Anda di halaman 1dari 14

MATA KULIAH DOSEN PENGAMPU

FIQH MAWARIS MUHAMMAD IRAN SIMBOLON

MAKALAH

AUL DAN RADD

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK XI (SEBELAS)

CINDY MASRIANOLLA (12020521467)

SITI HALIMAH (12020523728)

EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan
karunianya yang berupa kesehatan jasmani dan pikiran sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Aul dan Radd” Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Mawaris, dengan segala
keterbatasan ilmu dan pengetahuan yang kami miliki kami menyadari masih
banyak kekurangan dari makalah ini

Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak terkait sangat kami
butuhkan untuk perbaikan makalah ini. Dengan adanya makalah ini diharapkan
dapat dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi para pembacanya dan
dapat menginspirasi bagi para pembacanya.

Rokan Hilir, 1 November 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... 2


DAFTAR ISI ....................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 4
A. Latar Belakang .......................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 5
C. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 6
A. Pengertian Aul .......................................................................................... 6
B. Kaidah Aul ................................................................................................ 7
C. Pengertian Radd ........................................................................................ 8
D. Kaidah Radd ............................................................................................. 9
BAB III PENUTUP ........................................................................................... 13
Kesimpulan .................................................................................................... 13
Saran .............................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 14

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Kewarisan mendapat perhatian yang besar dalam Islam karena


adanya ayat-ayat dalam al-Quran yang secara terperinci menjelaskan
konsep dasar kewarisan. Meskipun demikian, terdapat beberapa
permasalahan yang kemudian muncul dan tidak ditemukan cara
penyelesaiannya dalam al-Quran dan Hadits. Oleh karena itu, ulama
mengambil jalan ijtihad untuk memecahkan masalah tersebut. Diantara
permasalahan tersebut adalah masalah kelebihan bagian waris atau
kekurangan harta waris untuk dibagikan kepada ahliwaris sesuai
dengan fard.

Dalam hukum waris ditentukan siapa-siapa yang menjadi ahli


waris, siapa saja yang berhak mendapatkan bagian harta warisan
tersebut, berapa bagian mereka masing-masing, bagaimana ketentuan
pembagiaannya, serta di atur pula berbagai hal yang berhubungan
dengan soal pembagian harta warisan. Di dalam Hukum Waris Islam
ada masalah-masalah kewarisan yang diselesaikan secara khusus.
Masalah-masalah khusus dalam kewarisan ini adalah persoalan-persoalan
kewarisan yang penyelesaiannya menyimpang dari penyelesaian yang
biasa, dengankata lain pembagian harta warisan itu tidak dilakukan
sebagaimana biasanya. Masalah-masalahkhusus ini timbul karena
adanya kejanggalan apabila penyelesaian pembagian harta warisan
tersebut dilakukan secara biasa. Untuk menghilangkan kejanggalan
tersebut, maka penyelesaian pembagian harta warisan itu dilakukan
secara khusus.

Problematika yang timbul di dalam perhitungan warisan yang salah


satunya masih ganjil ialah mengenai masalah aul dan radd. Dalam keadaan
tertentu pewaris (orang yang meninggal) mungkin meninggalkan
konstelasi ahli waris tentunya yang semua adalah ahl al fara`id, tetapi
ketika mereka diberi fard masing-masing, hasilnya kurang dari seratus
persen atau sebaliknya lebih dari seratus persen. Hal ini tidak lain ialah
agar hukum kewarisan Islam tidak kehilangan relevansinya dan agar dapat
menjawab problem-problem kewarisan yang ada.

Dalam makalah ini akan membahas tentang ‘aul, radd yaitu


ketika pembagian harta warisan terjadi kekurangan ataupun kelebihan
harta.

4
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian aul?
2. Bagaimana kaidah aul?
3. Apa pengertian radd?
4. Bagaiamana kaidah radd?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian aul
2. Untuk mengetahui kaidah aul
3. Untuk mengetahui pengertian radd
4. Untuk mengetahui kaidah radd

5
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Aul

Kata-kata ‘aul berasal dari bahasa Arab, yang artinya lebih atau
banyak. 1 Al-’aul secara bahasa berarti irtifa' atau mengangkat. Dikatakan
'aalal miizaan bila timbangan itu naik, terangkat. Kata 'aul ini kadang
berarti cenderung kepada perbuatan aniaya (curang).2

