kinderen. Jadi terhadap anak yang lahir di luar nikah terdapat hubungan biologis
hanya dengan ibunya tetapi tidak ada hubungan biologis dengan ayahnya.10
Berdasarkan Pasal 272 K.U.H.Perdata pengertian anak luar kawin dibagi
menjadi dua yaitu dalam arti luas dan sempit. Anak luar kawin dalam arti luas
meliputi anak zina, anak sumbang dan anak luar kawin lainnya. Sedangkan anak
luar kawin dalam arti sempit, artinya tidak termasuk anak zina dan anak sumbang,
anak luar kawin dalam arti sempit ini yang dapat diakui. Sedangkan dalam Islam
anak luar kawin disebut sebagai anak zina.
Anak zina adalah anak yang lahir dari suatu hubungan kelamin antara lakilaki dengan perempuan yang tidak terikat dalam nikah yan sah meskipun ia lahir
dalam suatu perkawinan yang sah dengan laki-laki yang melakukan zina atau lakilaki lain. Meskipun anak zina itu mempunyai status hukum yang sama dengan
anak lian yaitu sama-sama tidak sah, namun perbedaan antara keduanya adalah
bahwa anak zina telah jelas statusnya dari awal, seperti lahir dari perempuan yang
tidak bersuami sedangkan anak lian lahir dari perempuan yang bersuami, namun
tidak diakui anak tersebut oleh suaminya. Anak zina itu tidak mempunyai
hubungan nasab dengan laki-laki yang menyebabkan ia lahir.11
Menurut Undang-Undang Perkawinan dalam Pasal 42 Anak sah adalah
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sedangkan
anak yang dilahirkan di luar perkawinan, merupakan anak luar kawin dan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43
Undang-Undang Perkawinan). Artinya si anak tidak mempunyai hubungan hukum
dengan ayahnya, baik yang berkenaan dengan pendidikan maupun warisan.
Dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 43 ayat (2) dikatakan bahwa
kedudukan anak luar kawin selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Akan tetapi sampai saat ini Peraturan Pemerintah yang dimaksud tersebut belum
juga diterbitkan. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang merupakan
peraturan pelaksanaan Undang-Undang tersebut tidak mengatur mengenai status
anak tersebut.
Anak luar kawin tersebut tidak dapat dinasabkan kepada bapaknya
sehingga ia tidak akan mempunyai hubungan baik secara hukum maupun
10
Ibid..
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Cet. II, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal. 148.
11
kekerabatan dengan bapaknya. Sehingga secara yuridis formal ayah tidak wajib
memberikan nafkah kepada anak itu, walaupun secara biologis anak itu adalah
anaknya sendiri. Jadi hubungan kekerabatan hanya berlangsung secara manusiawi
bukan secara hukum.
Dengan adanya ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan yang
menyatakan bahwa anak luar kawin hanya mempunyai hubungan hukum dengan
ibunya maupun juga antara keluarga ibu dengan anak yang dilahirkan di luar
perkawinan tersebut, maka secara hukum anak tersebut berada dalam asuhan dan
pengawasan ibunya sehingga timbul kewajiban dari ibunya untuk memelihara dan
mendidik, serta berhak untuk memperoleh warisan yang timbul baik antara ibu
dan anak maupun dengan keluarga ibu dan anak.
Undang-Undang Perkawinan tidak mengenal anak luar kawin terhadap
ibunya, oleh karena anak yang lahir di luar perkawinan adalah anak dari ibu yang
melahirkannya, asas mana didasarkan pada asas yang terdapat dalam hukum adat.
Memang bagaimanapun juga lahirnya anak tidak dapat dielakkan bahwa anak
tersebut adalah anak dari ibu yang melahirkannya. Tidak mungkin anak lahir
tanpa ibu. Anak itu mempunyai hubungan perdata dengan ibu yang melahirkannya
dan keluarga dari ibunya itu, tetapi tidak ada hubungan perdata dengan laki-laki
yang membenihkannya.12
orang tuanya, dimana orang tua juga mempunyai kewajiban untuk mengurus dan
menafkahi anak mereka, sudah selayaknya jika seorang anak menjadi ahli waris
pertama yang didahulukan untuk mendapat bagian warisan dari orang tuanya.
Tetapi dengan adanya pembedaan status anak antara anak sah dengan anak luar
kawin diakui maka tentu saja pembagian diantara keduanya juga berbada.
