Anda di halaman 1dari 18

Hukum Waris Islam Jika Anak

Meninggal Duluan

Berita Bisnis

Berita dan Informasi Praktis soal Ekonomi Bisnis


Konten dari Pengguna
21 Februari 2022 22:44
·
waktu baca 5 menit

Tulisan dari Berita Bisnis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perbesar

Ilustrasi Hukum Waris Islam Jika Anak Meninggal Duluan. Foto: Monstera/Pexels
Bagaimana hukum waris islam jika anak meninggal duluan?
Akankah artinya tidak mendapatkan harta warisan atau boleh
dengan pewaris pengganti? Simak rukun dan aturannya berikut.
Dalam buku Hukum Waris Islam di Indonesia (2013:19) karya A.
Sukris Sarmasi, hukum waris islam memiliki pengertian hukum
yang mengatur tentang pemindahan atau pembagian hak
kepemilikan harta peninggalan atau harta waris (tirkah) pewaris
berdasarkan Al-Quran dan Al Hadits. Dengan kata lain, hukum
waris islam menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli dan
memiliki bagian masing-masing.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 171 yang menjelaskan
tentang waris, memiliki pengertian “Hukum waris islam
sepenuhnya adalah hukum yang dibuat untuk mengatur terkait
pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan pewaris, serta
menentukan siapa saja yang berhak menerima dan menjadi ahli
warisnya, dan juga jumlah bagian tiap ahli waris”.
Maka dari itu, di dalam hukum waris Islam juga tertera aturan
dalam menentukan siapa yang akan menjadi ahli waris, jumlah
bagian dari masing-masing para ahli waris, hingga jenis harta waris
atau peninggalan apa yang diberikan oleh pewaris kepada ahli
warisnya.
Untuk itu, para ahli waris harus mengetahui dan mempelajari
ketentuan pembagian warisan sesuai aturan hukum syariah yang
telah ditetapkan. Lalu, timbul pertanyaan apakah jika ahli waris
(anak) meninggal terlebih dahulu dari pewaris apakah akan tetap
menerima warisan? Simak syarat dan rukun pembagian harta
warisan berikut.
Syarat Pembagian Harta Warisan
Dalam Islam, setidaknya ada empat syarat yang harus dipenuhi
dalam pembagian harta warisan. Dr. Musthafa Al-Khin,
sebagaimana dikutip dari situs resmi Nahdlatul Ulama, NU Online
mengungkapkan keempat syarat tersebut.

1. Orang yang mewariskan harta benar-benar telah meninggal dunia.


Hal ini harus bisa dibuktikan secara medis agar terbukti
kebenarannya.
2. Ahli waris yang akan menerima harta haruslah dalam keadaan
hidup meskipun dalam keadaan sekarat.
3. Harus ada hubungan antara ahli waris dengan pewaris, baik melalui
kekerabatan nasab, hubungan pernikahan, maupun pemerdekaan
budak (wala’).
4. Adanya satu alasan secara rinci yang menetapkan seseorang bisa
mendapatkan warisan. Alasan pewarisan bisa disertai dengan saksi

Rukun Warisan
Selain empat syarat di atas, terdapat pula 3 rukun pembagian
warisan seperti yang ditulis oleh Muhammad Ajib dalam Fiqh
Hibah dan Waris (2019:44-45).

1. Orang yang mewariskan (al-muwarrits), yakni mayit yang diwarisi


oleh orang lain yang berhak mewarisinya.
2. Orang yang mewarisi (al-wârits), yaitu orang yang bertalian dengan
mayit dengan salah satu dari beberapa sebab yang menjadikan ia
bisa mewarisi.
3. Harta warisan (al-maurûts), yakni harta warisan yang ditinggalkan
mayit setelah kematiannya.
Perbesar

