Anda di halaman 1dari 29

AKAD KERJASAMA ATAS LAHAN PERTANIAN: MUZARA’AH,

MUKHABARAH DAN MUSAQAH


Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Fikih Muamalah
Dosen Pengampu: Siti Shopiyah, MA.

Disusun oleh: Kelompok 11

Atika Rizky Arianti 21312364

Fatia Hasna Azizah 21312380

Gina Oktaviani 21312384

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)


FAKULTAS TARBIYAH
INSITUT ILMU AL-QURAN JAKARTA (IIQ)
2022 M/1443H
‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberi segala kenikmatan kepada kami, hingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam kami limpah curahkan kepada
Nabi Muhammad SAW. Semoga kita selalu diberi rahmat dan hidayah-Nya hingga akhir
hayat nanti.

Kami ucapkan terima kasih kepada para tokoh yang telah membantu kami dalam
menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada Ibu Siti Shopiyah, MA. sebagai dosen yang
telah membimbing kami dan kepada para teman seperjuangan yang telah membantu dari segi
apapun. Tak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada orang tua kami yang sudah
mendukung kami melalui doa doanya.

Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami meminta
bimbingannya kepada Ibu Siti Shopiyah, MA selaku dosen mata kuliah Fikih Muamalah.
Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada kesalahan dalam makalah ini dikarenakan
keterbatasan ilmu yang kami miliki. Kami juga berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembacanya.

Pamulang, 20 Mei 202

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... i


DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Muzara’ah .................................................................................................................. 2
B. Mukhabarah ............................................................................................................. 12
C. Musaqah ................................................................................................................... 18
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................................. 24
B. Saran ........................................................................................................................ 25
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 26

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu sektor yang pekerjaan yang ditekuni masyarakat pedesaan adalah
pertanian. Dalam agama Islam hukum mengenai muamalah atau transaksi sudah
tersusun dalam bidang ilmu fikih muamala. Dalam fikih muamalah terdapat beberapa
jenis transaksi di sektor pertanian diantaranya yakni Muzara’ah, Mukhabarah dan
Musaqah. Sebagian masyarakat tentu sudah melakukan jenis muamalah tersebut.
Namun apakah sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam agama? Agar akad
yang dilakukan sesuai dengan ketentuan agama tentu penting sekalali untuk
mengetahui definisi, rukun dan syarat serta seluruh hal yang berkaitan dengan akad
yang akan kita lakukan demi sahnya transaksi tersebut. Oleh karenanya dalam
makalah ini akan dibahas mengenai muzara’ah, mukhabarah dan musaqah beserta
rukun, syarat dan pengaplikasiannya pada zaman ini.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Muzara’ah, Mukhabarah dan musaqah?


2. Apa dasar hukum Muzara’ah, mukhabarah dan Musaqah?
3. Apa Rukun, Syarat, macam dan ketentuan muzara’ah, Mukhabarah dan
Musaqah?
4. Bagaimana pengaplikasian akad muzara’ah, mukhabarah dan musaqah dalam
LKS saat ini?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian Muzara’ah, Mukhabarah dan musaqah.
2. Untuk mengetahui dasar hukum Muzara’ah, mukhabarah dan Musaqah.
3. Untuk mengetahui apa saja Rukun, Syarat, macam dan ketentuan muzara’ah,
Mukhabarah dan Musaqah.
4. Untuk mengetahui pengaplikasian akad muzara’ah, mukhabarah dan musaqah
dalam LKS saat ini.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Muzara’ah

1. Pengertian Muzara’ah

Menurut bahasa, kata muzara’ah berasal dari kata al-Zar’u yang berarti
penanaman atau pengolahan. Sedangkan menurut istilah fikih ialah pemilik tanah
memberi hak mengelola tanah kepada seorang petani dengan syarat bagi hasil atau
semisalnya. 1
Secara etimologi, muzara’ah berarti kerjasama di bidang pertanian antara
pemilik tanah dengan petani penggarap dengan mendapat sebagian hasilnya. Secara
terminologi, terdapat beberapa definisi para ulama, menurut ulama Malikiyah berarti
perserikatan dalam pertanian, ulama Hanabilah mengartikannya sebagai penyerahan
tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan dibagi dua. Sedangkan
Imam Syafi’i mendefinisikannya sebagai pengolahan tanah oleh petani dengan
imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah atau
lebih dikenal dengan istilah Mukhabarah, serta menurut pendapat ulama Hanafiyah
Muzara’ah pada syara’ ialah suatu akad tentang pekerjaan di atas oleh seseorang
dengan pemberian sebagian hasil baik dengan cara menyewakan tanah dengan
sebagaian hasil, ataupun yang mempunyai tanah mengupahkan yang bekerja dengan
pembagian hasil. 2
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa muzara’ah adalah
mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian
hasilnya (seperdua, sepertiga, atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan
banihnya ditanggung oleh pemilik tanah.

2. Dasar Hukum Muzara’ah

a. Dalil Al-Qur`an
1) Q.S al-Muzammil [73]:20

1
Haroen Nasrun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 275-281
2
Teungku Muhammad Hasbi As- Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 1997, Cet. ke-1), h. 426

2
3

َ‫ط ۤا ِٕىفَة ِمنَ الَّ ِذيْن‬


َ ‫صفَهٗ َوثُلُثَهٗ َو‬ ْ ِ‫ا َِّن َربَّكَ َي ْعلَ ُم اَنَّكَ تَقُ ْو ُم اَد ْٰنى ِم ْن ثُلُثَي ِ الَّ ْي ِل َون‬
‫علَ ْي ُك ْم فَا ْق َر ُء ْوا َما‬ ُ ‫ارٗ َع ِل َم اَ ْن لَّ ْن ت ُ ْح‬
َ َ‫ص ْوهُ فَت‬
َ ‫اب‬ َ ‫ّللاُ يُقَد ُِر الَّ ْي َل َوالنَّ َه‬
ٰ ‫َم َعكَ ٗ َو‬
‫ضىٗ و ٰاخ ُرون يض ِربُون فِى‬ َ ‫تَيَس ََّر ِمنَ ْالقُ ْر ٰا ِنٗ َع ِل َم اَ ْن‬
ٰ ‫سيَ ُك ْونُ ِم ْن ُك ْم َّم ْر‬
‫ّللا ٗفَا ْق َر ُء ْوا َما‬ َ ‫ّللا ٗ َو ٰاخ َُر ْونَ يُقَاتِلُ ْونَ فِ ْي‬
ِ ٰ ‫سبِ ْي ِل‬ ِ ٰ ‫ض يبتغُون ِمن فض ِل‬ ِ ‫اْلر‬
‫سنًاٗ َو َما‬ ً ‫ّللاَ قَ ْر‬
َ ‫ضا َح‬ ٰ ‫ضوا‬ َّ ‫ص ٰلوة َ َو ٰاتُوا‬
ُ ‫الز ٰكوة َ َواَ ْق ِر‬ َّ ‫تَيَس ََّر ِم ْنهُٗ َواَقِ ْي ُموا ال‬
َ ‫ّللا ٗه َُو َخي ًْرا َّواَ ْع‬
‫ظ َم ا َ ْج ًراٗ َوا ْستَ ْغ ِف ُروا‬ ِ ٰ َ‫تُقَ ِد ُم ْوا ِِلَ ْنفُ ِسكُ ْم ِم ْن َخيْر تَ ِجد ُْوهُ ِع ْند‬
٢٠ ‫ّللاَ َغفُ ْور َّر ِحيْم‬
ٰ ‫ّللا ٗا َِّن‬
َٰ
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa engkau (Nabi
Muhammad) berdiri (salat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua
malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang
yang bersamamu. Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah
mengetahui bahwa kamu tidak dapat menghitungnya (secara terperinci
waktu-waktu tersebut sehingga menyulitkanmu dalam melaksanakan salat
malam). Maka, Dia kembali (memberi keringanan) kepadamu. Oleh karena
itu, bacalah (ayat) Al-Qur’an yang mudah (bagimu). Dia mengetahui bahwa
akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit, dan yang lain berjalan di
bumi mencari sebagian karunia Allah serta yang lain berperang di jalan
Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) darinya (Al-Qur’an).
Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, dan berikanlah pinjaman kepada
Allah pinjaman yang baik. Kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk
dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)-nya di sisi Allah sebagai
balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Mohonlah
ampunan kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Q.S Al-Muzzammil [73]:20)

