Anda di halaman 1dari 14

2

BAB II
PEMBAHASAN
A. Anak Angkat dalam Pandangan Hukum Islam
Dalam pandangan hukum Islam ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
penetapan anak angkat tersebut. Pertama, dalam pandangan hukum Islam anak angkat tidak
dapat menggunakan nama ayah angkatnya, seperti dijelaskan dalam Surah al-Ahzab ayat 4
dan 5. Kedua, antara ayah angkat dengan anak angkat, ibu angkat dan saudara angkat tidak
mempunyai hubungan darah. Mereka dapat tinggal serumah, tetapi harus menjaga ketentuan
mahram, dalam hukum Islam, antara lain tidak dibolehkan melihat 'aurat, berkhalwat, ayah
atau saudara angkat tidak menjadi wali perkawinan untuk anak angkat perempuan, dan lain-
lain.
Ketiga, di antara mereka tidak saling mewarisi. Dalam hukum Islam, pengangkatan
anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan
hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua
kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya. Demikian halnya
tentang implikasi adanya pengangkatan anak sangat berbeda antara konsep hukum barat/BW
dan Islam. Bagaimana pandangan hukum Islam/lembaga peradilan Islam dalam hal kewarisan
anak angkat tentunya akan jauh berbeda dengan ketentuan yang ada di peradilan umum.
Menurut ulama fiqh, dalam Islam ada tiga faktor yang menyebabkan seseorang saling
mewarisi, yaitu karena hubungan kekerabatan atau keturunan (Al-Garabah), karena hasil
perkawinan yang sah (Al-Mushaharah), dan karena faktor hubungan perwalian antara hamba
sahaya dan wali yang memerdekakannya atau karena faktor saling tolong menolong antara
seseorang dengan orang yang diwarisinya semasa hidupnya.
Anak angkat tidak termasuk dalam tiga kategori tersebut di atas dalam arti bukan satu
kerabat atau satu keturunan dengan orang tua angkatnya, bukan pula lahir atas perkawinan
yang sah dan orang tua angkatnya, dan bukan pula karena hubungan perwalian. Oleh karena
itu antara dirinya dan orang tua angkatnya tidak berhak saling mewarisi satu sama lain. Jika
ia akan mewarisi, maka hak waris mewarisi hanya berlaku antara dirinya dan orang tua
kandungnya secara timbal balik. Mengapa Islam begitu tegas mengatur masalah anak angkat?
Salah satunya adalah untuk menjaga hak waris dari para ahli waris agar jatuh pada tangan
yang berhak. Dalam Islam, anak asuh atau angkat tidak berhak mendapat harta waris. namun
demikian hukum Islam tidak sama sekali menutup peluang anak angkat untuk mendapatkan
3

bagian harta dari orang tua angkatnya, yaitu anak angkat berhak mendapat wasiat wajibah
yang jumlahnya tidak lebih dari 1/3 bagian (vide Pasal 209 KHI).
Selanjutnya mengenai pengangkatan anak hukum agama Islam dapat ditinjau dari
berbagai segi:
1. Dari segi arti adopsi
Dari segi arti, adopsi dalam agama Islam tidak mengenal pengangkatan anak
yang diberi status sebagai anak kandung sendiri. Pengangkatan anak menurut
agama Islam ditekankan kepada segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan
memenuhi segala kebutuhannya.
2. Dari segi misi keadilan sosial
Dari segi misi keadilan sosial dalam Islam, maka sesuai dengan syariat Islam
pengangkatan anak membuka kesempatan kepada si kaya untuk beramal melalui
wasiat dan memberikan hak kepadanya untuk mewasiatkan sebagian dari harta
peninggalannya kepada anak angkatnya untuk menutupi kebutuhannya di hari
depan, sehingga tidak kacau penghidupan dan pendidikannya tidak akan terlantar.
3. Dari segi budi pekerti dan sosial.
Dari segi budi pekerti dan sosial, maka orang yang melakukan adopsi berarti
melakukan perbuatan yang sangat baik dan sangat sesuai dengan ajaran Islam.
Sudah barang tentu hal ini berlaku bagi orang yang mengambil anak dengan
tujuan memeliharanya secara baik-baik, penuh kasih sayang, sebab yang
mengambil anak angkat tersebut kebanyakan orang yang tidak diberi keturunan
oleh Allah SWT.
4. Dari segi ajaran Islam
Di samping itu Agama Islam memang mengajarkan agar umat manusia saling
tolong-menolong sesamanya. Bagi yang mampu harus membantu yang tidak
mampu. Orang Islam harus berhati sosial menolong dan memelihara anakanak
atau bayi-bayi terlantar yang orang tuanya tidak mampu.
5. Dari segi realitas
Dilihat dari segi realitas, sebagai proses perkembangan zaman, maka hukum
Islam pun selalu berkembang. Sehubungan dengan pengertian pengangkatan anak
dalam arti luas, hukum Islam mengembangkan pula mengenai masalah
pengangkatan anak yaitu adanya pandangan hukum Islam yang diterapkan di
Indonesia. Hal ini terlihat dari hasil rumusan Tim Pengkajian Bidang Hukum
Islam pada Pembinaan Hukum Nasional dalam Seminar Pengkajian Hukum
4