Menurut para fuqaha, 'aul ialah bertambahnya saham Ashabul


furudh dan berkurangnya kadar peneriman warisan mereka. Hal ini terjadi
ketika makin banyaknya ashabul furudh sehingga harta yang dibagikan
habis, padahal di antara mereka ada yang belum menerima bagian. Dalam
keadaan seperti ini kita harus menaikkan atau menambah pokok
masalahnya (penyebut) sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi
jumlah ashabul furudh yang ada.3

Dari segi istilah, al-’aul adalah bertambahnya pembagi (jumlah


bagian fardh) sehingga menyebabkan berkurangnya bagian para ahli waris.
Hal ini disebabkan banyaknya ashab al-furudh sedangkan jumlah seluruh
bagiannya telah melebihi nilai 1, sehingga di antara ashab al-furudh
tersebut ada yang belum menerima bagian yang semestinya. Maka dalam
keadaan seperti ini harus menaikkan atau menambah pembaginya sehingga
seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashab al-furudh yang ada,
meskipun akhirnya bagian mereka menjadi berkurang. 4

Sedang menurut istilah ahli fiqh ‘aul adalah meningkatkan angka


asal masalah yang diperoleh dari jumlah total perolehan (siham) masing-
masing ahli waris. Peningkatan angka asal masalah tersebut dalam rangka
menghindari kekurangan harta, karena jika angka asal masalah tidak
ditingkatkan, maka akan terjadi kekurangan harta. Inilah salah satu
manfaat praktis adanya asal masalah.

Adapun pengertian aul yang dikemukakan oleh para ahli, yakni sebagai
berikut:

a. As-Sayyid Sabiq

1
Muhammad Arief, Hukum Warisan dalam Islam, PT. Bina Ilmu, Surabaya, cet. Pertama, 1986,
hal. 137.
2
Abdillah Mustari, Hukum Kewarisan Islam, Makassar: Alauddin University Press, 2013, Hlm.
146
3
Ibid, hlm. 146
4
Ibid, hlm. 146

6
aul adalah Adanya kelebihan saham dzawil furudh dan adanya
kekurangan kadar bagian mereka dalam pembagian harta warisan. 5
b. Muhammad Yusuf Musa
Kurangnya kadar (bagian) harta peninggalan atas kelebihan jumlah
saham para ahli waris.”
c. Hasanain Muhammad Makhluf
Adanya kelebihan dalam saham-saham para ahli waris dari
besarnya asal masalah, dan adanya kekurangan dalam kadar
penerimaan mereka karena asal masalahnya tidak cukup untuk
memenuhi fardh-fardh ashabul furudh.”
d. R. Abdul Djamali
memakai istilah ‘aulu’ dalam hal seluruh ahli waris memperoleh
bagian harta warisan berdasarkan ketentuan lebih besar dari kesatuan
harta warisannya. Berarti bahwa jumlah pembilang lebih banyak dari
penyebut dalam ganda persekutuan terkecil. 6 Pengertian yang lebih
ringkas dinyatakan dengan “Kasus kewarisan yang angka
pembilangnya lebih besar daripada penyebutnya.7Atau pengurangan
secara berimbang. 8
Dari uraian di atas dapatlah dipahami bahwa ‘aul adalah
adanya kelebihan jumlah saham daripada asal masalah, dan dengan
sendirinya terjadi pengurangan kadar (bagian) para ahli waris.

Aul biasanya terjadi ketika ahli waris banyak dan semuanya berasal
dari rumpun ahli waris dhaw al-furud, sehingga menghabiskan semua
harta dan bahkan bisa kekurangan harta, sehingga diperlukan meninggikan
asal masalah, agar semua ahli furud dapat memperoleh hakhaknya, namun
demikian konsekwensinya adalah adanya pengurangan kadar bagian yang
harus ditanggung oleh masing-masing ahli waris secara proporsional
namun tidak sampai kehilangan haknya. Misalnya seorang suami bagian
asalnya ½ jika tidak ada anak, karena diselesaikan secara ‘aul bisa saja
berkurang dari setengah menjadi 1/3.

B. Kaidah Aul

Permasalahan ‘aul pada pokoknya terkait sekali dengan persoalan


para waris yang memiliki furudhul muqaddarah (Ashhabul Furudh) sampai
5
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid III, (Semarang : Toha Putera, 1972), hlm. 442
6
Vide R. Abdul Djamali, Hukum Islam (Asas-Asas Hukum Islam I, Hukum Islam II), Mandar
Maju, Bandung, cet. I, 1992, hal. 132.
7
Suhrawardi K. Lubis, K. Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Lengkap dan Praktis), Sinar
Grafika, Jakarta, cet. Pertama, September 1995.
8
Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bina Aksara, jakarta, cet. Pertama, April,
1982, hal. 84.

