Anda di halaman 1dari 2

Sebagai rujukan bagi hakim Pengadilan Agama dalam membuat putusan, Kompilasi Hukum

Islam telah menjelaskan tentang masalah kewarisan. Khusus dalam masalah radd, yang tertuang
dalam Pasal 193 Kompilasi Hukum Islam. Dalam pasal tersebut tidak terdapat satu klausal pun yang
menyatakan bahwa janda/duda dikecualikan dalam pembagian sisa harta warisan. Hal ini
menunjukkan sebuah perbedaan mendasar antara Kompilasi Hukum Islam dan fiqih klasik yang
membedakan antara aṣḥāb al-furūḍ nasabiyah dan sababiyah. Dalam memahami konsep radd yang
ada, Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa sisa pembagian waris harus dibagikan lagi kepada
semua ahli waris tanpa ada batasan. Namun dalam beberapa putusan, terkadang hakim tidak
memberikan radd kepada janda/duda. Hal ini karena Pasal 193 Kompilasi Hukum Islam tidak secara
spesifik memuat dan menganut asas pengecualian untuk suami maupun istri. 1

Pasal 193 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa ketika terjadi radd, maka kelebihan
tersebut dibagikan lagi kepada seluruh ahli waris, tanpa mengecualikan janda atau duda. Dalam hal
ini, terdapat tiga alasan yang dikemukakan dalam pembuatan klausal Pasal 193 Kompilasi Hukum
Islam, antara lain:

1. Baik janda/duda dalam kekurangan harta (masalah ‘aul), ikut serta menanggung pengurangan
harta bagian demi menanggung pembulatan perhitungan.
2. Mengikuti pendapat Uthman Ibn Affan yang membolehkan untuk memberikan sisa harta
warisan kepada aṣḥāb al-furūḍ tanpa terkecuali.
3. Adanya misi unifikasi hukum agar dalam menyelesaikan pembagian warisan, khususnya
masalah radd tidak menimbulkan keraguan bagi semua pihak yang mempedomaninya. 2

Radd menurut Pasal 193 Kompilasi Hukum Islam merupakan keadaan dalam perhitungan bagian
waris dengan angka pembilang lebih kecil daripada angka penyebut serta tidak adanya ahli waris
‘aṣābah yang berfungsi sebagai penerima sisa dari pembagian tersebut. Angka pembilang tersebut
didapatkan dengan total jumlah saham ahli waris, sedangkan penyebutnya merupakan pokok masalah
pertama. Ketika terjadi hal tersebut, maka Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa
pembagiannya dilakukan dengan cara membagi hak ahli waris masing-masing, sedang sisanya dibagi
secara berimbang di antara mereka.3

Dalam kewarisan, ketika tidak ada ahli waris ‘aṣābah dalam pembagian harta, dan terdapat sisa
harta warisan, maka sisa harta tersebut harus didistribusikan ulang dengan cara radd. Cara radd
ditempuh untuk mengembalikan sisa bagian kepada ahli waris secara seimbang danproporsional.
Caranya adalah dengan mengurangi angka asal masalah sehingga sama besarnya dengan jumlah
bagian yang diterima oleh aṣḥāb al-furūḍ. Masalah radd ini dapat diketahui apabila angka pembilang
lebih kecil dari pada angka penyebut.4

Radd merupakan kontradiksi dari ‘aul, maka seharusnya perhitungan radd adalah dengan
menurunkan angka penyebut sesuai dengan angka pembilang, kemudian setelah itu harta warisan
dibagi secara radd menurut angka pembilang. Namun dengan adanya klausal Pasal 193 Kompilasi
Hukum Islam yang menyebutkan bahwa dalam perhitungan radd adalah dengan memberikan hak
masing-masing, sedang sisanya dibagi berimbang di antara mereka, hal tersebut menunjukkan bahwa
1
Mu’tashim Billah, “Konsep Radd dalam Kompilasi Hukum Islam (Interpretasi Hakim Pengadilan Agama
Yogyakarta),” Ahkam, 1 (Juli 2021), 38.
2
Suparman Usman, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), 198.
3
Mu’tashim Billah, “Konsep Radd dalam Kompilasi Hukum Islam (Interpretasi Hakim Pengadilan Agama
Yogyakarta),” 38-39.
4
Latifah Ratnawaty, “Pelaksanaan Konsep Al Radd dalam Pembagian Waris Berdasarkan Hukum Waris Islam,”
Yustisi, 1 (Februari 2018), 57.
terdapat perbedaan mendasar antara cara perhitungan ‘aul yang terdapat pada Pasal 192 Kompilasi
Hukum Islam yang menyebutkan kenaikan angka penyebut sesuai dengan angka pembilang dengan
perhitungan radd yang tidak menyebutkan cara menurukan angka penyebut sesuai dengan angka
pembilang.5