1980/1981 di Jakarta yang pernah mengusulkan pokok-pokok pikiran sebagai


bahan Rancangan UndangUndang tentang anak angkat yang dipandang dari sudut
hukum Islam.
Secara istilah menurut Wahbah Al-Zuhaili pengertian Pengangkatan anak (tabanni)
adalah Pengambilan anak yang jelas nasabnya yang dilakukan oleh seseorang, lalu anak
tersebut di nasab-kan untuk dirinya. Dalam istilah lain, tabanni adalah seorang laki-laki
maupun perempuan yang dengan berniat menasabkan seorang anak kepada dirinya walaupun
anak tersebut sudah memiliki nasab yang jelas pada orangtua kandungnya. Pengangkatan
anak dengan pengertian diatas sudah jelas bertentangan dengan hukum Islam, maka dari itu
menasabkan seorang anak kepada orang lain yang bukan nasabnya harus dibatalkan, (Kamil,
2010: 95). Hal ini dapat dijelaskan dengan merujuk pada Al-Quran Surat Al-Ahzab ayat 4 :

‫ُتٰظِه ُر ْو َن ِم ْنُه َّن ُاَّمٰه ِتُك ْم َو َم ا‬ ‫ّٰل‬ ‫ِف‬ ‫ِنْي‬ ‫ّٰل ِل ٍل‬
‫َم ا َجَعَل ال ُه َر ُج ِّم ْن َقْلَب ْيِف َجْو ه َو َم ا َجَعَل َاْز َو اَج ُك ُم ا ِٕۤـْي‬
‫ِب‬ ‫ِد‬ ‫ّٰل‬ ‫ِب ِه‬ ‫ْۗم ٰذ ِل‬ ‫ِع‬
‫َجَعَل َاْد َيۤاَءُك ْم َاْبَنۤاَءُك ُك ْم َقْو ُلُك ْم َاْفَو ا ُك ْم َو ال ُه َيُقْو ُل اَحْلَّق َو ُه َو َيْه ى الَّس ْيَل‬
Artinya: Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya; dan Dia
tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan
anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di
mulutmu saja. Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).
Jadi Pengangkatan anak dalam Hukum Islam terbatas pada perlakuan sebagai anak
dari segi menyayangi, memelihara, memberikan nafkah, pendidikan dan segala
kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak kandung sendiri, yang bertentangan dengan
hukum Islam yaitu mengangkat (adopsi) anak dengan memberikan status yang sama kepada
anak angkat dengan anak kandungnya. Allah SWT menegaskan masalah anak angkat kepada
Rasulullah SAW, beliau diperintahkan agar berpaling dari kaum musyrikin. Hal tersebut
disampaikan setelah menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu ilahi yang bersumber dari
Allah SWT pemilik semesta alam, dan agar beliau konsisten, tidak meragukan wahyu Allah
SWT.
Bertakwalah kepada Allah SWT tidak patuh kepada kaum kafir dan munafik, serta
mengikuti secara sungguh-sungguh wahyu dari Allah SWT. Kemudian Allah SWT
menurunkan hukum yang tegas tentang anak angkat yang sudah dikenal dikalangan Arab
Jahiliyah, dengan sebutan “al-tabanni”. At-tabani sama dengan adopsi, dan anak yang
diadopsi diperlakukan persis sama dengan anak kandung, (Kamil, 2010: 153). Pengangkatan
(adopsi) anak menurut hukum Islam hanya dapat dilakukan apabila memenuhi kebutuhan
5

sebagai berikut: Pertama, Tidak memutuskan hubungan darah dengan anak diangkat terhadap
orang tua kandung dan keluarga, dari ketentuan ini jelas melarang untuk mengangkat anak
dengan maksud menjadikan anak kandung dalam segala hal yang akan menghilangkan atau
memutuskan hubungan atau kedudukan hak orag tua kandung dan dapat merombak ketentuan
mengenai waris.
Kedua, Anak angkat tidak mendapatkan warisan dari orang tua angkatnya, sebaliknya
tetap sebagai pewaris orang tua kandungnya, lalu orang tua angkat tidak berhak sebagai
pewaris dari anak angkatnya. Ketiga, Anak angkat tidak berhak menggunakan nama orang
tua angkatnya kecuali sekedar tanda pengenal/alamat. Keempat, Orang tua angkat tidak bisa
bertindask sebagai Wali dalam Pernikahan anak angkatnya, (Habiburrahman, 2011: 157).
Dari ketentuan di atas dapat diketahui bahwa pengangkatan anak (adopsi) dalam hukum
Islam bersifat memelihara anak dengan tujuan agar anak tersebut tidak terlantar dalam
pertumbuhan dan perkembangannya.
Pengasuhan anak ditujukan terhadap orang tuanya anak yang tidak mampu atau tidak
dapat menjamin terselenggaranya hak-hak anak baik fisik, spiritual, mental maupun
sosialnya. Maka, pengasuhan tersebut termasuk, pemeliharaan anak, mendidik anak,
mencerdaskan pikirannya dan mengarahkan bakatnya untuk mempelajari keterampilan,
hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia (Inpres No.1 tahun 1991) pasal 156 huruf (a) dikatakan kalau terjadi perceraian,
bahwa untuk anak yang belum mumayyiz, hak hadhanah adalah kepada ibu. Dan kalau ibu
telah meninggal dunia, maka beralik kepada, (Sayyid Sabiq 2007: 140):
1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu
2. Ayah
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu
6. Wanita-wanita kerabat sedara menurut garis samping
Sedangkan pada (Inpres No.1 tahun 1991) pasal 156 huruf (b) dikatakan bahwa anak
yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibu.
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Inpres No.1 tahun 1991) pasal 156 huruf
(d) menyatakan bahwa biaya hadhanah adalah sekurang-kurangnya sampai anak tersebut
dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
6

Pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam, berbeda dengan Adopsi menurut Hukum
Perdata. Karena menurut Hukum Islam adalah:

1. . Tidak merubah status anak tersebut dengan orang tua aslinya


2. Tidak Melepaskan hak dan kewajiban orang tua aslinya terhadap anak tersebut
3. Tidak memutuskan hubungan saling mewarisi dengan orang tua aslinya dan dengan
kerabat yang lainnya
4. Tidak menjadikan saling mewarisi dengan orang tua angkatnya. Namun hanya
mendapat wasiat wajibah, yang nilainya tidak melebihi 1/3 dari harta
5. Status muhrim dalam agama, tetap sebagai orang lain, sehingga kalau orang anak
angkat tersebut perempuan, maka ia tidak boleh hanya berdua dalam rumah (khalwat),
(Sayyid Sabiq 2007: 140).
Oleh karena itu, anak angkat dalam Islam, tidak lebih sebagai hak hadhanah dan dapat
sebagai kuasa/wali dalam bertindak hukum untuk anak yang belum dewasa. Bila terjadi
sengketa terhadap hadhanah, maka anak tidak dapat disamakan dengan hukum kebendaan
yang dapat di eksekusi . Hal ini, dalam rangka merespon perlindungan terhadap hak-hak
anak. Sedangkan Pengangkatan anak dalam pengertian yang terbatas, kedudukan hanya
diperbolehkan bahkan dianjurkan. Pengangkatan anak yang diutamakan adalah
memperlakuan anak sebagai anak dalam segi menyayangi, memelihara, pemberian nafkah,
pendidikan, dan segala kebutuhannya, tidak diperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri,
(Alimudin 2015: 18).
B. Kedudukan Anak Angkat Dalam Pandangan Hukum Adat
Dilihat dari aspek akibat hukum pengangkatan anak menurut sebagian walayah
hukum adat, memiliki segi persamaan dengan hukum adopsi yang dikenal dalam hukum
Barat, yaitu masuknya anak angkat ke dalam keluarga orang tua yang mengangkatnya dan
terputusnya hubungan keluarga dengan keluarga atau orang tua kandung anak angkat.
Sedangkan dilihat dari motivasi pengangkatan anak, berbeda dengan motivasi pengangkatan
anak yang terdapat dalam Undang-Undang perlindungan anak UU No. 23 tahun 2002 yang
menekankan bahwa perbuatan hukum pengangkatan anak harus didorong oleh motivasi
sematamata untuk kepentingan yang terbaik untuk anak yang diangkat.
Dalam hukum adat lebih ditekankan pada kekhawatiran (calon orang tua angkat)
akan kepunahan, maka calon orang tua angkat mengambil anak dari lingkungan
kekerabataannya yang dilakukan secara kekerabatan, maka anak yang diangkat itu kemudian
menduduki seluruh kdudukan anak kandung ibu dan bapak yang mengangkatnya dan ia
7

terlepas dari golongan sanak saudaranya semula. Dalam hukum waris adat, anak angkat
menerima hak-hak dan kewajiban sebagai ahli waris layaknya anak kandung baik materiil
maupun immaterial. Suroyo Wingnjodipuro menyebutkan bahwa adopsi dalam hal ini harus
terang, artinya wajib dilakukan dengan upacara adat serta dengan bantuan kepala adat.
Kedudukan hukum anak yang diangkat demikian ini adalah sama dengan anak kandung
daripada suami isteri yang mengangkatnya, sedangkan hubungan kekeluargaan dengan orang
tua sendiri secara adat menjadi putus, seperti yang terdapat di daerah Gayo, Lampung, Pulau
Nias, dan Kalimantan. Dikarenakan tidak mempunyai keturunan anak dan tidak ada anak
lelaki sebagai penerus keturunan di lingkungan masyarakat patrilinial atau tidak ada anak
perempuan penerus keturunan di lingkungan masyarakat matrilinial, maka diangkatlah
kemenakan bertali darah.
Dikarenakan adat perkawinan setempat seperti berlaku di daerah Lampung antara
wanita Lampung dengan orang luar daerah, di dalam perkawinan memasukkan mantu
(ngurukken mengiyan), maka diangkatlah si menantu menjadi anak angkat dari salah satu
kepala keluarga anggota kerabat, sehingga si suami menjadi anak adat dalam hubungan
bertali adat. Mengenai hal ini dalam hukum adat tidak ada keseragaman. DR. R. Wiijono
Prodjodikoro SH, dalam bukunya "Hukum Warisan di Indonesia", menjelaskan bahwa: dalam
lingkungan hukum adat sudah pernah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Purworejo, tgl. 6-
10-1937, bahwa seorang anak angkat menurut hukum adat, tetap berhak atas harta warisan
yang ditinggalkan oleh orang tuanya sendiri. Anak angkat menerima "air dari dua sumber",
demikian Djojo Tirto, Jawa Tengah, (Prof. Mr. DR. Supomo, dalam Majalah Hukum no. 4
dan 5th. 1953)'). Di kalangan masyarakat Batak (patrilineal), setelah anak itu diangkat
menjadi anak oleh orang tua angkatnya, maka hubungan kekeluargaan dengan ayah
kandungnya menjadi terputus sama sekali, dan anak tersebut masuk ke dalam Clan ayah
angkatnya.
Status anak angkat dalam hukum adat masyarakat Bali hampir sama dengan
pengertian anak angkat dalam hukum barat yang juga memutuskan dan memasukkan anak
angkat dalam keluarga orang tua angkatnya sebagai anak kandung yang diberi hak-hak yang
sama dengan status anak sah atau anak kandung. Berbeda dengan kedudukan dan status anak
angkat dalam sistem hukum adat di Jawa. Di Jawa, pengangkatan anak tidak memustukan
hubungan pertalian darah dengan orang tua kandung anak angkat itu, hanya anak angkat
didudukkan sebagai anak kandung untuk meneruskan keturunan bapak angkatnya, dan sama
sekali tidak memutuskan hak-haknya dengan orang tua kandungnya, sehingga hukum adat
8

