Anda di halaman 1dari 24

BAB I

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah Agama yang sempurna, Islam mengatur seluruh

sendi-sendi kehidupan manusia dari bangun tidur sampai tidur

sekalipun. Sehingga apa saja yang dilakukan mempunyai akibat

hukum yang berbeda baik itu dalam urusan manusia dengan

Allah (hablum minallah) maupun hubungan antara sesama

manusia (hablum minannas).

Dalam hubungan manusia dengan Allah merupakan

ibadah yang wajib, artinya hal tersebut sudah Allah perintahkan

dalam Al-Qur‟an maupun Hadits sehingga tidak ada alasan bagi

seseorang untuk tidak melakukannya baik dalam keadaan lapang

maupun dalam keadaan sempit seperti halnya sholat serta

berdzikir kepada Allah SWT. dan ibadah tersebut hanya

bermanfaat bagi dirinya sendiri. Berbeda halnya jika hubungan

dengan sesama manu sia (hablum minannas), dimana Allah swt

mengatur tentang tata cara bergaul antar sesama manusia

sehingga tidak bisa berbuat semaunya, tatapi juga dituntut untuk

1
2

menghormati dan menghargai orang-orang yang ada di sekitar,

artinya dalam hubungan antar sesama manusia seseorang

mempunyai hak dan juga kewajiban. Baik itu dalam urusan

keluarga, tetangga, maupun masyarakat luas. Dalam hal ini

penulis tidak akan membahas tentang hubungan seseorang

dengan tetangga ataupun masyarakat luas, namun penulis hanya

akan membahas tentang hubungan seseorang dengan keluarganya

apa saja hak dan kewajibannya. Namun sebelum membahas

tentang apa saja hak dan kewajibannya serta apa akibat hukum

yang akan ditimbulkan jika seseorang mengambil hak anggota

keluarganya yang lain, baik dengan cara yang baik ataupun

dengan cara yang tidak baik.

Allah SWT menjelaskan tentang harta yang tidak boleh di

ambil, dan harta yang boleh di ambil dengan cara yang baik dan

benar, adapun harta yang dapat diambil ialah harta pusaka atau

waris.

Waris merupakan harta yang ditinggal oleh seseorang

yang meninggal, sehingga harta tersebut dimiliki oleh keluarga

yang di tingggalkan. Waris merupakan suatu perkara yang begitu


3

penting, sehingga Islam dengan tegas dan jelas mengatur tentang

pembagian harta waris, agar tidak terjadi perselisihan di dalam

pembagiannya.

Sebagai suatu ajaran, hukum kewarisan Islam yang

dikalangan ulama terdahulu disebut “faraid” itu menuntut umat

Islam untuk menjadikannya pedoman dalam berbuat mengenai

hal-hal yang berkenaan dengan kewarisan. Bila dikalangan umat

Islam terjadi kematian dan yang mati tersebut meninggalkan

harta, dalam hal kemana dan bagaimana caranya perlihan harta

orang yang meninggal itu, umat Islam harus merujuk pada ajaran

Agama yang sudah tertuang dalam ilmu Faraid sebagaimana yang

berlaku pada ajaran-ajaran lainnya.

Meskipun kewarisan merupakan ajaran ajaran Agama,

namun tidak semua umat Islam mengetahui secara baik,

sebagaimana yang berlaku pada ajaran Agama yang berkena‟an

dengan ibadah sholat, puasa dan lainnya. alasannya ialah karena

peristiwa kematian yang menimbulkan adanya kewarisan itu

dalam suatu keluarga merupakan suatu hal yang jarang terjadi,

dan tidak semua orang meninggal itu meninggalkan harta, dan


4

tidak jarang juga yang justru meninggalkan hutang piutang

karena tidak semua umat Islam itu kaya, serta ajaran tentang

kewarisan itu membicarakan angka yang bersifat matematis yang

tidak semua orang tertarik kepdanya, meskipun demikian bila

urusan kewarisan itu terjadi, harus diselesaikan dengan merujuk

pada ajaran Agama tersebut.

