Anda di halaman 1dari 31

Tugas Ringkasan Buku

DARI HUKUM KOLONIAL KE HUKUM NASIONAL

Soetandyo Wignjosoebroto

Bagian III

Oleh:

Hamdan Alif Darmawan (031911133196)

Anissa Mitasyasqia (031911133198)

I Gusti Ngurah Anantha Wikrama Jayaningrat (031911133206)

Stefania Arshanty Felicia (031911133216)

Nurasyifah Khoirala (031911133220)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2019
BAB X

PERKEMBANGAN DAN PEMBANGUNAN HUKUM DI INDONESIA

PADA MASA PERALIHAN PASCAKOLONIAL (1940 – 1950)

Periode lima puluh tahun yang terbentang antara tahun 1940 dan 1990

adalah periode pasca kolonial yang didahului oleh serangkaian krisis dan

pergolakan-pergolakan yang menandai adanya situasi peralihan kekuasaan politik.

Inilah periode yang ditengarai oleh peristiwa sejarah runtuh dan

terdisintegrasikannya kekuasaan kolonial, yang kemudian disusul oleh proses-

proses dekolonisasi. Perkembangan tata dan sistem hukum Indonesia sepanjang

periode ini dapat dibagi ke dalam tiga tahap perkembangan utama. Pertama-tama

perkembangan sepanjang masa transisi yang penuh pergolakan (1940-1950),

berikutnya perkembangan pasca revolusi fisik yang ditengarai oleh eksperimen

pemerintahan Presiden Soekarno yang diawali dengan dekritnya untuk ”kembali

ke UUD 1945” dengan upaya sesudah itu untuk menegakkan apa yang disebut

Demokrasi Terpimpin (1950-1966), dan akhirnya adalah masa pemerintahan

Presiden Soeharto yang menamakan masa kekuasaan pemerintahannya dengan

sebutan Era Orde Baru (1966-1990).

Sepanjang periode pascakolonial ini pembangunan hukum Indonesia (bukan

lagi Hindia-Belanda!) mulai dikerjakan berdasarkan kebijakan nasional

sebagaimana digariskan oleh pemuka-pemuka berkebangsaan Indonesia. Berbeda

dengan kebijakan kolonial abad 19 dengan bewuste rechtspolitiek-nya, yang akan

membuat para pengambil keputusan lebih ribet dengan masalah pengembangan


hukum privat berikut upaya-upaya ikutannya untuk mengatasi masalah yang

ditimbulkan oleh realitas dualisme, para pemuka nasional tampak nyata lebih

melibatkan diri ke dalam kebijakan-kebijakan yang searah dengan kebijakan

kolonial abad 20, ialah kebijakan yang lebih berseluk beluk dengan permasalahan

ketatanegaraan dan/atau ketatapemerintahan, khususnya soal sentralisasi dan

desentralisasi.

PERKEMBANGAN PADA MASA AKHIR KEKUASAAN HINDIA –

BELANDA

Pada saat terjadinya kapitulasi kekuasaan Hindia – Belanda dan bermulanya

pemerintahan militer Jepang di Indonesia, tata hukum modern berdasarkan model

dari Eropa Daratan telah menampakkan perkembangannya di Indonesia. Bisa

dikatakan bahwa perubahan tata hukum model Eropa Daratan terbilang lamban

dan sering terhambat oleh kontroversi-kontroversi antara puak universalis dan

puak partikularis, perkembangan itu sedikit atau banyak telah menampakkan

wujud sosok yang berkontur jelas. Kodifikasi dan unifikasi yang dicita-citakan

sejak lama (dikemukakannya bewuste rechtpolitiek pada pertengahan abad ke-19)

baru terwujud dalam bidang hukum pidana materiil saja, itupun hanya dengan tata

peradilan dan karena itu juga dengan hukum acara pidana yang masih berbeda dan

terpisah menurut kebijakan dualisme.

Hingga saat pecahnya Perang Pasifik, unifikasi hukum perdata untuk

seluruh golongan penduduk tetap dipandang belum mungkin dilaksanakan.

Seluruh keberatan awal yang bersebab dari pertimbangan-pertimbangan ekonomi

pemerintahan tentang mahalnya biaya untuk mendukung penyelenggaraan badan-


badan pengadilan yang akan mengoperasionalkan hukum yang akan

diunifikasikan secara menyeluruh untuk semua golongan penduduk tanpa

pengecualian, kemudian sebabnya yaitu ada keberatan yang berpangkal pada

keyakinan adanya relativisme budaya yang didukung oleh paham liberalisme

kaum partikularis dan yang dipengaruhi oleh tesis-tesis puak pendukung

historisme.

Walhasil, tiba detik-detik runtuhnya kekuasaan kolonial, unifikasi hukum

privat dan unifikasi lembaga-lembaga peradilan di Indonesia belum terwujud.

Dualisme hukum dengan hukum Eropa yang telah terkodifikasi dan hukum adat

yang sekalipun plural namun dicita-citakan pada suatu waktu akan

dikodifikasikan tetap berjalan dan berlaku.

Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan menurut Pasal 109

Regeringsreglement tahun 1854 tetap saja berlaku dan diteruskan sebagai Pasal

163 Indische Staatsregeling yang berlaku sejak tahun 1925 sebagai pengganti

Regeringsreglement tahun 1854. Dapat kita pahami bahwasanya sampai akhir

kekuasaan kolonial-pun mengisyaratkan bahwa tetap akan dikukuhkannya

dualisme dan pluralisme hukum kolonial di Indonesia. Demikian kenyataannya.

Penduduk Hindia – Belanda tetap dibedakan menjadi 3 golongan (Eropa, Pribumi,

dan Timur Asing).

Golongan Eropa secara ipso jure merupakan orang-orang berbangsa Eropa,

bangsa Jepang dan orang-orang Min yang di negeri asalnya juga dikenai hukum

keluarga yang serupa atau asas dengan hukum keluarga menurut hukum

Belanda(1). Golongan pribumi merupakan seluruh penduduk asli di tanah Hindia


– Belanda, kecuali mereka yang telah menundukkan diri secara penuh dan

sukarela ke dalam hukum golongan lain atau telah tergabung ke dalam golongan

itu dan tidak hendak masuk kembali ke dalam golongan asalnya(2). Sedangkan

pada golongan Timur Asing merupakan seluruh golongan yang tidak termasuk

pada kedua golongan yang di sebutkan sebelumnya(3).

Kolonial tidak hanya mengatur tentang pembedaan tentang ras dan golongan,

namun juga mencoba mengatur asas-asas umum yang harus diikuti oleh badan

perundang-undangan kolonial ketika harus membentuk atau membuat undang-

undang yang tertera pada Pasal 131 Indische Staatsregeling tahun 1925, yang

berasal dari modifikasi dari Pasal 75 Regelingsreglement tahun 1854. Aturan

tersebut terus dilaksanakan hingga pada akhir kekuasaan kolonial di tanah jajahan.

