Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Secara umum hukum waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan
seseorang yang telah meninggal dunia dibeikan kepada yang berhak, seperti keluarga
dan masyarakat yang lebih berhak. Proses perjalanan manusia adalah lahir, hidup, dan
mati. Semua itu membawa dampak atau pengaruh terhadap lingkungannya, terutama
orang terdekat dengannya yang berhubungan dengan hak waris.
Hukum waris yang berlaku di Indonesia ada tiga, yakni : hukum waris adat,
hukum waris islam, dan hukum waris perdata. Setiap daerah memiliki hukum yang
berbeda-beda sesuai dengan sistem yang mereka anut.
Sumber utama dalam hukum waris islam adalah Al-Quran Surah An-Nisa’ ayat
11-12. Dijabarkan dalam beberapa ayat yang jelas, “karena harta dan pembagiannya
merupakan sumber ketamakan bagi manusia, sebagian harta warisan adalah untuk pria
dan wanita, besar dan kecil, mereka yang lemah dan kuat, sehingga tidak terdapat
padanya kesempatan untuk berpendapat atau berbicara dengan hawa nafsu.”

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pembagian hak waris untuk anak laki-laki?
2. Bagaimana pembagian hak waris untuk anak perempuan?
3. Bagaimana status anak angkat dalam pembagian hak waris?
4. Bagaimana cara mengetahui sebab gugurnya warisan terhadap anak?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui bagaimana cara pembagian hak waris untuk anak laki-laki
2. Untuk mengetahui bagaimana cara pembagian hak waris untuk anak perempuan
3. Untuk mengetahui bagaimana status anak angkat dalam pembagian hak waris
4. Untuk mengetahui sebab digugurkannya suatu warisan terhadap anak

1
D. RUANG LINGKUP / BATASAN MASALAH
Ruang lingkup makalah ini adalah :
1. Pembagian hak waris untuk anak laki-laki
2. Pembagian hak waris untuk anak perempuan
3. Kedudukan Hukum dan Hak Waris Anak Angkat
4. Penyebab gugurnya warisan terhadap anak

2
BAB II
PEMBAHASAN MATERI

1. Pembagian Hak Waris Untuk Anak Laki-laki


Sering kali di luar sana ada orang yang selalu bertanya mengapa pembagian hak
waris untuk anak laki-laki besarnya dua kali lipat dari pada seorang anak perempuan.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu menimbulkan pro dan contra sampai saat ini.
Ada yang masih belum paham ataupun yang lainnya. Di antara banyaknya pertanyaan
tersebut maka juga pendapat mulai beredar masing-masing.
Tentunya, setiap pendapat masing-masing orang berbeda, ada yang membedakan
derajatnya, kekuatannya dan lain-lain. Tetapi, dari banyaknya pendapat yang beredar,
tetap saja ulama bahkan para pakar islam yang mengetahui persis tentang pelajaran
ilmu waris tentu mengambil pendapat yang terdekat dengan Al-Quran.
Allah SWT berfirman yang artinya “Apakah kamu beriman kepada sebagian
kepada Al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang
yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan
pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak
lengah dari apa yang kamu perbuat.” (Q.S Al-Baqarah (2) : 85)
Terlebih khusus dalam mengimani ayat-ayat waris, di antaranya firman Allah
SWT : “Allah mensyariatkan bagimu tentang bagian pusaka untuk anak-anakmu.
Yaitu : bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan
sekaligus.” (Q.S An-Nisa’ (4) : 11)
Seperti yang dijelaskan pada kutipan ayat tersebut bahwa Allah dalam firmannya
menyebutkan bagian pada seorang anak laki-laki memang lebih besar atau lebih
banyak dua kali lipat dari pada seorang perempuan. Dari kutipan ayat di atas bisa
lebih menjelaskan kepada orang-orang di luar sana yang belum paham, mengapa bisa
begitu maka kutipan ayat dari Surah An-Nisa’ tersebut yang bisa menjawabnya.
Mengapa bisa begitu? Itu di karenakan anak laki-laki mempunyai tanggung jawab
yang sangat besar terhadap dari pada seorang perempuan, misalnya seperti menafkahi
dirinya, istrinya, kerabat yang berada di bawah tangannya, bagaimana ia terhadap
sesama saudaranya, sekalipun teman-teman dan sahabatnya, tanggung jawab terhadap
ibunya, istrinya, atau bahkan terhadap anak perempuannya.

