Anda di halaman 1dari 27

PENELANTARAN HAK-HAK ANAK

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perkawinan

Dosen Pengampu : Drs. AH. Kholis Hayatuddin,M.Ag.

Disusun Oleh :

Kelompok 4

Fardila Intan Rahmasari (192111072)

M. Ridwan Faiz (192111089)

Dinar Artiya Pradina (192111090)

Iva Lila Amelia (192111100)

Rifky Mahendra S (202111115)

Riham Amelia (202111117)

Mutia Eka Pramandita (202111138)

HUKUM EKONOMI SYARI’AH

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SA’ID SURAKARTA

1
2021

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat serta HidayahNya
kepada kami sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini yakni dengan
judul PENELANTARAN HAK-HAK ANAK.

Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi Agung
Muhammad SAW. Yang telah membawa kita dari jaman kegelapan hingga zaman yang
terang benderang seperti saat ini.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak dosen yaitu Bapak Drs. AH.Kholis
Hayatuddin, M.Ag. dan semua pihak yang telah membimbing dan membantu kita dalam
penyusunan makalah ini.

Kami menyadari jika makalah ini masih memiliki banyak kekurangan . karena
kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Maka dari itu, kritik dan saran yang memiliki
unsur mebangun kami butuhkan dari para pembaca dan kami harapkan bisa berguna demi
sempurnanya makalah ini nantinya.

Pacitan, 1 November 2021

Penulis

2
Daftar Isi

BAB I ......................................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4

A. Latar Belakang Masalah .................................................................................................... 4

B. Rumusan Masalah.............................................................................................................. 5

C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................... 5

BAB II........................................................................................................................................ 6

PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 6

A. Pengertian Hak Anak dan Hak Anak Dalam Keluarga ............................................... 6

B. Landasan Hukum Perlindungan Anak ............................................................................... 8

C. Prinsip-prinsip terkait perlindungan hak anak ................................................................. 13

D. Penyebab Terjadinya Perlakuan Penelantaran Hak Anak Dalam Lingkup Keluarga16

E. Bentuk Penelantaran Hak Anak ....................................................................................... 21

F. Bentuk Pertanggung jawaban Terhadap Orang tua Yang Menelantarkan Anak ............. 23

G. Upaya Untuk meningkatkan Hak anak............................................................................ 24

BAB III .................................................................................................................................... 25

KESIMPULAN ........................................................................................................................ 25

Daftar Pustaka ...................................................................................................................... 26

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Anak berdasarkan Konvensi Hak Anak dan UU no. 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun termasuk dalam
kandungan. Setiap anak berhak untuk tumbuh dan berkembang tanpa diskrimasi untuk
kepentingan yang terbaik bagi anak serta terfasilitasi partisipasinya dalam merencanakan
dan memutuskan kehidupan masa depan. Setiap anak berhak untuk memperoleh identitas dan
kewarganegaraan, memperoleh pendidikan dan kesehatan yang layak, memperoleh
kesempatan rekreasi dan waktu luang, diasuh dan berada dalam lingkungan keluarga,
mengetahui kedua orang tua dan memperoleh pengasuhan pengganti, dilindungi dari tindak
kekerasan, ekploitasi, perdagangan manusia.
Anak adalah amanah yang dititipkan oleh Yang Maha Kuasa pada kedua orang
tuanya bukan miliki orang tua. Orang tua wajib memelihara, menyayangi dan berbuat yang
terbaik hingga anak siap menerima estafet menjadi penerus dan harapan bangsa. Apa
yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak dengan adanya UU perlidungan anak tidak
hanya menjadi wilayah domestik keluarga tetapi juga menjadi wilayah publik. Masyarakat
disekitar keluarga turut bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi pada anak selama
dalam pengasuhan dan didikan keluarga.
Anak-anak memiliki dunianya sendiri. Hal iu ditandai dengan banyaknya gerak,
penuh semangat, suka bermain pada setiap tempat dan waktu,tidak mudah letih, dan cepat
bosan. Anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang besar dan selalu ingin mencoba segala hal
yang dianggapnya baru. Anak-anak hidup dan berpikir untuk saat ini, sehingga ia tidak
memikirkan masa lalu yang jauh dan tidak pula masa depan yang tidak diketahuinya.
Oleh sebab itu, seharusnya orang tua dapat menjadikan realitas masa sekarang sebagai
titik tolak dan metode pembelajaran bagi anak.1
Anak pada awal masa kehidupannya memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus
dipenuhinya. Dengan dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan mereka maka orang tua akan
menghasilkan anak yang riang dan gembira. Dari pemaparan di atas, maka dalam makalah
ini akan membahas berbagai hal mengenai penelantaran hak-hak anak.

1
Dike Farizan Fadillah, Santoso Tri Raharjo dan Ishartono, “Pemenuhan Hak Anak dalam Keluarga Di
Lingkungan Prostitusi”, Jurnal Unpad Prosiding Ks, Vol.2, No.1, Hlm 9

4
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hak anak dan apa saja hak hak anak dalam keluarga ?
2. Apa landasan hukum yang mengatur mengenai perlindungan anak ?
3. Apa saja Prinsip-prinsip terkait perlindungan hak anak?
4. Apa yang menjadi penyebab terjadinya perlakuan penelantaran hak anak dalam
lingkup keluarga?
5. Apa saja bentuk Penelantaran Hak hak anak?
6. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap orangtua yang
menelantarkan hak anak?
7. Bagaimana Upaya yang dilakukan aparat pengak hukum maupun KPAI (komisi
Perlindungan Anak Indonesia) sebagai solusi pemecahan masalah penelantaran hak
anak?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memaparkan pengertian dan apa saja hak-hak anak dalam keluarga
2. Untuk menjelaskan landasan hukum yang mengatur mengenai perlindungan anak
3. Untuk menjelaskan mengenai prinsil prinsip terkait perlindungan hak anak
4. Untuk memaparkan penyebab terjadinya perlakuan penelantaran hak anak dalam
lingkup keluarga
5. Untuk menguraikan bentuk penelantaran hak-hak anak
6. Untuk memaparkan bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap orangtua yang
menelantarkan hak anak
7. Untuk menggambarkan Upaya yang dilakukan aparat pengak hukum maupun KPAI
(komisi Perlindungan Anak Indonesia) sebagai solusi pemecahan masalah
penelantaran hak anak

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hak Anak dan Hak- Hak Anak Dalam Keluarga