Dalam Pasal 131 Indische Staatsregeling tahun 1925, ordonansi Belanda

mengatur tentang kedudukan posisi hukum perdata (Burgerlijk Wetboek dan

Wetboek van Kopphandel) dan hukum dagang yang harus bersifat Konkordansi

bagi orang-orang Eropa, dan apabila ada penyimpangan dari asas Konkordansi

hanya dapat dilakukan oleh pembuat undang-undang manakala keadaan khusus di

Hindia – Belanda mengharuskan hal itu, atau apabila orang-orang Eropa di Hindia

Belanda ini ditundukkan ke hukum yang juga diberlakukan secara bersama-sama

untuk golongan penduduk yang lain atau untuk sebagian daripadanya. Demikian

ini dinyatakan dalam Pasal 131 ayat 2 (a) Indische Staatsregeling tahun 1925.

Hukum yang tertulis dalam Pasal 131 ayat 2 (a) Indische Staatsregeling

tahun 1925 juga dapat berlaku pada golongan Pribumi dan Timur Asing bila

diundangkan sebagai hukum yang berlaku ke seluruh golongan penduduk tanpa


kecuali. Kecuali karena alasan yang disebutkan di muka. Dalam perihal lain,

ordonansi menyebutkan akan tetap menghormati hukum adat dan hukum agama

golongan penduduk yang bukan orang Eropa, sekalipun kemungkinan masih tetap

terbuka untuk mengabaikan hukum agama dan hukum adat itu manakala

dikehendaki demi kepentingan umum atau demi pemenuhan kebutuhan baru yang

dirasakan dalam masyarakat.

Pasal 131 ayat 3 Indische Staatsregeling tahun 1925, mengatur tentang

hukum acara perdata dan hukum acara pidana. Untuk golongan Eropa tetap

mengikuti aturan ordonansi dan bersifat Konkordansi. Namun di dalam praktiknya

di Hindia – Belanda para penguasa menambahkan beberapa ayat penunjang dan

disepakati bersama sebagaimana keadaan lapangan yang ada di tanah jajahan

untuk orang Eropa ataupun seluruh golongan penduduk yang ada di Hindia –

Belanda.

Pasal 131 ayat 2 (b) Indische Staatsregeling tahun 1925, pemerintahan

Hindia – Belanda sebenarnya telah memantapkan aturan mengenai kebijakan

dualisme hukum di tanah jajahannya, namun di sisi lain dalam pihak dalam juga

memungkinkan progresivisme dalam perkembangan dan pengembangan hukum

untuk orang-orang pribumi. Ketentuan tersebut sebenarnya berasal dari ketentuan

yang terdapat di dalam Pasal 75 Indische Staatsregeling yang telah dirumuskan

kembali berdasarkan ajuan amandemen Van Idsinga pada tahun 1920.

Dengan pengadaan amandemen tersebut, pemerintah Hindia – Belanda

sesungguhnya telah meninggalkan niat-niat dan kebijakan-kebijakan lamanya

untuk memberlakukan hukum privat Barat lewat perundang-undangan kepada


golongan Pribumi. Namun pada tahun 1927 tercipta undang-undang

ketenagakerjaan yang membuat Pasal 131 ayat 2 (b) Indische Staatsregeling tahun

1925 tidak menjadi acuan untuk menjalankan kegiatan dalam hukum yang berlaku

di Hindia – Belanda. Dengan begitu, pasal tersebut tidak terunifikasi lagi. Dan

berarti pula, dari tahun 1927 sampai pendudukan Jepang pada tahun 1942

kebijakan kolonial Belanda ditandai dengan kembalinya kebijakannya ke

dualisme hukum, tetapi dualisme yang lurus/tercerahkan/yang sebenar-benarnya

dualisme.

Seiring dengan menuju terjadinya Perang Dunia ke-II, upaya kolonial untuk

menciptakan corak Unifikasi hukum di negeri jajahan tidaklah dapat terwujud

dengan sempurna. Dalam prosesnya, mereka beberapa kali mengalami kegagalan.

Akan di ganti dengan beberapa upaya apapun dan dengan cara apapun,

masyarakat dengan pluralismenya secara yurisdiksi akan tetap berpegang teguh

pada hukum adatnya sendiri.

PERKEMBANGAN TATA HUKUM DI INDONESIA PADA MASA

PENDUDUKAN JEPANG (1942 – 1945)

Begitu Jepang berhasil singgah dan menduduki Nusantara dengan mengusir

Belanda dari tahta yang telah Belanda duduki selama tiga abad lamanya,

pemerintah langsung membagi Nusantara menjadi tiga wilayah komando, yang

pertama adalah pulau Jawa dan Madura, yang kedua adalah Sumatera yang

dikontrol dan Singapura sebagai pusatnya, dan yang ketiga adalah Indonesia

bagian timur.
Dalam menjalankan kekuasaan yang ada di Nusantara, Jepang didalam

undang-undang bala tentara Jepang (Osamu sirei) tahun 1942 No, 1, yang berlaku

untuk Jawa dan Madura, dimaklumatkan bahwa seluruh wewenang badan-badan

pemerintaha semua hukum dan peraturan yang selama ini berlaku tetap

dinyatakan berlaku kecuali apabila bertentangan dengan peraturan-peraturan

militer Jepang. Peraturan perundang-undangan serupa juga dimaklumatkan untuk

dua wilayah lain di bekas daerah jajahan Hindia – Belanda.

Perubahan dalam pemberlakuan hukum yang berlaku di masa kedudukan

Jepang di Nusantara tidaklah banyak dan sedikit berubah, namun banyak

menyisakan luka yang tidak dapat terlupa oleh penduduk Nusantara. Perubahan

yang dimaksudkan yaitu juga dikenakannya hukum perdata yang semula berlaku

hanya untuk golongan Belanda, kini dilaksanakan juga oleh golongan orang-orang

Cina. Dalam praktiknya, hukum adat tetap berlaku untuk orang-orang golongan

Pribumi.

Dalam peraturan perundangan sedikit diberi imbuhan beberapa peraturan

militer oleh pemerintah jepang yang mengatur mengenai bentuk Pidana, dan

diberlakukan untuk seluruh golongan lapisan yang ada pada tanah Nusantara.

Tidak semua yang dibawa Jepang tidak bermanfaat, Kontribusi yang paling

penting yang diberikan kepada sistem hukum Indonesia adalah dihapuskannya

dualisme dalam tata peradilan. Kini hanya ada satu sistem peradilan saja untuk

semua golongan penduduk (kecuali orang-orang Jepang).