3
Itulah sebab mengapa seorang anak laki-laki memiliki atau mendapat warisan
yang besarnya dua kali lipat dari pada seorang anak perempuan. Bukan karena sebab
derajat, kekuatan, wibawa ataupun yang lainnya. Melainkan mengambil pendapat
yang dekat dengan Al-Quran maupun hadits. Firman Allah SWT : “Bagi laki-laki ada
hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya.
Salah seorang anggota milis dengan sombongnya berkata “keluarga kami telah
membagi harta warisan sama rata, ada yang protes?”
Saya menjawab “saya tidak punya kaitan apa-apa dengan harta keluarga kamu. Tapi
kalau keluarga kamu membagi rata harta itu dengan cara tersebut, apa kamu bisa tidur
tenang di malam hari?”
“Apa maksudmu?”
“Apa kamu tidak takut kalau Allah SWT marah dengan cara jika pembagian harta
yang kamu lakukan seperti itu”
“Mengapa harus takut?”
“Bukankah Allah sudah menetapkan cara pembagian harta warisan di dalam Al-
Quran? Ini hukum yang sudah pasti, dan tidak boleh dirubah-rubah.”
Saya kemudian menunjukkan beberapa surah yang menerangkan masalah warisan
seperti: Surah Al-Baqarah ayat 180 dan 240, Surah An-Nisa’ ayat 7-9, dan 33, serta
Surah Al-Maidah ayat 106-108.
Di dalam islam seorang perempuan tidak wajib untuk menafkahi keluarganya,
kewajiban itu terletak pada laki-laki. Maka dari itu, supaya seorang laki-laki mampu
menanggung beban tersebut, dia harus menerima dua kali lebih banyak harta warisan
dari pada pihak perempuan.
Misalnya : apabila seorang suami meninggal dan meninggalkan harta sebanyak
Rp.15.000.000 kepada dua orang anaknya ; seorang anak laki-laki dan perempuan.
Maka, anak laki-lakinya mendapatkan warisan sebesar Rp.10.000.000, sedangkan
anak perempuannya hanya mendapat warisan sebesar Rp.5.000.000 saja.
Dari Rp.10.000.000 yang diterima oleh anak laki-laki tersebut, sebagai tanggung
jawab terhadap keluarganya dia harus menggunakan harta warisan tersebut yang
diperolehnya, katakana sebesar Rp.8.000.000 untuk menafkahi ibunya dan saudara
perempuannya. Sisanya baru dia nikmati sendiri. Karena sejatinya laki-laki memang
lebih berada pada posisi dimana ia bisa menggantikan peran seorang ayah bila
meninggal dan menjadi orang yang akan menafkahi istri, ibu, dan saudara
perempuannya kelak.
4
2. Pembagian Hak Waris Untuk Anak Perempuan
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa harta warisan seorang anak
perempuan mustahil lebih besar dari pada laki-laki, karena tanggung jawab dan peran
seorang perempuan memang tidak sama dengan seorang anak laki-laki. Jika
dibandingkan, maka perbandingannya 2 : 1 untuk seorang anak laki-laki dan seorang
anak perempuan.
Dalam fiqih mawaris ada ilmu yang digunakan untuk mengetahui tata cara
pembagian, untuk mengetahui siapa-siapa saja yang berhak mendapat bagian, dan
berapa besar bagiannya (dalam lingkup anak perempuan) yaitu ilmu faraaidh [bagian-
bagian yang telah ditentukan kadarnya]. Firman Allah SWT : “bagi wanita ada hak
bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapaknya, baik sedikit ataupun banyak
menurut bagian yang telah ditetapkan.”
Allah SWT berfirman yang artinya : “Jika anak perempuan itu hanya seorang
saja, maka ia memperoleh separuh harta dari orang tuanya” (Q.S An-Nisaa’ : 11).
Tetap saja perolehan atau penerimaan harta warisan anak perempuan lebih sedikit
dibandingkan penerimaan harta warisan seorang anak laki-laki. Hal ini seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya.
3. Kedudukan Hukum dan Hak Waris Anak Angkat
Secara etimologi yang dimaksud anak angkat adalah anak orang lain yang
dijadikan seperti anak sendiri secara sah, dirawat, dan dididik semaksimal mungkin
serta diberikan kasih sayang seperti anak sendiri meskipun kenyataannya bukan dari
darah daging perempuan itu sendiri.
Pertama, berasal dari bahasa arab yang disebut “tabanny” yaitu suatu kebiasaan
pada masa jahiliyah dan permulaan islam yaitu apabila seorang yang mengangkat
anak orang lain sebagai anak, maka berlakulah hukum-hukum yang berlaku atas anak
kandungdan menurut Muhammad Yunus mengartikannya dengan mengambil anak
angkat.
Kedua, anak angkat berasa dari kata “luqata” yang berarti mengambil anak
pungut artinya pengangkatan anak yang belum dewasa ditemukan di jalan dan tidak
diketahui keturunannya. Pengangkatan anak juga bisa disebut adopsi yang berasal dari
bahasa inggris yaitu “adotipe” yang artinya pengangkatan seorang anak untuk
dijadikan anak kandung.