Illmu Faraid itu sendiri menurut penulis ialah ilmu yang

sangat sulit untuk dipelajari, karena harus menghitung berapa

jumlah harta yang ditinggalkan, berapa bagian yang harus didapat

jika meninggalkan istri, ayah, ibu, anak dan lain sebagainya, oleh

karena itu tidak heran jika tidak semua orang tahu tentang cara

pembagian waris, siapa yang berhak dan tidak berhak

mendapatkan warisan, siapa yang terhalang haknya sebagai ahli

waris dan lain sebagainya.

karena tidak sedikit sengketa masalah waris ini terjadi,

karena disebabkan keserakahan dan ketamakannya mereka

sampai berkelahi dan saling membunuh demi mendapatkan harta

warisan, tidak hanya antar saudara, namun karena ketamakannya

mereka bahkan rela membunuh si pewaris, untuk bisa menguasai


5

harta pewaris sepenuhnya, dan tidak memberikan bagian kepada

ahli waris yang lain.

Karena hukum kewarisan itu merupakan ajaran Agama

yang mesti dijalankan, dapat diperkirakan hukum kewarisan itu

sudah berlangsung sejalan dengan berlakunya ajaran Agama

dalam bidang-bidang lainnya. Adapun pengurusnnya dalam

bentuk peradilan memerlukan kekuasaan. Dalam hal ini dapat

dipahami bahwa dimana telah berlaku kekuasaan yang menganut

Agama Islam, telah ada peradilan yang menjalankan ajaran

Agama Islam. dalam hal ajaran Agama yang di rumuskan dalam

fikih terdapat ajaran tentang “qadha” yang membicarakan segala

hal tentang peradilan, termasuk acaranya.

Oleh karenanya dalam Hukum Islam maupun para Imam

Madzhab dalam hal ini mengatur tentang siapa-siapa saja yang

berhak dan tidak berhak mendapatkan warisan, dan apa sajakah

yang menjadi sebab seseorang bisa mendapatkan warisan.

khususnya dalam hal penghalang waris atau mengenai orang yang

tidak berhak mendapatkan warisan itu ada kesenjangan antara

para imam madzhab, sehingga penulis merasa perlu untuk


6

membahasnya, dengan demikian, inilah yang menjadi alasan

penulis untuk mengangkat judul penelitan: “Penghalang

Kewarisan Menurut Empat Imam Mazhab (Imam Hanafi, Imam

Maliki, Imam Syafi‟i, Imam Hambali)” kenapa bisa terjadi

kesenjangan dan mana yang harus diambil untuk dijadikan

sebagai rujukan bagi umat Islam khususnya, dan bagaimana

menyikapi kesenjangan tersebut. karena sesungguhnya berbicara

masalah waris tidak lepas dari hukum Islam, namun juga dalam

realitanya sering terjadi pernikahan berbeda Agama dan juga

banyak yang berpindah Agama, sehingga permasalahan waris ini

menjadi lebih rumit.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas,

maka penulis mengambil beberapa permasalahan yaitu:

1. Apa yang di maksud penghalang kewarisan?

2. Apa saja penghalang kewarisan menurut empat Imam

Mazhab?
7

C. Fokus Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada “Penghalang Kewarisan

Menurut Empat Imam Madzhab (Imam Hanafi, Imama Maliki,

Imam Syafi‟i, Imam Hambali)”. Pembahasan tentang penghalang

kewarisan ini mempunyai ruang lingkup yang cukup luas, karena

ada kesenjangan antara para imam madzhab dalam menentukan

apa saja sebab penghalang warisan, serta apa saja penyebab

seseorang tidak mendapatkan warisan padahal dia sendiri

merupakan ahli waris, dan apakah ketika seseorang dinyatakan

tidak berhak atas harta waris itu masih tetap bisa mendapatkan

bagian waris dengan menempuh jalur hukum (Pengadilan).

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas

maka tujuan dan kegunaan dalam skripsi ini, sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui tentang penghalang waris menurut

hukum Islam.

2. Untuk mengetahui apa persamaan dan perbedaan

penghalang warisan menurut empat imam madzhab.