7
kepada penetapan pokok masalah. Sebab, ‘Aul tidaknya suatu kasus
kewarisan itu dilihat setelah ditentukannya fardh masing-masing waris,
kemudian diperoleh hasil bagian/hak para waris, dan dari penjumlahan itu
didapat persesuaian atau tidaknya antara angka pembilang dengan
penyebutnya.

Permasalahan pokok yang terdapat di dalam kasus-kasus ‘aul


adalah terjadinya kekurangan harta di saat bagian-bagian waris itu
diselesaikan sesuai dengan ketentuan furudhul muqaddarah. Ini berarti
dalam situasi dan kondisi tertentu, makna furudhul muqaddarah tidak
dipahami terbatas pada 1/ 2, atau 2/3 nya harta warisan. Sebab pada
kenyataannya justru terjadi pengurangan.

Pengurangan secara berimbang (proporsional) ini dilakukan untuk


menghindari terjadinya kesenjangan pendapatan, sekaligus timbulnya
persoalan diantara sesama waris mana diantara mereka yang lebih
didahulukan atau diutamakan. Sehingga dengan menaikkan atau
menambah pokok hitungan (asal masalah) supaya cukup bagian mereka
masingmasing, adalah jalan keluar terbaik dan bahkan telah disepakati
para imam dan ulama. Sebagai penyelesaian akhir untuk membagi harta
warisan tersebut dipergunakanlah asal masalah baru yang telah dinaikkan
pokok hitungannya sesuai dengan jumlah bagian para waris dalam struktur
kewarisannya.9

C. Pengertian Radd
Ar-radd dalam bahasa Arab i'aadah berarti 'kembali/kembalikan'
atau juga bermakna sharf’ berpaling/palingkan'. Adapun ar-radd menurut
istilah ulama ilmu faraid ialah berkurangnya pokok masalah dan
bertambahnya/lebihnya jumlah bagian ashabul furudh.10
Dalam istilah, Ar-radd adalah berkurangnya pembagi (jumlah
bagian fardh) dan bertambahnya bagian para ahli waris. Hal ini disebabkan
sedikitnya ashab al-furudh sedangkan jumlah seluruh bagiannya belum
mencapai nilai 1, sehingga disana ada harta warisan yang masih tersisa,
sementara tidak ada seorangpun ashabah disana yang berhak menerima
sisa harta waris. Maka dalam keadaan seperti ini harus menurunkan atau
mengurangi pembaginya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi
jumlah ashab al-furudh yang ada, meskipun akhirnya bagian mereka

9
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam yang Berkembang dalam Kalangan
Ahlus Sunnah, Bulan Bintang, Jakarta, cet. keenam, 1986, hal. 348
10
Vide sayyid sabiq, Fiqh al Sunnah, Dar al Fikr, Beirut, Juz ke 3, cet. Pertama, 1977, hal. 444.

8
menjadi bertambah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ar-radd
adalah kebalikan dari al’aul. 11
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa radd adalah suatu
masalah/ kasus pewarisan yang jumlah sahamnya lebih kecil daripada asal
masalahnya, dan dengan sendirinya, terjadi penambahan kadar (bagian)
para ahli waris. Karena pada masalah radd ini ada penambahan kadar
kepada para ahli waris, maka pada masalah ini tidak terdapat ahli waris
ashabah. Sebab apabila ada ahli waris ashabah, maka kelebihan tersebut
akan menjadi hak penerimaannya.
Radd dapat dilakukan dengan menurunkan angka asal masalah dari
angka sebelumnya disesuikan dengan perolehan masing-masing ahli waris
yang tentunya lebih rendah dibandingkan dengan asal masalahnya.
Menurut jumhur ulama’ radd berlaku bagi ahli waris dhaw al furud yang
sudah dijelaskan menurut al-Qur’an dan Sunnah nabi, kecuali kepada
suami/istri. Suami/istri dinilai tidak berhak atas pengembalian harta
dikerenakan bukan termasuk ahli waris nasabiyah. 12