5
3.1. Tinjauan Hukum Dari Pengangkatan Anak
Di Indonesia, ada tiga sistem hukum yang berlaku dan mengatur permasalahan
tentang dan pengangkatan anak. Ketiga sistem hukum itu adalah hukum islam,
hukum adat dan hukum perdata. Pengangkatan anak ini juga akan berdampak pada
hal perwalian dan ahli waris.
1). Perwalian
Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka
orang tua angkat menjadi wali dari anak tersebut. Sejak saat itu pula, segala
hak dan kewajiban orang tua kandung beralih kepada orang tua asuh atau
orang tua angkat. Kecuali bagi anak seorang perempuan yang beragama islam,
apabila dia akan menikah nantinya maka yang hanya bisa menjadi wali
nikahnya hanyalah orang tua kandungnya atau bahkan saudara sedarahnya.
2). Waris
Khazanah dalam hukum kita, baik hukum adat maupun hukum
nasional, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki
kekuatan yang sama. Artinya seseorang bisa untuk memilih hukum mana yang
akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.
a) Hukum Adat
Apabila menggunakan lembaga adat, pembagian warisan terhadap
anak tergantung kepada hukum adat yang berlaku di daerah sekitarnya.
Bagi keluarga yang parental, - Jawa- misalnya, pengangkatan anak tidak
otomatis memutuskan tali keluarga anak tersebut dengan orang tua
kandungnya.
Oleh karena itu, selain mendapatkan hak waris dari orang tua
angkatnya, dia juga tetap berhak mendapatkan harta warisan lagi oleh orang
tua kandungnya. Berbeda dengan contoh misal di Bali, pengangkatan anak
merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari keluarga
asalnya.
Cara tersebut sangat tidak wajar jika kita mendengar pengangkatan
anak pada daerah Jawa. Di Bali, anak tersebut menjadi anak kandung dari
yang mengangkatnya dan meneruskan kedudukan dari ayah angkatnya (M.
Buddiarto, S.H, pengangkatan anak ditinjau dari segi hukum, AKAPRES,
1991).