Ilustrasi Hukum Waris Islam Jika Anak Meninggal Duluan. Foto: RODNAE Productions/Pexels
Hukum Waris Islam Jika Anak Meninggal Duluan
Setelah membaca syarat dan rukun hukum warisan di atas, maka
timbul berbagai pertanyaan akankah ahli waris tersebut akan
mendapatkan harta warisan atau tidak, ya?
Bila ditinjau dari syarat sebelumnya, apabila anak yang meninggal
lebih dulu dari ayahnya (pewaris), maka tidak termasuk orang yang
mendapatkan warisan. Karena ia tidak ada ketika si ayah (pewaris)
meninggal.
Seperti poin di atas, si ahli waris harus ada atau hidup ketika si
pewaris meninggal. Karena tidak dapat waris, jatahnya pun tidak
ada dan tidak bisa diwakilkan atau digantikan oleh anaknya.
Sebagaimana bunyi pasal 185 KHI mengenai pewaris pengganti,
yakni.

 Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang
tersebut dalam Pasal 173.
 Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli
waris yang sederajat dengan yang diganti.

Melansir dari pa-jakartaselatan.go.id, dengan demikian maka anak


yang meninggal lebih dahulu dari orang tuanya, ketika orang tuanya
meninggal dunia, sebagai ahli waris, maka anak yang meninggal
lebih dahulu itu dapat digantikan oleh anaknya dalam menerima
warisan orang tuanya. Tidak lagi seperti yang terjadi selama ini,
yaitu cucu yang ditinggal mati oleh orang tuanya, ketika kakek
neneknya meninggal dunia, maka cucu itu tidak mendapat bagian
warisan dari harta kakek neneknya, karena dianggap telah putus
waris.
Dalam hal KHI ini, cucu yang ditinggal mati orang tuanya terlebih
dahulu tidak mendapat bagian warisan dari kakek neneknya kalau
cucu itu telah melakukan perbuatan sebagaimana disebutkan dalam
pasal 173 KHI, yaitu dipersalahkan telah membunuh, mencoba
membunuh atau menganiaya berat pewaris dan dipersalahkan
secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris
telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5
tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Pembagian Harta Warisan untuk Anak
Untuk kamu yang ingin mengetahui pembagian warisan untuk
anak, simak penjelasan berikut ini yang dikutip dari buku Hukum
Kewarisan Islam (2013) oleh Abdillah Mustari.
1. Untuk Satu Anak Laki-laki dan Satu Anak Perempuan
Anak laki-laki mendapat 2/3 bagian, sedangkan anak perempuan
mendapatkan 1/3 bagian. Ini berlaku apabila pewaris hanya
memiliki seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan.
2. Anak Laki-laki dan Perempuan Berjumlah Lebih dari
Satu
Apabila pewaris memiliki anak lebih dari satu dan terdiri dari laki-
laki dan perempuan, maka bagian untuk anak laki-laki adalah dua
kali bagian untuk anak perempuan.
Misalnya Anda memiliki 2 anak laki-laki dan 4 anak perempuan,
maka pewaris seolah-olah memiliki 8 orang anak perempuan (2
anak laki-laki x 2) + 4 anak perempuan = 8.
3. Jumlah Anak Lebih dari Satu dan Ada Ahli Waris
Lainnya
Apabila jumlah anak lebih dari satu yang terdiri dari anak laki-laki
dan anak perempuan, namun terdapat ahli waris lainnya yang
sudah diatur oleh Alquran secara tetap, yaitu duda atau janda serta
ayah dan ibu, maka golongan ini perlu didahulukan, bukan anak-
anak.
Setelah harta dibagikan kepada mereka, sisanya diberikan kepada
anak. Ketentuan bagian untuk anak laki-laki adalah dua kali bagian
untuk anak perempuan.
4. Hanya Ada Anak-anak Perempuan
Jika yang ditinggalkan adalah anak-anak perempuan saja, mereka
mendapat 2/3 bagian. Dari nilai 2/3 dari total warisan tersebut,
nantinya dibagi rata antara setiap anak perempuan.
5. Satu Anak Perempuan
Apabila pewaris hanya meninggalkan seorang anak perempuan saja
tanpa anak laki-laki, maka si anak berhak mendapatkan ½ bagian
dari harta peninggalan pewaris.
6. Satu Anak Laki-laki
Anak laki-laki tunggal berhak mewarisi seluruh sisa harta
peninggalan pewaris setelah dibagikan terlebih dahulu kepada ahli
waris lainnya yang sudah ditetapkan oleh Alquran secara tetap,
yakni duda atau janda, ayah dan ibu. Jika tidak ada ahli waris
seperti yang dimaksud, maka ia mendapatkan seluruh harta
warisan yang ada.

