Makalah di susun sebagai salah satu tugas dari mata kuliah Masail Fiqhiyyah
Disusun oleh:
FAKULTAS TARBIYAH
1444 H/2023 M
بِ ْسم ه
ِِاَّللِال هر ْْحَنِال هرحيم
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji syukur kepada Allah Swt., kami panjatkan atas
limpahan Rahmat, Hidayah serta Inayah-Nya, kami bisa menyelesaikan karya
Ilmiyah berupa makalah yang singkat dan sederhana ini. Sholawat serta salam
mudah-mudahan tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi akhir jaman,
penolong umat, yaitu Baginda Muhammad SAW yang telah menunjukkan kita
kepada jalan hidup lurus yang di ridhoi oleh Allah SWT, dengan ajarannya
agama Islam.
Makalah ini dibuat dalam rangka untuk memenuhi tugas dari bapak
Dosen Mata Kuliah Masail Fiqhiyah dengan judul Anak angkat dan Anak hasil
perzinahan, Fakultas Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI)
Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta. Dalam kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada Dosen Pengampu
Bapak Dr. Syarif Hidayatullah, S.S.I, MA. yang selalu kami harapkan
keberkahannya dan semua pihak yang telah membantu kami dalam
menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini masih belum sempurna, untuk itu perlu masukan dari semua
pihak terutama Bapak Dr. Syarif Hidayatullah, S.S.I, MA. dan teman-teman
Mahasiswi lainnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
khususnya bagi penyusun sendiri umumnya para pembaca makalah ini, apabila
ada kekurangan dalam penulisan makalah ini. Penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya. Terima Kasih.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
C. tujuan...................................................................................................................... 2
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 28
B. Saran..................................................................................................................... 29
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
PEMBAHASAN
1
John M. Echols, An English-Indonesian Dictionary, (Jakarta: Gramedia, 2010), h.13
2
Mahjuddin, Masail Al-Fiqh: Kasus-kasus Aktual dalam Hukum Islam, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2012), h. 96
3
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesi,
(Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1999), h.402
4
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia,
2008), h.11
3
4
dan adat) yang diangkat karena alasan tertentu dan dianggap sebagai
anak kandung.
Sedangkan menurut Muderis Zaini, bahwa anak angkat ialah penyatuan
seseorang terhadap anak yang diketahuinya bahwa ia sebagai anak orang
lain ke dalam keluarganya untuk diperlakukan sebagai anak dalam segi
kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala
kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri.5
Mengangkat anak dalam islam haruslah memiliki tujuan yang jelas,
yaitu untuk menolong dan mengasuh serta mendidik, sebagaimana orang tua
melakukan itu semua kepada anak kandungnya. Tapi yang perlu di ingat
bahwa anak angkat tetaplah anak angkat, mereka tidak memliki hak-hak
seperti yang di miliki anak kandung. Dari pengertian yang telah diberikan
oleh para ahli tersebut diatas, pendapat Muderis Zaini yang lebih sesuai
dengan apa yang dimaksud dalam KHI.
Maka dapat disimpulkan bahwa jika seseorang mengangkat anak yang
di ketahui bahwa anak itu adalah anak orang lain, maka ia harus
memperlakukan anak tersebut sama dengan anak kandungnya, baik dari segi
kasih sayang, nafkah, pendidikan, serta perhatian lainnya dan tidak
menyamakannya dalam hal nasab.
5
Prodjodikoro, Wirjono. 1983. Hukum Waris di Indonesia. Bandung: Sumur, h. 37
5
sebagai anak, maka para sahabat pun kemudian memanggilnya dengan Zaid
bin Muhammad Setelah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul,
turunlah ayat yang melarang pengangkatan anak dengan akibat hukum
seperti di atas (saling mewarisi) dan memanggilnya sebagai anak kandung,
ayat yang menjelaskan tentang peristiwa tersebut terdapat dalam Q.S. Al-
Ahzab (33: 4-5).
6
Andi Syamau Alam, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta, Kencana,
2008), h. 22-23
6
7
Mahjuddin, masail Al-fiqh–kasus Aktual Dalam Hukum Islam, (jakarta: kalam mulia,
2016) h. 99-101
8
Hilman Hadikusuma. Hukum Waris Adat. (Bandung : Citra Aditya Bakti 1990), h. 124.
