Anda di halaman 1dari 7

Kewarisan Anak Angkat dalam Hukum Islam

Wahyu Ciptaning Tyas


Maagister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya Malang
e-mail wahyuctyas123@gmail.com
Abstract
This paper is a scientific essay on the inheritance of adopted children in Islamic law, through
research and review of the literature related to this title the author wants to reveal the main issue,
namely how to inherit adopted children in Islamic law. According to Islamic law, adoption does
not bring legal consequences in terms of blood relations, wali-wali relationship and inheritance
relationship with adoptive parents. However, he is still the heir of his biological parents and the
child continues to use the name of his biological father even though Islam clearly cannot accept
the existence of an adopted child due to his position on the inheritance of the adoptive parents.
However, the Compilation of Islamic Law, which in fact is written law as a special guideline for
Muslims in resolving all legal issues including regarding the position of adopted children, is
explained in Article 209 of the Compilation of Islamic Law that an adopted child has the right to
receive a mandatory will of up to 1/3 of the assets. adoptive parent inheritance.
Keywords: Compilation of Islamic Law, Inheritance, Adopted Children

Abstrak

Tulisan ini merupakan karangan ilmiah tentang kewarisan anak angkat dalam Hukum Islam,
melalui penelitian dan pengkajian terhadap literatur-literatur yang berkaitan dengan judul ini
penulis ingin mengungkapkan pokok permasalahan yaitu bagaiman kewarisan anak angkat dalam
hukum Islam. Menurut hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam
hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua
angkat. Namun Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap
memakai nama dari ayah kandungnya meskipun secara jelas Islam tidak dapat menerima
keberadaan anak angkat atas kedudukannya terhadap harta warisan orang tua angkat. Akan
tetapi, Kompilasi Hukum Islam yang notabenenya sebagai hukum tertulis sebagai pedoman
khusus bagi umat Islam dalam menyelesaikan segala permasalahan hukum termasuk mengenai
kedudukan anak angkat, dijelaskan pada Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam bahwa anak angkat
berhak menerima wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkat.
Kata Kunci: Kompilasi Hukum Islam, Harta Warisan, Anak Angkat
PENDAHULUAN
Hukum Waris adalah hukum yang mengatur peralihan harta dari orang yang telah
meninggal dunia kepada keluarga yang masih hidup. Waris menurut bahasa ialah berpindahnya
sesuatu dari seseorang kepada orang lain. Ilmu yang mempelajari warisan biasa disebut ilmu
mawaris yang berasal dari kata faraid yaitu bagian yang ditentukan kadarnya.
Warisan adalah perpindahan hak kebendaan dari orang meninggal dunia kepada ahli
waris yang masih hidup. Dengan demikian, Hukum Waris dititik beratkan pada ahli waris yang
berhak mendapat bagian harta yang ditinggal meninggal seseorang. Jika yang dititik beratkan
adalah harta yang ditinggalkan, maka Hukum Waris disebut mirats atau tirkah, yaitu harta
peninggalan dalam bahasa Indonesia disebut harta pusaka1
Secara terminologi, Pewarisan diartikan sebagai suatu hukum yang mengatur tentang
pembagian harta peninggalan yang ditinggalkan oleh ahli waris dan menentukan bagian dari
masing-masing ahli waris yang memenuhi syarat.2
Ilmu waris ilmu faraid diambil dari kata Mafru<d{ha dalam QS An- Nisa ayat 7 yang artinya:

“Laki-laki berhak membagi harta sanak saudaranya dengan orang tuanya, dan perempuan
berhak membagi harta pusaka kerabatnya dengan orang tuanya itu diputuskan atau
ditetapkan.”3

Namun pada kenyataannya tidak semua orang memiliki ahli waris terutama ahli waris
keturunan, yang menjadi dambaan pasangan suami istri. Keturunan merupakan ahli waris,
dengan adanya keturunan dan keberadaan anak semakin mempererat ikatan perkawinan. Namun
perlu diketahui bahwa memiliki anak bukanlah suatu kewajiban, melainkan perintah dari Allah
SWT. Pada kenyataannya, beberapa orang ditakdirkan untuk tidak memiliki anak dalam keluarga
mereka. Sehingga sebagian orang melakukan pengangkatan anak, pengangkatan adalah
mengangkat anak orang lain yang dimasukkan kedalam keluarga sendiri, sehingga terjadi
peralihan tanggung jawab untuk pengasuhan, dan pemenuhan kebutuhan mereka.4

