Soetandyo Wignjosoebroto
Bagian III
Oleh:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
BAB X
Periode lima puluh tahun yang terbentang antara tahun 1940 dan 1990
adalah periode pasca kolonial yang didahului oleh serangkaian krisis dan
periode ini dapat dibagi ke dalam tiga tahap perkembangan utama. Pertama-tama
ke UUD 1945” dengan upaya sesudah itu untuk menegakkan apa yang disebut
ditimbulkan oleh realitas dualisme, para pemuka nasional tampak nyata lebih
kolonial abad 20, ialah kebijakan yang lebih berseluk beluk dengan permasalahan
desentralisasi.
BELANDA
dikatakan bahwa perubahan tata hukum model Eropa Daratan terbilang lamban
wujud sosok yang berkontur jelas. Kodifikasi dan unifikasi yang dicita-citakan
baru terwujud dalam bidang hukum pidana materiil saja, itupun hanya dengan tata
peradilan dan karena itu juga dengan hukum acara pidana yang masih berbeda dan
historisme.
Dualisme hukum dengan hukum Eropa yang telah terkodifikasi dan hukum adat
Regeringsreglement tahun 1854 tetap saja berlaku dan diteruskan sebagai Pasal
163 Indische Staatsregeling yang berlaku sejak tahun 1925 sebagai pengganti
bangsa Jepang dan orang-orang Min yang di negeri asalnya juga dikenai hukum
keluarga yang serupa atau asas dengan hukum keluarga menurut hukum
sukarela ke dalam hukum golongan lain atau telah tergabung ke dalam golongan
itu dan tidak hendak masuk kembali ke dalam golongan asalnya(2). Sedangkan
pada golongan Timur Asing merupakan seluruh golongan yang tidak termasuk
Kolonial tidak hanya mengatur tentang pembedaan tentang ras dan golongan,
namun juga mencoba mengatur asas-asas umum yang harus diikuti oleh badan
undang yang tertera pada Pasal 131 Indische Staatsregeling tahun 1925, yang
tersebut terus dilaksanakan hingga pada akhir kekuasaan kolonial di tanah jajahan.
Wetboek van Kopphandel) dan hukum dagang yang harus bersifat Konkordansi
bagi orang-orang Eropa, dan apabila ada penyimpangan dari asas Konkordansi
Hindia – Belanda mengharuskan hal itu, atau apabila orang-orang Eropa di Hindia
untuk golongan penduduk yang lain atau untuk sebagian daripadanya. Demikian
ini dinyatakan dalam Pasal 131 ayat 2 (a) Indische Staatsregeling tahun 1925.
Hukum yang tertulis dalam Pasal 131 ayat 2 (a) Indische Staatsregeling
tahun 1925 juga dapat berlaku pada golongan Pribumi dan Timur Asing bila
ordonansi menyebutkan akan tetap menghormati hukum adat dan hukum agama
golongan penduduk yang bukan orang Eropa, sekalipun kemungkinan masih tetap
terbuka untuk mengabaikan hukum agama dan hukum adat itu manakala
dikehendaki demi kepentingan umum atau demi pemenuhan kebutuhan baru yang
hukum acara perdata dan hukum acara pidana. Untuk golongan Eropa tetap
untuk orang Eropa ataupun seluruh golongan penduduk yang ada di Hindia –
Belanda.
dualisme hukum di tanah jajahannya, namun di sisi lain dalam pihak dalam juga
ketenagakerjaan yang membuat Pasal 131 ayat 2 (b) Indische Staatsregeling tahun
1925 tidak menjadi acuan untuk menjalankan kegiatan dalam hukum yang berlaku
di Hindia – Belanda. Dengan begitu, pasal tersebut tidak terunifikasi lagi. Dan
berarti pula, dari tahun 1927 sampai pendudukan Jepang pada tahun 1942
dualisme.
Seiring dengan menuju terjadinya Perang Dunia ke-II, upaya kolonial untuk
Akan di ganti dengan beberapa upaya apapun dan dengan cara apapun,
Belanda dari tahta yang telah Belanda duduki selama tiga abad lamanya,
pertama adalah pulau Jawa dan Madura, yang kedua adalah Sumatera yang
dikontrol dan Singapura sebagai pusatnya, dan yang ketiga adalah Indonesia
bagian timur.
