Anda di halaman 1dari 10

AUL DAN RADD

MATA KULIAH FIQIH IBADAH DAN KELUARGA

Disusun Oleh:
Soraya Kuswara Munawar

Dosen Pembimbing :
Ustadz Abdullah Hakam Shah

PROGRAM STUDI BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM


FAKULTAS PSIKOLOGI DAN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS AL-AZHAR INDONESIA
2015

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji serta syukur tak lupa kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Dan
sholawat teriring salam semoga selalu tercurahkan kepada manusia yang paling mulia
Rasulullah Muhammad SAW. Sehingga tim penulis dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada
waktunya.
Judul makalah yang penulis ajukan adalah tentang Aul dan Radd, dalam ilmu Waris.
Kesulitan dan hambatan yang penulis alami selama membuat tugas makalah ini dapat
terlewati dengan arahan dan bimbingan dari berbagai pihak sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas ini dengan baik, oleh karena itu dalam kesempatan ini, penulis
mengucapkan terima kasih kepada :

Ustadz Abdullah Hakam Shah, selaku dosen pembimbing mata kuliah Fiqih Ibadah

dan Keluarga
Para mahasiswa dan mahasiswi program studi Bimbingan Penyuluhan Islam
Konseling angkatan 2015
Kesimpulan penulis makalah ini jauh dari sempurna, maka oleh karna itu penulis

sangat mengharapkan kritik dan saran, agar dapat menyempurnakan makalah ini dan berguna
khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Tim Penyusun
Jakarta, 15 Juli 2016

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Di dalam Hukum Waris Islam ada masalah-masalah kewarisan yang diselesaikan
secara khusus. Masalah-masalah khusus dalam kewarisan ini adalah persoalan-persoalan
kewarisan yang penyelesaiannya menyimpang dari penyelesaian yang biasa, dengan kata
lain pembagian harta warisan itu tidak dilakukan sebagaimana biasanya. Masalah-masalah
khusus ini timbul karena adanya kejanggalan apabila penyelesaian pembagian harta
warisan tersebut dilakukan secara biasa. Untuk menghilangkan kejanggalan tersebut, maka
penyelesaian pembagian harta warisan itu dilakukan secara khusus.
Dalam makalah ini akan membahas tentang aul dan radd dalam Ilmu Waris.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Aul
2. Radd

BAB II
PEMBAHASAN
1. Aul
Secara harfiyah, Aul artinya bertambah atau meningkat. Dikatakan aul karena dalan
praktek pembagian warisan angka asal masalah harus ditingkatkan sebesar angka bagian yang
diterima ahli waris, langkah ini diambil, karena apabila diselesaikan menurut ketentuan baku
secara semestinya akan terjadi kekurangan harta.
Masalah aul tampaknya belum muncul pada masa Nabi Muhammad. Boleh jadi karena
secara kebetulan tidak ada kasus yang menuntut penyelesaian dengan cara ini. Para Ulama
mengatakan bahwa kasus aul pertama muncul ketika sahabat Umar ibn Khattab ditanya
oleh seorang sahabat tentang penyelesaian pembagian waris, dimana ahli warisnya terdiri dari
suami, dan 2 saudara perempuan sekandung. Suami karena tidak ada anak, dan 2 saudara
perempuan sekandung 2/3. Jika asal masalahnya 6, suami x 6 = 3, dan saudara 2/3 x 6 = 4.
Jumlahnya 7. Berarti kelebihan 1.
Menghadapi pertanyaan tersebnut, beliau (Umar ibn Khattab) bimbang. Beliau tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang harus didahulukan. Sebab sekiranya beliau telah
mengetahuinya, beliau tidak menemui kebimbangan. Disampaikanlah masalah ini kepada
Zaid ibn Tsabit dan Abbas ibn Abd Al-Muthalib seraya beliau berkata : Sekiranya aku
mulai dengan memberikan bagian kepada suami atau dua saudara perempuan, maka yang lain
tentu tidak sempurna bagiannya. Abbas yang menerima penjelasan beliau mengemukakan
pendapat, agar masalah tersebut di aulkan.1
Atas dasar usul sahabat Abbas ibn Abd Al-Muthalib tersebut dan disaksikan Zaid ibn
Tsabit, beliau menyelesaikan kasus di atas dengan cara aul, yaitu menaikkan angka asal
masalah sebesar angka jumlah bagian yang diterima ahli waris semula.
Ahli waris
Suami

