbedaan di antara
keduanya adalah bahwa anak zina telah jelas statusnya dari awal, seperti lahir
dari perempuan yang tidak bersuami sedangkan anak li’an lahir dari perempuan
yang bersuami namun tidak di akui anak tersebut oleh suaminya.4

Dalam kitab Ahkamul-Mawaarits fil-Fiqhil-Islami disebutkan :


“Anak yang lahir karena perbuatan zina adalah anak yang dilahirkan bukan
darihubungan nikah yang sah secara syar'i atau dengan kata lain, buah dari
hubungan haram antara laki-laki dan wanita”.

Pendapat anak zina menurut ulama :


1. Menurut Hasanayn Muhammad Makluf, Anak Zina adalah Hubungan badan
(Senggama) antara dua orang yang tidak terikat tali pernikahan yang
memenuhi unsur rukun dan syarat nikah yang telah di tentukan.
2. Menurut Wahbah az-Zuhaili mencatat bahwa menurut ulama Malikiyah,
Zina adalah salah satu penghalang kewarisan di dalam ketentuan fiqh islam,
oleh karenanya seorang walad az-zina tidak bisa saling mewarisi dengan
ayahnya, meskipun ayah tersebut mengakuinya sebagai anak biologisnya.

3
Damrah Khair, masalah kalalah (Bandar Lampung: Anggota IKAPI Gunung Sugihh, 1993).
h. 25
4
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Kencana, 2012). h. 150
6

3. Menurut Mazhab Syafi’I zina adalah memasukkan zakar kedalam kemaluan


mahramnya tanpa adanya unsur syubhat dan disertai nafsu.
4. Menurut Mazhab Hanbali zina adalah perbuatan keji yang dilakukan
seseorang pada vagina atau kemaluan perempuan.

Dilihat dari pengertian yang dikemukakan oleh para ulama diatas, dapat
disimpulkan bahwa anak zina adalah anak yang lahir dari hubungan suami istri
tanpa adanya ikatan pernikahan yang sah menurut hukum Islam.

D. Pengertian Anak Li’an


Kata li’ān adalah bentuk masdar dari fi’il maḍi lā’ana (‫ )العن‬yang
berasal dari kata al-la’nu (‫ )اللعن‬yang maknanya adalah at-thardu (‫ )الطرد‬yaitu
penolakan dan al-ib’ād (‫ )االبعد‬yaitu menjauhkan. Adapun terkait dengan
definisi dan batasan makna li’ān dalam ruang lingkup fikih para ulama
memberikan redaksi yang berbeda-beda. 5

Li’an itu terjadi bila tuduhan zina yang dilemparkan oleh suami itu
dibantah oleh isteri, kemudian si suami tidak dapat mendatangkan empat saksi.
Termasuk dalam rangkaian tuduhan si suami adalah pengingkaran terhadap
anak yang dilahirkannya. Dalam konteks li’ān secara substansial lebih menitik
beratkan kepada penyangkalan anak, sehingga jika suami hanya menuduh
isterinya berzina tanpa menyangkal anak yang dikandung oleh isterinya maka
tidak dikatakan li’ān, melainkan tuduhan zina. Jadi jalur hukumnya hanya
dikenakan had saja, sedangkan yang dikandung mengikuti nasab suami, hal ini
disebabkan karena suami tidak menyangkal anak yang dikandung oleh
isterinya.

Ketentuan li’an yang menjadi acuan dalam penetapan hukum li’ān


temaktub dalam surat al-nūr ayat 6-9. Pada surah al-Nur ayat 6-7 dijelaskan
sanksi hukum terhadap orang-orang yang menuduh isterinya berbuat zina,
padahal tidak ada bagi mereka saksi-saksi yang menguatkan tuduhannya itu
selain dirinya sendiri, maka pesaksian salah seorang mereka, yaitu suami

5
Sahabuddin, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata. (Jakarta: Lentera Hati, 2007). h. 422
7

dengan empat kali kesaksian yakni bersumpah sambil menggandengkan


ucapan sumpahnya itu dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia termasuk
kelompok orang-orang yang benar dalam tuduhannya kepada isterinya itu, dan
sumpah yang kelima adalah bahwa laknat Allah atasnya, jika ia berbohong
sehingga dengan kebohongannya menuduh isterinya secara tidak sah
menjadikan ia termasuk kelompok para pembohong.6