Jawa memberikan pepatah bagi anak angkat dalam hal hak waris dikemudian hari dengan
istilah “ Anak angkat mmperoleh warisan dari dua sumber air sumur:.
Maksudanya anak angkat tetap memperoleh harta warisan dari orang tua kandung,
juga dari harta warisan orang tua angkatnya. Di daerah Lampung Utara adat menyatakan
dengan tegas bahwa anak angkat tidak memperoleh harta warisan dari orang tua kandungnya.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa secara akontrario bahwa logilka adat masyarakat
Lampung Utara memandang bahwa anak angkat harus memperoleh warisan dari orang tua
angkatnya.berbeda dengan di Gresik yang hukum adatnya menyatakan bahwa anak angkat
memperoleh hak warisan dari orang tua angkat dan hak warisan dari orang tua kandungnya
sendiri.
Di beberapa daerah seperti lahat (Palembang, Kabupaten Batanghari, Kecamatan
Bontomarannu Kabupaten Goa daerah Kepulauan Tidore, dll). Beberapa daerah tersebut
secara umum menyatakan bahwa anak angkat bukanlah ahli waris dari orang tua angkatnya,
anak angkat adalah ahli waris dari orang tuanya sendiri. Anak angkat memperoleh harta
warisan dari peninggalan orang tua angkatnya melalui hibah atau pemberian atau wasiat
(sebelum orang tua angkatnya meninggal dunia). Kemudian dikarenakan rasa kekeluargaan
dan perikemanusiaan pada anak kemenakan, ahli famili atau orang lain yang hidup susah,
maka si anak diurus dipelihara disekolahkan dan sebagainya, maka terjadilah anak angkat
yang berlaku di luar upacara adat resmi, sehingga merupakan hubungan yang bertali budi.
Selanjutnya dikarenakan hubungan baik dan rasa persaudaraan di dalam pergaulan sehari-hari
antara orang yang satu dan yang lain, atau juga dikarenakan kebutuhan tenaga kerja dalam
usaha pertanian rumah tangga dan lain sebagainya, maka terjadilah anak angkat bertali emas.
Betapapun anak angkat itu berhak mewaris dari orang tua angkatnya, namun ia tidak boleh
melebihi anak kandung, sebagai mana keputusan Mahkamah Agung tanggal 18 Maret 1959
No.37 K/Sip/1959 yang menyatakan bahwa anak angkat hanya diperbolehkan mewaris harta
gonogini (harta pencaharian) dan orang tua angkatnya, sedang terhadap barang asal tidak
berhak mewaris.
Kecuali jika harta gono-gini tidak mencukupi sebagaimana dinyatakan dalam
keputusan Kamar ke III (Raad van Justitie tangga) 25 Mei 1939 (T.151 hal. 193) bahwa anak
angkat dapat meminta bagian dari barang asal orang tua angkatnya hingga jumlah yang
menurut keadaan dianggap adil. Di daerah Minahasa orang yang tidak punya anak tetapi ada
anak angkat maka 'yang mewarisi ayah angkat adalah anak angkat. Begitu pula walaupun ada
anak tetapi juga ada anak angkat, maka si anak angkat sama hak mewarisnya dengan anak
9