Hak Orang Tua atas Warisan Anaknya


yang Sudah Berkeluarga

Pertanyaan
Abang saya meninggal dunia, meninggalkan seorang istri dan anak umur 7 tahun. Pada saat
abang saya sakit parah, istrinya membawa anaknya kabur dari rumah. Setelah tahu abang
saya meninggal, dia kembali minta harta warisan. Abang saya meninggalkan sebuah rumah
hak milik atas nama sendiri, dan uang di bank dan tidak ada surat wasiat. Sekarang orang tua
saya mau menjual rumah tersebut dan sertifikat rumah ada di tangan orang tua saya. Apakah
orang tua saya berhak menjualnya, dan bagaimana prosesnya? Apakah orang tua saya dapat
bagian atas harta abang saya?

Ulasan Lengkap
 

NAYARA Advocacy merupakan lawfirm yang mengkhususkan


keahliannya dalam bidang hukum perorangan dan hukum keluarga.

Untuk berdiskusi lebih lanjut, silakan hubungi +6221 - 22837970 atau


email ke: info@nayaraadvocacy.com

Website : http://www.nayaraadvocacycom

Intisari:
 

Sistem hukum pewarisan di Indonesia terbagi menjadi 2 (dua) jenis, yakni pewarisan
menurut hukum barat yang merujuk kepada Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (“KUHPerdata”) dan pewarisan menurut hukum Islam yang merujuk kepada
Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).

Berdasarkan hukum waris barat, yang berhak mewaris adalah si istri (janda abang
Anda) dan anaknya, sehingga orang tua Anda tidak berhak untuk menjual rumah
warisan abang Anda itu. Akan tetapi, jika keluarga Anda beragama Islam dan tidak
menundukkan diri pada hukum waris barat, maka berdasarkan KHI yang berhak
mewaris adalah si istri, anak, serta orang tua Anda. Ini berarti orang tua Anda juga
mempunyai hak untuk menjual rumah tersebut, tetapi dengan persetujuan dari ahli
waris lain yaitu istri dan anak abang Anda.

Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini.

Ulasan:

Terima kasih atas pertanyaan yang telah diberikan.

Pertama-tama kami turut berduka atas kabar duka yang Anda alami.

Sebelum menentukan jawaban untuk Anda, maka kami akan menjelaskan bahwa sistem
hukum pewarisan di Indonesia terbagi menjadi 2 (dua) jenis, yakni pewarisan menurut
hukum barat yang merujuk kepada Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (“KUHPerdata”) dan pewarisan menurut hukum Islam yang merujuk kepada
Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).

Sistem Waris Berdasarkan Hukum Barat

Sistem waris barat ini berlaku bagi Warga Negara Indonesia beragama selain Islam atau
bagi yang beragama Islam namun “menundukkan” diri ke dalam hukum pewarisan
barat.

 
Di dalam Hukum Waris Barat, sebagaimana tertulis dalam Pasal 832 KUHPerdata,
yang berhak menjadi ahli waris adalah keluarga sedarah dan suami atau istri yang
hidup terlama.

Perlu diketahui, pewarisan dalam hukum barat mengenal 4 (empat) golongan ahli waris
sebagai berikut:

Golongan I : suami/istri yang hidup terlama dan anak/keturunannya.

