Anda di halaman 1dari 8

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw merupakan sebuah aturan yang lengkap dan sempurna, yang mengatur segala aspek kehidupan untuk keselamatan dunia dan akhirat. Salah satu syariat yang diatur dalam ajaran Islam adalah tentang hukum waris, yakni pemindahan harta warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya serta perhitungan waris kepada hak-hak yang seharusnya mendapatkan perhitungan sempurna tetapi di Aul kan. Hukum waris yaitu segala jenis harta benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah dan sebagainya. Hukum waris menurut Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 171 (a) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Tata cara pembagian harta warisan dalam Islam telah diatur dengan sebaik-baiknya. Alquran menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Pembagian masing-masing ahli waris baik itu laki-laki maupun perempuan telah ada ketentuannya dalam Alquran. 'Aul menurut bahasa mempunyai arti berbuat dzalim dan menyimpang, tambahan dan naik. Menurut istilah ialah lebih besarnya jumlah yang harus dibagikan dalam perhitungannya. Al-munasakhah, menurut bahasa artinya memindahkan dan al-izalah artinya menghilangkan. Sedangkan menurut ulama fiqih artinya situasi kondisi di mana salah seorang dari ahli waris meninggal dunia sebelum pembagian warisan. Apabila keadaan demikian, hak orang yang meninggal itu atas harta waris berpindah kepada ahli warisnya. Berikut keadaan yang mungkin saja di hadapi : Apabila seseorang meninggal dunia, kemudian ia meninggalkan ahli waris 4 orang anak, sedangkan salah 1 dari anak tersebut meninggal dunia, lalu ia tidak mempunyai ahli waris lain, selain dari ke-3 saudaranya, maka dalam kasus ini tidak ada yang dapat mewarisi kecuali saudaranya tersebut. Firman Allah swt: ( :7)

Artinya: Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (An-Nisa: 7) Dalam syariat Islam telah ditetapkan bahwa bagian ahli waris laki-laki lebih banyak dari pada bagian perempuan, yakni ahli waris laki-laki dua kali bagian ahli waris perempuan.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana cara pembagian warisan yang di nasakh kan? 2. Bagaimana Perhitungan Hisab Mawaris, Aul dan Munasakhah? C. Ruang Lingkup Masalah Bab 1: Pendahuluan terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, ruang lingkup, tujuan rumusan masalah dan metode. Bab 2: Pembahasan terdiri dari pembagian warisan dengan jalan Hisab Mawaris, Aul dan Munasakhah serta yang berhak mendapatkannya Bab 3: Penutup terdiri dari kesimpulan dan daftar pustaka D. Tujuan Rumusan Masalah Bahan informasi tentang praktik pembagian Hisab Mawaris, Aul dan Munasakhah. E. Metode Metode yang kami lakukan adalah studi pustaka dengan contoh-contoh yang dipresentasikan dan didiskusikan bersama.