Pengertian hak secara bahasa adalah lawan dari kebatilan, ketidakbenaran,
ketidakadilan, atau bertentangan dengan kenyataan.2 Secara istilah, hak merupakan
sesuatu yang dianggap sebagai hak bagi seseorang maka merupakan kewajiban bagi
orang lain. Misalnya hak rakyat adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh
pemerintah dan hak orang yang berhutang merupakan kewajiban bagi orang yang
berpiutang.3
Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin,
dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan
negara. Secara generik, hak asasi diartikan sebagai seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan YME dan merupakan
anugerahnya, yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara,
hukum,pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia. Pengertian di atas mengandung makna, bahwa hak asasi
merupakan hak yang given dimiliki oleh manusia. Hak Asasi, sesuai definisinya,
memiliki prinsip-prinsip universal, non diskriminasi, dan imparsial.
Hak anak dalam Islam berlaku dengan mempertimbangkan ketentuan dalam
agama. Sedangkan hak anak versi hak asasi manusia disesuaikan dengan pengalaman
manusia.4
Berbicara soal hak anak, tentu tidak lepas dari Konvensi Hak Anak (KHA) yang
merupakan perjanjian mengikat secara yuridis dan politis di antara berbagai negara
yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan hak anak. Mengutip situs resmi
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, gagasan mengenai hak
anak bermula sejak berakhirnya Perang Dunia I sebagai reaksi atas penderitaan yang
timbul akibat dari bencana peperangan terutama yang dialami oleh kaum
perempuan dan anak-anak.
Liga Bangsa-bangsa saat itu tergerak karena besarnya jumlah anak yang menjadi yatim
piatu akibat perang. Awal bergeraknya gagasan hak anak juga bermula dari gerakan
2
Ibnu Mandzur, Lisan al-'Arab, (Kairo: Dal al-Ma'arif, tt.), j. 2. hal. 942.
3
Raf'at Farid Swilam, al-Islam wa huquq al-Thifl, (Kairo: Dar Mahsyin, 2002), hal. 19
4
Muhammad Maksum, “Hak Anak Dalam Islam Dan Hak Asasi Manusia”., Jurnal Misykat, Vol.III No. 1
Pebruari 2010, Hlm 2-3

6
para aktivis perempuan yang melakukan protes dan meminta perhatian publik atas nasib anak
- anak yang menjadi korban perang.
Tahun 1989, rancangan KHA diselesaikan dan pada tahun itu juga naskah akhir
tersebut disahkan dengan suara bulat oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November.
Rancangan inilah yang kita kenal sebagai KHA. Indonesia meratifikasi KHA dengan
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Tentang Hak-hak
Anak yang ditanda tangani Presiden Soeharto di Jakarta pada 25 Agustus 1990.
Tetapi KHA baru mulai berlaku di Indonesia mulai tanggal 5 Oktober 1990, sesuai
pasal 49 ayat 2, “Bagi tiap-tiap negara yang meratifikasi atau yang menyatakan keikutsertaan
pada konvensi (Hak Anak) setelah diterimanya instrumen ratifikasi atau instrumen
keikutsertaan yang keduapuluh, konvensi ini berlaku pada hari ketiga puluh setelah tanggal
diterimanya instrumen ratifikasi atau instrumen keikutsertaan dari negara yang bersangkut."5
Dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.Anak dilindungi agar mereka dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Karena anak merupakan aset yang akan menentukan keberhasilan suatu negara.
Anak memiliki hak sebagai berikut :
1. Mendapatkan identitas diri dan kewarganegaraan
2. Kebebasan beribadah, berekspresi, dan berpikir
3. Mengetahui orangtuanya, dibesarkan dan diasuh orang tuanya, (terkecuali apabila
orang tuanya menelantarkan anaknya)
4. Memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial
5. Memperoleh pendidikan yang sesuai
6. Menyatakan pendapat, didengarkan pendapatnya
7. Melakukan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan rekreasi
8. Anak yang berkebutuhan khusus mendapatkan bantuan dan rehabilitasi
9. Mendapat perlindungan dari segala hal yang dapat merugikannya
10. Apabila kebebasannya dirampas dapat memperoleh bantuan dan membela diri, juga
dirahasiakan identitasnya apabila menjadi korban kekerasan

Sedangkan kewajiban anak adalah:

1. Menghormati orang tua, wali, dan guru;

5
https://nasional.kompas.com/read/2021/07/23/13473681/ini-10-hak-anak-yang-wajib-dipenuhi-semua-
pihak-beserta-sejarahnya?page=all diakses pada 14 November 2021

7
2. Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
3. Mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
4. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
5. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

Salah satu lingkungan pertama kali yang dapat memberikan jaminan terpenuhinya
ekspresi hak seorang anak adalah dimulai dari lembaga terkecil yaitu keluarga. Di dalam
sebuah keluarga, setiap orang tua mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap hak-
hak seorang anak dan lingkungannya, tanggung jawab orang tua sebagai anggota
masyarakat wajib menciptakan lingkungan yang kondusif untuk tumbuh dan kembang anak-
anaknya. Dimana dalam kehidupan bermasyarakat dapat diwujudkan pergaulan yang dapat
mendorong pertumbuhan dan perkembangan anak agar mampu menjadi individu yang
mandiri. Namun tanggung jawab orang tua secara umum dan mendasar adalah menjamin hak
untuk meperoleh pendidikan terhadap anak-anaknya.

Negara dan pemerintah memiliki kewajiban dalam turut memenuhi hak anak, tanpa
membeda- bedakan, dengan kata lain tidak mendiskriminasi. Selain itu juga wajib untuk
memberikan sarana dan prasarana yang dapat mendukung terpenuhinya hak anak, dan
juga mengawasi segala bentuk perlindungan anak yang ada. Masyarakat juga memiliki
kewajiban dalam membantu terpenuhinya hak anak dengan perannya menyelenggarakan
perlindungan anak. Sedangkan keluarga kewajibannya dalam memenuhi hak anak yaitu
lebih kepada pengasuhan, pendidikan, perlindungan, juga pengembangan minat dan bakat.
Anak yang tidak diasuh oleh orang tua kandungnya, seperti diasuh oleh wali anak, ataupun
orang tua asuh, kewajiban pengasuhnya tetap sama dengan kewajiban orang tuanya.6

B. Landasan Hukum Perlindungan Anak


Pelaksanaan perlindungan terhadap anak menjadi kewajiban dan tanggung jawab bagi
umat manusia dan perlindungan terhadap anak dijamin dalam berbagai landasan hukum
seperti berikut

1) Deklarasi tentang Hak Anak


Pada tanggal 20 November 1959 telah disahkan sebuah Deklarasi Hak Anak-
Anak oleh Majelis Umum PBB Jiwa dokumen ini tercermin dalam Mukadimah