7
angkat tidak berhak mendapatkan pembagian harta warisan dari orang tua
angkatnya, maka sebagai solusinya menurut Komplikasi Hukum Islam
adalah dengan jalan pemberian “Wasiat Wajibah” sebanyak-banyaknya 1/3
(sepertiga) harta warisan orang tua angkatnya. Sebagaimana telah diatur
didalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 ayat 2 yang berbunyi:
“Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat maka diberi wasiat
wajibah sebanyak -banyaknya 1/3 dari harta wasiat orang tua angkatnya”.
Hal yang sangat penting untuk di tegaskan kembali adalah hukum anak
angkat. Karena jika status anak angkat disamakan haknya dengan anak
sendiri berarti kembali pada budaya jahiliyah. Hal ini dalam banyak kasus
masih terjadi di masyarakat. Seorang bapak anak angkat (yang tidak punya
anak) yang sudah terlanjur sayang kepada anak-anak angkatnya enggan
untuk menjelaskan bahwa ia adalah bukan anak asli padahal anak angkat
tersebut telah dewasa.
Usaha untuk merahasiakan yang dilakukan orang tua angkat terhadap
anak status anak angkatnya di tegaskan syeikh yusuf Al-Qaradhawi. Sebab
kebohongan perkataan manusia tidak dapat menutupi kebenaran status anak
angkat jika dihubungkan dengan orang tua angkat adalah orang lain yang
berdampak konsekuansi hukum, sebagai berikut :
1. Orang tua angkat tidak boleh mengganti nasab anak angkat dengan
dirinya sendiri (orang tua angkat).
2. Anak angkat tidak berhak mendapatkan waris jika orang tua
angkat nya meninggal.
3. Hubungan anak dengan orang tua angkat dan keluarga orang tua
angkat tidak menghilangkan kemahraman.
8
س أ َۡو فَ َسادٖ ِف ٍ ك َكتَ ۡب نَا َعلَ َٰى بَِِٓن إِ ۡس ََٰٓرِءيل أَنَّهُۥ َمن قَتَل نَ ۡف ََۢسا بِغَ ۡ ِۡي نَ ۡف
َ
ِِم ۡن أ َۡج ِل َٰذَل
َ َ
ۡ ۡ َِ َجيعٖا وم ۡن أ َۡحياها فَ َكأَََّّنَآ أ َۡحيا ٱلنَّاس ۡ ۡٱۡل
َجيعٖا َولََقد َجآءَۡتُ ۡم َ َ َ َ ََ
َِ ض فَ َكأَََّّنَا قَتَل ٱلنَّاس
َ َ ِ َر
ۡ ِت ُُثَّ إِ َّن َكثِۡيٖا ِم ۡن هم ب ۡع َد َٰذَل ِۡ
ض لَ ُم ۡس ِرفُو َن ِ ك ِف ٱۡل َۡر
َ َ ُ
ِ َٰ
ن ِ
َ َ ُر ُسلُنَا ب
ي ب ٱل
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil,
bahwa barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu
membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di
bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia.
Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-
akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia.
Sesungguhnya Rasul Kami telah datang kepada mereka dengan
(membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi kemudian
9
Wajhul Istidlal:
أان: عن أيب هريرة رضي هللا عنه قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم
9
Al-Qur’an Terjemahan. 2015. Departemen Agama. RI. Bandung: CV Darus Sunnah.
10
Andi Syamsu Alam, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana,
2008) h.52-53.
