Anda di halaman 1dari 35

ANAK ANGKAT DAN ANAK HASIL PERZINAHAN

Makalah di susun sebagai salah satu tugas dari mata kuliah Masail Fiqhiyyah

Dosen Pengampu: Dr. Syarif Hidayatullah, S.S.I, MA

Disusun oleh:

Kelompok 6 (4A PAI)

Diva Kayla Putri 21312373

Dwi Aprilia 21312374

FAKULTAS TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

INSTITUT ILMU AL-QUR`AN (IIQ) JAKARTA

1444 H/2023 M
‫بِ ْسم ه‬
ِ‫ِاَّللِال هر ْْحَنِال هرحيم‬
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji syukur kepada Allah Swt., kami panjatkan atas
limpahan Rahmat, Hidayah serta Inayah-Nya, kami bisa menyelesaikan karya
Ilmiyah berupa makalah yang singkat dan sederhana ini. Sholawat serta salam
mudah-mudahan tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi akhir jaman,
penolong umat, yaitu Baginda Muhammad SAW yang telah menunjukkan kita
kepada jalan hidup lurus yang di ridhoi oleh Allah SWT, dengan ajarannya
agama Islam.

Makalah ini dibuat dalam rangka untuk memenuhi tugas dari bapak
Dosen Mata Kuliah Masail Fiqhiyah dengan judul Anak angkat dan Anak hasil
perzinahan, Fakultas Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI)
Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta. Dalam kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada Dosen Pengampu
Bapak Dr. Syarif Hidayatullah, S.S.I, MA. yang selalu kami harapkan
keberkahannya dan semua pihak yang telah membantu kami dalam
menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini masih belum sempurna, untuk itu perlu masukan dari semua
pihak terutama Bapak Dr. Syarif Hidayatullah, S.S.I, MA. dan teman-teman
Mahasiswi lainnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
khususnya bagi penyusun sendiri umumnya para pembaca makalah ini, apabila
ada kekurangan dalam penulisan makalah ini. Penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya. Terima Kasih.

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 1

C. tujuan...................................................................................................................... 2

BAB II. PEMBAHASAN ...................................................................................... 3

A. Pengertian Anak Angkat ..................................................................................... 3

B. Tradisi pengangkatan anak (adopsi ) di masyarakat ........................................ 4

C. Status Hukum Anak Angkat ............................................................................... 6

D. Pandangan para ulama / cendekiawan muslim tentang status hukum


anak angkat, Dalil-dalil masing-masing beserta wajhul istidlalnya masing-
masing sebab-sebab perbedaan pendapat dan istinbath hukumnya. ............. 8

E. Anak di Luar Nikah / Atau Anak Hasil Zina .................................................. 14

F. Status Hukum Anak di Luar Nikah .................................................................. 16

G. Perbedaan Pendapat Para Ulama / cendekiawan muslim tentang status


hukum anak di luar nikah, dalil masing-masing beserta wajhul istidalnya
masing-masing sebab-sebab perbedaan pendapat dan istinbath hukumnya
.............................................................................................................................. 20

H. Perbedaan Pendapat Ulama Mengenai Hukum Yang Timbbul Jika Yang


Menikahi Wanita Yang Berzina Adalah Laki-Laki Yang Menzinahinya.. 25

BAB III. PENUTUP ............................................................................................ 28

A. Kesimpulan ......................................................................................................... 28

B. Saran..................................................................................................................... 29

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Seorang anak yang lahir akibat kehamilan di luar atau sebelum
perkawinan yang sah, dianggap anak zina, tidak dapat dinasabkan kepada
seorang ayah dan masing-masing dari mereka tidak pewaris dan tidak pula
mewariskan. Oleh karena itu ada pernikahan untuk menutupi hal itu dan
masa hamil sudah ditentukan, yaitu paling sedikit/paling cepat enam bulan.
Apabila kelahiran si bayi sesudah dari masa minimum itu dari
pernikahannya, oleh hukum anak itu dianggap sebagai anak yang sah.
Selain daripada itu Rasulullah SAW.
juga telah memberikan ketentuan bahwa seorang istri yang masih
dalam akad nikah suaminya, tiap anak yang dilahirkannya, walaupun dari
hasil perzinaan, dianggap oleh hukum adalah anak suaminya. Adapun
tujuan menikah yaitu mempunyai anak agar bisa meneruskan keturunan
dan melestarikan kekayaan. Mempunyai anak merupakan suatu
kebanggaan dari setiap keluarga namun tidak dipungkiri tujuan mulia
tersebut tidak dapat tercapai sesuai dengan harapan. Tidaklah sedikit dari
pasangan suami istri mengalami kesulitan mempunyai keturunan sehingga
dengan demikian mereka mengadopsi anak atau pengangkatan anak.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Anak Angkat?
2. Bagaiamana Tradisi Pengangkatan Anak (Adopsi) Di Masyarakat?
3. Bagaimana Status Hukum Anak Angkat?
4. Bagaimana pengertian anak diluar nikah?
5. Bagaimana Status Hukum Anak di Luar Nikah / Anak Hasil Zina?
6. Bagaimana pandangan Para Ulama / Cendekiawan Muslim Tentang
Status Hukum Anak Angkat,Dalil-Dalil Masing-Masing Beseta Majhul
Istidlalnya Masing-Masing, SebabPerbedaan Pendapat Dan Istinbat
Hukunya?

1
2

7. Bagaimana Pandangan Para Ulama Cendekiawan / Muslim Tentang


Status Hukum Anak Di Luar Nikah, Dalil Masing-Masing Beserta
Wajhul Istidlalnya Masing-Masing Sebab-Sebab Perbedaan Pendapat
Dan Istinbat Hukumnya?
C. tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Anak Angkat.
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Tradisi Pengangkatan Anak (Adopsi) Di
Masyarakat.
3. Untuk Mengetahui Status Hukum Anak Angkat.
4. Untuk Mengetahui Pengertian Anak Di Luar Nikah / Anak Hasil Zina.
5. Untuk Mengetahui Status Hukum Anak Di Luar Nikah / Anak Hasil
Zina.
6. Untuk Mengetahui Bagaimana pandangan Para Ulama / Cendekiawan
Muslim Tentang Status Hukum Anak Angkat,Dalil-Dalil Masing-
Masing Beseta Majhul Istidlalnya Masing-Masing, SebabPerbedaan
Pendapat Dan Istinbat Hukunya.
7. Untuk mengetahui Pandangan Para Ulama Cendekiawan / Muslim
Tentang Status Hukum Anak Di Luar Nikah, Dalil Masing-Masing
Beserta Wajhul Istidlalnya Masing-Masing Sebab-Sebab Perbedaan
Pendapat Dan Istinbat Hukumnya
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Anak Angkat


Secara etimologi, ada beberapa istilah yang dikenal dalam
pengangkatan anak di Indonesia. Pengangkatan anak sering disebut juga
dengan istilah adopsi, yang dalam bahasa inggris disebut adoption.1 dan
dalam bahasa Belanda disebut adoptie yang artinya pengangkatan seorang
anak atau pemungutan seorang anak.2
Dalam Bahasa Arab disebut “tabanni” yang menurut Kamus
Kontemporer Arab Indonesia diartikan “ittikhadzahu ibnan” yaitu
menjadikannya sebagai anak.3 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) adopsi adalah pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri.4
Istilah “tabanni” diartikan sebagai suatu kebiasaan pada masa jahiliyah
dan permulaan islam yaitu apabila seorang yang mengangkat anak orang
lain seorang anak, maka berlakulah hukum-hukum yang berlaku atas anak
kandung.
Pengertian pengangkatan anak secara terminologi dikemukakan oleh
para ahli,antara lain sebagai berikut :
Soerjono Soekanto, mendefinisikan bahwa anak angkat adalah anak
orang lain (dalam hubungan perkawinan yang sah menurut agama

1
John M. Echols, An English-Indonesian Dictionary, (Jakarta: Gramedia, 2010), h.13
2
Mahjuddin, Masail Al-Fiqh: Kasus-kasus Aktual dalam Hukum Islam, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2012), h. 96
3
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesi,
(Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1999), h.402
4
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia,
2008), h.11

3
4

dan adat) yang diangkat karena alasan tertentu dan dianggap sebagai
anak kandung.
Sedangkan menurut Muderis Zaini, bahwa anak angkat ialah penyatuan
seseorang terhadap anak yang diketahuinya bahwa ia sebagai anak orang
lain ke dalam keluarganya untuk diperlakukan sebagai anak dalam segi
kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala
kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri.5
Mengangkat anak dalam islam haruslah memiliki tujuan yang jelas,
yaitu untuk menolong dan mengasuh serta mendidik, sebagaimana orang tua
melakukan itu semua kepada anak kandungnya. Tapi yang perlu di ingat
bahwa anak angkat tetaplah anak angkat, mereka tidak memliki hak-hak
seperti yang di miliki anak kandung. Dari pengertian yang telah diberikan
oleh para ahli tersebut diatas, pendapat Muderis Zaini yang lebih sesuai
dengan apa yang dimaksud dalam KHI.
Maka dapat disimpulkan bahwa jika seseorang mengangkat anak yang
di ketahui bahwa anak itu adalah anak orang lain, maka ia harus
memperlakukan anak tersebut sama dengan anak kandungnya, baik dari segi
kasih sayang, nafkah, pendidikan, serta perhatian lainnya dan tidak
menyamakannya dalam hal nasab.