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Aul 'Aul menurut bahasa mempunyai arti berbuat dzalim dan menyimpang, tambahan dan naik. Menurut istilah ialah lebih besarnya jumlah yang harus dibagikan dalam perhitungannya. B. Kapan Aul dilakukan Para perawi menyebutkan bahwa masalah Aul terjadi ketika seseorang meninggal, meninggalkan ahli waris, seorang suami dan 2 saudara perempuan kandung. Dalam masalah ini, suami mendapatkan bagian tetap separuh dan 2 saudara perempuan mendapatkan bagian tetap dua per tiga. Bagian tetap (fardh) tersebut ternyata melebihi jumlah harta waris. Kemudian, masalah ini diadukan kepada Umar r.a.. Sang suami menuntut bagiannya secara sempurna dan dua orang saudara perempuan si mayit pun menuntut yang demikian. Saat itu, Umar r.a. ragu untuk memutuskan, akhirnya dia bermusyawarah dengan beberapa orang sahabat tentang hal itu. Umar r.a. berkata demi Allah aku tidak tahu siapa diantara kalian yang didahulukan dan diakhirkan Allah? Jika aku memberikan suami haknya secara sempurna, pastilah dua saudara perempuan tidak bisa mendapatkan haknya. Jika aku memberikan dua saudara perempuan haknya secara sempurna, pastilah sang suami yang tidak mendapatkan haknya. Ketika itu Abbas bin Abdul Muthalib mengusulkan Aul. Diriwayatkan bahwa Abbas berkata, Wahai Amirul Mukminin, apa pendapat Anda, jika seorang laki-laki meninggal dan meninggalkan 6 dirham. Seorang ahli waris memiliki hak 3 dirham dan seorang lagi memiliki hak 4 dirham. Bagaimana Anda memecahkannya? Bukankah anda akan menjadikan harta itu tujuh (7) bagian?. Benar, Jawab Umar r.a. Demikianlah penyelesaian untuk masalah ini kata Abbas, Umar r.a. akhirnya menyetujui pendapat itu. Demikian halnya para sahabat, sehingga terjadilah Ijma atas masalah ini. Ketika masa Umar r.a. telah berlalu, dan kekhalifahan dipegang oleh Utsman r.a., Ibnu Abbas menampakkan ketidaksetujuannya dengan pendapat ayahnya dan ia menentang Aul ini. Abdullah ibnu Masud berkata, aku bertemu dengan Zafar bin Aus ath-Thai. Ketika itu, kami berjanji akan menemui Ibnu Abbas dan berbincang-bincang dengannya. Ibnu Abbas berkata, Sesungguhnya, Zat yang dapat menghitung pasir (Allah), tidak pernah menjadikan pada warisan itu separuh (), separuh () dan sepertiga (). Bagian separuh () yang kedua, telah menghabiskan harta waris. Kemudian, mana bagian untuk sepertiga ()? Zafar bertanya, Siapakah orang yang pertama kali mengaul-kan masalah itu? Ia menjawab, umar. Kemudian Ibnu Abbas berkata lagii, Demi Allah, jika mereka mendahulukan siapa yang didahulukan Allah dan mengakhirkan siapa yang diakhirkan-Nya, pastilah tidak aka nada Aul pada kewajiban.

Zafar bertanya kembali, Siapa yang didahulukan dan siapa yang diakhirkan? Ibnu Abbas menjawab, Orang yang digugurkan dari satu bagian kemudian menjadi Ash-habul Furudh, itulah yang didahulukan. Orang yang digugurkan dari penerima bagian tetap (Ash-habul Furudh), menjadi penerima bagian sisa (Ashabah), itulah yang diakhirkan. Ibnu Abbas memasukkan anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan kandung, dan saudara perempuan sebapak dalam an-naqshu (pengurangan). Beliau mendahulukan suami, istri, ibu dan nenek, karena mereka mewarisi bagian tetap (Al-Furudh) dalam situasi apapun, sedangkan anak perempuan dan saudara perempuan, terkadang mewarisi bagian tetap dan ada kalanya mewarisi Ashabah. Oleh karena itu, Ibnu Abbas memasukkan mereka dalam An-naqshu (pengurangan) dan memberikan batasannya. Dengan demikian, tidak ada Aul sama sekali. Atha rahimahullah meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Ibnu Abbas r.a., Bagaimana Anda menyelesaikan masalah Aul? Ibnu Abbas r.a menjawab, Anak perempuan dan saudara perempuan. Kemudian Atha berkata kepada Ibnu Abbas, Mengapa Anda tidak mengatakan itu kepada Umar ibnul Khaththab? Ia menjawab, Umar adalah orang yang berwibawa, aku segan terdadapnya. Atha berkata lagi, Ini alasan yang tidak memuaskan bagiku juga bagi Anda. Seandainya Anda atau aku yang meninggal, pastilah warisan kita akan dibagi sesuai pendapat yang dipegang umat saat itu, (yakni Aul, pent). Ibnu Abbas berkata, Katakan kepada mereka yang mengatakan Aul itu, untuk berkumpul dengan kita. Kemudian kita sama-sama mengadu dan memohon agar laknat Allah diturunkan bagi para pendusta. Sesungguhnya, Zat yang dapat menghitung pasir Alaj tidak pernah menjadikan separuh (), separuh () dan sepertiga () dalam masalah waris. Jika dua orang mengambil haknya yang setengah () itu, dimanakah yang sepertiga ()? C. Asal Masalah yang Bisa di-Aul-kan dan yang tidak Sebelumnya telah dijelaskan bahwa asal masalah dalam ilmu faraidh ada tujuh, yang dikelompokkan menjadi dua, yakni yang tidak bisa di-aul-kan dan yang bisa di-aul-kan. Asal masalah yang tidak bisa di-aul-kan ada empat, yakni 2, 3, 4, dan 8. Sementara itu, asal masalah yang bisa di-aul-kan ada tiga yakni 6, 12, dan 24. 1. Beberapa contoh asal masalah 6, yang bisa di-aul-kan menjadi 7, 8, 9, dan 10 Contoh pertama. Seorang wanita meninggal dunia, meninggalkan ahli waris: suami, saudara perempuan sebapak, dan saudara seibu. Suami Saudara perempuan sebapak Saudara seibu 3 3 1