kandung terhadap harta warisan ayah angkatnya, kecuali terhadap harta kalakeran, oleh
karena untuk ini memerlukan persetujuan para anggota kerabat bersangkutan.
Jadi di Minahasa pada dasarnya anak angkat berhak atas harta pencaharian orang tua
angkatnya, bahkan berhak pula atas harta bawaan, walaupun di sana sini masih terdapat juga
yang tidak mengizinkan. Di samping itu dalam hal pewarisan walaupun anak angkat telah
dipecat karena tidak balk .perilakunya jika sebelumnya penuh pengabdian kepada orang tua
angkatnya, berkemungkinan bagian warisannya tidak dicabut. Keadaan yang demikian itu
menyebabkan di Minahasa sering terjadi sengketa.
C. Kedudukan Anak Angkat Menurut Hukum Islam.
Dalam karangan ulama Yusuf Qardhawi, di dalam bukunya Halal dan Haram dalam
Islam menguraikan secara singkat perihal pengangkatan anak menurut Islam. Ulama tersebut
kelahiran Mesir tahun 1926 yang sejak tahun 1961 tinggal Doha Qatar. Adat istiadat di
Zaman jahiliyah ada seseorang dibolehkan mengasuh anak orang lain untuk dijadikan sebagai
anak kandungnya sendiri, dan juga bisa memakai nama orang tua angkatnya, dan anak angkat
juga mendapatkan warisan dari orang tua angkatnya, jadi itulah yang diharamkan dalam
Islam. Dalam buku Amir Syarifuddin “Hukum Kewarisan Islam” mengatakan bahwa dalam
Islam tidak mengenal yang namanya anak angkat atau dikenal dengan Pengangkatan Anak
yang artinya terlepas anak angkat dari keluarga orang tua kandungnya dan berpindah ke
dalam keluarga orang tua angkatnya. Rasulullah Saw pernah mengalami hal tersebut dengan
mengadopsi Zaid bin Haritsah seorang hamba sahaya yang dihibahkan kepada isterinya
Khadijah oleh Rasulullah Saw untuk mengasuhnya. Kemudian terlalu sayangnya beliau
mengangkat Zaid menjadi anaknya sendiri, hingga orang banyak memanggil anak angkat itu
menjadi Zaid bin Muhammad. Hadist Bukhari Muslim, Tarmizi dan Nasai, dari Ibnu Umar
radhiallahu‘anhu mengatakan “ Tidaklah kami memanggil Zaid bin Harisah melainkan
dengan panggilan Zaid bin Muhammad”.
Hal ini dapat dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 37:
‫ِق ّٰل ِف‬ ‫ِه ِس‬ ‫ّٰل ِه‬ ‫ِل ِذْٓي‬ ‫ِا‬
‫َو ْذ َتُقْو ُل َّل َاْنَعَم ال ُه َعَلْي َو َاْنَعْم َت َعَلْي َاْم ْك َعَلْيَك َز ْو َج َك َو اَّت ال َه َو ْخُت ْي ْيِف‬
‫َنْف ِس َك َم ا الّٰل ُه ُمْبِدْيِه َو ْخَتَش ى الَّناَۚس َو الّٰل ُه َاَح ُّق َاْن ْخَتٰش ىُهۗ َفَلَّم ا َقٰضى َز ْيٌد ِّم ْنَه ا َو َطًر ۗا َز َّو ْج ٰن َك َه ا‬

‫ِلَك ْي اَل َيُك ْو َن َعَلى اْلُم ْؤ ِمِنَنْي َح َر ٌج ِف َاْز َو اِج َاْد ِعَيۤإِى ِه ْم ِاَذا َقَض ْو ا ِم ْنُه َّن َو َطًر ۗا َو َك اَن َاْم ُر الّٰلِه َم ْف ُعْو ًل‬
Artinya: Dan (ingatlah), ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang
telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya,
10

“Pertahankanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah,” sedang engkau


menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah, dan engkau takut
kepada manusia, padahal Allah lebih berhak engkau takuti. Maka ketika Zaid telah
mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan
dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-
anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya
terhadap istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi.
Mengangkat anak yatim tujuannya utamanya untuk memelihara dan mendidik tanpa
menasabkan pada dirinya, maka itu adalah sifat dipuji oleh Allah Swt. Ulama kontemporer
seperti Yusuf al-Qaradlawi berpandangan bahwa mengangkat anak dan menisbatkan nasab
kepada bapak angkat adalah haram. Apabila pembagian warisan terhadap anak sediri
disamakan dengan anak angkat. Mengasuh anak orang lain atau anak yatim itu perbuatan
mulia, lalu menjadikan anak angkat sebagai ahli waris adalah suatu hal yang bertentangan
dengan ketentuan nash. Seluruh ulama mengatakan dibolehkan mengangkat anak sebatas
memelihara, mengasuh dan pendidikan, bukan untuk memberikan status seperti layaknya
anak kandung. Berdasarkan hal tersebut, kalangan ulama mazhab mengajukan solusi untuk
memberikan harta waris terhadap anak angkat melalui wasiat wajibah, (Habiburrahman,
2011: 157).
Undang-undang wasiat Wajibah Nomor 71 tahun 1356 H/ 1946 M, di Mesir telah
dikeluarkan. Undang-undang ini mengandung hukumhukum sebagai berikut:
1. Apabila pewaris tidak mewasiatkan kepada keturunan anak lakilaki yang telah
meninggal lebih dulu maka cucu dari anak lakilaki tersebut wajib mendapat wasiat
wajibah dari harta warisan pewaris sebanyak bagian anak laki-laki pewaris tersebut,
tetapi tidak boleh melebihi 1/3 harta warisan, dengan syarat cucu tersebut bukan ahli
waris dan belum ada bagian untuknya melalui jalan lain (hibah).
2. Wasiat diberikan kepada golongan tingkat pertama dari anak laki-laki, dari anak
perempuan, dan kepada anak laki-laki dari anak laki-laki dari garis laki-laki dan
seterusnya kebawah dengan syarat kedua orang tua meng hijab anaknya.
3. Apabila pewaris mewasiatkan kepada orang yang wajib dengan wasiat yang melebihi
bagianya, maka kelebihan wasiat itu merupakan wasiat ikhtiyarah. Dan bila dia
mewasiatkan kepadanya dengan wasiat yang kurang dari bagiannya, maka wajib
disempurnakannya.
4. Wasiat wajibah itu di dahulukan atas wasiat-wasiat yang lain. Bila pewaris
mewasiatkan kepada orang lain dan tidak mewasiatkan kepada orang yang diwasiati
11

maka orang yang wajib mendapatkan wasiat wajibah tersebut adalah mengambil dari
kadar bagian dari sisa 1/3 harta warisan bila sisa itu cukup dan bila tidak bagian yang
diwasiatkan bukan Wasiat Wajibah, (Habiburrahman, 2011: 157).