B. Tradisi pengangkatan anak (adopsi ) di masyarakat


Masalah adopsi bukan suatu hal baru, tetapi di berbagai negeri sejak
zaman dahulu, tradisi tersebut sudah berbaur dengan kehidupan masyarakat.
Imam Al Qurthubi (ahli tafsir klasik) menyatakan bahwa sebelum masa
kenabian Rasulullah SAW sendiri pernah mengangkat Zaid bin Haritsah
menjadi anak angkat, bahkan tidak lagi memanggil Zaid berdasarkan nama
ayahnya (Haritsah), tetapi ditukar oleh Rasulullah SAW dengan nama Zaid
bin Muhammad. Pengangkatan Zaid diumumkan oleh Rasulullah di depan
kaum Quraisy. Nabi Muhammad SAW juga menyatakan bahwa dirinya dan
Zaid saling mewarisi oleh karena itu Nabi SAW telah menganggap nya

5
Prodjodikoro, Wirjono. 1983. Hukum Waris di Indonesia. Bandung: Sumur, h. 37
5

sebagai anak, maka para sahabat pun kemudian memanggilnya dengan Zaid
bin Muhammad Setelah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul,
turunlah ayat yang melarang pengangkatan anak dengan akibat hukum
seperti di atas (saling mewarisi) dan memanggilnya sebagai anak kandung,
ayat yang menjelaskan tentang peristiwa tersebut terdapat dalam Q.S. Al-
Ahzab (33: 4-5).

Di larangnya pengangkatan anak (adopsi) di indonesia kebanyakan


masyarakat cenderung mengangkat anak dari keluarga dekatnya. Contohnya
: ponakan istri atau suaminya, dan sebagainya. Tetapi setelah berdiri
beberapa lembaga yang mengurusi anak yakim dan anak terlantar, maka
masyarakat sudah mulai menyadari bahwa upaya pengangkatan anak,
tidak harus berasal dari keluarga dekatnya, tetapi meraka melihatnya
sebagai sesama manusia yang harus di tolong kehidupannya dan
pendidikannya.6

Pengangkatan anak (adopsi) yang menyamakan statusnya dengan anak


kandung, masih berlangsung di masyarakat di beberapa daerah di indonesia
oleh karana itu, sebagai orang islam dapat di perhatikan ketentuan agama
yang mengatur tentang pengangkatan anak (adopsi).

Ada beberapa motivasi landasan pengangkatan anak di indonesia,


sehingga merupakan suatu kebutuhan hidup masyarakat diantaranya :

1. Karena tidak mempunyai anak.


2. Karena kasih sayang terhadap anak yang tidak memiliki orang tua
atau anak dari orang tua yang tidak mampu.
3. Karena ia hanya memiliki anak perempuan, sehingga mengangkat
anak lakilaki, atau dengan sebaliknya.
4. Untuk menambah jumlah keluarga, karena mungkin berkaitan
dengan keperluan tenaga kerja dan sebagainya.

6
Andi Syamau Alam, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta, Kencana,
2008), h. 22-23
6

5. Tahayul, seseorang mempunyai anak kemudian sakit, mereka


meyakini agar anak tersebut sembuh dari penyakitnya harus diadopsi
oleh orang lain.

Pada hakikatnya Islam mendukung adanya usaha perlindungan anak


yang salah satu caranya adalah dengan melakukan pengangkatan anak.
Adapun pengangkatan anak yang diperbolehkan dalam Islam tentu saja yang
memiliki arti mengangkat anak semata-mata karena ingin membantu dalam
hal mensejahterakan anak tersebut dan juga memberikan perlindungan tanpa
menjadikannya sebagai anak kandung.

Pengangkatan anak dengan motivasi berbeda-beda, maka islam sangat


perlu menata kembali tata cara pengangkatan anak, sehingga dapat di
bedakan antara anak kandung dan anak angkat, terutama hak-hak yang
berkaitan dengan pewarisan, hubungan mahram, dan status perwalian
(dalam masalah perkawinan) karena hal ini berkaitan dengan masalah
ibadah seperti, hubungan mahram dapat membatalkan wudhu antara bapak
angkat dengan anak angkatnya.7
C. Status Hukum Anak Angkat
Menurut Hukum Islam, anak angkat tidak dapat diakui untuk bisa
dijadikan dasar dan sebab mewarisi, karena prinsip pokok dalam kewarisan
Islam adalah hubungan darah / nasab / keturunan.8

Dengan kata lain bahwa peristiwa pengangkatan anak menurut hukum


kewarisan Islam, tidak membawa pengaruh hukum terhadap stasus anak
angkat, yakni bila bukan merupakan anak sendiri, tidak dapat mewarisi dari
orang yang setelah mengangkat anak tersebut. Hal ini, tentunya akan
menimbulkan masalah dikemudian hari apabila dalam hal warisan tersebut
tidak dipahami oleh anak angkat dikarenakan menurut hukum islam, anak

7
Mahjuddin, masail Al-fiqh–kasus Aktual Dalam Hukum Islam, (jakarta: kalam mulia,
2016) h. 99-101

8
Hilman Hadikusuma. Hukum Waris Adat. (Bandung : Citra Aditya Bakti 1990), h. 124.
7

angkat tidak berhak mendapatkan pembagian harta warisan dari orang tua
angkatnya, maka sebagai solusinya menurut Komplikasi Hukum Islam
adalah dengan jalan pemberian “Wasiat Wajibah” sebanyak-banyaknya 1/3
(sepertiga) harta warisan orang tua angkatnya. Sebagaimana telah diatur
didalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 ayat 2 yang berbunyi:
“Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat maka diberi wasiat
wajibah sebanyak -banyaknya 1/3 dari harta wasiat orang tua angkatnya”.
Hal yang sangat penting untuk di tegaskan kembali adalah hukum anak
angkat. Karena jika status anak angkat disamakan haknya dengan anak
sendiri berarti kembali pada budaya jahiliyah. Hal ini dalam banyak kasus
masih terjadi di masyarakat. Seorang bapak anak angkat (yang tidak punya
anak) yang sudah terlanjur sayang kepada anak-anak angkatnya enggan
untuk menjelaskan bahwa ia adalah bukan anak asli padahal anak angkat
tersebut telah dewasa.
Usaha untuk merahasiakan yang dilakukan orang tua angkat terhadap
anak status anak angkatnya di tegaskan syeikh yusuf Al-Qaradhawi. Sebab
kebohongan perkataan manusia tidak dapat menutupi kebenaran status anak
angkat jika dihubungkan dengan orang tua angkat adalah orang lain yang
berdampak konsekuansi hukum, sebagai berikut :
1. Orang tua angkat tidak boleh mengganti nasab anak angkat dengan
dirinya sendiri (orang tua angkat).
2. Anak angkat tidak berhak mendapatkan waris jika orang tua
angkat nya meninggal.
3. Hubungan anak dengan orang tua angkat dan keluarga orang tua
angkat tidak menghilangkan kemahraman.
8

D. Pandangan para ulama / cendekiawan muslim tentang status


hukum anak angkat, Dalil-dalil masing-masing beserta wajhul
istidlalnya masing-masing sebab-sebab perbedaan pendapat dan
istinbath hukumnya.