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya saja karena itu anak luar kawin hanya akan memperoleh
warisan dari ibunya maupun keluarga ibunya saja. Tidak berhak atas warisan dari
bapaknya karena tidak mempunyai hubungan perdata dengan bapaknya.
Pengaturan mengenai Hukum Waris di Indonesia masih beraneka ragam
karena adanya sifat pluralistik dengan berlakunya tiga sistem hukum kewarisan,
yaitu Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam, dan Hukum Waris Kitab UndangUndang Hukum Perdata.
Dikarenakan bahwa sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat di dunia
ini memiliki kondisi kekeluargaan yang berbeda-beda, dari inilah keadaan warisan
dari masyarakat itu tergantung dari masyarakat tertentu yang ada kaitannya
dengan kondisi kekeluargaan serta membawa dampak pada kekayaan dalam
masyarakat tersebut.14
Mengenai masalah kewarisan di Indonesia belum ada Undang-Undang
yang mengatur secara spesifik mengenai hal tersebut, maka berdasarkan ketentuan
Pasal 66 UU No.1 Tahun 1974 yang mengatakan:
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk
Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonnantie Christen
Indonesiers S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde
Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang
perkawinan sejauh setelah diatur dalam undang-undang ini, dinyatkan tidak berlaku.
Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Cet. IV, (Jakarta: 2006), hal. 5.
Eropa dan ketentuan dalam K.U.H.Perdata masih dapat diterapkan karena belum
ada Undang-Undang yang secara khusus mengaturnya.
Mengenai masalah kewarisan bagi anak luar kawin, hukum di Indonesia
memberikan solusi agar anak luar kawin dapat memperoleh bagian warisan dari
ayahnnya, yaitu dengan cara diakuinya anak tersebut oleh ayahnya. Namun
pengakuan anak luar kawin ini hanya diperuntukkan bagi golongan keturunan
Tionghoa yang diatur dalam K.U.H.Perdata.
Dalam K.U.H.Perdata hak waris anak luar kawin yang diakui diatur pada
Pasal 862-866 dan Pasal 867 ayat (1). Ahli Waris anak luar kawin timbul jika
pewaris mengakui dengan sah anak luar kawin tersebut.
Syarat agar anak luar kawin dapat mewaris ialah bahwa anak tersebut
harus diakui dengan sah oleh orang tua yang membenihkannya. Dalam
K.U.H.Perdata dianut prinsip bahwa, hanya mereka yang mempunyai hubungan
hukum dengan pewaris yang berhak mewaris. Hubungan hukum antara anak luar
kawin dengan ayah ibunya, timbul sesudah ada pengakuan dari ayah ibunya
tersebut. Hubungan hukum tersebut bersifat terbatas, dalam arti hubungan hukum
itu hanya ada antara anak luar kawin yang diakui dengan ayah ibu yang
mengakuinya saja (Pasal 872 K.U.H.Perdata).15
Bagian seorang anak yang lahir di luar perkawinan, tetapi diakui (erkend
natuurlijk), itu tergantung dari berapa adanya anggota keluarga yang sah. Jika ada
ahli waris dari golongan pertama maka bagian anak yang lahir di luar perkawinan
tersebut sepertiga dari bagian yang akan diperolehnya seandainya ia dilahirkan
dari perkawinan yang sah. Dan jikalau ia bersama-sama mewaris dengan anggotaanggota keluarga dari golongan kedua, bagiannya menjadi separoh dari bagian
yang akan diperolehnya seandainya ia dilahirkan dari perkawinan yang sah.
Pembagian warisan, harus dilakukan sedemikian rupa, sehingga anak yang lahir di
luar perkawinan itu, harus dihitung dan dikeluarkan lebih dahulu barulah sisanya
dibagi antara ahli waris yang lainnya, seolah-olah sisa warisan itu utuh. Contoh:
jika ada 2 orang anak yang lahir di luar perkawinan, di disamping 3 orang anak
yang sah, maka yang pertama itu akan menerima masing-masing 1/3 x 1/5 = 1/15
atau bersama-sama 2/15. Bagian ini harus diambilkan terlebih dahulu, dan sisanya
15
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat, Cet. II, (Jakarta:
Kencana Media Group), hal. 87.