2) Q.S az-Zukhruf [43]:32

ٗ‫شتَ ُه ْم فِى ْال َح ٰيوةِ الدُّ ْنيَا‬ َ َ‫اَهُ ْم يَ ْق ِس ُم ْونَ َر ْح َمتَ َربِكَ ٗ ن َْح ُن ق‬
َ ‫س ْمنَا بَ ْينَ ُه ْم َّم ِع ْي‬
ُ‫ضا سُ ْخ ِريًّا ٗ َو َر ْح َمت‬ ً ‫ض ُه ْم بَ ْع‬ ُ ‫ض ُه ْم فَ ْوقَ بَ ْعض دَ َرجٰ ت ِليَتَّ ِخذَ بَ ْع‬ َ ‫َو َرفَ ْعنَا بَ ْع‬
َ‫َر ِبكَ َخيْر ِم َّما َي ْج َمعُ ْون‬
4

“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah


yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia dan Kami
telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa
derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain.
Rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Q.S az-
Zukhruf [43]:32)
Kedua ayat di atas menerangkan kepada kita bahwa Allah
memberikan keluasan dan kebebasan kepada umat-Nya untuk dapat mencari
rahmat-Nya dan karunia-Nya untuk dapat tetap bertahan hidup di muka
bumi. 3

b. Dalil Hadis
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori, Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i:

ُ ‫ّللا قَا َل َحدَّثَنِي نَافِع َع ْن اب ِْن‬


‫ع َم َر‬ ِ َّ ‫ع َب ْي ِد‬ َ ُ‫سدَّد َحدَّثَنَا َي ْح َيي ْبن‬
ُ ‫س ِعيد َع ْن‬ َ ‫َحدَّثَنَا ُم‬
ْ ‫سلَّ َم َخ ْي َب َر ِبش‬
‫َط ِر َما َي ْخ ُر ُج ِم ْن َها‬ َ ‫ع َل ْي ِه َو‬
َ ُ‫ّللا‬َّ ‫صلَّي‬ َ ‫ي‬ُّ ‫اَّللُ َع ْن ُه َما قَا َل َعا َم َل ال َّن ِب‬
َّ ‫ض َي‬
ِ ‫َر‬
)‫ِم ْن ثَ َمر أَ ْو زَ ْرع (رواه البخاري‬
“Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan
kepada kami Yahya bin Sa'id dari 'Ubaidullah berkata, telah menceritakan
kepada saya Nafi' dari Ibnu 'Umar ra berkata: Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam memperkerjakan orang untuk memanfaatkan tanah Khaibar dengan
ketentuan separuh dari hasilnya berupa kurma atau sayuran untuk pekerja.”
(HR. Bukhari)
Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi
dengan petani Khaibar adalah kerjasama, bukan upah-mengupah dengan pekerja
tani dan bukan pula sewa-menyewa (ijarah) tanah dengan pemilik tanah, karena
sewa dalam akad sewa-menyewa atau upah dalam akad upah-mengupah (ijarah)
harus jelas dan pasti nilainya, bukan dengan hasil yang belum pasti. Ulama yang
mengatakan tidak boleh muamalah dalam bentuk muzara’ah adalah Abu
Hanifah dan Zufar, menurutnya hadits yang menjelaskan muamalah yang
dilakukan Nabi dengan penduduk Khaibar sebenarnya bukan merupakan

3
Azharudin Lathif, Fiqh Muamalah, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 93
5

kerjasama dengan menggunkan akad muzara’ah melainkan kharaj musaqamah,


yaitu kewajiban tertentu (pajak) berupa presentase tertentu dari hasil bumi. 4

3. Rukun dan Syarat Muzara’ah

a. Rukun Muzara’ah
Dalam Fiqh Islam arti muzara’ah dan mukhabarah tidaklah jauh berbeda,
namum yang membedakan di antara keduanya adalah mengenai siapa yang
memberikan benih untuk ditanam. Oleh karena itu syarat dan rukun muzara’ah
dan mukhabarah tidaklah jauh berbeda.
Jumhur ulama` yang membolehkan akad muzara’ah dan mukhabarah
menetapkan rukun yang harus dipenuhi, agar akad itu menjadi sah. Adapun
rukunnya adalah sebagai berikut:

1) Pemilik tanah (malik),


2) Petani penggarap (amil),
3) Obyek yaitu antara manfaat tanah dan hasil kerjapetani,
4) Ijab (ucapan penyerahan tanah oleh pemilik tanah),
5) Qabul (pernyataan menerima tanah untuk digarap oleh petani).

b. Syarat-syarat Muzara’ah
Menurut Hanafiyyah syarat-syaratnya yaitu sebagai berikut:
1) Syarat yang melakukan aqidain adalah berakal sehat,dan baligh,
2) Syarat yang berkaitan dengan tanaman, sebaiknya ditentukan jenis apa saja
yang akan ditanam,
3) Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman,
4) Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami,
5) Hal yang berkaitan dengan waktu,
6) Hal yang berkaitan dengan alat-alat muzara’ah. 5

Menurut Imam Abu Hanifah syarat-syaratnya yaitu sebagai berikut:

1) Syarat-syarat pihak yang melakukan akad, ialah:


a) Berakal (mumayyiz)

4
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 114
5
Sohari Sahrani, Fiqh Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 314
6

Oleh karena itu tidak sah akad muzara’ah dan mukhabarah yang dilakukan
oleh orang gila dan anak kecil yang belum mumayyiz. Karena akal adalah
syarat kelayakan dan kepatutan di dalam melakukan pentasharufan
(tindakan).
b) Bukan orang murtad
Pentasharufan orang murtad tidak bisa langsung sah seketika itu juga.
Karena pentasharufan orang murtad menurutnya adalah ditangguhkan
(mauquf).
2) Syarat penanaman
Penanaman harus diketahui secara pasti, dalam artian harus dijelaskan
benih yang akan ditanam. Karena kondisi sesuatu yang ditanam berbeda-beda
sesuai dengan penanaman yang dilakukan. Syarat yang menyangkut benih
yang akan ditanam harus jelas, sesuai dengan kebiasaan tanah itu, selain itu
benih yang akan ditanam harus jelas dan menghasilkan. 6
3) Syarat sesuatu yang ditanam
Yaitu harus berupa tanaman yang aktifitas pengelolaan dan
penggarapan bisa mengalami pertambahan dan pertumbuhan.
4) Syarat hasil panen
Ada beberapa syarat yang berkaitan tentang untuk apa yang dihasilkan
dari tanaman yang digarap, di antaranya sebagai berikut:
a) Diketahui dengan jelas dalam akad, karena nantinya hasil itu statusnya
adalah sebagai upah.
b) Statusnya adalah milik bersama antara kedua belah pihak.
c) Pembagian hasil panen harus ditentukan kadarnya. Karena jika tidak
ditentukan, maka hal tersebut bisa berpotensi memunculkan perselisihan
suatu hari nanti.
d) Bagian masing-masing harus berupa bagian yang umum dan global dari
keseluruhan hasil panen.
Adapun syarat yang menyangkut dengan hasil panen adalah sebagai berikut:

a) Pembagian hasil panen masing-masing pihak harus jelas.


b) Hasil tersebut harus benar-benar milik bersama orang yang berakad tanpa
ada pengkhususan.

