Anda di halaman 1dari 10

‘AUL DAN RADD

(SISTEM PEMBAGIAN HARTA WARISAN YANG RANCU DAN KELIRU)


Oleh : Drs.Herman Supriyadi
(Hakim Pengadilan Agama Pangkalpinang)

Pendahuluan
‘Aul dan radd adalah sistem pembagian harta warisan yang lahir pada zaman khalifah
Umar bin Khattab dan berkembang serta tetap dipertahankan sampai saat ini. Sistem ini sangat
terkenal karena dengan sistem ini salah satu persoalan hukum waris yang sebelumnya sulit
untuk diselesaikan dapat dengan mudah diselesaikan. Akan tetapi belakangan ini diketahui
bahwa sistem ini banyak mengandung kelemahan terutama bila diselaraskan dengan rumus-
rumus matematika.
Selanjutnya kelemahan-kelemahan tersebut dijadikan titik serangan oleh mereka yang
tidak senang dengan Islam, dijadikan alat untuk melemahkan keyakinan ummat Islam terhadap
kesucian Al-Quran dan Kerasulan Muhammad SAW. antara lain sebagaimana yang Penulis
baca dalam face book dengan pertanyaan-pertanyaan yang maksudnya lebih kurang sebagai
berikut :
1. Apakah pantas Al-Quran dijadikan kitab suci yang perhitungan matematika warisan Allah
SWT didalamnya kadang kurang kadang lebih sehingga harus dilengkapi hukum buatan
manusia yaitu ‘aul dan radd ?
2. Dengan membawa kitab suci yang didalamnya mengandung hukum waris yang tidak jelas,
apakah benar Muhammad. SAW itu Rasulullah?
3. Apakah adil bila dalam pembagian harta warisan anak laki-laki mendapat bagian dua kali
lipat dari bagian anak perempuan?
Untuk pertanyaan pertama Penulis akan mencoba menjawabnya melalui uraian lebih
lanjut dalam artikel ini, Untuk pertanyaan kedua barangkali dapat dijawab bahwa timbulnya
sistem penghitungan dengan cara ‘aul dan radd setelah Rasulullah wafat sehingga kalau
seandainya keliru maka kekeliruan tersebut tidak selayaknya dilimpahkan kepada Beliau dan
sekaligus tidak ada alasan untuk meragukan Kerasulan Beliau, selanjutnya untuk pertanyaan
ketiga yaitu masalah keadilan akan Penulis bahas dalam artikel tersendiri karena sifatnya
sangat relatif dan subjektif.
Dalam artikel yang sederhana ini Penulis akan mencoba menganalisa beberapa hal yang
menyangkut ‘aul dan radd yang menyebabkan timbulnya beberapa permasalahan dalam
hukum waris Islam.

Permasalahan
Pengkajian tentang hukum waris Islam sudah sangat sering dilakukan baik oleh para
kiyai yang pendidikannya berbasiskan pondok pesantren , oleh para sarjana yang basis
pendidikannya perguruan tinggi Islam maupun oleh kalangan akademisi seperti dosen dan
mahasiswa, akan tetapi persoalan yang timbul terutama mengenai teknis penghitungan bagian
masing-masing ahli waris dalam hukum Islam tetap tidak akurat. Semakin banyak buku yang
membahas tentang masalah hukum waris tersebut bahkan ada yang sudah hampir setebal al-
Quran namun permasalahan tetap tidak tuntas bahkan semakin rumit dan semakin
menimbulkan ketidak pastian, padahal porsi untuk masing-masing ahli waris sudah diatur
secara jelas dan tegas dalam Al-Quran.
Menurut Penulis semua itu terjadi akibat masih kuatnya pengaruh kitab-kitab kelasik
yang dijadikan landasan dan kerangka berpikir oleh para pengkaji sehingga hasil kajiannya
tidak jauh berbeda dengan kitab-kitab tersebut. Istilah-istilah yang membingungkan dalam
ilmu faraidh seperti tamatsul, tadakhul, tawafuq, tabayun dan lain-lain masih tetap digunakan,
padahal semua istilah itu merupakan rumusan yang sangat sulit dipahami dan harus dihafal,
sedangkan hasilnya tetap masih meragukan. Sementara Al-Quran dan Al-Hadits sendiri tidak
banyak menggunakan istilah-istilah yang membingungkan.

