KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberi segala kenikmatan kepada kami, hingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam kami limpah curahkan kepada
Nabi Muhammad SAW. Semoga kita selalu diberi rahmat dan hidayah-Nya hingga akhir
hayat nanti.
Kami ucapkan terima kasih kepada para tokoh yang telah membantu kami dalam
menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada Ibu Siti Shopiyah, MA. sebagai dosen yang
telah membimbing kami dan kepada para teman seperjuangan yang telah membantu dari segi
apapun. Tak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada orang tua kami yang sudah
mendukung kami melalui doa doanya.
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami meminta
bimbingannya kepada Ibu Siti Shopiyah, MA selaku dosen mata kuliah Fikih Muamalah.
Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada kesalahan dalam makalah ini dikarenakan
keterbatasan ilmu yang kami miliki. Kami juga berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembacanya.
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu sektor yang pekerjaan yang ditekuni masyarakat pedesaan adalah
pertanian. Dalam agama Islam hukum mengenai muamalah atau transaksi sudah
tersusun dalam bidang ilmu fikih muamala. Dalam fikih muamalah terdapat beberapa
jenis transaksi di sektor pertanian diantaranya yakni Muzara’ah, Mukhabarah dan
Musaqah. Sebagian masyarakat tentu sudah melakukan jenis muamalah tersebut.
Namun apakah sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam agama? Agar akad
yang dilakukan sesuai dengan ketentuan agama tentu penting sekalali untuk
mengetahui definisi, rukun dan syarat serta seluruh hal yang berkaitan dengan akad
yang akan kita lakukan demi sahnya transaksi tersebut. Oleh karenanya dalam
makalah ini akan dibahas mengenai muzara’ah, mukhabarah dan musaqah beserta
rukun, syarat dan pengaplikasiannya pada zaman ini.
B. Rumusan Masalah
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Muzara’ah
1. Pengertian Muzara’ah
Menurut bahasa, kata muzara’ah berasal dari kata al-Zar’u yang berarti
penanaman atau pengolahan. Sedangkan menurut istilah fikih ialah pemilik tanah
memberi hak mengelola tanah kepada seorang petani dengan syarat bagi hasil atau
semisalnya. 1
Secara etimologi, muzara’ah berarti kerjasama di bidang pertanian antara
pemilik tanah dengan petani penggarap dengan mendapat sebagian hasilnya. Secara
terminologi, terdapat beberapa definisi para ulama, menurut ulama Malikiyah berarti
perserikatan dalam pertanian, ulama Hanabilah mengartikannya sebagai penyerahan
tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan dibagi dua. Sedangkan
Imam Syafi’i mendefinisikannya sebagai pengolahan tanah oleh petani dengan
imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah atau
lebih dikenal dengan istilah Mukhabarah, serta menurut pendapat ulama Hanafiyah
Muzara’ah pada syara’ ialah suatu akad tentang pekerjaan di atas oleh seseorang
dengan pemberian sebagian hasil baik dengan cara menyewakan tanah dengan
sebagaian hasil, ataupun yang mempunyai tanah mengupahkan yang bekerja dengan
pembagian hasil. 2
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa muzara’ah adalah
mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian
hasilnya (seperdua, sepertiga, atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan
banihnya ditanggung oleh pemilik tanah.