D. Kaidah Radd

Masalah radd terdiri dari empat kategori karena yang ada dalam
masalah bisa berupa satu golongan yang menerima radd,ata lebi, dan
dalam dua kondisi ini dalam masalah bisa ada satu ari kalangan yang tidak
mendapatkan radd, atau tidak ada. Adapun kaidah dari radd adalah sebagai
berikut:13

1. Kategori pertama, yang ada dalam masalah sau golongan dari kalangan
yang mendapatkan radd namun bersama mereka tidak ada orang yang
tidak mendapatkan radd dari salah satu suami istri, maka pokok
masalahnya ditetapkan sesuai dengan jumlah kepala mereka, karena
seluruh harta unuk mereka sebagai bagian tetap dan radd sekaligus,
maka pembagian didasarkan pada ajumlah kepala mereka.
Contohnya, orang yang wafat dengan meninggalkan dua anak
perempuan atau dua saudara perempuan atau dua nenek, maka pokok
masalahnya dari dua, masing-masing dari keduanya diberi seperdua
sebagai bagian tetap dan radd, karena kesamaan mereka berdua dalam
keberhakan. Dan siapa yang wafat dengan meninggalkan satu anak
perempuan maka untuk seluruh peninggalan sebagai bagian tetap dan

11
Abdillah Mustari, Hukum Kewarisan Islam, Makassar: Alauddin University Press, 2013,
hlm.150
12
Maimun Nawawi, Pengantar Hukum Kewarisan Islam, Surabaya, Pustaka Radja, 2016, Hlm.
165
13
El Madani, Tim. Tata Cara Pembagian Waris dan Pengaturan Wakaf. MediaPressindo, 2018.

9
radd. Dan siapa yang wafat denagn meninggalkan tiga saudara
perempuan kandung, maka bagi mereka seluruh peninggalan sebagai
bagian tetap dan radd, bagi masing-masing sepertiga.

2. Kategori kedua, yang ada dalam masalah lebih dari satu golongan dari
kalangan yang menerima radd, namun bersama mereka ada orang yang
tidak mendapatkan radd, maka pokok maslaahnya ditetapkann dari
jumlah saham bagian-bagian tetap bagi yang terhimpun yang diabilkan
dari hasil penyelesaian masalah.
Contohnya, nenek dan saudara perempuan seibu, maka untuk
masig-masing bagian dari keduanya adalah seperenam, pokok
masalahnya ditetpkan dari dua karena inilah jumlah saham mereka
berdua, karena pokok masalahnya dari enam yang merupakan hasil
penyelesaian seperenam, untuk nenek seperenam yang merupakan satu
paham, dan untuk saudara perempuan seibu seperenam, dan ini juga
satu saham. Dengan demikian jumlah saham mereka berdua adalah
dua, dan pokok masalah diabaikan dan jumlahsaham ditetapkann
sebagai pokok masalahnya.
Terkait tiga anak perempuan dan ibu, pokoknya ditetapkan lima,
maka anak-anak perempuan mengambil empat dan ibu mengambil satu
saham.

3. Kategori ketiga, yang ada bersama satu golongan yang mendapatkan


radd adalah satu orang dari kalangan yang tidak mendapatkan radd,
yakni salah satu dari suami istri. Maka pokok masalahnya ditetapkan
sebagai hasil penyelesaian orang yang tidak mendapatkan radd, dan
bagian tetapnya diberikan kepada dirinya, kemudian sisahnya
diberikan kepada orang yang yang tidak mendapatkan radd sesuai
dengan jumlah kepala mereka. Jika dimungkinkan adanya pembagian
saham yang tersisah kepada jumlah kepala dengan angka yang bulat
tidak pecah maka tidak masalah. Namun jika ini tidak mungkin, maka
saham-saham dibulatkan, dengan mengalikan pokok-pokok masalah
dengan angka terkecil yang dapat dibagi berdasarkan kepala orang-
orang yang mendapat radd.
Contohnya suami dan tiga anak perempuan, Maka pokok
masalahnya adalah hasil penyelesaian bagian suami, yaitu empat,
untuk suami satu saham darinya, sedangkan sisanya nya yaitu tiga
saham untuk tiga anak sebagai bagian tetap dan radd, dan tidak
perlu ada pembulatan bilangan di sini.
Terkait istri dan empat anak perempuan, maka pokok
masalahnya nya dari delapan, untuk istri delapan, yaitu satu
saham, dan untuk anak-anak perempuan sisanya sebagai bagian
tetap dan radd, yaitu tujuh saham. Akan tetapi jumlah saham tidak

10
dapat menerima pembagian tanpa pemecahan bilangan berdasarkan
jumlah kepala orang-orang yang mendapatkan radd, maka
masalahnya dibulatkan dengan mengalihkan pokok masalah yaitu
delapan dengan bilangan terkecil yang dapat dibagi berdasarkan
kepada ada anak-anak perempuan yaitu empat, maka jumlahnya
mencapai tiga puluh dua saham, istri mengambil darinya
seperdelapan empat saham, dan sisanya dibagikan kepada anak-
anak perempuan, untuk masing-masing tujuh saham.