6
Haroen Nasrun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 278-279
7

c) Pembagian hasil panen itu ditentukan setengah, sepertiga, atau seperempat


sejak dari awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan di kemudian hari,
dan penentuannya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak. 7
5) Syarat-syarat lahan yang ditanami, ialah:
a) Lahan itu cocok dan layak untuk ditanami dan dijadikan lahan pertanian.
b) Lahan tersebut boleh digarap dan menghasilkan menurut adat dikalangan
para petani. Jika tanah itu tandus dan kering sehingga tidak mungkin untuk
dijadikan lahan pertanian, maka akad muzara’ah dan mukhabarah tidak sah.
c) Batas-batas lahan itu jelas.
d) Lahan itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap.
6) Syarat objek
Objek di sini memang harus berupa sesuatu yang dimaksudkan dan
dikehendaki menurut adat-istiadat yang berlaku dan menurut syara`. Objek
merupakan salah satu dari dua hal, yaitu ada kalanya berupa kemanfaatan
pekerjaan yang dilakuka oleh pihak penggarap dan benihnya dari pihak
pemilik lahan. 8
7) Syarat alat pertanian yang digunakan
Syarat peralatan dan sarana yang digunakan dalam mengelola lahan,
seperti binatang yang digunakan untuk membajak sawah, dan berbagai
peralatan yang biasa digunakan dalam menggarap lahan pertanian.
8) Syarat masa atau jangka waktu
Di sini disyaratkan, masanya harus jelas dan pasti. Maka oleh karena
itu, akad muzara’ah dan mukhabarah tidak sah kecuali setelah jelas masa dan
jangka waktunya.
Adapun syarat-syarat muzara’ah dan mukhabarah menurut jumhur ulama
yaitu adanya orang yang berakad,benih yang ditanam, tanah yang dikerjakan,
hasil yang akan dipanen, dan yang menyangkut jangka berlakunya akad.

Syarat-syarat muzara’ah dan mukhabarah menurut ulama Malikiyyah


adalah sebagai berikut:

1) Tidak mengandung unsur penyewaan lahan dengan biaya sewa.


2) Modal selain benih yang dikeluarkan oleh kedua pihak harus sepadan.

7
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 116-117
8
Haroen Nasrun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 279
8

3) Modal benih kedua belah pihak harus sejenis.


Apabila berbeda, misalkan pemilik mengeluarkan bibit padi, sedangkan
penggarap mengeluarkan bibit ketela, maka akadnya menjadi fasid.9

Menurut ulama Syafi’iyyah tidak mensyaratkan dalam muzara’ah dan


mukhabarah, persamaan hasil yang diperoleh antara pemilik lahan dan penggarap.
Menurut mereka muzara’ah dan mukhabarah adalah penggarapan lahan dengan
imbalan yang keluar dari padanya.

4. Macam-macam Akad Muzara’ah

Menurut Abu Yusuf dan Muhammad, bentuk muzara’ah ada empat macam, tiga
hukumnya sah dan yang satu hukumnya batal atau fasid. Bentuk-bentuk tersebut
yaitu sebagai berikut:

a. Tanah dan bibit dari satu pihak, sedangkan pekerjaan dan alat-alat untuk bercocok
tanam dari pihak lain. Dalam bentuk yang pertama ini muzara’ah hukumnya
dibolehkan, dan status pemilik tanah sebagai penyewa terhadap tenaga penggarap
dan benih dari pemilik tanah, sedangkan alat ikut kepada penggarap.
b. Tanah disediakan oleh satu pihak, Sedangkan alat, benih,dan tenaga dari pihak
lain. Dalam bentuk yang kedua ini, muzara’ah juga hukumnya dibolehkan, dan
status penggarap sebagai penyewa atas tanah dengan imbalan sebagian hasilnya.
c. Tanah, alat, dan benih disediakan oleh satu pihak (pemilik), sedangkan tenaga
(pekerja) dari pihak lain (penggarap). Dalam bentuk yang ketiga ini, muzara’ah
hukumnya dibolehkan, dan status pemilik tanah sebagai penyewa terhadap
penggarap dengan imbalan sebagian hasilnya.
d. Tanah dan alat disediakan oleh satu pihak (pemilik),sedangkan benih dan
pekerjaan dari pihak penggarap.Dalam bentuk yang keempat ini, menurut Zhahir
riwayat,muzara’ah menjadi fasid. Hal ini dikarenakan andaikan akad itu dianggap
sebagai menyewa tanah maka disyaratkan alat cocok tanam dari pihak pemilik
tanah menyebabkan sewa-menyewa menjadi fasid, sebab tidak mungkin alat ikut
kepada tanah karena keduanya berbeda manfaatnya.10

9
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 6, Terj.Abdul Hayyie al-Khattani, (Jakarta:
Gema Insani, 2011) h. 568-570.
10
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, (Jakarta : Amzah, 2010), h. 399-403
9

Muzara’ah dibenarkan apabila disepakati pembagian hasil antara pemilik lahan


dengan tenaga petani. Misalnya, petani mendapat 60% dari nilai total hasil panen,
sedangkan pemilik lahan mendapat 40% sisanya. Bentuk seperti ini dihalalkan dan
telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat hingga generasi
berikutnya.

Adapun bentuk muzara’ah yang diharamkan adalah bila bentuk kesepakatannya


tidak adil. Misalnya, dari luas 1.000 m persegi yang disepakati pemilik lahan
menetapkan bahwa dia berhak atas tanaman yang tumbuh di area 400 m tertentu.
Sedangkan tenaga buruh tani berhak atas hasil yang akan didapatkan pada 600 m
tertentu.

Perbedaannya dengan bentuk muzara’ah yang halal di atas adalah pada cara
pembagian hasil. Bentuk yang boleh adalah semua hasil panen dikumpulkan terlebih
dahulu, baru dibagi hasil sesuai presentase. Sedangkan, bentuk yang kedua dan
terlarang itu sejak awal lahan sudah dibagi dua bagian menjadi 400 m dan 600 m.
Buruh tani berkewajiban untuk menanami kedua lahan, tetapi hak nya terbatas pada
hasil di 600 m itu saja. Sedangkan apapun yang akan dihasilkan di lahan 400 m,
menjadi hak pemilik lahan.

Cara seperti ini adalah cara muzara’ah yang diharamkan. Inti larangannya ada
pada masalah gharar. Sebab boleh jadi salah satu pihak akan dirugikan. Misalnya,
bila panen dari lahan yang 400 m itu gagal, maka pemilik lahan akan dirugikan.
Sebaliknya, bila panen pada lahan 600 m tersebut gagal, maka buruh tani akan
dirugikan. Maka cara yang benar adalah hasil panen keduanya harus disatukan
terlebih dahulu, setelah itu baru dibagi hasil sesuai dengan perjanjian.

Bentuk muzara’ah yang terlarang ini adalah seseorang memberikan


persyaratan kepada orang yang mengerjakan tanahnya, yaitu dengan ditentukan
tanah dan sewanya dari hasil tanah baik berupa takaran ataupun timbangan.
Sedangkan sisa daripada hasil itu untuk yang mengerjakannya atau masih dibagi dua
lagi misalnya.