Persoalan lain sebagaimana yang dikritik oleh banyak pihak adalah terjadinya perubahan
Kelipatan Persekutuan Terkecil (yang dalam ilmu faraidh disebut asal masalah) dalam sistem
pembagian ‘aul dan radd tanpa ada dasar yang jelas dan hanya asal ‘comot’ saja dengan
tujuan agar harta waris dapat dibagi habis. Akibatnya porsi bagian masing-masing ahli waris
yang diatur dalam Al-Quran menjadi terabaikan. Hal ini sangat bertentangan dengan rumus-
rumus matematika dan sudah melenceng dari apa yang termaktub dalam Al-Quran itu sendiri.
Salah satu contohnya pada masalah ‘aul, bagian ayah sebesar 1/6 yang seharusnya sama
dengan 4/24 dibuat menjadi 4/27.
Kondisi seperti ini telah sekian lama terjadi, apakah mungkin dapat dibuat suatu
rumusan baru yang setidak-tidaknya mendekati apa yang telah digariskan dalam Al-Quran dan
Al-Hadits serta sejalan dengan rumus-rumus matematika.
Penulis akan mencoba membahas persoalan tersebut dalam artikel singkat ini,
selanjutnya agar pembahasannya terarah penulis merasa perlu membuat rumusan dengan
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1. Siapa ahli waris dalam dalam Al-Quran khususnya yang terkait masalah aul dan radd ini
yang harus diberikan terlebih dahulu bagiannya dan siapa pula yang terakhir?
2. Apakah porsi masing-masing ahli waris yang telah ditetapkan dengan jelas dalam Al-Quran
tersebut seluruhnya harus diambil dari harta Pewaris secara keseluruhan atau ada yang
harus diambil dari sisa harta yang telah diberikan kepada ahli waris sebelumnya?
3. Apakah asal masalah atau Kelipatan Persekutuan Terkecil perlu ditetapka dan bagaimana
cara menetapkannya agar dalam penghitungannya sesuai dengan apa yang telah digariskan
dalam Al-Quran dan tidak bertentangan dengan rumus-rumus matematika?