6
Ibid, Dike Farizan Fadillah, Santoso Tri Raharjo dan Ishartono..... Hlm 91-92

8
Deklarasi tersebut yang antara lain menyatakan bahwa umat manusia berkewajiban
memberikan yang terbaik bagi anak-anak.
Majelis Umum PBB menjelaskan tujuan dikeluarkannya Deklarasi Hak Anak-
Anak tersebut agar anak-anak dapat menjalani masa kecil yang membahagiakan,
berhak menikmati hak-hak dan kebebasan, baik untuk kepentingan mereka sendiri
maupun masyarakat. Selanjutnya, Majelis Umum mengimbau kepada para orang tua
(wanita dan pria), secara perorangan, organisasi sukarela, para pengusaha setempat,
serta pemerintah pusat agar mengakui hak-hak anak serta memperjuangkan
pelaksanaannya secara bertahap, baik melalui undang-undang maupun peraturan
lainnya.
Pemerintah Indonesia sebagai anggota PBB merespons dengan baik atas
dikeluarkannya Deklarasi Hak Anak-Anak. Hal itu terbukti dengan dibentuknya
berbagai aturan hukum yang mengatur tentang hak-hak anak sesuai dengan imbauan
dari Majelis Umum PBB. 7
2) Undang-Undang Dasar 1945
UUD 1945 telah mengalami empat kali perubahan. Berdasarkan perubahan
yang kedua, UUD 1945 mengalami perubahan dan penambahan pada beberapa
pasalnya. Misalnya pasal 28 yang sebelum adanya perubahan (amendemen) hanya
terdiri atas satu pasal, kini ditambah dengan pasal 28A - 28J. Diantara pasal-pasal
tersebut, salah satunya mengatur tentang jaminan perlindungan terhadap hak anak.
Pasal yang menjamin perlindungan terhadap hak anak dalam UUD 1945
adalah pasal 28B ayat (2) Bunyi pasal tersebut adalah "Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminas” Lebih lanjut ditegaskan dalam UUD 1945 bahwa untuk
menegakkan dan melindungi hak asasi manusia (termasuk hak-hak anak) sesuai
dengan prinsip negara hukum yang demokratis, hak asasi manusia dijamin, diatur, dan
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada UUD 1945 dan
berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penerapan dasar yuridis ini
harus secara integratif, yaitu penerapan terpadu menyangkut peraturan
peprundangundangan dari berbagai bidang hukum yang berkaitan. Dalam

7
Amin Suprihatini, Perlindungan Terhadap Anak (Klaten : Cempaka Putih, 2018). Hal : 2-3.

9
konsepsinya, perlindungan anak tidak hanya meliputi perlindungan atas hak-haknya
saja tetapi juga berkaitan dengan aspek pembinaan generasi muda.8
3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,
jaminan terhadap hak-hak anak ditegaskan dalam pasal 2 ayat (3) dan (4) Esensi dari
pasal tersebut adalah "Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik atas
perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau
menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar”. Ketentuan tersebut
secara jelas mendorong perlu adanya perlindungan anak dalam rangka mengusahakan
kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil terhadap anak.
Dalam Pasal 2 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979
berisi ketentuan bahwa: “Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik
semasa dalam kandungan maupun sesudah lahir. Anak berhak atas perlindungan
terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat
pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar.” Kedua ayat tersebut menjelaskan
bahwa perlindungan terhadap anak bermaksud untuk mengupayakan perlakuan tidak
sewenang-wenangnya terhadap anak agar tercapainya kesejahteraan anak yang adil.
4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(HAM) telah dicantumkan tentang hak-hak anak. Hak-hak anak yang dimaksudkan
sebagai berikut :
a. Hak hidup yang dimilikinya sejak masih dalam kandungan.
b. Hak pemeliharaan.
c. Hak perlindungan dan tindak kekerasan eksploitasi, dan pelecehan seksual.
d. Hak perlindungan dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika,
psikotropika dan zat adiktif lainnya.
Dengan dicantumkannya hak-hak anak dalam Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia di atas, menunjuk kan adanya keseriusan
pemerintah Indonesia untuk ikut serta menegakkan pelaksanaan perlindungan
terhadap anak. Keseriusan pemerintah Indonesia ini juga ditunjukkan dengan
membentuk undang-undang tentang perlindungan anak dan undang-undang tentang
pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.

8
Aminah Aziz, Aspek Hukum Perlindungan Anak (, Medan : USU Press, 1998) Hal : 26

10
5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Meskipun Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
telah menguraikan hak-hak anak secara jelas, untuk memberikan perlindungan kepada
anak masih diperlukan suatu undang-undang tentang perlindungan anak sebagai
landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Dengan
demikian, pembentukan undang undang ini didasarkan pada pertimbangan bahwa
perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan
pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kerudupan bertingsa dan
bernegara.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ini
ditegaskan bahwa pertanggungjawahan orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah,
dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus
demi terlindunginya hak-hak anak. Pasal 1 ayat (2) UndangUndang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak berisi ketentuan bahwa: perlindungan anak adalah
segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin
pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.
Dalam pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 ditegaskan adanya larangan
memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk dirinya sendiri atau untuk
dijual.
Ada banyak hak lain yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002. Beberapa hal di antaranya adalah asas dan tujuan penyelenggaraan
perlindungan anak, hak, dan kewajiban anak, kewajiban dan tanggung jawab
pelaksana perlindungan anak, serta kedudukan anak. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang.
6) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang
Meskipun dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak pasal 83 telah ditegaskan adanya larangan memperdagangkan,
menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, tetapi masih banyak
terjadi perdagangan orang, terutama terhadap anak. Anak sering dijadikan sasaran

11
empuk untuk diperdagangkan sehingga hak anak untuk mendapat perlindungan
musnah begitu saja. Kenyataan tersebut jelas menjadi tantangan yang besar bagi
pemerintah untuk lebih meningkatkan penegakan terhadap perlindungan atas hak-hak
anak. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk menghadapi
tantangan tersebut adalah membentuk undang-undang tentang pemberantasan tindak
pidana perdagangan orang yang dirangkum dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2007.
Tujuan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 ini untuk
mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan dalam proses, cara, atau semua
bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktik perdagangan orang (termasuk
anak), baik yang dilakukan antarwilayah dalam negeri maupun antarnegara oleh
pelaku perorangan maupun korporasi. Dengan demikian, perlindungan terhadap hak-
hak anak khususnya dapat ditegakkan. Penyusunan undang-undang ini juga
merupakan perwujudan komitmen Indonesia untuk melaksanakan protokol PBB tahun
2000 tentang mencegah, memberantas, dan menghukum tindak pidana perdagangan
orang, khususnya perempuan dan anak (Protokol Palermo) yang telah ditandatangani
pemerintah Indonesia.
7) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak
Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang baik orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah maupun Negara. Pasal 20 Undang-undang Perlindungan
Anak Nomor 23 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2014
menentukan bahwa negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua
berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaran perlindungan anak.
Sebagai perwujudan komitmen pemerintah dalam meratifikasi Konvensi Hak
Anak, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak pada tanggal 22 Oktober 2002 yang secara
keseluruhan, materi pokok dalam undang-undang tersebut memuat ketentuan dan
prinsip-prinsip Konvensi Hak-hak Anak. Selanjutnya lahir UU UU Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-undang tersebut mengatur mengenai perlindungan-perlindungan terhadap
anak apabila mengalami kekerasan ataupun hal-hal yang membahayakan jiwa serta
masa depannya. Perubahan ini juga mempertegas tentang perlunya pemberatan sanksi
pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak, untuk memberikan efek jera,