5. Ketentuan Terkait Muzara’ah

Ketentuan-ketentuan yang terkait dalam muzara’ah ialah:


10

a. Masanya harus ditentukan.


b. Bagian yang disepakati harus diketahui.
c. Bibit tanaman harus berasal dari pemilik tanah.
d. Jika pemilik mengambil bibit dari hasil panen dan penggarap mendapat sisanya
sesuai kesepakatan keduanya, maka akadnya batal.
e. Menyewakan tanah dengan harga kontan lebih baik daripada muzara’ah.
f. Orang yang mempunyai tanah lebih disunnahkan memberikan kepada saudara
seagama tanpa kompensasi.
g. Jumhur ulama melarang sewa tanah dengan makanan, karena itu adalah jual beli
makanan dengan makanan dengan pembayaran tunda. 11

6. Berakhirnya Muzara’ah

Muzara’ah terkadang berakhir karena telah terwujudnya maksud dan tujuan akad,
misalnya tanaman telah dipanen. Akan tetapi, terkadang akad muzara’ah berakhir
sebelum terwjudnya tujuan muzara’ah, karena sebab-sebab berikut:
a. Masa perjanjian muzara’ah telah habis
b. Meninggalnya salah satu pihak, baik meninggalnya itu sebelum dimulainya
penggarapan atau sesudahnya, baik buahnya sudah bisa dipanen atau belum.
Pendapat ini dikemukakan oleh Hanafiyyah dan Hanabilah. Akan tetapi menurut
Syafi’iyah dan Malikiyyah akad tersebut tidak berakhir karena meninggalnya
salah satu pihak yang melakukan akad.
c. Adanya udzur atau alasan, baik dari pihak pemilik tanah maupun dari pihak
penggarap. Diantara udzur atau alas an tersebut adalah sebagai berikut:
1) Pemilik memiliki hutang yang besar dan mendesak,sehingga tanah yang
sedang digarap oleh penggarap harus dijual kepada pihak lain dan tidak ada
harta lain selain tanah tersebut.
2) Timbulnya alasan dari pihak penggarap, misalnya sakit atau bepergian untuk
kegiatan usaha, sehingga tidak bisa menggarap tanah tersebut.12

7. Aplikasi Muzara’ah Dalam Lembaga Keuangan Syari’ah Saaat Ini

Kehadiran lembaga perbankan syari’ah sangat tepat untuk mengembangkan


sektor agribisnis, baik bank umum syari’ah maupun Bank Perkreditan Rakyat

11
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 114
12
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), h 403-404
11

Syari’ah. Hal ini dikarenakan bank syari’ah menggunakan skema bagi hasil
(mudharabah, muzara’ah, dan musyarakah), di samping skema lainnya seperti jual
beli salam dan murabahah. Secara garis besar, aplikasi muzara’ah dalam perbankan
dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Skema Muzara’ah dengan Perbankan


Konsep bagi hasil sebenarnya bukan transaksi baru dalam masyarakat Indonesia.
Tradisi ini telah lama dikenal dalam berbagai kegiatan ekonomi. Pada sektor pertanian
dikenal sebagai sistem maro, mertelu, marapat, dan paroan. Sistem bagi hasil
pertanian, terutama untuk tanaman padi berlangsung antara penggarap dan pemilik
modal lahan dengan proporsi bagi hasil yang relatif beragam. Skema kerjasama ini
dalam fikih dikenal dengan istilah muzara’ah, musaqah, mukhabarah. Pada sektor
kelautan juga praktek bagi hasil telah lama dipraktekkan antara nelayan dan pemilik
boat atau perahu. Sistem ini tampaknya lebih cocok, karena hasil ikan yang diperoleh
para nelayan tidak dapat diperkirakan, sehingga sistem bagi hasil ini lebih adil. 13
Dengan demikian, pola pembiayaan syari’ah mempunyai karakteristik yang lebih
cocok dengan komoditi yang dibudidayakan oleh petani. Hal ini disebabkan oleh
beberapa hal, yaitu:
a. Di bank Syari’ah tidak dikenal adanya perhitunga bunga, tetapi menggunakan
prinsip bagi hasil dan pengambilan keuntungan secara jual beli.
b. Dalam prinsip bagi hasil, besarnya pembagian porsi keuntungan antara pemilik
dana (Bank) dan pengelola usaha (petani) diserahkan kepada kedua belah pihak
tersebut disesuaikan dengan masa panen.
c. Dengan dimikian pada usaha pertanian yang kecil pendapatannya, nisbah yang
disepakati akan tidak sama dengan usaha yang lebih besar pendapatannya,

13
Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: PT. Rja Grafindo Persada,
2007), hal. 103-105
12

mengingsat setiap komoditi usaha yang lebih besar pendapatan yang berbeda, dan
masa panen (menghasilkan) yang berbeda pula.
d. Petani tidak dibebani dengan bunga pinjaman, melainkan pengembaliannya
secara otomatis disesuaikan dengan masa panen.

B. Mukhabarah

1. Pengertian Mukhabarah

Mukhabarah adalah bentuk masdar dari fiil madi (Khaabara) yang bermakna
tanah gembur dan lunak. Mukhabarah yaitu bentuk kerjasama antara petani
penggarap dengan pemilik lahan, dengan pembagian hasil sesuai dengan
kesepakatan diantara kedua pihak, sedangkan benihnya berasal dari petani
penggarap. 14 Menurut Taqiyyudin istilah mukhabarah bermakna sama dengan
muzara’ah. Tetapi, meskipun kedua istilah itu mempunyai satu arti, namun pada saat
yang bersamaan, keduanya mempunyai dua arti, muzara’ah berarti melemparkan
tanaman (tharh az-zurrah,) mukhabarah adalah modal (al-hadzar). Makna yang
pertama adalah makna majaz, sedangkan makna yang kedua ialah makna hakiki.
Asy-Syafi’i berpendapat bahwa mukhabarah ialah menggarap tanah
dengan apa yang dikeluarkan dari tanah tersebut. Syeikh Ibrahim Al-Bajuri
berpendapat bahwa mukhabarah ialah pemilik hanya menyerahkan tanah kepada
pekerja dan modal dari pengelola. 15
a. Menurut ulama Hanafiyah mukhabarah adalah: akad untuk bercocok tanam
dengan sebagian apa-apa yangb keluar dari bumi.
b. Menurut Ulama Malikiyah; Mukhabarah adalah “bagi hasil dalam bercocok
tanam”.
c. Menurut ulama Hanabilah: “Menyerahkan tanah kepada orang yang akan
bercocok tanam atau mengelolanya, sedangkan tanaman hasilnya tersebut dibagi
antara keduanya.
d. Ulama Syafi’iyah: “Mukhabarah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang
dihasilkan dan benuhnya berasal dari pengelola. Adapun muzara’ah, sama
seperti mukhabarah, hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah. 16

14
Abd Misno, Fiqh Muamalah Al-Maaliyah: Hukum Ekonomi Dan Bisnis Syariah, (Yogyakarta:
Bintang Semesta Media, 2022), h. 205
15
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), h. 161
16
Fasiha, Islamic Finance (Konsep dan Aplikasi Dalam Lembaga Keuangan Syariah), (Sulawesi
Selatan: Laskar Perubahan, 2016), h. 68
13

Mukhabarah memang hampir tidak dapat dapat dibedakan dengan muzara’ah.


Namun dapat kita simpulkan bahwa mukhabarah adalah akad bagi hasil pada
pertanian antara tuan tanah dan pengelola/penggarap dengan modal bibit dari
pengelola. Sedangkan muzara’ah modal bibit berasal dari pemilik tanah.
Al-Mawardi mengatakan mukhabarah berarti penyewaan lahan untuk ditanami
dengan imbalan sebagai hasil panennya ada dua macam yakni mukhabarah yang
para ahli fikih sepakat untuk membatalkannya dan mukhabarah yang
diperselisihkan.
Pertama, praktik yang disepakati batal yaitu mukhabarah yang imbalan
masing-masing pihak (pemilik tanah dan pengelola) diambilkan dari hasil pertanian
lahan yang terpisah dari bagian rekannya.
Kedua, praktik mukhabarah yang terdapat perbedaan pendapat ulama dalam
menghukuminya yaitu; seseorang melakukan akad mukhabarah lahannya dengan
ketentuan penggarapan lahan dilakukan oleh pengelola dan tanah milik tuannya, dan
benih dari kedua belah pihak atau salah satu dari mereka sesuai dengan kesepakatan
mereka. Hasil perkebunan dibagi dua dalam jumlah tertentu seperti setengah,
sepertiga atau seperempat.17
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia NO: 91/DSN-
MUI/IV/2014 tentang Pembiayaan Sindikasi (al-Tamwil al-Mashrifi al-Mujma’a)
memutuskan akad mukhabarah yaitu akad kerjasama usaha pertanian antara pemilik
lahan dan pengelola (penggarap), di mana benih tanaman berasal dari penggarap
lahan; hasil pertanian dibagi antara pemilik dan penggarap sesuai nisbah yang
disepakati.