8

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang diharapkan dari

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi Akademik

Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan penelitian

serta kajian lebih lanjut guna menambah wawasan dan

pengetahuan tentang “Penghalang Warisan Menurut Empat

Imam Mazhab”

2. Bagi Peneliti

Penelitian ini merupakan suatu media pembelajaran dan

dapat menambah referensi untuk mengembangkan ilmu

pengetahuan terhadap “Penghalang Warisan Warisan Menurut

Empat Imam Madzhab”.

3. Bagi pembaca

Bagi pembaca penelitian ini diharapkan dapat menambah

wawasan dan menjadi bahan kajian ilmiah tentang “Penghalang

Warisan Menurut Empat Imam Madzhab”.


9

F. Penelitian Terdahulu yang Relevan

1. Skripsi Oleh Hikmatullah dari Universitas Islam Negeri

(UIN) Sultan Maulana Hasanuddin Banten pada Tahun 2009

dengan judul “Kedudukan Seorang Pembunuh Dalam

Kewarisan Islam Menurut Madzhab Syafi’i Dan Madzhab

Hanafi (Studi Komparatif)”.

Skripsi ini menjelaskan tentang bagaimana status waris

bagi seorang pembunuh, menurut Imam Syafi‟i dan Imam Hanafi,

kriteria pembunuhan seperti apa yang dapat menghalangi

seseorang untuk mendapatkan warisan.

Hasil analisis yaitu menggunakan pendapat Imam Syafi‟i

dan Imam Hanafi, dimana keduanya berbeda pandangan tentang

jenis pembunuhan seperti apa yang dapat menghalangi seseorang

untuk mendapatkan warisan. Imam Syafi‟i berpendapat bahwa

semua jenis pembunuhan itu dapat menghalangi untuk

mendapatkan warisan, sedangkan imam Hanafi berpendapat

bahwa hanya pembunuhan yang di sengajalah yang dapat

menghalangi waris.
10

Persamaan dengan penelitian penulis adalah bahwa

skripsi ini sama sama membahas tentang penghalang warisan,

sedangkan perbedaannya adalah skripsi tersebut hanya di

fokuskan pada salah satu penghalang kewarisan yaitu

pembunuhan, sedangkan yang akan penulis teliti itu mencakup

semua jenis yang menghalangi seseorang untuk mendapatkan

warisan, dan penulis juga mengambil pendapat empat imam

madzhab.

2. Skripsi Oleh Kosasih dari Universitas Islam Negeri (UIN)

Sultan Maulan Hasanuddin Banten pada Tahun 2012 dengan

judul “Status Anak Dan Kewarisannya Dari Pernikahan Beda

Agama”.

Skripsi ini menjelaskan tentang bagaimana hukum

perkawinan beda Agama dan kewarisannya dari pernikahan beda

Agama menurut hukum Islam. Hasil analisis bahwa pernikahan

beda agama itu tidak diperkenankan dalam ajaran Islam, dan telah

diatur juga dalam undang-undang.

Persamaan dengan penelitian penulis adalah bahwa

skripsi ini sama sama membahas tentang warisan, sedangkan


11

perbedaannya adalah skripsi tersebut membahas tentang status

anak dan kewarisannya dari pernikahan beda Agama yang

merupakan salah satu penghalang kewarisan yaitu pebedaan

Agama, sedangkan yang akan penulis teliti itu mencakup semua

jenis yang menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan,

tidak hanya akibat beda Agama, dan penulis juga mengambil

pendapat empat imam madzhab.

3. Skripsi program studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah

dan Hukum,Universitas Islam Negeri yang disusun oleh Rian

Wahyu Utomo, NIM 1110044200004 pada tahun 2014 dengan

judul “HAK WARIS ANAK MURTAD (Analisis Putusan

Hakim Pengadilan Agama

Jakarta Utara Nomor: 84/Pdt.P/2012/PA.,JU)” dalam

penelitian ini menjelaskan tentang hak waris yang didapatkan

oleh anak murtad dalam putusan yang terdapat pada pengadilan

agama Jakarta Utara.