13/15 dibagi antara anak-anak yang sah yang karenanya masing-masing mendapat
13/30 bagian dari warisan. Juga terhadap anak yang lahir di luar perkawinan,
Undang-Undang memuat pasal-pasal perihal penggantian (plaatsvervulling),
sehingga apabila ia meninggal lebih dahulu ia dapat di gantikan oleh anakanaknya sendiri.16
waris yang disebut diatas maka ia mendapat 3/4 warisan. Pembagian tersebut di
atur dalam Pasal 863 K.U.H.Perdata dalam hal jika pengakuan anak luar kawin
dilakukan sebelum perkawinan. Dalam Pasal 272 K.U.H.Perdata, Jika pengakuan
anak luar kawin dilakukan pada saat perkawinan, maka anak luar kawin mendapat
bagiannya sama dengan anak sah.
Sedangkan apabila pengakuan anak luar kawin dilakukan sepanjang
perkawinan, maksudnya pengakuan dilakukan suami atau istri yang mengakui
anak itu sewaktu dalam suatu ikatan perkawinan, maka pengakuan tersebut tidak
boleh merugikan istri dan anak-anak dari perkawinan pada waktu pengakuan
dilakukan.
16
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. XXXI, (Jakarta: PT Intermasa, 2003), hal. 100.
untuk tidak merugikan istri dan anak-anak (A, C, B). Dengan demikian harta
dibagi antara A, C, B dan masing-masing mendapatkan 1/3 bagian. Lain halnya
apabila anak luar kawin yang diakui Ayahnya, yaitu Pewaris sebelum perkawinan
dengan istrinya B, seperti bagan dibawah ini :
X adalah anak luar kawin yang diakui sah sebelum Pewaris melakukan
perkawinannya dengan B. Dalam hal ini X mendapat warisan. X boleh merugikan
istri Pewaris, yaitu B dan anak-anak Pewaris, yaitu M dan N. Kalau pengakuan
tidak merugikan istri/suami dalam perkawinan si orang tua yang mengakuinya
terikat, dan tidak merugikan anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan
tersebut, maka pengakuan itu dapat menguntungkan anak luar kawin tersebut,
artinya anak luar kawin tersebut dapat mewaris dari orang tua yang mengakuinya.
17
Mengenai anak-anak yang lahir di luar kawin dan tidak diakui terdapat 2
golongan18:
a). Anak-anak yang lahir dalam zinah, yaitu anak yang lahir dari
perhubungan orang lelaki dan orang perempuan, sedangkan salah satu
dari mereka atau kedua-duanya berada di dalam perkawinan dengan
orang lain.
b).
Anak-anak yang lahir dalam sumbang, yaitu anak yang lahir dari
perhubungan orang lelaki dan orang perempuan, sedangkan di antara
mereka terdapat larangan kawin, karena masih sangat dekat hubungan
kekeluargannya (Pasal 30).
2).
3).
Dan dalam Pasal 871 menjelaskan bahwa pasal ini mengatur barangbarang yang berasal dari warisan orang tuanya dahulu. Dimana jika anak luar
kawin pernah mewaris barang-barang dari orang tuanya, dan barang-barang itu
masih terdapat dalam wujudnya, maka jika ia meninggal dunia dan ia tidak
meninggalkan keturunan atau isteri (suami), barang itu kembali kepada keturunan
sah dari ayah atau ibu. Ketentuan ini juga berlaku bagi tuntutan untuk minta
18
Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Cet.IV, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2004), hal. 43.
19
Ibid.
kembali sesuatu barang yang telah dijual tapi belum dibayar. Adapun barangbarang lainnya dapat diwaris oleh saudara-saudaranya atau keturunannya.
2).
3).
4).
oleh isterinya
karena berzina dan pengadilan akan memberikan keputusan tentang sah tidaknya
anak itu. Yang menjadi pertanyaan apakah kata berzina atau perzinaan dalam
UU No. 1-1974 itu sama dengan pengetian berzina (overspel, bermukah) dalam
Pasal 284 K.U.H.Pidana yang dikaitkan dengan Pasal 27 K.U.Perdata (asas
monogami) ataukah berzina menurut pengertian hukum adat atau agama? Apabila
Pasal 44 UU No. 1-1974 itu dikaitkan dengan Pasal 63 tentang pengadilan, maka
yang diartikan berzina adalah berdasarkan K.U.H.Perdata bagi perkawinan yang
20
beragama Kristen atau orang-orang Cina yang akan diselesaikan pada Pengadilan
Negara, sedangkan bagi perkawinan yang beragama Hindu Budha, berzina
diartikan menurut pengertian agama masing-masing dan diselesaikan pada
pendeta/Dewan Pandita masing-masing atau ke Pengadilan Negara, sedangkan
bagi perkawinan menurut agama Islam yang diartikan berzina adalah berdasarkan
Hukum Islam yang diselesaikan Pengadilan Agama21.