6
b). Hukum Islam
Dalam hukum islam, pengangkatan anak tidak akan membawa
akibat hukum, pengalihan nasab, hal hubungan darah, hubungan wali-
mewali, dan hubungan waris – mewaris dengan orang tua angkat anak
tersebut.
Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak
tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya misal (M. Buddiarto,
S.H, pengangkatan anak ditinjau dari segi hukum, AKAPRES, 1991).
c). Hukum Perdata
Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan
anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari ayah
angkatnya, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang
tua angkat dan menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya. Artinya, akibat
pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang
terpangkal adalah pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orangtua
kandung dan anak tersebut.
3.2. Pengangkatan Anak Berhubungan Dengan Hak Waris
Islam sebenarnya tidak melarang praktek pengangkatan anak, sejauh tidak
mempengaruhi dan tidak merubah hubungan nasab atau keturunan antara anak
dengan oran tua kandungnya sendiri. Prektek pengangkatan anak dilarang ketika
hal ini berakibat keluarnya anak angkat dari hubungan nasab atau keturunan antara
anak dan orang tuanya sendiri dan masuk dalam hubungan nasab dengan orang tua
angkatnya.
As-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahumulahu
menjawab permasalahan yang seperti ini dengan pernyataan beliau, “Dahulu di
zaman jahiliyah, orang-orang yang mengangkat anak memperlakukan anak angkat
mereka seperti anak mereka sendiri yang hakiki seperti anak kandung dari segala
sisi ; dalam hal warisan, berkhalwat, dan dianggap sebagai mahram bagi anak
angkat tersebut.”
Zaid bin Haritsah radhiyallahuanhu, Maula Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, di masa sebelum beliau diangkat sebagai nabi, dipanggil dengan Zaid bin
Muhammad (karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkatnya sebagai
anak ). Maka Allah ‘Azza Wa Jalla berkehendak untuk menghapuskan semua

7
anggapan orang –orang jahiliyah tersebut berkaitan dengan anak angkat. Seperti
yang dijelaskan syariat islam dalam masalah anak angkat ini yakni :
1. Menghapus dan melarang adanya anak angkat yang dianggap sebagai
anak yang hakiki dalam segala sisi
Berdasarkan firman Allah yang artinya “Dan Allah sekali-kali tidak
menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak kandung kalian sendiri.
Yang demikian itu hanyalah perkataan kalian di mulut saja. Dan Allah
mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar.
Panggillah mereka (anak-anak agkat itu) dengan memakai nama ayah mereka,
itulah yang lebih adil di sisi Allah SWT. Dan jika kalian tidak mengetahui
ayah mereka maka paggillah mereka sebagai saudara – saudara kalian seagama
dan maula – maula kalian (Al-Ahzab : 4-5).”
Allah ‘Azza Wa Jalla memerintahkan kita agar mengembalikan penasaban
anak – anak angkat tersebut kepada ayah kandung mereka, bila memang
diketahui siapa ayah kandung mereka. Bila tidak diketahui maka mereka
adalah saudara – saudara kita seagama dan maula kita. Allah Subhanahu Wa
Ta’ala beritakan bahwa yang demikian ini lebih adil di sisi-Nya.
Dalam ayat di atas, Allah ‘Azza Wa Jalla menerangkan bahwa ucapan
seseorang kepada orang lain dengan “anakku” tidaklah berarti anak tersebut
menjadi anaknya yang sebenarnya yang dengannya ditetapkan hukum –
hukum bunuwwah (anak dengan orang tua kandungnya).
Bahkan tidak mungkin anak yang diangkat oleh seorang yang lain bisa
menjadi anak kandung bagi selain ayahnya sendiri. Seorang anak tidak boleh
mengakui ada ayah yang lain sementara ia bukan darag dagingnya sendiri.
Karena seorang anak yang tercipta dari sulbi lelaki lain, sebagaimana tidak
mungkinnya seseorang memiliki dua hati / 1 jantung, dan Allah Azza Wa Jalla
memerintahkan untuk mengembalikan nasab-nasab mereka kepada ayah
kandung mereka sendiri.
2. Memutuskan hubungan waris antara anak angkat dengan ayah
angkatnya
Disebutkan dalam perkara anak angkat bahwa firman Allah SWT yang
artinya : “Dan jika ada orang – orang yang kalian telah bersumpah setia
dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya.” (Q.S An-Nisa’ : 33 )