Persamaan dengan penelitian penulis adalah bahwa

skripsi ini sama sama membahas tentang warisan, sedangkan


12

perbedaannya adalah skripsi tersebut hanya di fokuskan pada

hak waris anak murtad, sedangkan yang akan penulis teliti itu

mencakup semua jenis yang menghalangi seseorang untuk

mendapatkan warisan menurut imam madzhab

Skripsi program studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum,

Universitas Jember yang disusun oleh Andhita Sellasari, NIM

060710191012 pada tahun 2011 dengan judul “KEDUDUKAN

AHLI WARIS YANG BEDA AGAMA DENGAN PEWARIS

TERHADAP PEMBAGIAN HARTA WARIS MENURUT

KOMPILASI HUKUM ISLAM” dalam penelitian tersebut

menjelaskan tentang hak waris yang didapatkan ahli waris yang

beda agama menurut KHI. Yang membedakan skripsi penulis

dengan skripsi terdahulu adalah bahwa skripsi terdahulu hanya

menjelaskan kedudukan ahli waris menurut kompilasi hukum

islam,

Persamaan dengan penelitian penulis adalah bahwa

skripsi ini sama sama membahas tentang Kedudukan Ahli Waris

Yang Beda Agama Dengan Pewaris Terhadap Pembagian Harta

Waris Menurut Kompilasi Hukum Islam, sedangkan


13

perbedaannya adalah skripsi tersebut hanya di fokuskan pada

perbedaan ahli waris dengan seorang pewaris. sedangkan yang

akan penulis teliti itu mencakup semua jenis yang menghalangi

seseorang untuk mendapatkan warisan menurut empat imam

madzhab.

G. Kerangka Pemikiran

Pengertian perkawinan dalam bahasa Indonesia, perkawinan

berasal dari kata kawin yang menurut bahasa artinya membentuk

keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin.

perkawinan disebut juga pernikahan berasal dari kata nikah dalam

bahasa yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling

memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi).1

Pernikahan merupakan sunnatullah dan berlaku pada

semua mahluknya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-

tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT,

sebagai jalan bagi mahluknya untuk berkembang biak, dan

melestarikan hidupnya.

1
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana,
2003).h.7
14

Nikah menurut bahasa: al-jam‟u dan ad-Domuyang

artinya kumpul, makna nikah (Zawaaj) bisa di artikan dengan

aqdu al-tazwiij yang artinya akad nikah. Juga bisa di artikan

(wat‟u al-zaujah) bermakna menyetubuhi istri. Define yang sama

dengan diatas juga dikemukakan oleh Rahmat Hakim, bahwa kata

nikah berasal dari bahasa Arab “nikaahun‟ sinonimnya

„tazawwaja‟ kemudian di terjemahkan dalam bahasa Indonesia

artinya perkawinan.2

Seperti dinyatakan Abdur-Rahman al-Juzairi kata nikah

(kawin) dapat di dekati dari tiga aspek pengertian (makna), yakni

makna lughawi (etimologis), makna ushuli (syar‟i), dan makna

fiqhi (hukum). Pembahasan lebih lanjut hendak mencoba

menjabarkan dari masing masing pengertian yang baru saja di

sebutkan. Terutama dari sudut pandang lughowi dan makna fiqhi

(hukum). Sedangkan dari sudut pandang ushuli (syar‟i) akan di

titik beratkan pada hal-hal yang bertalian berat dengan

pendekatan filsafat hukum, seperti hikmah dari kebolehan

berpoligami dalam hukum perkawinan dan rahasia asas dua

2
Sohari Sahrani, “Fiqh Keluarga”, (Banten; Dinas Pendidikan
Provinsi Banten). h, 13
15

berbanding satu dalam hal pembagian harta peninggalan (tirkah)

dalam hal kewarisan.3

Secara arti kata nikah berarti “bergabung” (Dommu)

“hubungan kelamin” (wath‟u) dan juga berarti ”akad” adanya

kemungkinan arti ini karena kata nikkah yang terkandung dalam

Al-Qur‟an memang mengandung dua arti tersebut. Kata nikah

yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 230;