Dalam menjalankan kekuasaan yang ada di Nusantara, Jepang didalam
undang-undang bala tentara Jepang (Osamu sirei) tahun 1942 No, 1, yang berlaku
pemerintaha semua hukum dan peraturan yang selama ini berlaku tetap
menyisakan luka yang tidak dapat terlupa oleh penduduk Nusantara. Perubahan
yang dimaksudkan yaitu juga dikenakannya hukum perdata yang semula berlaku
hanya untuk golongan Belanda, kini dilaksanakan juga oleh golongan orang-orang
Cina. Dalam praktiknya, hukum adat tetap berlaku untuk orang-orang golongan
Pribumi.
militer oleh pemerintah jepang yang mengatur mengenai bentuk Pidana, dan
diberlakukan untuk seluruh golongan lapisan yang ada pada tanah Nusantara.
Tidak semua yang dibawa Jepang tidak bermanfaat, Kontribusi yang paling
dualisme dalam tata peradilan. Kini hanya ada satu sistem peradilan saja untuk
kedudukan Jepang disebut sebagai Saiko Hoin, dan peradilan yang lainnya yaitu
Raad van Justitie (Koto Hoin), Landraad (Tiho Hoin), Landgerecht (Keizai Hoin),
yurisdiksi khusus untuk mengadili perkara orang-orang Eropa saja, kini dihapus.
Dalam upaya Unifikasi, Fungsi officieren van justitie (yang bekerja dibawah
arahan hukum acara pidana untuk orang-orang Eropa) dan fungsi jaksa yang
bekerja di bawah arahan hukum acara pidana untuk orang-orang Indonesia yang
untuk melakukan perubahan fisik terlebih dahulu pada Nusantara. Jepang fokus
pasukan untuk menyokong perang Asia Timur Raya yang sedang Jepang hadapi
saat itu.
bersimpangan dengan aturan yang pemerintah Jepang bawa. Hal tersebut untuk
aktivitas politiknya, sedangkan di lain sisi pihak Jepang memerlukan isyarat baik
memenangkan perangnya.
itu. Pendidikan yang lebih bersifat pelatihan daripada pendidikan dalam arti
sebenarnya ini hanya berlangsung selama 1 tahun, dengan lulusan yang berjumlah
sebanyak 150 orang lulusan yang telah dihasilkan, dan banyak diantara mereka
dapat belajar dan menyiapkan diri dalam banyak pengelolaan pemerintahan dan
kehakiman sebuah negara modern yang pada masa lampau banyak didominasi
beberapa saat kemudian pada suatu hari di tahun 1945, pengalaman yang
tergambar dengan jelas bahwa hukum di Indonesia harus memiliki pedoman yang
yang dihadapi dengan penuh dilema oleh kolonial Belanda ketika harus mengelola
suatu negeri yang penuh heterogenitas dan pluralitas – kini terambil-alih sebagai
bagian dari masalah nasional yang pada dasarnya tidaklah jauh banyak berbeda.
membangun hukum Indonesia dengan mencoba lepas dari ide hukum kolonial.
Namun, hal ini ternyata tidaklah mudah karena segala upaya yang telah dilakukan
itu berakhir dengan pengakuan bahwa proses realisasi ide hukum itu ternyata
yang timbul ialah, tidak hanya keragaman hukum rakyat yang umumnya tak
terumus secara eksplisit, akan tetapi juga karena sistem pengelolaan hukum
telah banyak terbangun dan terstruktur secara pasti berdasarkan konfigurasi asas-
dipergunakan sampai masa akhir kekuasaan kolonial dan dinyatakan terus secara
asas itu ialah asas supremasi hukum yang selayaknya dan sedapatnya
Sementara itu, para yuris yang telah berguru kepada guru-guru Belanda
serta telah terprakondisi oleh doktrin-doktrin yang telah ada. Namun, bukan
berarti para pemuka hukum di indonesia tidak memiliki ide-ide baru untuk
selama ini sudah dikenal dengan baik oleh pakar-pakar hukum Indonesia.
Alasan lain mengapa pola lama yang telah dikenal sejak zaman kolonial
netral dapat menengahi dan mencegah pendesakan hukum Islam, dan mampu
mengkooptasi hukum adat sebagai bagian dari hukum kolonial. Tugas yang
harus dikerjakan pertama-tama oleh para pendiri Republik ialah merancang dan
berdaya untuk menata ulang seluruh sistem hukum Indonesia secara total dan
dalam waktu yang singkat. Hukum Kolonial yang ditinggalkan oleh pemerintah
Belanda ini diteruskan dan dinyatakan tetap berlaku sesuai pasal II Aturan
Peralihan Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan dengan jelas bahwa "
Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama
fungsi ke Tiho Hoin (Landraad) yang kini dinamakan Pengadilan Negeri. Koto
Hoin (Raad van Justitie) dijadikan pengadilan tingkat banding atau Pengadilan
peradilan nasional.
