Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Islam adalah agama yang sempurna danrahmatan lil ‘alamin,hal tersebut
tergambardari tuntasnya berbagai hukum yang mengatur umatnya dan
dirumuskan dalam kitab suciyaitu Alquran juga hadis. Diantara hukum-hukum
yang ada di dalam Alquran salah satunyayaitu berkenaan tentang mawaris yaitu
kepusakaan harta terhadap meninggalnya seseorang.Dalam fikih mawaris
banyak masalah diatur hal-hal yang berkenaan dengan mawaris.

Diantara masalah itu ialah‘aul.‘aulialah suatu keadaan dimana harta yang


seharusnya dibagisesuai kadar masing-masing berdasarkan ketentuan syara
terjadi kelebihan jumlah harta dariharta pokok. Disini ulama berijtihad dalam
kitab-kitab fikih agar semua ashabul furudh tidakmerasakan kedzoliman
melainkan keadilan terhadap harta waris tersebut. Inilah yang akanpenulis
uraikan dalam makalah yang sederhana ini.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Aul’


Al-‘aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, diantaranya zalim dan
menyeleweng seperti dalam surat An-Nisa ayat 3 yaitu :

‫ع ۖ فَإِن خِ فتُم أَ َّل‬ َ ‫ساءِ َمثنَى َوث ُ ََل‬


َ ‫ث َو ُربَا‬ َ ِ‫اب لَ ُكم مِ نَ الن‬
َ ‫ط‬ َ ‫طوا فِي اليَتَا َمى فَان ِك ُحوا َما‬ ُ ‫َوإِن خِ فتُم أ َ َّل تُق ِس‬
‫ت َع ِدلُوا فَ َواحِ دَة أَو َما َملَكَت أَي َمانُ ُكم ۚ ذَلِكَ أَدنَى أ َ َّل تَعُولُوا‬

Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang
saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S. An-Nisa: 3)1

[265] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti
pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.

[266] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu.


sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh
Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai
empat orang saja.

Definisi al-‘aul menurut istilah yaitu bertambahnya jumlah harta waris


dari yang telah ditentukan dan berkurangnya bagian para ahli waris.

Aul adalah suatu situasi dimana fard / saham-saham para ahli waris yang
berkumpul dalam mewarisi melebihi dari harta yang dibagi.2

Terjadinya masalah aul apabila terjadi angka pembilang lebih besar dari
angka penyebut (mislanya 8/6), sedangkan biasanya harta selalu dibagi dengan
penyebutnya, namun apabila hal ini dilakukan akan terjadi kesenjangan
pendapatan, dan menimbulkan persoalan yaitu siapa yang lebih diutamakan dari
para ahli waris tersebut.

Apabila ahli waris terdiri atas dzul faraa-idh dan dzul qarabat maka harta
peninggalan akan habis terbagi pada pembagian pertama yaitu dengan cara dzul
faraa-idh mendapat bagiannya masing-masing dan sisanya untuk dzul qarabat.
Demikian pula jika ahli waris hanya terdiri atas dzul qarabat maka harta akan
habis pada pembagian pertama. Tetapi jika ahli waris hanya terdiri dari dzul
faraa-idh maka ada dua kemungkinan yaitu pada pembagian pertama harta akan

1
DEPAG, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya, 2002
2
A. Sukris Sarmadi, Trensedensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada, 1997, hlm. 186

2
habis sedangkan pada pembagian ke dua akan terdapat sisa harta.3 Dalam
penerima waris itu semuanya adalah dzul faraaidh dapat pula terjadi ketekoran.
Ketekoran ini berupa hasil pembagian pertama lebih dari 1 (satu). Hal ini
diselesaikan dengan pengurangan bagian masing-masing ahli waris tadi secara
berimbang. Pengurangan secara berimbang ini disebut ‘aul.4

2.2 Pro dan Kontra ‘Aul


Ahli farâid dari kalangan Sunni merumuskan kemungkinan kemungkinan
keadaan yang memerlukan pemecahan secara‘aul yang didasarkan karena alasan
jika dilakukan pembagian menurut ketentuan bagian fard, maka akan terjadi
kekurangan harta waris untuk dibagikan kepada ahliwaris. Beberapa
kemungkinan itu dinyatakan dengan nama-nama tertentu seperti mubâhalah,
gharrâ’, ummu al -furûkh, ummu al-arâmil, mimbariyah dan lain sebagainya5.
Secara lebih detail kemungkinan-kemungkinan itu diklasifikasikan berdasarkan
asal masalah 6, 12 dan 24.6