1. Ulama yang membolehkan anak angkat : Ahmad Al-Bahri (w


387 h), Mahmud Syaltut (w 1384 h), dan Muhammad Quraish
Shihab.
Ahmad al-Bahri, Mahmud Syaltut, dan Muhammad Quraish
Shihab, berpendapat bahwa mengambil dan merawat anak yang
terlantar tanpa harus memutus nasab orang tua kandungnya adalah
wajib hukumnya yang menjadi tanggung jawab masyarakat kolektif,
atau dilaksanakan oleh beberapa orang sebagai fardhu kifayah. Tetapi
hukum tersebut dapat berubah menjadi fardhu ‘ain, apabila seseorang
menemukan anak terlantar atau anak terbuang ditempat yang sangat
membahayakan atas nyawa anak itu. Hal ini berdasarkan:
a. Firman Allah SWT QS. al-Maidah ayat : 32

‫س أ َۡو فَ َسادٖ ِف‬ ٍ ‫ك َكتَ ۡب نَا َعلَ َٰى بَِِٓن إِ ۡس ََٰٓرِءيل أَنَّهُۥ َمن قَتَل نَ ۡف ََۢسا بِغَ ۡ ِۡي نَ ۡف‬
َ
ِ‫ِم ۡن أ َۡج ِل َٰذَل‬
َ َ
ۡ ۡ َِ ‫َجيعٖا وم ۡن أ َۡحياها فَ َكأَََّّنَآ أ َۡحيا ٱلنَّاس‬ ۡ ‫ۡٱۡل‬
‫َجيعٖا َولََقد َجآءَۡتُ ۡم‬ َ َ َ َ ََ
َِ ‫ض فَ َكأَََّّنَا قَتَل ٱلنَّاس‬
َ َ ِ ‫َر‬
ۡ ِ‫ت ُُثَّ إِ َّن َكثِۡيٖا ِم ۡن هم ب ۡع َد َٰذَل‬ ِۡ
‫ض لَ ُم ۡس ِرفُو َن‬ ِ ‫ك ِف ٱۡل َۡر‬
َ َ ُ
ِ َٰ
‫ن‬ ِ
َ َ ‫ُر ُسلُنَا ب‬
‫ي‬ ‫ب‬ ‫ٱل‬
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil,
bahwa barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu
membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di
bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia.
Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-
akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia.
Sesungguhnya Rasul Kami telah datang kepada mereka dengan
(membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi kemudian
9

banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi.”9

Wajhul Istidlal:

Ayat ini menjelaskan bahwa besarnya pahala menjaga kehidupan


manusia. Menjaga nyawa satu orang seakan-akan menjaga nyawa
seluruh manusia. Menurut Ibnu Abbas, maksud menjaga kehidupan
adalah tidak membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah
membunuhnya.

Ayat ini juga menunjukan bahwa memelihara kemaslahatan anak


tetapi dengan tidak memutuskan nasab orang tua kandungnya adalah
perbuatan terpuji dan dianjurkan oleh agama Islam. Maka hukum
mengangkat anak adalah diperbolehkan.10

b. Berdasarkan Hadits Nabi SAW bersabda:

‫ أان‬: ‫عن أيب هريرة رضي هللا عنه قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬

‫ج ْبي نَ ُهما‬ ِ َّ ‫وكافِل اليتِ ِيم يف اجلن َِّة َه َكذا وأَشار‬


َ ‫ وفَ َّر‬،‫والو ْسطَى‬
ُ ‫ابلسبَّابَة‬ َ َ َ ُ
11
)‫شيئًا (رواه البخاري‬

Artinya : “Dari Abi Hurairah ra. Berkata : Aku (Nabi) dan


orang-orang yang mengasuh anak yatim di syurga seperti ini. Nabi
mengisyaratkan dengan menunjukan ibu jari dan jari tengah dan
Rasul merapatkan kedua jarinya.” (HR.Bukhari)

9
Al-Qur’an Terjemahan. 2015. Departemen Agama. RI. Bandung: CV Darus Sunnah.

10
Andi Syamsu Alam, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana,
2008) h.52-53.

11
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Mukhtasar Shahih Bukhari Jilid 4, Oman:
Maktabah Islamiyah,1416 H, h.840
10

Wajhul Istidlal :

Hadits tersebut menyatakan bahwa siapapun yang menyantuni dan


memelihara anak yatim akan menjadi dekat dengan Rasulullah SAW di
surga nanti. Selain itu, dijelaskan pula dalam sebuah hadits bahwa
keutamaan memelihara anak yatim adalah dijamin masuk surga jika
tidak melakukan dosa yang tidak dapat diampuni.

Dalam hadits ini menjelaskan bahwa Menyantuni anak yatim akan


mendatangkan banyak pahala bagi orang yang merawat dan menyantuni
mereka. Allah memberikan berupa ganjaran surga kepada orang yang
tulus dan ikhlas memberikan bantuan kepada orang yang tidak mampu,
seperti anak yatim.12

2. Ulama yang mengharamkan anak angkat : Muhammad Ali as-


Shabuni (w 1442h), al-Imam al-Lausi (w 1270 h), Yusuf al-
Qaradhawi (w 1444 h) dan Wahbah az-Zuhaili (w 1436 h).
Muhammad Ali as-Shabuni, al-Imam al-Lausi, Yusuf al-
Qaradhawi, Wahbah az-Zuhaili, berpendapat bahwa syariat Islam telah
mengharamkan tabanni (pengangkatan Anak) yang menisbatkan
seorang anak angkat kepada yang bukan bapak angkatnya. Hal ini
berdasarkan:

a. Firman Allah SWT QS. al-Ahzab ayat 4-5:

ۡ ۡ ۡ
‫ي ِف َج ۡوفِ ِهۦ َوَما َج َع َل أَزََٰو َج ُك ُم ٱ َٰلَِّٓي تُ َٰظَ ِه ُرو َن ِمن ُه َّن أ َُّم ََٰهتِ ُك ۡم‬
ِ ۡ َ‫ٱَّللُ لِر ُجلٖ ِمن قَلب‬
َ َّ ‫َّما َج َع َل‬
‫يل‬ِ‫ٱلسب‬
َّ ‫ي‬‫د‬ِ ‫ول ۡٱۡل َّق وهو ي ۡه‬
ُ ‫ق‬
ُ ‫ي‬ ‫ٱَّلل‬
َّ ‫و‬ ۡ ‫وما جعل أ َۡدعِيآء ُك ۡم أ َۡب نآء ُك ۡم َٰذَلِ ُك ۡم ق ۡولُ ُكم ِِب َۡف َٰوِه ُك‬
‫م‬ َ
َ ُ
َ َ َ َ َُ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ََ

12
Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, (Jakarta:PT Kharisma Putra Utama, 2017) h..89-
90
11

ِ ‫ٱَّللِ فَإِن ََّّۡل تَ ۡعلَمواْ ءاَبٓءه ۡم فَإِ ۡخ َٰونُ ُك ۡم ِف‬ ۡ ۡ


‫ٱلدي ِن َوَم ََٰولِي ُك ۡم‬ َ ُ َ َ َ ُٓ َّ ‫ند‬ ُ ‫وه ۡم ِۡلٓ ََبٓئِ ِه ۡم ُه َو أَق َس‬
َ ِ‫ط ع‬ ُ ُ‫ٱدع‬
ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ َ‫ول‬
‫ٱَّللُ غَ ُفورٖا‬ َّ ‫يمآ أَخطَأ ُت بِِهۦ َوَٰلَكِن َّما تَ َع َّم َدت قُلُوبُ ُك ۡم َوَكا َن‬ ِ
َ ‫س َعلَي ُكم ُجنَاحٖ ف‬ َ َ‫ي‬

‫َّرِحي ًما‬

Artinya:“Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan anak-anak


angkat kalian sebagai anak kandung kalian sendiri. Dan demikian itu
hanyalah perkatan kalian dimulut kalian saja dan Allah mengatakan
yang sebenarnya dan dia menunjukan jalan yang benar. Panggillah
mereka itu dengan nama bapak-bapak mereka sedangkan itu lebih adil di
sisi Allah. Sekiranya kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka
mereka itu adalah saudara-saudara kamu seagama dan manusia-
manusia yang ditanganmu. Dan tidaklah berdosa kamu dalam soal-
soal yang keliru mengenainya, akan tetapi bukan yang kamu sengaja
dengan hati melakukannya dan Allah Pengampun lagi Penyayang”.13

Wajhul Istidlal

Ayat ini mengandung pengertian bahwa Allah melarang


pengangkatan anak (adopsi) yang menisbatkan segalanya kepada nama
bapak angkat nya, persamaan hak waris dan hubungan mahram serta
perwalian perkawinan. Anak angkat itu hanya sekedar memperlihatkan
atau anak asuh yang tidak bisa dimasukkan dengan status anak
kandungnya.
Dalam ayat diatas, menjelaskan bahwa Allah tidak menganggap
anak angkat sebagai anak kandung, perbuatan itu dinilai sebagai
kemungkaran yang menyebabkan laknat Allah dan manusia. Oleh
karena itu mengangkat anak hukumnya haram. 14

13
Al-Qur’an Terjemahan. 2015. Departemen Agama. RI. Bandung: CV Darus Sunnah

14
Sudarto, Masailul Fiqhiyyah al-Haditsah, (Yogyakarta, CV. Budi Utama, 2018) h.128
12

b. Berdasarkan Hadits Nabi SAW bersabda:

: ‫عن سعيد بن أيب وقاص رضي هللا عنه عن النيب صلى هللا عليه وسلم قال‬

ِ ‫اَّلل‬ ِ ‫أبيه وهو يعلم أنَّهُ غري‬


ِ ‫م ِن ادَّعى إىل غ ِري‬
‫عليه اجلنَّةَ (رواه‬ َُّ ‫حرَم‬
َّ ‫أبيه‬ َ ُ َ
15
‫البخاري و مسلم‬

Artinya: “Dari Sa’id bin Waqqash ra, dari Nabi SAW.