2. Dasar Hukum Mukhabarah

Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum


mukhabarah dan muzara’ah adalah:
a. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

‫ت لَ ُك ْم َب ِه ْي َمةُ ْاِلَ ْن َع ِام ا َِِّل َما يُتْ ٰلى َعلَ ْي ُك ْم َغي َْر ُم ِح ِلى‬
ْ َّ‫ٰيٰٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٰٓوا اَ ْوفُ ْوا ِب ْالعُقُ ْو ِد ا ُ ِحل‬
ُٗ‫يُ ِريْد‬ ‫ّللا يَ ْح ُك ُم َما‬
َ ٰ ‫ص ْي ِد َواَ ْنت ُ ْم ُح ُرم ا َِّن‬
َّ ‫ال‬

17
Imam Nawawi, Al-Majmu Syarah Al-Muhadzab, terj. Ahmad Yunus dan Sholihon, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2015), 563
14

Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji! Dihalalkan bagimu hewan


ternak, kecuali yang akan disebutkan kepadamu (keharamannya) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah).
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki.

(Al-Mā'idah [5]:1)

b. Hadis

َّ ‫اووس اَنهُ َكانَ ىُ َخابِ ُر قَا َل َع ْمرو فَقُ ْلتُ لَهُ يَا اَبَا َع ْب ِد‬
‫الر ْح َم ِن لَ ْو تَ َر ْكتَ هَذ ِه‬ ُ ‫ط‬ َ ‫َع ْن‬
‫ى صلى هللا علىه وسلم نَ َهى َع ِن ْال ُم َخابَ َرةِ فَقَا َل اى‬ ُ ‫ْال ُم َخابَ َرةَ فَ ِانَّ ُه ْم يَ ْز‬
َّ ِ‫ع ُمونَ اَ َّن النَّب‬
َ‫ى صلى هللا علىه وسلم لَ ْم ىَ ْنه‬ َّ ِ‫َع ْم ُر اَ ْخبَ َرنِى اَ ْعلَ ُم ُه ْم بِذَا ِلكَ يَ ْعنِى ا ْبنَ َعبا َس اَ َّن النَّب‬
)‫جا َم ْعلُو ًما (رواه مسلم‬ً ‫َع ْن َها اِنَّ َما َي ْمنَ ُع قَا َل اَ َحدُ ُك ْم ا َ َخاهُ َخ ْير لَهُ ِم ْن اَ ْن َيأْ ُخذَ َعلَ ْي َها َخ ْر‬

Diriwayatkan oleh Thawus, sesungguhnya dia pernah mneyuruh orang lain untuk
menggarap tanhanya dengan sistem mukhabarah. Amr berkata: kemudian saya
bertanya kepadanya: wahai Abu Abdur Rahman sebaiknya kamu meninggalkan
sistem mukhabarah ini karena sesungguhnya orang-orang mengatakan nabi
melarang mukhabarah. Lalu Thawus berkata: Wahai Amr, sesungguhnya orang
yang paling mengetahui hal itu (yait Ibnu Abbas) pernah memberitahukan
kepada saya bahwa nabi tidak melarang mukhabarah, hanya saja beliau
mengatakan: “seseorang diantara kalian memberikan tanah garapan kepada
saudaranya itu lebih baik daripada dia meminta bayaran tertentu dari tanah
tersebut. (HR. Muslim) 18

c. Hadis riwayat Muslim

‫ت لَهُ اَ ْرض‬ ُ ‫َع ْن اَ ِبي هُ َر ْي َرةَ قَا َل قَا َل َر‬


ْ َ‫س ْو ُل هللاِ صلي هللا عليه وسلم َم ْن َكان‬
ْ ‫فَ ْليَ ْز َر ْع َها ِليَ ْمنَ ْح َها اَخَاهُ فَا ِْن اَبَى فَ ْليُ ْمس‬
َ ‫ِك اَ ْر‬
)‫ضهُ (رواه مسلم‬
“ Dari Abu Hurairah dia berkata: Rasulullah Saw bersabda: barang siapa
memiliki sebidang tanah, hendaklah ia menanaminya, atau memperbolehkan

18
Imam Al-Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, terj. Rohimi dan Zenal Mutaqin, (Bandung: Penerbit
Jabal, 2012), h. 376
15

kepada saudaranya (supaya menanaminya), maka apabila ia menolaknya,


hendaklah ia menahannya (memeliharanya).” (HR. Muslim) 19
d. Hadis

‫ ان رسول هللا صلي هللا عليه وسلم َعا َم َل اَ ْه ِل َخ ْيبَ َر‬:‫عن ابن عمر رضي هللا عنه‬
)‫ج ِم ْن َها ِم ْن ثَ ْمر اَ ْو زَ ْرع (متفق عليه‬ ْ ‫بِش‬
ُ ‫َط ِر َما يَ ْخ ُر‬
“ Diriwayatkan oleh Ibnu Umar sesungguhnya Rasulullah Saw mempekerjakan
penduduk Khaibar untuk menggarap lahan dengan imbalan pembagian hasil
berupa buah-buahan dan tanaman.”
Ayat dan hadis yang telah disebutkan adalah dasar para ulama membolehkan
mukhabarah. Namun ada pula pendapat lain seperti yang diungkapkan dalam
kitab al minhaj bahwa mukhabarah adalah mengerjakan tanah (menggarap ladang
atau sawah) dengan mengambil sebagian hasil, sedangkan benihnya dari pekerja.
Adapun dalam bermuzaraah, yaitu benih dari pengelola tanah hal tersebut tidak
diperbolehkan. Dari semua pendapat di atas, dapat di pahami bahwa dasar hukum
muzara’ah dan mukhabarah dalam pandangan ulama terbagi menjadi tiga
kelompok: ada yang mengharamkan kedua-duanya, seperti pengarang al-Minhaj.
Ada yang mengharamkan muzara’ah saja seperti asy-Syafi’i dan ada yang
menghalalkan kedua duanya seperti an-Nawawi, Ibnu Munzir dan Khatabi.

3. Rukun dan Syarat Mukhabarah

a. Rukun Mukhabarah
1) Pemilik lahan
2) Pengelola
3) Objek Mukhabarah (sawah/ladang)
4) Ijab dan Qabul
b. Syarat Mukhabarah
1) Syarat pihak yang melakukan akad, keduanya harus sudah baligh dan
berakal.
2) Syarat penanaman yaitu harus diketahui secara pasti, dalam artian
harus dijelaskan apa (benih) yang akan ditanam. Dalam al-mukhabarah,
maka masalah apa yang ditanam dipasrahkan kepada pihak penggarap.
3) Syarat yang berkaitan dengan lahan pertanian

19
Abd Misno, Fiqh Muamalah Al-Maaliyah: Hukum Ekonomi Dan Bisnis Syariah, h. 210
16

a) Tanah tersebut bisa digarap dan dapat menghasilkan


b) Batas-batas lahan tersebut harus jelas. Mukhabarah tidak sah bila lahan
yang akan digarap tidak diketahui.
c) Tanah tersebut diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap untuk
diolah.
4) Syarat yang berkaitan dengan hasil yang akan dipanen
a) Pembagian hasil panen harus jelas benar-benar milik bersama orang
yang berakad
b) Pembagian hasil panen itu ditentukan sejak awal akad.
Sehingga tidak timbul perselisihan di kemudian hari. Adapun apabila
terjadi kerugian, akan ditanggung oleh kedua belah pihak.20
5) Syarat yang berkaitan dengan jangka waktu juga harus dijelaskan dalam
akad sejak semula. Karena akad mukhabarah mengandung akad ijarah
(sewa menyewa atau upah mengupah) dengan imbalan sebagian hasil
panen. Oleh karenanya jangka waktu harus jelas.
6) Syarat yang berkaitan dengan objek akad juga harus jelas
pemanfaatan benihnya, pupuknya, dan obatnya. Seperti yang berlaku
dengan adat dan kebiasaan daerah setempat. Jika objeknya pemanfaatan
dari lahan sehingga benihnya dari petani penggarap, maka ia seolah
menjadi penyewa atas lahan dari si pemilik dengan pembayaran lahan yang
berasal dari penambahan modal dari (benih) yang ditanam. 21

