MAKALAH
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK XI (SEBELAS)
EKONOMI SYARIAH
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan
karunianya yang berupa kesehatan jasmani dan pikiran sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Aul dan Radd” Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Mawaris, dengan segala
keterbatasan ilmu dan pengetahuan yang kami miliki kami menyadari masih
banyak kekurangan dari makalah ini
Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak terkait sangat kami
butuhkan untuk perbaikan makalah ini. Dengan adanya makalah ini diharapkan
dapat dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi para pembacanya dan
dapat menginspirasi bagi para pembacanya.
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
4
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian aul?
2. Bagaimana kaidah aul?
3. Apa pengertian radd?
4. Bagaiamana kaidah radd?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian aul
2. Untuk mengetahui kaidah aul
3. Untuk mengetahui pengertian radd
4. Untuk mengetahui kaidah radd
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Aul
Kata-kata ‘aul berasal dari bahasa Arab, yang artinya lebih atau
banyak. 1 Al-’aul secara bahasa berarti irtifa' atau mengangkat. Dikatakan
'aalal miizaan bila timbangan itu naik, terangkat. Kata 'aul ini kadang
berarti cenderung kepada perbuatan aniaya (curang).2
Adapun pengertian aul yang dikemukakan oleh para ahli, yakni sebagai
berikut:
a. As-Sayyid Sabiq
1
Muhammad Arief, Hukum Warisan dalam Islam, PT. Bina Ilmu, Surabaya, cet. Pertama, 1986,
hal. 137.
2
Abdillah Mustari, Hukum Kewarisan Islam, Makassar: Alauddin University Press, 2013, Hlm.
146
3
Ibid, hlm. 146
4
Ibid, hlm. 146
6
aul adalah Adanya kelebihan saham dzawil furudh dan adanya
kekurangan kadar bagian mereka dalam pembagian harta warisan. 5
b. Muhammad Yusuf Musa
Kurangnya kadar (bagian) harta peninggalan atas kelebihan jumlah
saham para ahli waris.”
c. Hasanain Muhammad Makhluf
Adanya kelebihan dalam saham-saham para ahli waris dari
besarnya asal masalah, dan adanya kekurangan dalam kadar
penerimaan mereka karena asal masalahnya tidak cukup untuk
memenuhi fardh-fardh ashabul furudh.”
d. R. Abdul Djamali
memakai istilah ‘aulu’ dalam hal seluruh ahli waris memperoleh
bagian harta warisan berdasarkan ketentuan lebih besar dari kesatuan
harta warisannya. Berarti bahwa jumlah pembilang lebih banyak dari
penyebut dalam ganda persekutuan terkecil. 6 Pengertian yang lebih
ringkas dinyatakan dengan “Kasus kewarisan yang angka
pembilangnya lebih besar daripada penyebutnya.7Atau pengurangan
secara berimbang. 8
Dari uraian di atas dapatlah dipahami bahwa ‘aul adalah
adanya kelebihan jumlah saham daripada asal masalah, dan dengan
sendirinya terjadi pengurangan kadar (bagian) para ahli waris.
Aul biasanya terjadi ketika ahli waris banyak dan semuanya berasal
dari rumpun ahli waris dhaw al-furud, sehingga menghabiskan semua
harta dan bahkan bisa kekurangan harta, sehingga diperlukan meninggikan
asal masalah, agar semua ahli furud dapat memperoleh hakhaknya, namun
demikian konsekwensinya adalah adanya pengurangan kadar bagian yang
harus ditanggung oleh masing-masing ahli waris secara proporsional
namun tidak sampai kehilangan haknya. Misalnya seorang suami bagian
asalnya ½ jika tidak ada anak, karena diselesaikan secara ‘aul bisa saja
berkurang dari setengah menjadi 1/3.
B. Kaidah Aul
7
kepada penetapan pokok masalah. Sebab, ‘Aul tidaknya suatu kasus
kewarisan itu dilihat setelah ditentukannya fardh masing-masing waris,
kemudian diperoleh hasil bagian/hak para waris, dan dari penjumlahan itu
didapat persesuaian atau tidaknya antara angka pembilang dengan
penyebutnya.
