Anda di halaman 1dari 18

FIQIH III (MUNAKAHAT DAN MAWARIS)

“ PERWALIAN DAN PEMELIHARAAN ANAK (HADHANAH)“

Dosen Pengampu : M. Thontawi, S.Pd, M.Pd

Nama Kelompok 3:

Lia Ananda ( 201200001 )

Fitri Sania (201200032)

Kirana (201200024)

Fetti Kennisah Putri (201200031)

Jodi Suryo Prayogo (201201952)

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN THAHA
SAIFUDDIN KOTA JAMBI
TAHUN AKADEMIK 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “perwalian dan
pemeliharaan anak (hadhanah) “ ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada
mata kuliah “ Fiqih III (Munakahat Dan mawaris)“ . Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang perwalian dan pemeliharaan anak (hadhanah) bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak M. Thontawi, S.Pd.I, M.Pd., selaku
dosen mata kuliah Fiqih III (munakahat dan mawaris) yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya
tekuni. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Jambi, Maret 2022

Pemakalah
DAFTAR ISI
BAB I....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG...............................................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH...........................................................................................................5
C. TUJUAN MASALAH...............................................................................................................5
BAB II...................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN...................................................................................................................................6
A. Perwalian.......................................................................................................................................6
1. Pengertian Perwalian.................................................................................................................6
2. Orang-orang yang Berhak Menjadi Wali Nikah........................................................................7
B. Pemeliharaan Anak (Hadhanah)..................................................................................................11
1. Pengertian Pemeliharaan Anak (Hadhanah).............................................................................11
2. Syarat-syarat pemeliharaan anak (hadhanah)...........................................................................13
3. Urutan-urutan yang melakukan pemeliharaan anak (hadhanah)..............................................15
BAB III................................................................................................................................................17
PENUTUP...........................................................................................................................................17
A. Kesimpulan..............................................................................................................................17
B. Saran........................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................18
BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada saat seseorang dilahirkan maka menimbulkan tugas baru dalam keluarganya
begitupun secara sosiologis dimana dia menjelma sebagai pemangku dari hak dan
kewajiban. Setelah itu, saat dewasa dia akan melanjutkan hidupnya dengan melakukan
perkawinan. Ikatan perkawinan yang terjadi antara 2 orang pengemban hak dan
kewajiban ini dalam pertalian perkawinannya menimbulkan akibat dalam bidang hukum.
Salah satu akibat hukumnya yaitu dalam bidang waris. Berlangsungnya waris mewarisi
antara pewaris dan ahli waris jika pewaris telah meninggal dunia. Jadi syarat dalam waris
mewarisi adalah terdapat orang yang meninggal dunia atau dikenal dengan sebutan
muwarrits.

Telah diketahui bersama bahwa dalam kenyataanya yang ada tidak semua orang
tua mampu memenuhi kebutuhan anak sesuai dengan kebutuhan pokok mereka.
Kebutuhan pokok itu antara lain kesehatan, pendidikan dan pembinaan atau pembentukan
kepribadian anak. Bagi keluarga yang mampu, mendidik dan membesarkan anak
bukanlah merupakan kabupaten Kendala kesulitan, tetapi bagi mereka yang kurang
mampu untuk dari segi perekonomiannya hal tersebut menjadi kabupaten Kendala, maka
negara bertanggung jawab atas pemeliharaan anak yang kurang beruntung.

Perwalian bagi orang beragama Islam di Indonesia diatur didalam Kompilasi


Hukum Islam pada Pasal 107-111. Masalah wali dalam Islam juga sangat berperan sekali
dalam hubungannya dengan hal pernikahan maka perwalian dibagi menjadi dua macam
yaitu perwalian dalam hal pernikahan dan Perwalian dalam hal pengasuhan anak di
bawah umur. Jadi menurut ajaran agama Islam perwalian yang termasuk dalam
perkawinan adalah orang yang berhak menikahkan anaknya atau orang yang berada
dibawah perwaliannya. Perwalian menurut hukum Islam (fiqih) merupakan tanggung
jawab orang tua terhadap anak. Dalam hukum Islam diatur dalam (hadlanah), yang
diartikan “ melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, laki-laki atau
perempuan, atau yang sudah besar, tetapi belum bisa membedakan yang benar atau salah
dan menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang
menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri
sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Jelaskan pengertian perwalian?
2. Sebutkan orang-orang yang berhak menjadi wali nikah?
3. Jelaskan tanggung jawab terhadap anak bila terjadi perceraian?
4. Jelaskan pengertian pemeliharaan anak (hadhanah)?
5. Jelaskan syarat-syarat pemeliharaan anak (hadhanah)?
6. Sebutkan urutan orang yang melakukan pemeliharaan anak (hadhanah)?