Badan pengadilan tertinggi adalah Hoggerechtshof yang pada saat

kedudukan Jepang disebut sebagai Saiko Hoin, dan peradilan yang lainnya yaitu
Raad van Justitie (Koto Hoin), Landraad (Tiho Hoin), Landgerecht (Keizai Hoin),

Regentschapsgerecht (Ken Hoin), dan Districtgerecht (Gun Hoin).

Residentiegerecht yang pada masa kekuasaan Hindia – Belanda mempunyai

yurisdiksi khusus untuk mengadili perkara orang-orang Eropa saja, kini dihapus.

Dalam upaya Unifikasi, Fungsi officieren van justitie (yang bekerja dibawah

arahan hukum acara pidana untuk orang-orang Eropa) dan fungsi jaksa yang

bekerja di bawah arahan hukum acara pidana untuk orang-orang Indonesia yang

perkaranya harus diperiksa di Landraad kini disatukan dalam Kensatzu Kyoku

yang diorganisasi menurut tiga peringkat peradilan.

Selama berada di Nusantara, Jepang tidak ingin membuang-buang waktunya

untuk melakukan perubahan fisik terlebih dahulu pada Nusantara. Jepang fokus

pada tujuan utamanya untuk mencari sokongan bantuan untuk mempersiapkan

pasukan untuk menyokong perang Asia Timur Raya yang sedang Jepang hadapi

saat itu.

Tatanan-tatanan yang ada saat masih kependudukan Belanda oleh

pemerintah Jepang hanya diteruskan kembali dan akan dihapuskan apabila

bersimpangan dengan aturan yang pemerintah Jepang bawa. Hal tersebut untuk

mempersingkat waktu dalam melakukan perubahan struktural yang dapat

dikatakan hanya sekadar ”membuang warna kekuasaan Belanda” untuk digantikan

dengan ”warna kekuasaan Jepang”.

Reorganisasi badan-badan pengadilan juga diadakan karena sebenarnya

Jepang ingin meniadakan kesan perlunya orang-orang Eropa diperlakukan khusus

di hadapan orang-orang Asia. Jepang juga melakukan obral jabatan dengan


mengisi bagian-bagian kekuasaan penting yang rumpang dengan Pribumi yang

memang ahli di bidang tersebut yang sebelumnya di masa kedudukan Belanda

telah diajarkan mengenai bidang-bidang tersebut. Yang mengisi bagian rumpang

tersebut merupakan rechtsambtenaren dan bestuurambtenaren pribumi didikan

Belanda untuk menjamin berlanjutnya roda pemerintahan dan penegakan tertib

hukum. Hal tersebut menggelorakan nasionalisme pribumi dan menggerakkan

aktivitas politiknya, sedangkan di lain sisi pihak Jepang memerlukan isyarat baik

dari para pemuka dan rakyat Indonesia untuk mendukung usaha-usaha

memenangkan perangnya.

Reorganisasi yang harus terlaksana pada badan-badan pengadilan, kejaksaan,

dan kepolisian (dihapuskannya pembedaan antara polisi kota dan polisi

lapangan/pedesaan) tentu saja harus disusul dengan pengangkatan awak-awak

pelaksananya. Badan-badan pengadilan dengan segera diawaki oleh-oleh hakim-

hakim berkebangsaan Pribumi. Namun dalam pengangkatannya terdapat masalah

insidentil yaitu berupa minimnya ketenagakerjaan yang tersedia pada golongan

yang berkebangsaan Pribumi karena pendidikan yang diberikan oleh Belanda

sangatlah dimampatkan untuk golongan Pribumi.

Oleh karena itu, pemerintahan Jepang membuatkan sekolah profesi

pendidikan singkat dalam bidang hukum untuk mengatasi kekurangan-kekurangan

itu. Pendidikan yang lebih bersifat pelatihan daripada pendidikan dalam arti

sebenarnya ini hanya berlangsung selama 1 tahun, dengan lulusan yang berjumlah

sebanyak 150 orang lulusan yang telah dihasilkan, dan banyak diantara mereka

tetap bekerja sebagai hakim atau jaksa sepanjang karirnya.


Lewat kesempatan-kesempatan seperti itu pemuka-pemuka di Indonesia

dapat belajar dan menyiapkan diri dalam banyak pengelolaan pemerintahan dan

kehakiman sebuah negara modern yang pada masa lampau banyak didominasi

oleh orang-orang Belanda. Dan ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan

beberapa saat kemudian pada suatu hari di tahun 1945, pengalaman yang

diperoleh semasa pendudukan Jepang sangatlah berarti. Meskipun sudah

tergambar dengan jelas bahwa hukum di Indonesia harus memiliki pedoman yang

mutlak dan dapat dijadikan acuan tersendiri bagi masyarakat Indonesia

kedepannya yang meliputi aspek-aspek substansi, struktur dan kultur – seperti

yang dihadapi dengan penuh dilema oleh kolonial Belanda ketika harus mengelola

suatu negeri yang penuh heterogenitas dan pluralitas – kini terambil-alih sebagai

bagian dari masalah nasional yang pada dasarnya tidaklah jauh banyak berbeda.

PERKEMBANGAN TATA HUKUM DI INDONESIA PADA MASA

REVOLUSI FISIK (1945-1950)

Pada dasarnya dan pada awalnya, para pemuka Indonesia mencoba

membangun hukum Indonesia dengan mencoba lepas dari ide hukum kolonial.

Namun, hal ini ternyata tidaklah mudah karena segala upaya yang telah dilakukan

itu berakhir dengan pengakuan bahwa proses realisasi ide hukum itu ternyata

tidak sesederhana model-model strategiknya dalam doktrin. Kesulitan lainnya

yang timbul ialah, tidak hanya keragaman hukum rakyat yang umumnya tak

terumus secara eksplisit, akan tetapi juga karena sistem pengelolaan hukum

modern yang terlanjur tercipta sepenuhnya sebagai warisan kolonial.


Bagaimanapun juga, seluruh alur perkembangan sistem hukum di Indonesia

telah banyak terbangun dan terstruktur secara pasti berdasarkan konfigurasi asas-

asas yang telah digariskan sebelum kekuasaan kolonial tumbang. Dasar-dasar

konstitusionalnya dapat ditemukan dalam Regerings-reglement 1854 yang

dipergunakan sampai masa akhir kekuasaan kolonial dan dinyatakan terus secara

eksplisit di dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Asas-

asas itu ialah asas supremasi hukum yang selayaknya dan sedapatnya

diunifikasikan, dengan penyelenggaraan peradilan berdasarkan asas

ketidakberpihakan, yang karena itu harus mengenal pembagian kekuasaan, dan

selayaknya diupayakan secara profesional oleh suatu korps kehakiman yang

terpisah dan terbebaskan dari kekuasaan eksekutif.