a. Dalil Al-Qur`an
1) Q.S al-Muzammil [73]:20
1
Haroen Nasrun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 275-281
2
Teungku Muhammad Hasbi As- Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 1997, Cet. ke-1), h. 426
2
3
ٗشتَ ُه ْم فِى ْال َح ٰيوةِ الدُّ ْنيَا َ َاَهُ ْم يَ ْق ِس ُم ْونَ َر ْح َمتَ َربِكَ ٗ ن َْح ُن ق
َ س ْمنَا بَ ْينَ ُه ْم َّم ِع ْي
ُضا سُ ْخ ِريًّا ٗ َو َر ْح َمت ً ض ُه ْم بَ ْع ُ ض ُه ْم فَ ْوقَ بَ ْعض دَ َرجٰ ت ِليَتَّ ِخذَ بَ ْع َ َو َرفَ ْعنَا بَ ْع
ََر ِبكَ َخيْر ِم َّما َي ْج َمعُ ْون
4
b. Dalil Hadis
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori, Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i:
3
Azharudin Lathif, Fiqh Muamalah, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 93
5
a. Rukun Muzara’ah
Dalam Fiqh Islam arti muzara’ah dan mukhabarah tidaklah jauh berbeda,
namum yang membedakan di antara keduanya adalah mengenai siapa yang
memberikan benih untuk ditanam. Oleh karena itu syarat dan rukun muzara’ah
dan mukhabarah tidaklah jauh berbeda.
Jumhur ulama` yang membolehkan akad muzara’ah dan mukhabarah
menetapkan rukun yang harus dipenuhi, agar akad itu menjadi sah. Adapun
rukunnya adalah sebagai berikut:
b. Syarat-syarat Muzara’ah
Menurut Hanafiyyah syarat-syaratnya yaitu sebagai berikut:
1) Syarat yang melakukan aqidain adalah berakal sehat,dan baligh,
2) Syarat yang berkaitan dengan tanaman, sebaiknya ditentukan jenis apa saja
yang akan ditanam,
3) Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman,
4) Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami,
5) Hal yang berkaitan dengan waktu,
6) Hal yang berkaitan dengan alat-alat muzara’ah. 5
4
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 114
5
Sohari Sahrani, Fiqh Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 314
6
Oleh karena itu tidak sah akad muzara’ah dan mukhabarah yang dilakukan
oleh orang gila dan anak kecil yang belum mumayyiz. Karena akal adalah
syarat kelayakan dan kepatutan di dalam melakukan pentasharufan
(tindakan).
b) Bukan orang murtad
Pentasharufan orang murtad tidak bisa langsung sah seketika itu juga.
Karena pentasharufan orang murtad menurutnya adalah ditangguhkan
(mauquf).
2) Syarat penanaman
Penanaman harus diketahui secara pasti, dalam artian harus dijelaskan
benih yang akan ditanam. Karena kondisi sesuatu yang ditanam berbeda-beda
sesuai dengan penanaman yang dilakukan. Syarat yang menyangkut benih
yang akan ditanam harus jelas, sesuai dengan kebiasaan tanah itu, selain itu
benih yang akan ditanam harus jelas dan menghasilkan. 6
3) Syarat sesuatu yang ditanam
Yaitu harus berupa tanaman yang aktifitas pengelolaan dan
penggarapan bisa mengalami pertambahan dan pertumbuhan.
4) Syarat hasil panen
Ada beberapa syarat yang berkaitan tentang untuk apa yang dihasilkan
dari tanaman yang digarap, di antaranya sebagai berikut:
a) Diketahui dengan jelas dalam akad, karena nantinya hasil itu statusnya
adalah sebagai upah.
b) Statusnya adalah milik bersama antara kedua belah pihak.
c) Pembagian hasil panen harus ditentukan kadarnya. Karena jika tidak
ditentukan, maka hal tersebut bisa berpotensi memunculkan perselisihan
suatu hari nanti.
d) Bagian masing-masing harus berupa bagian yang umum dan global dari
keseluruhan hasil panen.
Adapun syarat yang menyangkut dengan hasil panen adalah sebagai berikut:
6
Haroen Nasrun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 278-279
7
7
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 116-117
8
Haroen Nasrun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 279
8
Menurut Abu Yusuf dan Muhammad, bentuk muzara’ah ada empat macam, tiga
hukumnya sah dan yang satu hukumnya batal atau fasid. Bentuk-bentuk tersebut
yaitu sebagai berikut:
a. Tanah dan bibit dari satu pihak, sedangkan pekerjaan dan alat-alat untuk bercocok
tanam dari pihak lain. Dalam bentuk yang pertama ini muzara’ah hukumnya
dibolehkan, dan status pemilik tanah sebagai penyewa terhadap tenaga penggarap
dan benih dari pemilik tanah, sedangkan alat ikut kepada penggarap.