ۗ ُ‫َّت تَ نْ كِ َح َز ْو ًج ا غَ يْ َره‬ ِ ِ
ٰ َّ ‫فَإِ ْن طَلَّقَ َه ا فَ ََل ََت لُّ لَوُ م ْن بَ ْع ُد َح‬
“Maka jika suami menalaknya (sesudah talaq dua kali,
maka perempuan itu tidak boleh lagi dinikahinya hingga
perempuan itu kawin dengan laki-laki lain”.4

Mengandung arti hubungan kelamin dan bukan hanya

sekedar akad nikah, karena ada petunjuk dari hadits bahwa

setelah akad nikah dengan laki-laki yang kedua, perempuan itu

belum boleh dinikahi oleh mantan suaminya kecuali suami yang

kedua sudah merasakan nikmatnya hubungan kelamin dengan

perempuan tersebut.

3
Muhammad Amin Summa, “Hukum Keluarga Islam di Dunia
Islam”, (Jakarta: Rajawali Pers), h. 41
4
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Kementrian Agama RI
“Mushaf Al-Bantani dan Terjemahnya”, (Jakarta : Pemerintah Provinsi
Banten, 2013), h.36
16

Tetapi dalam Al-Qur‟an kata nikah juga berarti akad,

seperti tersebut dalam surat An-Nisa ayat 22

ِ ‫وََّل تَ نْ كِ ح وام انَ َك ح آب ا ُؤ ُك م ِم ن ال ن‬


َ َ‫ِّس اء إِ ََّّل مَ ا قَ ْد َس ل‬
‫ف‬ َ َ ْ َ َ َ ُ َ
“janganlah kamu nikahi perempuan yang telah pernah
dinikahi oleh ayahmu kecuali yang telah terdahulu”5

Ayat tersebut mengandung arti bahwa perempuan yang

dinikahi oleh ayah itu haram dinikahi dengan semata ayah telah

melangsungkan akad nikah dengan perempuan tersebut meskipun

di antara keduanya belum berlangsung hubungan kelamin.6

Al-Maani‟ (bentuk tunggal dari al-mawaani‟) menurut

bahasa adalah penghalang sedangkan menurut istilah adalah

sesuatu yang menyebabkan status seseorang akan suatu makna

(alasan) dalam dirinya menjadi tidak ada setelah adanya

penyebab ketiadaan itu. Al-Ma’ani disebut juga mahruum. Oleh

karena itu, apa yang menjadi hilang karena makna (alasan) diluar

dirinya, tidak masuk dalam istilah ini. Itu adalah mahjub. atau

ketiadaaan status itu karena tidak adanya penyebab seperti orang

asing (kaitannya dengan orang yang mewariskan). yang di


5
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Kementrian Agama RI
“Mushaf Al-Bantani dan Terjemahnya”, h. 81
6
Amir Syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia”,
(Jakarta: Kencana), h. 36
17

maksud dengan Al-Maani (penghalang) adalah penghalang

mewarisi bukan mewariskan meskipun ada sebagian penghalang

seperti perbedaan agama bisa menjadi penghalang dua hal

semuanya, yakni warisan dan pewarisan7.

Pada dasarnya tidak semua ahli waris menerima harta

warisan dari pewaris, orang orang ahli waris yang tidak berhak

mendapat warisan dari pewaris karena perbuatan yang tidak patut

menerima warisan.

Berbeda dengan hukum Islam yang mana Para ulama

Fiqih sepakat tentang tiga penghalang warisan, yakni: Budak,

Pembunuh, dan Perbedaan Agama. Ar-Rabi dia berkata: Asy-

Syafi‟i berkata: sebagian sahabat kami sepakat dengan kami. Dia

mengatakan bahwa budak tidak memperoleh warisan, dan tidak

pula orang yang membunuh secara sengaja dan secara tidak

sengaja. begitu juga orang kafir. kemudian dia menarik

pendapatnya dan berkata, “jika seseorang murtad dari islam dan

7
Wahbah Az-Zuhaili, “Fiqih Islam Wa Adillatuhu”, jilid 10 (Jakarta:
Daarul Fikr, 2011), Cet. 1. h. 351
18

mati dalam keadaan murtad, atau membunuh maka dia di warisi

oleh ahli warisnya yang muslim.8

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari

Abdul Wahhab bin Muhammad Al-Kisai mengabarkan kepada

kami, Abdul Aziz bin Ahmad Al-Khallal mengabarkan kepada

kami, Abu Al-Abbas Al-Asham mengabarkan kepada kami.