Dua Sdr. 2/3

Bagian
3
4

AM 6
3/6
4/6
7/6

1 Muhammad Yusuf Musa, op. cit, hlm 322

Diaulkan 7

Penerimaan
3/7
4/7
7/7

Terhadap masalah aul ini ada sahabat yang menolaknya, yaitu Ibn Abbas. Sayangnya,
meskipun ia menentang pendapat ayahnya sendiri, tidak berani mengemukakannya kepad
Umar ibn Khattab. Baru setelah Umar wafat, ia keluarkan fatwanya. 2 Kata Ibn Abbas :
Demi Allah, andaikan didahulukan orang yang oleh Allah Taala didahulukan, atau
diakhirkan orang yang olehNya diakhirkan, maka tidak ada masalah aul dalam pembagian
sama sekali
Setelah mendengar fatwanya, seseorang mengajukan pertanyaan, Siapakah orang yang
didahulukan Allah?. Beliau menjawab, Orang yang didahulukan dari bagian yang satu ke
bagian yang lain oleh Allah, seperti suami-istri atau ibu. Mereka itulah yang didahulukan.
Orang yang dipindahkan dari bagian tertentu kepada bagian bukan yang ditentukan
seperti anaj dan saudara perempuan itulah yang diakhirkan. 3 Ketika Ibn Abbas didesak
dengan pertanyaan bagaimana jika terjadi masalah aul. Beliau menjawab, Ku
gabungkan yang bahaya-bahaya kepada yang lebih jelek keadannya, yaitu anak-anak
perempuan dan saudara-saudara perempuan. Atas penjelasan Ibn Abbas di atas, laki-laki
penanya berkomentar, fatwamu itu tidak berfaedah bagimu sedikitpun, sebab andaikata
kamu meninggal, sungguh harta peninggalanmu dibagi oleh ahli warismu tanpa
mengindahkan fatwamu. Mendengar bantahan ini, Ibn Abbas marah sekali seraya
mengatakan, Katakan kepada mereka yang berpendapat ada aul, sampai nanti kami
berkumpul, lalu kami berdoa kepada Tuhan hingga Allah menimpakan laknatNya kepada
para pembohong. Sungguh Zat yang sanggup menghitung jumlah butir-butir pasir di padang
Alij tidak akan menjadikan harta peninggalan dua paroan dan satu pertigaan. Oleh karena
apabila ini telah dikurangi separo dan separo lagi, maka dimanakah tempat yang
sepertiga?.4
Memperhatikan perdebatan yang cukup dengit di atas, boleh jadi sahabat Ibn Abbas tidak
menemui sendiri secara langsung kasus pembagian harta warisan yang harus diselesaikan
dengan cara aul. Sebab andaikata pernah menghadapinya, besar kemungkinan sikapnya lain,
yang jelas pendapat Ibn Abbas tersebut, diikuti oleh Fuqaha Syiah Imamiyah dan Jafariyah.5

2 Muhammad Yusuf Musa, op. cit. hlm 322


3 Fatchur Rahman, op, cit, hlm 410
4 M. Yusuf Musa, op, cit, hlm 323, M. Abd Al-Rahim, op, cit, hlm 209

Alasan yang dikemukakan adalah pertama, ketentuan bagian warisan relah diatur dalam
AlQuran secara sempurna. Untuk itu setiap oemilik ghak atas furud al-muqaddarah harus
dipenuhi. Apabila ternyata tidak memungkinkan, maka hak-hak sebagian ahli waris yang
dalam keadaan tertentu berubah menjadi asabah, tidak perlu dipenuhi. Seperti anak-anak
dan saudara. Konsekuensinya, sebagian penerima asabah, sewaktu-waktu harus menerima
bagian kecil atau tidak sama sekali. Kedua, ahli watiws ashab al-furud dipandang sebagai
ahli waris yang harus didahulukan pemberian hak-haknya.
Jadi apabila kembali kepada contoh kasus yang dihadapi Umar ibn Khattab meurut Ibn
Abbas, diselesaikan sebagai berikut :

Suami

Dua Sdr pr as

AM 6
3
3
6

Bagian 2 saudara yang sedianya 2/3 menjadi hanya meskipun tidak ada ahli waris lain yang
kedudukannya bisa mengubah ketentuan bagian saudara. Jadi, seakan-akan ssaudara
menerima bagian asabah ma al-gair karena ada suami. Dasar yang mereka kemukakan,
saudara perempuan bisa menerima asabah ma al-gair bersama anak perempuan, atau
asabah ma al-gair bersama dengan saudara laki-laki.
Mayoritas sahabat, tabiin dan para ulamamazhab terkenal menetapkan bahwa masalah
aul itu ada. Alasan mereka pertama, tidak ada ketentuan dalam nas yang mengatur
pengutamaan ashab al-furud yang satu atas yang lain. Begitu pula tidak ada ketentuan yang
membedakan mereka karena harta warisan terdapat kelebihan atau kekurangan. Apabila ada
ahli waris yang didahulukan dan mengorbankan ahli waris yang lain, berarti menetapkan
hokum baru. Kedua, Rasulullah memeritahkan dalam sabda beliau, Berikanlah bagianbagian tertentu kepada yang berhak menerimanya.
Walhasil, masalah aul adalah masalah ijtihadiyah dan kondisional. Nilai-nilai keadilan
didalamnya tentu tergantung siapa dan darimana melihatnya. Namun demikian, akan lebih
adil jika di dalam penyelesaian masalah semacam ini tidak terjadi pemberian hak terhadap