4. Berakhirnya Mukhabarah

Akad Mukhabarah akan berakhir apabila:


a. Jangka waktu yang disepakati berakhir. Apabila jangka waktu yang disepakati
saat akad habis otomatis berakhirlah mukhabarah. jika kedua belah pihak ingin
melanjutkan mukhabarah maka kedua belah pihak harus berakad kembali.
b. Salah satu pihak meninggal dunia. Menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah,
apabila salah seorang yang berakad wafat maka akad mukhabarajh berakhir.
Karena mereka berpendapat bahwa akad ijarah tidak boleh diwariskan. Akan

20
Hasbiyallah, Sudah Syar’ikah Muamalahmu? Panduan Memahami Seluk Beluk Fikih Muamalah,
(Jawa Tengah: Desa Pustaka Indonesia, 2019), h. 82
21
Ahmad Munir Hamid dan Ni’matul Huda, Analisis Prinsip Ekonomi Terhadap Praktik Kerjasama
Pengolahan Sawah, Adilla, Jurnal Ekonomi Syariah 4, No. 1 (2021), h. 82
17

tetapi ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa akad mukhabarah dan
muzara’ah dapat diwariskan. 22
c. Adanya udzur (tidak ada harta lain untuk membayar hutang) salah satu pihak. 23
Menurut ulama hanafiyyah, di antara uzur yang menyebabkan berakhirnya
mukhabarah adalah tanah garapan terpaksa dijual untuk membayar utang atau
keperluan lain pemilik tanah. Penggarap tidak dapat mengelola karena sakitm
jihad di jalan Allah dan lain sebagainya.
Menurut Imam al-Mawardi akan berakhir apabila:
a. Meninggalnya salah satu pihak. Tapi boleh diteruskan oleh ahli warisnya. Jika
pemilik lahan meninggal namun lahannya masih hijau, maka penggarap harus
mengelola tanaman hingga panen. Ahli waris dari pihak yang meninggal tidak
diperbolehkan melarang penggarapp untuk berbuat demikian. Jika penggarap
yang meninggal dunia maka ahli warisnya boleh menggantikannya dan jika ia
mau boleh menruskan mengolah tanaman sampai matang dan pemilik tanah tidak
bisa melarangnya.
b. Jangka waktu yang disepakati berakhir
c. Jika terjadi banjir dan melanda tanah sewaan tersebut sehingga kondisi tanah dan
tanaman rusak.

5. Hikmah Mukhabarah

a. Terwujudnya keja sama saling menguntungkan antara kedua belah pihak


b. Terjalinnya silaturahmi dan hilangnya jurang pemisah antara orang kaya sebagai
tuan tanah dan orang miskin sebagai penggarap
c. Turut membantu menyediakan lapangan pekerjaann kepada orang yang tidak
memiliki modal usaha atau perkebunan
d. Terhindar dari praktik penipuan dan pemerasan karena dalam akad mukhabarah
harus ada kejelasan yang menjadi tanggung jawab kedua belah pihak
e. Turut menciptakan pemerataan pendapatan dan peningkatan kesejahteraan
f. Mengikuti sunnah Rasulullah Saw termasuk ibadah. 24

6. pengaplikasian mukhabarah

22
Abd Misno, Fiqh Muamalah Al-Maaliyah: Hukum Ekonomi Dan Bisnis Syariah, h. 217
23
Yuli Kartika Hutasuhut dan Risalan Basri Harahap, Pelaksanaan Akad Mukhabarah, Jurnal EL-
Thawalib 3, No. 3, (2022), h. 454
24
Hasbiyallah, Sudah Syar’ikah Muamalahmu? Panduan Memahami Seluk Beluk Fikih Muamalah),
h.83
18

Sektor pertanian memilik peran yang sangat penting dalam


pertumbuhan perekonomian, hal ini karena banyaknya masyarakat yang
menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian, terutama masyarakat perdesaan.
Sebgai salah satu contoh adalah akad mukhabarah yang dilakukan oleh mayoritas
warga dea Brakas di Demak. Warga desa Brakas dalam mengelola sawah atau
perkebunan palawija memakai salah satu sistem yaitu mukhabarah atau bagi hasil.
Warga desa Brakas sudah sering melaksanakan akad mukhabarah dengan sebutan
sistem maro. Jadi ada petani yang memiliki lahan sendiri kemudian bekerjasama
dengan petani pengelola agar dapat mengolah akadnya. hasil yang diperoleh pada
persawahan adalah 1:1, dan untuk palawija 1:2. Meskipun dalam salah satu
penelitian dalam skripsi yang dijadikan penulis sebagai rujukan terdapat kesimpulan
bahwa ada sedikit ketidak sesuian praktik warga desa Brakas dengan hukum fikih
yang ada yaitu dalam segi jangka waktu mukhabarah di desa Brakas tidak di
25
tentukan oleh kedua belah pihak akan tetapi hanya salah satu pihak saja.

C. Musaqah

1. Pengertian Musaqah

Secara Bahasa al-Musaqah adalah bentuk Masdar al-mufa’ah dari asal kata
“as-Saqyu”. Ulama madinah menyebutnya dengan nama al-mu’amalah, namun
bentuk Masdar mufa’alah lebih diutamakan untuk digunakan, karena unsur yang
dominan di dalam akad al-Musaqah adalah as-Saqyu (penyiraman atau pengairan).

Sedangkan secara secara syara’ adalah al-Musaqah suatu kesepakatan atau


kontrak kerja berupa pemarahan pepohonan kepada seorang untuk ia sirami dan
rawat sedangkan hasil buahnya dibagi antara kedua belah pihak, atau dengan kata
lain, sebuah kontrak kerja dengan upah sebagian dari hasil pepohohonan yang
didapatkan. Atau dengan kata lain dengan memasrahkan pohon kepada seseorang
untuk ia rawat dan kelola dengan upah sebagian tertentu dari buah yang dihasilkan 26

25
Ana Liana Wahyuningrum dan Darwanto, Penerapan Bagi Hasil Maro Perspektif Akad Mukhabarah,
Tawazun 3, No. 1, (2020), h. 58
26
Imam Taqiyyudin Abu Bakar bin Muhammad Ahusaini, Khifayatul Akhyar, (Surabaya: Bima Iman),
h. 689
19

Menurut ulama Syafi’iyah, al-Musaqah adalah mempekerjakan seseorang


untuk menyimpan dan merawat pohon kurma atau pohon anggur saja dengan
kesepakatan bahwa hasil buahnya untuk mereka berdua.