Bersabda: Barang siapa memanggil (mengaku) ayah yang bukan
ayahnya sendiri, sedang dia tahu bahwa dia bukan ayahnya maka
surga tidak mau menerima dia”. (HR.Bukhari dan Muslim)

Wajhul Istidlal

Hadits ini menjelaskan bahwa orang yang mengaku memiliki


ayah kepada selain ayahnya atau seseorang yang menghubungkan
dirinya bukan kepada walinya, maka ia telah melakukan sesuatu yang
dilarang, Allah SWT menjauhkan orang tersebut dari kasih sayang-Nya
begitu pula para Malaikat yang mendoakannya agar jauh dari kasih
sayang Allah SWT, bahkan amalan yang fardhu atau yang sunnah tidak
akan pernah diterima darinya pada hari Kiamat.

Dalam hadits ini juga menjelaskan bahwa memanggil


(mengaku) ayah yang bukan ayahnya sendiri. Maka surga tidak
menerima anak tersebut. Oleh karena itu mengangkat anak dengan
menisbatkan nasabnya kepada selain bapak kandungnya hukumnya
haram.

15
Muhammad Nashruddin Al-Albani, Mukhtasar Shahih Bukhari Jilid 4, (Oman:
Maktabah Islamiyah, 1416 H)
13

3. Sebab perbedaan pendapat tentang hukum anak angkat.

a. Ulama dan cendikiawan muslim berbeda pendapat dalam


memandang kebolehan mengangkat anak dengan alasan
demi kemaslahatan atau tidak.

b. Ulama berbeda pendapat mengenai apakah boleh seorang


anak angkat memanggil dengan sebutan ayah yang bukan
ayah kandungnya.

4. Al-Jam’u wa al-Taufiq.
Setelah membandingkan pendapat-pendapat yang ada dan
dalilnya masing-masing, maka dapat diambil titik temu diantara
pendapat-pendapat yang ada yaitu berupa:
a. Pengangkatan anak hukumnya boleh (mubah) apabila
pengangkatan anak bertujuan untuk menolong sesama
manusia demi kepentingan dan kemaslahatan anak dengan
tidak memutuskan nasab orang tua kandungnya.
b. Pengangkatan anak hukumnya haram apabila menisbatkan
segalanya kepada nama bapak angkatnya, persamaan hak
waris dan hubungan mahram serta perwalian pernikahan
dan memutuskan nasab orang tua kandungnya.
14

E. Anak di Luar Nikah / Atau Anak Hasil Zina


1. Pengertian anak di luar nikah
Anak di luar nikah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang
perempuan yang tidak memiliki ikatan perkawinan yang sah dengan laki-
laki yang telah membenihkan anak dirahimnya. Anak tersebut tidak
mempunyai kedudukan yang sempurna dimata hukum seperti anak sah
pada umumnya. Dengan kata lain anak diluar nikah adalah anak yang
dilahirkan didalam suatu perkawinan yang tidak sah.
Imam Syafi’i dan Imam Malik berpendapat jika seorang laki-laki
mengawini seorang perempuan yang pernah dikumpuli atau sudah dalam
waktu enam bulan kemudian wanita tersebut melahirkan anak setelah
enam bulan dari perkawinannya bukan dari masa berkumpulnya, maka
anak yang lahir itu tidak dapat dinasabkan kepada laki-laki yang
menyebabkan mengandung.
Adapun Imam Hanafi berpendapat bahwa wanita yang
melahirkan itu, tetap dianggap berada dalam ranjang suaminya. Karna
itu, anak yang dilahirkan dapat dipertalikan nasabnya kepada ayah
perzinaanya sebagai anak sah16. Menurut Undang-undang No. I tahun
1974 tentang Perkawinan. Perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan
menurut tata cara Agama dan kepercayaan. Dengan adanya perkawinan
yang sah maka, lahirlah anak-anak yang sah.
Dengan demikian maka apabila ada anak yang dilahirkan di luar
perkawinan (ayah ibunya tidak terikat dalam perkawinan, maka lahirlah
anak luar nikah). Dalam pengertian anak luar nikah ada dua macam,
yaitu: pertama apabila orang tua salah satu atau keduanya terikat dalam
suatu perkawinan, anak yang dilahirkannya adalah anak zina, dan yang
kedua apabila ayah ibunya masih sama-sama bujangan, maka anak yang
dilahirkannaya adalah anak luar kawin.

16
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Raja Garafindo Persada, 2001) h. 159-160
15

Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Keppres No.


1/1991 dan Keputusan Menteri Agama No.154/1991) disebutkan bahwa
seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil tersebut dapat
dilangsungkan tanpa menunggu kelahiran anaknya dan dengan
dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan
perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Dan Tentang anak
zina tidak diatur dalam Kompilasi tersebut.17
2. Sebab-sebab terjadinya anak diluar nikah antara lain sebagai
berikut:
a. Anak yang dilahirkan diketahui dan dikehendaki oleh ibu dan
bapaknya, tetapi orang tua tersebut tidak dalam ikatan pernikahan yang
sah, padahal mereka tidak terikat dalam pernikahan yang lain (misalnya
karena memang keinginan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan yang
sah).
b. Anak yang dilahirkan dari seorang ibu yang tidak diketahui
bapaknya (antara lain dapat disebabkan akibat zina/pelacuran/perkosaan),
anak di luar pernikahan ini umumnya tidak dikehendaki.
c. Anak yang lahir dari seorang ibu yang masih dalam masa iddah
setelah perceraiannya, sebagai hasil hubungan dengan laki-laki yang
bukan suaminya.
d. Anak yang lahir dari seorang ibu yang masih dalam proses
perceraian (masih dalam ikatan pernikahan) sebagai hasil hubungan
dengan laki-laki yang bukan suaminya, dapat mengakibatkan terjadinya
anak di luar pernikahan.
e. Anak yang lahir dari seorang ibu yang ditinggal suaminya lebih
dari 300 hari dan tidak diakui oleh suami sebagai anaknya, dapat
mengakibatkan terjadinya anak di luar pernikahan.

17
Sri Gambir Melati, “Anak luar kawin,” Hukum dan pembangunan, no. 1 (Februari
1995), h. 1–11
16

f. Anak yang dilahirkan dari orang tua yang menikah beda negara
dan mengakibatkan hukum perdata/Negara tidak dapat menikah (seperti
seorang WNA nikah dengan WNI tidak mendapat izin dari kedutaan
karena masih terikat pernikahan di Negaranya).
Ada dua macam istilah yang dipergunakan bagi zina, yaitu
1). zina muhson, yaitu zina yang dilakukan orang yang telah atau
pernah menikah, hukuman bagi pezina muhson dirajam sampai mati
2). zina ghairu muhson, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang
belum pernah menikah, mereka berstatus perjaka/perawan, hukuman bagi
pezina ghairu muhson di cambuk 100 kali.18
F. Status Hukum Anak di Luar Nikah
Nasab adalah salah satu fondasi kuat yang menopang berdirinya
sebuah keluarga, karena nasab mengikat antar anggota keluarga dengan
pertalian darah. Dalam hal ini, anak adalah bagian dari pada ayah.
Wahbah Zuhaili menyebutkan bahwa nasab seorang anak terhadap ibunya
tetap bisa diakui dari setiap sisi kelahiran, baik yang syar’i maupun tidak.
Adapun nasab seorang anak dengan ayahnya hanya bisa diakui dengan
adanya nikah yang sahih atau fasid, atau wati’ syubhat (persetubuhan
yang samar status hukumnya), atau pengakuan nasab itu sendiri, di dalam
Islam sering disebut sebagai istilhaq (pengakuan terhadap seorang anak).
Abdul Majid menyatakan bahwa Allah mengukuhkan aturan-
aturan untuk memelihara nasab dari kehancuran dan kekacauan. Allah
juga menjadikan nasab sebagai anugrah yang diberikan kepada hamba-
hambanya sebagaimana disebutkan dalam firman Allah dalam surat Al-
Furqan ayat 54:

‫ك قَ ِديْ ًرا‬ ِۤ ِ
َ ُّ‫َوُه َو الَّذ ْي َخلَ َق ِم َن الْ َماء بَ َشًرا فَ َج َعلَهُ نَ َسبًا َّو ِص ْهًرا َوَكا َن َرب‬
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan
manusia itu (mempunyai) keturunan dan Mushaharah (hubungan