Seterusnya dalam Firman Allah SWT.. surah al-nūr ayat 8-9


menerangkan bahwa bahwasanya apabila isteri tidak membantah, maka ia
dijatuhi hukuman perzinaan, namun menurut ayat 8 sanksi hukuman itu dapat
dihindarkan darinya dengan jalan bersumpah demi Allah SWT. sebanyak
empat kali sumpah, bahwa: “sungguh suaminya itu termasuk kelompok para
pembohong”, lalu sumpah kelima yang harus diucapkan oleh isterinya tersebut
sesuai dengan surah an-Nur ayat 9 yaitu: “murka Allah SWT. menimpanya jika
suaminya itu termasuk kelompok orang-orang yang benar”

Apabila seorang laki-laki menuduh isterinya berbuat serong dengan


laki-laki lain, kemudian isterinya menganggap bahwa tuduhannya bohong,
maka pihak suami harus dijatuhi hukuman dera, kecuali dia mempunyai bukti
yang kuat atau melakukan li’an.

Sebagai akibat dari li’ān ada dua hal besar yang berkaitan dengan
masalah kewarisan putus hubungan kewarisan antara suami-isteri dan putus
hubungan antara suami yang me li’ān dengan anak yang dilahirkan

Para ulama telah sepakat bahwa bila kedua belah pihak telah selesai
mengucapkan sumpah li’ān dan menafikan anak yang dilahirkan, kemudian
keduanya telah dipisah oleh hakim maka putuslah hubungan kewarisan dengan
anak yang lahir dan begitu pula antara suami-isteri yang telah diceraikan itu.
Tetapi bila kedua belum selesai meli’ān atau belum dipisahkan oleh hakim dan
salah seorang keduanya meninggal dunia atau suami dalam proses li’ān nya

6
M. Quraish Syihab, al-Lubab Makna Tujuan dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qur’an
(Tangerang: Lentera Hati, 2012). h. 586
8

tidak menafikan anak yang akan lahir, para ulama berbeda pendapat dalam
menetapkan hubungan kewarisan di antara mereka.

Menurut Wahbah al-Zuḥailī jumhur ulama telah bersepakat (ijma’)


bahwa anak zina dan anak li’ān tidak akan dapat mewarisi dari ayahnya dan
kerabat ayahnya, dia hanya dapat mewarisi dari sisi ibunya dan keluarga ibunya
saja, karena nasab dia dengan ayahnya terputus, maka dia tidak akan dapat
mewarisi, sedangkan nasab dia dengan ibunya itu thabit (pasti), maka dia hanya
dinasabkan kepada ibunya saja. Syariat Islam tidak menganggap bahwa
perbutan zina itu merupakan cara untuk menetapkan nasab, begitu juga dengan
anak li’ān tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya.

E. Hak Waris Anak Zina dan Anak Li’an


Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang warisan untuk anak yang
lahir karena perbuatan zina dan anak li'an. Secara umum, pendapat para ulama
fiqih dapat dikelompokkan menjadi tiga pendapat sebagai berikut :7

1. Pendapat pertama : Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i


berpendapat bahwa anak tersebut dapat mewarisi dari ibu dan kerabat
ibunya, dan ibu serta kerabat ibunya pun dapat mewarisi darinya, sesuai
dengan kaidah waris-mewarisi yang sudah diketahui. Ini adalah pendapat
Zaid bin Tsabit dalam satu riwayat Ali R.A.
2. Pendapat Kedua : Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa anak yang lahir
karena perbuatan zina dapat diwarisi dengan cara ashabah. Ashabahnya-nya
adalah mereka yang menjadi ashabah ibunya atau mereka yang mewarisi
dari ibunya. Sebagian orang berkata, “jika anda ingin mengetahui ashabah
anak li’an, lihatlah ashabah ibunya kalau ibunya wafat. Itulah yang menjadi
ashabah anak li’an.
3. Pendapat ketiga : Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa ashabah anak
yang lahir karena perbuatan zina adalah ibunya karena ibu bagi mereka
sama kedua orang tua, yakni ayah dan ibu, ashabahnya adalah mereka yang