Golongan II : orang tua dan saudara kandung pewaris

Golongan III : keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris

Golongan IV :
paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak
ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung
dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta
keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.
 

Penggolongan ini dimaksudkan agar para ahli waris dapat mengetahui ahli waris mana
yang berhak untuk didahulukan mendapatkan harta waris berdasarkan kedudukannya.
Sebagai contoh apabila ahli waris dalam Golongan I masih hidup, maka ahli waris dalam
Golongan II tidak berhak atas harta waris.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka yang berhak menjadi ahli waris berdasarkan
hukum waris barat adalah istri dan anak pewaris selaku ahli waris Golongan I.

Mengapa bukan orang tua pewaris?

Orang tua dari pewaris tidak berhak atas harta waris karena istri dan anak dari pewaris
yang merupakan ahli waris dalam golongan I masih hidup. Dengan demikian, sebagai
akibat hukumnya, orang tua dari pewaris tidak berhak melakukan tindakan kebendaan
apapun terhadap rumah milik pewaris termasuk melakukan penjualan rumah milik
pewaris kepada pihak manapun dan tidak berhak atas harta-harta lainnya yang dimiliki
oleh pewaris.

Bagaimana dengan bagian para ahli waris?

Satu hal yang perlu dicermati dalam hukum waris barat, dalam hal terjadi perkawinan
antara seorang laki-laki dan seorang wanita, maka pada saat itulah terjadi percampuran
harta secara bulat. Sesuai dengan Pasal 119 KUHPerdata yaitu:

“Sejak terjadinya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama


menyeluruh antara suami istri…”

 
Apabila sebelum perkawinan terdapat perjanjian kawin, maka tidak terjadi percampuran
harta yang artinya baik harta bawaan maupun harta yang diperoleh selama perkawinan
tetap menjadi milik masing-masing.

Kaitan harta bawaan dan harta gono-gini di atas berpengaruh terhadap perhitungan
bagian yang didapat ahli waris yaitu:

         Dalam hal tidak terdapat perjanjian kawin (percampuran harta/harta gono-gini)


maka harta Pewaris harus dibagi dua dulu (kloving). Dengan rincian ½ dari harta
bersama menjadi bagian istri, kemudian ½ lagi dibagi dua antara istri (1/4) dan anak
(1/4).

         Dalam hal terdapat perjanjian kawin (harta bawaan), maka atas harta bawaan si
pewaris dibagi dua antara istri dan anak, sehingga masing-masing mendapatkan ½.
Sedangkan harta bawaan istri tidak diotak-atik.

Sistem Waris Berdasarkan Hukum Islam

Pembagian waris menurut ketentuan hukum waris Islam pada prinsipnya berlaku untuk
Warga Negara Indonesia yang beragama Islam, namun demikian apabila warga Negara
Indonesia beragama Islam ingin tunduk pada hukum waris barat, maka hal ini
dimungkinkan, namun tidak sebaliknya.

Merujuk kepada Pasal 174 KHI, maka Ahli Waris dikelompokkan menjadi 2 (dua)
bagian, yakni sebagai berikut :

1.    Ahli Waris menurut hubungan darah terdiri dari:

-      Golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman
dan kakek.

-      Golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan


dan nenek.

2.    Ahli Waris menurut hubungan perkawinan tediri dari duda atau janda.

Di dalam Pasal 174 ayat (2) KHI dijelaskan pula bahwa apabila semua ahli waris ada,
maka yang berhak mendapatkan warisan adalah anak, ayah, ibu, janda atau duda.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka yang berhak untuk menjadi ahli waris
berdasarkan hukum waris Islam adalah orang tua dari pewaris, istri (janda) dan anak.

Bagaimana dengan bagian masing-masing ahli waris?

