Meninggal Duluan
Berita Bisnis
Tulisan dari Berita Bisnis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perbesar
Ilustrasi Hukum Waris Islam Jika Anak Meninggal Duluan. Foto: Monstera/Pexels
Bagaimana hukum waris islam jika anak meninggal duluan?
Akankah artinya tidak mendapatkan harta warisan atau boleh
dengan pewaris pengganti? Simak rukun dan aturannya berikut.
Dalam buku Hukum Waris Islam di Indonesia (2013:19) karya A.
Sukris Sarmasi, hukum waris islam memiliki pengertian hukum
yang mengatur tentang pemindahan atau pembagian hak
kepemilikan harta peninggalan atau harta waris (tirkah) pewaris
berdasarkan Al-Quran dan Al Hadits. Dengan kata lain, hukum
waris islam menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli dan
memiliki bagian masing-masing.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 171 yang menjelaskan
tentang waris, memiliki pengertian “Hukum waris islam
sepenuhnya adalah hukum yang dibuat untuk mengatur terkait
pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan pewaris, serta
menentukan siapa saja yang berhak menerima dan menjadi ahli
warisnya, dan juga jumlah bagian tiap ahli waris”.
Maka dari itu, di dalam hukum waris Islam juga tertera aturan
dalam menentukan siapa yang akan menjadi ahli waris, jumlah
bagian dari masing-masing para ahli waris, hingga jenis harta waris
atau peninggalan apa yang diberikan oleh pewaris kepada ahli
warisnya.
Untuk itu, para ahli waris harus mengetahui dan mempelajari
ketentuan pembagian warisan sesuai aturan hukum syariah yang
telah ditetapkan. Lalu, timbul pertanyaan apakah jika ahli waris
(anak) meninggal terlebih dahulu dari pewaris apakah akan tetap
menerima warisan? Simak syarat dan rukun pembagian harta
warisan berikut.
Syarat Pembagian Harta Warisan
Dalam Islam, setidaknya ada empat syarat yang harus dipenuhi
dalam pembagian harta warisan. Dr. Musthafa Al-Khin,
sebagaimana dikutip dari situs resmi Nahdlatul Ulama, NU Online
mengungkapkan keempat syarat tersebut.
Rukun Warisan
Selain empat syarat di atas, terdapat pula 3 rukun pembagian
warisan seperti yang ditulis oleh Muhammad Ajib dalam Fiqh
Hibah dan Waris (2019:44-45).
Ilustrasi Hukum Waris Islam Jika Anak Meninggal Duluan. Foto: RODNAE Productions/Pexels
Hukum Waris Islam Jika Anak Meninggal Duluan
Setelah membaca syarat dan rukun hukum warisan di atas, maka
timbul berbagai pertanyaan akankah ahli waris tersebut akan
mendapatkan harta warisan atau tidak, ya?
Bila ditinjau dari syarat sebelumnya, apabila anak yang meninggal
lebih dulu dari ayahnya (pewaris), maka tidak termasuk orang yang
mendapatkan warisan. Karena ia tidak ada ketika si ayah (pewaris)
meninggal.
Seperti poin di atas, si ahli waris harus ada atau hidup ketika si
pewaris meninggal. Karena tidak dapat waris, jatahnya pun tidak
ada dan tidak bisa diwakilkan atau digantikan oleh anaknya.
Sebagaimana bunyi pasal 185 KHI mengenai pewaris pengganti,
yakni.
Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang
tersebut dalam Pasal 173.
Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli
waris yang sederajat dengan yang diganti.
Pertanyaan
Abang saya meninggal dunia, meninggalkan seorang istri dan anak umur 7 tahun. Pada saat
abang saya sakit parah, istrinya membawa anaknya kabur dari rumah. Setelah tahu abang
saya meninggal, dia kembali minta harta warisan. Abang saya meninggalkan sebuah rumah
hak milik atas nama sendiri, dan uang di bank dan tidak ada surat wasiat. Sekarang orang tua
saya mau menjual rumah tersebut dan sertifikat rumah ada di tangan orang tua saya. Apakah
orang tua saya berhak menjualnya, dan bagaimana prosesnya? Apakah orang tua saya dapat
bagian atas harta abang saya?
Ulasan Lengkap
Website : http://www.nayaraadvocacycom
Intisari:
Sistem hukum pewarisan di Indonesia terbagi menjadi 2 (dua) jenis, yakni pewarisan
menurut hukum barat yang merujuk kepada Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (“KUHPerdata”) dan pewarisan menurut hukum Islam yang merujuk kepada
Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).
Berdasarkan hukum waris barat, yang berhak mewaris adalah si istri (janda abang
Anda) dan anaknya, sehingga orang tua Anda tidak berhak untuk menjual rumah
warisan abang Anda itu. Akan tetapi, jika keluarga Anda beragama Islam dan tidak
menundukkan diri pada hukum waris barat, maka berdasarkan KHI yang berhak
mewaris adalah si istri, anak, serta orang tua Anda. Ini berarti orang tua Anda juga
mempunyai hak untuk menjual rumah tersebut, tetapi dengan persetujuan dari ahli
waris lain yaitu istri dan anak abang Anda.