C. Pengertian Radd
Ar-radd dalam bahasa Arab i'aadah berarti 'kembali/kembalikan'
atau juga bermakna sharf’ berpaling/palingkan'. Adapun ar-radd menurut
istilah ulama ilmu faraid ialah berkurangnya pokok masalah dan
bertambahnya/lebihnya jumlah bagian ashabul furudh.10
Dalam istilah, Ar-radd adalah berkurangnya pembagi (jumlah
bagian fardh) dan bertambahnya bagian para ahli waris. Hal ini disebabkan
sedikitnya ashab al-furudh sedangkan jumlah seluruh bagiannya belum
mencapai nilai 1, sehingga disana ada harta warisan yang masih tersisa,
sementara tidak ada seorangpun ashabah disana yang berhak menerima
sisa harta waris. Maka dalam keadaan seperti ini harus menurunkan atau
mengurangi pembaginya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi
jumlah ashab al-furudh yang ada, meskipun akhirnya bagian mereka
9
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam yang Berkembang dalam Kalangan
Ahlus Sunnah, Bulan Bintang, Jakarta, cet. keenam, 1986, hal. 348
10
Vide sayyid sabiq, Fiqh al Sunnah, Dar al Fikr, Beirut, Juz ke 3, cet. Pertama, 1977, hal. 444.
8
menjadi bertambah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ar-radd
adalah kebalikan dari al’aul. 11
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa radd adalah suatu
masalah/ kasus pewarisan yang jumlah sahamnya lebih kecil daripada asal
masalahnya, dan dengan sendirinya, terjadi penambahan kadar (bagian)
para ahli waris. Karena pada masalah radd ini ada penambahan kadar
kepada para ahli waris, maka pada masalah ini tidak terdapat ahli waris
ashabah. Sebab apabila ada ahli waris ashabah, maka kelebihan tersebut
akan menjadi hak penerimaannya.
Radd dapat dilakukan dengan menurunkan angka asal masalah dari
angka sebelumnya disesuikan dengan perolehan masing-masing ahli waris
yang tentunya lebih rendah dibandingkan dengan asal masalahnya.
Menurut jumhur ulama’ radd berlaku bagi ahli waris dhaw al furud yang
sudah dijelaskan menurut al-Qur’an dan Sunnah nabi, kecuali kepada
suami/istri. Suami/istri dinilai tidak berhak atas pengembalian harta
dikerenakan bukan termasuk ahli waris nasabiyah. 12
D. Kaidah Radd
Masalah radd terdiri dari empat kategori karena yang ada dalam
masalah bisa berupa satu golongan yang menerima radd,ata lebi, dan
dalam dua kondisi ini dalam masalah bisa ada satu ari kalangan yang tidak
mendapatkan radd, atau tidak ada. Adapun kaidah dari radd adalah sebagai
berikut:13
1. Kategori pertama, yang ada dalam masalah sau golongan dari kalangan
yang mendapatkan radd namun bersama mereka tidak ada orang yang
tidak mendapatkan radd dari salah satu suami istri, maka pokok
masalahnya ditetapkan sesuai dengan jumlah kepala mereka, karena
seluruh harta unuk mereka sebagai bagian tetap dan radd sekaligus,
maka pembagian didasarkan pada ajumlah kepala mereka.
Contohnya, orang yang wafat dengan meninggalkan dua anak
perempuan atau dua saudara perempuan atau dua nenek, maka pokok
masalahnya dari dua, masing-masing dari keduanya diberi seperdua
sebagai bagian tetap dan radd, karena kesamaan mereka berdua dalam
keberhakan. Dan siapa yang wafat dengan meninggalkan satu anak
perempuan maka untuk seluruh peninggalan sebagai bagian tetap dan
11
Abdillah Mustari, Hukum Kewarisan Islam, Makassar: Alauddin University Press, 2013,
hlm.150
12
Maimun Nawawi, Pengantar Hukum Kewarisan Islam, Surabaya, Pustaka Radja, 2016, Hlm.
165
13
El Madani, Tim. Tata Cara Pembagian Waris dan Pengaturan Wakaf. MediaPressindo, 2018.
9
radd. Dan siapa yang wafat denagn meninggalkan tiga saudara
perempuan kandung, maka bagi mereka seluruh peninggalan sebagai
bagian tetap dan radd, bagi masing-masing sepertiga.
2. Kategori kedua, yang ada dalam masalah lebih dari satu golongan dari
kalangan yang menerima radd, namun bersama mereka ada orang yang
tidak mendapatkan radd, maka pokok maslaahnya ditetapkann dari
jumlah saham bagian-bagian tetap bagi yang terhimpun yang diabilkan
dari hasil penyelesaian masalah.