8
Ibnu Jarir rahimahullahu yang menyatakan berhubungan dengan perihal
anak angkat, ia berkata “ayat ini hanyalah turun terhadap orang – orang yang
dulunya menganggap anak pada selain anak kandung mereka dan mereka
memberikan warisan terhadap anak-anak angkat tersebut.”
Allah ‘Azza Wa Jalla menurunkan ayat bagi perkara mereka masalah anak
angkat tersebut. Untuk anak-anak angkat, Allah SWT berikan bagian dari
harta (orang tua / ayah angkat mereka) dalam bentuk wasiat4, sementara
warisan dikembalikan kepada yang berhak dari kalangan dzawil arham5 dan
‘ashabah6. Allah ‘Azza Wa Jalla meniadakan adanya hak waris dari orang tua
angkat untuk anak mereka, namun Allah ‘Azza Wa Jalla menetapkan adanya
sebagian harta yang dimiliki oleh ayah anak-anak angkat mereka dalam
bentuk wasiat.”
3.3. Fatwa Muhammadiyah dan NU Mengenai Pengangkatan Anak
a. Muhammadiyah
Anak angkat tidak boleh diaku atau disamakan dengan anak kandung /
darah daging, sehingga dalam pembagian harta warisan, anak angkat yang
tidak memiliki hubungan nasab atau hubungan darah dengan orang tua
angkatnya tidak dapat saling mewarisi antara keduanya.
Dengan kata lain, anak angkat tidak mewarisi harta warisan yang
ditinggalkan oleh oran tua angkatnya, demikian pula sebaliknya. Orang tua
angkat pun tidak bisa atau tidak boleh mewarisi harta warisannya kepada anak
angkatnya, kecuali seperti yang dijelaskan di atas mungkin bisa saja
meneruskan atau dengan kata lain, harta yang akan diterimanya tertera dalam
wasiat terlebih dahulu.
Namun, dalam Kompilasi Hukum Islam, kedudukan anak angkat
dalam pembagian harta warisan disebutkan sebagai penerima wasiat ;
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 209 ayat (2) : “Terhadap anak angkat
yang tidak menerima wasiat dari orang tua angkatnya, maka ia tidak berhak
untuk menerima wasiat sebanyak – banyaknya 1/3 dari harta warisan dari
orangtua angkatnya.”
b. Nahdlatul Ulama
Nahdlatul Ulama dalam Munas Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur
pada 21 Desember 1983 juga telah menetapkan fatwa tentang pengangkatan
anak. Dalam fatwanya, ulama NU menyatakan bahwa :
9
“Mengangkat anak orang lain diperlakukan, dijadikan, dan diakui sebagai
anak sendiri maka hukumnya tidak sah.” Sebagai dasar hukumnya, ulama
NU mengutip hadits dari Nabi Muhammad SAW “Barang siapa yang
mengaku orang lain sebagai ayahnya, dan ia tahu bahwa orang tersebut
bukan ayahnya, maka surga diharamkan terhadap dirinya.” Qatadah
berkata, “siapapun tidak boleh mengatakan Zaid bin Haritsah itu putra
Muhammad” (Khazin, Juz VI).
Anak angkat tidak berhak menerima harta warisan, tetapi dengan melihat
kasih sayang diberikan anak angkat dan perjuangannya dalam mengurus
orang tua angkatnya maka demi kemaslahatan Ulama NU sepakat dengan
keputusan KHI (Kompilasi Hukum Indonesia) bahwa anak angkat berhak
menerima harta dengan jalan diberikannya wasiat wajibah.
“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa
tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-
Mu.”
Hak waris pengangkatan anak secara sistem hukum islam berdampak
sebagai berikut :
1. Orang tua angkat harus mendidik dan memelihara anak angkat
sebaikbaiknya.
2. Anak angkat tidak menjadi ahli waris orang tua angkat, maka ia tidak
mendapat harta warisan dari orang tua angkatnya. Demikian juga orang
tua angkatnya tidak berhak menjadi ahli waris anak angkatnya, maka ia
tidak mendapat harta warisan dari anak angkatnya tersebut.
3. Anak angkat boleh mendapat harta warisan dari orang tua angkatnya
melalui wasiat. Demikian juga orang tua angkat juga boleh mendapat
harta warisan dari anak angkatnya melalui wasiat. Besarnya wasiat
tidak boleh melebihi 1/3 harta.
4. Terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi harta
warisan sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya.
5. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi harta warisan
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