kemudian berimbas kepada klaim Hindia Belanda (secara de jure) sebagai satu-
satunya penguasa politik yang sah. Kekuasaan Republik Indonesia tidaklah diakui,
perang, Belanda berhasil memulihkan kekuasaan Hindia Belanda pada tahun 1946
dan kembali mencoba merebut wilayah Indonesia. Tak ayal di daerah kekuasaan
Hindia belanda pasca-perang --yang sejak tahun 1948 juga menamakan dirinya
Madura) yang dibuat dibawah kekuasaan sentral Hindia Belanda. Hukum buatan
Republik Indonesia pun masih dinyatakan berlaku kecuali hukum Republik itu
penduduk dan badan pengadilan adat dan swapraja tetap diteruskan tetap
diteruskan, kecuali di daerah Sumatera Timur yang sudah terlanjur tiada sebagai
akibat revolusi sosial terhadap sultan-sultan Melayu yang berkuasa. Selain itu,
penyelenggaraan peradilan oleh pengadilan agama dan peradilan desa tetap
berjalan.
kekuasaan Hindia Belanda. Namun pada tanggal 17 Agustus 1950, satuan satuan
undangan yang utama di Indonesia adalah RIS. Apa yang telah pernah dihasilkan
oleh Republik yang satu ini telah diteruskan dan dinyatakan tetap berlaku sebagai
hukum Indonesia (berdasarkan pasal 192 konstitusi RIS 1949). Hukum ini pun
Undang Undang Dasar Sementara) dan memberikan garis-garis besar yang nyata
badan-badan peradilannya.
BAB XI
berfungsi selama tidak lebih dari 8 bulan digantikan oleh undang undang dasar
sebagai Undang Undang no. 7 tahun 1950 pada tanggal 15 Agustus 1950 dalam
Seperti dua Undang Undang Dasar yang ada sebelumnya, UUDS ini
ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada sebelumnya. Pasal 142 UUDS
ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950 tetap berlaku
dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang Undang Dasar (yang baru)
ini".
hukum pun sebenarnya tak juga mudah di jamin sebab kepastian hukum bukan
merupakan hal yang paling utama dituju oleh pasal peralihan seperti pasal 142
rakyat dan pluralisme hukumnya dikaidahi dalam pasal 24 ayat 2 UUD RIS yang
golongan rakyat akan diperhatikan". Namun pasal ini dianggap merujuk kepada
pluralisme yang terlanjur ada, bukan sebagai kebijakan untuk membuat dan
membangun hukum nasional bukanlah tugas yang ringan. Dilema antara realisme
pluralisme (yang telah dominan sejak zaman kolonial) dan cita-cita unifikasi
begitu saja. Pilihan yang dibuat pun tidak hanya bersifat sosial-yuridis saja,
UUDS dan subperiode 1956-1966 yang berlangsung di bawah arahan UUD 1945
Masalah yang dihadapi parlemen pada periode 1950-1959 ini memang berat.
pluralisme atau unifikasi maupun hukum adat atau hukum Belanda. Manakala
sosial yang cepat, hukum adat dilihat sebagai kekuatan yang menghambat laju
dipentingkan adalah citra dan kebanggaan nasional maka tak pelak hukum adat
hukum nasional yang benar-benar asli Indonesia. Kelompok politik Islam ikut
serta mempersoalkan dan bagi mereka hukum syariah Islam yang harus
dambaan saja dan belum terangkat sebagai kebijakan yang terarah. Pada periode
ini persoalan nasionalisasi dan unifikasi hukum materiil yang akan diterapkan
periode ini telah baru proses nasionalisasi pengadilan, dimana kebijakan yang
oleh negara hanya akan terdiri dari tiga susun, yakni Pengadilan Negeri,
untuk mengadili pada tingkat pertama, banding, dan kasasi. Dengan UU nomor 90
tahun 1950 dan UU Darurat nomor 1 tahun 1951 diaturlah tindakan-tindakan
untuk meneruskan unifikasi tata peradilan yang efektif untuk seluruh Indonesia.
Pada periode ini demokrasi parlementer di bawah arahan UUDS 1950 oleh
apa yang disebut demokrasi terpimpin melalui Dekrit Presiden dan berlaku
kembali UUD 1945. Dalam suasana sosio-politik seperti itu, penolakan terhadap
segala hal yang berbau asing terasa demikian intensnya. Melalui Keputusan
benar realitas yang ada di Indonesia, dan bahwa asas-asas yang dipakai untuk
negara dan harus pula didasarkan pada hukum adat. Pergantian simbol hukum
tersebut tidak ada perubahan yang terlalu mendasar di antara sistem hukum
Indonesia.