Sementara itu, para yuris yang telah berguru kepada guru-guru Belanda

memiliki kesulitan untuk menemukan pemikiran yang lateral dan menerobos,

serta telah terprakondisi oleh doktrin-doktrin yang telah ada. Namun, bukan

berarti para pemuka hukum di indonesia tidak memiliki ide-ide baru untuk

melepaskan diri dari hukum kolonial. Usul-usul inovatif untuk membuat

terobosan, seperti usul Muhammad Yamin untuk memberikan kewenangan

kepada Mahkamah Agung guna melakukan peninjauan-peninjauan dan penilaian

terhadap seluruh produk perundang-undangan yang ada terbentur pada keberatan

Soepomo yang lebih menyukai model-model kelembagaan ketatanegaraan yang

selama ini sudah dikenal dengan baik oleh pakar-pakar hukum Indonesia.

Alasan lain mengapa pola lama yang telah dikenal sejak zaman kolonial

dipertahankan adalah lebih dipilihnya hukum ini untuk mencegah terjadinya


kevakuman atau kekosongan hukum. Hukum kolonial yang bersifat sekuler dan

netral dapat menengahi dan mencegah pendesakan hukum Islam, dan mampu

mengkooptasi hukum adat sebagai bagian dari hukum kolonial. Tugas yang

harus dikerjakan pertama-tama oleh para pendiri Republik ialah merancang dan

menegaskan hukum dasar yang akan menjadi landasan dan kerangka

konstitusional seluruh tata hukum dan tata pemerintahan di Indonesia. Setelah

merancangkan Undang-Undang Dasar dan Pancasila, pemerintah tidak lagi

berdaya untuk menata ulang seluruh sistem hukum Indonesia secara total dan

dalam waktu yang singkat. Hukum Kolonial yang ditinggalkan oleh pemerintah

Belanda ini diteruskan dan dinyatakan tetap berlaku sesuai pasal II Aturan

Peralihan Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan dengan jelas bahwa "

Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama

belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini".

Unifikasi badan-badan pengadilan yang telah diperkenalkan pada masa

pemerintahan militer Jepang, diteruskan oleh pemerintah Indonesia dan

melanjutkan proses penyederhanaannya. Gun Hoin (districtsgerecht), ken Hoin

(regentschapsgerecht), dan Keizai Hoin (landsgerecht) ditiadakan dan dialihkan

fungsi ke Tiho Hoin (Landraad) yang kini dinamakan Pengadilan Negeri. Koto

Hoin (Raad van Justitie) dijadikan pengadilan tingkat banding atau Pengadilan

tinggi, sedangkan Saiko Hoin (Hooggerechtshof) dijadikan pengadilan pemeriksa

perkara-perkara kasasi atau Mahkamah Agung.

Reorganisasi badan-badan pengadilan semasa periode revolusi ini bolehlah

ditenggarai sebagai suatu strategi politik untuk menyatukan Indonesia di bawah


satu kekuasaan nasional, dan tentu saja di bawah satu kekuasaan organisasi

peradilan nasional.

Perkembangan hukum di Indonesia dalam era pergolakan antara tahun

1945-1950 mengalami sedikit komplikasi ketika kekuasaan Jepang runtuh yang

kemudian berimbas kepada klaim Hindia Belanda (secara de jure) sebagai satu-

satunya penguasa politik yang sah. Kekuasaan Republik Indonesia tidaklah diakui,

kecuali kemudian diakui secara terbatas sebagai kekuasaan de facto.

Terbilang ke dalam barisan Sekutu yang menyatakan diri sebagai pemenang

perang, Belanda berhasil memulihkan kekuasaan Hindia Belanda pada tahun 1946

dan kembali mencoba merebut wilayah Indonesia. Tak ayal di daerah kekuasaan

Hindia belanda pasca-perang --yang sejak tahun 1948 juga menamakan dirinya

Indonesia-- hukum lama diteruskan berlakunya, tanpa perlu membuat aturan

aturan peralihan apapun, dan produk perundang-undangan pemerintah militer

Jepang tidak lagi berlaku. Produk-produk perundang-undangan baru yang

dihasilkan dan diundangkan, sebagian berupa peraturan-peraturan lokal yang

dibuat oleh negara-negara semi-independen (seperti Negara Indonesia dan Negara

Madura) yang dibuat dibawah kekuasaan sentral Hindia Belanda. Hukum buatan

Republik Indonesia pun masih dinyatakan berlaku kecuali hukum Republik itu

dianggap bertentangan dengan ketentraman dan ketertiban umum.

Landgerechten diteruskan untuk mengadili perkara-perkara semua golongan

penduduk dan badan pengadilan adat dan swapraja tetap diteruskan tetap

diteruskan, kecuali di daerah Sumatera Timur yang sudah terlanjur tiada sebagai

akibat revolusi sosial terhadap sultan-sultan Melayu yang berkuasa. Selain itu,
penyelenggaraan peradilan oleh pengadilan agama dan peradilan desa tetap

berjalan.

Pada tanggal 27 Desember 1949, ditemukan solusi atas masalah

persengketaan mengenai perebutan kedaulatan di Indonesia. Melalui Konferensi

Meja Bundar (KMB) di Belanda, lahirlah sebuah republik federal (Republik

Indonesia Serikat) dimana Indonesia menjadi negara semi-independen di bawah

kekuasaan Hindia Belanda. Namun pada tanggal 17 Agustus 1950, satuan satuan

kenegaraan seperti Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, dan

beberapa satuan negara bergabung menjadi sebuah negara republik kesatuan.

Sepanjang sejarah pada masa RIS, sumber pembuatan hukum perundang-

undangan yang utama di Indonesia adalah RIS. Apa yang telah pernah dihasilkan

oleh Republik yang satu ini telah diteruskan dan dinyatakan tetap berlaku sebagai

hukum Indonesia (berdasarkan pasal 192 konstitusi RIS 1949). Hukum ini pun

diteruskan berlakunya pada tahun-tahun berikutnya (berdasarkan pasal 142

Undang Undang Dasar Sementara) dan memberikan garis-garis besar yang nyata

mengenai haluan strategik perkembangan hukum di Indonesia, baik yang

berkenaan dengan substansi hukumnya maupun yang berkenaan dengan susunan

badan-badan peradilannya.
BAB XI

PERKEMBANGAN HUKUM DI INDONESIA PASCA REVOLUSI FISIK

PADA ZAMAN PEMERINTAHAN PRESIDEN SOEKARNO (1950-1966)

Dengan berakhirnya riwayat Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal

17 Agustus 1950, sebuah negara berbentuk republik kesatuan lahir

menggantikannya. Undang Undang Dasar Republik Indonesia Serikat yang hanya

berfungsi selama tidak lebih dari 8 bulan digantikan oleh undang undang dasar

baru, yakni Undang Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (diumumkan

sebagai Undang Undang no. 7 tahun 1950 pada tanggal 15 Agustus 1950 dalam

Lembaran Negara Tahun 1950 no. 56).