 
Tidak seperti hukum waris barat, dalam hukum waris Islam tidak akan terpengaruh oleh
perjanjian perkawinan yang pada akhirnya mempengaruhi bagian ahli waris. Dalam
hukum waris Islam besarnya bagian yang diberikan adalah sebagai berikut:

Mengenai berapa bagian dari harta waris yang diperoleh ayah dan ibu pewaris, hal ini
telah diatur di dalam KHI. Mengingat bahwa pewaris meninggalkan seorang anak, maka
bagian dari ayah dan ibu dari pewaris masing-masing adalah seperenam dari harta waris
(Pasal 177 dan Pasal 178 ayat (1) KHI).

Jika ibu mewaris bersama-sama juga dengan ayah, maka ibu mendapat sepertiga bagian
dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda.[1]

Jika orang tua pewaris ingin melakukan penjualan rumah pewaris, maka harus
mengajukan permintaan kepada ahli waris lainnya yakni istri dan anak pewaris serta
membuat kesepakatan dengan ahli waris lain tersebut.

Namun apabila istri pewaris dan anak pewaris menolak untuk melakukan penjualan atas
harta waris maka orang tua dari pewaris dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan
Agama untuk dilakukan pembagian warisan (Pasal 188 KHI).

Terhadap kedudukan dari anak pewaris, dikarenakan usianyar baru 7 (tujuh) tahun atau
dengan kata lain belum dewasa, maka terhadap ahli waris tersebut dapat diangkat wali
berdasarkan keputusan Hakim atas usul anggota keluarga.

Dasar Hukum:

1.    Kitab Undang-undang Hukum Perdata;

2.    Kompilasi Hukum Islam.

[1] Pasal 178 ayat (2) KHI


Bagaimana proses pembagian harta warisan apabila suami meninggal
dunia dan meninggalkan istri dan dua orang anak? Bagaimana pula
apabila kedua orang tua meninggal dunia meninggalkan dua orang
anak?
Pertama-tama perlu kami jelaskan dulu bahwa hukum waris di Indonesia masih bersifat
pluralisme karena pada saat ini masih berlaku tiga sistem hukum kewarisan yaitu:
 Hukum waris adat: berlaku bagi Warga Negara Indonesia (WNI) golongan Indonesia Asli
(bumiputera);
 Hukum waris Islam: berlaku bagi WNI beragama Islam; dan
 Hukum waris perdata: berlaku bagi WNI golongan Timur Asing (Tionghoa, India, Arab).
Penggolongan ini bukanlah sesuatu yang mutlak, artinya para pihak diberikan ruang
untuk memilih dan menyepakati hukum waris mana yang ingin mereka gunakan.
Karena pada pertanyaan tidak disebutkan hukum apa yang ingin digunakan oleh para
ahli waris, kami akan menjelaskan dengan menggunakan Hukum Perdata saja.
Berdasarkan Pasal 852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), apabila
Pewaris meninggal dunia dan meninggalkan suami atau istri yang hidup terlama beserta
anak atau keturunannya,  mereka mewaris bagian yang sama besarnya. Ahli waris ini
disebut sebagai ahli waris Golongan I. Oleh karena itu, berdasarkan pertanyaan, yang
menjadi ahli waris adalah istri dan dua orang anak.
Setelah pewaris meninggal dunia, pewaris akan memberikan harta warisnya kepada ahli
waris. Menurut Pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU
Perkawinan), Harta di dalam perkawinan terdiri dari dua, yaitu:
 Harta bersama: harta yang didapat pada saat perkawinan. Misalnya setelah menikah, A
membeli rumah.
 Harta bawaan: harta yang didapat sebelum adanya perkawinan. Misalnya sebelum
menikah, A menginvestasikan sebagian gajinya untuk membeli emas.
Apabila di antara suami dan istri tidak dibuat perjanjian kawin atau prenuptial
agreement (atau biasa disebut dengan perjanjian pisah harta), harta yang ada di dalam
perkawinan tergolong sebagai harta bersama. Oleh karena itu, harta bersama harus
dibagi dua terlebih dahulu, sehingga ½ bagian adalah harta suami (Pewaris) dan ½
bagian adalah harta istri. Kemudian, ½ bagian harta suami ditambah dengan harta
bawaan suami disebut sebagai harta peninggalan. Harta peninggalan inilah yang
kemudian akan dibagi ke ahli waris, yaitu istri, anak pertama, dan anak kedua.
Apabila di antara suami istri ada perjanjian kawin, maka harta dianggap sebagai harta
milik masing-masing sehingga harta suami (Pewaris) yang terdiri dari harta bersama dan
harta bawaan langsung dibagi tiga, yaitu kepada istri dan dua anak.
Lalu bagaimana apabila kedua orang tua telah meninggal dunia? Apabila kedua orang
tua meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak, maka kedua anak tersebut
yang akan menjadi ahli waris Golongan I. Masing-masing anak akan mendapat bagian
sama besar, yaitu ½ bagian dari harta Pewaris.
Sumber hukum:
 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Hak Waris Istri Jika Suami Meninggal
Menurut Islam
Menurut hukum Islam, istri adalah salah satu kelompok ahli waris yang berhak menerima
bagian dari harta warisan suami yang telah meninggal dunia. Bagian waris istri dalam Islam
tergantung pada beberapa faktor, seperti apakah suami meninggalkan anak atau tidak,
apakah suami memiliki orang tua yang masih hidup, dan sebagainya.