Agraria sehingga dicabutlah sebagian ketentuan hukum yang termuat dalam Buku
II BW dan hak-hak tanah menurut hukum Eropa dari ketentuan Kitab itu.
Undang-undang ini menyatakan bahwa hak-hak tanah yang baru didasarkan pada
kaidah hukum adat bangsa Indonesia. Namun, UU ini mengabaikan kaidah hukum
adat dan hanya memperhatikan asas umum di dalam hukum adat Indonesia.
Hukum Nasional yang telah diresmikan pada tahun 1958 yang kini berada di
bawah kontrol langsung Menteri Kehakiman. Lembaga ini memiliki fungsi dan
sesuai yang digariskan MPRS no. II tahun 1960 dan merancang hukum
semua hukum kolonial itu dapat dinyatakan tak berlaku lagi tanpa menunggu
Sahardjo memberi saran, kitab Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Koophandel
haruslah dipandang tidak lagi sebagai sumber hukum formil, melainkan yang
materiil saja. Hal ini diamini oleh Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro,
Person dan Buku III BW mengenai kontrak seharusnya ditinjau ulang dan diganti.
undang hukum perdata sebagai hukum positif. Hal ini membuat hakim gelisah
karena diwajibkan menemukan hukum dari sumber lain dan menciptakan temuan
baru yang anti kolonial. Kegelisahan juga dirasakan oleh pengacara yang sulit
dalam memperkirakan temuan hakim yang akan digunakan untuk mengadili suatu
mata akademisi, Surat Edaran ini dianggap sebagai langkah ngawur yang tak
mengindahkan tata krama karena tidak menghormati asas kepastian hukum dan
perundang-undangan.
BAB XII
dari luar.
politik dan masyarakat sipil berkurang, sementara peran militer (dwifungsi ABRI)
menjadi dominan. Hal ini diperlukan untuk menciptakan stabilitas nasional agar
dan mengangkat anggota DPR dan MPR tanpa militer, dipengaruhi kekuasaan
dua sisi: sebagai tool of social engineering dan sarana melindungi HAM.
hukum kepada kepentingan dan tujuan politik. Tap MPRS No. XX (5 Juli 1966)
Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Dekrit 5 Juli 1959, UUD Proklamasi, dan Surat
Perintah 11 Maret 1966 adalah sumber dari segala sumber hukum. Hal ini berarti
tegas pada peraturan perundangan yang berlaku yang lebih tinggi tingkatnya.
ini merujuk pada Penjelasan UUD 1945 yang menegaskan rule of law yang
terjamin, yang mencakup (1) HAM dilindungi; (2) peradilan harus bebas dan tidak
memihak; dan (3) asas legalitas dipegang teguh dalam menjalankan hukum formil
dan hukum materiil. Untuk itu, dibuatlah Undang-undang Pokok nomor 14 tahun
karena di masa Orde Lama, kekuasaan Presiden amatlah eksesif, baik secara
Wetboek. Di lapangan, sering terjadi legal gaps dan permasalahan yang sulit
sering dijadikan hanya sebagai sarana dan harus berkhidmat pada tujuan
khususnya eksekutif.
MASYARAKAT
Para yuris mencoba mencari pendekatan baru terhadap studi hukum untuk
yang tak hanya terbatas pada persoalan normatif dan litigatif. Mochtar
berkembang. Para ahli hukum juga harus ikut memikirkan dan membantu
Mochtar tidak begitu percaya bahwa budaya, tradisi, dan hukum asli
pribumi harus dilestarikan seperti pada hukum kolonial. Karena, seperti kata
Hukum nasional harusnya tidak tergesa-gesa dibangun dan diputuskan; baik itu
hukum nasional. Perlu dilakukan penelitian dimana bagian hukum yang bisa
dikembangkan, yakni kontrak, badan usaha, dan tata niaga; dan bagian yang
dan berpengaruh di era Orde Baru. Idenya mengenai kodifikasi dan unifikasi
terbatas secara selektif pada hukum yang tak hendak menjamah ranah kehidupan
budaya dan spiritual rakyat menjadi bagian dari program kerja Badan Pembinaan
merekayasa kehidupan ekonomi saja, tidak sampai pada seluruh aspek masyarakat,
jaminan kepastian yang penting. Hal ini menjadi hukum nasional modern yang
menetapkan sendiri secara khusus arah perkembangan itu. Ide hukum yang
Ide kodifikasi dan unifikasi terbatas selektif ditulis secara eksplisit dan
resmi dalam naskah Rencana Pembangunan Lima Tahun II 1974, Bab 27 paragraf
menolak, hal ini dikatakan sebagai upaya yang terlalu menebal dari tradisi. Ada
dua pihak yang tidak menyetujui; ada yang percaya akan kontinuitas hukum, dan
ada yang percaya bahwa hukum harus berakar dari hukum rakyat atau adat.