Keadaan yang menimbulkan ‘aul dalam asal masalah 6 antara lain; a) asal
masalah enam yang dinaikkan (‘aul) menjadi 7 yaitu apabila ahliwaris terdiri dari
suami dan dua saudari kandung. b) Asal masalah 6 yang dinaikkan menjadi 8
(dikenal dengan mubâhalah) yaitu jika ahliwaris terdiri dari suami, saudari
kandung dan ibu. c) Asal masalah 6 yang dinaikkan menjadi 9, misalnya
permasalahan yang dikenal dengan marwâniyah, ketika ahliwaris terdiri dari
suami, dua saudari seibu, dan dua saudari kandung. Contoh lain yaitu bila
ahliwaris terdiri dari suami, ibu, saudari kandung, saudari seayah dan saudari
seibu. d) Asal masalah 6 yang dinaikkan menjadi 10, misalnya kasus al-
syarîhiyah yaitu ahliwaris yang terdiri dari Suami, ibu, dua saudari kandung, dan
dua saudari seibu. Contoh lain untuk kondisi ini yaitu ahli waris yang terdiri dari
suami, ibu, dua saudari seibu, satu saudari kandung dan saudari seayah.7

Selanjutnya, keadaan dari masalah 12 yang menimbulkan masalah ‘aul


yaitu: a) Asal masalah 12 yang dinaikkan menjadi 13, misalnya ahliwaris terdiri
dari istri, dua saudari kandung, dan saudari seibu. Contoh lain yaitu ahliwaris
yang terdiri dari suami, dua anak perempuan dan ibu. b) Asal masalah 12 yang
dinaikkan menjadi 15, misalnya ahliwaris terdiri dari suami, dua anak perempuan
dan ayah. Contoh lain pada kondisi ini yaitu ahliwaris yang terdiri dari istri, dua
saudari kandung dan dua saudari seibu. c) Asal masalah 12 yang dinaikkan

3
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), hlm.
160
4
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 1993, hlm. 96
5
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, 1st ed. (Jakarta Timur: Prenada Media, 2004), 101–3.
6
Al-Zuhaylî, Al-Fiqh al-Islamî Wa Adillatuh, 7822 – 24.
7
Al-Zuhaylî, 7822–23.

3
menjadi 17, misalnya ahliwaris terdiri dari Istri, ibu, dua saudari kandung dan
dua saudari seibu.8 Sementara itu, asal masalah 24 yang menimbulkan ‘aul hanya
dalam satu keadaan yang dikenal dengan kasus al-mimbariyah ketika imam ‘Ali
ditanyakan prihal masalah kewarisan ketika ia berada di atas mimbar yaitu dalam
keadaan ahliwaris terdiri dari istri, dua anak perempuan, ibu dan ayah. Dalam
konteks ini asal masalah dinaikkan menjadi 27.9

Dari uraian mengenai kemungkinan-kemungkinan terjadinya masalah ‘aul


di atas, terlihat bahwa Sunni dalam hal ini menyelesaikan permasalahan kasus
dengan cara yang sama antara satu kasus dengan kasus yang lain meskipun
beberapa kasus diberikan nama-nama yang berbeda. Kesamaan penyelesaian
tersebut dilakukan dengan menaikkan asal masalah atau penyebut untuk
mengurangai bagian ahli waris secara merata. Alasan untuk mengurangi bagian
ahliwaris secara merata dikarenakan apabila tidak dikurangi maka harta waris
akan tidak cukup untuk dibagikan kepada seluruh ahliwaris. Sementara itu jika
mengurangi salah satu bagian ahliwaris saja tidak dilakukan oleh Sunni karena
tidak diketahui siapa yang harus didahulukan untuk mendapatkan bagian secara
utuh sesuai ketentuan al-Quran dan siapa yang harus diakhirkan untuk dikurangi
bagiannya. Inilah yang pada awalnya menjadi alasan ‘Umar untuk kemudian
myelesaikan permasalahan dengan cara ‘aul dan kemudian diikuti oleh ulama’
Sunni. Dalam hal ini ‘Umar berkata10:

“Demi Allah aku tidak tahu siapa diantara kalian yang didahulukan dan
diakhirkan Allah, dan aku tidak mendapati cara perhitungan yang lebih tepat
untuk membagi harta ini diantara kalian”

2.3 Cara Berhitung Masalah‘Aul


Kita harus meng-‘aul-kan pokok masalahnya hingga sesuai dengan
jumlah bagian yang harus diberikan kepada para asbabul furudh. Sekali lagi
ditegaskan, dalam masalah al-mimbariyah ini pokok masalah dua puluh empat
hanya bisa di-‘aul-kan menjadi angka dua puluh tujuh.

8
Al-Zuhaylî, 7823–24
9
Al-Zuhaylî, 7824.
10
Ibn Hazm, Al Muhalla bi al Atsâr, 279.

4
Contoh disertai harta warisan: seorang meninggal harta warisannya Rp.
60.000.000,- Ahli warisnya terdiri dari : istri, ibu, dua saudara perempuan
sekandung dan saudara seibu. Bagian masing-masing :

Penyelesaian :

AW Bag AM HW Penerimaan

12 Rp.60.000,000,-
Istri 1/4 3 3/12 Rp.60.000.000,- Rp. 15.000.000,-
Ibu 1/6 2 2/12 Rp.60.000.000,- Rp. 10.000.000,-
2 Sdr.skd 2/3 8 8/12 Rp.60.000.000,- Rp. 40.000.000,-
Sdr.seibu 1/6 2 2/12 Rp.60.000.000,- Rp.10.000.000,-
15 Jumlah Rp. 75.000.000,-

Hasilnya terjadi kekurangan sebesar Rp. 15.000.000,-. Apabila diselesaikan


dengan cara aul, maka dapat diperoleh :

AW Bag AM HW Penerimaan

12 menjadi 15 Rp.60.000,000,-
Istri 1/4 3 3/15 Rp.60.000.000,- Rp. 12.000.000,-
Ibu 1/6 2 2/15 Rp.60.000.000,- Rp. 8.000.000,-
2 Sdr.skd 2/3 8 8/15 Rp.60.000.000,- Rp. 32.000.000,-
Sdr.seibu 1/6 2 2/15 Rp.60.000.000,- Rp. 8.000.000,-
15 Jumlah Rp. 60.000.000,-

5
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Menurut fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam apabila terjadi
kekurangan harta ketika pembagian warisan dimana angka pembilang lebih besar
dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka
pembilang dan inilah yang dinamakan ‘aul.

Menurut fiqh Islam apabila terjadi kelebihan harta ketika pembagian


warisan dimana pembilang lebih kecil daripada penyebut maka sisa harta
dibagikan ke delapan ahli waris tanpa suami, istri, ayah, dan kakek ke atas.
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam, sisa harta dibagikan ke semua ahli
waris tanpa terkecuali.

Persamaan mengenai aul antara fiqh Islam dan Kompilasi Hukum islam
yaitu ketika angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka
penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang. Sedangkan persamaan radd
yaitu tentang ahli waris yang berhak mendapatkan sisa harta dalam
masalah radd terjadi pada delapan ahli waris ash-hab al-furudl. Dalam
masalah aul tidak ada perbedaan sedangkan dalam masalah radd ada perbedaan
yaitu dalam kompilasi Hukum Islam ahli waris suami, istri, ayah dan kakek keatas
berhak mendapat radd.

6
References

A. Sukris Sarmadi. (1997, hlm. 186). Trensedensi Keadilan Hukum Waris Islam
Transformatif. , Jakarta :: PT. RajaGrafindo Persada, .

Al-Zuhaylî, 7. (n.d.).

Al-Zuhaylî, 7.–2. (n.d.).

DEPAG. (2002). Al-Qur’an dan Terjemahnya, . Surabaya, .

Ibn Hazm, A. M. ( 279.).

K., S. (1995), hlm. 160). Lubis dan Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam, . (Jakarta
: : Sinar Grafika, .

Sajuti Thalib. (1993, hlm. 96). Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,. Jakarta : :
Sinar Grafika, .

Anda mungkin juga menyukai