C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui pengertian dari perwalian.
2. Untuk mengetahui siapa saja orang-orang yang berhak menjadi wali nikah.
3. Untuk mengetahui apa tanggung jawab terhadap anak bila terjadi perceraian.
4. Untuk mengetahui maksud dari pemeliharaan anak (hadhanah).
5. Untuk mengetahui apa saja syarat-syarat pemeliharaan anak (hadhanah).
6. Untuk mengatahui urutan orang yang melakukan pemeliharaan anak (hadhanah).
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perwalian
1. Pengertian Perwalian
Secara etimologi (bahasa), kata perwalian berasal dari kata wali, dan jamak
“awliya”. Kata ini berasal dari kata Arab yang berarti "teman", "klien",
"sanak","pelindung". Umumnya kata tersebut menunjukkan arti "sahabat Allah"
dalam frase walīyullah.

Sementara makna perwalian dalam konteks hukum dan kajian perkawinan


adalah perwalian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 huruf (h) Kompilasi Hukum
Islam (KHI), yang menyatakan bahwa perwalian adalah “Perwalian adalah
kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan
hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai
kedua orang tua, orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan
hukum.”1

Dari definisi tersebut tedapat beberapa unsur yang harus diperhatikan, yaitu :
kewenangan, bertindak sebagai wakil, kepentingan anak, tidak mempunyai orang
tua, orang tua tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Yang dimaksud dengan
kewenagan dalam definisi tersebut adalah kewenagan yang diberikan kepada
seseorang untuk melakukan perwalian berdasarkan penetapan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap. Kemudian dalam definisi tersebut ada kata
bertindak sebagai wakil, artinya wali tersebut merupakan sebagai pengganti dari
orang sebenarnya, yaitu kedua orang tuanya dalam melakukan perbuatan hukum
untuk kepentingan anak. Lalu dalam definisi terdapat kata “Tidak mempunyai orang
tua atau tidak cakap melakukan perbuatan hukum” berarti kedua orang tuanya
meninggal dunia atau hilang dan boleh jadi pergi tanpa kabar apapun kepada
anaknya, sehingga dapat menelantarkan anak. Yang dimaksud dengan tidak cakap
hukum adalah orang tidak berhak dalam melakukan perbuatan hukum. Orang yang

1 Ahmad Rofiq,Hukum Perdata Islam di Indonesia,Raja Grafindo Persada,2013:Jakarta,hal 205


tidak cakap hukum antara lain : orang gila, anak-anak dan orang dibawah
pengampuan.

Dalam fikih Islam Perwalian terbagi 3 macam, yakni sebagai berikut:

a. Perwalian jiwa (diri pribadi)


b. Perwalian harta
c. Perwalian jiwa dan harta
Perwalian bagi anak yatim atau orang yang tidak cakap bertindak dalam
hukum seperti orang gila adalah perwalian jiwa dan harta. Ini artinya si wali
berwenang mengurus pribadi dan mengelola pula harta orang di bawah
perwaliannya. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Hasyim2 yaitu perwalian
terhadap anak menurut hukum Islam meliputi perwalian terhadap diri pribadi anak
tersebut dan perwalian terhadap harta bendanya. Perwalian terhadap diri pribadi
anak adalah dalam bentuk mengurus kepentingan diri si anak, mulai dari mengasuh,
memelihara, serta memberi pendidikan dan bimbingan agama.

Pengaturan ini juga mencakup dalam segala hal yang merupakan kebutuhan si
anak. Semua pembiayaan hidup tersebut adalah menjadi tanggung jawab si wali.
Sementara itu, perwalian terhadap harta bendanya adalah dalam bentuk mengelola
harta benda si anak secara baik, termasuk mencatat sejumlah hartanya ketika
dimulai perwalian, mencatat perubahan-perubahan hartanya selama perwalian, serta
menyerahkan kembali kepada anak apabila telah selesai masa perwaliannya karena
si anak telah dewasa dan mampu mengurus diri sendiri.