Seperti dua Undang Undang Dasar yang ada sebelumnya, UUDS ini

menganut asas tetap memberlakukan semua peraturan perundang-undangan dan

ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada sebelumnya. Pasal 142 UUDS

menyebutkan bahwa "Peraturan-peraturan perundang-undangan dan ketentuan-

ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950 tetap berlaku

dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan

Republik Indonesia sendiri selama dan sekedar peraturan-peraturan dan

ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang

dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang Undang Dasar (yang baru)

ini".

Dalam praktek penunjukan atau penyebutan secara khusus mana sajakah

peraturan perundang-undangan dan ketentuan tata usaha yang masih berlaku,


dicabut, diubah atau ditambah tidaklah mudah dilakukan. Selain itu, kepastian

hukum pun sebenarnya tak juga mudah di jamin sebab kepastian hukum bukan

merupakan hal yang paling utama dituju oleh pasal peralihan seperti pasal 142

Undang Undang Dasar Republik Indonesia Serikat itu.

Sekalipun sudah bertekad mendirikan negara kesatuan, pluralisme golongan

rakyat dan pluralisme hukumnya dikaidahi dalam pasal 24 ayat 2 UUD RIS yang

berbunyi "perbedaan dalam kebutuhan masyarakat dan kebutuhan hukum

golongan rakyat akan diperhatikan". Namun pasal ini dianggap merujuk kepada

pluralisme yang terlanjur ada, bukan sebagai kebijakan untuk membuat dan

meneruskan pluralisme hukum.

Tugas-tugas yang dibebankan oleh ketentuan-ketentuan konstitusional guna

membangun hukum nasional bukanlah tugas yang ringan. Dilema antara realisme

pluralisme (yang telah dominan sejak zaman kolonial) dan cita-cita unifikasi

(yang merefleksikan persatuan dan kesatuan Indonesia) tidaklah mudah diatasi

begitu saja. Pilihan yang dibuat pun tidak hanya bersifat sosial-yuridis saja,

melainkan sifat politik-ideologik pula.

Perkembangan yang terjadi dalam periode ini dapat dibedakan menjadi 2

subperiode, yaitu subperiode 1950-1959 yang berlangsung di bawah arahan

UUDS dan subperiode 1956-1966 yang berlangsung di bawah arahan UUD 1945

(yang diberlakukan kembali berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959).

Subperiode sebelum dekrit presiden boleh dibilang merupakan subperiode yang

penuh pertimbangan, keraguan, dan perdebatan dalam suasana demokrasi

parlementer, sedangkan subperiode sesudah dekrit presiden itu ialah subperiode


yang boleh dibilang merupakan subperiode yang telah disemangati oleh tekad dan

kebijakan dalam suasana demokrasi terpimpin.

PEMBANGUNAN HUKUM PADA SUBPERIODE 1950-1959

Masalah yang dihadapi parlemen pada periode 1950-1959 ini memang berat.

Di sini orang belum juga selesai menegaskan apakah di Indonesia diputuskan

pluralisme atau unifikasi maupun hukum adat atau hukum Belanda. Manakala

yang akan dipentingkan adalah revolusi bangsa adalah pemuasan kebutuhan

Indonesia untuk memperoleh kemajuan ekonomi dan pertumbuhan kesejahteraan

sosial yang cepat, hukum adat dilihat sebagai kekuatan yang menghambat laju

pertumbuhan ekonomi dan kemajuan masyarakat. Akan tetapi, manakala

dipentingkan adalah citra dan kebanggaan nasional maka tak pelak hukum adat

dilihat memantulkan kepribadian bangsa sebagai modal untuk mengembangkan

hukum nasional yang benar-benar asli Indonesia. Kelompok politik Islam ikut

serta mempersoalkan dan bagi mereka hukum syariah Islam yang harus

dikembangkan sebagai hukum nasional. Namun, hal tersebut hanya menjadi

dambaan saja dan belum terangkat sebagai kebijakan yang terarah. Pada periode

ini persoalan nasionalisasi dan unifikasi hukum materiil yang akan diterapkan

oleh badan-badan pengadilan belum kunjung bisa diselesaikan. Namun, pada

periode ini telah baru proses nasionalisasi pengadilan, dimana kebijakan yang

dianut untuk seluruh wilayah Republik, yakni peradilan yang diselenggarakan

oleh negara hanya akan terdiri dari tiga susun, yakni Pengadilan Negeri,

Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, masing-masing dengan kekuasaan

untuk mengadili pada tingkat pertama, banding, dan kasasi. Dengan UU nomor 90
tahun 1950 dan UU Darurat nomor 1 tahun 1951 diaturlah tindakan-tindakan

untuk meneruskan unifikasi tata peradilan yang efektif untuk seluruh Indonesia.

PEMBANGUNAN HUKUM PADA SUBPERIODE 1959-1966

Pada periode ini demokrasi parlementer di bawah arahan UUDS 1950 oleh

apa yang disebut demokrasi terpimpin melalui Dekrit Presiden dan berlaku

kembali UUD 1945. Dalam suasana sosio-politik seperti itu, penolakan terhadap

segala hal yang berbau asing terasa demikian intensnya. Melalui Keputusan

Menteri Kehakiman Sahardjo pada tahun 1960, digantikannya simbol hukum

Indonesia dari figur Dewi Yustisia (dalam peradaban Eropa melambangkan

keadilan) ke Pohon Beringin (dalam lingkungan budaya Jawa melambangkan

pengayoman). Hampir bersamaan dengan dikeluarkannya aturan tersebut, MPRS

bersidang dan menetapkan suatu ketetapan yg pada nomor II menegaskan bahwa

setiap usaha untuk memperoleh kesatuan hukum harus memperhatikan benar-

benar realitas yang ada di Indonesia, dan bahwa asas-asas yang dipakai untuk

membentuk hukum nasional harus selalu bersesuaian garis-garis besar haluan

negara dan harus pula didasarkan pada hukum adat. Pergantian simbol hukum

tersebut tidak ada perubahan yang terlalu mendasar di antara sistem hukum

Indonesia.

Produk hukum perundang-undangan pada periode ini adalah UU Pokok

Agraria sehingga dicabutlah sebagian ketentuan hukum yang termuat dalam Buku

II BW dan hak-hak tanah menurut hukum Eropa dari ketentuan Kitab itu.