Pembahasan
a. Dalam kitab-kitab faraidh ulama selalu menetapkan urutan para ahli waris itu adalah suami
atau isteri, ayah, ibu, anak (baik laki-laki maupun perempuan) baru kemudian ahli waris
yang lainnya. Terhadap hal ini ada kritikan yang pada intinya menyatakan bahwa dalam Al-
Quran tidak terdapat ayat ataupun surah yang menetapkan siapa-siapa ahli waris yang harus
lebih dahulu diberikan bagiannya dan siapa-siapa yang harus diberikan terakhir, dengan
kata lain menurut kritikan ini boleh saja anak, ibu, ataupun ayah yang didahulukan.
Penulis sangat tidak sependapat dengan kritikan ini karena untuk mengetahui makna
yang terkandung dalam Al-Quran selain ada yang dapat langsung diartikan secara tersurat
ada pula yang harus dipahami secara tersirat. Untuk itu mari kita lihat secara satu persatu
potongan ayat Al-Quran yang berkenaan dengan hukum waris ini :
1. Allah telah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu
yaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan
dst……... (Q.S Annisa : 11)
2. (Lanjutan ayat tersebut)……. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan dst…
3. Dan Bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu
jika mereka tidak mempunyai anak dst….(Q.S Annisa :12)
Kalau ditelaah secara mendalam ada tiga unsur yang terkandung dalam kedua ayat
Al-Quran tersebut yaitu ada pembawa berita, ada pendengar berita dan ada materi berita
yang disampaikan. Pembawa beritanya adalah Nabi Muhammad SAW, Pendengar
beritanya adalah Ummat Islam yang berstatus suami, sedangkan materi beritanya adalah
Kalamullah mengenai ketentuan bagian masing-masing dari harta warisan baik untuk anak,
orang tua, , isteri dan suami itu sendiri.
Jadi jelas yang mendapat berita dan sekaligus perintah secara langsung adalah suami
oleh karenanya wajar kalau para ulama menempatkan posisi suami pada urutan pertama.
sedangkan bila suami yang meninggal dunia posisi tersebut ditempati oleh isteri karena
kedudukan isteri dan suami adalah sederajat.
Selanjutnya mana yang harus ditempatkan pada urutan kedua, apakah anak atau orang
tua? Dilihat dari nash di atas porsi anak bila terdiri dari laki-laki dan perempuan atau laki-
laki saja tidak ditentukan, artinya berapa saja boleh asalkan porsi orang tua (ayah dan atau
ibu) yang telah ditentukan bagiannya sebagaimana halnya suami atau isteri telah dipenuhi.
Kalimat bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan
bukan merupakan porsi melainkan perbandingan. Oleh karenanya Penulis berpendapat
adalah tepat jika para ulama menempatkan orang tua pada urutan kedua sedangkan anak
pada urutan ketiga.
Selanjutnya timbul pertanyaan bagaimana kalau anak tersebut perempuan dimana
porsinya telah ditetapkan dalam Al-Quran yaitu ½ bagian jika hanya seorang dan 2/3
bagian jika lebih dari dua orang? Menurut Penulis karena anak laki-laki dan anak
perempuan tersebut sama derajatnya, maka tetap harus ditempatkan pada urutan ketiga,
setelah itu baru ahli waris lainnya.
Dengan demikian Penulis berpendapat urutan ahli waris yang ditetapkan atau
dipergunakan oleh para ulama dalam hal pembagian harta warisan selama ini sudah tepat
dan benar.
b Porsi masing-masing ahli waris telah diatur secara jelas dalam Al-Quran. Jika Pewaris
mempunyai anak, suami mendapat 1/4 bagian, isteri 1/8 bagian, ayah 1/6 bagian dan ibu
juga 1/6 bagian sedangkan anak tidak diatur. Sebaliknya jika Pewaris tidak mempunyai
anak, suami mendapat 1/2 bagian, isteri 1/4 bagian dan ibu 1/3 bagian sedangkan ayah
tidak diatur. Untuk yang tidak diatur para ulama berpendapat sama yaitu menerima
sisanya.
Diluar porsi tersebut ada lagi ketentuan bagian anak laki-laki dua kali anak
perempuan dan porsi anak perempuan jika seorang ½ bagian namun jika lebih dari seorang
mereka mendapat 2/3 bagian. Selanjutnya timbul pertanyaan apakah semua porsi-porsi
tersebut diambil dari seluruh harta warisan atau tidak ? Hal itulah yang dalam sistim ‘aul
dan radd tidak dipertegas dan hal itu pulalah yang menjadi cikal bakal rancunya
penghitungan dalam sistem tersebut. Untuk jelasnya mari kita lihat contoh-contoh berikut :
1. Penghitungan dengan Cara ‘Aul :
Ahli waris terdiri dari : Isteri bagiannya (1/8), ayah (1/6), ibu (1/6), dan 2 orang
anak perempuan (2/3), menurut sistem ini asal masalah yang cocok untuk kasus ini
adalah 24 sehingga bagian isteri menjadi (3/24), ayah (4/24), ibu (4/24) dan 2 orang
anak perempuan (16/24). Selanjutnya bila harta waris yang ada Rp.24.000.000,- maka
akan timbul masalah karena bagian isteri Rp.3.000.000, bagian ayah Rp.4.000.000,-
bagian ibu Rp.4.000.000,- sisanya tinggal Rp. 13.000.000,- sedangkan 2 orang anak
perempuan tersebut menurut sisitim ini harus mendapat bagian Rp.16.000.000,- Jadi
hartanya masih kurang Rp.3.000.000,-
Selanjutnya supaya harta yang berjumlah Rp.24.000.000, - tadi cukup untuk semua
ahli waris maka oleh sistem ini diubahlah asal masalahnya dari 24 menjadi 27 sehingga
bagian bagian masing-masing adalah:
Isteri = 3/27 x Rp.24.000.000. = Rp. 2.666.666
Ayah = 4/27 x Rp.24.000.000. = Rp. 3.555.555
Ibu = 4/27 x Rp.24.000.000. = Rp. 3.555.555
2 orang anak perempuan = 16/27x Rp.24.000.000. = Rp.14.222.222
jumlah = Rp.23.999.999