12
serta adanya langkah konkret untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak
korban dan atau anak pelaku kejahatan. Berikut ini merupakan hak anak untuk
dilindungi :
a) Anak berhak mendapatkan perlindungan dari keadaan darurat atau keadaan
yang membahayakan bagi anak tersebut.
b) Apabila anak mendapatkan perlakuan sewenang-wenang dari hukum maka ia
berhak untuk mendapatkan perlindungan.
c) Anak juga berhak mendapatkan perlindungan apabila ia diexploitasi.
d) Perlindungan terhadap tindak kekerasan dan penelantaran. Perlakuan
diskriminatif terhadap anak juga termasuk dalam perlindungan anak.9

C. Prinsip-prinsip terkait perlindungan hak anak


Di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak (SPPA) ada beberapa prinsip/asas diantaranya adalah sebagai berikut;
1. Pelindungan;

Yang dimaksud dengan ”pelindungan” meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan
tidak langsung dari tindakan yang membahayakan Anak secara fisik dan/atau psikis.

2. Keadilan;

Yang dimaksud dengan “keadilan” adalah bahwa setiap penyelesaian perkara Anak
harus mencerminkan rasa keadilan bagi Anak.

3. Nondiskriminasi;

Yang dimaksud dengan ”nondiskriminasi” adalah tidak adanya perlakuan yang


berbeda didasarkan pada suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan
bahasa, status hukum Anak, urutan kelahiran Anak, serta kondisi fisik dan/atau mental.

4. Kepentingan terbaik bagi Anak;

Yang dimaksud dengan ”kepentingan terbaik bagi Anak” adalah segala pengambilan
keputusan harus selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak.

5. Penghargaan terhadap pendapat Anak;


9
Nursariani simatupang faisal, Hukum Perlindungan Anak (Medan: Pustaka Prima, 2018), Hal : 60 – 61.

13
Yang dimaksud dengan ”penghargaan terhadap pendapat Anak” adalah penghormatan
atas hak Anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan
keputusan, terutama jika menyangkut hal yang memengaruhi kehidupan Anak.

6. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;


Yang dimaksud dengan ”kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak” adalah hak
asasi yang paling mendasar bagi Anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat,
keluarga, dan orang tua.

7. Pembinaan dan pembimbingan Anak;


Yang dimaksud dengan ”pembinaan” adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas,
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan
keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani dan rohani Anak baik di dalam maupun di
luar proses peradilan pidana.
8. Proporsional;

Yang dimaksud dengan ”proporsional” adalah segala perlakuan terhadap Anak harus
memperhatikan batas keperluan, umur, dan kondisi Anak.

9. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan

Yang dimaksud dengan “perampasan kemerdekaan merupakan upaya terakhir” adalah


pada dasarnya Anak tidak dapat dirampas kemerdekaannya, kecuali terpaksa guna
kepentingan penyelesaian perkara.

10. Penghindaran pembalasan.

Yang dimaksud dengan “penghindaran pembalasan” adalah prinsip menjauhkan upaya


pembalasan dalam proses peradilan pidana. Berdasarkan Konvensi Hak Anak dan UU No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ada empat prinsip umum perlindungan anak yang
menjadi dasar bagi setiap negara dalam menyelenggakan perlindungan anak, antara lain: ¹10
Prinsip Non-diskriminasi

Prinsip Non-Diskriminasi artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam KHA
harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini ada dalam Pasal
2 KHA Ayat (1), “Negara-negara pihak menghormati dan menjamin hak-hak yang

10
(Hadi Supeno: 2010: 53-62).

14
ditetapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berada di wilayah hukum mereka tanpa
diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan-pandangan lain, asal usul kebangsaan,
etnik atau sosial, status kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik dari
si anak sendiri ataau dari orang tua walinya yang sah.” Ayat (2): “Negara-negara pihak
akan mengambil semua langkah yang perlu untuk menjamin agar anak dilindungi dari semua
diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang
dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, walinya yang sah atau anggota
keluarganya.”

Prinsip Kepentingan Terbaik Bagi Anak (Best Interests of The Child)

Prinsip ini tercantum dalam Pasal 3 Ayat (1) KHA: “Dalam semua tindakan yang
menyangkut anak yang dilakukan lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah maupun
swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, maka kepentingan
yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama”.
Prinsip ini mengingatkan kepada semua penyelenggara perlindungan anak
bahwa pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan menyangkut masa depan
anak, bukan dengan ukuran orang dewasa, apalagi berpusat kepada kepentingan orang
dewasa. Apa yang menurut ukuran orang dewasa baik, belum tentu baik pula menurut ukuran
kepentingan anak. Boleh jadi maksud orang dewasa memberikan bantuan dan menolong,
tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah penghancuran masa depan anak.

Prinsip Hak Hidup, Kelangsungan Hidup, dan Perkembangan (The Right to Life,
Survival and Development)
Prinsip ini tercantum dalam Pasal 6 KHA Ayat (1): “Negara-negara pihak mengakui
bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan.” Ayat (2): “Negara-negara
pihak akan menjamin sampai batas maksimal kelangsungan hidup dan perkembangan
anak.”. Pesan dari prinsip ini sangat jelas bahwa negara harus memastikan setiap anak akan
terjamin kelangsungan hidupnya karena hak hidup adalah sesuatu yang melekat dalam
dirinya, bukan pemberian dari engara atau orang per orang. Untuk menjamin hak hidup
tersebut berarti negara harus menyediiakan lingkungan yang kondusif, sarana dan prasarana
hidup yang memadai, serta akses setiap anak untuk memperoleh kebutuhankebutuhan dasar.