Adapun ketentuan pasal 209 KHI, sesuai dengan teori mashlahah al-ummah, maka anak
angkat dapat bagian dari wasiat wajibah dengan harta warisan dengan rekontruksi pemikiran
sebagai berikut:
1. Bahwa dalam Islam, anak angkat di bolehkan hanya sebatas memelihara, pendidikan,
pengayoman dan dilarang memberi status layaknya anak kandung sendiri. Kalimat ini
hendaklah dimuat dalam pertimbangan hukum, setiap putusan/penetapan
pengangkatan anak oleh Pengadilan Agama.
2. Bahwa orang tua angkat dapat memberikan hartanya kepada anak angkat berdasarkan
wasiat yang tidak boleh melebihi 1/3 harta orang tua angkatnya yang telah meninggal.
3. Bahwa bila ada sengketa dengan status anak angkat maka harus disidangkan oleh
putusan Pengadilan.
4. Bahwa bila ada sengketa tentang wasiat wajibah bagi anak angkat, maka harus
diputuskan dipengadilan yang mengatakan: anak angkat berhak atau tidak atas wasiat
wajibah dalam praktik kumulasi dalam sengketa kewarisan , tetapi petitum khusus
untuk menyatakan berhak mendapatkan wasiat wajibah tidak ada, karena ketentuan
dalam KHI bersifat imperatif, harusnya bersyarat kepada nash Al-Qur’an yang
mengisyaratkan bagi pewaris meninggal dunia, (Sayyid Sabiq 2007: 983).
Ulama fikih mengemukakan beberapa persyaratan terhadap harta yang di wasiatkan
yaitu: pertama, harta/benda yang diwasiatkan adalah sesuatu yang bernilai harta secara syara’
(al-mutaqawimah). Oleh karena itu, apabila harta yang diwasiatkan itu tidak bernilai harta
menurut syara’, seperti minuman keras, maka wasiatnya tidak sah. Secara lahirnya minuman
keras merupakan harta, tetapi umat Islam harta tersebut bukan harta yang halal sehingga tidak
bisa dijadikan sebagai harta wasiat. Kedua, harta yang diwasiatkan adalah harta yang sesuatu
yang bisa dijadikan milik, baik berupa materi maupun manfaat. Misalnya, mewasiatkan
sebidang tanah, atau mewasiatkan pemanfaatan lahan pertanian. Ulama fikih membolehkan
mewasiatkan sesuatu yang ada, sekali pun akad yang di buat materi yang akan diwasiatkan
itu belum ada.
Misalanya, mewasiatkan buah-buahan dari sebidang kebun. Ketika wasiat dibuat,
pohon itu baru berputik. Apabila pemilik kebun berwasiat, “ketika saya wafat buah-buahan
dikebun ini saya wasiatkan kepada si fulan,” maka wasiatnya sah. Ketiga, harta yang
12