18
Imam Jauhari, “Hukum perwalian anak zina dan hak warisnya (LEGAL
GUARDIANSHIP OF ADULTERY CHILD AND THE RIGHT OF THEIR INHERITENCE),”
Kanun Jurnal Ilmu Hukum, no. 54 (Agustus 2011), h.1–20.
17

kekeluargaan yang berasal dari hubungan pernikahan, seperti menantu,


ipar, mertua dan sebagainya) dan Tuhanmu adalah Maha Kuasa”
Islam mengakui semua anak yang lahir kealam ini suci dan bersih
tanpa memandang siapa kedua orangtuanya. Pernyataan ini didasari oleh
Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi:
ِ َ‫الفطْرةِ ح ََّّت ي عزب عنْه لِسانُه فَأَب واه ي هودانِِه أَو ي ن‬
‫صَرانِِه أ َْو‬ ِ ٍ
ُ ْ َ َ ُ ُ َ َ ُ َ ُ َ َ ُ ْ َ َ َ ‫ُّك ُّل َم ْولُود يُ ْولَ ٌد َعلَى‬
‫ُيَُ ِح َسانِِه اۡلديث‬
“Setiap anak yang lahir kedunia ini suci dan bersih (dari dosa)
dan beragama tauhid sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua
orangtuanya lah yang menyebabkan anaknya beragama yahudi atau
Nasrani atau majusi.” (HR. Abu Ya’la, Al-Thabrani, Al-Baihaqi dari
Al-Aswad bin Sari”19
Muhammad Abu Zahrah berpendapat bahwa seorang anak dapat
dikatakan sah dan dapat dinasabkan kepada orang tuanya harus
memenuhi tiga syarat, yaitu minimal kelahiran anak enam bulan dari
pernikahan, adanya hubungan seksual, dan merupakan akibat perkawinan
yang sah.
Imam Malik dan Syafi’I berpendapat bahwa anak yang lahir setelah
enam bulan dari pernikahan ibu dan ayahnya, anak itu dinasabkan kepada
ayahnya. Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka anak itu
dinasabkan kepada ibunya.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa anak di luar nikah tetap
dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak yang sah. Kedua, anak yang
dibuahi dan dilahirkan di luar pernikahan yang sah. Status anak di luar
nikah dalam kategori kedua disamakan statusnya dengan anak zina dan
anak li’an (merupakan suatu ucapan sumpah yang dilakukan oleh seorang
suami kepada istrinya dengan 5 kali sumpah dan pada sumpah yang
terakhir suami mengucapkan sumpah yang diikuti dengan laknat

19
Al-Suyuti, Al-Jam’i asShagir, (Cairo: Musthafa al-Babi al Halabi, 1954) h.17
18

kepadanya jika dia dusta.). Anak yang lahir dalam kategori ini memiliki
akibat hukum :
1. tidak memiliki hubungan nasab dengan ayahnya, melainkan
mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Ayahnya tidak ada
kewajiban memberi nafkah kepada anak tersebut, namun secara
biologis adalah anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah
secara manusiawi, bukan secara hukum
2. Tidak saling mewarisi harta dengan ayahnya, karena hubungan
nasab merupakan salah satu penyebab mendapat warisan.
3. Ayah tidak dapat menjadi wali bagi anak di luar nikah. Apabila
anak di luar nikah kebetulan seorang perempuan dan sudah dewasa
lalu akan menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh ayah
biologisnya20
Hukum Islam menetapkan bahwa anak menempati garis kewarisan
pertama dalam hal menerima warisan dari orang tuanya. Mengenai anak
luar nikah sebagai anak tidak sah hanya mempunyai hubungan hukum
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya dan tidak mempunyai
hubungan hukum dengan ayah dan kerabatayahnya. Oleh karena anak
luar nikah, baik dia laki-laki ataupun perempuan tidak diakui hubungan
darahnya dengan ayahnya, maka dia tidak mewarisi harta ayahnya dan
tidak pula dari seorang kerabat ayahnya sebagaimana ayahnya tidak
mewarisinya lantaran tidak ada sebab pustaka mempusakai antara
keduanya, yaitu hubungan darah. Dalam hukum Islam telah ditentukan
pula bahwa adanya suatu hak nasab bagi seseorang harus dilandasi
dengan adanya sebab yaitu perkawinan yang sah. Selanjutnya sebab
perkawinan yang menjadi salah satu syarat terhadap pemenuhan hak
nasab akan berujung pada pemenuhan hak waris mewarisi. Kesimpulan
hukum seperti ini digali melalui beberapa firman Allah surat an-Nisa’
ayat 11:

Kudrat Abdillah, “Status Anak diluar Nikah Dalam Perspektif Sejarah Sosial (THE
20

STATUS OF CHILDREN BORN OUT OF WEDLOCK FROM THE SOCIO-HISTORICAL


PERSPECTIVES),” Petita 1,no. 1 (April 2016): h. 1–19
19

ََ ََۡۡ َ َۡ ٗٓ َ ‫ُ ه‬ َ ََۡ ُۡ َ ‫ِف أَ ۡو َلَٰد ُِك ۡم ل هِذل َكر م ِۡث ُل‬ ُ ‫يك ُم ه‬
ُ
‫ي فل ُه هن‬
ِ ‫ت‬‫ن‬‫ٱث‬ ‫ق‬‫و‬‫ف‬ ‫ء‬‫ا‬ ‫ِس‬ ‫ن‬ ‫ن‬ ‫ك‬ ‫ن‬ ‫إ‬
ِ ِ ‫ف‬ ِۚ ‫ي‬ ‫ي‬‫نث‬ ‫ۡل‬ ‫ٱ‬ ‫ظ‬
ِ ‫ح‬ ِ ۡۖ ٓ ِ ‫ٱَّلل‬ ِ‫يُوص‬

َ ُّ ‫حد م ِۡن ُه َما‬ ُ َََۡ َ ُ ۡ َََ َٗ َ ۡ َ َ َ ََ َ َُُ


‫ٱلس ُد ُس م هِما ت َر َك‬ ِٖ َٰ ‫ِك َو‬ ُۚ ‫ثلثا ما تركۖۡ ِإَون َكنت وَٰحِدة فلها ٱل ِص‬
ِ ‫ف و ِۡلبويهِ ل‬
‫ُّ ُ ُ َ َ َ َ ُ ٓ ۡ َ د‬ ُ َ ُ َََ ٓ َُ َ َ ‫َ َ َُ َ َد َ هۡ َ ُ هُ َ َد‬
‫ث فإِن َكن َلۥ إِخوة‬ ُۚ ‫ل‬‫ٱثل‬ ِ ‫ه‬‫م‬
ِ ‫إِن َكن َلۥ ول ُۚ فإِن لم يكن َلۥ ول وورِثهۥ أبواه ف ِل‬
َ َ َ َ ُ ُٓ َ ُ ُٓ َ َ ٓ ُّ ِ‫فَ ِلُ ِمه‬
‫وِص ب ِ َها أ ۡو ديۡنٍۗ َءابَاؤك ۡم َوأ ۡب َناؤك ۡم َل ت ۡد ُرون أ ُّي ُه ۡم‬
ِ ُ‫س ِم ۢن َب ۡع ِد َوصِ هيةٖ ي‬
ُۚ
ُ ‫ٱلس ُد‬

ً ‫ٱَّلل ََك َن َعل‬ ‫َۡ ُ َ ُ ۡ َۡ ٗ َ َ ٗ َ ه‬


َ ‫ٱَّللِ إ هن ه‬
ِ ‫ِيما َح‬
)١١( ‫ك ٗيما‬ ِ ِۗ ‫أق َرب لكم نفعا ُۚ ف ِريضة مِن‬

“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)


anak-anakmu.Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagaian
dua orang anak perempuan....”
Tafsir dari ayat ini mengatakan bahwa bagian laki-laki dua kali
bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari
perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah.
Pemahaman dari ayat di atas sebagaimana terlihat dari penjelasan
Wahbah Zuhaili bahwa kata “anak-anakmu” merupakan keturunan yang
berhak mendapat harta warisan dari ayahnya, karena adanya hubungan
darah. Menurut pandangan Shaleh al-Fauzan, penyebab seseorang
mendapatkan harta warisan adalah karena hubungan darah dari kedua
orang tuanya.21

Disamping itu, anak diluar nikah mempunyai beberapa hak yang


harus diperhatikan, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Anak luar nikah tidak boleh dibunuh (digugurkan)

b. Anak luar nikah adalah suci dan tidak berdosa. Karenanya tidak
boleh diperlakukan sebagai orang yang bersalah dan harus
dilindungi dari penderitaan akibat penghukuman (penahanan)

21
Wilda Srijunida, “Status Anak Luar Kawin Menurut Fiqih, Kompilasi Hukum Islam
dan PutusanMahkamah Konstitusi.,” Ilmu Hukum, 2015, h. 30–38
20

terhadap ibunya.

c. Anak luar nikah mempunyai hak untuk mendapat makanan yang


cukup, terutama ASI yang merupakan bakal hidup dan kehidupan
yang paling berharga.

d. Anak luar nikah dapat mendapat hak untuk diasuh sebaik-baiknya


oleh ibunya dan keluarga ibunya. Ibunya dan keluarga ibunya
mempunyai hak penuh karena anak luar nikah mempunyai
hubungan perdata dengan mereka

e. Kalau telah lahir dan mencapai usia pendidikan, anak luar nikah
mempunyai hak terhadap pendidikan dan pengajaran, termasuk
pendidikan agama dan pendidikan moral dan mental yang
mengangkat derajat budi pekerti manusia.