15
Berkaitan dengan prinsip ini, telah juga dijabarkan dalam pembahasan sebelumnya berkaitan
dengan hak-hak anak.
Prinsip Penghargaan Terhadap Pendapat Anak (Respect for the views of The Child)
Prinsip ini ada dalam Pasal 12 Ayat (1) KHA: “Negara-negara pihak akan menjamin
anakanak yang mempunyai pandangan sendiri memperoleh hak menyatakan pandangan-
pandangan secara bebas dalam semua hal yang memengaruhi anak, dan pandangan tersebut
akan dihargai sesuai dengan tingkat usia dan kematangan anak.”. Prinsip ini menegaskan
bahwa anak memiliki otonomi kepribadian. Oleh sebab itu, dia tidak bisa hanya dipandang
dalam posisi yang lemah, menerima, dan pasif, tetapi sesungguhnya dia pribadi otonom yang
memiliki pengalaman, keinginan, imajinasi, obsesi, dan aspirasi yang belum tentu sama
dengan orang dewasa. Dapat ditarik satu simpul pengertian bahwa perspektif perlindungan
anak adalah cara pandang terhadap semua persoalan dengan menempatkan posisi anak
sebagai yang pertama dan utama. Implementasinya cara pandang demikian adalah ketika kita
selalu menempatkan urusan anak sebagai hal yang paling utama.¹¹

D. Penyebab Terjadinya Perlakuan Penelantaran Hak Anak Dalam


Lingkup Keluarga
Penelantaran merupakan salah satu bentuk dari kekerasan dengan cara membiarkan
anak dalam situasi gizi buruk, kurang gizi (malnutrisi), tidak mendapatkan perawatan
maksimal, serta memaksa anak pada berbagai jenis pekerjaan yang membahayakan
pertumbuhan dan perkembangan anak, seperti pengemis, pengamen, anak jalanan, buruh
pabrik, pembantu rumah tangga, dan pemulung. Dalam Undang-undang No 4 Tahun 1979
Tentang Kesejahteraan Anak, anak terlantar didefinisikan sebagai anak yang karena suatu
sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi
dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Dalam berbagai kajian tentang
tindak pelanggaran terhadap hak anak, kasus penenlantaran anak masuk dalam kategori child
abuse. Secara teoritis penelantaran adalah sebuah tindakan baik disengaja maupun tidak
disengaja yang membiarkan anak tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya (sandang, pangan,
papan). Penelantaran pada anak tidak mengenal alasan motivasi ataupun intensi11.

11
Goble, Frank G. 1994. Mazhab Ketiga: Psikologi Humanistik Abraham Maslow
(Terjemahan). Yogyakarta: Kanisius.

16
Berdasarkan literatur internasional, disebut Soetarso dalam Huraerah (2007: 67), ketelantaran
anak secara umum dibagi dalam dua kelompok, yaitu:

a. Ketelantaran yang disebabkan kondisi keluarga yang miskin, tetapi hubungan sosial
dalam keluarga normal.
b. Ketelantaran yang disebabkan karena kesengajaan, gangguan jiwa dan/ atau
ketidakmengertian keluarga/orang tua, atau hubungan sosial dalam keluarga tidak
normal. Termasuk dalam kelompok ini adalah anak-anak yang membutuhkan
perlindungan khusus, terutama karena perlakuan salah, baik secara fisik maupun
seksual.

Faktor-Faktor Penyebab Anak Diterlantarkan

a. Faktor Keluarga

Perpisahan orang tua sangat memengaruhi kehidupan sosial seorang anak.


Kehidupan keluarga yang tidak lengkap menciptakan kondisi yang miris bagi
pertumbuhan dan perkembangan anak. Pemicu bercerainya pasangan suami-istri atau
orang tua disebabkan karena adanya perselingkuhan yang dilakukan oleh suami
terhadap istri dan juga kepergian suami atau ayah tanpa memberitahukan dan
meninggalkan istri dan anak. Selain kehilangan ayah juga, anak-anak kehillangan
kedua orang tua yang meninggalkan mereka dalam lingkungan keluarga besar.
Kepergian orang tua terutama ibu disebabkan oleh keinginan untuk memenuhi
kebutuhan keluarga. Perceraian orang tua selalu mengisahkan luka bagi anak dan anak
menjadi korban saat kedua orang tuanya bercerai. Idealnya, anak-anak tumbuh dalam
sebuah keluarga dengan kehadiran ayah-ibu. Saat perceraian terjadi, anak tinggal
dengan salah satu orang tua bahkan tidak dengan keduanya. Kondisi ini dialami oleh
10 orang anak yang orang tuanya bercerai, sementara 10 anak ditelantarkan oleh ayah
mereka saat mereka masih kecil dan bahkan sejak bayi ditinggalkan oleh ayahnya,
dan 10 anak yang lain ditinggalkan oleh kedua orang tua karena kematian. Kepergian
kedua orang tua menyebabkan anak hidup bersama dengan keluarga dari ayah dan
atau ibu seperti kakek, nenek, paman dan tante dan kebutuhan serta keperluan secara
materi maupun non materi dibiayai oleh keluarga yang mengasuh. Perceraian dan
kehilangan orang tua menjadi salah satu faktor resiko yang mendorong anak-anak
pergi ke jalan atau menjadi terlantar. Perceraian atau perpisahan orang tua yang
kemudian menikah lagi atau memiliki teman hidup baru tanpa ikatan penikahan sering

17
membuat anak menjadi frustasi. Rasa frustasi ini akan semakin bertambah ketika anak
dititipkan ke salah satu anggota keluarga orang tua mereka atau tatkala anak yang
biasanya lebih memilih tinggal dengan ibunya merasa tidak mendapatkan perhatian,
justru menghadapi perlakuan buruk ayah tiri atau pacar ibu. Disamping perceraian
yang menjadi penyebab utama, faktor kehamilan yang tidak diakui juga merupakan
penyebab tidak lengkapnya sebuah keluarga, dimana anak tidak mendapatkan
pengakuan ayahnya sehingga anak tersebut kemudian ditelantarkan bersama dengan
ibunya.

Ketidakmampuan orang tua menyediakan kebutuhan dasar, ditolak orang tua,


salah perawatan atau kekerasan di dalam rumah, terpisah dengan orang tua,
keterbatasan merawat anak. Hal ini dipengaruhi pula oleh meningkatnya masalah
keluarga yang disebabkan oleh kemiskinan, pengangguran, perceraian, kawin muda
maupun kekerasan dalam rumah tangga. Melemahnya keluarga besar, dimana
keluarga besar tidak mampu lagi membantu keluarga-keluarga inti, diakibatkan oleh
pergeseran nilai, kondisi ekonomi dan kebijakan pembangunan pemerintah12.