diwasiatkan adalah milik almusi, ketika berlangsungnya wasiat. Keempat, sesuatu yang
diwasiatkan tidak mengandung unsur maksiat, (Kamil, 2010: 136). Adapun syarat-syarat
yang berkaitan dengan shighat, pada dasarnya shighat wasiat hanya disyaratkan berupa suatu
perkataan atau lafads yang jelas yang menunjukan pada pengertian pemberian wasiat untuk
seseorang atau lebih, baik secara lisan maupun tulisan. Disamping itu, dapat juga
disampaikan secara terang-terangan maupun secara sindiran asalkan sudah menunjukan pada
pengertian wasiat. Wahbah Al-Zuhaili menegaskan bahwa mayoritas ulama sepakat bahwa
wasiat baru sah menggunakan ijab dan qabul, dan boleh juga menggunakan bahasa isyarat
dan tulisan diantaranya: pertama, ulama fikih menetapkan bahwa highat ijab dan Kabul yang
digunakan dalam wasiat harus jelas, dan qabul dan ijab harus sejalan. Misalnya, apabila
apabila ada seseorang dalam ijabnya menyatakan “ saya wasiatkan kepada engkau 1/3 harta
saya,” maka qabul orang yang menerima wasiat itu harus sejalan. Kedua ucapan qabul yang
diberi wasiat ketika orang yang berwasiat masih hidup, tidak berlaku.
Akan tetapi, menurut ulama Mazhab Hanafi, qabul bolh diucapkan sebelum atau
sesudah orang yang berwasiat wafat. Ulama juga sepakat bahwa apabila seseorang telah
berwasiat kepada fulan, lalu fulan wafat setelah al-musi wafat tetapi belum menyatakan
qabulnya, maka ucapan qabul digantikan oleh ahli waris fulan. Ketiga, qabul harus
diungkapkan oleh orang yang telah baligh dan berakal. Apabila penerima wasiat adalah anak
kecil atau orang gila, maka qabul meski diwakili oleh walinya. Keempat, ulama fikih sepakat
tidak mensyaratkan qabul, apabila wasiat ditujukan untuk kepentiangan umum, seperti untuk
mesjid, anakanak yatim, yang identitasnya tidak dijelaskan dalam wasiat.
Kelima, wasiat diperbolehkan melalui isyarat yang dipahami, menurut Mazhab
Hanafi dan Mazhab Hambali ketentuan ini hanya bisa diterima apabila pewasiat tersebut bisu
dan tidak bisa membaca dan menulis maka isyarat tidak sah. Sebaliknya, menurut ulama
Mazhab Syafi’i dan Mazhab Maliki berpendapat bahwa wasiat tersebut tetap sah karena
isyarat tersebut dapat dipahami oleh pewasiat meskipun mampu berbicara dan baca tulis.
Keenam, qabul menurut jumhur ulama, harus diungkapkan melalui lisan atau tindakan hukum
yang menunjukan kerelaan penerima wasiat tersebut, seperti bertindak hukum pada barang
yang diwasiatkan, (Kamil, 2010: 137).
D. Akibat Hukum Anak Angkat Menurut Hukum Islam.
Menurut Wahbah Al-Zuhaili ada lima macam hak anak terhadap orang tuanya, yaitu
hak nasab, hak radla, hak hadhanah, hak walayah dan hak nafkah. Hak-hak tersebut akan
dijelaskan sebagai berikut: pertama, hak nasab adalah sebuah pengakuan sya’ra bagi
hubungan seorang anak dengan garis keturunan ayahnya sehingga dengan itu anak tersebut
13

menjadi salah seorang anggota keluarga dengan garis mendasar. Kedua, hak radla’ menurut
adalah hak anak mendapatkan pelayanan makanan pokok dengan jalan menyusu pada ibunya.
Ibu bertanggung jawab dihadapan Allah tentang hal, baik masih dalam tali perkawinan
dengan anak si bayi atau sudah di talak dan sudah habis masa iddahnya. Ketiga, hak
hadhanah menurut bahasa adalah meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk seperti
mengengdong, atau meletakkan sesuatu dalam pangkuan. Menurut fiqh, hadhanah ialah tugas
menjaga dan mengasuh atau mendidik bayi atau anak kecil sejak ia lahir sampai mampu
menjaga atau mengatur diri sendiri. Keempat, hak walayah yakni untuk meyambung dan
menyempurnakan pendidikan anak sampai baligh, pemeliharaan harta dan mengatur
pembelajaan harta anak kecil dan perwalian dalam pernikahan bagi anak perempuan. Kelima,
hak nafkah yakni pertanggungjawaban orang tua atau kerabat terdekat atas nafkah anak.
Pengangkatan anak dalam Islam sama sekali tidak merubah hubungan hukum, nasab dan
mahram antara anak angkat dengan orang tua dan keluarga asalnya.
Pangangkatan anak dalam Islam ini tidak merubah status anak angkat menjadi anak
kandung dan status orang tua angkat menjadi orang tua kandung, yang dapat saling mewarisi
seperti anak kandung sendiri. Hanya saja adanya perpindahan tanggung jawab pemeliharaan,
pengawasan, dan pendidikan. Sayyid Sabiq, menyatakan bahwa merawat anak yang terlantar
tanpa memutuskan nasab orang tua kandungnya merupakan wajib hukumnya karena
masyarakat bertanggung jawab dalam melaksanakan kewajiban kifayah, tetapi hukum
tersebut bisa berubah menjadi fardlu’ain apabila seseorang menemukan anak terbuang di
tempat yang membahayakan nyawa anak tersebut, dan anak tersebut akan ditetapkan ke
Islamanya apabila dia ditemukan di negeri kaum muslimin dan barang siapa yang mengakui
nasab anak tersebut, baik dia laki-laki maupun perempuan, maka anak tersebut dinisbatkan
kepadanya, selagai keberadaan anak itu memungkinkan karena didalamnya terdapat maslahat
anak tersebut tanpa merugikan orang lain.
Apabila anak itu diakui lebih dari satu orang maka nasabnya ditetapkan bagi orang
yang menunjukan bukti atas pengakuanya, apabila mereka menunjukan bukti maka anak
dihadapkan kepada ahli nasab yang mengetahui nasab manusia melalui keserupaan, dan
ketika ahli nasab telah menetapkan nasabnya maka ketetapan ini diterima apabila dia adalah
seorang laki-laki yang mukallaf, adil, dan telah terbukti ketetapanya, (Sayyid Sabiq 2007:
169). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengangkatan anak merupakan perbuatan
yang terpuji dan dianjurkan oleh agama, memungut, mengasuh, memelihara, dan mendidik
anak-anak yang terlantar demi kepentingan dan kemaslahatan anak dengan tidak memutuskan
nasab orang tua kandungnya . Bahkan dalam keadaan tersebut di mana tidak ada orang lain
14