11
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Mukhtasar Shahih Bukhari Jilid 4, Oman:
Maktabah Islamiyah,1416 H, h.840
10
Wajhul Istidlal :
ۡ ۡ ۡ
ي ِف َج ۡوفِ ِهۦ َوَما َج َع َل أَزََٰو َج ُك ُم ٱ َٰلَِّٓي تُ َٰظَ ِه ُرو َن ِمن ُه َّن أ َُّم ََٰهتِ ُك ۡم
ِ ۡ َٱَّللُ لِر ُجلٖ ِمن قَلب
َ َّ َّما َج َع َل
يلِٱلسب
َّ يدِ ول ۡٱۡل َّق وهو ي ۡه
ُ ق
ُ ي ٱَّلل
َّ و ۡ وما جعل أ َۡدعِيآء ُك ۡم أ َۡب نآء ُك ۡم َٰذَلِ ُك ۡم ق ۡولُ ُكم ِِب َۡف َٰوِه ُك
م َ
َ ُ
َ َ َ َ َُ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ََ
12
Sapiudin Shidiq, Fikih Kontemporer, (Jakarta:PT Kharisma Putra Utama, 2017) h..89-
90
11
َّرِحي ًما
Wajhul Istidlal
13
Al-Qur’an Terjemahan. 2015. Departemen Agama. RI. Bandung: CV Darus Sunnah
14
Sudarto, Masailul Fiqhiyyah al-Haditsah, (Yogyakarta, CV. Budi Utama, 2018) h.128
12
: عن سعيد بن أيب وقاص رضي هللا عنه عن النيب صلى هللا عليه وسلم قال
Wajhul Istidlal
15
Muhammad Nashruddin Al-Albani, Mukhtasar Shahih Bukhari Jilid 4, (Oman:
Maktabah Islamiyah, 1416 H)
13
4. Al-Jam’u wa al-Taufiq.
Setelah membandingkan pendapat-pendapat yang ada dan
dalilnya masing-masing, maka dapat diambil titik temu diantara
pendapat-pendapat yang ada yaitu berupa:
a. Pengangkatan anak hukumnya boleh (mubah) apabila
pengangkatan anak bertujuan untuk menolong sesama
manusia demi kepentingan dan kemaslahatan anak dengan
tidak memutuskan nasab orang tua kandungnya.
b. Pengangkatan anak hukumnya haram apabila menisbatkan
segalanya kepada nama bapak angkatnya, persamaan hak
waris dan hubungan mahram serta perwalian pernikahan
dan memutuskan nasab orang tua kandungnya.
14
16
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Raja Garafindo Persada, 2001) h. 159-160
15
17
Sri Gambir Melati, “Anak luar kawin,” Hukum dan pembangunan, no. 1 (Februari
1995), h. 1–11
16
f. Anak yang dilahirkan dari orang tua yang menikah beda negara
dan mengakibatkan hukum perdata/Negara tidak dapat menikah (seperti
seorang WNA nikah dengan WNI tidak mendapat izin dari kedutaan
karena masih terikat pernikahan di Negaranya).
Ada dua macam istilah yang dipergunakan bagi zina, yaitu
1). zina muhson, yaitu zina yang dilakukan orang yang telah atau
pernah menikah, hukuman bagi pezina muhson dirajam sampai mati
2). zina ghairu muhson, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang
belum pernah menikah, mereka berstatus perjaka/perawan, hukuman bagi
pezina ghairu muhson di cambuk 100 kali.18
F. Status Hukum Anak di Luar Nikah
Nasab adalah salah satu fondasi kuat yang menopang berdirinya
sebuah keluarga, karena nasab mengikat antar anggota keluarga dengan
pertalian darah. Dalam hal ini, anak adalah bagian dari pada ayah.
Wahbah Zuhaili menyebutkan bahwa nasab seorang anak terhadap ibunya
tetap bisa diakui dari setiap sisi kelahiran, baik yang syar’i maupun tidak.
Adapun nasab seorang anak dengan ayahnya hanya bisa diakui dengan
adanya nikah yang sahih atau fasid, atau wati’ syubhat (persetubuhan
yang samar status hukumnya), atau pengakuan nasab itu sendiri, di dalam
Islam sering disebut sebagai istilhaq (pengakuan terhadap seorang anak).