Karena itu, anak zina harus diberlakukan secara manusiawi


sebagaimana anak hasil pernikahan yang sah. Mereka harus diberi
nafkah lahir dan batin serta diberi pendidikan dan pengajaran sehingga
diharapkan kelak menjadi anak yang soleh. Tanggung jawab ini
terutama dari pihak ibu yang melahirkan dan keluarga ibunya. Sebab
anak zina hanya memiliki nasab atau perdata dengan ibunya22

G. Perbedaan Pendapat Para Ulama / cendekiawan muslim tentang


status hukum anak di luar nikah, dalil masing-masing beserta wajhul
istidalnya masingmasing sebab-sebab perbedaan pendapat dan
istinbath hukumnya.

1. Perbedaan pendapat para ulama mengenai hukum yang timbul jika


yang menikahi wanita yang berzina bukan laki-laki yang
menzinahinya yaitu:
a. Ulama yang berpendapat bahwa nasab anak hasil perzinahan

22
Mahjuddin, Masailul Fiqhiyyah, (Jakarta: kalam Mulia, 2005) h.80
21

mengikuti bapaknya, jika ibunya melahirkan 6 bulan setelah


pernikahan ibunya tersebut (yang sah)
Menurut Imam as-Syafi’i, Ibnu Hazm dari kalangan mazhab
Dzahiri (W. 456 H), Syeikh Abdur Rahman bin Nasir Assa’d dari
kalangan mazhab hanbali (W. 1957 H), dan Ibnu Qudamah dari kalangan
mazhab hanbali (W 629 H), berpendapat Jika Seorang ibu yang telah
berzinah sebelum menikah melahirkan seorang anak setelah ia menikah
enam bulan dari perkawinannya (suami sah dari wanita tersebut ) maka
anak tersebut dapat dinasabkan kepada bapaknya.
Hal ini diduga karena perempuan itu telah melakukan zina
sebelum nikah namun tidak sampai pembuahan (hamil). Mengapa yang
dijadikan standar adalah enam bulan? Sebab paling kurang masa
kehamilan itu adalah enam bulan.
1) Berdasarkan Firman Allah Q.S Al-Ahqaf: 15, yaitu:
ُ َ َُۡ ٗ ُ َ ٗ ُ ُ َََ ً َ ۡ َۡ َ َ َ ۡ َۡ ‫َ َ ه‬
‫َحل ۡت ُه أ ُّم ُهۥ ك ۡرها َو َوض َع ۡت ُه ك ۡرها ۖۡ َوَحل ُهۥ َوف ِصَٰل ُهۥ‬ َٰ ‫نسن بِو َٰ ِليهِ إِح‬
ۡۖ ‫سنا‬ َٰ ‫ٱۡل‬
ِ ‫ووصينا‬
َ َ َ ۡ َ ُ ۡ َ ۡ َ ٓ ۡ ۡ َ َ َ َ ٗ َ َ َ َ ۡ َ َ َ َ َ ُ ‫َ َ َٰ ُ َ َ ۡ ً َ ه ٰٓ َ َ َ َ َ ُ ه‬
‫ب أوزِع ِِن أن أشكر ن ِعمتك‬ ِ ‫ثلثون شهراُۚ حَّت إِذا بلغ أشدهۥ وبلغ أربعِي سنة قال ر‬

ُ ‫َّت إّن ُت ۡب‬ ‫ُ ه‬ ۡ ۡ َ َ ُ َ ۡ َ ٗ َ َ َ ۡ َ ۡ َ َ ‫لَع َو َ َ َٰ َ َ ه‬ َ ‫َّت َأ ۡن َع ۡم‬


‫ت َ َه‬ ٓ ِ ‫ٱله‬
‫ت‬ ِ ِ ٓۖ ٓ ِ ‫لَع و َٰ ِلي وأن أعمل صَٰل ِحا ترضىَٰه وأصل ِح ِِل ِِف ذرِي‬

َ ‫ك ِإَوّن م َِن ٱل ۡ ُم ۡسلِم‬


‫ي‬
َ َۡ
‫إَِل‬
ِ ِ

“Dan kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik


kepada orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dengan susah payah,
dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung
sampai menyapihnya sampai 30 bulan”. (Q.S. Al-Ahqaf: 15)
Wajhul Istidlal:
Ibnu Abbas dan para ulama menafsirkan bahwa ayat tersebut
menunjukkan tenggang waktu mengandung dan menyapih adalah 30
bulan.
2) Berdasarkan Firman Allah Q.S Luqman: 14, yaitu:
22

ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ
ِ ۡ ‫صلُهُۥ ِف َع َام‬
‫ي أ َِن ٱش ُك ۡر ِل‬ ِ
ََٰ ‫ََحَلَتهُ أ ُُّمهُۥ َوهنًا َعلَ َٰى َوهنٖ َوف‬ ‫نس َن بِ ََٰولِ َد ۡي ِه‬ ِ ‫ص ۡي نَا‬
ََٰ ‫ٱۡل‬ َّ ‫َوَو‬

‫ص ُۡي‬ ِ ‫ل ۡٱلم‬ ِ َ ‫ولِ َٰولِ َد ۡي‬


َ ََّ ‫ك إ‬ ََ

“Dan kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik)


kepada orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan
lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun.
Bersyukurlah kepadaKu dan kepada orang tuamu. Hanya kepada-Ku
kembalimu”.
Wajhul Istidlal:
Ibnu Abbas dan para ulama menerapkan bahwa menyapi bayi
secara sempurna membutuhkan waktu dua tahun atau dua puluh empat
bulan. Dari penjelasan dua ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
bayi membutuhkan waktu 30-24 bulan = 6 bulan di kandungan. Oleh
karena itu bayi yang lahir 6 bulan setelah pernikahan ibunya yang sah
maka nasabnya mengikuti bapaknya
b. Ulama yang berpendapat bahwa nasab anak dari wanita yang
berzina mengikuti ibunya.
al-Zaila’iy dari golongan Hanafiyah, Ibnu al-Qayyim, Syaikh
Mushafa al-Adani, Syaikh Muhammad bin Shalihal Utsaimin,
berpendapat apabila anak hasil zina lahir kurang dari enam bulan sejak
masa perkawinan, ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya
saja, begitu pula seorang wanita yang telah di cerai kemudian melahirkan
anak pada masa yang lebih dari sembilan bulan sampai satu tahun maka
anak itu bukan anak dari suaminya.
Tanggung jawab mengenai segala keperluan anak itu, baik
material maupun spiritual adalah ibunya yang melahirkannya dan
keluarga ibunya. Mengapa menjadikan standar adalah enam bulan?
Sebab paling kurang masa kehamilan itu adalah enam bulan.
Berdasarkam Hadis Nabi yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari, yaitu :
23

‫ الولد‬:‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال‬:‫عن أيب هريرة رضى هللا عنه قال‬

‫للفراش وللعاهر اۡلجز‬


“ Dari Abu Hurairah sesungguhnya Nabi Saw. Bersabda: Anak itu
bagi yang meniduri istri(secara sah)yaitu suami, sedangkan bagi pezina
ia hanyak berhak mendapatkan batu (tidak mendapat apa-apa)”.(HR.
Bukhari)
Wajhul Istidlal:
Hadits diatas menjelaskan bahwa perzinaan itu sama sekali tidak
akan berpengaruh terhadap sebab-sebab ketetapan nasab antara anak
dengan ayah biologis yang menzinai ibunya. Lelaki yang secara biologis
adalah ayah kandungnya itu berkedudukan sebagai orang lain, sehingga
tidak wajib memberi nafkah, tidak ada hubungan waris mewarisi. Sebab
antara keduanya tidak ada hubungan sama sekali dalam syari’at Islam.
Sebagai jalan keluar dalam hal ini, hubungan anak hasil zina
dengan ayah yang membuahinya dapat dihubungkan melalui jalan hibah
atau wasiat, bila sang ayah tersebut mampu bertanggung jawab atas
perbuatannya yang menyebabkan kelahiran anak itu. Ketentuan ini
berlaku untuk anak yang lahir diluar nikah yang sah. Anak hasil zina
adalah suci dari segala dosa, karena kesalahan itu tidak dapat ditujukan
kepada anak tersebut, tetapi kepada kedua orang tuanya (yang tidak sah
menurut hukum).
Berdasarkan Firman Allah Q.S An-Najm: 38