b. Tanah disediakan oleh satu pihak, Sedangkan alat, benih,dan tenaga dari pihak
lain. Dalam bentuk yang kedua ini, muzara’ah juga hukumnya dibolehkan, dan
status penggarap sebagai penyewa atas tanah dengan imbalan sebagian hasilnya.
c. Tanah, alat, dan benih disediakan oleh satu pihak (pemilik), sedangkan tenaga
(pekerja) dari pihak lain (penggarap). Dalam bentuk yang ketiga ini, muzara’ah
hukumnya dibolehkan, dan status pemilik tanah sebagai penyewa terhadap
penggarap dengan imbalan sebagian hasilnya.
d. Tanah dan alat disediakan oleh satu pihak (pemilik),sedangkan benih dan
pekerjaan dari pihak penggarap.Dalam bentuk yang keempat ini, menurut Zhahir
riwayat,muzara’ah menjadi fasid. Hal ini dikarenakan andaikan akad itu dianggap
sebagai menyewa tanah maka disyaratkan alat cocok tanam dari pihak pemilik
tanah menyebabkan sewa-menyewa menjadi fasid, sebab tidak mungkin alat ikut
kepada tanah karena keduanya berbeda manfaatnya.10
9
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 6, Terj.Abdul Hayyie al-Khattani, (Jakarta:
Gema Insani, 2011) h. 568-570.
10
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, (Jakarta : Amzah, 2010), h. 399-403
9
Perbedaannya dengan bentuk muzara’ah yang halal di atas adalah pada cara
pembagian hasil. Bentuk yang boleh adalah semua hasil panen dikumpulkan terlebih
dahulu, baru dibagi hasil sesuai presentase. Sedangkan, bentuk yang kedua dan
terlarang itu sejak awal lahan sudah dibagi dua bagian menjadi 400 m dan 600 m.
Buruh tani berkewajiban untuk menanami kedua lahan, tetapi hak nya terbatas pada
hasil di 600 m itu saja. Sedangkan apapun yang akan dihasilkan di lahan 400 m,
menjadi hak pemilik lahan.
Cara seperti ini adalah cara muzara’ah yang diharamkan. Inti larangannya ada
pada masalah gharar. Sebab boleh jadi salah satu pihak akan dirugikan. Misalnya,
bila panen dari lahan yang 400 m itu gagal, maka pemilik lahan akan dirugikan.
Sebaliknya, bila panen pada lahan 600 m tersebut gagal, maka buruh tani akan
dirugikan. Maka cara yang benar adalah hasil panen keduanya harus disatukan
terlebih dahulu, setelah itu baru dibagi hasil sesuai dengan perjanjian.
6. Berakhirnya Muzara’ah
Muzara’ah terkadang berakhir karena telah terwujudnya maksud dan tujuan akad,
misalnya tanaman telah dipanen. Akan tetapi, terkadang akad muzara’ah berakhir
sebelum terwjudnya tujuan muzara’ah, karena sebab-sebab berikut:
a. Masa perjanjian muzara’ah telah habis
b. Meninggalnya salah satu pihak, baik meninggalnya itu sebelum dimulainya
penggarapan atau sesudahnya, baik buahnya sudah bisa dipanen atau belum.
Pendapat ini dikemukakan oleh Hanafiyyah dan Hanabilah. Akan tetapi menurut
Syafi’iyah dan Malikiyyah akad tersebut tidak berakhir karena meninggalnya
salah satu pihak yang melakukan akad.
c. Adanya udzur atau alasan, baik dari pihak pemilik tanah maupun dari pihak
penggarap. Diantara udzur atau alas an tersebut adalah sebagai berikut:
1) Pemilik memiliki hutang yang besar dan mendesak,sehingga tanah yang
sedang digarap oleh penggarap harus dijual kepada pihak lain dan tidak ada
harta lain selain tanah tersebut.