Ulasan:
Pertama-tama kami turut berduka atas kabar duka yang Anda alami.
Sebelum menentukan jawaban untuk Anda, maka kami akan menjelaskan bahwa sistem
hukum pewarisan di Indonesia terbagi menjadi 2 (dua) jenis, yakni pewarisan menurut
hukum barat yang merujuk kepada Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (“KUHPerdata”) dan pewarisan menurut hukum Islam yang merujuk kepada
Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).
Sistem waris barat ini berlaku bagi Warga Negara Indonesia beragama selain Islam atau
bagi yang beragama Islam namun “menundukkan” diri ke dalam hukum pewarisan
barat.
Di dalam Hukum Waris Barat, sebagaimana tertulis dalam Pasal 832 KUHPerdata,
yang berhak menjadi ahli waris adalah keluarga sedarah dan suami atau istri yang
hidup terlama.
Perlu diketahui, pewarisan dalam hukum barat mengenal 4 (empat) golongan ahli waris
sebagai berikut:
Golongan III : keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris
Golongan IV :
paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak
ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung
dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta
keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.
Penggolongan ini dimaksudkan agar para ahli waris dapat mengetahui ahli waris mana
yang berhak untuk didahulukan mendapatkan harta waris berdasarkan kedudukannya.
Sebagai contoh apabila ahli waris dalam Golongan I masih hidup, maka ahli waris dalam
Golongan II tidak berhak atas harta waris.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka yang berhak menjadi ahli waris berdasarkan
hukum waris barat adalah istri dan anak pewaris selaku ahli waris Golongan I.
Orang tua dari pewaris tidak berhak atas harta waris karena istri dan anak dari pewaris
yang merupakan ahli waris dalam golongan I masih hidup. Dengan demikian, sebagai
akibat hukumnya, orang tua dari pewaris tidak berhak melakukan tindakan kebendaan
apapun terhadap rumah milik pewaris termasuk melakukan penjualan rumah milik
pewaris kepada pihak manapun dan tidak berhak atas harta-harta lainnya yang dimiliki
oleh pewaris.
Satu hal yang perlu dicermati dalam hukum waris barat, dalam hal terjadi perkawinan
antara seorang laki-laki dan seorang wanita, maka pada saat itulah terjadi percampuran
harta secara bulat. Sesuai dengan Pasal 119 KUHPerdata yaitu:
Apabila sebelum perkawinan terdapat perjanjian kawin, maka tidak terjadi percampuran
harta yang artinya baik harta bawaan maupun harta yang diperoleh selama perkawinan
tetap menjadi milik masing-masing.
Kaitan harta bawaan dan harta gono-gini di atas berpengaruh terhadap perhitungan
bagian yang didapat ahli waris yaitu:
Dalam hal terdapat perjanjian kawin (harta bawaan), maka atas harta bawaan si
pewaris dibagi dua antara istri dan anak, sehingga masing-masing mendapatkan ½.
Sedangkan harta bawaan istri tidak diotak-atik.
Pembagian waris menurut ketentuan hukum waris Islam pada prinsipnya berlaku untuk
Warga Negara Indonesia yang beragama Islam, namun demikian apabila warga Negara
Indonesia beragama Islam ingin tunduk pada hukum waris barat, maka hal ini
dimungkinkan, namun tidak sebaliknya.
Merujuk kepada Pasal 174 KHI, maka Ahli Waris dikelompokkan menjadi 2 (dua)
bagian, yakni sebagai berikut :
- Golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman
dan kakek.
2. Ahli Waris menurut hubungan perkawinan tediri dari duda atau janda.
Di dalam Pasal 174 ayat (2) KHI dijelaskan pula bahwa apabila semua ahli waris ada,
maka yang berhak mendapatkan warisan adalah anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka yang berhak untuk menjadi ahli waris
berdasarkan hukum waris Islam adalah orang tua dari pewaris, istri (janda) dan anak.
Tidak seperti hukum waris barat, dalam hukum waris Islam tidak akan terpengaruh oleh
perjanjian perkawinan yang pada akhirnya mempengaruhi bagian ahli waris. Dalam
hukum waris Islam besarnya bagian yang diberikan adalah sebagai berikut:
Mengenai berapa bagian dari harta waris yang diperoleh ayah dan ibu pewaris, hal ini
telah diatur di dalam KHI. Mengingat bahwa pewaris meninggalkan seorang anak, maka
bagian dari ayah dan ibu dari pewaris masing-masing adalah seperenam dari harta waris
(Pasal 177 dan Pasal 178 ayat (1) KHI).
Jika ibu mewaris bersama-sama juga dengan ayah, maka ibu mendapat sepertiga bagian
dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda.[1]
Jika orang tua pewaris ingin melakukan penjualan rumah pewaris, maka harus
mengajukan permintaan kepada ahli waris lainnya yakni istri dan anak pewaris serta
membuat kesepakatan dengan ahli waris lain tersebut.