‫اَََّّل تَ ِزُر َوا ِزَرةٌ ِوْزَر اُ ْخ َٰرى‬


“(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa
orang lain”. (Q.S. An-Najm: 38).
Wajhul Istidlal:
Pada ayat tersebut jelaslah bahwa anak hasil zina tidak akan
24

memikul dosa perbuatan ayah dan ibunya. Maka anak hasil zina tidak
berdosa. Oleh sebab itu anak hasil zina pun harus diperlakukan secara
manusiawi,diberi pendidikan, pengajaran, dan keterampilan yang
berguna untuk bekal hidupnya dimasa depan. Dalam hal nasab, anak
hasil zina hanya di nisbatkan kepada ibunya begitu pula dalam hal waris
mewarisi keduanya23
2. Sebab perbedaan pendapat tentang hukum Anak di Luar Nikah /
Anak Hasil Zina
a. Ulama berbeda pendapat mengenai apakah nasab anak yang lahir dari
pernikahan seorang wanita, yang telah melakukan zina dengan pria
yang tidak menzinahinya, dapat mengikuti nasab bapaknya (bukan
laki-laki yang menzinahi ibunya) jika melahirkannya 6 bulan setelah
menikah.
b. Ulama berbeda pendapat mengenai apakah nasab anak yang lahir dari
pernikahan seorang wanita yang telah melakukan zina dengan bukan
pria yang menzinahinya mengikuti nasab ibunya, jika ia melahirkan
tetapi kurang dari 6 bulan setelah ia menikah.
3. Al-jam’u wa al-Taufiq
Setelah membandingkan pendapat-pendapat yang ada dan dalilnya masing
masing, maka dapat diambil titik temu di antara pendapat-pendapat yang ada
berupa:
a. Jika wanita yang berzina melahirkan 6 bulan / lebih setelah dia
menikah maka nasab anak tersebut kepada bapaknya (suami sah dari
wanita tersebut)
b. Jika wanita yang berzina melahirkan kurang dari 6 bulan setelah dia
menikah maka nasab anak tersebut mengikuti ibunya (wanita yang
berzina tersebut)

23
26 Masjfuk, Masail Fiqhiyah, ( Jakarta: PT Gunung Agung, 1994), h. 40
25

H. Perbedaan Pendapat Ulama Mengenai Hukum Yang Timbul Jika


Yang Menikahi Wanita Yang Berzina Adalah Laki-Laki Yang
Menzinahinya Yaitu:

1. Ulama yang berpendapat bahwa nasab anak hasil perzinahan


mengikuti bapaknya yaitu:
Urwah bin Zubair (W. 94 H/712 M) , Salman bin Yasar, Abu Hanifah,
Hasan al-Bashri, an-Nakha’i, Ishaq bin Rahawaih, Ibnu Taymiyyah
dan Ibnu al-Qayyim, berpendapat bahwa bayi termasuk anak
suaminya yang sah dan nasabnya mengikuti bapaknya. jika ibunya
dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya. Berdasarkan:
a. Firman Allah QS. An-Nisa ayat 23:
ِ ‫َخ وب نَات ۡٱۡل ُۡخ‬ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ
‫ت‬ ُ ََ ِ ‫ٱۡل‬ ُ َ‫َخ ََٰوتُ ُكم َو َع ََّٰمتُ ُكم َو ََٰخ َٰلَتُ ُكم َوبَن‬
‫ات‬ َ ‫ُح ِرَمت َعلَي ُكم أ َُّم ََٰهتُ ُكم َوبَنَاتُ ُكم َوأ‬
‫ت نِ َسآئِ ُك ۡم َوَربََٰٓئِبُ ُك ُم ٱ َٰلَِِّت ِف ُح ُجوِرُكم‬ ِ َٰ ‫ٱلر‬ ِ ۡ ۡ ‫وأ َُّم َٰهت ُكم ٱ َٰلَِِّت أ َۡر‬
ُ ‫ض َعة َوأ َُّم ََٰه‬ َ َّ ‫َخ ََٰوتُ ُكم م َن‬
َ ‫ضعنَ ُكم َوأ‬َ ٓ ُ َُ َ

‫اح َعلَ ۡي ُك ۡم َو َح َٰلَٓئِ ُل أ َۡب نَآئِ ُك ُم‬‫ن‬


َ ‫ج‬ ‫َل‬
َ ‫ف‬
َ ‫ن‬
َّ ِِ‫ِمن نِسآئِ ُكم ٱ َٰلَِِّت دخ ۡلتُم ِبِِ َّن فَإِن ََّّۡل تَ ُكونُواْ دخ ۡلتُم ِب‬
َ ُ ََ ََ ُ َ
ۡ ۡ ‫َص َٰلبِك ۡم وأَن َ َۡتمعوا ب ۡي ۡٱۡل ُۡخت‬ ۡ ۡ ِ ‫ٱلَّ ِذ‬
‫ٱَّللَ َكا َن َغ ُفورٖا‬ َّ ‫ف إِ َّن‬ ‫ل‬
َ
َ َ ‫س‬ ‫د‬ َ‫ق‬ ‫ا‬ ‫م‬
َ َّ
‫َّل‬ ِ
‫إ‬ ‫ي‬ِ َ َ َ ْ َُ َ ُ َ ‫ين من أ‬ َ
ِ ‫َّرِحيمٖا‬
“Diharamkan atas kamu (menikah) ibu-ibumu, anak-anakmu
yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-
saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang
perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamus saudara-saudara
perempuanmu sesusuan”.
Wajhul istidlal:
ayat diatas menjelaskan bahwa orang yang haram untuk dinikahi salah
satunya adalah anak perempuan. Menurut Madzhab Hanafi nasab anak
status di luar nikah adalah sama dengan anak yang lahir di dalam
pernikahan yang sah, karena Madzhab Hanafi menganggap adanya
26

nasab secara hakiki, maka nasab hakiki kepada bapak biologisnya


adalah stabit. Maka anak tersebut diharamkan untuk dinikahi bapak
biologisnya, karna nasab anak itu tersambung ke bapaknya

2. Ulama yang berpendapat bahwa nasab anak hasil


perzinahan mengikuti ibunya.
Menurut Imam Malik, dan Imam Syafi’i bila wanita tersebut
hamil walaupun baru beberapa hari, kemudian dinikahi oleh laki-laki
yang menghamilinya. Maka bayi yang dilahirkan bukan anak suaminya
yang sah karena keberadaannya dalam kandungan mendahului
perkawinan. Maka anak tersebut termasuk anak zina dan anak tersebut
bukan anaknya. Menurut hukum syar’i dan dinisbatkan kepada ibu yang
melahirkannya. Berdasarkan:
a) Berdasarkan Firman Allah Q.S An-Najm: 38

‫اَََّّل تَ ِزُر َوا ِزَرةٌ ِوْزَر اُ ْخ َٰرى‬

“(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa


orang lain”. (Q.S. An-Najm: 38).
Wajhul Istidlal:
Pada ayat tersebut jelaslah bahwa anak hasil zina tidak akan
memikul dosa perbuatan ayah dan ibunya. Maka anak hasil zina
tidak berdosa. Oleh sebab itu anak hasil zina pun harus
diperlakukan secara manusiawi,diberi pendidikan, pengajaran, dan
keterampilan yang berguna untuk bekal hidupnya dimasa depan.
Dalam hal nasab, anak hasil zina hanya di nisbatkan kepada ibunya
begitu pula dalam hal waris mewarisi keduanya

b) Firman Allah SWT QS. al-Isra ayat 32

‫نٓ إِنَّهُۥ َكا َن َٰفَ ِح َشةٖ َو َسآءَ َسبِيلٖا‬ ِ ْ‫َوََّل تَ ۡقربُوا‬


ََٰ ‫ٱلز‬ َ
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu
27

adala suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”.
Wajhul istidlal:
ayat ini menjelaskan bahwa kita harus menjauhi dan menghindari
aktivitas maupun pergaulan yang dapat menjerumuskan kita pada
perzinahan. Jika seorang wanita sudah melakukan perbuatan zina sampai
menyebabkan hamil di luar nikah, kemudian wanita tersebut dinikahi
oleh laki-laki yang menghamilinya. Maka bayi yang dilahirkan bukan
anak suaminya yang sah, nasabnya mengikuti ibunya. Jadi anak tersebut
ternasuk anak hasil zina dan anak tersebut bukan anaknya.