Asal masalah dalam contoh ini adalah 6, kemudian di-Aul-kan menjadi 7.

Contoh kedua. Seorang wanita meninggal dunia, meninggalkan ahli waris: suami, 2 saudara perempuan kandung, dan seorang ibu. Suami 2 saudara perempuan kandung Ibu 3 4 1

Asal masalah dalam contoh ini adalah 6, kemudian di-Aul-kan menjadi 8. Contoh ketiga. Seorang wanita meninggal dunia, meninggalkan ahli waris: suami, saudara perempuan kandung, ibu dan 2 saudara seibu. Suami Saudara perempuan kandung Ibu 2 saudara seibu 3 3 1 2

Asal masalah dalam contoh ini adalah 6, kemudian di-Aul-kan menjadi 9. Contoh keempat. Seorang wanita meninggal dunia, meninggalkan ahli waris: suami, 2 saudara perempuan kandung 2 saudara perempuan seibu, dan ibu. Suami 2 saudara perempuan kandung 2 saudara perempuan seibu Ibu 3 4 2 1

Asal masalah dalam contoh ini adalah 6, kemudian di-Aul-kan menjadi 10. 2. Beberapa contoh asal masalah 12, yang bisa di-aul-kan menjadi 13, 15, dan 17 Contoh pertama. Seorang laki-laki meninggal dunia, meninggalkan ahli waris: istri, saudara perempuan sebapak, ibu, dan saudara perempuan seibu. Istri Saudara perempuan sebapak Ibu Saudara perempuan seibu 3 4 2 1

Asal masalah dalam contoh ini adalah 12, kemudian di-Aul-kan menjadi 13. Contoh kedua. Seorang laki-laki meninggal dunia, meninggalkan ahli waris: istri, 2 saudara perempuan kandung, dan 2 saudara perempuan seibu. Istri 2 saudara perempuan kandung 2 saudara perempuan seibu 4 3 8 4

Asal masalah dalam contoh ini adalah 12, kemudian di-Aul-kan menjadi 15. Contoh ketiga. Seorang laki-laki meninggal dunia, meninggalkan ahli waris: istri, 2 saudara perempuan sebapak, 2 saudara perempuan seibu, dan ibu. Istri 2 saudara perempuan sebapak 2 saudara perempuan seibu Ibu 4 3 8 4 2

Asal masalah dalam contoh ini adalah 12, kemudian di-Aul-kan menjadi 17. 3. Contoh asal masalah 24, yang bisa di-aul-kan menjadi 27 Seorang laki-laki meninggal dunia, meninggalkan ahli waris: istri, 2 anak perempuan, bapak, dan ibu. Istri 2 anak perempuan Bapak Ibu 8 3 16 4 4