Penyangkalan yang dilakukan oleh suami terhadap anak yang dilahirkan
dari hasil hubungan zina isterinya dengan laki-laki lain tersebut beban pembuktian
dalam ketentuan ini oleh hukum dibebankan pada suami yang melakukan
penyangkalan. Adapun yang harus dibuktikannya adalah anak tersebut adalah
akibat perzinaan yang dilakukan oleh isteri dengan laki-laki lain yang menjadi
sebab kelahiran anak tadi. Apabila suami atau ayah dari anak tersebut tidak dapat
menunjukkan bukti-bukti yang kuat, maka penyangkalan tidak dapat dilakukan.
Bahkan Pengadilan mewajibkan yang berkepentingan untuk mengucapkan
sumpah berkaitan dengan keputusan yang akan dikeluarkan tentang sah/tidaknya
anak tersebut (Pasal 44 ayat (1), dan (2) Undang-Undang Perkawinan).
Namun demikian, K.U.H.Perdata Pasal 254 juga memberikan hak kepada
isteri untuk mengemukakan segala bukti, baik dari peristiwa, saksi, atau bukti lain
yang bisa membuktikan bahwa suaminyalah bapak dari anak tersebut.
Alat bukti yang digunakan berkaitan dengan pembuktian adalah:
a).
b).
Saksi-saksi, hal ini dapat dilakukan bila tidak ada akta kelahiran.
Pembuktian denagn saksi ini hanya boleh dilakukan apabila telah
ada bukti permulaan dengan tulisan, dugaan-dugaan dan petunjukpetunjuk tersimpul dari peristiwa-peristiwa yang tidak dapat
disangkal lagi kebenarannya;
c).
d).
Melakukan tes DNA. Tes ini dapat membuktikan jenis darah dari
pihak yang mengingkari dan yang diingkari, yang kemudian dapat
21
penyangkalan
dimaksud.
Apakah
semata-mata
terserah
pada
kebikjasanaan peradilan, jika demikian halnya maka penyangkalan anak atas dasar
zina, bagi mereka yang beragama Islam dengan sendirinya berlaku ketentuanketentuan Lian yang diterangkan di atas. Sebab masalah yang menyangkut
perkawinan, perceraian hadlanah dan status anak sesuai dengan Undang-Undang
No. 32/1954 adalah wewenang Peradilan Agama. Maka dengan demikian
ketentuan hukum penyangkalan yang akan dipergunakan ialah lembaga lian
yang diatur dalam hukum syariat Islam22.
Dan bagi mereka yang tunduk di luar Peradilan Agama, cara dan
prosedurnya wewenang dari Pengadilan Negeri. Oleh karenanya baiknya jika cara
dan prosedurnya sesuai dengan acara yang diatur dalam proses hukum perdata
dengan meletakkan beban pembuktian pada suami, mengingat Pasal 44 ayat (1)
UU
Perkawinan
telah
menentukan
sendiri
pembebanan
bukti
dalam
22
M.Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Cet.III, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
hal. 191.
b).
c).
b).
c).
2).
3).
di kantor pencatat nikah (Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam,
Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama non muslim). Meski secara atau adat
istiadat dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan diluar pengetahuan dan
pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki ketetapan hukum dan
dianggap tidak sah dimata hukum.
Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah kawin bawah tangan dan
tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun secara istilah ini
diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa
memenuhi ketentuan Undang-Undang yang berlaku, khususnya tentang
perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan Pasal 2 ayat (2).
Perkawinan bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi isteri dan
perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial. Secara Hukum:
1.
2.
Tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal;
3.
Tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara
hukum perkawinan dianggap tidak pernah terjadi.
Secara Sosial akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan
perkawinan di bawah tangan sering dianggap telah tinggal serumah dengan lakilaki tanpa ikatan (kumpul kebok) atau dianggap menjadi isteri simpanan.
Sementara terhadap anak, tidak sahnya perkawinan bawah tangan menurut
negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum,
karena perkawinan bawah tangan akan menimbulkan status anak luar kawin.
Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah.
Konsekuensinya hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga
ibu. Artinya tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (Pasal 42 dan
Pasal 43 UU Perkawinan, Pasal 100 KHI).