10
Dalam hal ini, pengangkatan anak (adopsi) harus dilakukan secara sah dengan
akta atau notaris dan/atau penetapan pengadilan. Mengapa? Agar anak adopsi yang
diadopsi secara sah (melalui akta notaris / penetapan pengadilan) mendapatkan status
hukum yang sama dengan anak sah juga dalam pembagian hak waris. Mengenai
pembagiannya, tergantung pada sistem hukum waris yang dipilih oleh orang tua
angkat mereka.
Jika tidak dilakukan demikian, semena-mena maka bisa jadi apabila orang tua
ingin melakukan praktek adopsi tidak sesuai dengan rukun dan syarat bagaimana cara
mengadopsi seorang anak. Maka dari itu, banyak sekali pendapat atau opini yang
mengatakan harus sesuai dengan rukun dan persyaratan terlebih dahulu sebelum
melakukan pengangkatan anak.
Persyaratan tersebut memang sudah lumrah jika ada orang yang ingin
mengadopsi, karena sangkut – paut ke belakangnya akan berhubungan dengan hak
ataupun hukum waris nantinya. Meskipun anak angkat tidak akan mendapat harta
warisan dari orang tua angkatnya, tetapi bisa juga mendapat harta warisan sebanyak-
banyaknya 1/3 harta warisan yang dimiliki oleh orang tua angkatnya melalui wasiat.
Pengangkatan anak yang dihapus oleh islam yaitu ; jika seorang menisbatkan
anak kepada dirinya padahal dia tahu, bahwa dia itu anak orang yang lain. Anak
tersebut dinisbatkan kepada dirinya dan keluarganya, dan baginya berlaku seluruh
hukum misalnya : bebas bergaul, menjadi mahram, haram dikawin, dan berhak
mendapatkan hak waris.
Di sini, ada berbagai macam orang dengan pengangkatannya secara berbeda,
tetapi pada hakikatnya memang tidak diharamkan dalam islam. Misal : seorang ayah
memungut seorang anak kecil yatim atau mendapat di jalan, kemudian dijadikan
sebagai anaknya sendiri baik tentang kasih sayangnya, pemeliharaannya,
pendidikannya dll seperti anaknya sendiri.
Itu salah satu contoh terpuji dalam pandangan agama Allah SWT, siapa yang
mengerjakannya akan beroleh pahala kelak di surga. Rasulullah SAW dalam
haditsnya : “Saya akan bersama orang yang menanggung anak yatim, seperti ini
sambil ia menunjuk jari telunjuk dan jari tengah dan ia renggangkan antara keduanya”
(Riwayat Bukhari, Abu Daud, dan Tirmidzi).
Apabila seorang yang memungutnya itu tidak mempunyai keluarga, kemudian dia
bermaksud akan memberikan hartanya itu kepada anak pungutnya tersebut, maka dia