Jika suami meninggalkan istri tanpa anak atau keturunan, maka istri berhak menerima
seperempat dari seluruh harta warisan suami. Namun, jika suami meninggalkan anak atau
keturunan, maka istri hanya berhak menerima satu per delapan dari seluruh harta warisan
suami.

Selain itu, jika suami meninggalkan orang tua yang masih hidup, maka bagian waris istri
akan lebih kecil lagi.

Namun, perlu dicatat bahwa pembagian warisan dalam Islam dapat disesuaikan dan
dinegosiasikan dalam hal-hal tertentu dengan kesepakatan ahli waris. Hal ini dilakukan
dengan tujuan untuk menghindari konflik dan merugikan pihak tertentu dalam pembagian
warisan.

Itulah hak waris istri jika suami meninggal dalam Islam.

Aturan Pembagian Hak Waris Menurut


Hukum Perdata Indonesia
Aturan pembagian hak waris menurut hukum perdata Indonesia diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan beberapa undang-undang lainnya yang terkait
dengan peraturan waris.
Berbeda dengan hukum waris Islam yang hanya berlaku bagi umat Islam, hukum perdata
berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia tanpa memandang agama atau kepercayaan
yang dianut.

Berdasarkan KUH Perdata, pembagian warisan diatur berdasarkan prinsip persamaan dan
keadilan. Artinya, semua ahli waris berhak atas bagian yang sama dan diberikan hak yang
sama untuk memperoleh harta warisan sesuai dengan peruntukannya. Pembagian warisan
diatur dalam empat tingkatan, yaitu:

 Ahli waris tingkat I: anak atau cucu, orang tua, dan istri/suami. Jika terdapat
beberapa ahli waris tingkat I, maka bagian warisan akan dibagi secara proporsional
sesuai dengan jumlah ahli waris di tingkatan tersebut.

 Ahli waris tingkat II: saudara kandung, saudara seayah, dan saudara seibu. Jika
tidak ada ahli waris tingkat I, maka ahli waris tingkat II akan berhak atas seluruh
harta warisan. Namun, jika terdapat ahli waris tingkat I, maka ahli waris tingkat II
hanya berhak atas bagian yang belum terbagi kepada ahli waris tingkat I.

 Ahli waris tingkat III: kakek/nenek, saudara kandung dari orang tua, dan sepupu dari
ayah/ibu. Ahli waris tingkat III hanya berhak atas bagian yang belum terbagi kepada
ahli waris tingkat I dan II.

 Ahli waris tingkat IV: kerabat jauh yang masih memiliki hubungan darah dengan
pewaris. Ahli waris tingkat IV hanya berhak atas bagian yang belum terbagi kepada
ahli waris tingkat I, II, dan III.