b. Faktor Pendidikan

Masalah paling mendasar yang dialami oleh anak terlantar adalah kecilnya
kemungkinan untuk mendapatkan kesempatan dibidang pendidikan yang layak. Hal
ini disebabkan karena beberapa aspek. Pertama, ketiadaan biaya, tidak adanya biaya
untuk menyekolahkan anak-anak disebabkan karena tidak adanya pendapatan yang
tetap dan bahkan tidak menyediakan secara khusus biaya pendidikan sehingga anak
menjadi putus sekolah karena hasil pendapatan dari pekerjaan hanya dapat memenuhi
kebutuhan sehari-hari keluarga. Kedua, keterbatasan waktu. Keterbatasan waktu yang
dimiliki oleh anak dalam bersekolah dikarenakan waktu mereka telah dipakai untuk
berpartisipasi dalam membantu keluarga memenuhi kebutuhan dasar dengan bekerja
sebagai pencuci kuburan, tukang ojek, jualan tas kresek di pasar, menjajakan kue, dan
menjadi supir oto, dan juga menjaga adik ketika ibunya sedang tidak di rumah.
Ketiga, rendahnya kemauan untuk belajar, dari hasil temuan di lapangan terlihat
bahwa anak-anak terlantar atau diterlantarkan memiliki kemauan yang rendah dalam
belajar. Hal ini sangat dipengaruhi oleh waktu yang telah tersita dalam membantu

12
Goode, William J. 1995. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bumi Aksara.

18
ekonomi keluarga (bekerja), kondisi tubuh yang lelah setelah berjualan menyebabkan
mereka tidak memiliki motivasi atau semangat untuk belajar. Keempat, adanya
pemahaman yang salah terhadap pendidikan.

Yang melatarbelakangi pemahaman anak-anak terlantar terhadap pendidikan


yang keliru disebabkan karena mereka memiliki kemudahan dalam mendapatkan uang
dalam memenuhi kebutuhan keluarga dan juga menambah uang jajan mereka
sehingga pendidikan tidak menjadi perioritas bagi mereka. Terakhir, kurangnya
perhatian dari lingkungan. Perhatian yang kurang dari orang tua maupun keluarga
terhadap pendidikan anak membuat anak tidak menikmati pendidikan yang
seharusnya, situasi ini yang menjadikan pendidikan bukan hal yang penting bagi
keluarga.

c. Faktor Ekonomi

Dari kasus yang ditemukan ternyata masalah ekonomi menjadi faktor utama
anak-anak mengalami keterlantaran karena kondisi keluarga tidak dapat memenuhi
kebutuhan hidup mereka. Seperti yang diungkapkan anak-anak tersebut bahwa
mereka dapat makan hanya 2 kali dalam sehari, itupun kalau orang tua mereka
mendapatkan uang lebih dari hasil pekerjaannya. Namun jika kondisi keuangan orang
tua tidak mencukupi maka mereka hanya bisa makan hanya satu kali saja, bahkan
tidak makan. Faktor ekonomi menjadi penyebab bagi orang-orang tidak mampu
memenuhi kehidupannya secara baik. Pendapatan yang kecil juga dipengaruhi oleh
sebagian orang tua yang bekerja dan ada yang tidak bekerja. Bentuk pekerjaan yang
dijalankan oleh orang tua beragam. Pekerjaan orang tua/ orang tua pengganti adalah
pedagang, tukang cuci, ibu rumah tangga, pembantu rumah tangga, dan supir dengan
penghasilan rata-rata Rp 100-700 ribu per bulan, hasil ini sangat tergantung dari
penjualan atau pekerjaan yang mereka lakukan. Pendapatan keluarga yang kurang
dalam memenuhi kebutuhan hidup, membuat anak-anak terlibat membantu kehidupan
ekonomi keluarga sehari-hari. Hasil kerja mereka diserahkan kepada orang tua atau
orang tua pengganti.

d. Faktor Kesehatan

Sehat merupakan harapan semua manusia, tanpa terkecuali anak-anak


terlantar. Anak yang memiliki kondisi sehat, bukan saja secara fisik namun secara

19
psikis dan juga sosial, dapat berkembang dan bertumbuh menjadi seorang anak yang
cerdas dan bermartabat. Masalah kesehatan merupakan masalah utama yang harus
menjadi perhatian serius dalam setiap kehidupan manusia. Artinya, seseorang akan
menentukan aktivitas kehidupan sehari-hari tergantung dari kesehatannya. Kesehatan
seseorang tidak bisa hanya dilihat dari kondisi fisik saja, tetapi harus dilihat secara
terpadu. Seseorang yang dikatakan sehat adalah mampu melakukan segala aktivitas
kesehariannya dan dapat berperan secara maksimal dalam kehidupan sehari-hari, baik
sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. Manusia sehat adalah
manusiamanusia yang mampu memanfaatkan potensi-potensi yang ada pada dirinya
untuk mencapai tujuan hidup. Kesehatan yang baik dan prima memungkinkan
seseorang hidup lebih produktif baik secara sosial maupun ekonomi. Oleh karena itu,
kesehatan menjadi salah satu hak dan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi agar
setiap individu dapat berkarya dan menikmati kehidupan yang bermartabat. Realitas
yang ditemukan ternyata kondisi anak-anak terlantar sangat bertolak belakang dengan
konsep sehat. Artinya, anak-anak terlantar tidak memperoleh pelayanan kesehatan
yang memadai13. Hal tersebut terjadi karena :

1) Kesadaran akan kesehatan yang kurang.

Sebagian anak beranggapan bahwa orang tua atau orang tua pengganti tidak
memiliki kepedulian saat kondisi tubuh mereka dalam keadaan sakit. Hal ini dipicu
oleh karena orang tua lebih fokus mencari uang untuk menutupi kebutuhan hidup
keluarga sehingga kesehatan anak bukan menjadi prioritas bagi orang tua atau orang
tua pengganti. Selain itu juga, kondisi ekonomi atau penghasilan hanya cukup untuk
makan sehingga untuk melakukan pengobatan atau pemeriksaan ke dokter atau ke
rumah sakit tidak dilakukan. Untuk meredakan rasa sakit yang dialami, anak-anak
tersebut diberikan obat yang diperoleh dengan membeli di toko dekat rumah mereka.
Menurut orang tua atau orang tua penganti, saat ini jasa pelayanan kesehatan makin
lama makin mahal. Tingginya biaya kesehatan makin sulit dijangkau oleh masyarakat,
terutama keluarga dari anak-anak terlantar14. Dengan kata lain, faktor ekonomi
keluarga menyebabkan kurangnya kesadaran orang tua akan kesehatan anak sehingga

13
Gosita Arief. 1989. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Penerbit Akademia Presindo.
14
Huraerah Abu. 2007. Child Abuse: Kekerasan Terhadap Anak (Edisi Revisi). Bandung:
Penerbit Nuansa.

20
mereka tidak memiliki akses yang lebih untuk mendapat pelayanan kesehatan yang
layak.

2) Lingkungan rumah yang tidak sesuai dengan standar kesehatan.