Undang-undang ini menyatakan bahwa hak-hak tanah yang baru didasarkan pada
kaidah hukum adat bangsa Indonesia. Namun, UU ini mengabaikan kaidah hukum

adat dan hanya memperhatikan asas umum di dalam hukum adat Indonesia.

Undang-undang ini bermaksud membuat peraturan hukum yang berlaku untuk

semua golongan penduduk tanpa kecualinya.

Pada tahun 1961 pemerintah mengaktifkan kembali Lembaga Pembinaan

Hukum Nasional yang telah diresmikan pada tahun 1958 yang kini berada di

bawah kontrol langsung Menteri Kehakiman. Lembaga ini memiliki fungsi dan

tugas untuk menjabarkan lebih lanjut asas-asas pembaharuan hukum Indonesia

sesuai yang digariskan MPRS no. II tahun 1960 dan merancang hukum

perundangan sesuai kepentingan bangsa. Lembaga ini berhasil menetapkan

“Pokok-Pokok dan Asas-Asas Tertib Hukum Indonesia” yang menjelaskan hukum

hukum nasional akan berunsurkan nilai kegotongroyongan dan berfungsi sebagai

pengayom masyarakat. Lembaga ini mencita-citakan terwujudnya kodifikasi,

unifikasi, pembakuan menuju keseragaman

Menteri Kehakiman Sahardjo mengingatkan adanya Maklumat

Pemerintahan bertanggal 10 Oktober 1960 (pasal 1) yang menyatakan bahwa

semua hukum kolonial itu dapat dinyatakan tak berlaku lagi tanpa menunggu

dahulu adanya peraturan peraturan perundangan baru yang mencabutnya. Setelah

Sahardjo memberi saran, kitab Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel

haruslah dipandang tidak lagi sebagai sumber hukum formil, melainkan yang

materiil saja. Hal ini diamini oleh Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro,

Wirjono Prodjodikoro mengatakan Buku II BW telah dinyatakan tidak berlaku


oleh hukum nasional tentang pertanahan. Selanjutnya Buku I BW mengenai

Person dan Buku III BW mengenai kontrak seharusnya ditinjau ulang dan diganti.

Perkembangan berikutnya, melalui Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung

bertanggal 5 September 1963 kepada Ketua Pengadilan Negeri di Indonesia yang

menegaskan niat dan kebijakan untuk menghentikan berlakunya kitab undang-

undang hukum perdata sebagai hukum positif. Hal ini membuat hakim gelisah

karena diwajibkan menemukan hukum dari sumber lain dan menciptakan temuan

baru yang anti kolonial. Kegelisahan juga dirasakan oleh pengacara yang sulit

dalam memperkirakan temuan hakim yang akan digunakan untuk mengadili suatu

perkara dan dikhawatirkan hakim akan menjadi subjektif dan semena-mena. Di

mata akademisi, Surat Edaran ini dianggap sebagai langkah ngawur yang tak

mengindahkan tata krama karena tidak menghormati asas kepastian hukum dan

merusak ajaran Stuffenban yang dikemukakan Kelsen tentang tertib hirarki

perundang-undangan.
BAB XII

PERKEMBANGAN HUKUM DI INDONESIA SEPANJANG MASA

PEMERINTAHAN ORDE BARU (1966-1990)

Pada tahun 1966, perubahan besar terjadi dalam kekuasaan pemerintahan di

Indonesia. Salah satunya adalah digantinya kebijakan dasar pemerintah menjadi

kebijakan melaksanakan Undang-undang Dasar secara murni dan konsekuen dan

melaksanakan pembangunan. Pancasila dijadikan landasan idiil, sementara UUD

menjadi landasan konstitusional dalam setiap kegiatan.

Soal kemiskinan dan ekonomi menjadi permasalahan yang paling mendesak

untuk dipecahkan. Sehingga, indikator keberhasilan perjuangan bangsa menjadi

pembangunan ekonomi, dengan bersikap low profile dalam politik internasional.

Pemerintah memprioritaskan kebijakan menahan laju inflasi, infrastruktur,

investasi, ekspor, swasembada pangan, dan kebutuhan sandang-pangan-papan.

Perusahaan asing yang diambil, kemudian dikembalikan di tangan pemiliknya.

UU Penanaman Modal Asing dibuat dan diundangkan untuk menarik investasi

dari luar.

Kabinet Pembangunan 1968 menjadi titik awal perubahan. Peran partai

politik dan masyarakat sipil berkurang, sementara peran militer (dwifungsi ABRI)

menjadi dominan. Hal ini diperlukan untuk menciptakan stabilitas nasional agar

para teknokrat dapat leluasa membangun ekonomi. Pemerintah berhak menunjuk

dan mengangkat anggota DPR dan MPR tanpa militer, dipengaruhi kekuasaan

eksekutif yang dikontrol militer.


Peran hukum berubah menjadi bagian dari sarana pembangunan. Pernyataan

“Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum” digaungkan, sehingga muncul

dua sisi: sebagai tool of social engineering dan sarana melindungi HAM.

MENGEMBALIKAN CITRA INDONESIA SEBAGAI NEGARA HUKUM

Perkembangan hukum nasional Orde Baru diupayakan untuk memulihkan

kewibawaan hukum dan menentang setiap bentuk usaha untuk memperhamba

hukum kepada kepentingan dan tujuan politik. Tap MPRS No. XX (5 Juli 1966)

mengatur Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundang-

undangan Republik Indonesia yang dimaksudkan untuk melaksanakan UUD 1945

secara murni dan konsekuen. Ditetapkan pula bahwa Pancasila, Proklamasi

Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Dekrit 5 Juli 1959, UUD Proklamasi, dan Surat

Perintah 11 Maret 1966 adalah sumber dari segala sumber hukum. Hal ini berarti

setiap peraturan perundangan Indonesia harus berdasar dan bersumber dengan

tegas pada peraturan perundangan yang berlaku yang lebih tinggi tingkatnya.

Rencana Pembangunan Lima Tahun I 1969 mengakui pentingnya peran

hukum dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Ini karena tanpa pembangunan

di bidang hukum, maka pembangunan di bidang ekonomi menjadi sia-sia. Naskah

ini merujuk pada Penjelasan UUD 1945 yang menegaskan rule of law yang

terjamin, yang mencakup (1) HAM dilindungi; (2) peradilan harus bebas dan tidak

memihak; dan (3) asas legalitas dipegang teguh dalam menjalankan hukum formil

dan hukum materiil. Untuk itu, dibuatlah Undang-undang Pokok nomor 14 tahun

1970 tentang Kekuasaan Kehakiman.