2. Dasar Hukum Musaqah

Dalam menentukan keabsahan akad musaqah dari segi syara’, terdapat


perbedaan ulama fikih. Imam Abu Hanifah dan Zufar ibn Huzail mereka
berpendirian bahwa akad musqaah dengan ketentuan petani penggarap mendapatkan
sebagian hasil kerjasama ini adalah tidak sah, karena musāqāh seperti ini termasuk
mengupah seseorang dengan imbalan sebagian hasil yang akan dipanen dari kebun
itu. Akan tetapi menurut kebanyakan ulama, hukum musaqah itu boleh atau
mubah, berdasarkan sabda Rasulullah SAW :

‫ ان رسول هللا صلي هللا عليه وسلم َعا َم َل اَ ْه ِل‬:‫عن ابن عمر رضي هللا عنه‬
)‫ج ِم ْن َها ِم ْن ثَ ْمر اَ ْو زَ ْرع (متفق عليه‬ ْ ‫َخ ْيبَ َر بِش‬
ُ ‫َط ِر َما يَ ْخ ُر‬
“ Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi saw telah memberikan kebun beliau kepada
penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian: mereka akan
memperoleh dari penghasilannya, baik dari buah-buahan maupun hasil tanaman”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Musaqah didasarkan atas ijma’ (kesepakatan para ulama), karena sudah
merupakan suatu transaksi yang amat dibutuhkan oleh umat untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari dan sebagai bentuk sosial antara sesama manusia
dengan jalan memberi pekerjaan kepada mereka yang kurang mampu. hal ini sesuai
dengan Firman Allah dalam surat al- Maidah ayat 2 :

َ‫ْي َو َِل ْالقَ َ ۤل ِٕىد‬ َ ‫ام َو َِل ْال َهد‬


َ ‫ش ْه َر ْال َح َر‬ ٰ ‫ش َع ۤا ِٕى َر‬
َّ ‫ّللاِ َو َِل ال‬ َ ‫ٰ ٰٓياَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا َِل ت ُ ِحلُّ ْوا‬
ۤ ٰٓ َ
‫طاد ُْوا َو َِل‬ َ ‫ص‬ ْ ‫ام َي ْبتَغُ ْونَ فَض ًْل ِم ْن َّر ِب ِه ْم َو ِرض َْوانًا َواِذَا َحلَ ْلت ُ ْم فَا‬ َ ‫ِل ٰا ِميْنَ ْال َبيْتَ ْال َح َر‬ ‫َو‬
‫صد ُّْو ُك ْم َع ِن ْال َمس ِْج ِد ْال َح َر ِام اَ ْن تَ ْعتَد ُْو ۘا َوتَ َع َاونُ ْوا َعلَى ْال ِب ِر‬
َ ‫شن َٰانُ قَ ْوم اَ ْن‬
َ ‫يَ ْج ِر َمنَّ ُك ْم‬
ِ ‫ش ِد ْيدُ ْال ِع َقا‬
‫ب‬ َ ‫ّللا‬ ٰ ‫ان َواتَّقُوا‬
َ ٰ ‫ّللاَ ا َِّن‬ ِ ‫اِلثْ ِم َو ْالعُد َْو‬
ِ ْ ‫َوالتَّ ْق ٰوى َو َِل تَ َع َاونُ ْوا َعلَى‬
“ Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar
(kesucian) Allah,193) jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram,194)
jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban)195) dan qalā’id (hewan-hewan
kurban yang diberi tanda),196) dan jangan (pula mengganggu) para pengunjung
Baitulharam sedangkan mereka mencari karunia dan rida Tuhannya!197) Apabila
20

kamu telah bertahalul (menyelesaikan ihram), berburulah (jika mau). Janganlah


sekali-kali kebencian(-mu) kepada suatu kaum, karena mereka menghalang-
halangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada
mereka). Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya.”

Al-Mā'idah [5]:2
Ayat di atas menjelaskan tentang perintah Allah kepada hamba-hambanya
yang beriman untuk saling tolong-menolong dalam perbuatan baik dan
meninggalkan kemungkaran. Dengan wujud saling tolong menolong orang berilmu
membantu orang dengan ilmunya, orang kaya membantu dengan kekayaannya. Dan
hendaknya kaum Muslimin menjadi satu tangan dalam membantu orang yang
membutuhkan.
3. Rukun-rukun Musaqah

Menurut jumhur ulama yaitu terdiri dari ulama Malikiyah, Syafi'iyah, dan
hanabilah bahwa transaksi Musaqah harus memenuhi rukun-rukun, yaitu:

a. Dua orang/pihak yang melakukan transaksi

b. Tanah yang dijadikan objek al-musaqah

c. Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap

Di samping itu, menurut ulama Malikiyah akad Musaqah baru bersifat


mengikat yaitu dengan disetujuinya akad Musaqah antara pemilik tanah dengan
petani penggarap. Sedangkan menurut ulama Hanabilah, akad Musaqah baru bersifat
mengikat apabila petani penggarap memulai pekerjaannya, tanpa harus didahului
oleh qabul. Menurut ulama Syafi'iyah akad Musaqah baru bersifat mengikat jika
didahului dengan qabul dari petani penggarap, sekalipun perincian pekerjaan petani
tidak dijelaskan.27

4. Syarat-syarat Musaqah

Syarat-syaratnya ialah sebagai berikut :


a. Syarat yang berkaitan dengan aqidain yaitu harus berakal

27
Nasrun Horoen, Fiqih muamalah, (gaya media Pratama: 2007),h 283
21

b. Syarat yang berkaitan dengan tanaman yaitu disyaratkan adanya penentuan


macam apa saja yang akan ditanam
c. Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman yaitu bagian dari
masing-masing harus disebutkan jumlahnya ketika akad, hasilnya adalah milik
bersama, bagian belah pihak adalah dari satu jenis barang yang sama dan sudah
dapat diketahui, tidak di isyaratkan bagi salah satu pihak adanya penambahan.
a. Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami
b. Hal yang berkaitan dengan waktu
c. Hal yang berkaitan dengan alat-alat muzara’ah, alat-alat tersebut diisyaratkan
berupa hewan atau yang lainnya dibebankan kepada pemilik tanah.
Syarat-syarat musyaqah tidak jauh beda dengan syarat muzara’ah, hanya saja
musyaqah tidak diisyaratkan dalam menjelaskan benih,kelayakan pemilik benih, dan
ketetapan waktu. Namun ada beberapa syarat muzara’ah yang bisa diterapkan dalam
musyaqah adalah sebagai berikut:
a. Ahli dalam akad
b. Menjelaskan bagian dari akad
c. Membebaskan pemilik dari pohon
d. Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad
e. Sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir.
Terdapat juga referensi lain bahwa:
a. Pohon yang dijadikan musyaqah harus jelas sebab akad tidak akan sah terhadap
sesuatu yang tidak jelas.
b. Waktu yang diperlukan dalam musyaqah juga harus diketahui dengan jelas
c. Akad musyaqah dilaksanakan dalam keadaan phon menampakkan baiknya buah
atau hasilnya, sebab dalam keadaan phon yang demikian tentunya pohon
memerlukan perawatan
d. Imbalan yang diterima oleh penggarap harus jelas seberapa banyaknya 28
5. Macam-macam Musaqah

Musaqah ada 2 macam yaitu:

a. Musyaqah yang bertitik tolak pada manfaatnya, yaitu pada hasilnya berarti
pemilik tanah (tanaman) sudah menyerahkan kepada yang mengerjakan segala
upaya agar tanah itu membawa hasil yang baik.
28
http://jurnal.muamalah.musqah.blogspot/2015.html. Diakses pada 24 Januari 2022.
22

b. Musaqah yang bertitik tolak pada asalnya yaitu cuma mengairi saja tanpa ada
tanggung jawab untuk mencari air. Maka pemiliknyalah yang berkewajiban
mencarikan jalan air , baik dengan menggali sumur, parit bendungan ataupun
usaha yang lain29
Selain itu terdapat juga ketentuan-ketentuan hukum yang terkait dengan
musaqah diantaranya:
a. Seluruh pekerjaan yang berkaitan dengan pemeliharaan tanaman, pengairan
kebun dan segala kebutuhan merupakan tanggung jawab dari penggarap.
b. Seluruh hasil panen dibagi kepada dua belah pihak (pemilik dan petani).
c. Jika kebun tersebut tidak menghasilkan apa-apa (gagal panen) maka masing-
masing pihak tidak mendapatkan apa-apa.
d. Melakukan kesepakatan terhadap tenggang waktu, sementara dalam tenggang
waktu yang disepakati tanaman boleh dipanen, menurut adat kebiasaan tanaman
yang dipilih30
6. Berakhirnya Akad Musaqah