Rumah sebagai tempat bagi setiap individu mendiami dan melepaskan


kepenatan setelah beraktivitas seharian di luar rumah. Situasi yang miris atau cukup
memprihatinkan yang dialami oleh anak-anak terlantar adalah tidak layaknya tempat
untuk mereka bertumbuh dan berkembang. Hal ini disebabkan oleh tempat tinggal
yang mereka ditempati sangat kecil dengan ukuran yang hanya dapat ditempati oleh
dua atau tiga orang serta kondisi air yang sangat jauh dari higenis menjadi penyebab
timbulnya berbagai penyakit. Situasi yang tidak kondisif dan lingkungan yang tidak
aman menciptakan suasana tidak nyaman bagi anak. Dari subyek yang diteliti, pada
umumnya mereka mengalami gangguan kesehatan secara fisik, dari batuk, pilek,
demam, tipus, asma, hingga paru-paru basah. Saat dalam situasi sakit, mereka tidak
dapat ke dokter atau rumah sakit dan hanya dirawat oleh ibu/ ayah atau orang tua
pengganti, bahkan ada diantara mereka tidak dipedulikan. Masalah kesehatan,
merupakan masalah utama yang harus menjadi perhatian serius dalam setiap
kehidupan manusia. Artinya, seseorang dalam menjalankan aktivitas kehidupan
sehari-hari tergantung dari kesehatannya. Kesehatan seseorang tidak bisa hanya
dilihat dari kondisi fisik saja, tetapi harus dilihat secara terpadu. Seseorang yang
dikatakan sehat adalah mampu melakukan segala aktivitas kesehariannya dan dapat
berperan secara maksimal dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi maupun
sebagai anggota masyarakat. Manusia sehat adalah manusia-manusia yang mampu
memanfaatkan potensi-potensi yang ada pada dirinya untuk mencapai tujuan hidup.

E. Bentuk Penelantaran Hak Anak


Setiap manusia memiliki hak atas standar hidup yang layak, tidak terkecuali bagi
seorang anak. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Anak menegaskan
bahwa setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan dukungan yang memadai untuk
perkembangan mereka dalam hal aspek fisik, moral, mental, sosial dan spiritual.
Sayangnya, pemenuhan hak-hak ini masih jauh dari harapan. Pada skala global, kasus-
kasus penganiayaan anak masih pada tingkat yang mengkhawatirkan, yang mengarah
pada hasil buruk yang serius. Penelantaran anak adalah bentuk penganiayaan yang
kompleks, yang termasuk dalam penyiksaan fisik atau seksual. Penelantaran adalah salah

21
satu bentuk pelecehan pada anak yang dilakukan dengan tidak memberikan pengawasan
yang memadai; tidak melindungi anak-anak; dan tidak memenuhi atau mengabaikan
kebutuhan dasar mereka, termasuk fisik, pendidikan, dan emosional.

Penelantaran anak menyebabkan efek yang merugikan, seperti masalah dengan


perkembangan kognitif, sosial dan emosional, penggunaan narkoba, melukai diri sendiri,
kemampuan hidup sosial yang lebih rendah, masalah kejiwaan dan neurologis,
kesinambungan pengabaian terhadap anak-anak mereka sendiri dan potensi ingin
membalas dendam pada orang-orang yang mengabaikan mereka.

Anak-anak terlantar adalah masalah sosial yang kompleks. Ini adalah masalah
multidimensi, karena penyebabnya tidak dapat dilihat hanya berdasarkan karakteristik
individu, tetapi juga harus mempertimbangkan efek variasi rumah tangga. Memahami
faktor-faktor risiko penelantaran anak di Indonesia adalah penting, di mana pengetahuan
tentang faktor-faktor risiko ini berguna untuk mencegah dan mengurangi kejadian
penelantaran anak di negara ini. Dengan karakteristik rumah tangga di Indonesia
umumnya keluarga besar, ada kecenderungan besar bahwa satu rumah tangga memiliki
lebih dari satu anak, sehingga penelantaran anak perlu memperhitungkan pengaruh
keluarga atau rumah tangga.

Anak-anak Indonesia yang diabaikan masih lazim ditemukan. Semua variabel


tingkat individu dalam penelitian ini adalah signifikan, yaitu jenis kelamin anak, satu atau
kedua orang tua meninggal, usia anak, keberadaan anak-anak terlantar lainnya dalam
rumah tangga, dan status kecacatan anak. Ada tujuh variabel tingkat rumah tangga yang
signifikan, seperti kondisi perumahan, tingkat pendidikan kepala rumah tangga, usia
kepala rumah tangga, status ekonomi rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga di
bawah umur, status pekerjaan orang tua, dan pengaturan hidup. Semua variabel yang
signifikan sejalan dengan penelitian sebelumnya. Namun, ada satu variabel yang memiliki
pengaruh terbesar pada kemungkinan penelantaran anak di Indonesia, yaitu keberadaan
anak-anak terlantar lainnya dalam rumah tangga. Satu anak terlantar sudah menjadi
masalah, apalagi, jika jumlah mereka lebih dari satu dalam rumah tangga.

Faktor penentu penelantaran anak sangat kompleks dan membutuhkan pendekatan


multi-pihak untuk merawat dan mencegah penelantaran. Kebijakan di Indonesia harus
diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan rumah tangga dan menciptakan intervensi
khusus untuk mengidentifikasi dan membantu anak-anak yang rentan di masyarakat.

22
F. Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orangtua Yang
Menelantarkan Hak Anak
Salah satu tindak kekerasan pada anak yang terjadi sekarang ini adalah
penelantaran. penelantaran adalah interaksi atau kurangnya interaksi antar anggota
keluarga yang mengakibatkan perlukaan yang disengaja terhadap kondisi fisik dan emosi
anak. Menurut undang-undang yang termasuk dalam tindakan atau perbuatan
penelantaran meliputi :

a. Tindakan yang mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan anak secara


wajar, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial (Pasal 1 butir 6 Undang-
Undang Perlindungan Anak).
b. Tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk
memelihara, merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya (Pasal 13
ayat (1) huruf c, Undang-Undang Perlindungan Anak).

Salah satu contoh kasus Penelantaran anak adalah kasus penelantaran anak yang
dilakukan oleh “AKP. Ricardo Silaen, S.Sos. terhadap anaknya yaitu Satria Iratama
Silaen yang mengakibatkan anaknya mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik,
mental, maupun sosial.sejak Tahun 2003 AKP. Ricardo Silaen, S.Sos., tidak lagi
memenuhi kewajibannya sebagai sebagai kepala rumah tangga terhadapanaknya yaitu
saksi Satria Wiratama Silaen dengan cara tidak lagi memberikan biaya kehidupan sehari-
hari, untuk biaya pendidikan dan kesehatan, bahkan sejak tahun 2005.sejak Tahun 2005
sampai dengan Tahun 2008 ini seluruh biaya pendidikan, kesehatan dan biaya hidup
Satria Wiratama Silaen seluruhnya ditanggung oleh istrinya.maka AKP. Ricardo Silaen,
S.Sos., diancam pidana dalam Pasal 49 huruf (a) UU RI No.23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Dakwaan Alternatif Kedua;
berupa pidana penjara. Perbuatan-Perbuatan penelantaran terhadap anak telah diatur pada
ketentuan pidana pada :

a. Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 Tentang


Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Bab VIII pasal 49
b. Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, Bab XII pasal 77.
Anak termasuk dalam kelompok rentan, jadi sudah sewajarnya memperoleh
perlindungan khusus dari negara. Perlindungan khusus tersebut berupa pembaharuan

23
hukum dengan cara menetapkan peraturan perundang- undangan yang dimaksudkan
untuk melindungi anak dari penelantaran, termasuk memberikan pelayanan terhadap
anak yang menjadi korban penelantaran.

