DISUSUN
Oleh :
ANI SULISTYAWATI
Makalah ini di susun oleh penulis dengan berbagai rintangan. Baik itu yang
datang dari diri penulis maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh
kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penulis
mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Salah satu contohnya adalah yang terdapat dalam al-Qur’a>n 4: 9. Kaitannya dengan ini,
lihat: Alwi Shihab, Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan,
1997), 172-173
2
Perhitungan ini sebagaimana yang dikutip oleh Mustaq Ahmad dari disertasi CC. Torrey, The
Commercial-Theological Terms in the Koran. Lihat Mustaq Ahmad, Business Ethics in Islam
(Pakistan: The International Institute of Islamic Thought, 1999), 16.
3
M. Abdul Manan, Islamic Economic, Theory and Practice (New Delhi: Idarat-i Delhi, 1980),
60
1
Di negara berkembang, termasuk Indonesia, ternyata dalam
prakteknya lebih mengarah pada pandangan yang kedua. Hal ini terjadi
karena ada pandangan bahwa demokrasi politik membutuhkan beberapa
syarat yang berkaitan dengan ekonomi, di antaranya: pertama, tingkat
pendapatan masyarakat. Dengan pendapatan yang besar, negara atau
masyarakat bisa mengeluarkan biaya dalam usaha peningkatkan mutu
pendidikannya, sehingga bisa memperluas partisipan demokrasi yang sehat.
Dengan kata lain, ketika seseorang sudah bisa memenuhi kebutuhan
pokoknya, maka dia akan berusaha untuk meningkatkan kualitas hidupnya
dengan melakukan partisipasi dalam kehidupan politik. Kedua, bahwa
bantuan dari pemerintah yang selama ini diberikan pada masyarakat justru
malah menciptakan situasi ketergantungan. Motivasi masyarakat akan
tergantung oleh rangsangan yang berupa materiil, sehingga partisipasi
masyarakat hanya terjadi pada sektor-sektor yang mendapat bantuan dari
pemerintah. Ketiga, perlunya lembaga-lembaga yang bisa merangsang
peran serta masyarakat sendiri. Lembaga-lembaga ini bertujuan untuk
menyediakan wadah partisipasi bagi masyarakat, yaitu wadah yang lebih
bisa mempersatukan dan bisa mencegah terjadinya konflik, seperti KUD,
PKK, dan lain sebagainya. Lembaga-lembaga ini harus disetting sedemikian
rupa sehingga masyarakat benar-benar merasa memilikinya dan ikut
bertanggungjawab mengelola dan mengembangkannya.4
4
M. Dawam Rahardjo, Perekonomian Indonesia; Pertumbuhan dan Krisis (Jakarta: LP3ES,
1997), 196-199
2
BAB II
PEMBAHASAN
5
Izzan, Ahmad, Referensi Ekonomi Syariah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hlm.
32.
3
1.3 Karakteristik Ekonomi Kapasitas Islam dan Sosial
Ekonomi islam berbeda dengan faham ekonomi lainnya, Kapitalisme6 dan
komunisme7. Titik tolak perbedaan tersebut terangkunm dalam penjabaran
berikut:
1.1.1 Nidham Robbani (tunduk pada aturan Tuhan).
Ekonomi islam adalah ekonomi ilahiah, karena titik berangkatnya dari
Allah, tujuannya hanya menggapai ridha Allah dan cara-cara yang
diimplementasikan tidak bersebrangan dengan syari’at-Nya.8
Kegiatan ekonomi, baik produksi, konsumsi, penukaran, dan
distribusi, diikatkan pada prinsip Ilahiah dan pada tujuan Ilahi.
1.1.2 Iqtishad Aqdi ( ekonomi islam berpangkal aqidah)
Ekonomi dalam pandangan islam, bukanlah tujuan itu sendiri, tetapi
merupakan kebutuhan bagi manusia dan sarana yang lazim baginya
agar bisa hidup dan bekerja untuk menggapai tujuannya yang tinggi.
Ekonomi sebagai sarana penunjang baginya dan menjadi pelayan bagi
aqidah dan risalahnya.
Ekonomi adalah bagian dari islam. Ia adalah bagian yang dinamis dan
bagian yang penting, tetapi bukan asas dan dasar bagi bangunan islam,
bukan titik pangkal ajarannya, bukan tujuan risalahnya, bukan ciri
peradabannya dan bukan pula cita-cita umatnya.9
1.1.3 Kontrol iman sebagai benteng pengawasan internal.
Ekonomi islam yang rabbani adalah pengawasan internal atau hati
nurani, yang ditumbuhkan oleh imam dalam hati seorang muslim, dan
menjadikan pengawas bagi dirinya.
Hati nurani seorang muslim tidak akan mengizinkan untuk mengambil
yang bukan haknya, memakan harta orang lain dengan cara yang batil,
juga tidak memanfaatkan kebutuhan orang yang mendesak, atau
memanfaatkan krisis makanan.
6
Sistem kapitalis sangat jelas pada pengkultusan individu, kepentingan pribadi, dan kebebasan
yang hampi-hampir bersifat mutlak dalam pemilikan, pengembangan dan pembelanjaan harta.