11
dapat menyalurkan melalui cara hibah sewaktu dia masih hidup, atau dengan jalan
wasiat dalam batas sepertiga harta, sebelum meninggal dunia.
Pada pasal 209 ayat (1) dan (2) buku Kompilasi Hukum Islam yang dipaparkan di
atas, pasal ini merupakan gagasan baru dalam produk ijtihad istislahi yang
mengindonesialisme artinya bahwa ketentuan anak angkat maupun orang tua angkat
yang memperoleh hak harta warisan lebih didasarkan pada pertimbangan
kemanusiaan, keadilan, dan keinginan untuk memilih alternatif yang terbaik walaupun
dalam islam anak angkat sudah dihapus dari menerima hak waris.
Salah satu akibat hukum dari pengangkatan anak adalah mengenai status anak
angkat tersebut sebagai ahli waris orang tua angkatnya. Status demikian inilah yang
sering menimbulkan permasalahan di dalam keluarga. Persoalan yang sering muncul
dalam peristiwa gugat-menggugat itu biasanya mengenai sah atau tidaknya
pengangkatan anak tersebut, serta kedudukan anak angkat itu sebagai ahli waris dari
orang tua angkatnya.
Anak angkat tidak berhak untuk menerima warisan dari orang tua angkatnya
menurut Hukum Islam. Karena prinsip pokok dalam kewarisan islam adalah
hubungan darah / nasab / keturunan. Namun, jika berbicara mengenai kemanusiaan,
keadilan, pendidikan, pengasuhan, maka anak angkat juga bisa mendapatkan harta
dengan tanda kutip “wasiat” seperti yang dipaparkan di atas.
4. Penyebab Gugurnya Warisan Terhadap Seorang Anak
Tidak jarang juga banyak orang tua di luar sana yang sering mengurungkan
niatnya untuk mewarisi harta kepada anaknya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Berikut
beberapa hal yang menyebabkan orang tua mengurungkan niatnya untuk mewarisi
harta kepada anaknya, yaitu :
1. Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (seorang anak membunuh
ayahnya), maka gugurlah haknya untuk mendapatkan warisan dari ayahnya. Oleh
karena itu, si anak tidak lagi berhak mendapatkan warisan di karenakan
perbuatannya sendiri. Seperti sabda Rasulullah SAW : “Tidaklah seorang
pembunuh berhak mewarisi harta orang yang telah dibunuhnya”.
Entah karena sebab apa seorang anak yang tega membunuh orang tuanya,
mungkin dengan alasan mabuk, kesal, marah dll terhadap orang tuanya yang jelas

12
anak tersebut sudah tidak berhak untuk mewarisi sekecil – kecilpun harta warisan
milik kedua orang tuanya sendiri.
2. Perbedaan Agama
Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non –
muslim, apapun agamanya. Maka, seorang anak tunggal yang menjadi satu-
satunya ahli waris dari ayahnya sendiri pun tidak bisa menjadi ahli waris dari
ayahnya, dan juga ia akan gugur hak dengan sendirinya apabila dia tidak
beragama Islam.
Misal : sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Sementara si ayah
beragama muslim, sementara si ibu beragama non-muslim. Mereka berdua tetap
percaya pada keyakinan masing-masing dan teguh terhadap kepercayaannya
sendiri. Si anak ikut agama sang ibu yaitu non-muslim. Maka, sang anak tidak
berhak untuk mewarisi segala harta warisan milik ayahnya karena ia bukan
seorang muslim.