7
Amir Syariffudin, Op.Cit, h. 148
9

menjadi ashabah ibupendapat ini juga disamapaikan oleh beberapa tabi’in,


di anataranya Hasan dan Ibnu Sirin.

a. Pendapat Pertama
Ibu dapat mewarisi bagian tetap, saudara ibu juga mewarisi bagian
tetap, dan sisanya dikembalikan kepada mereka, menurut mereka yang
berpendapat. Berdasarkan pendapat ini, anak itu tidak bisa mewarisi dari
orang lain dan orang lain tidak bisa mewarisi darinya dengan cara ashabah
senasab berdasarkan al-ukhuwwah.8
Ulama fiqih yang termasuk dalam kelompok pertama ini menjadikan
hadits yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’du sebagai dalil. “...Sunnah
menetapkan bahwa anak li’an dapat mewarisi dari ibunya dan ibunya pun
dapat mewarisi darinya, dengan bagian yang telah ditetapkan Allah.”
Contohnya, seorang anak yang lahir karena perbuatan zina atau li'an
wafat, meninggalkan warisan berupa tanah seluas 90 hektare dan
meninggalkan ahli waris: ibu, ayah, paman dari pihak ibu, dan ayahnya ibu.
Dalam kasus ini, seluruh warisan hanya diberikan kepada ibu, karena ia
mendapat bagian tetap dan pengembalian (ar-radd). Hal ini disebabkan
paman dari pihak ibu dan ayahnya ibu termasuk dalam kelompok dzawil
arham, dan ayah si mayit pun tidak mendapatkan apa-apa karena nasabnya
terputus.
Namun, jika seorang anak yang lahir karena perbuatan zina atau li'
an wafat meninggalkan istri, anak perempuan, dan saudara seibu, maka istri
mendapatkan 1/8,anak perempuan 1/2, dan sisanya untuk anak perempuan
tersebut. Sedangkan saudara seibu tidak mendapatkan apa-apa, karena ia
tidak dapat mewarisi ketika ada bersama pokok atau cabang yang mewarisi.

b. Pendapat Kedua
Dalam satu riwayat dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar pun berpendapat
serupa dengan pendapat kedua ini. Pendapat ini juga dipegang oleh ulama-

8
Fathur Rohman, Ilmu Waris (Bandung: Al-Ma’arif, 1971). h. 222
10

ulama besar dari kalangan tabi’in, seperti ‘Atha, Mujahid, an-Nakha’i, dan
asy-Sya’bi. Hadits yang dijadikan dalil oleh para ulama yang berpendapat
demikian adalah sabda Rasulullah SAW ketika menjawab pertanyaan
mengenai hal ini, “Ashabah-nya adalah ashabah ibunya”.
Asy-Syaukani berkata ketika menjelaskan pendapat ini, “Ibu
mendapatkan bagiannya, kemudian untuk ashabah ibu secara berurutan.
Pembagian tersebut dilakukan, jika tidak ada orang lain selain ibu dan
kerabatnya, misalnya anak laki-laki atau istri si mayit. Jika si mayit
mempunyai anak laki-laki atau istri, mereka berhak mendapatkan warisan
sesuai bagiannya dalam masalah waris-mewarisi.”
Hadits lain yang dijadikan sandaran oleh mereka adalah sabda
Rasulullah SAW, “Berikanlah bagian-bagian itu kepada yang berhak. Jika
ada sisa, pertama-tama untuk ahli waris laki-laki yang terdekat.”
Hadits di atas mengharuskan warisan dibagikan kepada laki-laki
yang paling dekat dengan anak li'an dari kerabat ibunya, yang dinasabkan
kepada ibunya, setelah bagian ashhabul furudh diberikan. Jikalau nasab
anak li'an berpindah dari ayahnya kepada ibunya, maka berpindah juga
ashabahnya dari kerabat ayah kepada kerabat ibu.
Berdasarkan pendapat mazhab ini, jika seorang anak yang lahir
karena perbuatan zina atau li'an wafat meninggalkan istri, anak perempuan
dan saudara seibu, maka istri mendapatkan 1/8 yang menjadi bagian
tetapnya (fardh), anak perempuan mendapatkan 1/2 sebagai bagian tetap,
dan saudara seibu mendapatkan sisa sebagai ashabah.
Jika seorang anak li’an wafat, meninggalkan ibu dan paman dari
pihak ibu, maka ibu mendapatkan bagian 1/3 dan paman dari pihak ibu
mendapatkan 2/3 sebagai ashabah.
c. Pendapat Ketiga
Terdapat perbedaan pendapat antara mazhab ini dengan mazhab
sebelumnya. Pada pendapat kedua, diterangkan bahwa ashabah anak li’an
dan anak yang lahir karena perbuatan zina adalah mereka yang menjadi
11