4. Kategori keempat, yang bersama dua golongan atau lebih dari


kalangan Yang mendapatkan radd adalah satu orang yang dari
kalangan yang tidak mendapatkan radd, maka pokok masalahnya
ditetapkan berupa hasil penyelesaian bagian tetap orang yang tidak
mendapatkan radd, dan bagiannya diberikan darinya, kemudian
sisanya diberikan kepada orang-orang yang mendapatkan kan radd
sesuai dengan persentasi bagian-bagian mereka, dan yang perlu
dibulatkan darinya maka dibulatkan.
Contohnya, istri, ibu, dua saudara laki-laki seibu, pokok
masalahnya dari empat, untuk istri seperempat yaitu satu saham,
dan sisanya, yaitu tiga dibagikan diantara ibu dan dua saudara laki-
laki seibu sesuai dengan an penisbatan persentasi seperenam ke
sepertiga, yakni satu kedua. Disini saham-saham dibagi tanpa ada
pecahan, maka Ibu mendapatkan dua saham untuk masing-masing
dari keduanya satu saham.
Terkait istri, dua anak perempuan, dan ibu, maka untuk istri
seperdelapan, untuk dua anak perempuan dua pertiga, dan untuk
ibu seperenam. masalahnya dari untuk istri satu saham darinya,
dan sisanya yaitu tujuh dibagikan kepada dua anak perempuan dan
ibu, sesuai dengan penisbatan dua pertiga ke seperenam, yakni
empat ke satu, maka jumlahnya lima, dan tujuh tidak terbagi tanpa
pecahan, maka pokok masalahnya dikalikan dengan bilangan
terkecil yang dapat dibagi dengan lima dengan angka yang bulat,
Maka hasilnya adalah 8 x 5 = 40, Dengan demikian menjadi
bilangan bulat, untuk istri seperdelapan yaitu lima, dan sisanya
yaitu tiga puluh lima saham untuk dua anak perempuan dua puluh
delapan saham, untuk masing-masing dari keduanya empat belas
saham dan untuk ibu tujuh saham.

Masalah radd merupakan kebalikan dari masalah aul yang


terjadi apabila pembilang lebih kecil dari pada penyebut, yakni
dalam pembagian warisan terdapat kelebihan harta setelah ahli
waris ashabul furudh memperoleh bagiannya. Cara radd ditempuh
untuk mengembalikan sisa harta kepada ahli waris seimbang
dengan bagian yang diterima masing-masing proporsional. adanya
sisa harta warisan yang terlebih yang akan dikembalikan kepada
ahli waris ashabul furudh secara berimbang sesuai dengan besar
kecilnya bagian yang telah diterimanya berdasarkan furudhul
muqaddarah, sehingga akan berpengaruh pula dengan operasional

11
metode perhitungannya. Dengan pengertian lain bahwa pengaruh
ini nentinya akan menambah perolehan masing-masing waris yang
setelah menerima bagian yang telah ditentukan berdasarkan al
Qur’an atau hadis Nabi Saw.14
Radd terhadap ash habul furudh merupakan kebalikan dari aul,
aul sendiri merupakan pengurangan terhadap bagian dari ashab al
furudh. Sementara radd justru menambah lebih kepada mereka,
sebab aul karena saham ashab al furudh melebihi harta peninggalan
sementara radd adalah saham lebih sedikit dibandingkan dengan
seluruh harta peninggalan dan tidak ada yang berhak mengambil
sisa harta peninggalan, baik karena faktor kekerabatan atau wala.15
Semua sisa harta yang ada dikembalikan kepada ahli waris
furudh yang ada berdasarkan kadar furudh masing-masing, kalau
furudh yang ada adalah 1/3 dari harta maka, radd yang diterimanya
adalah 1/3 dari sisa harta itu dan begitu seterusnya. Ketentuan dan
cara pengembalian harta kepada furudh yang ada itu menjadi
perbincangan dikalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa
sisa harta yang ada diserahkan kepada ahli waris furudh yang ada
disebabkan oleh hubungan Rahim. Dengan demikian, ahli waris
furudh yang melalui sebab perkawinan tidak berhak menerima
pengembalian. Alasan pembatasan ini adalah oleh karena yang
menjadi alasan adanya radd tersebut adalah hubungan rahim
sedangkan suami istri atau istri kewarisannya disebabkan hukum
dan bukan karena hubungan rahim. 16