Abdul Majid menyatakan bahwa Allah mengukuhkan aturan-
aturan untuk memelihara nasab dari kehancuran dan kekacauan. Allah
juga menjadikan nasab sebagai anugrah yang diberikan kepada hamba-
hambanya sebagaimana disebutkan dalam firman Allah dalam surat Al-
Furqan ayat 54:
ك قَ ِديْ ًرا ِۤ ِ
َ َُّوُه َو الَّذ ْي َخلَ َق ِم َن الْ َماء بَ َشًرا فَ َج َعلَهُ نَ َسبًا َّو ِص ْهًرا َوَكا َن َرب
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan
manusia itu (mempunyai) keturunan dan Mushaharah (hubungan
18
Imam Jauhari, “Hukum perwalian anak zina dan hak warisnya (LEGAL
GUARDIANSHIP OF ADULTERY CHILD AND THE RIGHT OF THEIR INHERITENCE),”
Kanun Jurnal Ilmu Hukum, no. 54 (Agustus 2011), h.1–20.
17
19
Al-Suyuti, Al-Jam’i asShagir, (Cairo: Musthafa al-Babi al Halabi, 1954) h.17
18
kepadanya jika dia dusta.). Anak yang lahir dalam kategori ini memiliki
akibat hukum :
1. tidak memiliki hubungan nasab dengan ayahnya, melainkan
mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Ayahnya tidak ada
kewajiban memberi nafkah kepada anak tersebut, namun secara
biologis adalah anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah
secara manusiawi, bukan secara hukum
2. Tidak saling mewarisi harta dengan ayahnya, karena hubungan
nasab merupakan salah satu penyebab mendapat warisan.
3. Ayah tidak dapat menjadi wali bagi anak di luar nikah. Apabila
anak di luar nikah kebetulan seorang perempuan dan sudah dewasa
lalu akan menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh ayah
biologisnya20
Hukum Islam menetapkan bahwa anak menempati garis kewarisan
pertama dalam hal menerima warisan dari orang tuanya. Mengenai anak
luar nikah sebagai anak tidak sah hanya mempunyai hubungan hukum
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya dan tidak mempunyai
hubungan hukum dengan ayah dan kerabatayahnya. Oleh karena anak
luar nikah, baik dia laki-laki ataupun perempuan tidak diakui hubungan
darahnya dengan ayahnya, maka dia tidak mewarisi harta ayahnya dan
tidak pula dari seorang kerabat ayahnya sebagaimana ayahnya tidak
mewarisinya lantaran tidak ada sebab pustaka mempusakai antara
keduanya, yaitu hubungan darah. Dalam hukum Islam telah ditentukan
pula bahwa adanya suatu hak nasab bagi seseorang harus dilandasi
dengan adanya sebab yaitu perkawinan yang sah. Selanjutnya sebab
perkawinan yang menjadi salah satu syarat terhadap pemenuhan hak
nasab akan berujung pada pemenuhan hak waris mewarisi. Kesimpulan
hukum seperti ini digali melalui beberapa firman Allah surat an-Nisa’
ayat 11:
Kudrat Abdillah, “Status Anak diluar Nikah Dalam Perspektif Sejarah Sosial (THE
20
ََ ََۡۡ َ َۡ ٗٓ َ ُ ه َ ََۡ ُۡ َ ِف أَ ۡو َلَٰد ُِك ۡم ل هِذل َكر م ِۡث ُل ُ يك ُم ه
ُ
ي فل ُه هن
ِ تنٱث قوف ءا ِس ن ن ك ن إ
ِ ِ ف ِۚ ي ينث ۡل ٱ ظ
ِ ح ِ ۡۖ ٓ ِ ٱَّلل ِيُوص
b. Anak luar nikah adalah suci dan tidak berdosa. Karenanya tidak
boleh diperlakukan sebagai orang yang bersalah dan harus
dilindungi dari penderitaan akibat penghukuman (penahanan)
21
Wilda Srijunida, “Status Anak Luar Kawin Menurut Fiqih, Kompilasi Hukum Islam
dan PutusanMahkamah Konstitusi.,” Ilmu Hukum, 2015, h. 30–38
20
terhadap ibunya.
e. Kalau telah lahir dan mencapai usia pendidikan, anak luar nikah
mempunyai hak terhadap pendidikan dan pengajaran, termasuk
pendidikan agama dan pendidikan moral dan mental yang
mengangkat derajat budi pekerti manusia.