ashabah ibunya. Kalau sang ibu hidup, dia dapat mengambil bagian tetapnya
(fardh) dan sisanya diambil oleh ashabah ibunya.
Sedangkan pendapat yang ketiga ini, menerima mereka yang
menjadi ashabah ibunya sebagai ashabah anak li’an dan anak yang lahir
karena perbuatan zina, dengan syarat ibunya tidak ada atau meninggal. Jika
ibu ada, ibulah yang menjadi ashabah-nya, atau dengan kata lain, sang ibu
akan mengambil seluruh harta warisan anak li’an dan anak yang lahir karena
perbuatan zina. Dalil yang dipergunakan oleh para ulama yang pendapat
seperti ini adalah sabda Rasulullah SAW, “Perempuan menguasai tiga
warisan, warisan budak yang dimerdekakannya, barang yang
ditemukannya, dan warisan anak li'an-nya.” (HR Abu Daud, Turmudzi, an-
Nasa'i, dan Ibnu Majah).
Dengan demikian, jika seorang anak li’an wafat meninggalkan istri,
ibu, dan saudara perempuan seibu, maka istri mendapatkan 1/4 sebagai
bagian tetap, dan ibu mendapatkan seluruh sisanya, sebagai bagian tetap dan
sekaligus sebagai ashabah. Apabila ibu tidak ada, istri mendapatkan 1/4
sebagai bagian tetap dan saudara perempuan mendapatkan sisa sebagai
ashabah dan bagian tetap.
Jika ia wafat, meninggalkan saudara perempuan seibu dan anak laki-
laki dari saudara perempuan seibu, maka saudara perempuan seibu
mendapatkan 1/6 dan anak laki-laki dari saudara perempuan seibu
mendapatkan sisa sebagai ashabah.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Abu Bakar as-Siddiq mendefinisikan kalalah dengan “seseorang yang


meninggal dunia yang tidak mempunyai anak dan ayah”. Menurut Mazhab
Syafi’i kalalah adalah keadaan seseorang meninggal dunia tanpa meninggalkan
ayah dan anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki terus ke bawah
sampai derajat yang rendah asal masih garis laki-laki. Dan apabila ada hanya
anak perempuan atau cucu perempuan (bukan garis laki-laki), maka peristiwa
kewarisan kalalah itu belum terjadi.

Anak zina adalah anak yang lahir dari suatu perbuatan zina yaitu
hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat dalam
nikah yang sah.

Anak li’an adalah anak yang dilahirkan dari hubungan suami-isteri yang
sah, namun sang suami tidak mengakui anak itu sebagai keturunannya, dan
qadhi (hakim syar’i) memutuskan bahwa anak itu bukanlah dari nasab
sang sang suami, setelah suami-isteri itu diambil sumpahnya (li’an).

12
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Azis Dahlan. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Houve, 2001.

Amir Syarifuddin. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana, 2012.

Damrah Khair. masalah kalalah. Bandar Lampung: Anggota IKAPI Gunung


Sugihh, 1993.

Fathur Rohman. Ilmu Waris. Bandung: Al-Ma’arif, 1971.

Imam Taqiyuddin Abu bakar bin Muhammad Al Husaini. Kifayatul Akhyar Fii
Halli Ghayatil Ikhtishar. Surabaya: CV. Bina Iman, 2007.

M. Quraish Syihab. al-Lubab Makna Tujuan dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-
Qur’an. Tangerang: Lentera Hati, 2012.

Sahabuddin. Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata. Jakarta: Lentera Hati,


2007.

13

Anda mungkin juga menyukai