Namun apabila istri pewaris dan anak pewaris menolak untuk melakukan penjualan atas
harta waris maka orang tua dari pewaris dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan
Agama untuk dilakukan pembagian warisan (Pasal 188 KHI).
Terhadap kedudukan dari anak pewaris, dikarenakan usianyar baru 7 (tujuh) tahun atau
dengan kata lain belum dewasa, maka terhadap ahli waris tersebut dapat diangkat wali
berdasarkan keputusan Hakim atas usul anggota keluarga.
Dasar Hukum:
Jika suami meninggalkan istri tanpa anak atau keturunan, maka istri berhak menerima
seperempat dari seluruh harta warisan suami. Namun, jika suami meninggalkan anak atau
keturunan, maka istri hanya berhak menerima satu per delapan dari seluruh harta warisan
suami.
Selain itu, jika suami meninggalkan orang tua yang masih hidup, maka bagian waris istri
akan lebih kecil lagi.
Namun, perlu dicatat bahwa pembagian warisan dalam Islam dapat disesuaikan dan
dinegosiasikan dalam hal-hal tertentu dengan kesepakatan ahli waris. Hal ini dilakukan
dengan tujuan untuk menghindari konflik dan merugikan pihak tertentu dalam pembagian
warisan.
Berdasarkan KUH Perdata, pembagian warisan diatur berdasarkan prinsip persamaan dan
keadilan. Artinya, semua ahli waris berhak atas bagian yang sama dan diberikan hak yang
sama untuk memperoleh harta warisan sesuai dengan peruntukannya. Pembagian warisan
diatur dalam empat tingkatan, yaitu:
Ahli waris tingkat I: anak atau cucu, orang tua, dan istri/suami. Jika terdapat
beberapa ahli waris tingkat I, maka bagian warisan akan dibagi secara proporsional
sesuai dengan jumlah ahli waris di tingkatan tersebut.
Ahli waris tingkat II: saudara kandung, saudara seayah, dan saudara seibu. Jika
tidak ada ahli waris tingkat I, maka ahli waris tingkat II akan berhak atas seluruh
harta warisan. Namun, jika terdapat ahli waris tingkat I, maka ahli waris tingkat II
hanya berhak atas bagian yang belum terbagi kepada ahli waris tingkat I.
Ahli waris tingkat III: kakek/nenek, saudara kandung dari orang tua, dan sepupu dari
ayah/ibu. Ahli waris tingkat III hanya berhak atas bagian yang belum terbagi kepada
ahli waris tingkat I dan II.
Ahli waris tingkat IV: kerabat jauh yang masih memiliki hubungan darah dengan
pewaris. Ahli waris tingkat IV hanya berhak atas bagian yang belum terbagi kepada
ahli waris tingkat I, II, dan III.
Namun, perlu dicatat bahwa dalam hukum perdata, tidak terdapat perbedaan hak waris
antara laki-laki dan perempuan. Artinya, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama
atas harta warisan yang ditinggalkan.
Beda Aturan Hak Waris dalam Islam dan
Hukum Perdata
Walau hak waris memiliki aturannya yang berlaku di Indonesia, namun ada perbedaan hak
waris dalam hukum perdata maupun hukum islam. Maka dari itu berikut perbedaan yang
dapat anda simak antara lain:
pembagian warisan tergantung pada tingkat pembagian warisan tergantung pada hubungan keluarga
kekerabatan dengan pewaris dengan pewaris
laki-laki dan perempuan memiliki hak yang terdapat perbedaan bagian warisan antara laki-laki dan
sama atas harta warisan perempuan. Misalnya, dalam hukum Islam, suami memiliki
bagian warisan yang lebih besar daripada istri dan anak
laki-laki memiliki bagian warisan yang lebih besar daripada
anak perempuan.
Buatlah surat wasiat atau perjanjian pembagian warisan secara jelas dan tertulis
dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh seluruh ahli waris. Dalam surat wasiat
atau perjanjian tersebut, cantumkan dengan jelas dan detail siapa yang akan
mendapatkan bagian warisan apa.
Selalu berpegang pada aturan hukum yang berlaku, baik hukum Islam maupun
hukum perdata Indonesia. Konsultasikan dengan ahli hukum jika perlu.
Terbuka dan jujur dalam berkomunikasi dengan seluruh ahli waris. Jangan
menyembunyikan informasi tentang harta warisan atau melakukan tindakan yang
dapat merugikan ahli waris lainnya.
Jangan membuat janji-janji palsu atau memberikan harapan palsu terkait pembagian
warisan.
Hindari keputusan yang bersifat emosional atau impulsif dalam pembagian warisan.
Pertimbangkan dengan matang dan rasional setiap pilihan yang diambil.
Jangan memaksa ahli waris lainnya untuk menerima pembagian warisan yang tidak
adil atau merugikan. Usahakan untuk mencari kesepakatan bersama agar semua
ahli waris merasa puas dengan pembagian warisan.
Terakhir, jangan menunda-nunda pembagian warisan untuk jangka waktu yang lama.
Segera selesaikan proses pembagian warisan dengan jelas dan transparan agar
tidak menimbulkan ketidakpastian dan konflik di antara ahli waris.