Ketentuan-ketentuan mengikat yang diberlakukan di era Orde Baru

diperlukan untuk mengesankan keharusan membatasi kekuasaan eksekutif. Ini

karena di masa Orde Lama, kekuasaan Presiden amatlah eksesif, baik secara

jabatan maupun intervensi hukum yang berlebihan.

Untuk menjadikan hukum pada era Orde Baru menjadi Hukum

Pembangunan, ide-ide untuk tidak meneruskan hukum kolonial Barat mulai

ditinggalkan, seperti yang dulunya kerap dikemukakan. Para hakim di pengadilan

mulai merujuk keputusan hukumnya kembali pada pasal-pasal di Burgerlijk

Wetboek. Di lapangan, sering terjadi legal gaps dan permasalahan yang sulit

dijabarkan dan diimplementasikan lewat cita-cita rule of law. Bahkan, hukum

sering dijadikan hanya sebagai sarana dan harus berkhidmat pada tujuan

pembangunan itu sendiri, hingga merasionalisasikan kebijakan pemerintah

khususnya eksekutif.

HUKUM DIFUNGSIKAN SEBAGAI SARANA UNTUK MEREKAYASA

MASYARAKAT

Para yuris mencoba mencari pendekatan baru terhadap studi hukum untuk

merelevansikan permasalahan dan fungsi hukum dengan permasalahan makro,

yang tak hanya terbatas pada persoalan normatif dan litigatif. Mochtar

Kusumaatmadja mengajak para ahli hukum untuk mempertimbangkan

digunakannya pendekatan pendekatan sosiologik untuk sosial-ekonomi, yang

dinamakan sociological jurisprudence atau legal realism. Menekankan konsep

Roscoe Pound, dimana law as a tool of social engineering, Mochtar


berargumentasi bahwa pendayagunaan hukum sebagai sarana merekayasa

masyarakat menurut skenario kebijakan pemerintah diperlukan oleh negara-negara

berkembang. Para ahli hukum juga harus ikut memikirkan dan membantu

tindakan mengefektifkan hukum untuk terjadinya perubahan yang terkontrol,

tertib, dan teratur.

Mochtar tidak begitu percaya bahwa budaya, tradisi, dan hukum asli

pribumi harus dilestarikan seperti pada hukum kolonial. Karena, seperti kata

Raymond Kennedy, kebijakan anti-acculturation itu tidak menguntungkan.

Hukum nasional harusnya tidak tergesa-gesa dibangun dan diputuskan; baik itu

meneruskan hukum kolonial saja atau memgembangkan hukum adat sebagai

hukum nasional. Perlu dilakukan penelitian dimana bagian hukum yang bisa

dikembangkan, yakni kontrak, badan usaha, dan tata niaga; dan bagian yang

dibiarkan saja, seperti masalah spiritual dan budaya.

Pemikiran Mochtar memang bukan satu-satunya, namun sangat penting

dan berpengaruh di era Orde Baru. Idenya mengenai kodifikasi dan unifikasi

terbatas secara selektif pada hukum yang tak hendak menjamah ranah kehidupan

budaya dan spiritual rakyat menjadi bagian dari program kerja Badan Pembinaan

Hukum Nasional bertahun-tahun. Hukum saat itu difungsikan hanya untuk

merekayasa kehidupan ekonomi saja, tidak sampai pada seluruh aspek masyarakat,

sesuai keinginan pemerintah Orde Baru. Dengan cepat infrastruktur pembangunan

nasional disiapkan ketika ide hukum seperti ini diberlakukan.

Kelembagaan hukum untuk kepentingan pembangunan ekonomi memberi

jaminan kepastian yang penting. Hal ini menjadi hukum nasional modern yang
menetapkan sendiri secara khusus arah perkembangan itu. Ide hukum yang

mementingkan regulasi ekonomi tersirat dalam pidato Presiden Soeharto dalam

Lawasia 1973, dimana setiap pembangunan mengharuskan terjadinya serangkaian

perubahan, bahkan yang fundamental. Hukum berfungsi menjadi pemuka jalan

dan kesempatan menuju pembaharuan yang dikehendaki.

Ide kodifikasi dan unifikasi terbatas selektif ditulis secara eksplisit dan

resmi dalam naskah Rencana Pembangunan Lima Tahun II 1974, Bab 27 paragraf

IV butir 1. Dijelaskan bahwa prioritas diberikan untuk meninjau kembali dan

merancang peraturan perundang-undangan agar segala peraturan itu searah dan

bersesuaian dengan pembangunan sosial-ekonomi, khususnya di bidang pertanian,

industri, pertambangan, komunikasi, dan perdagangan. Ini nantinya bertujuan ke

arah pembinaan infrastruktur yang digunakan untuk mengintensifkan usaha

memupuk kesatuan dan persatuan bangsa.

Perintisan upaya memfungsionalkan hukum untuk kepentingan

pembangunan ekonomi yang mengakomodasi kepentingan industrialisasi

masyarakat modern memperoleh dukungan dan penolakan. Bagi pendukung

paham hukum sebagai sarana perekayasa sosial, pernyataan ini didukung,

khususnya bagi pengajar senior di Universitas Padjajaran. Sementara bagi yang

menolak, hal ini dikatakan sebagai upaya yang terlalu menebal dari tradisi. Ada

dua pihak yang tidak menyetujui; ada yang percaya akan kontinuitas hukum, dan

ada yang percaya bahwa hukum harus berakar dari hukum rakyat atau adat.
KONTINUITAS PERKEMBANGAN HUKUM: DARI HUKUM

KOLONIAL KE HUKUM KOLONIAL YANG DINASIONALISASIKAN

Pendayagunaan hukum untuk kepentingan pembangunan Indonesia berdasar

atas hukum yang telah diakui dan berkembang di kalangan bisnis internasional.

Kalangan ahli hukum praktek, yang selama ini mempelajari hukum menurut

tradisi hukum Eropa, mengembangkan hukum nasional Indonesia dari modal

dasar hukum kolonial yang telah dikaji ulang berdasarkan Grundnorm Pancasila.

Hukum kolonial bagaimanapun juga adalah hukum yang secara formal masih

berlaku dan sebagian besar kaidah-kaidahnya merupakan hukum positif Indonesia

berdasarkan berbagai ketentuan peralihan. Perkembangan hukum di Indonesia

selama ini, sejak masa kolonial sampai masa-masa sesudahnya, adalah

perkembangan yang bergerak kearah dan/atau menurut pola-pola hukum Eropa,

dalam hal ini hukum Belanda.

Memutus alur perkembangan ini, berarti memutus hubungan tradisional

yang pernah berkembang dalam sejarah antara Indonesia dan Belanda. Hal ini

juga berarti memaksa Indonesia mengembangkan hukum nasionalnya dengan

beranjak dari awal lagi dan menyia-nyiakan apa yang hingga kini telah tercapai.