14
Wahidah, Buku Ajar FIqih Waris…,h. 37.
15
Muhammad Muhyiddin Abdul Hamidi, Ahkam Al Mawarits fi AsySyari‟ah Al-Islamiyah „ala
Madzahib Al-Arba‟ah (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 239.
16
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2012), h.
110.

12
BAB III

PENUTUP
Kesimpulan

Istilah ‘aul dalam defenisinya dikenal dengan bertambahnya jumlah harta


waris dari yang telah ditentukan (furudhul muqoddaroh) dan berkurangnya bagian
para ahlin waris (ashabul furud). Keadaan seperti ini terjadi disaat dalam
pembagiannya bagian ashabul furudh makin banyak sehingga harta yang
dibagikan habis sedangkan diantara mereka ahli waris (ashabul furudh) belum
semua menerima pembagian warisannya. Maka jalan keluarnya adalah
ditambahkan jumlah asal masalahnya sehingga seluruh harta waris dapat dibagi
secara cukup dan sesuai jumlah ahli waris (ashabul furudh) yang tentunya
menyebabkan pembagian masing-masing ahli waris menjadi berkurang.

Radd adalah suatu masalah/ kasus pewarisan yang jumlah sahamnya


lebih kecil daripada asal masalahnya, dan dengan sendirinya, terjadi penambahan
kadar (bagian) para ahli waris. Karena pada masalah radd ini ada penambahan
kadar kepada para ahli waris, maka pada masalah ini tidak terdapat ahli waris
ashabah. Sebab apabila ada ahli waris ashabah, maka kelebihan tersebut akan
menjadi hak penerimaannya. Radd dapat dilakukan dengan menurunkan angka
asal masalah dari angka sebelumnya disesuikan dengan perolehan masing-masing
ahli waris yang tentunya lebih rendah dibandingkan dengan asal masalahnya.
Menurut jumhur ulama’ radd berlaku bagi ahli waris dhaw al furud yang sudah
dijelaskan menurut al-Qur’an dan Sunnah nabi, kecuali kepada suami/istri.
Suami/istri dinilai tidak berhak atas pengembalian harta dikerenakan bukan
termasuk ahli waris nasabiyah.

Saran

Demikianlah makalah ini yang telah kami selesaikan, semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi kita semua dan menjadi lebih baik kedepannya,
serta dengan ilmu pengetahuan baru yang terdapat dalam makalah ini diharapkan
mampu menambah wawasan dan pengetahuan untuk kita semua.

13
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah Mustari, Hukum Kewarisan Islam, (Makassar: Alauddin University
Press, 2013).

Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media


Grup, 2012)

As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid III, (Semarang : Toha Putera, 1972)

Maimun Nawawi, Pengantar Hukum Kewarisan Islam, (Surabaya : Pustaka Radja,


2016)

Muhammad Arief, Hukum Warisan dalam Islam, PT. Bina Ilmu, Surabaya, cet.
Pertama, 1986

Muhammad Muhyiddin Abdul Hamidi, Ahkam Al Mawarits fi AsySyari‟ah Al-


Islamiyah ala Madzahib Al-Arba’ah (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006)

Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, cet.
Pertama, April, 1982.

Suhrawardi K. Lubis, K. Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Lengkap dan


Praktis), Sinar Grafika, Jakarta, cet. Pertama, September 1995.

T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam yang Berkembang dalam
Kalangan Ahlus Sunnah, Bulan Bintang, Jakarta, cet. keenam, 1986

Vide R. Abdul Djamali, Hukum Islam (Asas-Asas Hukum Islam I, Hukum Islam
II), Mandar Maju, Bandung, cet. I, 1992.

Vide sayyid sabiq, Fiqh al Sunnah, Dar al Fikr, Beirut, Juz ke 3, cet. Pertama,
1977

Wahidah, Buku Ajar FIqih Waris

14

Anda mungkin juga menyukai