Asasi Manusia
Kholifatun Nisa
Hukum Keluarga Islam, IAIN Ponorogo
Kholifatunnisa0909@gmail.com
DOI :
Received Revised Approved
ABSTRAK
Dalam penulisan artikel ini membahas sebuah kedudukan dan perlindungan anak
luar kawin perspektif empat mazhab serta hak asasi manusia. Kedudukan dan
perlindungan sebuah hak yang harus dimiliki oleh setiap anak baik luar kawin maupun
tidak luar kawin, ketika tidak terpenuhi sebuah hak maka anak dapat menuntut
mengenai hak yang meraka harus dapatkan. Hak Asasi Manusia akan terpenuhi oleh
semua orang karena memang sudah di atur dalam Undang-Undang di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak di Indonesia, baik
sah maupun luar kawin.
ABSTRACT
In writing this article discusses the position and protection of children outside of
marriage from the perspective of the four schools of thought and human rights. The
position and protection of a right that must be owned by every child both out of
wedlock and not out of wedlock, when a right is not fulfilled then the child can claim
the rights they must get. Human Rights will be fulfilled by everyone because it has been
regulated in the Law in Indonesia. Law Number 35 of 2014 concerning child protection
in Indonesia, both legal and out of wedlock.
1
Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1994), h. 20.
2
Zulfa Djoko Basuki, Dampak Perkawinan Campuran Terhadap Pemeliharaan Anak, (Cet.I; Jakarta:
Yarsif Watampone, 2005), h. 48.
Hukum perdata Indonesia (selanjutnya disebut hukum perdata) menyebut anak
tidak sah Naturlijk Kind (anak kandung). Faktanya, memiliki anak di luar nikah
tidak dapat disangkal merupakan "tugas" khusus bagi para pemikir hukum negara
kita, sesuatu yang harus selalu dipertimbangkan oleh para pemikir hukum negara
kita, mengingat, seperti yang baru saja penulis sebutkan, negara kita sedang
berusaha untuk menjadi lebih baik. semangat anak-anak di negeri ini dengan
menyediakan lebih banyak anak. Adanya anak yang lahir di luar nikah memiliki
akibat hukum tersendiri, kata J. Satrio dalam hukum perdatanya mengomentari
kedudukan status anak yang lahir di luar nikah “seorang anak luar kawin tidak bisa
begitu saja langsung memiliki hubungan hukum kekeluargaan dengan ayah ataupun
ibunya (orang tuanya). Si anak memang memiliki “kesamaan/kemiripan” biologis
dengan kedua orangtuanya akan tetapi sesecara yuridis mereka tidak memiliki hak
dan kewajiban apapun terhadap anak luar kawin tersebut”.3
Kedudukan anak luar kawin menurut 4 mazhab:
a. Madzhab Abu Hanifah
Madzhab Abu Hanifah mengatakan bahwa anak haram adalah anak yang
berusia di bawah 6 bulan, tetapi harus adanya pernikahan. Imam Abu Hanifah
beralasan bahwa ia memahami arti lafal kata “Nikah” dalam artian sebagai
tubuh. Setiap anak yang lahir terikat dengan laki-laki yang memiliki benih itu.
Tekad ini terlihat dari sikapnya terhadap pernikahan sesama jenis. Jadi
implikasinya adalah selama ada jenis kelamin yang menyebabkan lahirnya
seorang anak, maka bayinya adalah laki-laki yang mengarah ke kehamilan. Oleh
karena itu, bayi yang lahir dari ibu hamil tidak terkait langsung dengan pemanen
benih.4
Mazhab Abu Hanifah juga mengatakan anak haram lahir lebih dari enam
bulan setelah akad nikah antara ibu dan ayah, maka anak tersebut akan diberikan
kepada laki-laki yang menikah dengan ibu tersebut. Namun, jika anak tersebut
lahir kurang dari enam bulan setelah perkawinan orang tuanya, maka anak
tersebut hanya akan diwarisi oleh ibunya.5 Tentang permasalahan ini Imam
3
Satrio, J., 1992, Hukum Waris, Alumni, Bandung, h. 153.
4
Samsidar, Analisis Perbandingan Antara Perspektif Imam Mazhab Dan Hukum Positif Tentang Status
Anak Diluar Nikah, Jurnal, IAIN Bone, Vol. XIV No. 2 Oktober 2019, h. 88..
5
Riri Wulandari, Status Nasab Anak Luar Nikah Perspektif Madzhab Syafi’i Dan Implikasinya Terhadap
Hak-Hak Anak, Skripsi, Universitas Islam Negeri Raden Intan, Lampung, 2018, h. 53.