G. Upaya Untuk meningkatkan Perlindungan Hak Anak

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara Optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,
berakhlak mulia dan sejahtera.

Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam mengurangi


permasalahan perlindungan dan pemenuhan hak anak, seperti upaya untuk mengurangi
pekerja anak di Indonesa, Sejak jaman dahulu hingga sekarang pemerintah terus
melakukan inovasi-inovasi program-program yang bisa menjadi tolak ukur dalam
pengentasan pekerja anak dengan cara peningkatan kualitas pendidikan.

Adapun upaya-upaya lainnya yang telah dilakukan terkait perlindungan dan pemenuhan
hak anak yaitu1:

1. Pemerintah membuat program, misalnya:

 Penerbitan akta kelahiran gratis bagi anak;

 Pendidikan tentang cara pengasuhan tanpa kekerasan kepada orangtua dan guru;

 Layanan kesehatan untuk anak;

 Meningkatkan anggaran pendidikan dasar dan menggratiskan biaya pendidikan


dasar.

2. DPR/DPRD membuat UU/Perda untuk melindungi anak dari tindak kekerasan dan
eksploitasi, mengancam pelaku dengan ancaman hukuman sehingga diharapkan bisa
menimbulkan efek jera.

3. Jajaran penegak hukum (polisi, jaksa) dan penegak keadilan (hakim) memproses
setiap pelanggaran hak anak dengan tegas, tanpa pandang bulu, dan memberi sanksi
yg setimpal dengan pelanggaran yang dilakukan.

Mungkin Itu semua adalah cara – cara yang umum, atau lebih luas cakupanya. Orang

1
Anissa Nur Fitri, dkk, perlindungan hak-hak anak dalam upaya peningkatan kesejahteraan anak, prosiding ks:
riset & pkm volume: 2 nomor: , hal 48 -49
24
tua dan keluargalah yang dapat dengan intensif melindungi mereka.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan
dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Hak-Hak Anak
Mendapatkan identitas diri dan kewarganegaraan Kebebasan beribadah, berekspresi, dan
berpikir Mengetahui orangtuanya, dibesarkan dan diasuh orang tuanya, (terkecuali apabila
orang tuanya menelantarkan anaknya), Memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial,
Memperoleh pendidikan yang sesuai, Menyatakan pendapat, didengarkan pendapatnya,
Melakukan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan rekreasi, Anak yang berkebutuhan khusus
mendapatkan bantuan dan rehabilitasi, Mendapat perlindungan dari segala hal yang dapat
merugikannya, Apabila kebebasannya dirampas dapat memperoleh bantuan dan membela
diri, juga dirahasiakan identitasnya apabila menjadi korban kekerasan
Sedangkan seperti yang terlampir kewajiban anak adalah Menghormati orang tua, wali,
dan guru; Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; Mencintai tanah air,
bangsa, dan negara; Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan melaksanakan
etika dan akhlak yang mulia.

Penelantaran anak menyebabkan efek yang merugikan, seperti masalah dengan


perkembangan kognitif, sosial dan emosional, penggunaan narkoba, melukai diri sendiri,
kemampuan hidup sosial yang lebih rendah, masalah kejiwaan dan neurologis,
kesinambungan pengabaian terhadap anak-anak mereka sendiri dan potensi ingin membalas
dendam pada orang-orang yang mengabaikan mereka. Faktor penentu penelantaran anak
sangat kompleks dan membutuhkan pendekatan multi-pihak untuk merawat dan mencegah
penelantaran. Kebijakan di Indonesia harus diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan
rumah tangga dan menciptakan intervensi khusus untuk mengidentifikasi dan membantu
anak-anak yang rentan di masyarakat.

25
daftar pustaka
Fadillah, Dike Farizan. Raharjo,Santoso Tri, dan Ishartono, “Pemenuhan Hak Anak
dalam Keluarga Di Lingkungan Prostitusi”, Jurnal Unpad Prosiding Ks, Vol.2, No.1
https://nasional.kompas.com/read/2021/07/23/13473681/ini-10-hak-anak-yang-wajib
dipenuhi-semua-pihak-beserta-sejarahnya?page=all diakses pada 14 November 2021
Maksum, Muhamad, (2010).“Hak Anak Dalam Islam Dan Hak Asasi Manusia”., Jurnal
Misykat, Vol.III No. 1 Pebruari.
Mandzur, Ibn. Lisan al-'Arab, (Kairo: Dal al-Ma'arif, tt.), j. 2.
Swilam,Raf’Ad Farid.2002. al-Islam wa huquq al-Thifl. (Kairo: Dar Mahsyin).
Faisal, Nursariani Simatupang. (2018). Hukum Perlindungan Anak (Medan: Pustaka
Prima).
Suprihatini, Amin. (2018). Perlindungan Terhadap Anak (Klaten : Cempaka Putih).
Aziz, Aminah. (1998). Aspek Hukum Perlindungan Anak (Medan : USU Press).
Pahlevi, Valeria Rezha. (2016). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Menjadi
Korban Tindak Pidana (Universitas Atma Jaya Yogyakarta).

Goble, Frank G. 1994. Mazhab Ketiga: Psikologi Humanistik Abraham Maslow


(Terjemahan). Yogyakarta: Kanisius.

Goode, William J. 1995. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bumi Aksara.

Gosita Arief. 1989. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Penerbit Akademia


Presindo.

Gunarsah D.Singgih. 1982. Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta: PT BPK
Gunung Mulia.

Huraerah Abu. 2007. Child Abuse: Kekerasan Terhadap Anak (Edisi Revisi).
Bandung: Penerbit Nuansa.

Ferry Efendi.2019.Fenomena Penelantaran Anak di Indonesia.Cakrawala http://e-


journal.uajy.ac.id/1627/2/1HK09421.pdf

Anissa Nur Fitri, dkk, perlindungan hak-hak anak dalam upaya peningkatan
kesejahteraan anak, prosiding ks: riset & pkm volume: 2 nomor 1

26
27

Anda mungkin juga menyukai