2) Timbulnya alasan dari pihak penggarap, misalnya sakit atau bepergian untuk
kegiatan usaha, sehingga tidak bisa menggarap tanah tersebut.12
11
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 114
12
Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), h 403-404
11
Syari’ah. Hal ini dikarenakan bank syari’ah menggunakan skema bagi hasil
(mudharabah, muzara’ah, dan musyarakah), di samping skema lainnya seperti jual
beli salam dan murabahah. Secara garis besar, aplikasi muzara’ah dalam perbankan
dapat digambarkan sebagai berikut:
13
Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: PT. Rja Grafindo Persada,
2007), hal. 103-105
12
mengingsat setiap komoditi usaha yang lebih besar pendapatan yang berbeda, dan
masa panen (menghasilkan) yang berbeda pula.
d. Petani tidak dibebani dengan bunga pinjaman, melainkan pengembaliannya
secara otomatis disesuaikan dengan masa panen.
B. Mukhabarah
1. Pengertian Mukhabarah
Mukhabarah adalah bentuk masdar dari fiil madi (Khaabara) yang bermakna
tanah gembur dan lunak. Mukhabarah yaitu bentuk kerjasama antara petani
penggarap dengan pemilik lahan, dengan pembagian hasil sesuai dengan
kesepakatan diantara kedua pihak, sedangkan benihnya berasal dari petani
penggarap. 14 Menurut Taqiyyudin istilah mukhabarah bermakna sama dengan
muzara’ah. Tetapi, meskipun kedua istilah itu mempunyai satu arti, namun pada saat
yang bersamaan, keduanya mempunyai dua arti, muzara’ah berarti melemparkan
tanaman (tharh az-zurrah,) mukhabarah adalah modal (al-hadzar). Makna yang
pertama adalah makna majaz, sedangkan makna yang kedua ialah makna hakiki.
Asy-Syafi’i berpendapat bahwa mukhabarah ialah menggarap tanah
dengan apa yang dikeluarkan dari tanah tersebut. Syeikh Ibrahim Al-Bajuri
berpendapat bahwa mukhabarah ialah pemilik hanya menyerahkan tanah kepada
pekerja dan modal dari pengelola. 15
a. Menurut ulama Hanafiyah mukhabarah adalah: akad untuk bercocok tanam
dengan sebagian apa-apa yangb keluar dari bumi.
b. Menurut Ulama Malikiyah; Mukhabarah adalah “bagi hasil dalam bercocok
tanam”.
c. Menurut ulama Hanabilah: “Menyerahkan tanah kepada orang yang akan
bercocok tanam atau mengelolanya, sedangkan tanaman hasilnya tersebut dibagi
antara keduanya.
d. Ulama Syafi’iyah: “Mukhabarah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang
dihasilkan dan benuhnya berasal dari pengelola. Adapun muzara’ah, sama
seperti mukhabarah, hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah. 16
14
Abd Misno, Fiqh Muamalah Al-Maaliyah: Hukum Ekonomi Dan Bisnis Syariah, (Yogyakarta:
Bintang Semesta Media, 2022), h. 205
15
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), h. 161
16
Fasiha, Islamic Finance (Konsep dan Aplikasi Dalam Lembaga Keuangan Syariah), (Sulawesi