Contohnya, nenek dan saudara perempuan seibu, maka untuk
masig-masing bagian dari keduanya adalah seperenam, pokok
masalahnya ditetpkan dari dua karena inilah jumlah saham mereka
berdua, karena pokok masalahnya dari enam yang merupakan hasil
penyelesaian seperenam, untuk nenek seperenam yang merupakan satu
paham, dan untuk saudara perempuan seibu seperenam, dan ini juga
satu saham. Dengan demikian jumlah saham mereka berdua adalah
dua, dan pokok masalah diabaikan dan jumlahsaham ditetapkann
sebagai pokok masalahnya.
Terkait tiga anak perempuan dan ibu, pokoknya ditetapkan lima,
maka anak-anak perempuan mengambil empat dan ibu mengambil satu
saham.
10
dapat menerima pembagian tanpa pemecahan bilangan berdasarkan
jumlah kepala orang-orang yang mendapatkan radd, maka
masalahnya dibulatkan dengan mengalihkan pokok masalah yaitu
delapan dengan bilangan terkecil yang dapat dibagi berdasarkan
kepada ada anak-anak perempuan yaitu empat, maka jumlahnya
mencapai tiga puluh dua saham, istri mengambil darinya
seperdelapan empat saham, dan sisanya dibagikan kepada anak-
anak perempuan, untuk masing-masing tujuh saham.
11
metode perhitungannya. Dengan pengertian lain bahwa pengaruh
ini nentinya akan menambah perolehan masing-masing waris yang
setelah menerima bagian yang telah ditentukan berdasarkan al
Qur’an atau hadis Nabi Saw.14
Radd terhadap ash habul furudh merupakan kebalikan dari aul,
aul sendiri merupakan pengurangan terhadap bagian dari ashab al
furudh. Sementara radd justru menambah lebih kepada mereka,
sebab aul karena saham ashab al furudh melebihi harta peninggalan
sementara radd adalah saham lebih sedikit dibandingkan dengan
seluruh harta peninggalan dan tidak ada yang berhak mengambil
sisa harta peninggalan, baik karena faktor kekerabatan atau wala.15
Semua sisa harta yang ada dikembalikan kepada ahli waris
furudh yang ada berdasarkan kadar furudh masing-masing, kalau
furudh yang ada adalah 1/3 dari harta maka, radd yang diterimanya
adalah 1/3 dari sisa harta itu dan begitu seterusnya. Ketentuan dan
cara pengembalian harta kepada furudh yang ada itu menjadi
perbincangan dikalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa
sisa harta yang ada diserahkan kepada ahli waris furudh yang ada
disebabkan oleh hubungan Rahim. Dengan demikian, ahli waris
furudh yang melalui sebab perkawinan tidak berhak menerima
pengembalian. Alasan pembatasan ini adalah oleh karena yang
menjadi alasan adanya radd tersebut adalah hubungan rahim
sedangkan suami istri atau istri kewarisannya disebabkan hukum
dan bukan karena hubungan rahim. 16
14
Wahidah, Buku Ajar FIqih Waris…,h. 37.
15
Muhammad Muhyiddin Abdul Hamidi, Ahkam Al Mawarits fi AsySyari‟ah Al-Islamiyah „ala
Madzahib Al-Arba‟ah (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 239.
16
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2012), h.
110.
12
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Saran
Demikianlah makalah ini yang telah kami selesaikan, semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi kita semua dan menjadi lebih baik kedepannya,
serta dengan ilmu pengetahuan baru yang terdapat dalam makalah ini diharapkan
mampu menambah wawasan dan pengetahuan untuk kita semua.
13
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah Mustari, Hukum Kewarisan Islam, (Makassar: Alauddin University
Press, 2013).
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid III, (Semarang : Toha Putera, 1972)
Muhammad Arief, Hukum Warisan dalam Islam, PT. Bina Ilmu, Surabaya, cet.
Pertama, 1986
Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, cet.
Pertama, April, 1982.
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam yang Berkembang dalam
Kalangan Ahlus Sunnah, Bulan Bintang, Jakarta, cet. keenam, 1986
Vide R. Abdul Djamali, Hukum Islam (Asas-Asas Hukum Islam I, Hukum Islam
II), Mandar Maju, Bandung, cet. I, 1992.
Vide sayyid sabiq, Fiqh al Sunnah, Dar al Fikr, Beirut, Juz ke 3, cet. Pertama,
1977
14