Di dalam akta kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai anak luar
kawin, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkan saja. Keterangan
berupa status sebagai anak luar kawin dan tidak tercantumnya nama ayah dalam
akta kelahiran akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis.
Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan warisan
dari ayahnya.
b.
c.
d.
e.
Satu dari kelima alasan di atas yang dapat dipergunakan, dapat segera
mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama, dan apabila telah
memiliki akta nikah harus segera mengurus kelahiran anak-anak ke Kantor
Catatan Sipil setempat agar status anak menjadi sah di mata hukum.
Selain itu, juga dapat melakukan perkawinan ulang yang dilakukan
layaknya perkawinan menurut agama Islam dan perkawinan harus disertai dengan
pencatatan perkawinan oleh pejabat yang berwenang pencatat perkawinan (KUA).
Pencatatan ini penting agar ada perubahan status bagi perkawinannya. Namur,
status anak-anak yang lahir dalam perkawinan bawah tangan akan tetap dianggap
sebagai anak luar kawin, karena perkawinan tidak berlaku surut terhadap status
anak yang dilahirkan sebelum perkawinan dilangsungkan. Oleh karenanya, dalam
akta kelahiran, anak yang dilahirkan sebelum perkawinan ulang tetap sebagai anak
luar kawin, sebaliknya anak yang lahir dalam perkawinan ulang statusnya sebagai
anak sah yang lahir dalam perkawinan.
Bagi yang beragama non-Islam dapat melakukan perkawinan ulang dan
pencatatan perkawinan. Perkawinan ulang dilakukan menurut ketentuan agama
yang dianut, dan setelah perkawinan ulang selesai dilaksanakan, perkawinan harus
dicatatkan di muka yang berwenang. Dalam hal ini di Kantor Catatan Sipil. Jika
Kantor Catatan Sipil menolak menerima pencatatan itu, maka dapat digugat di
PTUN (Peradilan Negara).
Jika dalam perkawinan telah lahir anak-anak, maka dapat diikuti dengan
pengakuan anak. Yakni pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas anak yang
lahir di perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya, pengakuan anak
dapat dilakukan baik oleh ibu maupun bapak. Namur berdasarkan Pasal 43 UU
No. 1 Tahun 1974 intinya menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar
perkawinan tidak mempunyai hubngan perdata dengan ayahnya, maka untuk
mendapatkan hubungan perdata, seorang ayah dapat melakukan pengakuan anak.
Namur, bagaimanapun pengakuan hanya dapat dilakukan dengan persetujuan ibu,
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 284 K.U.Perdata.
D.
seorang suami terhadap anak yang dilahirkan oleh isterinya dan adanya praktek
perkawinan bawah tangan, terjadinya anak luar kawin juga bisa disebabkan oleh
hal-hal berikut ini:
1).
Anak yang dilahirkan dari seorang ibu yang tidak diketahui bapaknya,
misalnya kehamilan yang diakibatkan karena perkosaan atau adanya
praktek pelacuran. Kebanyakan anak yang dilahirkan dari akibat
tersebut di atas tidak dikehendaki oleh ibunya karena dianggap
membawa aib dan beban bagi ibunya maupun keluarga ibunya.
2).
Anak yang dilahirkan yang dikehendaki oleh ibu dan bapaknya, tetapi
orang tua tersebut memang menghendaki untuk hidup bersama tanpa
ikatan perkawinan atau yang biasa disebut di masyarakat dengan
kumpul kebok.
3).
Anak yang dilahirkan dari seorang ibu yang masih dalam masa iddah
setelah percerainnya, namun bukan merupakan anak dari suaminya
tetapi sebagai hasil hubungan dengan laki-laki lain.
4).
Anak yang dilahirkan dari seorang perempuan dan laki-laki yang akibat
dari ketentuan agama tidak dapat menikah, misalnya dalam ajaran
Katolik dimana terdapat ketentuan yang mengatakan tidak mengenal
cerai hidup.
5).
Anak yang dilahirkan dari seorang ibu dan seorang laki-laki yang akibat
hukum perdata atau menurut hukum negara tidak dapat nikah,
misalnya seoran WNA menikah dengan seorang WNI, tetapi tidak
mendapat izin
lain di negaranya.
6).
Anak yang sama sekali tidak diketahui siapa orang tuanya sebagai anak
temuan.
7).