22
Mahjuddin, Masailul Fiqhiyyah, (Jakarta: kalam Mulia, 2005) h.80
21
ۡ ۡ ۡ ۡ ۡ
ِ ۡ صلُهُۥ ِف َع َام
ي أ َِن ٱش ُك ۡر ِل ِ
ََٰ ََحَلَتهُ أ ُُّمهُۥ َوهنًا َعلَ َٰى َوهنٖ َوف نس َن بِ ََٰولِ َد ۡي ِه ِ ص ۡي نَا
ََٰ ٱۡل َّ َوَو
الولد: قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال:عن أيب هريرة رضى هللا عنه قال
memikul dosa perbuatan ayah dan ibunya. Maka anak hasil zina tidak
berdosa. Oleh sebab itu anak hasil zina pun harus diperlakukan secara
manusiawi,diberi pendidikan, pengajaran, dan keterampilan yang
berguna untuk bekal hidupnya dimasa depan. Dalam hal nasab, anak
hasil zina hanya di nisbatkan kepada ibunya begitu pula dalam hal waris
mewarisi keduanya23
2. Sebab perbedaan pendapat tentang hukum Anak di Luar Nikah /
Anak Hasil Zina
a. Ulama berbeda pendapat mengenai apakah nasab anak yang lahir dari
pernikahan seorang wanita, yang telah melakukan zina dengan pria
yang tidak menzinahinya, dapat mengikuti nasab bapaknya (bukan
laki-laki yang menzinahi ibunya) jika melahirkannya 6 bulan setelah
menikah.
b. Ulama berbeda pendapat mengenai apakah nasab anak yang lahir dari
pernikahan seorang wanita yang telah melakukan zina dengan bukan
pria yang menzinahinya mengikuti nasab ibunya, jika ia melahirkan
tetapi kurang dari 6 bulan setelah ia menikah.
3. Al-jam’u wa al-Taufiq
Setelah membandingkan pendapat-pendapat yang ada dan dalilnya masing
masing, maka dapat diambil titik temu di antara pendapat-pendapat yang ada
berupa:
a. Jika wanita yang berzina melahirkan 6 bulan / lebih setelah dia
menikah maka nasab anak tersebut kepada bapaknya (suami sah dari
wanita tersebut)
b. Jika wanita yang berzina melahirkan kurang dari 6 bulan setelah dia
menikah maka nasab anak tersebut mengikuti ibunya (wanita yang
berzina tersebut)
23
26 Masjfuk, Masail Fiqhiyah, ( Jakarta: PT Gunung Agung, 1994), h. 40
25
adala suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”.
Wajhul istidlal:
ayat ini menjelaskan bahwa kita harus menjauhi dan menghindari
aktivitas maupun pergaulan yang dapat menjerumuskan kita pada
perzinahan. Jika seorang wanita sudah melakukan perbuatan zina sampai
menyebabkan hamil di luar nikah, kemudian wanita tersebut dinikahi
oleh laki-laki yang menghamilinya. Maka bayi yang dilahirkan bukan
anak suaminya yang sah, nasabnya mengikuti ibunya. Jadi anak tersebut
ternasuk anak hasil zina dan anak tersebut bukan anaknya.
4. Tarjih
Setelah membandingkan pendapat yang ada dan dalilnya masing-
masing maka dapat disimpulkan bahwa pendapat yang paling kuat (rajih)
adalah pendapat kedua yaitu pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i
yang menyatakan bahwa bila wanita tersebut hamil walaupun baru
beberapa hari, kemudian dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya.
Maka bayi yang dilahirkan bukan anak suaminya yang sah karena
keberadaannya dalam kandungan mendahului perkawinan dan anak
tersebut nasabnya kepada ibunya.
Adapun alasan pendapat ini menjadi pendapat yang rajih (paling
28
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Secara bahasa atau etimologi anak angkat dalam bahasa arab di sebut
“tabanny” yang suatu kebiasaan pada masa jahiliyyah dan permulaan
islam yaitu apabila seorang yang mengangkat anak orang lain seorang
anak, yaitu berlakulah hukum-hukum yang berlaku atas anak kandung
dan meneurut muhammad Yunus mengartikannya dengan mengambil
anak angkat, Sedangkan dalam kamus munjid diartikan “ittikhh adzahu
ibnan” yaitu menjadikannya sebagai anak.