Akan tetapi lain halnya bila bersama Isteri ayah dan ibu tersebut adalah anak laki-
laki , baik seorang ataupun lebih, baik bersama anak perempuan maupun tidak
pembagiaannya tidak serumit yang di atas. Contoh :

Ahli waris terdiri dari : Isteri bagiannya (1/8), ayah (1/6), ibu (1/6), dan 2 orang
anak laki-laki (sisanya), asal masalah yang cocok untuk kasus ini adalah 24 sehingga
bagian isteri menjadi (3/24), ayah (4/24), ibu (4/24) dan 2 orang anak laki-laki (sisa)
Selanjutnya bila harta warisan yang ada berjumlah Rp.24.000.000,- maka bagian isteri
Rp.3.000.000, bagian ayah Rp.4.000.000,- bagian ibu Rp.4.000.000,- sisanya ada Rp.
13.000.000,- yang merupakan bagian 2 orang anak laki-laki.
Disini timbul pertanyaan “ mengapa ketika ada anak laki-laki jumlah harta warisan
yang harus dibagi cukup namun bila tidak ada anak laki-laki dan yang ada hanya anak
perempuan saja harta yang harus dibagi menjadi kurang sedangkan ketentuanya bagian
anak perempuan hanya separuh dari anak laki-laki?”

2. Penghitungan dengan Cara Radd


Penghitungan cara ini dilakukan bila setelah dijumlahkan ternyata jumlah porsi
masing-masing ahli waris melebihi asal masalah sehingga asal masalah tersebut harus
diubah sehingga sama dengan porsi ahli waris yang dimaksud. Contoh :
Ahli waris terdiri dari isteri yang porsinya (1/8 bagian), ibu (1/6 bagian) dan anak
perempuan satu orang (1/2 bagian). Secara umum menurut sistem ini asal masalah yang
tepat untuk kasus tersebut adalah 24 sehingga porsi masing-masing adalah Isteri (3/24
bagian), ibu (4/24 bagian) sedangkan 1 orang anak perempuan (12/24 bagian). Jadi jika
harta waris berjumlah Rp.24.000.000,- maka bagian masing-masing adalah : Isteri
Rp.3.000.000,- Ibu Rp.4.000.000,- anak perempuan Rp.12.000.000,- sisa Rp.5.000.000,-
Dalam sisitem radd ini agar harta tersebut habis terbagi asal masalahnya diganti,
selain itu yang sangat membingungkan menurut sistem ini bagian ibu dan anak
perempuan harus diambil dari sisa harta waris setelah dikurangi bagian isteri. Oleh
karena itu sistim ini menganggap dalam kasus tersebut diatas terdapat 2 asal masalah
yaitu asal masalah pertama (bagian ibu dan anak) yang semula 6 dijadikan 4, kemudian
asal masalah kedua (bagian isteri) adalah 8. Selanjutnya 4 dan 8 ini dikalikan dimana
kemudian ditemukan angka 32 yang diberi istilah tash-hihul masalah sehingga diperoleh
porsi baru masing-masing yaitu : Isteri mendapat (4/32 bagian), ibu (7/32 bagian) dan
anak perempuan 1 orang mendapat (21/32 bagian). (Ash-Shabuni, Hukum Waris dalam
Syari’at Islam , tahun 1988 : hal. 156)
Dengan demikian bila harta warisan berjumlah Rp.24.000.000,- maka bagian
masing-masing adalah :
Isteri : 4/32 x Rp.24.000.000 = Rp. 3.000.000.-
Ibu : 7/32 x Rp.24.000.000 = Rp. 5.250.000.-
Anak Perempuan : 21/32 x Rp.24.000.000 = Rp.15.750.000.-
Jumlah = Rp.24.000.000.-
Dengan dilakukannya pembagian melalui sistem di atas yaitu ‘aul dan radd harta
warisan memang dapat dibagi secara keseluruhan kepada semua ahli waris yang berhak,
akan tetapi benarkah bagian-bagian yang diberikan tersebut murni hak masing-masing
atau sebaliknya telah terjadi percampuran hak yang seharusnya tidak boleh terjadi?
Penulis melihat paling tidak ada tiga penyimpangan yang dilakukan bila sistem
‘aul dan radd ini digunakan yaitu :
1. Penyimpangan matematis.
a. Dalam ‘aul : pecahan-pecahan 1/8, 1/6, dan 2/3, diubah menjadi 3/27, 4/27
dan6/27, padahal pecahan 1/8 tidak sama nilainya denga pecahan 3/27, pecahan
1/6 tidak sama nilainya dengan pecahan 4/27 dan pecahan 2/3 tidak sama nilainya
dengan pecahan 16/27.