2. Orang-orang yang Berhak Menjadi Wali Nikah


Susunan wali menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagaimana dalam
Pasal 21 KHI terdapat empat kelompok wali, yaitu:

Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak
ayah dan seterusnya.

Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah,
dan keturunan laki-laki mereka.

2 Abdul Manan Hasyim, Hakim Mahkamah Syariah Provinsi Aceh di download dari
http://www.idlo.int/DOCNews/240DOCF1.pdf. 2010.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara
seayah dan keturunan laki-laki mereka.

Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan
keturunan laki-laki mereka.

Pemindahan hak wali dari wali yang paling dekat kekerabatannya dengan
calon mempelai perempuan kepada wali berikutnya, menurut ketentuan Pasal 22
KHI adalah karena wali yang paling dekat itu tidak memenuhi syarat sebagai wali
nikah, yaitu tidak memilki kebebasan untuk bertindak, tidak berakal sehat, belum
baligh dan bukan seorang muslim, atau wali nikah yang paling dekat itu menderita
tuna wicara, tuna rungu dan atau sudah udzur.

Ketentuan Pasal 23 ayat (1) KHI menyatakan bahwa wali hakim baru dapat
bertindak sebagai wali nikah, apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin
menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau enggan
(adhal). Ketentuan ini menunjukan bahwa wali hakim belum dapat bertindak sebagai
wali nikah, apabila seluruh kelompok wali masih ada dan diketahui tempat
tinggalnya, kecuali dalam hal adanya wali.

3. Tanggung Jawab Terhadap Anak Bila Terjadi Perceraian


Pada dasarnya orang tua bertanggung jawab atas pemeliharaan anak-anaknya,
baik orang tua dalam keadaan rukun ataupun sudah dalam keadaan bercerai.
Pemeliharaan anak bisa disebut hadanah dalam kajian fiqh. Hadanah adalah
memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang meliputi
pendidikan dan segala sesuatu yang diperlukan baik dalam bentuk melaksanakan
maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang dapat merusaknya.
Hal ini dirumuskan garis hukumnya dalam pasal 41 Undang-Undang perkawunan
sebagai berikut.
Pasal 41 UUP
1. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian :
a. Baik ibu atau ayah tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak pengadilan memberikan
keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu: bilamana bapak dalam kenyataan
tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan
bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
istri.
Garis hukum yang terkandung dalam pasal 41 Undang-Undang Perkawinan
tersebut, tampak tidak membedakan antara tanggung jawab pemeliharaan yang
mengandung nilai materiil dengan tanggung jawab pengasuhan anak yang
mengandung nilai nonmateriil atau yang mengandung nilai kasih sayang. Undang-
Undang perkawinan penekanannya berpokuskan kepada nilai materiilnya, sedangkan
pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang penekanannya meliputi kedua aspek tersebut,
yakni sebagai berikut.
Pasal 105 KHI
1. Dalam hal ini terjadi perceraian
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya.
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaanya.
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya

Ketentuan KHI tersebut, tampak bahwa tanggung jawab seorang ayah kepada
anaknya tidak dapat gugur walaupun ia sudah cerai dengan istrinya atau ia sudah
kawin lagi. Dapat juga dipahami ketika anak itu masih kecil (belum baligh) maka
pemeliharaannya merupakan hak ibu, namun biaya ditanggung oleh ayahnya. Selain
itu, anak yang belum mumayyiz maka ibu mendapat prioritas utama untuk mengasuh
anaknya. Apabila anak sudah mumayyiz maka anak dapat memilih apakah ia memilih
ayahnya atau ibunya untuk memeliharanya. Lain halnya bila orang tua lalai dalam
melaksanakan tanggung jawab, baik dalam merawat dan mengembangkan harta
anaknya. Orang tua tersebut dapat ducabut atau dialihkan kekuasannya bila ada
alasan-alasan yang menuntut pengadilan tersebut. Hal ini berdasarkan pada pasal 49
Undang-Undang perkawinan yang berbunyi sebagai berikut.