2. Pengertian adopsi menurut bahasa dari bahasa Inggris “Adoption” yang
artinya pengangkatan atau pemungutan. Sehingga sering dikatakan
“Adoption of a child” yang artinya pengangkatan atau pemungutan anak.
3. Status hukum anak angkat hal yang penting untung ditegaskan kembali
adalah hukum anak angkat. Karena jika status anak angkat disamakan
haknya dengan anak sendiri berarti kembali kepada budaya jahiliah.
4. Ahmad al-Bari, Ibnu ‘Asyur, Mahmud Syaltut, dan Muhammad Quraish
Shihab,berpendapat bahwa mengambil dan merawat anak yang terlantar
tanpa harus memutus nasab orang tua kandungnya adalah wajib
hukumnya yang menjadi tanggung jawab masyarakat kolektif, atau
dilaksanakan oleh beberapa orang sebagai fardhu kifayah.Tetapi hukum
tersebut dapat berubah menjadi fardhu ‘ain, apabila seseorang
menemukan anak terlantar atau anak terbuang di tempat yang sangat
membahayakan atas nyawa anak itu.
5. Muhammad Ali as-Shabuni, al-Imam al-Lausi, Yusuf al-Qaradhawi,
Wahbah az-Zuhaili, berpendapat bahwa syariat Islam telah
mengharamkan tabanni (pengangkatan Anak) yang menisbatkan seorang
anak angkat kepada yang bukan bapak angkatnya.
6. Setelah membandingkan pendapat yang ada dan dalilnya masing-masing
tentang pengangkatan anak, maka dapat disimpulkan bahwa pendapat
yang rajih (paling kuat) dalam hal ini adalah pendapat yang
28
29
1) Mengurangi kebodohan.
2) Pembinaan akhlakul karimah melalui pendidikan.
3) Terjalin rasa kasih sayang terhadap anak yatim.
4) Mengurangi anak-anak yang terlantar. Perbuatan ini merupakan
prilaku yang terpuji yaitu timbulnya rasa saling berbagi dan mendidik
anak-anak yang terlantar.
7. Anak diluar nikah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan
yang tidak memiliki ikatan perkawinan yang sah dengan laki-laki yang
telah membenihkan anak dirahimnya.
8. Status hukum anak di luar nikah : Sesungguhnya kehadiran anak dari
hasil zina tidaklah salah dan berdosa. Dia tidak lebih dari akibat
perbuatan sepasang laki dan perempuan yang tidak bertanggung jawab.
Seharusnya yang mendapat predikat tidak baik adalah pasangan zina
yaitu yang telah berbuat dosa besar
B. Saran
Kepada mahasiswa dan pembaca Setelah mempelajari materi mengenai
anak Angkat dan Anak Hasil Zina, diharapkan mahasiswa dapat memahami
pengertian serta perbedaan pendapat ulama tentang Anak Angkat dan Anak
Hasil Zina . Harapan penulis semoga kita semua bisa menjaga diri dari pergaulan
bebas sehingga tidak terjerumus ke dalam perbuatan zina dan bila suatu saat
telah berkeluarga alangkah baiknya bersabar dan tetap berusaha disertai Do’a
jika belum di beri rezeki anak.
30
DAFTAR PUSTAKA
Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat. (Bandung : Citra Aditya Bakti 1990).
Imam Jauhari, “Hukum perwalian anak zina dan hak warisnya (LEGAL
GUARDIANSHIP OF ADULTERY CHILD AND THE RIGHT OF THEIR
INHERITENCE),” Kanun Jurnal Ilmu Hukum, no. 54 (Agustus 2011).
Kudrat Abdillah, “Status Anak diluar Nikah Dalam Perspektif Sejarah Sosial
(THE STATUS OF CHILDREN BORN OUT OF WEDLOCK FROM THE
SOCIO-HISTORICAL PERSPECTIVES),” Petita 1,no. 1 (April 2016).
30
31
Sri Gambir Melati, “Anak luar kawin,” Hukum dan pembangunan, no. 1 (Februari
1995).
Srijunida, wilda, “Status Anak Luar Kawin Menurut Fiqih, Kompilasi Hukum
Islam dan PutusanMahkamah Konstitusi.,” Ilmu Hukum, 2015.