Menurut hukum Islam, pengangkatan anak tidak mempunyai akibat hukum terhadap
hubungan kekerabatan, perwalian, atau pewarisan dengan orang tua angkat. Ia akan tetap
1
Hasan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi dan fiqh Kontemporer (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2008), 342.
2
Ibid,343.
3
Abdul Ghofar Anshori, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press,2012), 8.
4
M. Budiarto, Pengangkatan anak yang di tinjau dari segi hukum (Jakarta: PT Melton Putra,1999), 12
menjadi pewaris dari orang tua kandung dan anak tersebut akan tetap memakai nama ayah
biologisnya. Dalam hal pengangkatan anak, anak angkat tidak mewarisi harta peninggalan orang
tua angkat, sehingga orang tua angkat dapat menyatakan kesediaannya untuk melindungi hak-
hak anak angkat, sepanjang tidak melebihi sepertiga bagian dari hak anak angkat harta
peninggalan.5

Hukum Islam membolehkan pengangkatan anak selama tidak memutuskan hubungan


kekerabatan dengan orang tua kandung. Satu-satunya asas pengangkatan anak dalam hukum
Islam adalah memelihara, memberi kasih sayang dan memberikan pendidikan. Walaupun tidak
memberikan hak waris kepada anak angkat dari orang tua angkatnya, namun Kompilasi Hukum
Islam yang merupakan produk manusia dari berbagai mazhab dan dijadikan sumber hukum di
negara kita, memberi ketentuan bahwa hak untuk membagi warisan sebagaimana diatur dalam
Pasal 209 Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam berbunyi: “Anak angkat tidak menerima wasiat,
tetapi mendapat wasiat wajibah 1/3 bagian6.

Berdasarkan Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam Ayat (2) di atas dapat dipahami bahwa
wasiat wajibah menurut Kompilasi Hukum Islam adalah wasiat yang diwajibkan berdasarkan
ketentuan perundang-undangan yang diperuntukkan bagi anak angkat atau sebaliknya orang
tua angkatnya yang tidak diberi wasiat sebelumnya oleh orang tua angkat atau anak
angkatnya, dengan jumlah maksimal 1/3 (sepertiga) dari harta peninggalan.7

Menurut ketentuan Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 bahwa anak angkat adalah anak
yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari- hari, biaya pendidikan dan sebagainya
beralih tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan
putusan pengadilan.8 Atas dasar pengertian tersebut dijelaskan bahwa yang dilarang menurut
Hukum Islam adalah pengangkatan anak sebagai anak kandung.

5
Siska Lis Sulistiani, Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif dan Hukum
Islam (Bandung: PT Refika Aditama,2015),19-20.
6
Kompilasi Hukum Islam, 64.
7
Habiburrahman, Rekontruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2011), 203.
PEMBAHASAN
Sesuai dengan Syari' at Islam yang menjadi dasar hukium terkait dengan waris, yang
pertama adalah Al-quran dalam surat An-Nisa ayat 7, 11, 12, dan 176. Selain itu juga hadist,
salah satunya hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a. Terjemahnya :
"Nabi Muhammad Saw. bersabda; berikanlah harta pusaka terhadap orang yang berhak.
Setelah itu, sisanya bagi orang laki-laki yang berhubungan Nasab dengan si pewaris" (RR.
Bukhari-Muslim)."
Selanjutnya, bagi umat Islam melaksanakan peraturan-peraturan syari'at yang ditunjuk oleh nash-
nash yang shahih, bahkan terkait dengan pembagian harta pusaka pun, merupakan suatu hal yang
wajib. Dalam surat An-Nisa' ayat 13 dan 14 pun dikatakan bahwa Allah SWT akan menyiapkan
surga untuk orang-orang yang mentaati ketentuan (pembagian warisan) dan memasukkan mereka
ke dalam neraka untuk selama-lamanya bagi orang-orang yang tidak mengindahkan. Dari
penjelasan diatas disimpulkan bahwa syari'at Islam mewajibkan pembagian waris harus sesuai
dengan Al-quran dan AI-Hadits.
Masalah hak waris anak angkat, memang tidak ada dalil yang membolehkan adanya hak
waris terhadap anak angkat, namun alangkah baiknya anak angkat tetap diberikan harta atas
peninggalan orang tua angkatnya. Yakni dengan jalan memberinya wasiat. Wasiat dapat
ditujukan kepada siapapun sesuai dengan kehendak orang yang berwasiat, bahkan kepada bayi
yang masih dalam kandungan pun hukumnya boleh. Untuk membedakannya dengan kedudukan
ahli waris, pengaturan anak angkat. sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al- Ahzab
ayat 4 dan 5 yang artinya:

”Allah sekalipun tak menjadikan untuk seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia
tak menjadikan istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tak menjadikan anak
angkatmu sebagai anak kandungmu. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu
saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka;
itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-
maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang
ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”.
Hak waris wasiat wajibah harus didahulukan pelaksanaannya daripada pembagian warisan
ahli waris. Aturan yang menjadi landasan hukumnya terdapat di dalam Pasal 175 kompilasi
hukum islam, tentang kewajiban ahli waris terhadap pewaris, dimana pada salah satu
kewajibannya tersebut terdapat kewajiban untuk menunaikan segala wasiat dari pewaris. Wasiat
wajibah pada Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 209 ayat 1 dan 2 yaitu :
1. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal-Pasal 176 sampai dengan 193
tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkatyang tidak menerima wasiat wajibah
diberi wasiat wajibah sebanyak banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkat.
2. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah, sebanyak
banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
Wasiat wajibah ialah wasiat yang dalam pelaksanaanya tidak bergantung kepada kehendak
pewaris, artinya dikehendaki maupun tidak dikehendaki oleh pewaris wasiat ini ttap bisa
dilaksanakan. Jadi pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut
diucapkan, dituliskan atau dikehendaki, tetapi pelaksanaannya didasarkan pada sebagi alasan
hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut dilaksanakan. Al-Qur’an secara tegas menolak
penyamaan hubungan karena pengangkatan anak yang telah berkembang diadat masyarakat Arab
Madinah waktu itu dengan hubungan karena pertalian darah. Adapun pemberian wasiat wajibah
harus memenuhi dua syarat yaitu:
a. Yang wajib menerima wasiat, bukan ahli waris.
b. Orang yang meninggal, baik kakek maupun nenek belum memberikan kepada anak yang
wajib dibuat wasiat, jumlah yang diwasiatkan dengan jalan yang lain, seperti hibah
umpamanya.

