Anda di halaman 1dari 3

MENGADOPSI ANAK YANG BEDA AGAMA DALAM PANDANGAN ISLAM

DAN PP NOMOR 54 TAHUN 20017 PASAL 13


(oleh Desiyanti, S. H.)

Dalam sebuah pernikahan terkadang Allah SWT memberikan ujian kepada


pasangan suami istri melalui keturunan yaitu dengan tidak dapat memiliki keturunan
yang merupakan salah satu tujuan pernikahan dalam Islam. Ketika jalur biasa tak
kunjung membuahkan hasil, adopsi pun menjadi pilihan bagi banyak pasangan
suami istri sebagai jalan keluar dari persoalan tersebut.
Islam membolehkan seseorang mengangkat anak untuk di asuh, dididik dan
diberikan hak yang sama dengan anak-anak lainnya. Bahkan, untuk anak-anak
yatim yang tidak diketahui orangtuanya, atau anak-anak miskin yang sudah jelas
orangtua pun Islam tetap membolehkan.
Bahkan itu dianggap sebagai sarana untuk menolong anak-anak Islam
memperoleh pengasuhan, pendidikan, kebutuhan primer dan sekunder yang
terpenuhi oleh orangtua angkatnya, yang kelak anak mengangkat derajatnya, derajat
orangtua kandungnya sekaligus orangtuanya dan tentu akan menjadi pribadi yang
lebih baik dalam memperjuangkan dakwah Islam.
Pada masa jahiliyah, adopsi atau lebih dikenal dengan tabanni yang artinya
mengambil anak angkat sudah membudaya. Seseorang mengangkat anak orang
lain untuk dimiliki, dan statusnya seperti halnya anak kandung sendiri, kemudian
mengumumkannya di hadapan masyarakat. Nantinya, si anak-anak itu benar-benar
menikmati status sebagai anak kandung. Sehingga dalam pembagian warisan, ia
pun memperoleh bagian, seperti halnya anak kandung lainnya. 1
Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Pasal 1
ayat 2 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, Pengangkatan Anak adalah suatu
perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan
orangtua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan,
pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orangtua
angkat. 2
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan Islam mengatur
syarat-syarat tentang pengangkatan anak tersebut. Syarat-syarat

1
Disalin ulang dari buku “Bersanding dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Surga“, karya Ust. Abu Umar Basyir,
penerbit: Mumtaza
2
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007
pengangkatan anak yang sesuai dengan hukum Islam salah satunya yaitu antara
anak yang diangkat dengan orang tua angkat seharusnya sama-sama beragama
Islam, agar sianak tetap pada agama yang dianutnya dan apabila dalam hal asal
usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas
penduduk setempat sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 20017 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
Yang dimaksud “setempat” dalam penjelasan pasal ini adalah setingkat desa atau
kelurahan.3
Hukum Islam melarang praktik pengangkatan anak yang mempunyai
akibat hukum seperti pengangkatan anak pada masa jahiliyah, yaitu
pengangkatan anak yang mengubah status anak angkat menjadi anak
kandung dan terputus hubungan anak angkat dengan orang tua kandungnya,
anak angkat menjadi ahli waris, dan orang tua angkat menjadi wali mutlak
terhadap anak angkat.4 Hukum Islam hanya mengakui pengangkatan anak
dalam pengertian beralihnya tanggung jawab untuk memberi nafkah,
mendidik, memelihara dan lain-lain dalam konteks beribadah kepada Allah
SWT.5
Dalam sebuah tulisan berjudul Lembaga Pengangkatan Anak dalam
Kewenangan Pengadilan Agama disebut bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
melalui Musyawarah Kerja Nasional yang diselenggarakan pada bulan Maret 1984
memfatwakan :
a. Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah, ialah anak yang lahir dari
perkawinan (pernikahan).
b. Mengangkat anak (adopsi) dengan pengertian anak tersebut putus hubungan
nasab dengan ayah dan ibu kandungnya adalah bertentangan dengan syari’at
Islam.
c. Adapun pengangkatan anak dengan tidak mengubah status nasab dan
agamanya, dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara,
mengasuh, dan mendidik mereka dengan penuh kasih sayang, seperti anak
sendiri adalah perbuatan terpuji dan termasuk amal saleh yang dianjurkan oleh
agama Islam.

3
Ibid
4
Ahmad Azhar Basyir, Kawin Campur Adopsi Wasiat Menurut Hukum Islam, (Bandung: PT. Al-ma’rif, 1972), hal. 19
5
A. Rafik, Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 366
d. Pengangkatan anak Indonesia oleh Warga Negara Asing selain bertentangan
UUD 1945 Pasal 34, juga merendahkan martabat bangsa.
Dari Fatwa MUI di atas dapat kita ketahui bahwa tujuan prinsip samanya
agama yang dianut oleh calon anak angkat dengan calon orang tua angkatnya
adalah semata-mata untuk kebaikan anak itu sendiri dan merupakan wujud
tanggung jawab sosial agar anak tersebut dipelihara, diasuh, dan dididik seperti
anak sendiri. Oleh karena itu, penting sifatnya bahwa pengangkatan anak itu harus
melalui penetapan pengadilan untuk menghindari penyelundupan hukum dalam
bentuk melegalisasi perdagangan anak, perbudakan anak, dan pemaksaan agama
terhadap anak.
Jika Islam membolehkan lembaga pengangkatan anak, maka akan
membuka peluang bagi orang mengangkat anak yang berbeda agama
dengannya, yang mengakibatkan berbaurnya agama dalam suatu
keluarga. Akibat lainpun akan muncul, seperti larangan agama untuk
saling mewarisi jika salah satu pihak beragama Islam dan pihak lain
tidak. Bisa juga terjadi perpindahan agama atau pemaksaan agama
tertentu secara tidak langsung kepada anak angkat. Hal ini sangat
dilarang oleh Al-Qur’an.6

(Ar_Des_04042010)

6
Al-Baqarah Surat 2, Ayat 256

Anda mungkin juga menyukai