Ahmad bin Abdullah Ash-Shalihi dan Muhammad bin

Ahmad Al-Arif mengabarkan kepada kami, keduanya berkata:

Abu Bakar Ahmad bin Al-Hasan Al-Hiri mengabarkan kepada

kami Abu Al-Abbas Al-Asham mengabarkan kepada kami, Ar-

Rabi mengabarkan kepada kami, Asy-Syafii mengabarkan kepada

kami, Ibnu Uyainah mengabarkan kepada kami, dari Az-Zuhri,

dari Ali bin Husain, dari Amr bin Utsman, dari Usamah bin Zaid

bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:

‫وََّلالْ َكافُِرالْ ُم ْسلِ َم‬، ِ ِ ُ ‫ََّليَِر‬


َ ‫ث الْ ُم ْسل ُم الْ َكافَر‬

”seorang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang


kafir ttidak mewarisi muslim” (mutafaqun alaih).9

8
Imam Asy-Syafi‟i, "Al-Umm", jilid 7, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2014) . h. 306
19

Aplikasi Hadits ini menurut para ahli ilmu dari kalangan

sahabat dan generasi sesudahnya yaitu, orang kafir tidak

mewarisi orang muslim, dan seorang muslim juga tidak

mewaarisi seorang kafir, karena terputusnya perwalian antara

mereka.

Namun, diriwayatkan dari Mu‟adz dan Muawiyah bahwa

mereka berdua menyatakan, “seorang muslim mewarisi orang

kafir, tetapi tidak di warisi orang kafir”. Keterangan tersebut

diriwayatkan dari Ibrahim An-Nakhai, seperti halnya seorang

muslim boleh menikahi wanita kitabah (ahli kitab), tetapi orang

kafir tidak boleh menikahi wanita muslim. pendapat ini didukung

oleh Ishaq bin Rahawaih.10

Jumhur Ulama sepakat bahwa perbuatan membunuh yang

dilakukan oleh ahli waris terhadap si pewaris menjadi penghalang

baginya untuk mendapatkan warisan. Adapun dasar hukum yang

melarang ahli waris yang membunuh untuk mendapatkan warisan

adalah sabda Rasulullah ‫ﷺ‬:

9
Imam An-Nawawi, “Syarah Shahih Muslim”, Jilid. 11, (Jakarta :
Pustaka Azam , 2011), h. 129
10
Imam Al-Baghawi, “Syarah As-Sunnah”, Jilid 8, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2013) , h. 221
20

ِ ِ ِ
ْ‫ال َر ُس ْو ُل اهلل صلى اهلل عليو وسلم َم ْن قَتَ َل قَتيْ ًَلفَانَّوُ ََّليَِرثُوُ َوا ْن ََل‬ َ َ‫ق‬
ِ
‫اث (رواه‬ ٌ ‫س لَِقاتِ ٍل ِمْي َر‬ ِ ٌ ‫يَ ُك ْن لَوُ َوا ِر‬
َ ‫ث َغْي ُرُه َوا ْن َكا َن لَوُ َوال ُد ُه اَْوَولَ ُدهُ فَلَْي‬
)‫أمحد‬
"Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: barang siapa yang membunnuh
seorang korban, maka sesungguhnya ia tidak dapat mewarisinya,
walaupun korban tidak mempunyai ahli waris selain dirinya
sendiri. (begitu juga) walaupun korban itu adalah orang tuanya
atau anaknya sendiri maka baggi pembuuh tidak berhak
menerima warisan”. (HR.Ahmad).11
Perbudakan menjadi penghalang mewarisi bukanlah

karena status kemanusiaanya, tetapi semata-mata karena status

formalnya sebagai hamba sahaya (budak). Jumhur Ulama sepakat

bahwa seorang budak terhalang untuk menerima warisan karena

dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum.