13
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Warisan adalah harta peninggalan seseorang yang telah meninggal kepada
seseorang yang masih hidup. Misalnya orang tua yang telah meninggal maka harta
warisan yang ia punya diberikan kepada anaknya. Firman Allah SWT : “Bagi laki-laki
ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada
hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapaknya, baik sedikit ataupun banyak
menurut bagian yang telah ditetapkan.”
Pada setiap pembagian warisan, status anak laki-laki tentu saja tidak sama dengan
warisan seorang anak perempuan. Pembagian warisan untuk anak laki-laki besarnya
dua kali lipat dari pada anak perempuan. Mengapa? Karena anak perempuan tidak
mempunyai tanggung jawab layaknya seorang anak laki-laki, anak perempuan juga
tidak wajib menghidupi atau menafkahi keluarganya kelak. Maka dari itu, pada anak
laki-laki warisan tersebut lebih besar dua kali lipat dari pada warisan seorang anak
perempuan.
Sedangkan untuk anak angkat, dalam islam sudah dihapus tentang waris-mewaris
dengan status anak angkat. Tetapi, jika ada orang yang bertanya mengapa dihapus,
apa penyebabnya? Pendapat pun mulai bermunculan. Sebenarnya di dalam islam
memang tidak berhak untuk waris-mewaris jika bukan darah dagingnya. Karena
bukan keturunannya itulah, maka pernyataan mengenai anak angkat seperti itu
dihapus.
Tetapi menurut Kompilasi Hukum Islam anak angkat bisa saja menerima atau
mendapat bagian warisan asalkan dengan tanda kutip “wasiat”. Jika orang tua
angkatnya tidak memberikan wasiat kepada anak angkatnya, maka si anak tersebut
tidak berhak untuk warisan orang tua angkatnya. Namun, apabila terdapat surat wasiat
maka secara nyata si anak bisa mendapat harta warisan orang tua angkatnya sebesar-
besarnya 1/3 dari hartanya.
Dalam kasus hak waris ini sering kali orangtua di luar sana yang terkadang
mengurungkan niatnya untuk mewarisi harta kepada anaknya. Mengapa demikian?
Ada beberapa faktor yaitu :

14
1. Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (seorang anak membunuh
ayahnya), maka gugurlah haknya untuk mendapatkan warisan dari ayahnya. Oleh
karena itu, si anak tidak lagi berhak mendapatkan warisan di karenakan
perbuatannya sendiri. Entah dengan alasan apapun, yang jelas anak tersebut sudah
tidak bisa lagi mendapatkan harta warisan orangtuanya.
2. Perbedaan Agama
Seorang muslim tidak bisa dan tidak berhak mendapatkan atau menerima
hak waris terhadap non-muslim. Pewaris dan ahli waris antara satu sama lain
harus mempunyai keyakinan yang sama. Contohnya jika seorang ayah dan anak
berbeda agama, ayahnya seorang muslim sedangkan anaknya non-muslim, maka
si anak tidak bisa mendapatkan warisan tersebut dari ayahnya meskipun ia anak
tunggal sekalipun karena ia bukan seorang muslim.

15
B. SARAN
Dari pembahasan dan kesimpulan di atas saya menulis beberapa saran yang
mungkin dapat membantu pembaca yang masih belum paham mengenai ilmu waris,
yaitu :
1. Bagi orang tua yang bingung bagaimana cara menentukan pembagian hak waris
yang benar bisa membaca artikel ataupun bertanya kepada yang lebih tau.
2. Orang tua di luar sana yang masih menganggap bahwa status pembagian hak waris
antara anak laki-laki dan perempuan sama, sebenarnya tidak sama.
3. Jika seorang orangtua ingin mengangkat anak maka harus mengetahui terlebih
dahulu rukun dan syaratnya.
4. Apabila ada orang tua yang mengangkat anak tetapi berbeda keyakinan, warisan
tersebut tidak bisa diberikan kepada anaknya karena berbeda keyakinan.
5. Dibutuhkan kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan makalah
ini, agar lebih menyamankan pembaca untuk memahami lebih dalam apa yang
tercakup dalam makalah ini.

16

Anda mungkin juga menyukai