b. Dalam Radd : pecahan 1/8, 1/6 dan 1/2 diubah menjadi pecahan 4/32, 7/32 dan
21/32, padahal pecahan 1/8 tidak sama nilainya dengan 4/32, pecahan 1/6 tidak
sama nilainya dengan 7/32 dan pecahan 1/2 tidak sama nilainya dengan pecahan
21/32.

2. Penyimpangan Syar’i
Pecahan-pecahan 3/24, 4/24, 12/24 dan 16/24 memang tidak diatur dalam Al-
Quran akan tetapi nilai pecahan tersebut sama dengan 1/8, 1/6, 1/2 dan 2/3 yang ada
dalam Al-Quran, akan tetapi 3/27, 4/27, 16/27. 4/32, 7/32 dan 21/32. tidak sama
nilainya dengan pecahan-pecahan yang terdapat dalam Al-Quran.

3. Penyimpangan Aplikasi
Dalam penerapannya terjadi ketidak-konsisten-an dimana dalam derajat yang
sama porsi anak kadang-kadang diambil langsung dari seluruh harta warisan kadang-
kadang diambil dari sisa harta setelah bagian ahli waris yang lainnya dikeluarkan,
misalnya pada saat bersama anak laki-laki, bagian anak perempuan diambil dari sisa
harta warisan tetapi saat tidak bersama anak laki-laki bagiannya diambil dari seluruh
harta warisan.