Adopsi unsur-unsur hukum dari hukum adat, hukum Amerika atau hukum Inggris

mungkin terjadi, tetapi konfigurasi atau pola sistematiknya yang Eropa tidak

mungkin diubah sama sekali. Sementara di Perguruan Tinggi, ada penganut yang

menyebut hukum yang mengatur tentang tata niaga dengan nama hukum dagang.

Penyebutan ini berbeda dengan penganut paham ‘hukum sebagai sarana


perekayasa sosial yang menyebut hukum sejenis itu’ dengan sebutan hukum

ekonomi. Hal ini terkesan bahwa hukum dagang yang mengikuti tradisi Belanda

masih dikualifikasikan sebagai hukum privat (perdata), sedangkan hukum

ekonomi sudah banyak berunsurkan ihwal tindakan-tindakan publik-administratif

pemerintah. Maka hukum dagang lebih tepat sebagai bagian dari pengatur

mekanisme ekonomi pasar bebas, sedangkan hukum ekonomi lebih tepat sebagai

bagian dari pengatur mekanisme ekonomi berencana.

HUKUM NASIONAL SEBAGAI HASIL PENGEMBANGAN HUKUM

ADAT

Ide untuk mengangkat hukum adat menjadi hukum nasional sebenarnya

sudah dikemukakan oleh nasionalis generasi pendahulu. Namun, ketika era Orde

Baru bermula dan pencaharian model hukum nasional yang paling memenuhi

panggilan zaman untuk menjadi dasar-dasar utama pembangunan hukum nasional,

hukum adat sudah kehilangan pencetus-pencetus ide baru yang mampu bersaing.

Tokoh-tokoh seperti Djojodigoeno dari Universitas Gajah Mada saat itu sudah

pensiun dan tak mungkin terlampau aktif karena alasan politik dan kesehatan.

Serta Koesnoe dari Universitas Airlangga yang saat itu sibuk dengan tugasnya

sebagai guru besar (tamu) di Belanda. Sebenarnya, dasar pemikiran diangkatnya

hukum adat menjadi hukum nasional bertolak dari paham Savignian, bahwa

hukum itu tak mungkin dibuat dan dibebankan dari atas (sebagai atau tidak

sebagai sarana perekayasa sosial) melainkan akan terus berkembang seiring

berkembangnya masyarakat. Hal tersebut membuat para penganjur hukum adat

kesulitan saat harus mengunifikasikan hukum adat yang berbeda-beda. Hingga


saat pembangunan di segala bidang harus segera dikerjakan, para pendukung

hukum adat baru mampu mengingatkan bahwa hukum nasional itu harus

berdasarkan hukum adat dan muncul dengan pernyataan “Hukum adat merupakan

salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi

pembangunan hukum nasional yang menuju pada unifikasi hukum.”

Menurut Soerojo, salah satu ahli hukum adat, ada empat asas hukum adat

yang dikatakan mempunyai nilai universal, yaitu asas gotong royong, asas fungsi

sosial manusia dan miliknya, asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum,

dan asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan. Ada lima

pranata hukum adat yang juga dijumpai dalam hukum internasional, yaitu pranata

maro ( dalam hukum internasional disebut production sharing contract), pranata

panjer (dalam hukum internasional disebut commitment fee atau down payment),

pranata kebiasaan (dalam hukum internasional disebut innocent passage), pranata

dol oyodan atas tanah (dalam hukum internasional disebut voyage charter atau

time charter), pranata jonggolan (dalam hukum internasional disebut lien atau

mortgage). Dan dua contoh konsep dalam hukum adat yang bertujuan dengan

fungsi yang sama dalam hukum internasional, yaitu konsep tanah wewengkon

atau tanah ulayat yang dalam hukum internasional dikenal dengan konsep

teritorialitas atau daerah yurisdiksi dan konsep hak meminta perlindungan ke

bawah kekuasaan seseorang penguasa agar terhindar dari sanksi adat yang dalam

hukum internasional disebut hak asilum atau hak meminta suaka.

Berdasarkan konsep tersebut, para pendukung hukum adat tak dapat

bertindak selain mengandalkan kemampuan para hakim untuk mengembangkan


kedayagunaan hukum dalam masyarakat. Namun, hal tersebut tidak dapat

diwujudkan karena pada masa Orde Baru hakim tidak bisa mandiri dan bebas

sebab adanya doktrin yang dianut dalam badan-badan pengadilan saat itu yang

mengonsepkan hakim sebatas sebagai pengucap bunyi hukum. Hal ini juga

didukung dengan adanya peran pendukung paham nasional sebagai hukum

perekayasa dan adanya partisipasi politik militer yang kuat sehingga peran hukum

adat dalam percaturan pembangunan hukum nasional semakin terdesak.

Sementara itu, dalam kerangka kerja operasionalisasi hukum sebagai sarana

perekayasa sosial, komitmen fungsi legislatif yang diharapkan sebagai pengefektif

bekerjanya hukum nasional cenderung menampilkan dominasi pihak eksekutif.

Hal ini karena pertama, ada dan selalu didayagunakannya wewenang

konstitusional badan-badan eksekutif untuk terlibat ke dalam perancangan dan

pembuatan undang-undang, yang dalam praktek membuat eksekutif lebih banyak

berprakarsa.

Kontrol eksekutif di dunia perundang-undangan bisa dilihat dari adanya

Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, dll. Meskipun

peraturan tersebut hanya bertaraf peraturan pelaksanaan, dalam prakteknya

menimbulkan efek perubahan pola kehidupan juga. Kedua, adanya kenyataan

dalam perkembangan politik yang terjadi pada zaman Orde Baru yaitu kekuatan

politik yang berkuasa di jajaran eksekutif juga mampu mendominasi Dewan

Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Hal ini dapat

dibuktikan yaitu pada tahun 1973 misalnya 100 dari 360 anggota dewan adalah

anggota yang diangkat tanpa melalui pemilu tapi dengan ditunjuk oleh eksekutif
yang berasal dari fraksi ABRI. Dalam perkembangannya hingga akhir abad ke-20,

hukum di Indonesia bisa benar-benar menjadi government social control dan

berfungsi sebagai tool of social engineering. Sehingga selama masa pemerintahan

Orde Baru, hukum perundang-undangan menjadi kekuatan kontrol di tangan

pemerintah yang terlegitimasi dan tidak selamanya merefleksikan konsep keadilan,

asas-asas moral, dan wawasan kearifan yang sebenarnya seperti yang ada dalam

kesadaran hukum masyarakat awam.

Anda mungkin juga menyukai