Asal masalah dalam contoh ini adalah 24, kemudian di-Aul-kan menjadi 27. Dalam masalah Aul ini, kita tidak perlu lagi memperhatikan asal masalah yang pertama, namun kita menjadikan jumlah seluruh bagian setelah di-Aul-kan sebagai asal masalah baru, yang menjadi dasar cara menghitung pembagian warisan. Karena itu, pengurangan akan terjadi atas bagian para Ash-habul Furudh, sekadar perbedaab bagiannya yang dinisbatkan ke asal masalah dan bagiannya yang dinisbatkan ke Aul-nya. Pada masalah yang terakhir ini, bagian istri berkurang dari tiga per dua puluh empat (3/24) menjadi tiga per dua puluh tujuh (3/27), atau berkurang dari seperdelapan (8) menjadi sepersembilan (9), karena ada Aul. Bagian istri yang seperdelapan (8) tersebut sesuai dengan asal masalah yang pertama, kemudian berkurang menjadi sepersembilan (9) sesuai dengan jumlah bagian para ahli waris. Persoalan di atas pernah ditanyakan oleh seseorang kepada Ali bin Abi Thalib r.a. di Kufah. Ketika Ali berada di atas mimbar, seseorang berkata, Bukankah istri mendapatkan bagian seperdelapan (8)? Di sela khotbahnya, Ali menjawab, Bagian wanita yang seperdelapan (8) itu menjadi sepersembilan (9). Pada saat itu, hadirin takjub dengan keterangan dan kepandaian Ali. Karenanyalah, masalah ini terkenal dengan Al-Mimbariyah.

BAB III KESIMPULAN Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa ada dua pendapat tentang Aul. Pertama, pendapat Umar Ibnul Khaththab, yakni harta waris dibagikan kepada Ash-habul Furudh sesuai nisbat bagian tetap mereka, bukan berdasarkan nilai asalnya. Pengurangan (An-naqshu) dilakukan terhadap bagian mereka masing-masing, jika warisan itu tidak bisa memenuhi hak semuanya. Pendapat ini dipegang oleh jumhur fuqaha, diantaranyan az-Zaidiyah. Adapun dalil yang menjadi sandaran dari pendapat ini adalah sebagai berikut : 1) Bagian tetap, yang berhubungan dengan harta waris, semuanya sama dalam sebab mendapatkannya, karena bagian itu telah ditetapkan berdasarkan nash. Oleh sebab itu, semuanya sama dalam hak, tidak ada yang terdahulu dan terakhir. Jika harta waris itu tidak memenuhi semua hak ahli waris, tidak boleh salah seorang dari mereka mengambil haknya secara penuh, sedangkan yang lain menerimanya, tidak penuh atau tidak kurang. 2) Ash-habul Furudh dalam situasi ini, seperti orang yang berhutang. Jika harta yang diwariskan itu tidak bisa menutupi semua hutang mereka, harta itu dibagi sesuai jumlah hutang mereka. Kedua, pendapat Ibnu Abbas r.a.. Sebagaimana yang telah kami sebutkan, beliau berpendapat bahwa bagian tetap itu lebih kuat daripada bagian yang lainnya, karena ada diantara bagian tetap, yang tidak bisa dikurangi, dan ada yang bisa dikurangi. Bagian tetap suami-istri tidak bisa dikurangi, demikian juga dengan bagian tetap untuk ibu dan nenek. Adapun yang bisa terjadi terhadap mereka adalah perpindahan dari bagian tetap yang lebih tinggi menjadi lebih rendah. Sedangkan anak perempuan dan saudara perempuan, dapat berpindah dari mewarisi bagian tetap menjadi Ashabah. Dengan demikian, kelompok pertama lebih kuat daripada kelompok yang kedua, dan bagian tetap kelompok pertama wajib diberikan penuh. Pengurangan dilakukan terhadap bagian kelompok kedua, sehingga mereka mewarisi bagiannya yang telah dikurangi. Karena itu, dalam hal ini tidak ada Aul sama sekali. Sementara itu, azh-Zhahiriyah dan al-Imamiyah mengambil pendapat Ibnu Abbas. Ibnu Syihab azZuhriy mendukung pendapat ini. Dia berkata, Seandainya Ibnu Abbas adalah seorang yang wara, tidak pernah ada dua orang ahli ilmu yang menyalahinya. Namun banyak para ulama yang memberikan komentar terhadap pendapat Ibnu Abbas di atas, yakni pendapat tidak ada Aul sama sekali. Berikut ini tiga dari sekian banyak komentar yang diberikan terhadap pendapat tersebut. Pertama, tidak benar bahwa bagian tetap yang satu lebih kuat dari bagian tetap yang lain. Semua ahli waris, pada situasi ini, adalah Shahibu Fardhin (Orang yang mendapatkan bagian tetap). Dengan demikian, tidak ada seorang pun yang boleh didahulukan atas orang lain, karena semuanya sama dalam sebab perolehan haknya, mendapatkan bagian tetap yang berhubungan dengan harta waris. Kedua, seandainya anak perempuan dan saudara perempuan dapat berpindah dari Ash-habul Furudh menjadi Ashabah dalam beberapa situasi, sebenarnya ini bukan kelemahan dalam hal mewarisi, karena ke-Ashabah-an adalah salah satu sebab mewarisi yang kuat. Kemudian,