c. Dalam ilmu faraidh asal masalah telah ditetapkan sehingga tinggal memilih mana yang
sesuai dengan kasus yang dihadapi. “Asal masalah tersebut ada tujuh, tiga dapat
di’aulkan sedangkan yang empat tidak dapat di’aulkan. Tiga asal masalah yang dapat
di’aulkan adalah enam, dua belas dan dua puluh empat sedangkan yang tidak dapat
di’aulkan ialah dua, tiga dan delapan” Ash-Shabuni :141 ). Dalam prakteknya apabila asal
masalah yang telah dipilih tidak menyelesaikan masalah (penghitungannya), maka
dipilihlah asal masalah baru.
Penulis sangat berbeda pendapat dengan ketentuan tersebut, menurut Penulis porsi
yang telah ada dalam Al-Quran tidak perlu diubah tapi cukup langsung dikalikan dengan
harta warisan karena menurut Penulis perubahan asal masalah itulah yang “membuat
masalah” hingga terjadi kerancuan penghitungan dalam hukum waris Islam, dan dengan
cara mengalikan langsung porsi tersebut dengan harta warisan itu sebenarnya secara tidak
langsung Kelipatan Persekutuan Terkecil akan ditemukan dengan sendirinya.
Dengan demikian agar penghitungan terhadap bagian masing-masing ahli waris
menjadi benar dan akurat dan pasti maka harus dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Tentukan para ahli waris yang harus diberikan bagiannya sesuai dengan urutannya yaitu
:
a. Suami atau Isteri.
b. Ayah dan atau Ibu
c. Anak (baik laki-laki maupun perempuan)
d. Ahli waris yang lain.
2. Tentukan porsi masing-masing sesuai dengan yang telah diatur dalam Al-Quran.
3. Kalikan dengan jumlah harta warisan dengan ketentuan :
a. Untuk suami atau isteri, kalikan dengan seluruh harta warisan,
b. Untuk ayah dan atau ibu, kalikan dengan harta warisan yang telah dikurangi bagian
suami atau isteri.
c. Untuk anak perempuan jika tidak bersama-sama anak laki-laki, kalikan dengan harta
warisan setelah dikurangi bagian suami atau isteri dan bagian ayah dan atau ibu,
sedangkan jika anak pewaris tersebut ada anak laki-laki (baik tidak maupun bersama
anak perempuan) tidak perlu lagi diadakan perkalian karena seluruh sisa harta
tersebut adalah haknya/ mereka.
d. Jika suami atau isteri tidak ada maka porsi ayah dan atau ibu langsung dikalikan
dengan seluruh harta warisan, demikian juga bila suami atau isteri serta ayah dan ibu
tidak ada maka seluruh harta warisan tersebut langsung menjadi porsi anak dengan
ketentuan bagian anak laki-laki 2 kali bagian anak perempuan.
Contoh pertama : Kita ambil dari kasus dalam masalah ‘aul di atas.
Ahli waris terdiri dari : Isteri bagiannya (1/8), ayah (1/6), ibu (1/6), dan 2
orang anak perempuan (2/3), Jumlah harta warisan yang harus dibagikan adalah
Rp.24.000.000,- maka bagian masing-masing adalah :

Isteri : 1/8 x Rp. 24.000.000.- = Rp. 3.000.000.-


(Sisa harta Rp. 21.000.000,-
21.000.000,-)
-)

Ayah : 1/6 x Rp. 21.000.000 = Rp. 3.500.000,-


Ibu : 1/6 x Rp. 21.000.000 = Rp. 3.500.000,-
(Sisa harta Rp.. 14.000.0
14.000.000)
14.000.000)

2 Orang anak perempuan : 2/3 x 14.000.000,- = Rp. 9.333.333


(Sisa harta Rp. 4.666.667)

Contoh kedua : kita ambil dari perhitungan radd di atas :

Ahli waris terdiri dari isteri yang porsinya (1/8 bagian), ibu (1/6 bagian) dan
anak perempuan satu orang (1/2 bagian). Harta warisannya sebesar Rp.24.000.000,-
maka bagian masing-masing adalah :
Isteri : 1/8 x Rp. 24.000.000.- = Rp. 3.000.000.
.21.000.000.-
(Sisa harta Rp.21.000.000.
.21.000.000.--))

Ibu : 1/6 x Rp. 21.000.000 .- = Rp. 3.500.000,-


(Sisa harta Rp. 17.500.000)
17.500.000)

Anak Perempuan : 1/2 x Rp. 17.500.000,- = Rp. 8.750.000,-


(Sisa Rp. 8.750.000,
8.750.000,-
8.750.000,-)
-)

Kalau tetap ingin memakai Kelipatan Persekutuan Terkecil, dengan cara di atas
Kelipatan Persekutuan Terkecil tersebut dapat dengan mudah ditemukan, yaitu dengan
menghilangkan nilai nominal Harta Warisannya dan digantian dengan kode lain
misalnya digantikan dengan istilah X kemudian kalikan porsi masing-masing ahli waris di
atas dengan x tersebut. Contoh kita ambil dari kasus radd :
Isteri : 1/8 x x = 1/8 x
(Sisa harta 7/8 X)
Ibu : 1/6 x 7/8 x = 7/48 x
(Sisa = 7/8 X– 7/48 X = 42/48X - 7/48 X == 35/48
35/48 X)
35/48

Anak Perempuan : 1/2 x 35/48 x = 35/96 x


(Sisa 35/48 X -35/96 X = 70/96 X - 35/96 X = 35/96
35/96 X,

Dengan demikian porsi masing-masing adalah :