yang memeliharanya, maka bagi orang yang mampu secara ekonomi dan pisikis yang
menemukan anak terlantar tersebut hukumannya wajib tanpa harus memutuskan hubungan
nasab dengan orang tua kandungnya dan anak tersebut diambil dan dipelihara seperti anak
kandungnya sendiri. ih tahu orang tua kandung yang sebenarnya kalau itu diketahui. Dan
berdasarkan uraian diatas juga dapat di simpulkan bahwa didalam KHI pemberian harta
warisan kepada anak angkat menggunakan wasiat wajibah, didasarkan kepada pertimbangan
kemanusiaan ahli waris untuk memberikan sebagian harta waris kepada anak angkat, meski
secara syar’i hal tersebut termasuk zhanniy al-dilalah. Sehingga anak angkat mendapatkan
harta warisan sebanyak 1/3 dari harta waris dengan memakai wasiat wajibah.
Akibat hukum pengangkatan anak yang ditimbulkan dari anak angkat itu sendiri yaitu
untuk menghindari terganggunya hubungan keluarga berikut hak-haknya. Dengan
pengangkatan anak kedua belah pihak (anak angkat dan orang tua angkat) telah membentuk
keluarga baru yang mungkin akan mengganggu hak dan kewajiban keluarga yang telah
ditetapkan Islam. Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman antara yang halal dan yang
haram. Dengan masuknya anak angkat ke dalam salah satu keluarga tertentu, dan dijadikan
sebagai anak kandung, maka ia menjadi haram, dalam arti ia tidak boleh menikah dengan
orang yang sebenarnya boleh dinikahi. Bahkan sepertinya ada kebolehan baginya melihat
aurat orang lain yang seharusnya haram dilihatnya. Masuknya anak angkat ke dalam keluarga
orang tua angkatnya bisa menimbulkan permusuhan antara satu keturunan dalam keluarga
itu.Seharusnya anak angkat tidak memproleh warisan, sehingga menutup bagian yang
seharusnya dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya. Islam, kata Wahbah Az-
Zuhaili (seorang ahli hukum Islam dari suriah) adalah agama keadilan dan menegakkan
kebenaran. Oleh karena itu, salah satu cara untuk menegakkan keadilan dan kebenaran itu
wajib menisbahkan (menghubungkan) anak kepada ayahnya yang sebenarnya. Rasulullah
Saw. Bersabdah bahwa “anak itu dihubungkan kepada laki-laki yang seranjang dengan
ibunya (maksudnya ayahnya).Dengan demikian, anak tidak boleh dinisbahkan kepada
seseorang yang sebenarnya bukan ayahnya.
Jika Islam membolehkan lembaga pengangkatan anak, maka akan membuka peluang
bagi orang mengangkat anak yang berbeda agama denganya, yang mengakibatkan
berbaurnya agama dalam satu keluarga. Akibat hukum lain pun akan muncul, seperti larangan
agama untuk saling mewarisi jika salah satu pihak beragama Islam dan pihak lain tidak. Bisa
juga terjadi perpindahan agama atau pemaksaan agama tertentu secara tidak langsung kepada
anak angkat. Hal ini sangat dilarang oleh Al-Quran dalam surat Al-Baqarah ayat 256 sebagai
berikut :
15

‫ٓاَل ِاْك ا ىِف الِّد ِۗن َقْد َّت الُّر ْشُد ِم اْلَغ ۚ َف َّيْك ُف ِبالَّطاُغ ِت ِم ْۢن ِبالّٰلِه َق ِد‬
‫َف‬ ‫ْو َو ُيْؤ‬ ‫َن ِّي َمْن ْر‬ ‫َبَنَّي‬ ‫ْي‬ ‫َر َه‬
‫اْس َتْم َس َك ِباْلُعْر َو ِة اْلُو ْثٰق ى اَل اْنِف َص اَم َهَلاۗ َو الّٰل ُه ِمَس ْيٌع َعِلْيم‬
Artinya : Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
karena itu Barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka
Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus.
dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Dari ayat di atas sudah dijelaskan dan para ulama sepakat bahwa pengangkatan anak
hanya dibolehkan dalam rangka saling tolong-menolong dan atas dasar rasa kemanusiaan
saja, bukan pengangkatan anak yang dilarang oleh Islam.
E. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Positif
Pengertian pengangkatan anak secara formal berlaku bagi seluruh pengangkatan anak
di Indonesia tanpa membedakan golongan penduduk, juga tanpa membedakan domestic
adoption atau inter coutry adoption dituangkan dalam PP nomor 54 Tahun 2007 tentang
pelaksanaan pengangkatan anak. Menurut PP pengangkatan anak adalah suatu perbuatan
hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah
atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak
tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat. Pengangkatan anak dengan
demikian adalah suatu perbuatan hukum pengalihan orang tua angkatnya.
Pengertian pengangkatan ini tidak cukup tercermin sampai berapa jauh atau seberapa
luas akibat hukum perbuatan pengangkatan anak. Menurut UU perlindungan anak Nomor 23
Tahun 2002 anak adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga
orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan
dan pembesaran anak tersebut, ke lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan
putusan atau penetapan pengadilan. Jadi Pengertian Pengangkatan anak adalah suatu
perbuatan mengambil anak orang lain ke dalam keluarganya sendiri, sehingga dengan
demikian antara orang yang mengambil anak dan yang diangkat timbul suatu hubungan
hukum.

Anda mungkin juga menyukai