Hanafi tentang batas minimal enam bulan kehamilan pada dasarnya adalah
firman Allah swt. QS al-Ahqaf /46:15.
b. Madzhab Imam Malik
Menurut mazhab Maliki, anak haram lahir bukan dari ayah mereka
melainkan dari ibu mereka. Dalam hal ini mazhab Maliki juga membolehkan
seorang laki-laki menikahkan anak perempuan, saudara perempuan dan cucu
laki-lakinya dengan zina karena perempuan tersebut tidak memiliki hubungan
syar'i yang mendasar dengannya.
c. Madzhab Syafi’i
Menurut penganut mazhab Syafi'i, anak haram atau zina. Menurutnya
juga adalah anak yang lahir kurang dari enam bulan setelah bersetubuh dengan
suami yang sah. Pemikiran Syafi'i, tidak ada perbedaan antara nasab yang
sebenarnya atau hadits Syar'i, sehingga status nasab anak tersebut benar-benar
terpisah. Ini merongrong semua hak antar generasi seperti warisan,
pemeliharaan dan perwalian. Dalam kasus anak-anak yang lahir di luar nikah,
para peneliti berbeda pendapat mengenai status anak-anak tersebut dan
implikasinya terhadap hak. Menurut penganut mazhab Syafi'i, generasi haram
dipisahkan dari ayahnya, sehingga status anak tersebut adalah orang asing
(ajnabiyah), sehingga dari sudut pandang Syafi'i, anak tersebut boleh menikah
dengan anaknya. ayah kandungnya, karena anak dianggap orang asing dan
bukan mahram bagi ayah kandungnya.
Namun, tambah Imam Syafi'i, anak haram tetap bisa menerima harta dari
bapak kandungnya. Asalkan anak itu bisa mewarisi dan diakui oleh semua ahli
waris. Ada orang yang mengenali dengan sebutan anak mati. Tidak diketahui
apakah ada silsilah selain ahli waris, dan Mustalhiq (mengakui anak)
menegaskan bahwa silsilah anak adalah orang yang bijaksana dan dewasa.6
6
Mukrimah, ANALISIS KEDUDUKAN NASAB ANAK DI LUAR NIKAH DALAM PERSPEKTIF
FIKIH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM, Makasar, 2022, h.55.
d. Madzhab Imam Ahmad bin Hambal
Mazhab Hambali tidak berbeda dengan mazhab lain yang menyatakan
bahwa anak hasil perkawinan hanya berhubungan dengan ibu kandung, bukan
dengan ayah yang memperanakkan ibu. Namun sama seperti mazhab Hanafi,
mazhab Hanbali juga melarang dia dan ayahnya menikah dan menikah dengan
siapa saja yang akan menjadi mahramnya. Bahkan tidak benar melihat dan
menyentuh perzinahan mereka dengan nafsu. Tetapi pada saat yang sama
mereka tidak mewarisi satu sama lain.7
8
Jakobus Anakletus Rahajaan, Sarifa Niapele, Dinamika Hukum Perlindungan Anak Luar Nikah di
Indonesia, LPPM STIA Said Perintah, Volume 2, No. 2, September 2021, h. 272.
dukungan sosial. Jika itu adalah kejahatan pembunuhan anak di luar perkawinan,
mereka dituntut berdasarkan ketentuan pasal 341 seorang anak lahir, dan Pasal 346,
347 dan 348 KUHP Pidana dalam arti yang dimaksud pada waktu anak masih dalam
kandungan atau pada waktu terjadi pengguguran kandungan.9
9
Putu Ayu Mirah Permatasari, Gde Made Swardhana, “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK
DILUAR NIKAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA”, Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum,
Universitas Udayana,2023, h. 5.
dengan ibu dan marga keibuannya, tetapi juga memiliki hubungan keperdataan
dengan ayah dan marga dari pihak ayah.10
10
Ayu Indriani Amalia, Martoredjo, “STATUS NASAB ANAK LAHIR DI LUAR PERKAWINAN
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA”, Vol. 1, No. 1 (2021), h. 8-9.
C. Penutup
Hasil dari kajian mengenai “Kedudukan Dan Perlindungan Anak Luar Kawin
Perspektif Empat Mazhab Serta Hak Asasi Manusia” di atas, dapat disimpulkan:
1. Kedudukan dan perlindungan anak di luar kawin sudah diatur dalam Undang-
Undang jadi tidak adanya lagi sebuah kejangalan dalam permasalahan anak diluar
kawin.
2. Semua mazhab memiliki perspektif yang berbeda-beda, yang dimana kita bisa
mengambil perspektif yang kita percayai masing-masing individu.
3. Hak Asasi Manusia, baik anak luar kawin maupun bukan luar luar kaiwn itu
memiliki hak yang sama dimata hukum sehingga tidak ada berbedaan satu dengan
lain nya.
DAFTAR PUSTAKA