Isteri : 1/8 x = 12/96 x
Ibu : 7/48 x = 14 /96 x
Anak Permpuan : = 35/96 x
Sisa : = 35/96 x

Bila x tersebut diubah kembali nominal harta sebesar Rp. 24.000.000,- maka
akan ditemukan sebagai berikut : 12/96 x = Rp. 3.000, 14 /96 x = Rp. 3.500.000,- 35/96 x =
Rp.8.750.000,-

Selanjutnya barangkali timbul pertanyaan mengapa bila dihitung dengan cara ini
harta tersebut selalu ada sisa, lalu siapa yang berhak terhadap sisa harta tersebut dan apa
dasar hukumnya?
Menurut Penulis wajar bila ada sisa karena anak perempuan menurut nash Al-
Quran berbeda dengan anak laki-laki dalam memperoleh bagian harta. Bagian anak laki-
laki adalah seluruh sisa harta sedangkan bagian anak perempuan bagiannya hanya
separuh dari bagian anak laki-laki sehingga masih ada kelebihannya. Selanjutnya untuk
menetapkan siapa yang paling berhak atas sisa harta itu seingat Penulis ada dua hadits
yang berhubungan dengan hal itu yaitu :

          

1. Berikan harta pusaka kepada orang-orang yang berhak, setelah itu sisanya untuk
laki-laki yang lebih utama (tidak diketahui perawinya).
  ‫ وو‬     ‫ط‬    ‫ ر‬ 
 ‫وو‬ ‫ د‬ ‫و‬
2. Rasulullah bersabda : Sebaik-baik apa yang dimakan oleh seseorang adalah apa
yang dihasilkan dari usaha sendiri dan (sebaik-baik yang dimakan oleh) anak
seseorang adalah hasil usaha orang itu (H.R Abu Daud dan Turmudzi)
Turmudzi

Menurut Penulis menjadikan hadits yang kedua sebagai hujjah-nya adalah lebih
kuat dibandingkan dengan hadits yang pertama, oleh karenanya sepantasnyalah sisa
harta tersebut diserahkan kepada anak/anak perempuan tersebut bukan kepada ahli waris
yang lainnya.

Kesimpulan
Setelah mengadakan pembahasan secara singkat ini Penulis dapat memberikan beberapa
kesimpulan yaitu sebagai berikut :
1. Sistem pembagian harta warisan aul dan radd dalam hukum Islam banyak kerancuan
sehingga menimbulkan berbagai kekeliruan dalam penghitungan pembagian warisan.
2. Sistem tersebut bukan bawaan kitab Al-Quran dan bukan pula petunjuk yang diberikan oleh
nabi Muhammad SAW melainkan salah satu solusi yang diambil oleh Umar bin Khattab
ketika timbul permasalahan waris pada masa pemerintahannya.
3. Bagi yang merasa ragu-ragu akan Al---Quran
kebenaran Al Quran serta Kerasulan Nabi Muhammad SAW

dikarenakan hukum warisnya tidak akurat akibat sistem aul dan radd ini sebaiknya
tinggalkan keraguan itu karena persoalannya sudah jelas, akan tetapi jika keraguan itu
memang sudah merupakan kebencian di lubuk hati yang paling dalam, yang telah berurat
akar dan menjadi darah daging serta mustahil bisa diperbaiki lagi, That is no problem
teruskanlah.
teruskanlah.
4. Penulis sangat tidak sependapat dengan cara pembagian harta warisan dengan sistem aul
dan radd ini namun tetap menaruh hormat kepada penemunya karena bagaimanapun sistem ini
telah menyelamatkan ummat Islam dari pertikaian akibat permasalahan warisan.
Demikian artikel singkat ini dan semoga ada manfaatnya. Segala kritikan, saran,
pendapat dari para pembaca sangat penulis harapkan karena seandainya pendapat penulis ini
salah, keliru kurang tepat ataupun istilah lain yang semakna dengan itu, maka secepat
mungkin akan Penulis koreksi kembali.
Pangkalpinang, Agustus 2011
Penulis,

Drs. Herman Supriyadi.

Anda mungkin juga menyukai