Aul

Istilah ‘aul dalam defenisinya dikenal dengan bertambahnya jumlah harta waris dari yang telah
ditentukan (furudhul muqoddaroh) dan berkurangnya bagian para ahli waris (ashabul furud). Keadaan
seperti ini terjadi disaat dalam pembagiannya bagian ashabul furudh makin banyak sehingga harta
yang dibagikan habis sedangkan diantara mereka ahli waris (ashabul furudh) belum semua menerima
pembagian warisannya. Maka jalan keluarnya adalah ditambahkan jumlah asal masalahnya sehingga
seluruh harta waris dapat dibagi secara cukup dan sesuai jumlah ahli waris (ashabul furudh) yang
tentunya menyebabkan pembagian masing-masing ahli waris menjadi berkurang. 6

Dalam kompilasi hukum Islam, Aul dan Rad terdapat pada bab IV Pasal 192 yang menyatakan
bahwa:

“apabila pembagian harta warisan diantara para ahli waris Dzawil Furudh menunjukkan bahwa
angka pembilang lebih besar dari pada angka penyebut, angka penyebut dinaikkan sesuai dengan
angka pembilang, dan sesudah itu harta warisan dibagi secara Aul menurut angka pembilang”.

Al-'aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, di antaranya bermakna azh-zhulm (aniaya)2
َ ِ‫" ٰ َذ ل‬
dan tidak adil, seperti yang difirmankan-Nya: ...‫ك َأ ْدن َٰى َأالَّ تَعُولُوا‬

... Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." QS. An- nisa (4: 3).

Al-'aul juga dapat dimaknai 'naik' atau 'melimpah' dan 'bertambah'. Dapat dicontohkan jika
seorang suami yang seharusnya menerima setengah (1/2) bisa berubah menjadi sepertiga (1/3) karena
keadaan khusus atau karena keadaan tertentu saja. Jika asal masalah yang tadinya enam (6) dapat
dinaikkan menjadi sembilan (9). Maka karena asal masalahnya dinaikkan menjadi Sembilan (9) yang
seharusnya seorang suami mendapat setengan (1/2) bagian atau tigaperenam (3/6) menjadi mendapat
tigapersembilan (3/9) atau sepertiga (1/3) bagian. Begitu pula berlaku hal yang sama untuk ahli waris
(ashabul furudh) lainnya. 7

Di dalam ilmu waris Islam atau ilmu fara’id dikenal asal masalah keseluruhannya ada tujuh
bentuk asal masalah sebagai berikut:

a. Asal masalah dari 6 merupakan asal masalah yang hanya dapat di 'aul sebanyak empat
kali saja yakni dapat naik menjadi 7, 8, 9, atau 10.
b. Asal masalah dari 12 merupakan asal masalah hanya di ‘aul kan atau dinaikkan sebanyak
tiga kali untuk angka ganjil saja di dinaikkan ke tiga belas 13, lima belas 15 dan tujuh
belas 17
c. Asal masalah dari 24 Merupakan asal masalah yang hanya dapat di 'aul kan satu kali saja
kepada 27. Masalah ini dikenal dengan sebutan "masalah al-mimbariyyah". 8

5
Mu’tashim Billah, “Konsep Radd dalam Kompilasi Hukum Islam (Interpretasi Hakim Pengadilan Agama
Yogyakarta),” 39-40.
6
Ahmad Saebani dan Syamsul Falah. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia. 2011. Hal.
234
7
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoave, Jakarta, 1996, hlm. 110
8
Tm. Hasbi Ashshiddiqy, Fiqhul Mawaris, Jakarta : Bulan Bintang, 1973, Cet.I, h. 215.

Anda mungkin juga menyukai