3. Sebab perbedaan pendapat tentang hukum Anak di Luar Nikah /


Anak Hasil Zina
a. Ulama berbeda pendapat dalam memandang apakah anak hasil zina
memikul dosa perbuatan bapak dan ibunya atau tidak.
b. Ulama berbeda pendapat dalam memandang anak yang lahir dari
pernikahan wanita yang berzina dengan laki-laki yang bukan
menzinahinya (suami sah dari wanita tersebut) apakah dinisbatkan
kepada bapaknya ataukah kepada ibunya.
c. Ulama berbeda pendapat dalam memandang apakah anak hasil zina
bisa dinisbatkan kepada bapak biologisnya atau tidak.

4. Tarjih
Setelah membandingkan pendapat yang ada dan dalilnya masing-
masing maka dapat disimpulkan bahwa pendapat yang paling kuat (rajih)
adalah pendapat kedua yaitu pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i
yang menyatakan bahwa bila wanita tersebut hamil walaupun baru
beberapa hari, kemudian dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya.
Maka bayi yang dilahirkan bukan anak suaminya yang sah karena
keberadaannya dalam kandungan mendahului perkawinan dan anak
tersebut nasabnya kepada ibunya.
Adapun alasan pendapat ini menjadi pendapat yang rajih (paling
28

kuat) dalam hal ini adalah:


1. Dalil yang digunakan lebih kuat karena dalil kelompok kedua
memiliki lebih banyak dari pada kelompok ke 1, yaitu memiliki 2
dalil tentang anak zina bernasab kepada ibunya, sedangkan
kelompok pertama hanya diperkuat dengan 1 dalil.
2. wajhul al-istidlal yang digunakan lebih kuat dan lebih tepat,
karena dalil pada surah annisa ayat 23 bukanlah dasar untuk
menasabkan anak diluar nikah kepada bapak kamdungnya tetapi
ayat tersebut hanya menjelaskan tentang keharaman dalam
menikahi anak perempuan, ibu , dan saudara saudara kandung.
sehingga lebih tepat wajhul Istidlal Q.S. An-Najm ayat 38 yang
mengatakan nasab anak yang hamil diluar nikah adalah ke ibunya.
3. Pendapat ini sesuai dengan kemashlahatan, yaitu mencegah adanya
perzinahan karena untuk menjaga nasab dan membuat pelaku zina
jera atas apa yang dilakukannya,
28

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Secara bahasa atau etimologi anak angkat dalam bahasa arab di sebut
“tabanny” yang suatu kebiasaan pada masa jahiliyyah dan permulaan
islam yaitu apabila seorang yang mengangkat anak orang lain seorang
anak, yaitu berlakulah hukum-hukum yang berlaku atas anak kandung
dan meneurut muhammad Yunus mengartikannya dengan mengambil
anak angkat, Sedangkan dalam kamus munjid diartikan “ittikhh adzahu
ibnan” yaitu menjadikannya sebagai anak.
2. Pengertian adopsi menurut bahasa dari bahasa Inggris “Adoption” yang
artinya pengangkatan atau pemungutan. Sehingga sering dikatakan
“Adoption of a child” yang artinya pengangkatan atau pemungutan anak.
3. Status hukum anak angkat hal yang penting untung ditegaskan kembali
adalah hukum anak angkat. Karena jika status anak angkat disamakan
haknya dengan anak sendiri berarti kembali kepada budaya jahiliah.
4. Ahmad al-Bari, Ibnu ‘Asyur, Mahmud Syaltut, dan Muhammad Quraish
Shihab,berpendapat bahwa mengambil dan merawat anak yang terlantar
tanpa harus memutus nasab orang tua kandungnya adalah wajib
hukumnya yang menjadi tanggung jawab masyarakat kolektif, atau
dilaksanakan oleh beberapa orang sebagai fardhu kifayah.Tetapi hukum
tersebut dapat berubah menjadi fardhu ‘ain, apabila seseorang
menemukan anak terlantar atau anak terbuang di tempat yang sangat
membahayakan atas nyawa anak itu.
5. Muhammad Ali as-Shabuni, al-Imam al-Lausi, Yusuf al-Qaradhawi,
Wahbah az-Zuhaili, berpendapat bahwa syariat Islam telah
mengharamkan tabanni (pengangkatan Anak) yang menisbatkan seorang
anak angkat kepada yang bukan bapak angkatnya.
6. Setelah membandingkan pendapat yang ada dan dalilnya masing-masing
tentang pengangkatan anak, maka dapat disimpulkan bahwa pendapat
yang rajih (paling kuat) dalam hal ini adalah pendapat yang

28
29

membolehkan mengadopsi anak dengan alasan memelihara, tetapi


dengan tidak menisbatkan nama ayah yang bukan ayah kandungnya.
Alasan pendapat ini lebih kuat, yaitu: Pendapat ini sesuai dengan
kemashlahatan, yaitu:

1) Mengurangi kebodohan.
2) Pembinaan akhlakul karimah melalui pendidikan.
3) Terjalin rasa kasih sayang terhadap anak yatim.
4) Mengurangi anak-anak yang terlantar. Perbuatan ini merupakan
prilaku yang terpuji yaitu timbulnya rasa saling berbagi dan mendidik
anak-anak yang terlantar.
7. Anak diluar nikah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan
yang tidak memiliki ikatan perkawinan yang sah dengan laki-laki yang
telah membenihkan anak dirahimnya.
8. Status hukum anak di luar nikah : Sesungguhnya kehadiran anak dari
hasil zina tidaklah salah dan berdosa. Dia tidak lebih dari akibat
perbuatan sepasang laki dan perempuan yang tidak bertanggung jawab.
Seharusnya yang mendapat predikat tidak baik adalah pasangan zina
yaitu yang telah berbuat dosa besar
B. Saran
Kepada mahasiswa dan pembaca Setelah mempelajari materi mengenai
anak Angkat dan Anak Hasil Zina, diharapkan mahasiswa dapat memahami
pengertian serta perbedaan pendapat ulama tentang Anak Angkat dan Anak
Hasil Zina . Harapan penulis semoga kita semua bisa menjaga diri dari pergaulan
bebas sehingga tidak terjerumus ke dalam perbuatan zina dan bila suatu saat
telah berkeluarga alangkah baiknya bersabar dan tetap berusaha disertai Do’a
jika belum di beri rezeki anak.
30

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Terjemahan. 2015. Departemen Agama. RI. Bandung: CV Darus


Sunnah.

Al-Suyuti, Al-Jam’i asShagir, (Cairo: Musthafa al-Babi al Halabi, 1954).

Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesi,


(Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1999).

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:


Gramedia, 2008).

Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat. (Bandung : Citra Aditya Bakti 1990).

Imam Jauhari, “Hukum perwalian anak zina dan hak warisnya (LEGAL
GUARDIANSHIP OF ADULTERY CHILD AND THE RIGHT OF THEIR
INHERITENCE),” Kanun Jurnal Ilmu Hukum, no. 54 (Agustus 2011).

John M. Echols, An English-Indonesian Dictionary, (Jakarta: Gramedia, 2010).

Kudrat Abdillah, “Status Anak diluar Nikah Dalam Perspektif Sejarah Sosial
(THE STATUS OF CHILDREN BORN OUT OF WEDLOCK FROM THE
SOCIO-HISTORICAL PERSPECTIVES),” Petita 1,no. 1 (April 2016).

Mahjuddin, Masail Al-Fiqh: Kasus-kasus Aktual dalam Hukum Islam, (Jakarta:


Kalam Mulia, 2012).

Nashiruddin Al-Albani, Muhammad, Mukhtasar Shahih Bukhari Jilid 4, Oman:


Maktabah Islamiyah, 1416 H.
Prodjodikoro, Wirjono. 1983. Hukum Waris di Indonesia. Bandung: Sumur.

Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Raja Garafindo Persada, 2001) .

30
31

Shidiq, Saipudin, Fikih Kontemporer, (Jakarta:PT Kharisma Putra Utama, 2017)


hal.89-90

Sri Gambir Melati, “Anak luar kawin,” Hukum dan pembangunan, no. 1 (Februari
1995).

Srijunida, wilda, “Status Anak Luar Kawin Menurut Fiqih, Kompilasi Hukum
Islam dan PutusanMahkamah Konstitusi.,” Ilmu Hukum, 2015.

Sudarto, Masailul Fiqhiyyah al-Haditsah, (Yogyakarta, CV. Budi Utama, 2018).

Syamau Alam, Andi, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta,


Kencana, 2008).

Anda mungkin juga menyukai