Selatan: Laskar Perubahan, 2016), h. 68
13
ت لَ ُك ْم َب ِه ْي َمةُ ْاِلَ ْن َع ِام ا َِِّل َما يُتْ ٰلى َعلَ ْي ُك ْم َغي َْر ُم ِح ِلى
ْ َّٰيٰٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٰٓوا اَ ْوفُ ْوا ِب ْالعُقُ ْو ِد ا ُ ِحل
ُٗيُ ِريْد ّللا يَ ْح ُك ُم َما
َ ٰ ص ْي ِد َواَ ْنت ُ ْم ُح ُرم ا َِّن
َّ ال
17
Imam Nawawi, Al-Majmu Syarah Al-Muhadzab, terj. Ahmad Yunus dan Sholihon, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2015), 563
14
(Al-Mā'idah [5]:1)
b. Hadis
َّ اووس اَنهُ َكانَ ىُ َخابِ ُر قَا َل َع ْمرو فَقُ ْلتُ لَهُ يَا اَبَا َع ْب ِد
الر ْح َم ِن لَ ْو تَ َر ْكتَ هَذ ِه ُ ط َ َع ْن
ى صلى هللا علىه وسلم نَ َهى َع ِن ْال ُم َخابَ َرةِ فَقَا َل اى ُ ْال ُم َخابَ َرةَ فَ ِانَّ ُه ْم يَ ْز
َّ ِع ُمونَ اَ َّن النَّب
َى صلى هللا علىه وسلم لَ ْم ىَ ْنه َّ َِع ْم ُر اَ ْخبَ َرنِى اَ ْعلَ ُم ُه ْم بِذَا ِلكَ يَ ْعنِى ا ْبنَ َعبا َس اَ َّن النَّب
)جا َم ْعلُو ًما (رواه مسلمً َع ْن َها اِنَّ َما َي ْمنَ ُع قَا َل اَ َحدُ ُك ْم ا َ َخاهُ َخ ْير لَهُ ِم ْن اَ ْن َيأْ ُخذَ َعلَ ْي َها َخ ْر
Diriwayatkan oleh Thawus, sesungguhnya dia pernah mneyuruh orang lain untuk
menggarap tanhanya dengan sistem mukhabarah. Amr berkata: kemudian saya
bertanya kepadanya: wahai Abu Abdur Rahman sebaiknya kamu meninggalkan
sistem mukhabarah ini karena sesungguhnya orang-orang mengatakan nabi
melarang mukhabarah. Lalu Thawus berkata: Wahai Amr, sesungguhnya orang
yang paling mengetahui hal itu (yait Ibnu Abbas) pernah memberitahukan
kepada saya bahwa nabi tidak melarang mukhabarah, hanya saja beliau
mengatakan: “seseorang diantara kalian memberikan tanah garapan kepada
saudaranya itu lebih baik daripada dia meminta bayaran tertentu dari tanah
tersebut. (HR. Muslim) 18
18
Imam Al-Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, terj. Rohimi dan Zenal Mutaqin, (Bandung: Penerbit
Jabal, 2012), h. 376
15
ان رسول هللا صلي هللا عليه وسلم َعا َم َل اَ ْه ِل َخ ْيبَ َر:عن ابن عمر رضي هللا عنه
)ج ِم ْن َها ِم ْن ثَ ْمر اَ ْو زَ ْرع (متفق عليه ْ بِش
ُ َط ِر َما يَ ْخ ُر
“ Diriwayatkan oleh Ibnu Umar sesungguhnya Rasulullah Saw mempekerjakan
penduduk Khaibar untuk menggarap lahan dengan imbalan pembagian hasil
berupa buah-buahan dan tanaman.”
Ayat dan hadis yang telah disebutkan adalah dasar para ulama membolehkan
mukhabarah. Namun ada pula pendapat lain seperti yang diungkapkan dalam
kitab al minhaj bahwa mukhabarah adalah mengerjakan tanah (menggarap ladang
atau sawah) dengan mengambil sebagian hasil, sedangkan benihnya dari pekerja.
Adapun dalam bermuzaraah, yaitu benih dari pengelola tanah hal tersebut tidak
diperbolehkan. Dari semua pendapat di atas, dapat di pahami bahwa dasar hukum
muzara’ah dan mukhabarah dalam pandangan ulama terbagi menjadi tiga
kelompok: ada yang mengharamkan kedua-duanya, seperti pengarang al-Minhaj.