Dan jika dia telah memberikan kurang dari pada jumlah wasiat wajibah, maka wajiblah
disempurnakan wasiat itu. Landasan yang bisa digunakan untuk menjadikan aturan mengenai
wasiat wajibah terhadap anak angkat sebagaimana diatur dalam Pasal 209 KHI ini sebagai
bagian dari fiqh hanyalah melalui metode ijtihad istishlah, urf, dan istihsan. Sama halnya
seperti wasiat wajibah terhadap cucu yatim. Dengan maksud, pertimbangan kemaslahatan serta
adat sebagian masyarakat di wilayah Indonesia.
Keberadaan wasiat wajibah dalam masyarakat muslim Indonesia sekarang adalah suatu
yang aneh. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu kepastian wasiat, meskipun pewaris tidak
membuat wasiat. Hal ini tentu tidak dikehendaki oleh ahli waris. Seperti dapat dilihat pada
yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 8 Januari 1962 No.
291/K/SIP/1962, menetapkan menurut adat pemberian yang merugikan ahli waris yang
bersangkutan. Disamping itu juga tidak ada sebab antara anak angkat dengan orang tua angkat
atau sebaliknya. Dalam Islam telah diatur tentang siapa-siapa saja yang tidak diperbolehkan
kawin. Larangan kawin tersebut berlaku untuk mereka yang memiliki hubungan darah
semenda, tidak termasuk anak angkat karena berada di luar kekerabatan orang tua angkatnya.
Yang secara timbal balik antara anak angkat dan keluarga orang tua angkatnya tidak berhak
menjadi wali nikahnya, kecuali diwakili oleh ayah kandungnya. Hukum ditetapkan ulama fikih
berdasarkan mafhum mukhalafah. Setelah itu turun wahyu tentang ketentuan pembagian harta
waris, bahwa hanya bagi orang-orang dengan pertalian darah, keturunan, serta perkawinan
yang bisa dikategorikan ahli waris.
Pasal 174 jo. 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam menyebutkan hanya dua sebab adanya
hak waris antara pewaris dan ahli waris yaitu karena hubungan darah dan hubungan
perkawinan. Faktor hubungan darah ini dalam Kompilasi sekaligus juga tidak mengakui dan
tidak membenarkan perubahan status anak angkat menjadi anak kandung seperti dikenal dalam
kekerabatan patrilinial genealogis dan parental pada masyarakat Jawa. Hukum Islam tidak
menyetujui terlepasnya anak tersebut dari kekerabatan orang tua kandungnya dan kekerabatan
orang tua angkatnya. Singkatnya jalinan hukum yang terjadi tidak mengakibatkan terwujudnya
ikatan hubungan hukum perdata yang bersifat keseluruhan sehingga anak tersebut tidak
menjadi ahli waris orang tua angkat dan tetap menjadi ahli waris orang tua asal. Hubungan
hukum timbal balik antara anak angkat dijelaskan dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam:
a. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 193
KHI, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
b. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-
banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. Terkait dengan hal tersebut, Idris
Dja’far dan Taufik Yahya menjelaskan bahwa dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam
di atas, tidaklah menetapkan bagian 1/3 pada perolehan dengan wasiat. Tapi, 1/3 ini dapat
berkurang jika ahli waris menghendaki dan dapat pula lebih jika ahli waris
menyetujuinya. Sedang jika antara ahli waris tidak menyetujuinya, maka wasiat hanya
dilaksanakan sampai pada batas 1/3 harta warisan.
KESIMPULAN
Anak angkat tidak termasuk dalam golongan ahli waris, pada Hukum Islam golongan ahli
waris terbagi menjadi tiga golongan yaitu :
1. Ashabul furudh
2. Ashabah
3. Dzawil Arham
Begitu pula dalam Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam juga tidak termasuk dalam kelompok ahli
waris. Untuk menyikapinya, maka anak angkat bisa mendapat bagian harta warisan melalui
wasiat wajibah yakni wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi oleh kemauan pewaris, dan
mendapatkan sebanyak-banyaknya 1/3 bagian dari harta waris yang ditinggalkan oleh orang tua
angkatnya terkecuali telah mendapatkan persetujuan dari seluruh ahli warisnya yang diatur
dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam.
Kompilasi Hukum Islam merupakan buah dari penalaran 38 buah kitab fikih yang selama
ini berada dan dikaji oleh ulama serta pendidikan Islam, tetapi ada juga yang menentang
keberadaannya di Indonesia, ada kemungkinan memang mereka keberatan akan tercampurnya
mazhab serta aliran seakan-akan pemilihan yang ringan saja yang dimuat dalam Kompilasi
Hukum Islam. Kehadiran wasiat wajibah di tengah masyarakat muslim Indonesia sekarang ini
adalah perasaan keadilan hukum masyarakat. Perihal kekecewaan anak angkat yang telah
bertahun-tahun bersama orang tua angkat yang sudah merawat dan menjaganya, tetapi ketika
orang tua angkat tersebut atau sebaliknya meninggal dunia, anak angkat harus meninggalkan
dari rumah yang selama ini ditempati bersama, dikarenakan rumah tersebut termasuk harta ahli
waris. Perasaan kecewa ini juga akan dialami oleh orang tua angkat yang telah meninggal,
karena tidak sempat membalas jasa-jasa anak angkatnya.

Anda mungkin juga menyukai