Namun, perlu dicatat bahwa dalam hukum perdata, tidak terdapat perbedaan hak waris
antara laki-laki dan perempuan. Artinya, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama
atas harta warisan yang ditinggalkan.
Beda Aturan Hak Waris dalam Islam dan
Hukum Perdata
Walau hak waris memiliki aturannya yang berlaku di Indonesia, namun ada perbedaan hak
waris dalam hukum perdata maupun hukum islam. Maka dari itu berikut perbedaan yang
dapat anda simak antara lain:

Hukum Perdata Hukum Islam

pembagian warisan diatur berdasarkan aturan


perundang-undangan yang berlaku dan
pembagian warisan diatur berdasarkan aturan syariah dan
berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia
hanya berlaku bagi umat Islam
tanpa memandang agama atau kepercayaan
yang dianut

pembagian warisan tergantung pada tingkat pembagian warisan tergantung pada hubungan keluarga
kekerabatan dengan pewaris dengan pewaris

laki-laki dan perempuan memiliki hak yang terdapat perbedaan bagian warisan antara laki-laki dan
sama atas harta warisan perempuan. Misalnya, dalam hukum Islam, suami memiliki
bagian warisan yang lebih besar daripada istri dan anak
laki-laki memiliki bagian warisan yang lebih besar daripada
anak perempuan.

terdapat ketentuan bahwa sebagian dari harta warisan


tidak terdapat ketentuan seperti wakaf harus disedekahkan (wakaf) kepada orang lain atau
keluarga yang tidak diakui sebagai ahli waris

wasiat atau perjanjian tersebut hanya berlaku


setelah pewaris meninggal dunia dan tidak ada kemungkinan untuk menyesuaikan pembagian
dapat melanggar ketentuan hukum yang telah warisan melalui wasiat atau perjanjian
ada

Tips Pembagian Warisan agar Tidak Terjadi


Sengketa
Agar tidak terjadi sengketa dalam pembagian hak waris, maka ada beberapa tips yang
dapat anda ikuti agar tidak terjadi konflik berkepanjangan. Berikut ini adalah beberapa tips
pembagian warisan agar tidak terjadi sengketa:

 Buatlah surat wasiat atau perjanjian pembagian warisan secara jelas dan tertulis
dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh seluruh ahli waris. Dalam surat wasiat
atau perjanjian tersebut, cantumkan dengan jelas dan detail siapa yang akan
mendapatkan bagian warisan apa.

 Selalu berpegang pada aturan hukum yang berlaku, baik hukum Islam maupun
hukum perdata Indonesia. Konsultasikan dengan ahli hukum jika perlu.

 Terbuka dan jujur dalam berkomunikasi dengan seluruh ahli waris. Jangan
menyembunyikan informasi tentang harta warisan atau melakukan tindakan yang
dapat merugikan ahli waris lainnya.
 Jangan membuat janji-janji palsu atau memberikan harapan palsu terkait pembagian
warisan.

 Hindari keputusan yang bersifat emosional atau impulsif dalam pembagian warisan.
Pertimbangkan dengan matang dan rasional setiap pilihan yang diambil.

 Jangan memaksa ahli waris lainnya untuk menerima pembagian warisan yang tidak
adil atau merugikan. Usahakan untuk mencari kesepakatan bersama agar semua
ahli waris merasa puas dengan pembagian warisan.

 Gunakan mediator atau penengah jika terjadi perselisihan atau ketidaksepakatan


dalam pembagian warisan. Mediator dapat membantu mencari solusi yang adil dan
meredakan ketegangan antara ahli waris.

 Terakhir, jangan menunda-nunda pembagian warisan untuk jangka waktu yang lama.
Segera selesaikan proses pembagian warisan dengan jelas dan transparan agar
tidak menimbulkan ketidakpastian dan konflik di antara ahli waris.

Anda mungkin juga menyukai