Ada yang mengharamkan muzara’ah saja seperti asy-Syafi’i dan ada yang
menghalalkan kedua duanya seperti an-Nawawi, Ibnu Munzir dan Khatabi.
a. Rukun Mukhabarah
1) Pemilik lahan
2) Pengelola
3) Objek Mukhabarah (sawah/ladang)
4) Ijab dan Qabul
b. Syarat Mukhabarah
1) Syarat pihak yang melakukan akad, keduanya harus sudah baligh dan
berakal.
2) Syarat penanaman yaitu harus diketahui secara pasti, dalam artian
harus dijelaskan apa (benih) yang akan ditanam. Dalam al-mukhabarah,
maka masalah apa yang ditanam dipasrahkan kepada pihak penggarap.
3) Syarat yang berkaitan dengan lahan pertanian
19
Abd Misno, Fiqh Muamalah Al-Maaliyah: Hukum Ekonomi Dan Bisnis Syariah, h. 210
16
4. Berakhirnya Mukhabarah
20
Hasbiyallah, Sudah Syar’ikah Muamalahmu? Panduan Memahami Seluk Beluk Fikih Muamalah,
(Jawa Tengah: Desa Pustaka Indonesia, 2019), h. 82
21
Ahmad Munir Hamid dan Ni’matul Huda, Analisis Prinsip Ekonomi Terhadap Praktik Kerjasama
Pengolahan Sawah, Adilla, Jurnal Ekonomi Syariah 4, No. 1 (2021), h. 82
17
tetapi ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa akad mukhabarah dan
muzara’ah dapat diwariskan. 22
c. Adanya udzur (tidak ada harta lain untuk membayar hutang) salah satu pihak. 23
Menurut ulama hanafiyyah, di antara uzur yang menyebabkan berakhirnya
mukhabarah adalah tanah garapan terpaksa dijual untuk membayar utang atau
keperluan lain pemilik tanah. Penggarap tidak dapat mengelola karena sakitm
jihad di jalan Allah dan lain sebagainya.
Menurut Imam al-Mawardi akan berakhir apabila:
a. Meninggalnya salah satu pihak. Tapi boleh diteruskan oleh ahli warisnya. Jika
pemilik lahan meninggal namun lahannya masih hijau, maka penggarap harus
mengelola tanaman hingga panen. Ahli waris dari pihak yang meninggal tidak
diperbolehkan melarang penggarapp untuk berbuat demikian. Jika penggarap
yang meninggal dunia maka ahli warisnya boleh menggantikannya dan jika ia
mau boleh menruskan mengolah tanaman sampai matang dan pemilik tanah tidak
bisa melarangnya.
b. Jangka waktu yang disepakati berakhir
c. Jika terjadi banjir dan melanda tanah sewaan tersebut sehingga kondisi tanah dan
tanaman rusak.
5. Hikmah Mukhabarah
6. pengaplikasian mukhabarah
22
Abd Misno, Fiqh Muamalah Al-Maaliyah: Hukum Ekonomi Dan Bisnis Syariah, h. 217
23
Yuli Kartika Hutasuhut dan Risalan Basri Harahap, Pelaksanaan Akad Mukhabarah, Jurnal EL-
Thawalib 3, No. 3, (2022), h. 454
24
Hasbiyallah, Sudah Syar’ikah Muamalahmu? Panduan Memahami Seluk Beluk Fikih Muamalah),
h.83
18
C. Musaqah
1. Pengertian Musaqah
Secara Bahasa al-Musaqah adalah bentuk Masdar al-mufa’ah dari asal kata
“as-Saqyu”. Ulama madinah menyebutnya dengan nama al-mu’amalah, namun
bentuk Masdar mufa’alah lebih diutamakan untuk digunakan, karena unsur yang
dominan di dalam akad al-Musaqah adalah as-Saqyu (penyiraman atau pengairan).