bagaimana mungkin bisa ditetapkan pengurangan atau penghalangan dalam pandangan ini? Bahkan, sebagian ulama juga mengatakan bahwa anak perempuan lebih kuat dari suami dan istri. Saudara perempuan pun lebih kuat dari ibu. Alasannya, anak perempuan bisa menghalangi suami untuk mendapatkan bagian separuh () menjadi seperempat (4). Ia juga bisa menghalangi istri untuk mendapatkan bagian seperempat (4) menjadi seperdelapan (8). Saudara perempuan bisa menghalangi ibu untuk mendapatkan bagian separuh () menjadi seperempat (), dan ibu tidak bisa menghalangi mereka. Jika keadaannya demikian, bagaimana yang lemah bisa menghalangi yang kuat? Ketiga, sebenarnya, dalam pendapat Ibnu Abbas ada bagian yang menganulir atau membatalkan bagian yang lain. Hal ini terlihat jelas dalam masalah yang dinamakan oleh jumhur ulama sebagai alilzam atau an-naqishah. Sebab, berkaitan dengan masalah itu, Ibnu Abbas harus mengatakan Aul dan menganulir pendapatnya. Misalnya, seorang wanita meninggal, meninggalkan ahli waris: suami, ibu, dan 2 saudar seibu. Jika Ibnu Abbas mengatakan ibu terhalang untuk mendapatkan bagian sepertiga () menjadi seperenam () karena adanya saudara si mayit, sehingga tidak ada Aul, maka pendapat itu menyalahi pendapat beliau sebelumnya. Karena menurutnya, ibu tidak terhalang, kecuali oleh 3 orang saudara atau lebih. Jika ada seseroang yang mengatakan bahwa ibu mendapatkan bagian sepertiga (), 2 saudara seibu mendapatkan seperenam (), dan pengurangan dilakukan terhadap bagian saudara seibu, sesungguhnya itu bukan pendapat Ibnu Abbas, karena mereka tidak bisa berpindah untuk mewarisi dengan Ashabah. Bahkan, hal itu menyalahi Al-Quran. Jika demikian, masalahnya pasti menjadi Aul. Berdasarkan uraian di atas jelaslah bagi kita bahwa pendapat jumhur ulama adalah pendapat yang paling rajih (kuat) karena lebih adil, dengan menyamakan kedudukan para ahli waris dalam pengurangan bagian mereka.

Anda mungkin juga menyukai