Pasal 49 UUP

1. Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang
anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain,
keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang sudah dewasa
atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam:
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak.
b. Ia berkelakuan buruk sekali.
2. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban
untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
Kalau perceraian dilakukan oleh pegawai negeri, orang tua terikat dalam
pelaksanaan tanggung jawab terhadap anaknya. Hal ini ditur oleh pemerintah
melalui surat Edaran Kepala Badan Adminidtrasi Kepegawaian Negara (BAKN)
Nonor 08/SE/1983 pada poin 19 yang menyatakan.
Apabila perceraian terjadi atas kehendak pegawai negeri sipil pria, maka ia wajib
menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-anaknya,
dengan ketentuan sebagai berikut.
a. Apabila anak mengikuti bekas istri, maka pembagian gaji ditetapkan sebagai
berikut.
(1) Sepertiga gaji untuk pegawai negeri sipil pria yang bersangkutan
(2) Sepertiga gaji untuk istrinya
(3) Sepertiga gaji untuk anaknya yang diterimakan kepada bekas istrinya
b. Apabila perkawinan tidak menghasilkan anak, maka gaji dibagi dua, yaitu
setengah untuk pegawai negeri sipil pria yang bersangkutan dan setengah
untuk istrinya
c. Apabila anak mengikuti pegawai negeri sipil pria yang bersangkutan maka
pembagian gaji ditetapkan sebagai berikut.
(1) Sepertiga gaji untuk pegawai negeri sipil pria yang bersangkutan
(2) Sepertiga gaji untuk bekas istrinya
(3) Sepertiga gaji untuk anaknya yang diterimakan kepada pegawai negeri
sipil pria yang bersangkutan.
d. Apabila sebagian anak mengikuti pegawai negeri sipil yang bersangkutan dan
dan sebagian lagi mengikuti bekas istri, maka 1/3 (sepertiga) gaji yang
menjadi hak anak itu dibagi menurut jumlah anak. Umpamanya seorang
pegawai negeri sipil bercerai dengan istrinya, pada waktu perceraian terjadi
mereka mempunyai 3 (tiga) orang anak, yang seorang mengikuti pegawai
negeri sipil yang bersangkutan dan yang 2 (dua) orang mengikuti bekas istri.
Dalam hal ini demikian, maka gaji yang menjadi hak anak itu dibagi sebagai
berikut
(1) 1/3 (sepertiga) dari 1/3 (sepertiga) gaji = 1/9 (sepersembilan) gaji
diterimakan kepada pegawai nengeri sipil yang bersangkutan.
(2) 2/3 (dua pertiga) dari 1/3 (sepertiga) gaji = 2/9 (dua persembilan) gaji
diterimakan kepada bekas istrinya.
Ketentuan diatas tidak berlaku apabila perceraian terjadi atas kehendak istri
yang bersangkutan, kecuali istri meminta cerai karena dimadu maka sesudah
perceraian terjadi bekas istri tersebut berhak atas bagian gaji tersebut. Selain itu,
apabila bekas itri yang bersangkutan kawin lagi, pebayaran bagian gaji dihentikan
terhitung mulai bulan berikutnya bekas istri yang dimaksud kawin lagi. Demikian
juga bekas istri yang bersangkutan kawin lagi, sedangkan semua anak ikut kepada
kepada bekas istri tersebut, maka 1/3 gaji tetap menjadi hak anak yang diterimakan
kepada bekas istri yang bersangkutan. Lain halnya, pada waktu perceraian sebagian
nak mengikuti pegawai negeri sipil dan sebagian lagi mengikuti bekas istri dan
bekas istri kawin lagi dan anak tetap mengikutinya, maka bagian gaji yang hak anak
itu tetap diterimakan kepada bekas istri yang dimaksud.

Aturan diatas diberlakukan kepada pegawai negeri sipil, muatan ketentuannya


dapat juga diberlakukan kepada suami istri yang bercerai bila mereka mempunyai
anak. Karena masa depan anak adalah tanggung jawab dari kedua orang tuanya.

B. Pemeliharaan Anak (Hadhanah)


1. Pengertian Pemeliharaan Anak (Hadhanah)
Pengertian Hadhanah dan Syarat Hadhanah – Hadhanah berasal dari kata
“hidhn” yang artinya bagian samping yang bisa digunakan untuk menggendong anak
kecil. Dalam kaitannya dengan kehidupan berumah tangga hadhanah dapat diartikan
sebagai istilah dengan pengertian mengasuh, memelihara dan mendidik anak kecil
yang belum mumayyiz.3