25
Ana Liana Wahyuningrum dan Darwanto, Penerapan Bagi Hasil Maro Perspektif Akad Mukhabarah,
Tawazun 3, No. 1, (2020), h. 58
26
Imam Taqiyyudin Abu Bakar bin Muhammad Ahusaini, Khifayatul Akhyar, (Surabaya: Bima Iman),
h. 689
19
ان رسول هللا صلي هللا عليه وسلم َعا َم َل اَ ْه ِل:عن ابن عمر رضي هللا عنه
)ج ِم ْن َها ِم ْن ثَ ْمر اَ ْو زَ ْرع (متفق عليه ْ َخ ْيبَ َر بِش
ُ َط ِر َما يَ ْخ ُر
“ Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi saw telah memberikan kebun beliau kepada
penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian: mereka akan
memperoleh dari penghasilannya, baik dari buah-buahan maupun hasil tanaman”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Musaqah didasarkan atas ijma’ (kesepakatan para ulama), karena sudah
merupakan suatu transaksi yang amat dibutuhkan oleh umat untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari dan sebagai bentuk sosial antara sesama manusia
dengan jalan memberi pekerjaan kepada mereka yang kurang mampu. hal ini sesuai
dengan Firman Allah dalam surat al- Maidah ayat 2 :
Al-Mā'idah [5]:2
Ayat di atas menjelaskan tentang perintah Allah kepada hamba-hambanya
yang beriman untuk saling tolong-menolong dalam perbuatan baik dan
meninggalkan kemungkaran. Dengan wujud saling tolong menolong orang berilmu
membantu orang dengan ilmunya, orang kaya membantu dengan kekayaannya. Dan
hendaknya kaum Muslimin menjadi satu tangan dalam membantu orang yang
membutuhkan.
3. Rukun-rukun Musaqah
Menurut jumhur ulama yaitu terdiri dari ulama Malikiyah, Syafi'iyah, dan
hanabilah bahwa transaksi Musaqah harus memenuhi rukun-rukun, yaitu:
4. Syarat-syarat Musaqah
27
Nasrun Horoen, Fiqih muamalah, (gaya media Pratama: 2007),h 283
21
a. Musyaqah yang bertitik tolak pada manfaatnya, yaitu pada hasilnya berarti
pemilik tanah (tanaman) sudah menyerahkan kepada yang mengerjakan segala
upaya agar tanah itu membawa hasil yang baik.
28
http://jurnal.muamalah.musqah.blogspot/2015.html. Diakses pada 24 Januari 2022.
22
b. Musaqah yang bertitik tolak pada asalnya yaitu cuma mengairi saja tanpa ada
tanggung jawab untuk mencari air. Maka pemiliknyalah yang berkewajiban
mencarikan jalan air , baik dengan menggali sumur, parit bendungan ataupun
usaha yang lain29
Selain itu terdapat juga ketentuan-ketentuan hukum yang terkait dengan
musaqah diantaranya:
a. Seluruh pekerjaan yang berkaitan dengan pemeliharaan tanaman, pengairan
kebun dan segala kebutuhan merupakan tanggung jawab dari penggarap.
b. Seluruh hasil panen dibagi kepada dua belah pihak (pemilik dan petani).
c. Jika kebun tersebut tidak menghasilkan apa-apa (gagal panen) maka masing-
masing pihak tidak mendapatkan apa-apa.
d. Melakukan kesepakatan terhadap tenggang waktu, sementara dalam tenggang
waktu yang disepakati tanaman boleh dipanen, menurut adat kebiasaan tanaman
yang dipilih30
6. Berakhirnya Akad Musaqah
29
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010), h. 300
30
Nasrun haroen, Fiqh Muamalah, h. 286.
31
Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu. Terj : Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. (Jakarta: Gema
insani, 2011), jilid 6, h. 600.