Menurut ulama fikih , berakhirnya musaqah apabila :


a. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis.
b. Salah satu pihak meninggal dunia.
c. Terdapat uzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.
d. Terdapat pembatalan akad baik dengan cara al-iqaalah (pembatalan yang
diinginkan oleh salah satu pihak lalu pihak satunya meyetujui pembatalan itu) 31
7. Pengaplikasian Musaqah

Dalam perbankan Islam, prinsip yang paling banyak dipakai adalah


musyarakah dan mudharabah, sedangkan muzaraah dan musaqah dipergunakan
khusus untuk pembiayaan perkebunan atau pembiayaan pertanian oleh beberapa
bank Islam. Bahkan dalam bank-bank Islam sekarang khususnya di Indonesia sama
sekali belum mengeluarkan produknya baik muzaraah maupun musaqah. Di bank-
bank syari'ah luar negeri, untuk usaha pertanian biasanya dengan skim musyarakah
atau salam sudah sangat terkenal dengan keberhasilan penerapan skim musyarakah

29
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010), h. 300
30
Nasrun haroen, Fiqh Muamalah, h. 286.
31
Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu. Terj : Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. (Jakarta: Gema
insani, 2011), jilid 6, h. 600.
23

untuk pertanian oleh bankbank syariah. Yang agak berbeda adalah Iran. Di negeri ini
diterapkan skim muzara'ah untuk kredit usaha tani32
menurut Ascarya kerjasama dalam bidang pertanian dan perkebunan ini
juga dapat diterapkan dengan skim musyarakah sebagaimana yang sudah
dikembangkan di Sudan melalui Sudanese Islamic Bank (SIB). Pihak petani dan
Bank melakukan kerjasama musyarakah dengan pihak bank menyediakan bagi
petani aset-aset tetap tertentu yang dibutuhkan dalam kontrak kerja sama tersebut
seperti bajak, traktor, pompa air dan sebagainya. Begitu pula pihak bank
menyediakan modal kerja dalam bentuk seperti, bahan bakar, pelumas, bibit,
pestisida, pupuk. Sedangkan petani terbatas menyediakan lahan, pekerjaan dan
manajemennya. 33

32
Adiwarman A Karim, , Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta:2001), h. 55
33
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, h. 147-148.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Muzara’ah adalah kerjasama bagi hasil antara pemilik lahan dan pengelola. Adapun
benih berasal dari pemilik lahan. Hasil pertanian dibagi antara pemilik lahan dan
penggarap sesuai dengan nisbah yang telah disepakati.
Mukhabarah adalah akad kerjasama usaha pertanian antara pemilik lahan dan
pengelola (penggarap), di mana benih tanaman berasal dari penggarap lahan; hasil
pertanian dibagi antara pemilik dan penggarap sesuai nisbah yang disepakati.
Musaqah adalah suatu kesepakatan atau kontrak kerja berupa pemarahan pepohonan
kepada seorang untuk ia sirami dan rawat sedangkan hasil buahnya dibagi antara
kedua belah pihak, atau dengan kata lain, sebuah kontrak kerja dengan upah sebagian
dari hasil pepohohonan yang didapatkan.
2. Dasar hukum muzara’ah, mukhabarah dan musaqah yaitu:

‫ج مِ ْن َها‬ ْ ‫عا َم َل ا َ ْه ِل َخ ْي َب َر ِبش‬


ُ ‫َط ِر َما َي ْخ ُر‬ َ ‫ ان رسول هللا صلي هللا عليه وسلم‬:‫عن ابن عمر رضي هللا عنه‬
)‫مِن ث َ ْمر ا َ ْو زَ ْرع (متفق عليه‬ ْ
“ Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi saw telah memberikan kebun beliau kepada
penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian: mereka akan
memperoleh dari penghasilannya, baik dari buah-buahan maupun hasil tanaman”
(HR. Bukhari dan Muslim)
3. Rukun-rukunnya yaitu; al-aqidani (dua orang yang berakad), Objek akad
(sawah/ladang), Ijab dan Qabul.
Adapun syaratnya yaitu terkait beberapa hal diantarany:
a. Syarat yang berkaitan dengan aqidain yaitu harus berakal
b. Syarat yang berkaitan dengan tanaman yaitu disyaratkan adanya penentuan
macam apa saja yang akan ditanam
c. Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman yaitu bagian dari
masing-masing harus disebutkan jumlahnya ketika akad.
d. Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami.
e. Hal yang berkaitan dengan waktu.

24
25

B. Saran

Diharapkan kepada pemerintah untuk terus berupaya memajukan sektor pertanian di


Indonesia melalui salah satu caranya adalah memfasilitasi masyarakat untuk tetap dapat
bertani dan juga mengatasi persoalan kurangnya modal dengan akad terkait pertanian
yang sudah ada dalam agama Islam.
Kepada para petani khususnya yang beragama Islam hendaknya terus mempelajari
sistem-sistem terkait pertanian islam yang mungkin secara tidak sadar sudah dilakukan
oleh masyarakat. Hal ini perlu karena untuk menjaga keabsahan akad yang dilakukan.
Kepada Mahasiswa hendaknya terus menyampaikan atau mensosialisasikan kepada
masyarakat terkait akad-akad yang ada pada hukum Islam serta yang relevan dengan
masyarakat. Hal ini bisa dilaksanakan salah satunya ketika melakukan KKL.
DAFTAR PUSTAKA

Ahusaini, Imam Taqiyyudin Abu Bakar bin Muhammad. Khifayatul Akhyar, Surabaya:
Bima Iman.
Fasiha, Islamic Finance (Konsep dan Aplikasi Dalam Lembaga Keuangan Syariah),
Sulawesi Selatan: Laskar Perubahan, 2016.
Ghazali, Abdul Rahman. Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana, 2010.
Hamid, Ahmad Munir dan Ni’matul Huda. Analisis Prinsip Ekonomi Terhadap Praktik
Kerjasama Pengolahan Sawah, Adilla, Jurnal Ekonomi Syariah 4, No. 1, 2021.
Hasbiyallah, Sudah Syar’ikah Muamalahmu? Panduan Memahami Seluk Beluk Fikih
Muamalah, Jawa Tengah: Desa Pustaka Indonesia, 2019.
http://jurnal.muamalah.musqah.blogspot/2015.html. Diakses pada 24 Januari 2022
Hutasuhut, Yuli Kartika dan Risalan Basri Harahap. Pelaksanaan Akad Mukhabarah, Jurnal
EL-Thawalib 3, No. 3, 2022.
Karim, Adiwarman. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2007.
Lathif, Azharudin. Fiqh Muamalah, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.
Misno, Abd. Fiqh Muamalah Al-Maaliyah: Hukum Ekonomi Dan Bisnis Syariah,
Yogyakarta: Bintang Semesta Media, 2022.
Al-Mundziri, Imam. Ringkasan Shahih Muslim, terj. Rohimi dan Zenal Mutaqin, Bandung:
Penerbit Jabal, 2012
Muslich, Ahmad Wardi. Fiqih Muamalah, Jakarta : Amzah, 2010.
Nasrun, Haroen. Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Nawawi, Imam. Al-Majmu Syarah Al-Muhadzab, terj. Ahmad Yunus dan Sholihon, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2015.
Nawawi, Ismail. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, Bogor: Ghalia Indonesia, 2012.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010.
Sahrani, Sohari. Fiqh Muamalah, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.
As-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Hukum-hukum Fiqh Islam, Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 1997, Cet. ke-1.
Wahyuningrum, Ana Liana dan Darwanto. Penerapan Bagi Hasil Maro Perspektif Akad
Mukhabarah, Tawazun 3, No. 1, 2020.
Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 6, Terj.Abdul Hayyie al-Khattani,
Jakarta: Gema Insani, 2011.

26

Anda mungkin juga menyukai