5 Fatchur Rahman, op, cit, hlm 412

ahli waris, dengan cara mengorbankan ahli waris lainnya. Oleh karena itu, cara yang terbaik
adalah dengan cara aul, agar bagain masing-masing dikurangi secara proposional.

2. Radd
Masalah radd merupakan kebalikan dari masalah aul. Masalah ini terjadi, apabila dalam
pembagian warisan terdapat kelebihan harta setelah ahli waris ashab al-furud memperoleh
bagiannya. Cara radd ditempuh untuk mengembalikan sisa harta kepada ahli waris seimbang
dengan bagian yang diterima masing-masing secaran proposional.
Caranya adalah dengan mengurangi angka asal masalah, sehingga sama besarnya dengan
jumlah bagian yang diterima oleh mereka. Apabila tidak ditempuh cara radd, akan
menimbulkan persoalan siapa yang berhak menerimanya, sementara tidak ada ahli waris yang
menerima asabah.
Terhadap penyelesaian masalah dengan cara radd ternyata ada Ulama yang tidak setuju
sama sekali. Sebagian setuju dengan syarat dan sebagian yang lain dengan tegas menerima.
Di bawah ini akan diuraikan perbedaan pendapat tersebut :
1. Radd bisa dilaksanakan hanya terbatas kepada ahli waris nasabiyah, jadi, ahli waris
sababiyah suami atau istri tidak dapat menerima radd (pengembalian harta).
Demikian pendapat mayoritas ulama. Mula-mula dikemukakan Ali ibn Abi Thalib,
diikuti oleh Abu Hanifah, Ahmad ibn Hanabl, Fuqaha Mutakhirin dari mazhab Maliki,
Syafiiyah, Syiah, Zaidiyah dan Imamiyah. Dasar hukum yang dipedomani adalah :
a. Firman Allah : Dan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebahagiannya lebih berhak daripada yang lain (QS Al-Anfal : 75)
b. Praktek yang dilakukan Nabi Muhammad ketika pada suatu saat didatangi seorang
perempuan yang menanyakan status budak yang baru saja ia serahkan kepada ibunya,
dan beberapa hari kemudian ibunya meninggal. Atas pertanyaan itu, Nabi Muhammad
memerintahkan : Kamu pantas menerima pahala, dan budak itu kembali kepadamu
dengan jalan pewarisan. 6
Atas dasar tindakan Nabi tersebut, dapat dipahami bahwa penyelesaian masalah dengan
cara radd kepada ahli waris adalah ditunjuk oleh sunnah. Sebab, kalau saja Nabi

6 Muhammad Yusuf Musa, op, cit, hlm 331

menyelesaikannya tanpa radd, anak perempuan tersebut hanya berhak menerima


separuhnya saja.
Jadi, atas dasar alasan-alasan di atas yang berhak menerima pengembalian sisa harta
ashab al-furud nasbiyah.
2. Radd dapat dilakukan dengan mengembalikan sisa harta warisan kepada semua ahli
waris yang ada, baik ashab al-furud nasabiyah maupun sababiyah. Pendapat ini
dikemukakan oleh Utsman bin Affan. Pertimbangannya, logika dan segi praktis
pembagian warisan. Katanya, suami dan istri dalam masalah aul bagian mereka ikut
dikurangi, maka apabila terdapat kelebihan harta, sudah sepantasnya diberi hak
menerima kelebihan tersebut.
3. Pendapat yang menolak secara mutlak penyelsaian pembagian warisan dengan cara radd.
Demikian pendapat Zaid ibn tsabit dan minoritas ulama lainnya. Diantaranya, Urwah AlZuhry, Imam Syafii, dan Ibn Hazm Al-Zahiry, dan para fuqaha Malikiyah dan
Syafiiyah.
Menurut pendapat ini, apabila dalam pembagian warisan terdapat kelebihan harta, tidak
perlu dikembalikan kepada ahli waris, tetapi diserahkan ke bait al-mal.7 Kaum
musliminlah yang berhak