23
untuk pertanian oleh bankbank syariah. Yang agak berbeda adalah Iran. Di negeri ini
diterapkan skim muzara'ah untuk kredit usaha tani32
menurut Ascarya kerjasama dalam bidang pertanian dan perkebunan ini
juga dapat diterapkan dengan skim musyarakah sebagaimana yang sudah
dikembangkan di Sudan melalui Sudanese Islamic Bank (SIB). Pihak petani dan
Bank melakukan kerjasama musyarakah dengan pihak bank menyediakan bagi
petani aset-aset tetap tertentu yang dibutuhkan dalam kontrak kerja sama tersebut
seperti bajak, traktor, pompa air dan sebagainya. Begitu pula pihak bank
menyediakan modal kerja dalam bentuk seperti, bahan bakar, pelumas, bibit,
pestisida, pupuk. Sedangkan petani terbatas menyediakan lahan, pekerjaan dan
manajemennya. 33
32
Adiwarman A Karim, , Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta:2001), h. 55
33
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, h. 147-148.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Muzara’ah adalah kerjasama bagi hasil antara pemilik lahan dan pengelola. Adapun
benih berasal dari pemilik lahan. Hasil pertanian dibagi antara pemilik lahan dan
penggarap sesuai dengan nisbah yang telah disepakati.
Mukhabarah adalah akad kerjasama usaha pertanian antara pemilik lahan dan
pengelola (penggarap), di mana benih tanaman berasal dari penggarap lahan; hasil
pertanian dibagi antara pemilik dan penggarap sesuai nisbah yang disepakati.
Musaqah adalah suatu kesepakatan atau kontrak kerja berupa pemarahan pepohonan
kepada seorang untuk ia sirami dan rawat sedangkan hasil buahnya dibagi antara
kedua belah pihak, atau dengan kata lain, sebuah kontrak kerja dengan upah sebagian
dari hasil pepohohonan yang didapatkan.
2. Dasar hukum muzara’ah, mukhabarah dan musaqah yaitu:
24
25
B. Saran
Ahusaini, Imam Taqiyyudin Abu Bakar bin Muhammad. Khifayatul Akhyar, Surabaya:
Bima Iman.
Fasiha, Islamic Finance (Konsep dan Aplikasi Dalam Lembaga Keuangan Syariah),
Sulawesi Selatan: Laskar Perubahan, 2016.
Ghazali, Abdul Rahman. Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana, 2010.
Hamid, Ahmad Munir dan Ni’matul Huda. Analisis Prinsip Ekonomi Terhadap Praktik
Kerjasama Pengolahan Sawah, Adilla, Jurnal Ekonomi Syariah 4, No. 1, 2021.
Hasbiyallah, Sudah Syar’ikah Muamalahmu? Panduan Memahami Seluk Beluk Fikih
Muamalah, Jawa Tengah: Desa Pustaka Indonesia, 2019.
http://jurnal.muamalah.musqah.blogspot/2015.html. Diakses pada 24 Januari 2022
Hutasuhut, Yuli Kartika dan Risalan Basri Harahap. Pelaksanaan Akad Mukhabarah, Jurnal
EL-Thawalib 3, No. 3, 2022.
Karim, Adiwarman. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2007.
Lathif, Azharudin. Fiqh Muamalah, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.
Misno, Abd. Fiqh Muamalah Al-Maaliyah: Hukum Ekonomi Dan Bisnis Syariah,
Yogyakarta: Bintang Semesta Media, 2022.
Al-Mundziri, Imam. Ringkasan Shahih Muslim, terj. Rohimi dan Zenal Mutaqin, Bandung:
Penerbit Jabal, 2012
Muslich, Ahmad Wardi. Fiqih Muamalah, Jakarta : Amzah, 2010.
Nasrun, Haroen. Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Nawawi, Imam. Al-Majmu Syarah Al-Muhadzab, terj. Ahmad Yunus dan Sholihon, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2015.
Nawawi, Ismail. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, Bogor: Ghalia Indonesia, 2012.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010.
Sahrani, Sohari. Fiqh Muamalah, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.
As-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Hukum-hukum Fiqh Islam, Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 1997, Cet. ke-1.
Wahyuningrum, Ana Liana dan Darwanto. Penerapan Bagi Hasil Maro Perspektif Akad
Mukhabarah, Tawazun 3, No. 1, 2020.
Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 6, Terj.Abdul Hayyie al-Khattani,
Jakarta: Gema Insani, 2011.
26