Para fuqaha mendefinisikan “al-hadhn” adalah memelihara anak kecil laki-laki


atau perempuan atau orang yang kurang akal yang tidak bias membedakan. Al-hadhn
tidak berlaku pada orang dewasa yang sudah baligh dan berakal. Ia boleh memilih
tinggal dengan siapa saja dan kedua orang tuanya yang ia sukai. Bilamana seorang
laki-laki maka ia boleh tinggal sendiri karena tidak membutuhkan kedua orang
tuanya. Akan tetapi syara‟ menyuruhnya berbakti dan berbuat baik kepada mereka.
Jika seorang perempuan, ia tidak boleh tinggal sendiri dan tidak dipaksa karena
kelemahan tabiatnya untuk menghindari kecemaran keluarganya.4

Dalam Ensiklopedi Hukum Islam dijelaskan, hadhanah yaitu mengasuh anak


kecil atau anak normal yang belum atau tidak dapat hidup mandiri, yakni dengan
memenuhi kebutuhan hidupnya, menjaga dari hal-hal yang membahayakan,
memberinya pendidikan fisik maupun psikis, mengembangkan kemampuan
intelektual agar sanggup memikul tanggung jawab hidup.5

Menurut Amir Syarifuddin, Pengertian hadhanah di dalam istilah Fikih


digunakan dua kata namun ditunjukkan untuk maksud yang sama yaitu Kafalah dan
Hadhanah .

Yang dimaksud dengan hadhanah dan kafalah dalam arti sederhana adalah
“pemeliharaan” atau “pengasuhan”. Dalam arti yang lebih lengkap adalah
pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putusnya perkawinan. Hal ini
dibicarakan dalam fikih karena secara praktis antara suami dan istri telah terjadin
perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan dari ayah dan/atau ibunya.6

Dari pengertian-pengertian hadhanah tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa


hadhanah itu mencakup aspek-aspek :

a. Pendidikan.

3 Pengertian Hadhanah dan Syarat Hadhanah (Hak Asuh Anak) - Muslim Pintar
4 Ibrahim Muhammad Al-jamal, Fiqih muslimah, h. 341.
5 “Hadhanah” dalam Abdul Aziz dahlan, dkk, ed, Ensiklopedi hukum Islam (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997), h.37.
6 Amir Syarifuddin, hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 327
b. Pencakupannya kebutuhan.
c. Usia (yaitu bahwa hadhanah itu diberikan kepada anak sampai usia tertentu).
Sehingga dimaksudkan dengan hadhanah adalah membekali anak secara
material maupun secara spiritual, mental maupun fisik agar anak mampu berdiri sediri
dalam menghadapi hidup dan kehidupan nanti bila ia dewasa. Dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tidak disebutkan pengertian pemeliharaan anak (hadhanah)
secara definitif, melainkan hanya disebutkan tentang kewajiban orang tua untuk
memelihara anaknya. Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang ini disebutkan bahwa,
“Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-
baiknya”.
Beberapa Ulama Mazhab berselisih pendapat mengenai masa asuh anak. Imam
Hanafi berpendapat masa asuhan adalah ttujuh tahun untuk anak lelaki dan Sembilan
tahun untuk perempuan. Imam Hanbali berpendapat masa asuh anak lelaki dan
perempuan adalah tujuh tahun dan setelah itu diberi hak untuk memeilih dengan siapa
ia akan tinggal. Menurut Imam Syafi‟I berpendapat bahwa batas mumayyiz anak
adalah jika sudah berumur tujuh tahun atau delapan tahun. Sedagkan Imam Malik
memberikan batas usia anak mumayyiz adalah tujuh tahun.7
Para Ulama Fikih mendefinisikan : hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan
anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar
tetapi blom mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya,
menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani,
dan akalnya, agar mampu berdiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.
Para Ulama sepakat bahwasanya hukum hadhanah, mendidik dan merawat
anak wajib. Tetapi mereka berbeda dalam hal, apakah hadhanah ini menjadi hak orang
tua (terutama ibu) atau hak anak.8

2. Syarat-syarat pemeliharaan anak (hadhanah)


Seorang hadhin (pengasuh anak) yang menangani dan menyelenggarakan anak
kecil yang diasuhnya, yaitu adanya kecukupan dan kecakapan yang memerlukan
syarat-syarat tertentu jika syarat-syarat tertentu ini tidak terpenuhi satu saja maka
gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanahnya. Syarat-syaratnya itu adalah :

7 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2006), Cet V, h. 54.
8 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang
Perkawinan, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2009). Cet.III, h.326.
1. Berakal, tidak terganggu ingatannya Sebab hadhanah merupakan pekerjaan
yang penuh tanggung jawab oleh sebab itu seorang ibu yang mendapat
gangguan jiwa atau gangguan ingatan tidak layak melakukan tugas hadhanah.9
2. Dewasa Sebab anak kecil sekalipun mumayyiz tetapi ia tetap membutuhkan
orang lain yang mengurusi urusannya dan mengasuhnya karena itu dia tidak
boleh menangani urusan orang lain.10
3. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik
makhdun (anak yang diasuh), dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang
bias mengakibatkan tugas hadhanah menjadi terlantar.
4. Amanah dan berbudi Orang yang curang tidak aman bagi anak kecil dan tidak
dapat dipercaya akan dapat menunaikan kewajibannya dengan baik, orang
yang rusak akhlaknya tidak dapat memberikan contoh yang baik kepada anak
yang diasuh, oleh karena itu ia tidak layak melaksanakan tugas ini.
5. Islam Seorang non muslim tidak berhak dan tidak boleh di tunjuk sebagai
pengasuh. Tugas mengasuh termasuk ke dalamnya usaha mendidik anak
menjadi muslim yang baik, dan hal itu jadi kewajiban mutlak atas kedua orang
tua. Hadhanah juga merupakan masalah perwalian sedangkan Allah tidak
membolehkan orang mukmin di bawah perwalian orang kafir.
6. Belum kawin lagi, jika yang melakukan hadhanah itu ibu kandung dari anak
yang diasuhnya. Dasarnya adalah penjelasan Rasulullah bahwa seorang ibu
hanya punya hak hadhanah bagi anaknya selama belum menikah dengan laki-
laki lain (HR. Abu Dawud). Namun ahli-ahli fiqih tidak menggugurkan hak
hadhanah pada ibu jika ia menikah dengan kerabat dekat si anak yang
memperlihatkan kasih sayang dan tanggung jawabnya.11
7. Merdeka, karena seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan
dengan tuannya sehingga ia tidak ada kesempatan untuk mengasuh anak kecil.

9 Moh. Rifai, et. Al, Terjemah kholashah Kifayatul Akhyar, (Semarang: CV Toha Putra), h. 352
10 Wahbah Zuhaili, Al Fiqhu al Islami wa Adillatuhu, Juz 7, Bairut: Darul Fikri, t.th. h. 726.
11 Satria Efendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta, Prenada Media, 2004, cet. 1), h.
172
3. Urutan-urutan yang melakukan pemeliharaan anak (hadhanah)
Sebagaiman orang yang berhak mengasuh anak adalah ibu, maka para fuqoha‟
menyimpulkan, keluarga ibu dari seorang anak lebih berhak dari pada keluarga bapak.
Urutan mereka yang berhak mengasuh anak adalah sebgai berikut :12

1. Ibu
2. Nenek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas
3. Nenek dari pihak ayah
4. Saudara kandung perempuan anak tersebut
5. Saudara perempuan se ibu
6. Saudara perempuan se ayah
7. Anak perempuan ibu yang sekandungnya
8. Anak perempuan ibu yang seayah
9. Saudara perempuan ibu yang sekandungnya
10. Saudara perempuan ibu yang se ibu (bibi)
11. Saudara perempuan ibu yang se ayah (paman)
12. Anak perempuan dari saudara perempuan se ayah
13. Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung
14. Anak perempuan dari saudara lai-laki se ibu
15. Anak perempuan dari saudara laki-laki se ayah
16. Saudara perempuan ayah yang sekandung
17. Saudara perempuan ayah yang seibu
18. Saudara perempuan ayah yang se ayah
19. Bibinya ibu dri pihak ibunya
20. Bibinya ayah dari pihak ibunya
21. Bibinya ibu dari pihak ayahnya
22. Bibinya ayah dari pihak ayahnya, nomor 19 sampai dengan 22 dengan
mengutamakan yang sekandung pada masing-masingnya.13

Jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat perempuan dari kalangan


muhrim di atas, atau ada juga tetapi tidak mengasuhnya, maka pengasuhan
anak tersebut beralih kepada kerabat laki-laki yang masih muhrimnya atau

12 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, (Beirut: Dar Fikr, 1983), h. 529
13 Kamil Muhamad Uwaidah (terjemah) Abdul Gofur, Fiqih Wanita, Jakarta, Al Kautsar, 2006, h. 456.
berhubungan darah (nasab) dengannya sesuai dengan urutan masing-masing
dalam persoalan waris, yaitu pengasuhan anak beralih kepada.14

1. Ayah anak tersebut


2. Kakek dari pihak ayah tersebut dan seterusnya ke atas
3. Saudara laki-laki sekandung
4. Saudara laki-laki se ayah
5. Anak laki-laki dari anak laki-laki sekandung
6. Anak laki-laki dari anak laki-laki se ayah
7. Paman yang sekandung dengan ayah
8. Paman yang seayah dengan ayah
9. Pamannya ayah yang sekandung
10. Pamannya ayah yang searah dengan ayah. 15
Jika tidak ada seorang pun kerabat dari muhrim laki-laki tersebut, atau
ada tetapi tidak bisa mengasuh anak, maka hak pengasuhan anak itu beralih
kepada muhrim-muhrimnya yang laki-laki selain kerabat dekat, yaitu :
1. Ayahnya ibu (kakek)
2. Saudara laki-laki se ibu
3. Saudara laki-laki dari saudara laki-laki se ibu
4. Paman yang seibu dengan ayah
5. Paman yang sekandung dengan ibu
6. Paman yang seayah dengan ibu
Dan selanjutnya, jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat sama
sekali, maka hakim yang akan menunjuk seoarang wanita yang sanggup dan
patut untuk mengasuh dan mendidiknya.16

14 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, h.394


15 Ibid, h.395
16 Ibid, h. 457.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dapat kita ambil kesimpulan dari penjelasan diatas bahwa dalam konteks hukum
dan kajian perkawinan adalah perwalian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 huruf (h)
Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menyatakan bahwa perwalian adalah “Perwalian
adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan
hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai
kedua orang tua, orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum.

Pemeliharaan anak adalah pemenuhan berbagai aspek kebutuhan primer dan


sekunder anak. Pemeliharaan meliputi berbagai aspek, yaitu pendidikan, biaya hidup,
ketentraman, kesehatan, dan segala aspek yang berkaitan dengan kebutuhannya. Dalam
agama Islam diungkapkan bahwa tanggung jawab ekonomi berada dipundak suami
sebagai kepala rumah tangga, dan tidak menutup kemungkinan tanggung jawab itu
berarih kepada istri untuk membantu suaminya bila suami tidak mampu melaksanakan
kewajibannya.

Asal usul anak merupakan dasar untuk menunjukan adanya hubungan


kemahraman (nasab) dengan ayahnya. Demikian yang diyakini dalam fiqh Sunni. Para
ulama sepakat bahwa anak zina atau anak li’an, hanya mempunyai hubungan nasab
kepada ibu dan saudara ibunya. Berbeda dengan pemahaman ulama syi’ah bahwa anak
zina tidak mempunyai hubungan nasab dengan ibu atau bapak zinanya, karena itu pula
anak zina tidak bisa mewarisi keduanya.

B. Saran
Dengan adanya makalah ini agar kita dapat mengetahui tentang bagaimana
perwalian dan pemeliharaan anak (Hadhanah). Penulis banyak berharap kepada para
membaca agar bisa memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi
sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah dikesempatan kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi penulis pada khususnya dan juga para membaca
pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rofiq,Hukum Perdata Islam di Indonesia,Raja Grafindo Persada,2013:Jakarta,

Abdul Manan Hasyim, Hakim Mahkamah Syariah Provinsi Aceh di download dari
http://www.idlo.int/DOCNews/240DOCF1.pdf. 2010

Pengertian Hadhanah dan Syarat Hadhanah (Hak Asuh Anak) - Muslim Pintar

Ibrahim Muhammad Al-jamal, Fiqih muslimah,

“Hadhanah” dalam Abdul Aziz dahlan, dkk, ed, Ensiklopedi hukum Islam (Jakarta : Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1997),

Amir Syarifuddin, hukum Perkawinan Islam di Indonesia,

Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2006), Cet V,

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2009). Cet.III,

Moh. Rifai, et. Al, Terjemah kholashah Kifayatul Akhyar, (Semarang: CV Toha Putra),

Wahbah Zuhaili, Al Fiqhu al Islami wa Adillatuhu, Juz 7, Bairut: Darul Fikri, t.th.

Satria Efendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta, Prenada Media,
2004, cet. 1),

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, (Beirut: Dar Fikr, 1983),

Kamil Muhamad Uwaidah (terjemah) Abdul Gofur, Fiqih Wanita, Jakarta, Al Kautsar, 2006,

Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga,

Anda mungkin juga menyukai