Pola pikir kemanfaatan individualistik, yang tidak peduli dengan kepentingan yang lain, apalagi
jika bertentangan dengan kepentingan pribadinya. Perhatian utamanya pada persaingan, dengan
upaya mengalahkan lawan pesaing.
7
Ruh sistem komunis tercermin pada pemasungan naluri untuk memiliki dan menjadi kaya.
Komunisme memandang kemaslahatan masyarakat , yang diwakili oleh negara, adalah di atas
setiap individu.
8
Muhammad Rawwis qal’ah, Mabahist fi al-Iqtishad al-islami, (Bairut: Dar an-Nafais, 1991),
55
9
Yusuf Qardhawi, Daurul Qiyam wal Akhlaq fil Iqtishodil Islami (Mesir: Maktabah Wahbah,
1995). diterjemah Didin Hafidhuddin, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam,
(Jakarta: Robbani Press, 1997), 25-28
4
Seorang muslim tidak akan memanfaatkan kesempatan untuk meraup
milyaran rupiah dari kelaparan orang yang lapar dan penderitaan
orang yang menderita.10
1.1.4 Ekonomi berakhlaq (antara ekonomi dan akhlaq)
Hal yang membedakan antara sistem ekonomi islam dengan sistem
ekonomi lainnya, adalah bahwa antara ekonomi dan akhlaq tidak
pernah terpisah sama sekali seperti halnya tidak terpisahnya sepasang
merpati.
Karena risalah islam adalah risalah akhlaq, sehingga Rasulullah
bersabda: “Sesungguhnya tiadalah aku diutus, melainkan hanya untuk
menyempurnakan akhlaq”.
Kita dapati ekonomi islam sangat berangkulan erat dengan akhlaq.
Kesatuan antara ekonomi dan akhlaq ini akan semakin jelas pada
setiap langkah-langkah ekonomi, baik yang berkaitan dengan
produksi, distribusi, peredaran, dan konsumsi.
Seorang muslim baik secara pribadi maupun secara bersama-sama,
tidak bebas mengerjakan apa saja yang diinginkannya, atau apa yang
menguntungkannya saja.
Sesungguhnya setiap muslim terikat oleh iman dan akhlaq pada setiap
aktifitas ekonomi yang dilakukannya, baik dalam melakukan usaha,
mengembangkan maupun menginfaqkan hartanya.11
10
Ibid., 33-36
11
Muhammad Rawwis qal’ah, Op. Cit., 56-57
5
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Dalam Islam, tidak ada satupun ajaran yang menganjurkan umatnya
untuk menjadi pengemis, pemalas dan miskin. Justru Islam mengajarkan
untuk bisa membayar zakat, bukan menerima zakat; Islam mengajarkan
umatnya untuk bisa memberi, bukan meminta. Ini menunjukkan Islam
mengajarkan umatnya berdaya di bidang ekonomi, karena untuk bisa
membayar zakat, berinfak, dan bersadaqah seseorang harus berdaya di
bidang ekonomi. Selain itu, Islam mengajarkan bahwa manusia adalah
khalifah Allah di muka bumi yang diberi amanah untuk mengelolanya,
sehingga bisa memberikan manfaat pada umat manusia. Kekayaan tidak
dapat diperoleh hanya dengan berdiam diri di rumah, atau hanya dengan
berdoa saja, tetapi harus dengan usaha yang keras, harus aktif dan kreatif,
bahkan perlu juga adanya inovatif. Bisa jadi karena dorongan berusaha
itulah, Allah dalam surat al-Jumu‘ah ayat 10 menggunakan kata perintah
“bertebaranlah” dalam rangka mencari karunia Allah.
6
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta:
LP3ES, 1979.
Ahmad, Mustaq. Business Ethics in Islam. Pakistan: The International
Institute of Islamic Thought,
1999.
Chapra, M. Umer. The Future of Economics An Islamic Perspective. United
Kingdom: The Islamic
Foundation, 2000.
Djohohadikusumo, Sumitro. Perkembangan Pemikiran Ekonomi; Dasar
Teori Ekonomi
Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. Jakarta: LP3ES, 1994.
Husain, Abdullah Abdul. Ekonomi Islam; Prinsip, Dasar dan Tujuan.
Yogyakarta: Magistra Insania
Press, 2004.
al-Jawziyah, Ibn al-Qayyim. A‘la>m al-Muwa>qi‘i>n, Juz III. Beirut: Dar
al-Kutub al-’Ilmiyah,1993.
Manan, M. Abdul. Islamic Economic, Theory and Practice. New Delhi:
Idarat-i Delhi, 1980.
—————. Teori dan Praktek Ekonomi Islam, terj. M. Nastangin.
Yogyakarta: Dana Bhakti
Prima Yasa, 1997.
Muslehudin, Muhammad. Wacana Baru Manajemen dan Ekonomi Islam.
Yogjakarta: IRCiSoD,
2004.
Mubyarto. Membangun Sistem Ekonomi. Yogyakarta : BPFE, 2000.
Mulkhan, Abdul Munir. “Pemberdayaan Budaya Ekonomi Domestik”,
dalam Hadi, Kumala
(ed). Agenda Aksi Liberalisasi Ekonomi dan Politik di Indonesia.
Yogyakarta : PT. Tiara
Wacana, 1997.
Naqvi, Syed Nawab Haider. Islam; Economic and Society. London and New
York: Kegan Paul
International, 1994.