Allah SWT berfirman:

)٥٧:‫ب اهللُ َمثَ ًَل َعْب ًدامَْلُ ْوًك َاَّليَ ْق ِد ُر َعلَى َش ْْي ٍء(النحل‬
َ ‫ضَر‬
َ

"Allah telah memmbuat perumpamaan (yakni) seorang


budak (hamba sahaya) yang dimiliki yang tidak dapat bertindak
terhadap sesuatupun…(Q.S Al-Nahl: 75).12

11
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012). Cet.
5.h. 30
12
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Kementrian Agama RI
“Mushaf Al-Bantani dan Terjemahnya”,.., h. 275
21

H. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian

pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam penelitian

ini menggunakan penelitian kepustakaan (Library Research) yang

bersifat deskriptif. Maka penulis menggunakan beberapa sumber

kepustakaan, baik sumber pertama (primair) maupun sumber

kedua (skunder) yang relevan dengan sumber kedua, kemudian

penulis mengelolanya secara induktif, yaitu menjabarkan atau

menjelaskan dengan data-data yang terkumpul untuk dijadikan

sebuah kesimpulan.

2. Sumber Hukum Penelitian

Data yang di kumpulkan haruslah selengkap mungkin,

agar penelitian ini mampunyai bobot keilmuan yang tinggi

sehingga bermanfaat untuk dikaji dan dijadikan referensi.

berdasarkan jenis penelitian yang telah di tentukan sebelumnya,

maka dalam penelitian ini sumber data berasal dari sumber

primer dan skunder.

a. Sumber hukum primer adalah data pokok yang

menjadi acuan dalam sebuah penelitian dan diperoleh


22

langsung dari sumbernya. Penelitian ini menggunakan

sumber data primer berupa:

1) Fiqih Islam Wa Adillatuhu

2) Bidayatul Mujtahid

3) Al-Umm

4) Al Mughni

b. Sumber hukum skunder adalah data yang digunakan

dalam penelitian untuk mendukung dan memperjelas

data primer. Penelitian ini menggunakan data skunder

berupa buku-buku serta segala bentuk referensi baik

jurnal, artikel, maupun karya tulis lainnya yang

relevan dan kredibel untuk menunjang kelengkapan

data pada penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam

penelitian ini sebagai berikut, studi pustaka penulis akan

melakukan penelitian untuk memperoleh berbagai sumber teoritis

yang mempunyai relevansi dengan permasalahan yang diteliti.


23

Bahan-bahan sumber informasi ini penulis dapatkan melalui

buku-buku, jurnal. karena penelitian ini adalah penelitian

normative yang sumbernya dari buku-buku, jurnal/data-data yang

relevan.

I. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dalam penelitian ini dipaparkan

dengan tujjuan untuk memudahkan pembahasan masalah-masalah

dalam penelitian karya ilmiah ini yang terdiri dari lima BAB

yaitu, meliputi:

Bab I, Berupa Pendahuluan yang terdiri dari : Latar

Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Fokus Penelitian,

Tujuan Penelitian, Manfaat/ Signifikasi Penelitian, Penelitian

Terdahulu Yang Relavan, Kerangka Pemikiran, Metode

Penelitian, Sistematika Pembahasan.

Bab II, memaparkan tentang kewarisan secara umum

yaitu berupa: pengertian kewarisan, sebab-sebab seseorang

mendapatkan warisan, sumber-sumber hukum kewarisan, hukum


24

mempelajari dan mengajarkan ilmu waris, asas-asas hukum

kewarisan.

Bab III, biografi dan sejarah Imam Hanafi, biografi dan

sejarah Imam Malik, biografi dan sejarah Imam Syafi‟i, biografi

dan sejarah Imam Hambali.

Bab IV, merupakan bab inti, penghalang warisan, apa

saja penghalang kewarisan menurut empat imam madzhab.

BAB V, PENUTUP yang terdiri dari Kesimpulan dan

Saran.

Anda mungkin juga menyukai