KONTINUITAS PERKEMBANGAN HUKUM: DARI HUKUM
atas hukum yang telah diakui dan berkembang di kalangan bisnis internasional.
Kalangan ahli hukum praktek, yang selama ini mempelajari hukum menurut
dasar hukum kolonial yang telah dikaji ulang berdasarkan Grundnorm Pancasila.
Hukum kolonial bagaimanapun juga adalah hukum yang secara formal masih
yang pernah berkembang dalam sejarah antara Indonesia dan Belanda. Hal ini
beranjak dari awal lagi dan menyia-nyiakan apa yang hingga kini telah tercapai.
Adopsi unsur-unsur hukum dari hukum adat, hukum Amerika atau hukum Inggris
mungkin terjadi, tetapi konfigurasi atau pola sistematiknya yang Eropa tidak
mungkin diubah sama sekali. Sementara di Perguruan Tinggi, ada penganut yang
menyebut hukum yang mengatur tentang tata niaga dengan nama hukum dagang.
ekonomi. Hal ini terkesan bahwa hukum dagang yang mengikuti tradisi Belanda
pemerintah. Maka hukum dagang lebih tepat sebagai bagian dari pengatur
mekanisme ekonomi pasar bebas, sedangkan hukum ekonomi lebih tepat sebagai
ADAT
sudah dikemukakan oleh nasionalis generasi pendahulu. Namun, ketika era Orde
Baru bermula dan pencaharian model hukum nasional yang paling memenuhi
hukum adat sudah kehilangan pencetus-pencetus ide baru yang mampu bersaing.
Tokoh-tokoh seperti Djojodigoeno dari Universitas Gajah Mada saat itu sudah
pensiun dan tak mungkin terlampau aktif karena alasan politik dan kesehatan.
Serta Koesnoe dari Universitas Airlangga yang saat itu sibuk dengan tugasnya
hukum adat menjadi hukum nasional bertolak dari paham Savignian, bahwa
hukum itu tak mungkin dibuat dan dibebankan dari atas (sebagai atau tidak
hukum adat baru mampu mengingatkan bahwa hukum nasional itu harus
berdasarkan hukum adat dan muncul dengan pernyataan “Hukum adat merupakan
Menurut Soerojo, salah satu ahli hukum adat, ada empat asas hukum adat
yang dikatakan mempunyai nilai universal, yaitu asas gotong royong, asas fungsi
sosial manusia dan miliknya, asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum,
dan asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan. Ada lima
pranata hukum adat yang juga dijumpai dalam hukum internasional, yaitu pranata
panjer (dalam hukum internasional disebut commitment fee atau down payment),
dol oyodan atas tanah (dalam hukum internasional disebut voyage charter atau
time charter), pranata jonggolan (dalam hukum internasional disebut lien atau
mortgage). Dan dua contoh konsep dalam hukum adat yang bertujuan dengan
fungsi yang sama dalam hukum internasional, yaitu konsep tanah wewengkon
atau tanah ulayat yang dalam hukum internasional dikenal dengan konsep
bawah kekuasaan seseorang penguasa agar terhindar dari sanksi adat yang dalam
diwujudkan karena pada masa Orde Baru hakim tidak bisa mandiri dan bebas
sebab adanya doktrin yang dianut dalam badan-badan pengadilan saat itu yang
mengonsepkan hakim sebatas sebagai pengucap bunyi hukum. Hal ini juga
perekayasa dan adanya partisipasi politik militer yang kuat sehingga peran hukum
berprakarsa.
dalam perkembangan politik yang terjadi pada zaman Orde Baru yaitu kekuatan
dibuktikan yaitu pada tahun 1973 misalnya 100 dari 360 anggota dewan adalah
anggota yang diangkat tanpa melalui pemilu tapi dengan ditunjuk oleh eksekutif
yang berasal dari fraksi ABRI. Dalam perkembangannya hingga akhir abad ke-20,
asas-asas moral, dan wawasan kearifan yang sebenarnya seperti yang ada dalam