memanfaatkannya. Namun

demikian, pendapat ini

mengandung kelemahan. Seperti kata Muh Syarbiny, fuqaha Syafiiyah menegaskan,


baik bait al-mal atau Kas Perbendaharaan Negara berfungsi baik atau tidak hak
terhadap kelebihan harta warisan itu berada pada kaum Muslimin, dan kepala bait al-mal
itulah sebagai nazir atau penanggungjawab atas kepentingan kaum muslimin.
Bagaimanapun juga mereka, tidak boleh dianggap sepi, biarpun nazir tidak
melaksanakan amanat mereka, hak-hak mereka tidak bisa gugur.8
Dalam penelitian fatchur Rahman, pendapat di atas didasarkan kepada kondisi dan situasi
kaum muslimin yang boleh jadi waktu itu sangat membutuhkan biaya dan bantuan Negara
melalui wadah bait al-mal. Perubahan dan dinamika masyarakat dimana Fuqaha Syafiiyah
hidup, tampaknya mengalami perubahan dan kemajuan. Lebih-lebih lagi, peran bait al-mail
tidak lagi berfungsi secara optimal. Sehingga dengan kenyataan social semacam ini, Fuqaha
Syafiiyah seperti Ibn Saraqah, Qadi al-Husain al-Mutawally dan lain-lain mengubah
pendapatnya. Kata mereka, dalam rangka refungsionalisasi kelebihan hartam sebaiknya
dikembalikan saja kepada ashab al-furud atau zawi al-arham jika ada, secara proposional.
7 Muh Syarbiny, op,cit, juz 3, hlm 6
8 Fatchur Rahman, op, cit, hlm 424-425

Pendapat terakhir di atas cukup praktis dan rasional, namun demikian tidak bisa
diberlakukan secara mutlak. Karena apabila suatu saat kepentingan kaum muslimin sangat
membutuhkan pendanaan yang salah satunya dipenuhi melalui sarana bait al-mal maka
kelebihan harta perlu disetor ke bait al-mal untuk mensuplay kegiatan dan kepentingan umum
tersebut. Akan tetapi, jika kebutuhan umum bersifat subsuder saja, cara radd kepada ahli
waris lebih tepat.
Adapun alasan-alasan para Ulama menolak cara radd adalah :
a. Allah Subhanahu wa taala menentukan bagian-bagian tertentu kepada ahli waris ashab
al-furud secara pasti (qatiy). Besar kecilnya tidak perlu ditambah-tambah atau dikurangi
(QS An-Nisa : 11-12). Menambah bagian ahli waris melebihi ketentuan seharusnya
diterima menurut nas, berarti melampaui batas-batas Allah. Padahal terhadap mereka
yang melampaui batas, Allah member ultimatum dalam FirmanNya : Dan barangsiapa
yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya
Allah akan memasukkannya ke dalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya, dan
baginya siksa yang menghinakan. (QS An_nisa : 14)
b. Nabi Muhammad telah menegaskan bahwa Allah telah menentukan hak-hak yang dapat
diterima oleh seorang ahli waris. Sabda beliau : Sesungguhnya Alla Taala telah
memberikan hak kepada pemegang hak (Riwayat Tirmidzi)
Hadis di atas diturunkan setelah turunnya An-Nisa ayat 14. Artinya, hadis itu
menguatkan hujjah ayat tersebut. Oleh Karen itu, siapapun perlu memperhatikannya.
c. Para ahli waris yang telah menerima bagian tertentu tidak berhak menerima sisa harta,
karena tidak ada jalan untuk memilikinya, untuk itu, sisa tadi harus diserahkan kepada
bait al-mal, seperti halnya harta peninggalan si mati yang tidak mempunyai ahli waris
sama sekali.
Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa di dalam pembagian warisan, jika terjadi
kelebihan harta, da tiga versi, yaitu :
a. Versi Jumhur Ulama, member radd terbatas kepada ahli waris ashab al-furud nasabiyah.
Suami atau istri tidak diberi hak radd, karena statusnya sebagai ahli waris sababiyah.
b. Versi Utsman ibn Affan, member radd secara mutlak kepada semua ahli waris yang adam
tanpa membedakan status nasabiyah atau sababiyah.
c. Versi Zaid ibn Tsabit, menolak system radd secara mutlak. Sisa harta warisan diserahkan
ke bait al-mal atau Kas Pembendaharaan Negara.

BAB III
PENUTUP
Demikianlah pembahasan mengenai materi dalam makalah ini, yang disertai dengan
berbagai masalah dan kekurangan dikarenakan keterbatasan pengetahuan kami sebagai
penulis dan kurangnya referensi yang kami peroleh mengenai pembahasan masalah pada
makalah ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang dapat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Rofiq, Ahmad. 1993. Fiqh Mawaris. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai